"Kalau ada seorang yang marah di sini, agaknya engkaulah yang marah, Sumoi, bukan aku."
"Suheng, katakanlah. Mengapa engkau tidak mau menikah?"
Pertanyaan ini merupakan serangan tiba-tiba yang membuat Sin Liong bingung bagaimana untuk menjawabnya. Dia mengerutkan alisnya, mengosok-gosok dagunya sebelum menjawab, kemudian terpaksa menjawab juga karena sepasang mata bintang yang memandang tajam kepadanya itu sudah menanti jawaban dengan tidak sabar lagi.
"Aku tidak ingin menikah karena bagiku, pernikahan merupakan ikatan, sumoi. Aku ingin bebas, bebas lahir batin dan betapa mungkin aku dapat bebas kalau aku menikah, berkeluarga dan mempunyai anak isteri? Bagaimana aku dapat bebas kalau aku memiliki harta benda, kedudukan dan lain ikatan duniawi lagi?"
Swat Hong termangu-mangu, agaknya tertegun mendengar jawaban suhengnya. Sampai lama dia diam saja, kemudian tiba-tiba bertanya,
"Suheng, apakah engkau ingin menjadi pertapa?"
Sin Liong tersenyum dan menggeleng kepalanya.
"Seorang pertapa berarti mengikatkan diri dengan pertapaanya. Tidak, Sumoi. Aku ingin bebas dari segala-galanya."
"Suheng kita.... kita.... dahulu dijodohkan oleh Ayah, bukan?"
Sin Liong terkejut. Tak disangkanya bahwa Swat Hong akan menyinggung masalah ini. Dia hanya mengangguk sambil memandang wajah sumoinya penuh selidik. Apalagi yang akan dikemukakan sumoinya ini?
"Dahulu kita sudah bicara di perahu itu dan memutuskan bahwa orang hanya dapat mengikat jodoh jika saling mencinta. Suheng...., apakah.... apakah engkau tidak mencinta seorang wanita?"
Sin Liong cepat mengelengkan kepalanya.
"Aku tahu bahwa Soan Cu mencintamu, Suheng! Apakah engkau tidak mencintanya? Dia cantik jelita dan pandai...."
"Tidak, Sumoi, kalau yang kau maksudkan adalah cinta berahi."
"Akan tetapi Suheng menolongnya, membela dan melindunginya. Bukankah itu membuktikan bahwa Suheng mencintainya?"
"Memang aku mencintanya seperti aku mencinta orang lain, akan tetapi bukanlah cinta umum yang mendorong untuk menikah, kemudian setelah menikah berusaha memiliki isterinya lahir batin sehingga timbullah siksaan batin dan kesengsaraan, pertentangan bahkan mungkin cemburu dan kebencian. Tidak, aku tidak mencinta Soan Cu seperti yang kau maksudkan itu."
"Dan bagaimana dengan Siangkoan Hui? Dia manis sekali dan dia terang-terangan mengaku cintanya kepadamu, Suheng. Apakah engkau tidak ingin mengambilnya sebagai isteri?"
"Hemmmm, sama sekali tidak. Apalagi aku mendengar bahwa dia telah bertunangan dengan orang lain."
"Jadi tidak ada wanita yang kau pilih untuk menjadi isterimu, Suheng?"
Sin Liong menggelengkan kepala, hatinya tidak enak membicarakan soal ini.
"Tidak ada dara yang kau cinta?"
Sin Liong menggeleng lagi.
"Termasuk aku....?"
Sin Liong terkejut. Sungguh bingung dia memikirkan sumoinya ini. Ketika dia mengangkat muka memandang, dia melihat sumoinya juga sedang memandangnya dengan sikap aneh. Mata sumoinya yang biasanya tajam lebar dan amat indahnya itu kini agak terpejam, seperti mata mengantuk, sinar matanya sayu dan seperti orang mau menangis, bibirnya tersenyum tipis akan tetapi seperti orang menahan rasa nyeri, cuping hidungnya agak kembang kempis dan jelas tampak dadanya naik turun diburu pernapasan.
"Sumoi, kau tahu bahwa aku cinta kepadamu, aku mencintamu seperti seorang Sumoi, seperti seorang adik, seperti seorang sahabat dan aku rela untuk mempertaruhkan nyawa membela dan melindungimu, aku merasa sebagai pengganti ayah bundamu, aku akan merasa berbahagia, Sumoi, karena itu, percayalah bahwa aku tidak akan meninggalaknmu sebelum ...."
"Sudahlah..... sudahlah....! kita melanjutkan perjalanan, tugas kita masih belum selesai!"
Swat Hong sudah meloncat bangun dan berlari cepat mendaki puncak yang menjulang tinggi itu.
"Sumoi, perlahan dulu....! Hati-hatilah....!"
Sin Liong melompat dan terpaksa harus mengerahkan ilmunya untuk menyusul sumoinya yang lari seperti setan itu.
Karena agaknya Swat Hong berlari secara ngawur saja, asal cepat dan naik ke puncak, untuk melampiaskan kemendongkolan hatinya, maka mereka tersesat jalan, bukan menuju ke Rawa Bangkai yang berada di lereng timur, melainkan memasuki hutan lebat di lereng barat!
Mereka tidak tahu bahwa ada banyak pasang mata mengintai ketika mereka memasuki hutan itu dan tiba-tiba bermunculan banyak orang yang mengeluarkan bentakan-bentakan nyaring.
Sin Liong dan Swat Hong berdiri tegak memandang ke sekeliling dan Swat Hong membelalakkan matanya saking herannya. Mereka berdua telah dikurung oleh puluhan orang yang tubuhnya katai, pendek sekali.
Yang tertinggi diantara mereka hanyalah setinggi dada Swat Hong! Kalau saja tidak melihat muka orang-orang itu, tentu Swat Hong mengira bahwa mereka berdua dikurung oleh serombongan anak nakal. Akan tetapi wajah mereka yang penuh kumis pendek dan penuh keriput itu jelas adalah wajah orang-orang yang sudah dewasa, bahkan wajah laki-laki berusia kurang lebih empat puluh tahun!
Karena tubuh mereka yang kerdil itu amat pendek, mereka kelihatan kuat dan kokoh, wajah mereka keruh dan marah, mengandung kekejaman dan di tangan mereka tampak senjata yang bermacam-macam, senjata yang aneh-aneh tidak lumrah senjata umumnya.
Gerakan mereka ketika mengurung dan bergerak mengelilingi Swat Hong juga amat aneh, kadang-kadang tumit mereka diangkat, kadang-kadang mereka bergerak sambil berjongkok sehingga menjadi makin pendek seperti katak, kadang-kadang berloncatan!
"Kalian mau apa? Pergi....!!"
Swat Hong membentak dan mengirim tendangan berantai ke arah empat orang katai terdekat akan tetapi betapa heranya ketika melihat empat kali tendangannya yang beruntun itu mengenai angin kosong karena dengan gerakan yang aneh dan cekatan sekali, empat orang kerdil itu telah mampu mengelak, bahkan hampir saja ujung sepatu kiri Swat Hong terbabat sebatang pedang yang bentuknya seperti gergaji!
"Hati-hati, Sumoi. Mereka bukanlah lawan lemah."
Sin Liong berbisik dan pemuda ini sudah menyambar sebatang kayu dahan pohon, mematahkannya dan membuat sebatang alat pemukul sebesar lengan.
"Kita hadapi mereka dengan saling melindungi," kembali Sin Liong berbisik.
Swat Hong adalah seorang dara yang keras hati dan tidak mengenal artinya takut akan tetapi melihat hasil tendangannya tadi, dia pun maklum bahwa rombongan orang kerdil ini tidak boleh di buat main-main, maka dia cukup cerdik untuk mentaati bisikan suhengnya dan mereka lalu berdiri tegak, memasang kuda-kuda dengan punggung saling membelakangi hampir bersentuhan.
Swat Hong memegang pedang dengan tangan kanan yang diangkat, sedangkan tangan kiri dengan jari-jari terbuka, miring di depan dada. Sin Liong pun memasang kuda-kuda yang sama, hanya bedanya, dia memegang alat pemukulnya dengan tangan kiri. Keduanya berdiri diam tak bergerak sama sekali, hanya mata mereka yang melirik ke kanan kiri mengikuti setiap gerak-gerik para pengurung mereka.
"Suheng, katakanlah. Mengapa engkau tidak mau menikah?"
Pertanyaan ini merupakan serangan tiba-tiba yang membuat Sin Liong bingung bagaimana untuk menjawabnya. Dia mengerutkan alisnya, mengosok-gosok dagunya sebelum menjawab, kemudian terpaksa menjawab juga karena sepasang mata bintang yang memandang tajam kepadanya itu sudah menanti jawaban dengan tidak sabar lagi.
"Aku tidak ingin menikah karena bagiku, pernikahan merupakan ikatan, sumoi. Aku ingin bebas, bebas lahir batin dan betapa mungkin aku dapat bebas kalau aku menikah, berkeluarga dan mempunyai anak isteri? Bagaimana aku dapat bebas kalau aku memiliki harta benda, kedudukan dan lain ikatan duniawi lagi?"
Swat Hong termangu-mangu, agaknya tertegun mendengar jawaban suhengnya. Sampai lama dia diam saja, kemudian tiba-tiba bertanya,
"Suheng, apakah engkau ingin menjadi pertapa?"
Sin Liong tersenyum dan menggeleng kepalanya.
"Seorang pertapa berarti mengikatkan diri dengan pertapaanya. Tidak, Sumoi. Aku ingin bebas dari segala-galanya."
"Suheng kita.... kita.... dahulu dijodohkan oleh Ayah, bukan?"
Sin Liong terkejut. Tak disangkanya bahwa Swat Hong akan menyinggung masalah ini. Dia hanya mengangguk sambil memandang wajah sumoinya penuh selidik. Apalagi yang akan dikemukakan sumoinya ini?
"Dahulu kita sudah bicara di perahu itu dan memutuskan bahwa orang hanya dapat mengikat jodoh jika saling mencinta. Suheng...., apakah.... apakah engkau tidak mencinta seorang wanita?"
Sin Liong cepat mengelengkan kepalanya.
"Aku tahu bahwa Soan Cu mencintamu, Suheng! Apakah engkau tidak mencintanya? Dia cantik jelita dan pandai...."
"Tidak, Sumoi, kalau yang kau maksudkan adalah cinta berahi."
"Akan tetapi Suheng menolongnya, membela dan melindunginya. Bukankah itu membuktikan bahwa Suheng mencintainya?"
"Memang aku mencintanya seperti aku mencinta orang lain, akan tetapi bukanlah cinta umum yang mendorong untuk menikah, kemudian setelah menikah berusaha memiliki isterinya lahir batin sehingga timbullah siksaan batin dan kesengsaraan, pertentangan bahkan mungkin cemburu dan kebencian. Tidak, aku tidak mencinta Soan Cu seperti yang kau maksudkan itu."
"Dan bagaimana dengan Siangkoan Hui? Dia manis sekali dan dia terang-terangan mengaku cintanya kepadamu, Suheng. Apakah engkau tidak ingin mengambilnya sebagai isteri?"
"Hemmmm, sama sekali tidak. Apalagi aku mendengar bahwa dia telah bertunangan dengan orang lain."
"Jadi tidak ada wanita yang kau pilih untuk menjadi isterimu, Suheng?"
Sin Liong menggelengkan kepala, hatinya tidak enak membicarakan soal ini.
"Tidak ada dara yang kau cinta?"
Sin Liong menggeleng lagi.
"Termasuk aku....?"
Sin Liong terkejut. Sungguh bingung dia memikirkan sumoinya ini. Ketika dia mengangkat muka memandang, dia melihat sumoinya juga sedang memandangnya dengan sikap aneh. Mata sumoinya yang biasanya tajam lebar dan amat indahnya itu kini agak terpejam, seperti mata mengantuk, sinar matanya sayu dan seperti orang mau menangis, bibirnya tersenyum tipis akan tetapi seperti orang menahan rasa nyeri, cuping hidungnya agak kembang kempis dan jelas tampak dadanya naik turun diburu pernapasan.
"Sumoi, kau tahu bahwa aku cinta kepadamu, aku mencintamu seperti seorang Sumoi, seperti seorang adik, seperti seorang sahabat dan aku rela untuk mempertaruhkan nyawa membela dan melindungimu, aku merasa sebagai pengganti ayah bundamu, aku akan merasa berbahagia, Sumoi, karena itu, percayalah bahwa aku tidak akan meninggalaknmu sebelum ...."
"Sudahlah..... sudahlah....! kita melanjutkan perjalanan, tugas kita masih belum selesai!"
Swat Hong sudah meloncat bangun dan berlari cepat mendaki puncak yang menjulang tinggi itu.
"Sumoi, perlahan dulu....! Hati-hatilah....!"
Sin Liong melompat dan terpaksa harus mengerahkan ilmunya untuk menyusul sumoinya yang lari seperti setan itu.
Karena agaknya Swat Hong berlari secara ngawur saja, asal cepat dan naik ke puncak, untuk melampiaskan kemendongkolan hatinya, maka mereka tersesat jalan, bukan menuju ke Rawa Bangkai yang berada di lereng timur, melainkan memasuki hutan lebat di lereng barat!
Mereka tidak tahu bahwa ada banyak pasang mata mengintai ketika mereka memasuki hutan itu dan tiba-tiba bermunculan banyak orang yang mengeluarkan bentakan-bentakan nyaring.
Sin Liong dan Swat Hong berdiri tegak memandang ke sekeliling dan Swat Hong membelalakkan matanya saking herannya. Mereka berdua telah dikurung oleh puluhan orang yang tubuhnya katai, pendek sekali.
Yang tertinggi diantara mereka hanyalah setinggi dada Swat Hong! Kalau saja tidak melihat muka orang-orang itu, tentu Swat Hong mengira bahwa mereka berdua dikurung oleh serombongan anak nakal. Akan tetapi wajah mereka yang penuh kumis pendek dan penuh keriput itu jelas adalah wajah orang-orang yang sudah dewasa, bahkan wajah laki-laki berusia kurang lebih empat puluh tahun!
Karena tubuh mereka yang kerdil itu amat pendek, mereka kelihatan kuat dan kokoh, wajah mereka keruh dan marah, mengandung kekejaman dan di tangan mereka tampak senjata yang bermacam-macam, senjata yang aneh-aneh tidak lumrah senjata umumnya.
Gerakan mereka ketika mengurung dan bergerak mengelilingi Swat Hong juga amat aneh, kadang-kadang tumit mereka diangkat, kadang-kadang mereka bergerak sambil berjongkok sehingga menjadi makin pendek seperti katak, kadang-kadang berloncatan!
"Kalian mau apa? Pergi....!!"
Swat Hong membentak dan mengirim tendangan berantai ke arah empat orang katai terdekat akan tetapi betapa heranya ketika melihat empat kali tendangannya yang beruntun itu mengenai angin kosong karena dengan gerakan yang aneh dan cekatan sekali, empat orang kerdil itu telah mampu mengelak, bahkan hampir saja ujung sepatu kiri Swat Hong terbabat sebatang pedang yang bentuknya seperti gergaji!
"Hati-hati, Sumoi. Mereka bukanlah lawan lemah."
Sin Liong berbisik dan pemuda ini sudah menyambar sebatang kayu dahan pohon, mematahkannya dan membuat sebatang alat pemukul sebesar lengan.
"Kita hadapi mereka dengan saling melindungi," kembali Sin Liong berbisik.
Swat Hong adalah seorang dara yang keras hati dan tidak mengenal artinya takut akan tetapi melihat hasil tendangannya tadi, dia pun maklum bahwa rombongan orang kerdil ini tidak boleh di buat main-main, maka dia cukup cerdik untuk mentaati bisikan suhengnya dan mereka lalu berdiri tegak, memasang kuda-kuda dengan punggung saling membelakangi hampir bersentuhan.
Swat Hong memegang pedang dengan tangan kanan yang diangkat, sedangkan tangan kiri dengan jari-jari terbuka, miring di depan dada. Sin Liong pun memasang kuda-kuda yang sama, hanya bedanya, dia memegang alat pemukulnya dengan tangan kiri. Keduanya berdiri diam tak bergerak sama sekali, hanya mata mereka yang melirik ke kanan kiri mengikuti setiap gerak-gerik para pengurung mereka.
"Harap Cuwi jangan salah paham," Sin Liong berseru nyaring, "Kami datang bukan untuk memusuhi Cuwi sekalian atau siapapun juga di tempat ini. Kami datang karena tersesat hendak mencari Rawa Bangkai. Kalau Cuwi dapat memberi tahu di mana adanya Rawa Bangkai, kami akan berterima kasih sekali."
Akan tetapi, orang-orang kerdil itu tetap saja bergerak maju mengelilingi mereka sambil berjingkrak dan membuat gerakan aneh-aneh. Dua orang muda mudi itu tetap berdiri tegak, sama sekali tidak bergerak namun semua urat syaraf di tubuh mereka menegang dalam persiapan.
Seorang di antara orang kerdil itu, sambil terus mengelilingi mereka berdua, bertanya,
"Mau apa kalian mencari Rawa Bangkai?"
Kini Swat Hong yang sudah hilang sabarnya itu menjawab dengan bentakan,
"Orang-orang kerdil menjemukan! Kami mencari seorang yang bernama The Kwat Lin!"
Mata orang-orang itu melotot namun mereka masih tetap mengelilingi dua orang muda itu dan orang yang memegang sebatang golok besar bercincin empat agaknya pemimpin mereka, yang mukanya berseri dan kumisnya kecil melintang, bertanya lagi,
"Mau apa mencari The Kwat Lin?"
"Mau kubunuh mampus!"
Jawaban Swat Hong ini seperti merupakan aba-aba saja karena mendengar ini mereka memekik aneh dan kedua orang itu terpaksa harus mengerahkan sinkang untuk melindungi jantung karena pekik-pekik aneh itu merupakan penyerangan luar biasa melalui suara yang disertai khikang. Tentu saja dua orang muda yang memiliki kesaktian hebat dari Pulau Es itu tidak dapat begitu mudah dikalahkan hanya dengan pekik-pekik itu.
Melihat betapa dua orang muda itu sama sekali tidak terpengaruh, tiba-tiba Si pemegang golok bercincin berteriak dan mulailah tiga puluh enam orang kerdil itu menyerang dengan cara aneh, yaitu sambil lari mereka menyerang, tampaknya sambil lalu saja akan tetapi karena banyak senjata yang menyerang, tentu saja amat berbahaya. Sin Liong menggerakkan tongkat pendek melindungi diri, sedangkan Swat Hong juga menangkis dengan pedangnya sambil mengerahkan tenaga sinkangnya.
"Trang-trang-cringggg...!!"
Bunyi senjata tajam bertemu dan terdengar pekik kaget dari beberapa orang kerdil karena senjata mereka yang tertangkis oleh tongkat pendek dan pedang itu membalik, bahkan ada empat orang yang terpaksa melepaskan senjata dari pegangan tangan mereka yang terasa tergetar hebat dan panas itu.
Orang-orang kerdil itu ternyata cerdik sekali. Pertemuan senjata satu kali itu saja cukup membuat mereka maklum bahwa dua orang muda yang mereka keroyok itu memiliki kekuatan sinkang yang hebat, jauh melebihi mereka maka mereka lalu mengurung dan menyerang bertubi-tubi, bergantian tanpa mau mengadu senjata lagi. Setiap senjata mereka ditangkis, mereka menarik kembali senjata itu dan sudah ada temannya yang melanjutkan serangan dari arah lain.
"Suheng, biar kubasmi setan-setan pendek ini!"
Swat Hong menjadi tidak sabar dengan cara suhengnya mempertahankan dan melindungi diri saja itu yang dianggapnya terlalu mengalah dan terlalu "memberi hati" kepada para pengeroyok yang menjemukan hatinya itu.
Sebelum Sin Liong menjawab, Swat Hong sudah meloncat ke depan mengeluarkan suara melengking yang tinggi dan dahsyat, pedangnya berkelebatan dan disusul dorongan tangan kiri yang mengandung tenaga Inti Salju, maka terdengarlah pekik berturut-turut dan robohlah lima orang kerdil, yang dua orang terkena sambaran pedang, yang tiga lagi roboh oleh dorongan tangan kiri dan terjangan kaki Swat Hong!
Akan tetapi, orang-orang kerdil itu tetap saja bergerak maju mengelilingi mereka sambil berjingkrak dan membuat gerakan aneh-aneh. Dua orang muda mudi itu tetap berdiri tegak, sama sekali tidak bergerak namun semua urat syaraf di tubuh mereka menegang dalam persiapan.
Seorang di antara orang kerdil itu, sambil terus mengelilingi mereka berdua, bertanya,
"Mau apa kalian mencari Rawa Bangkai?"
Kini Swat Hong yang sudah hilang sabarnya itu menjawab dengan bentakan,
"Orang-orang kerdil menjemukan! Kami mencari seorang yang bernama The Kwat Lin!"
Mata orang-orang itu melotot namun mereka masih tetap mengelilingi dua orang muda itu dan orang yang memegang sebatang golok besar bercincin empat agaknya pemimpin mereka, yang mukanya berseri dan kumisnya kecil melintang, bertanya lagi,
"Mau apa mencari The Kwat Lin?"
"Mau kubunuh mampus!"
Jawaban Swat Hong ini seperti merupakan aba-aba saja karena mendengar ini mereka memekik aneh dan kedua orang itu terpaksa harus mengerahkan sinkang untuk melindungi jantung karena pekik-pekik aneh itu merupakan penyerangan luar biasa melalui suara yang disertai khikang. Tentu saja dua orang muda yang memiliki kesaktian hebat dari Pulau Es itu tidak dapat begitu mudah dikalahkan hanya dengan pekik-pekik itu.
Melihat betapa dua orang muda itu sama sekali tidak terpengaruh, tiba-tiba Si pemegang golok bercincin berteriak dan mulailah tiga puluh enam orang kerdil itu menyerang dengan cara aneh, yaitu sambil lari mereka menyerang, tampaknya sambil lalu saja akan tetapi karena banyak senjata yang menyerang, tentu saja amat berbahaya. Sin Liong menggerakkan tongkat pendek melindungi diri, sedangkan Swat Hong juga menangkis dengan pedangnya sambil mengerahkan tenaga sinkangnya.
"Trang-trang-cringggg...!!"
Bunyi senjata tajam bertemu dan terdengar pekik kaget dari beberapa orang kerdil karena senjata mereka yang tertangkis oleh tongkat pendek dan pedang itu membalik, bahkan ada empat orang yang terpaksa melepaskan senjata dari pegangan tangan mereka yang terasa tergetar hebat dan panas itu.
Orang-orang kerdil itu ternyata cerdik sekali. Pertemuan senjata satu kali itu saja cukup membuat mereka maklum bahwa dua orang muda yang mereka keroyok itu memiliki kekuatan sinkang yang hebat, jauh melebihi mereka maka mereka lalu mengurung dan menyerang bertubi-tubi, bergantian tanpa mau mengadu senjata lagi. Setiap senjata mereka ditangkis, mereka menarik kembali senjata itu dan sudah ada temannya yang melanjutkan serangan dari arah lain.
"Suheng, biar kubasmi setan-setan pendek ini!"
Swat Hong menjadi tidak sabar dengan cara suhengnya mempertahankan dan melindungi diri saja itu yang dianggapnya terlalu mengalah dan terlalu "memberi hati" kepada para pengeroyok yang menjemukan hatinya itu.
Sebelum Sin Liong menjawab, Swat Hong sudah meloncat ke depan mengeluarkan suara melengking yang tinggi dan dahsyat, pedangnya berkelebatan dan disusul dorongan tangan kiri yang mengandung tenaga Inti Salju, maka terdengarlah pekik berturut-turut dan robohlah lima orang kerdil, yang dua orang terkena sambaran pedang, yang tiga lagi roboh oleh dorongan tangan kiri dan terjangan kaki Swat Hong!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar