FB

FB


Ads

Kamis, 07 Februari 2019

Bukek Siansu Jilid 082

“Dia adalah seorang datuk kaum sesat, sorang wanita yang tinggi ilmunya dan telah bersekutu dengan The Kwat Lin untuk membantu pemberontak. Kiam-mo Cai-li tinggal di Rawa bangkai, di kaki Pegunungan Lu-liang-san, tidak begitu jauh dari sini."

"Suheng, tunggu apa lagi? Mari kita cepat pergi ke Lu-liang-san!" Swat Hong dengan penuh semangat sudah bangkit berdiri.

Sin Liong terpaksa juga bangkit berdiri, akan tetapi Ketua Bu-tong-pai itu berkata,
"Harap Ji-wi berhati-hati. Rawa Bangkai merupakan daerah yang sangat berbahaya dan selain dua wanita itu amat sakti, juga Kiam-mo Cai-li mempunyai banyak anak buah. Bahkan kaki tangan The Kwat Lin yang tadinya berada di sini sekarang pun ikut pergi bersamanya."

"Terima kasih atas peringatan Locian-pwe," kata Sin Liong sambil memberi hormat dan karena dia pun merasa amat tidak enak telah menggangu orang-orang tua di Bu-tong-pai ini, dia cepat mengajak sumoinya pergi dari situ.

Setelah berpamit, sekali berkelebat saja dua orang muda itu lenyap. Kui Tek Tojin menghela napas dan mengelus jenggotnya,

"Siancai..... dua orang muda yang amat luar biasa. Pinto yakin bahwa mereka tentulah orang-orang dari Pulau Es juga. Gerakan mereka aneh seperti gerakan Kwat Lin, akan tetapi kalau Pulau Es telah membuat Kwat Lin menjadi seperti iblis, dua orang muda itu seperti dewa!"

"Suheng, bukankah di lereng puncak yang sana itu tempatnya?"

"Kalau tidak salah memang di sana, Sumoi. Akan tetapi sekali ini kita melakukan pekerjaan yang amat berbahaya, maka kuharap Sumoi suka bersikap tenang dan sabar, tidak tergesa-gesa."

Swat Hong mengangguk, mengeluarkan saputangan sutera dan menghapus keringat dari leher dan dahinya. Mukanya kemerahan, pipinya seperti buah tomat masak, matanya bersinar-sinar penuh semangat, rambutnya agak kusut dan anak rambut di dahinya basah oleh keringat.

Sin Liong memandang sumoinya dan diam-diam dia menaruh hati iba kepada sumoinya. Seorang dara muda seperti sumoinya sudah harus mengalami hidup merantau dan sengsara seperti ini! Padahal, seorang dara muda seperti sumoinya itu sepatutnya berada di dalam rumah bersama keluarga, hidup aman tenteram dan penuh kegembiraan, bermain-main di dalam taman bunga yang indah, bersedau-gurau, tertawa, bernyanyi, membaca sajak, atau jari-jari tangan yang kecil meruncing itu menggerakan alat-alat menyulam. Tidak seperti sekarang ini, setiap saat menghadapi bahaya, selalu bermain dengan pedang dan maut! Dia menarik napas panjang.

Mereka berdua duduk di bawah pohon yang tinggi besar, meneduh di dalam bayangan pohon. Hari itu amat panasnya dan mereka telah melakukan perjalanan jauh sejak pagi tadi seharian itu.

"Suheng...."

Sesuatu dalam suara dara itu membuat Sin Liong cepat menengok dan dia melihat wajah yang cantik itu menunduk. Aneh sekali! Ada apa lagi gadis ini bersikap seperti orang malu?

"Ada apakah, Sumoi?"

Swat Hong mencabut sebatang rumput, mempermainkannya dengan jari-jari tangannya, kemudia dalam keadaan tidak sadar meremas rumput itu sampai hancur di tangannya.

"Suheng, setelah selesai tugas kita memenuhi pesan terakhir Ayah, lalu bagaimana?"

Tersentuh hati Sin Liong. Baru saja dia membayangkan nasib dara itu dan sekarang agaknya Swat Hong juga membayangkan masa depanya.

"Kalau kita sudah berhasil memenuhi pesan Suhu, kita akan mengembalikan pusaka-pusaka itu ke Pulau Es."

"Hemm, kemudian?”

Swat Hong masih tetap menunduk dan kini dia bahkan telah mencabut lagi sebatang rumput dan dimasukkan ke dalam mulutnya yang kecil dan rumput itu digigit-gigitnya.

"Kemudian? Aku akan membantumu mencari ibu sampai dapat, Sumoi. Akan kita jelajahi seluruh pulau-pulau di sekitar Pulau Es, dan kalau tidak berhasil, kita akan mendarat lagi di daratan besar dan mencari sampai ketemu. Sebelum bertemu dengan ibumu, aku tidak akan berhenti mencari."






Lama tiada kata-kata keluar dari mulut yang menggigit-gigit rumput itu. Akhirnya Swat Hong bertanya juga,

"Kalau sudah bertemu dengan ibu?"

"Kalau sudah ketemu?" Sin Liong mengulang pertanyaan itu dengan heran, karena hal itu anehlah kalau ditanyakan."Tentu saja engkau hidup bersama ibumu......"

"Dan kau?"

"Aku? Aku.... aku agaknya akan pergi merantau karena tidak ada apa-apa lagi yang mengikatku, tidak ada tugas. Aku bebas seperti burung di udara terbang ke mana pun angin membawaku."

Kembali suasana hening, bahkan kini Sin Liong terpengaruh oleh pertanyaan itu dan merenung seolah sudah merasakan betapa nikmatnya bebas terbang di udara tanpa beban tugas sedikit pun.

"Suheng...."

"Hemmm.....?"

"Kalau bertemu dengan ibu engkau akan meninggalkan kami?"

"Sudah kukatakan begitu, bukankah kau sudah aman kalau berada di samping Ibumu?"

"Bagaimana kalau..... kalau kita gagal mencari ibu? Bagaimana kalau sampai tidak bertemu? Bagaimana pula andaikata Ibu....ibu sudah meninggal?"

Sin Liong terkejut. Hal ini sama sekali tidak pernah terbayangkan dan di hadapkan dengan kemungkinan kenyataan ini dia terkejut dan bingung, sejenak tidak mampu menjawab. Dia berfikir kemudian menjawab tanpa keraguan sedikitpun juga,

"Kalau begitu, tentu saja aku tidak akan meninggalkanmu, Sumoi."

"Kita tinggal di mana?"

"Di mana saja sesukamu."

"Kita berkumpul?"

"Ya."

"Sampai kapan?" Kembali Sin Liong termangu-mangu dan tak dapat menjawab. Swat Hong bekata lagi. "Kalau demikian, aku jadi merepotkanmu, Suheng. Aku merampas kebebasan yang kau idam-idamkan tadi."

"Ah, tidak! Tidak sama sekali! Di dalam kebebasan seorang diri di dunia itu memang terdapat kenikmatan, akan tetapi di dalam melakukan sesuatu untuk orang, terutama untukmu, juga terdapat kenikmatan besar."

"Engkau menjadi seperti seekor burung yang terikat kakimu dengan kakiku, Suheng."

"Tidak, tidak begitu! Kita seperti dua ekor burung bebas yang melakukan penerbangan bersama!"

"Untuk selamanya, Suheng?"

Kembali Sin Liong termangu-mangu.
"Aihh, tentu saja tidak. Engkau harus menikah, dan aku akan menjadi wakil orang tuamu, aku yang akan meneliti, memilihkan calon suami, sampai engkau berhasil menjadi isteri seorang laki-laki yang patut menjadi suamimu."

"Tidak sudi!!"

Tiba-tiba Swat Hong bangkit berdiri, menjauh dan membelakangi Sin Liong. Tak terasa lagi rumput di mulutnya sudah dikunyah-kunyah!

Sin Liong terbelalak memandang tubuh belakang sumoinya. Dia benar-benar terkejut dan heran sekali mengapa sumoinya memdadak marah seperti itu, padahal dia bicara dengan setulus hatinya, menyatakan keinginannya yang baik terhadap sumoinya yang akan dibelanya itu.

"Sumoi....!" dia memanggil dan gadis itu membalikan tubuh.

Untuk kedua kalinya Sin Liong terbelalak. Sumoinya itu, biarpun tidak sesenggukan, telah menangis. Sepasang pipinya basah air mata dan masih ada butiran air mata yang bergerak menurun dari pelupuk matanya.

"Suheng, engkau.... engkau kejam....!"

Dan sekarang Swat Hong menangis betul-betul, sesenggukan dan menjatuhkan dirinya ke atas rumput, menutupi muka dengan kedua tangan, membiarkan air matanya membanjir keluar dari celah-celah jari tangannya.

Sin Liong mengerutkan alisnya, lalu menggeleng kepala.
"Kejam....?"

Dia seperti hendak bertanya kepada bayangan sendiri, mengapa dia yang akan membela gadis itu bahkan dimaki kejam.

Swat Hong memeras air matanya, menghapus muka dengan saputangan, kemudian mengangkat mukanya memandang.

"Suheng, kau memang kejam. Kau mau enakmu sendiri saja! Kau hendak membiarkan aku sengsara, meninggalkan aku kepada orang lain agar dapat bebas merantau seorang diri. Padahal engkau pun tahu bahwa aku tidak punya siapa-siapa lagi, aku hanya mempunyai engkau seperti engkau mempunyai aku. Akan tetapi.....uh-uh-uh.... kau ingin sekali mencampakkan aku agar dapat bebas. Kalau begitu, tinggalkan saja aku sekarang.....!"

"Eh-eh, Sumoi...., bagaimana pula ini? Siapa yang akan memberikanmu kepada orang lain? Tentang pernikahan itu..... tentu saja kalau engkau sudah bertemu dengan jodohmu, dengan seorang pria yang kau cinta. Aku berniat baik, sama sekali tidak ada keinginan hatiku untuk meninggalkanmu, sampai engkau berhasil memperoleh pilihan hatimu. Kalau engkau sudah menikah, apa kau kira aku harus menungguimu saja?"

"Tidak! Aku tidak akan menikah kalau hanya agar kau dapat bebas! Aku akan hanya menikah kalau engkau sudah menikah lebih dulu!" Kini Swat Hong bicara penuh semangat, seolah-olah dia merasa penasaran.

Sin Liong membelalakkan matanya memandang.
"Eh? Mengapa begitu? Aku... aku selamanya tidak akan menikah, Sumoi!"

Swat Hong menampar tanah.
"Tass!!" lalu memandang dengan muka merah kepada suhengnya, disambung kata-kata nyaring, "Aku pun tidak akan menikah!"

"Wah, mana bisa? Aku seorang pria, Sumoi. Tidak menikah selamanya pun tidak apa-apa, akan tetapi engkau seorang wanita...."

"Apa bedanya? Kalau pria bisa tidak menikah selamanya, apakah wanita tidak bisa? Pendeknya, aku tidak akan menikah sebelum engkau menikah, Suheng!"

Sin Liog menarik napas panjang dan duduk bersandar pohon, tidak menjawab lagi. Gadis ini sedang marah, tidak baik kalau dilayani, pikirnya. Dia yakin bahwa ucapan sumoinya itu hanyalah terdorong oleh kemarahan. Kalau kelak sumoinya bertemu dengan seorang pemuda yang baik dan mereka saling mencinta, tentu pendirian sumoinya tentang pernikahan tidak seperti sekarang. Dia tidak mungkin dapat membayangkan seorang dara seperti sumoinya, cantik jelita, keturunan raja, pandai dan sukar dicari keduanya, sampai menjadi perawan tua atau bahkan tidak menikah sama sekali. Ngeri dia memikirkan ini!

Melihat sampai lama suhengnya hanya duduk termenung, agaknya Swat Hong mulai menyesali sikapnya. Air matanya sudah kering, sisanya dihapus dengan saputangan dan dia pindah duduk dekat suhengnya. Mereka berhadapan, akan tetapi Sin Liong pura-pura tidak memperhatikan ulah sumoinya.

"Suheng...."

"Hemmm....?"

"Kau marah kepadaku?"

Mau tidak mau Sin Liong tersenyum dan memandang wajah itu. Pada saat seperti itu, terasa benar olehnya betapa dia amat sayang kepada Swat Hong, sayang dan kasihan.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar