Dengan mudah mereka dapat menemukan Kao Cin Liong. Kiranya panglima muda ini masih menduduki pangkatnya di kota raja sebagai seorang jenderal muda. Ketika Kao Cin Liong menghadap kaisar untuk meletakkan jabatannya agar dia dapat mencurahkan semua tenaganya untuk membantu tunangannya mencari musuh besar mereka, kaisar menyatakan keberatan! Dan ketika Kao Kok Cu, ayah pemuda itu mendengar akan hal ini, diapun memarahi puteranya dan menyatakan tidak setuju pula.
“Cin Liong, lupakah engkau akan ceritaku tentang kakekmu? Kakekmu adalah seorang panglima besar yang amat setia dan berjiwa pahlawan. Dan sejak dahulu, keluarga Kao adalah keturunan para panglima yang gagah perkasa. Sayang bahwa aku sendiri tidak memperoleh kesempatan untuk melanjutkan kepahlawanan nenek moyang kita. Akan tetapi engkau yang masih muda, mempunyai kesempatan cukup dan engkau bahkan berhasil menjadi jenderal yang banyak jasanya. Bagaimana sekarang hendak mengundurkan diri dalam usia muda hanya karena urusan wanita?”
“Akan tetapi, ayah, demi cintaku terhadap Suma Hui, aku rela melepaskan apapun juga. Ia menderita aib, siapa lagi kalau bukan aku yang mengangkatnya dan mencuci nama baiknya dengan mencari dan membunuh jahanam yang telah mencemarkan kehormatannya, juga mencemarkan namaku karena dia mempergunakan namaku dan melakukan fitnah?”
“Benar, akan tetapi engkau harus berpikir panjang. Ingat, keluarga Suma adalah keluarga besar dan gagah. Karena lengah dan lalai, mereka terjebak dan mengalami aib. Biarlah mereka itu mempertanggung jawabkan sendiri kelalaian mereka dan menghukum sendiri jahanam itu. Engkau hanya membantu saja. Kalau engkau yang turun tangan membalas, apakah hal itu tidak bahkan menyinggung harga diri keluarga Suma?”
Bujukan ayahnya dan larangan kaisar akhirnya membuat Cin Liong mengalah dan itulah sebabnya, ketika Suma Hui dan Ciang Bun mencarinya, kakak beradik ini mendapatkan Cin Liong di gedungnya, masih menjadi seorang jenderal muda yang disegani.
Dapat dibayangkan betapa girang dan terharu hati Jenderal Muda Kao Cin Liong ketika dia keluar menyambut tamu dan melihat bahwa tamunya adalah Suma Hui dan Ciang Bun bersama seorang pemuda asing. Melihat kekasihnya yang selama ini amat dirindukannya, ingin Cin Liong merangkulnya. Akan tetapi tentu saja di depan banyak orang dia tidak dapat melakukan hal ini dan dia hanya membalas penghormatan para tamu itu dengan menjura.
“Liong-ko....!”
Kata Suma Hui lirih. Biarpun ia masih terhitung bibi dari kekasihnya itu, akan tetapi karena dapat dibilang secara resmi telah mendapatkan restu dari orang tua dan mereka adalah tunangan, maka tanpa ragu lagi ia kini menyebut koko kepada pemuda itu.
“Hui-moi, kau baik-baik saja, bukan?” Cin Liong juga menyapa dengan halus.
Hanya itulah yang dapat mereka sampaikan melalui mulut di depan orang banyak, akan tetapi dua pasang mata itu saling bertemu, bertaut dengan sinar penuh kasih sayang dan bicara banyak sekali. Keharuan membuat sepasang mata Suma Hui agak basah.
“Bun-te, engkau kelihatan semakin gagah saja!” Cin Liong menegur pemuda yang dahulu disebutnya paman itu. “Dan siapakah saudara ini?”
“Saya adalah sahabat saudara Suma Ciang Bun, nama saya Ganggananda.” kata Gangga memperkenalkan diri sambil memberi hormat.
“Ahh, saudara dari Nepal?”
“Bukan, dari Bhutan.” jawab Gangga singkat dan matanya menatap tajam wajah jenderal muda itu.
Hatinya juga terharu karena ia sudah mendengar penuturan ibunya bahwa ibunya mempunyai seorang saudara angkat yang amat disayangnya, dan saudara angkat ibunya itu adalah ibu dari jenderal ini! Bukan hanya di situ saja hubungannya dengan jenderal gagah perkasa ini, melainkan lebih dekat lagi. Ada hubungan saudara antara ayah kandungnya dengan ibu jenderal ini karena mereka itu masih saudara tiri, seayah berlainan ibu.
“Cin Liong, lupakah engkau akan ceritaku tentang kakekmu? Kakekmu adalah seorang panglima besar yang amat setia dan berjiwa pahlawan. Dan sejak dahulu, keluarga Kao adalah keturunan para panglima yang gagah perkasa. Sayang bahwa aku sendiri tidak memperoleh kesempatan untuk melanjutkan kepahlawanan nenek moyang kita. Akan tetapi engkau yang masih muda, mempunyai kesempatan cukup dan engkau bahkan berhasil menjadi jenderal yang banyak jasanya. Bagaimana sekarang hendak mengundurkan diri dalam usia muda hanya karena urusan wanita?”
“Akan tetapi, ayah, demi cintaku terhadap Suma Hui, aku rela melepaskan apapun juga. Ia menderita aib, siapa lagi kalau bukan aku yang mengangkatnya dan mencuci nama baiknya dengan mencari dan membunuh jahanam yang telah mencemarkan kehormatannya, juga mencemarkan namaku karena dia mempergunakan namaku dan melakukan fitnah?”
“Benar, akan tetapi engkau harus berpikir panjang. Ingat, keluarga Suma adalah keluarga besar dan gagah. Karena lengah dan lalai, mereka terjebak dan mengalami aib. Biarlah mereka itu mempertanggung jawabkan sendiri kelalaian mereka dan menghukum sendiri jahanam itu. Engkau hanya membantu saja. Kalau engkau yang turun tangan membalas, apakah hal itu tidak bahkan menyinggung harga diri keluarga Suma?”
Bujukan ayahnya dan larangan kaisar akhirnya membuat Cin Liong mengalah dan itulah sebabnya, ketika Suma Hui dan Ciang Bun mencarinya, kakak beradik ini mendapatkan Cin Liong di gedungnya, masih menjadi seorang jenderal muda yang disegani.
Dapat dibayangkan betapa girang dan terharu hati Jenderal Muda Kao Cin Liong ketika dia keluar menyambut tamu dan melihat bahwa tamunya adalah Suma Hui dan Ciang Bun bersama seorang pemuda asing. Melihat kekasihnya yang selama ini amat dirindukannya, ingin Cin Liong merangkulnya. Akan tetapi tentu saja di depan banyak orang dia tidak dapat melakukan hal ini dan dia hanya membalas penghormatan para tamu itu dengan menjura.
“Liong-ko....!”
Kata Suma Hui lirih. Biarpun ia masih terhitung bibi dari kekasihnya itu, akan tetapi karena dapat dibilang secara resmi telah mendapatkan restu dari orang tua dan mereka adalah tunangan, maka tanpa ragu lagi ia kini menyebut koko kepada pemuda itu.
“Hui-moi, kau baik-baik saja, bukan?” Cin Liong juga menyapa dengan halus.
Hanya itulah yang dapat mereka sampaikan melalui mulut di depan orang banyak, akan tetapi dua pasang mata itu saling bertemu, bertaut dengan sinar penuh kasih sayang dan bicara banyak sekali. Keharuan membuat sepasang mata Suma Hui agak basah.
“Bun-te, engkau kelihatan semakin gagah saja!” Cin Liong menegur pemuda yang dahulu disebutnya paman itu. “Dan siapakah saudara ini?”
“Saya adalah sahabat saudara Suma Ciang Bun, nama saya Ganggananda.” kata Gangga memperkenalkan diri sambil memberi hormat.
“Ahh, saudara dari Nepal?”
“Bukan, dari Bhutan.” jawab Gangga singkat dan matanya menatap tajam wajah jenderal muda itu.
Hatinya juga terharu karena ia sudah mendengar penuturan ibunya bahwa ibunya mempunyai seorang saudara angkat yang amat disayangnya, dan saudara angkat ibunya itu adalah ibu dari jenderal ini! Bukan hanya di situ saja hubungannya dengan jenderal gagah perkasa ini, melainkan lebih dekat lagi. Ada hubungan saudara antara ayah kandungnya dengan ibu jenderal ini karena mereka itu masih saudara tiri, seayah berlainan ibu.
Ayahnya she Wan, dan ibu jenderal ini juga she Wan. Akan tetapi, ia diam saja dan tidak membuka rahasia itu. Ia sudah memesan kepada Suma Hui, satu-satunya orang yang sampai kini sudah tahu akan rahasianya, agar tidak membuka rahasia itu kepada siapapun juga, tidak pula kepada Ciang Bun atau kepada jenderal Kao Cin Liong yang masih ada pertalian keluarga dekat, karena satu kakek dengannya. Dan demi penyamaran Gangga, demi kepentingan adiknya, Suma Hui memegang janji itu dan tidak bicara tentang Gangga.
“Silahkan masuk, kita bicara di dalam. Kebetulan sekali ayah berada di sini, baru pagi tadi ayah dan ibu datang mengunjungiku.”
Mendengar bahwa ayah bunda kekasihnya berada di situ, wajah Suma Hui berubah merah. Ia merasa malu sekali teringat akan sikapnya dahulu terhadap mereka, maka tentu saja kini ia merasa canggung, malu dan takut. Melihat sikap kekasihnya, Cin Liong maklum. Tanpa malu-malu lagi terhadap Ciang Bun dan Ganggananda, diapun lalu menggandeng tangan gadis itu dan ditariknya, diajak ke dalam, diikuti oleh Ciang Bun dan Ganggananda.
Mereka menunggu di ruangan dalam. Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir Kao Kok Cu dan isterinya. Biarpun usia mereka sudah lanjut, si pendekar enam puluh tahun lebih dan isterinya, Wan Ceng sudah lima puluh tujuh tahun, akan tetapi keduanya masih nampak sehat dan gagah.
Karena maklum apa yang dirasakan kekasihnya dan ingin menolong kekasihnya mengurangi perasaan tidak enak itu, begitu tiba di depan ayah bundanya, Cin Liong menarik tangan Suma Hui dan diajaknya menjatuhkan diri berlutut, sedangkan Ciang Bun dan Ganggananda memberi hormat dengan menjura.
“Ayah, ibu, terimalah hormat kami, putera dan mantu ayah ibu.” kata Cin Liong.
Melihat wajah gadis yang menunduk itu, wajah yang membayangkan kecantikan, kegagahan dan kekerasan hati, yang menunduk dengan bayangan kesedihan, hati Wan Ceng menjadi lunak. Teringatlah ia akan pengalamannya sendiri ketika ia masih gadis. Iapun dahulu pernah menjadi korban perkosaan orang yang menghancurkan hidup dan kebahagiaannya, membuat selalu ingin mencari dan membunuh pemerkosanya itu.
Kini Suma Hui mengalami nasib yang sama. Hanya bedanya, kalau ia bahkan bertemu jodohnya dengan pemerkosanya yang bukan lain adalah suaminya yang sekarang, yang melakukan hal itu di luar kesadarannya (baca kisah Jodoh Sepasang Rajawali ), sebaliknya Suma Hui menjadi korban kekejian seorang laki-laki yang amat jahat. Laki-laki yang memperkosanya dengan menyamar sebagai Cin Liong! Dan penjahat itu sedemikian pandainya memikat hati keluarga Suma sehingga selain diterima menjadi murid, juga menjadi mantu!
Semua telah didengarnya dari Cin Liong dan kini melihat gadis itu menghadapnya, Wan Ceng melupakan semua kesalah fahaman antara keluarganya dan keluarga gadis itu. Iapun turun dari kursinya, membungkuk menghampiri Suma Hui dan merangkulnya.
“Suma Hui, engkau adalah calon mantu kami yang baik.”
Dan iapun menarik bangun gadis itu, menuntunnya dan mengajaknya duduk di kursi. Mereka semua duduk di kursi menghadap meja besar dan sikap Wan Ceng ini ternyata telah melenyapkan perasaan canggung, malu dan tidak enak dari hati Suma Hui. Ketika ditanya, Suma Ciang Bun dan Ganggananda memperkenalkan diri. Suami isteri perkasa itu merasa girang dan bersikap amat manis.
Diam-diam Gangga Dewi terharu sekali karena ia mengerti bahwa wanita yang rambutnya sudah bercampur uban itu, yang demikian cantik dan gagah perkasa, adalah bibinya sendiri! Nyonya itu adalah saudara seayah berlainan ibu dengan ayahnya. Akan tetapi, demi menjaga perjanjian rahasianya dengan Suma Hui untuk menolong Ciang Bun, ia diam saja dan hanya duduk sebagai penanton dan pendengar.
Dalam pertemuan kekeluargaan ini, Kao Kok Cu dan Wan Ceng terang-terangan menyatakan keinginan hati mereka kepada Suma Hui agar pernikahan antara Suma Hui dan Cin Liong dapat dilaksanakan dengan secepatnya.
“Saatnya sudah lebih dari matang.” antara lain pendekar berlengan satu itu berkata. “Hendaknya kalian berdua ingat bahwa aku dan ibumu sudah tidak muda lagi. Kukira demikian pula dengan ayah bunda Suma Hui, tentu seperti juga kami, mereka sudah ingin sekali menimang cucu. Itu alasan pertama. Ke dua, tahun ini Cin Liong sudah berusia kurang lebih tiga puluh enam tahun dan kami kira Suma Hui juga bukan seorang gadis remaja lagi. Karena cintanya dan setianya kepadamu, Suma Hui, putera kami itu sampai kini sama sekali tidak mau mendekati wanita lain, tidak menikah, bahkan memiliki seorang selirpun tidak sehingga kawan-kawannya suka menggodanya dan mengatakan bahwa dia banci.”
Hanya Suma Hui, Ganggananda dan tentu saja Ciang Bun sendiri yang merasakan kata “banci” ini sebagai sindiran terhadap diri Ciang Bun.
“Akan tetapi.... saya.... saya telah bertekad untuk mencari dan membunuh musuh besar saya.”
“Kami semua juga mengerti akan perasaanmu itu, anak Hui.” kata Wan Ceng sambil menyentuh kepala gadis itu yang duduk di sebelahnya. “Menentang dan membasmi manusia-manusia iblis macam Louw Tek Ciang itu merupakan tugas setiap orang gagah, bukan? Tidak perduli urusan pribadi, akan tetapi perbuatannya itu cukup membuat kita semua memusuhinya. Akan tetapi, urusan dendam itu dapat dilakukan setelah menikah. Suamimu tentu akan membantumu, dan kami juga.”
“Jangan khawatir, Suma Hui,” sambung Kao Kok Cu, “Suamimu terikat tugas dan kiranya hanya mempunyai sedikit waktu untuk urusan pribadi. Akan tetapi, kalau kalian sudah menikah, aku sendiri yang akan turun tangan menyeret iblis itu ke depan kakimu!”
“Tapi.... iblis itu harus mampus di tangan saya sendiri!” Suma Hui berkata penuh geram.
Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir menarik napas panjang.
“Baiklah, terserah kepadamu, akan tetapi kami sungguh mengharapkan engkau akan dapat mempertimbangkan dengan baik untuk segera menikah dengan tunanganmu.”
Suma Hui termenung. Ia memang merasa terharu dan kasihan kepada kekasihnya yang begitu setia dan mencintanya, padahal ia sudah bukan seorang perawan lagi. Jarang di dunia ini terdapat seorang pria seperti Cin Liong dan kalau sekarang ia menolak lagi, berarti dia yang keterlaluan dan tidak mengenal budi orang. Akhirnya ia menyetujui.
Bukan main girangnya hati Wan Ceng. Ia melompat dan merangkul calon mantunya, menciumnya dengan kedua mata basah. Keluarga itu lalu menahan Suma Hui, Ciang Bun dan juga Ganggananda yang dianggap sebagai tamu, untuk bermalam di gedung besar jenderal Kao Cin Liong dan utusan lalu dikirimkan ke Thian-cin untuk memberi kabar kepada keluarga Suma tentang akan dilangsungkannya pernikahan itu.
Menurut usul keluarga Kao, pernikahan itu diadakan di kota raja dan di rumah keluarga Suma tidak diadakan pernikahan lagi karena Suma Hui pernah dinikahkan di situ dengan Louw Tek Ciang tiga tahun yang lalu. Untuk keperluan itu, keluarga Suma diundang untuk datang ke kota raja agar dapat bersama-sama merayakan pernikahan yang sudah lama ditunggu-tunggu itu.
Akan tetapi Ganggananda hanya tinggal di situ semalam saja. Malam itu, setelah berkesempatan bertemu dan bicara berdua saja dengan Suma Hui, gadis itu menganjurkan kepadanya agar segera mulai dengan usahanya menolong dan menyelamatkan Ciang Bun seperti yang sudah mereka rencanakan sebelumnya.
Rencana itu adalah pertama-tama meninggalkan Ciang Bun agar pemuda itu merasa kehilangan dan menderita rindu. Maka pada keesokan harinya, secara tiba-tiba saja Ganggananda berpamit dari keluarga Kao untuk melanjutkan perjalanannya. Karena hal itu ia lakukan pagi-pagi sekali, yang mengetahui kepergiannya hanyalah Suma Hui dan suami isteri Kao Kok Cu, sedangkan Cin Liong dan Ciang Bun masih berada di dalam kamarnya.
Dapat dibayangkan betapa kaget rasa hati Ciang Bun ketika dia keluar dari kamarnya, dia tidak mendapatkan lagi Ganggananda yang sudah pergi. Apalagi ketika dia mendengar dari encinya bahwa pemuda Bhutan itu memang benar-benar sudah pergi dari rumah itu.
“Ah, kenapa dia tidak pamit kepadaku? Kenapa dia pergi begitu saja....?”
Ciang Bun mengeluh dengan muka berobah pucat, nampaknya dia terpukul sekali. Diam-diam Suma Hui merasa kasihan kepada adiknya, akan tetapi ini merupakan siasatnya bersama Gangga Dewi untuk menolong Ciang Bun.
“Adikku, Gangga adalah seorang perantau yang hidup menyendiri. Kemudian dia menemukan engkau sebagai seorang sahabat yang amat baik. Ketika dia kita ajak ke sini dan melihat pertemuan antara kita dengan keluarga Kao, baru dia merasa bahwa dia adalah orang luar, maka dia merasa tidak enak dan tidak betah tinggal lebih lama di sini, merasa tidak berhak. Karena itulah maka sepagi ini dia pergi tanpa dapat kucegah.”
“Ahh.... kasihan Gangga. Kenapa begitu? Setidaknya dia dapat menunggu aku dan bicara denganku. Ke mana dia pergi, enci? Ke mana aku akan dapat mencarinya?”
“Ke mana lagi kalau tidak pulang ke negerinya?”
Seketika wajah pemuda itu berobah pucat.
“Ke Bhutan? Ya Tuhan.... Gangga, engkau pergi begitu saja meninggalkan aku untuk selamanya? Enci, aku pergi, aku harus mengejarnya....”
Pemuda itu meloncat dan sebentar saja dia sudah berada di luar gedung itu. Akan tetapi nampak bayangan berkelebat dan encinya telah berdiri di depannya dengan pandang mata serius,
“Adikku, engkau mau apa?”
“Enci Hui, tidak tahukah engkau bahwa aku.... aku amat mencintanya? Aku akan mati kalau berpisah darinya, enci, sungguh.... aku.... aku....”
Ciang Bun tidak dapat melanjutkan kata-katanya dan kedua matanya sudah basah oleh air mata! Melihat adiknya menangis, Suma Hui merasa terharu sekali. Dipegangnya kedua tangan adiknya itu.
“Silahkan masuk, kita bicara di dalam. Kebetulan sekali ayah berada di sini, baru pagi tadi ayah dan ibu datang mengunjungiku.”
Mendengar bahwa ayah bunda kekasihnya berada di situ, wajah Suma Hui berubah merah. Ia merasa malu sekali teringat akan sikapnya dahulu terhadap mereka, maka tentu saja kini ia merasa canggung, malu dan takut. Melihat sikap kekasihnya, Cin Liong maklum. Tanpa malu-malu lagi terhadap Ciang Bun dan Ganggananda, diapun lalu menggandeng tangan gadis itu dan ditariknya, diajak ke dalam, diikuti oleh Ciang Bun dan Ganggananda.
Mereka menunggu di ruangan dalam. Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir Kao Kok Cu dan isterinya. Biarpun usia mereka sudah lanjut, si pendekar enam puluh tahun lebih dan isterinya, Wan Ceng sudah lima puluh tujuh tahun, akan tetapi keduanya masih nampak sehat dan gagah.
Karena maklum apa yang dirasakan kekasihnya dan ingin menolong kekasihnya mengurangi perasaan tidak enak itu, begitu tiba di depan ayah bundanya, Cin Liong menarik tangan Suma Hui dan diajaknya menjatuhkan diri berlutut, sedangkan Ciang Bun dan Ganggananda memberi hormat dengan menjura.
“Ayah, ibu, terimalah hormat kami, putera dan mantu ayah ibu.” kata Cin Liong.
Melihat wajah gadis yang menunduk itu, wajah yang membayangkan kecantikan, kegagahan dan kekerasan hati, yang menunduk dengan bayangan kesedihan, hati Wan Ceng menjadi lunak. Teringatlah ia akan pengalamannya sendiri ketika ia masih gadis. Iapun dahulu pernah menjadi korban perkosaan orang yang menghancurkan hidup dan kebahagiaannya, membuat selalu ingin mencari dan membunuh pemerkosanya itu.
Kini Suma Hui mengalami nasib yang sama. Hanya bedanya, kalau ia bahkan bertemu jodohnya dengan pemerkosanya yang bukan lain adalah suaminya yang sekarang, yang melakukan hal itu di luar kesadarannya (baca kisah Jodoh Sepasang Rajawali ), sebaliknya Suma Hui menjadi korban kekejian seorang laki-laki yang amat jahat. Laki-laki yang memperkosanya dengan menyamar sebagai Cin Liong! Dan penjahat itu sedemikian pandainya memikat hati keluarga Suma sehingga selain diterima menjadi murid, juga menjadi mantu!
Semua telah didengarnya dari Cin Liong dan kini melihat gadis itu menghadapnya, Wan Ceng melupakan semua kesalah fahaman antara keluarganya dan keluarga gadis itu. Iapun turun dari kursinya, membungkuk menghampiri Suma Hui dan merangkulnya.
“Suma Hui, engkau adalah calon mantu kami yang baik.”
Dan iapun menarik bangun gadis itu, menuntunnya dan mengajaknya duduk di kursi. Mereka semua duduk di kursi menghadap meja besar dan sikap Wan Ceng ini ternyata telah melenyapkan perasaan canggung, malu dan tidak enak dari hati Suma Hui. Ketika ditanya, Suma Ciang Bun dan Ganggananda memperkenalkan diri. Suami isteri perkasa itu merasa girang dan bersikap amat manis.
Diam-diam Gangga Dewi terharu sekali karena ia mengerti bahwa wanita yang rambutnya sudah bercampur uban itu, yang demikian cantik dan gagah perkasa, adalah bibinya sendiri! Nyonya itu adalah saudara seayah berlainan ibu dengan ayahnya. Akan tetapi, demi menjaga perjanjian rahasianya dengan Suma Hui untuk menolong Ciang Bun, ia diam saja dan hanya duduk sebagai penanton dan pendengar.
Dalam pertemuan kekeluargaan ini, Kao Kok Cu dan Wan Ceng terang-terangan menyatakan keinginan hati mereka kepada Suma Hui agar pernikahan antara Suma Hui dan Cin Liong dapat dilaksanakan dengan secepatnya.
“Saatnya sudah lebih dari matang.” antara lain pendekar berlengan satu itu berkata. “Hendaknya kalian berdua ingat bahwa aku dan ibumu sudah tidak muda lagi. Kukira demikian pula dengan ayah bunda Suma Hui, tentu seperti juga kami, mereka sudah ingin sekali menimang cucu. Itu alasan pertama. Ke dua, tahun ini Cin Liong sudah berusia kurang lebih tiga puluh enam tahun dan kami kira Suma Hui juga bukan seorang gadis remaja lagi. Karena cintanya dan setianya kepadamu, Suma Hui, putera kami itu sampai kini sama sekali tidak mau mendekati wanita lain, tidak menikah, bahkan memiliki seorang selirpun tidak sehingga kawan-kawannya suka menggodanya dan mengatakan bahwa dia banci.”
Hanya Suma Hui, Ganggananda dan tentu saja Ciang Bun sendiri yang merasakan kata “banci” ini sebagai sindiran terhadap diri Ciang Bun.
“Akan tetapi.... saya.... saya telah bertekad untuk mencari dan membunuh musuh besar saya.”
“Kami semua juga mengerti akan perasaanmu itu, anak Hui.” kata Wan Ceng sambil menyentuh kepala gadis itu yang duduk di sebelahnya. “Menentang dan membasmi manusia-manusia iblis macam Louw Tek Ciang itu merupakan tugas setiap orang gagah, bukan? Tidak perduli urusan pribadi, akan tetapi perbuatannya itu cukup membuat kita semua memusuhinya. Akan tetapi, urusan dendam itu dapat dilakukan setelah menikah. Suamimu tentu akan membantumu, dan kami juga.”
“Jangan khawatir, Suma Hui,” sambung Kao Kok Cu, “Suamimu terikat tugas dan kiranya hanya mempunyai sedikit waktu untuk urusan pribadi. Akan tetapi, kalau kalian sudah menikah, aku sendiri yang akan turun tangan menyeret iblis itu ke depan kakimu!”
“Tapi.... iblis itu harus mampus di tangan saya sendiri!” Suma Hui berkata penuh geram.
Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir menarik napas panjang.
“Baiklah, terserah kepadamu, akan tetapi kami sungguh mengharapkan engkau akan dapat mempertimbangkan dengan baik untuk segera menikah dengan tunanganmu.”
Suma Hui termenung. Ia memang merasa terharu dan kasihan kepada kekasihnya yang begitu setia dan mencintanya, padahal ia sudah bukan seorang perawan lagi. Jarang di dunia ini terdapat seorang pria seperti Cin Liong dan kalau sekarang ia menolak lagi, berarti dia yang keterlaluan dan tidak mengenal budi orang. Akhirnya ia menyetujui.
Bukan main girangnya hati Wan Ceng. Ia melompat dan merangkul calon mantunya, menciumnya dengan kedua mata basah. Keluarga itu lalu menahan Suma Hui, Ciang Bun dan juga Ganggananda yang dianggap sebagai tamu, untuk bermalam di gedung besar jenderal Kao Cin Liong dan utusan lalu dikirimkan ke Thian-cin untuk memberi kabar kepada keluarga Suma tentang akan dilangsungkannya pernikahan itu.
Menurut usul keluarga Kao, pernikahan itu diadakan di kota raja dan di rumah keluarga Suma tidak diadakan pernikahan lagi karena Suma Hui pernah dinikahkan di situ dengan Louw Tek Ciang tiga tahun yang lalu. Untuk keperluan itu, keluarga Suma diundang untuk datang ke kota raja agar dapat bersama-sama merayakan pernikahan yang sudah lama ditunggu-tunggu itu.
Akan tetapi Ganggananda hanya tinggal di situ semalam saja. Malam itu, setelah berkesempatan bertemu dan bicara berdua saja dengan Suma Hui, gadis itu menganjurkan kepadanya agar segera mulai dengan usahanya menolong dan menyelamatkan Ciang Bun seperti yang sudah mereka rencanakan sebelumnya.
Rencana itu adalah pertama-tama meninggalkan Ciang Bun agar pemuda itu merasa kehilangan dan menderita rindu. Maka pada keesokan harinya, secara tiba-tiba saja Ganggananda berpamit dari keluarga Kao untuk melanjutkan perjalanannya. Karena hal itu ia lakukan pagi-pagi sekali, yang mengetahui kepergiannya hanyalah Suma Hui dan suami isteri Kao Kok Cu, sedangkan Cin Liong dan Ciang Bun masih berada di dalam kamarnya.
Dapat dibayangkan betapa kaget rasa hati Ciang Bun ketika dia keluar dari kamarnya, dia tidak mendapatkan lagi Ganggananda yang sudah pergi. Apalagi ketika dia mendengar dari encinya bahwa pemuda Bhutan itu memang benar-benar sudah pergi dari rumah itu.
“Ah, kenapa dia tidak pamit kepadaku? Kenapa dia pergi begitu saja....?”
Ciang Bun mengeluh dengan muka berobah pucat, nampaknya dia terpukul sekali. Diam-diam Suma Hui merasa kasihan kepada adiknya, akan tetapi ini merupakan siasatnya bersama Gangga Dewi untuk menolong Ciang Bun.
“Adikku, Gangga adalah seorang perantau yang hidup menyendiri. Kemudian dia menemukan engkau sebagai seorang sahabat yang amat baik. Ketika dia kita ajak ke sini dan melihat pertemuan antara kita dengan keluarga Kao, baru dia merasa bahwa dia adalah orang luar, maka dia merasa tidak enak dan tidak betah tinggal lebih lama di sini, merasa tidak berhak. Karena itulah maka sepagi ini dia pergi tanpa dapat kucegah.”
“Ahh.... kasihan Gangga. Kenapa begitu? Setidaknya dia dapat menunggu aku dan bicara denganku. Ke mana dia pergi, enci? Ke mana aku akan dapat mencarinya?”
“Ke mana lagi kalau tidak pulang ke negerinya?”
Seketika wajah pemuda itu berobah pucat.
“Ke Bhutan? Ya Tuhan.... Gangga, engkau pergi begitu saja meninggalkan aku untuk selamanya? Enci, aku pergi, aku harus mengejarnya....”
Pemuda itu meloncat dan sebentar saja dia sudah berada di luar gedung itu. Akan tetapi nampak bayangan berkelebat dan encinya telah berdiri di depannya dengan pandang mata serius,
“Adikku, engkau mau apa?”
“Enci Hui, tidak tahukah engkau bahwa aku.... aku amat mencintanya? Aku akan mati kalau berpisah darinya, enci, sungguh.... aku.... aku....”
Ciang Bun tidak dapat melanjutkan kata-katanya dan kedua matanya sudah basah oleh air mata! Melihat adiknya menangis, Suma Hui merasa terharu sekali. Dipegangnya kedua tangan adiknya itu.
**** 086 ****
OBJEK WISATA MANCA NEGARA
===============================
Tidak ada komentar:
Posting Komentar