Memang pemuda ini dengan cerdik telah membuat coretan-coretan di batang pohon dengan harapan encinya akan dapat menemukannya kalau encinya datang. Coretan-coretan itu dibuatnya dengan kuku jari tangan sebelum dia bersama Gangga berangkat mencari dua orang kakek yang melarikan muda-mudi itu. Dan ternyata Suma Hui yang cermat itu dapat menemukan coretan itu yang berisi pesan bahwa adiknya itu pergi keluar kota melalui pintu barat.
Suma Hui harus mengakui kehebatan Gangga karena betapapun ia mengerahkan tenaga untuk meninggalkan Gangga, ia tetap tidak berhasil. Gadis Bhutan itu seperti bayangannya sendiri saja, selalu di belakang atau sampingnya, tidak pernah tertinggal jauh. Bahkan dari gerakan Gangga kalau berkelebat di sampingnya ia maklum bahwa kalau gadis itu menghendaki tentu akan dengan mudah mendahuluinya. Percayalah ia kini akan kehebatan ilmu gin-kang gadis ini.
Tak lama kemudian dua orang gadis itu telah duduk di atas batu-batu yang disusun secara nyeni sekali di tepi kolam ikan yang sunyi. Sepi sekali malam itu di taman karena tidak ada orang mengunjunginya di waktu malam. Dan dua orang gadis itu memang memilih tempat yang sunyi dan terbuka agar mereka dapat melihat kalau ada orang lain mendekat.
“Nah, enci Hui. Apakah yang akan kau bicarakan denganku?” tanya Gangga sambil memandang wajah yang cantik dan gagah itu.
Sepasang mata Suma Hui yang cerdik itu memandang kepada Gangga penuh selidik, kemudian ia berkata dengan suara yang penuh kesungguhan.
“Adik Gangga, sekarang ceritakanlah siapa sebetulnya dirimu, siapa namamu yang sebenarnya dan dari mana kau datang.”
“Benar, ayahku bernama Wan Tek Hoat dan ibuku bernama Syanti Dewi.”
“Ah, Puteri Bhutan yang terkenal itu?”
“Enci, engkau sudah mengenal ibuku?”
“Sejak kecil, seperti engkau pula, aku sudah mendengar tentang bibi Puteri Syanti Dewi. Ah, adik Gangga, kiranya engkau puterinya? Kalau begitu.... kita bukan orang lain. Engkau masih adikku sendiri.!”
Suma Hui lalu merangkul Gangga dan puteri Bhutan ini juga membalas pelukan gadis itu walaupun hatinya merasa heran.
“Enci Hui, menurut ibu dan ayah, memang keluarga Pulau Es merupakan keluarga yang dekat dengan mereka, dan ayah ibuku amat menghormati keluarga Pulau Es. Akan tetapi, tentang hubungan keluarga, aku belum tahu.”
“Memang antara keluarga kita tidak ada hubungan langsung, akan tetapi ketahuilah hahwa ayahmu itu, Wan Tek Hoat, adalah cucu kandung dari mendia ngnenekku Lulu....! Nah, bukankah dengan demikian di antara kita masih ada hubungan keluarga, walaupun jauh?”
Gangga Dewi mengangguk-angguk dan hatinya merasa girang bukan main.
“Setelah engkau mengenal keadaanku, tentu engkau tidak menaruh hati curiga lagi kepadaku, bukan?”
Suma Hui menggeleng kepala dan tersenyum.
“Sejak tadipun aku tidak menaruh curiga, hanya aku ingin merasa yakin tentang hubunganmu dengan Ciang Bun. Engkau seorang gadis, dan engkau menyembunyikan keadaanmu, menyamar sebagai pemuda. Akan tetapi engkau membela adikku mati-matian. Hal ini hanya mempunyai arti, yaitu bahwa engkau.... engkau jatuh cinta kepada adikku Suma Ciang Bun. Tidak benarkah dugaanku, adik Gangga?”
Seketika wajah Gangga Dewi menjadi kemerahan dan menundukkan mukanya.
“En-ci Hui, aku tidak tahu.... akan tetapi sesungguhnya aku amat suka kepadanya aku merasa kasihan melihat dia menghadapi maut ketika terluka. Tentang cinta.... aku tidak tahu....”
“Adikku yang baik”, Suma Hui memegang tangan Gangga dan menggenggamnya. “Biarlah berterus terang saja kepadamu. Memang, kejujuranku ini mungkin akan menyakitkan, akan tetapi demi kebaikanmu, demi kebaikan adikku, demi kebahagiaanmu berdua, aku harus berterus terang. Gangga, ketahuilah bahwa Ciang Bun juga mencintamu, dia sudah mengaku kepadaku bahwa dia jatuh cinta padamu.”
Suma Hui harus mengakui kehebatan Gangga karena betapapun ia mengerahkan tenaga untuk meninggalkan Gangga, ia tetap tidak berhasil. Gadis Bhutan itu seperti bayangannya sendiri saja, selalu di belakang atau sampingnya, tidak pernah tertinggal jauh. Bahkan dari gerakan Gangga kalau berkelebat di sampingnya ia maklum bahwa kalau gadis itu menghendaki tentu akan dengan mudah mendahuluinya. Percayalah ia kini akan kehebatan ilmu gin-kang gadis ini.
Tak lama kemudian dua orang gadis itu telah duduk di atas batu-batu yang disusun secara nyeni sekali di tepi kolam ikan yang sunyi. Sepi sekali malam itu di taman karena tidak ada orang mengunjunginya di waktu malam. Dan dua orang gadis itu memang memilih tempat yang sunyi dan terbuka agar mereka dapat melihat kalau ada orang lain mendekat.
“Nah, enci Hui. Apakah yang akan kau bicarakan denganku?” tanya Gangga sambil memandang wajah yang cantik dan gagah itu.
Sepasang mata Suma Hui yang cerdik itu memandang kepada Gangga penuh selidik, kemudian ia berkata dengan suara yang penuh kesungguhan.
“Adik Gangga, sekarang ceritakanlah siapa sebetulnya dirimu, siapa namamu yang sebenarnya dan dari mana kau datang.”
“Benar, ayahku bernama Wan Tek Hoat dan ibuku bernama Syanti Dewi.”
“Ah, Puteri Bhutan yang terkenal itu?”
“Enci, engkau sudah mengenal ibuku?”
“Sejak kecil, seperti engkau pula, aku sudah mendengar tentang bibi Puteri Syanti Dewi. Ah, adik Gangga, kiranya engkau puterinya? Kalau begitu.... kita bukan orang lain. Engkau masih adikku sendiri.!”
Suma Hui lalu merangkul Gangga dan puteri Bhutan ini juga membalas pelukan gadis itu walaupun hatinya merasa heran.
“Enci Hui, menurut ibu dan ayah, memang keluarga Pulau Es merupakan keluarga yang dekat dengan mereka, dan ayah ibuku amat menghormati keluarga Pulau Es. Akan tetapi, tentang hubungan keluarga, aku belum tahu.”
“Memang antara keluarga kita tidak ada hubungan langsung, akan tetapi ketahuilah hahwa ayahmu itu, Wan Tek Hoat, adalah cucu kandung dari mendia ngnenekku Lulu....! Nah, bukankah dengan demikian di antara kita masih ada hubungan keluarga, walaupun jauh?”
Gangga Dewi mengangguk-angguk dan hatinya merasa girang bukan main.
“Setelah engkau mengenal keadaanku, tentu engkau tidak menaruh hati curiga lagi kepadaku, bukan?”
Suma Hui menggeleng kepala dan tersenyum.
“Sejak tadipun aku tidak menaruh curiga, hanya aku ingin merasa yakin tentang hubunganmu dengan Ciang Bun. Engkau seorang gadis, dan engkau menyembunyikan keadaanmu, menyamar sebagai pemuda. Akan tetapi engkau membela adikku mati-matian. Hal ini hanya mempunyai arti, yaitu bahwa engkau.... engkau jatuh cinta kepada adikku Suma Ciang Bun. Tidak benarkah dugaanku, adik Gangga?”
Seketika wajah Gangga Dewi menjadi kemerahan dan menundukkan mukanya.
“En-ci Hui, aku tidak tahu.... akan tetapi sesungguhnya aku amat suka kepadanya aku merasa kasihan melihat dia menghadapi maut ketika terluka. Tentang cinta.... aku tidak tahu....”
“Adikku yang baik”, Suma Hui memegang tangan Gangga dan menggenggamnya. “Biarlah berterus terang saja kepadamu. Memang, kejujuranku ini mungkin akan menyakitkan, akan tetapi demi kebaikanmu, demi kebaikan adikku, demi kebahagiaanmu berdua, aku harus berterus terang. Gangga, ketahuilah bahwa Ciang Bun juga mencintamu, dia sudah mengaku kepadaku bahwa dia jatuh cinta padamu.”
“Ahhh....!” Gangga Dewi memandang wajah Suma Hui dengan mata terbelalak. “Tidak mungkin! Dia mengira bahwa aku seorang pria! Ataukah.... jangan-jangan dia sudah tahu akan keadaanku, bahwa aku seorang wanita?”
Suma Hui menggeleng kepalanya dan menarik napas panjang. Bagian tersukar dari tugasnya kini harus ia lalui. Maka iapun duduk mendekat dan merangkul pundak Gangga Dewi karena apa yang akan diceritakannya adalah rahasia adiknya yang amat gawat dan tidak boleh sampai terdengar orang lain. Dengan suara lirih iapun berkata setelah menengok ke kanan kiri dan merasa yakin bahwa tempat itu sunyi tidak terdapat orang lain kecuali mereka berdua.
“Adik Gangga, dari sikapmu dan juga pertolonganmu terhadap Ciang Bun aku merasa yakin bahwa engkau sungguh mencinta dia seperti juga dia mencintaimu. Oleh karena itu, jika kuberitahu kepadamu bahwa Ciang Bun menderita suatu penyakit yang amat gawat, sudikah kiranya engkau membantuku untuk menyembuhkannya kembali?”
Gangga terkejut dan memandang dengan mata terbelalak dan wajahnya yang cerah itu berobah agak pucat, alisnya berkerut penuh kekhawatiran.
“Sakit? Dia sakit? Akan tetapi, ketika tabib itu memeriksa, penyakitnya hanya keracunan pukulan Hoa-mo-kang, tidak ada penyakit lain. Dan dia kelihatan begitu sehat dan segar!”
“Memang benar, akan tetapi penyakitnya bukan penyakit badan. Tidak ada yang dapat mengetahui kecuali dia sendiri dan aku karena dia percaya kepadaku dan menceritakan tentang penyakitnya itu. Dan aku yakin bahwa pengobatannya hanya ada pada dirimu. Hanya engkaulah yang dapat menyembuhkannya, Gangga.”
“Ahh, enci Hui, jangan main-main. Engkau membikin hatiku bingung dan khawatir. Seperti orang-orang lain yang pernah belajar silat, aku hanya membawa bekal obat-obat luka dan hanya dapat mengobati luka-luka pukulan dan senjata saja. Mana mungkin aku dapat mengobati penyakit Ciang Bun kalau orang lain yang ahli tidak mampu menyembuhkannya? Penyakit apakah itu?”
“Kami berduapun tidak tahu penyakit apa itu namanya. Akan tetapi adikku amat menderita karenanya. Jangan kaget, Gangga. Adikku itu adalah seorang laki-laki, seorang jantan sejati, berwatak pendekar yang tidak memalukan keluarga kami. Akan tetapi, dia.... dia mempunyai penyakit aneh, yaitu dia.... condong untuk menyukai pria daripada wanita.
Sepasang mata yang indah itu terbelalak dan mulut yang kecil itu ternganga saking herannya hati Gangga Dewi mendengar ucapan Suma Hui itu.
“Apa.... apa yang kau maksudkan, enci Hui? Aku tidak mengerti....!”
“Adik Gangga, memang penyakit itu amat aneh. Biarpun Ciang Bun adalah seorang pemuda, jasmaninya adalah seorang pria yang sempurna, akan tetapi selera dan berahinya seperti seorang wanita. Dia.... dia lebih tertarik dan suka kepada seorang pria daripada seorang wanita. Mengertikah engkau?”
“Ahhh....!”
Gangga Dewi menunduk, kedua pipinya kemerahan dan alisnya berkerut. Ia merasa bingung sekali, dan tidak tahu harus bicara apa untuk menanggapi keterangan yang amat mengejutkan dan mengherankan hatinya itu. Sungguh sama sekali tidak pernah disangkanya bahwa ada penyakit yang demikian anehnya, apalagi kalau penyakit seperti itu diderita oleh Ciang Bun yang amat dikaguminya itu. Ia seorang gadis yang cerdik dan tanpa dijelaskan sekalipun kini tahulah ia akan kenyataan yang amat menusuk perasaannya. Jadi kalau begitu, Ciang Bun dikatakan mencinta dirinya karena mengira ia seorang pria!
“Enci, kalau.... kalau begitu.... engkau hendak mengatakan bahwa jika Ciang Bun mengerti bahwa aku sebenarnya seorang wanita, maka dia.... dia tidak akan suka kepadaku, begitukah?”
Suma Hui mengangguk.
“Akan tetapi, cinta tidak dapat disamakan dengan rasa suka yang terdorong gairah berahi, adikku. Ciang Bun mengaku kepadaku bahwa dia amat mencintamu, walaupun rasa cintanya itu mengandung gairah berahi karena mengira bahwa engkau seorang pemuda. Nah, rasa cintanya inilah yang harus kita pergunakan untuk menyembuhkan penyakit aneh yang dideritanya itu. Tentu saja.... tentu saja kalau engkau juga mencintanya seperti yang kuduga. Adik Gangga yang baik, demi hubungan antara orang tua kita, demi cinta Ciang Bun kepadamu, dan demi cintamu sendiri.... sudikah engkau menolongnya?”
Dalam suaranya terkandung nada yang penuh permohonan dan ketika Gangga Dewi memandang, ternyata kedua mata gadis perkasa itu berlinang air mata! Gangga Dewi merasa terharu sekali dan ia dapat merasakan betapa besar cinta kasih gadis itu kepada adiknya. Ia sendiripun merasa kasihan kepada Ciang Bun, walaupun terdapat perasaan tidak enak mengganggu hatinya mendengar akan keadaan Ciang Bun yang aneh itu.
“Enci Hui, tentu saja aku suka menolong, akan tetapi bagaimana mungkin? Kalau dia tidak suka kepada wanita, dan setelah nanti dia tahu bahwa aku sesungguhnya adalah seorang wanita dan dia pun tidak suka kepadaku, bagaimana aku akan dapat merobah seleranya?”
“Kita menggunakan cinta sebagai obatnya, adikku. Biarlah cinta kasih murni yang akan menyembuhkannya dari penyakit aneh itu.”
“Akan tetapi, bagaimana caranya, enci Hui?”
“Begini, Gangga. Biarkan cinta kasihnya kepadamu bersemi dengan subur dan berakar kuat dalam hatinya dan untuk itu perlu pemupukan.”
“Pemupukan bagaimana maksudmu, enci? Aku.... aku sama sekali tidak tahu apa-apa tentang cinta.”
“Sekali waktu engkau harus meninggalkan dia, kita harus memberi pupuk kepada cintanya dengan kerinduan. Biar dia merasakan betapa besar rasa kehilangannya kalau engkau tidak berada di dekatnya. Rasa cintanya yang semakin subur itu akan menghapus perbedaan antara wanita dan pria, dia akan mencintamu, tidak perduli engkau pria ataupun wanita. Rasa cinta murni itu mungkin sekali akan merupakan obat dan lebih kuat daripada sekedar berahinya yang ganjil itu. Maukah engkau melakukannya, demi cinta kalian berdua, adikku?”
Gangga Dewi mengangguk.
“Kita sama sekali tidak boleh menyalahkannya, Gangga. Keadaan diri Ciang Bun itu adalah suatu kelainan yang bukan timbul karena disengaja, atau karena memang wataknya yang kotor, melainkan karena tentu ada sebab-sebabnya. Dia adalah penderita suatu penyakit aneh, suatu kelainan yang mungkin timbul dari keadaan darahnya, atau susunan tubuhnya, atau juga karena sebab-sebab batiniah yang kita tidak mengerti. Bagaimanapun juga, karena keadaan itu menggambarkan hal yang tidak sebagaimana mestinya, tidak sebagaimana umumnya, maka biarlah kita menamakannya suatu penyakit. Keadaan setengah-setengah itu, setengah pria karena
bertubuh pria, dan setengah wanita karena berselera wanita, tentu saja merupakan hal yang amat mengganggu dan menyiksa batin. Jalan satu-satunya hanyalah menjadikannya wanita sepenuhnya atau pria sepenuhnya. Akan tetapi, melihat bentuk tubuhnya, akan lebih sempurnalah kalau dia dapat dijadikan pria sepenuhnya dan hal ini mungkin saja disembuhkan dengan cinta kasih.”
Gangga Dewi mendengarkan dengan kagum. Dari kata-katanya dapat dimengerti bahwa Suma Hui adalah seorang gadis yang luas pengetahuannya dan pintar. Dan memang demikianlah. Semenjak menderita aib yang menimpa dirinya, setelah mengalami banyak hal-hal yang amat menyakitkan hatinya, setelah memperdalam ilmunya dan banyak melakukan perantauan, Suma Hui berobah menjadi seorang wanita yang matang dan berpemandangan luas. masalah adiknya amat mengganggu hatinya dan selama ini banyak ia memikirkan tentang adiknya sehingga ia dapat mengambil kesimpulan seperti yang dikatakannya kepada Gangga Dewi.
Demikianlah, terdapat suatu kerjasama antara Suma Hui dan Gangga Dewi, untuk menolong pemuda yang sama-sama mereka cinta, yang seorang mencintanya sebagai seorang kakak perempuan sedangkan yang lain mencinta sebagai seorang wanita terhadap seorang pria yang dikaguminya.
Suma Hui menggeleng kepalanya dan menarik napas panjang. Bagian tersukar dari tugasnya kini harus ia lalui. Maka iapun duduk mendekat dan merangkul pundak Gangga Dewi karena apa yang akan diceritakannya adalah rahasia adiknya yang amat gawat dan tidak boleh sampai terdengar orang lain. Dengan suara lirih iapun berkata setelah menengok ke kanan kiri dan merasa yakin bahwa tempat itu sunyi tidak terdapat orang lain kecuali mereka berdua.
“Adik Gangga, dari sikapmu dan juga pertolonganmu terhadap Ciang Bun aku merasa yakin bahwa engkau sungguh mencinta dia seperti juga dia mencintaimu. Oleh karena itu, jika kuberitahu kepadamu bahwa Ciang Bun menderita suatu penyakit yang amat gawat, sudikah kiranya engkau membantuku untuk menyembuhkannya kembali?”
Gangga terkejut dan memandang dengan mata terbelalak dan wajahnya yang cerah itu berobah agak pucat, alisnya berkerut penuh kekhawatiran.
“Sakit? Dia sakit? Akan tetapi, ketika tabib itu memeriksa, penyakitnya hanya keracunan pukulan Hoa-mo-kang, tidak ada penyakit lain. Dan dia kelihatan begitu sehat dan segar!”
“Memang benar, akan tetapi penyakitnya bukan penyakit badan. Tidak ada yang dapat mengetahui kecuali dia sendiri dan aku karena dia percaya kepadaku dan menceritakan tentang penyakitnya itu. Dan aku yakin bahwa pengobatannya hanya ada pada dirimu. Hanya engkaulah yang dapat menyembuhkannya, Gangga.”
“Ahh, enci Hui, jangan main-main. Engkau membikin hatiku bingung dan khawatir. Seperti orang-orang lain yang pernah belajar silat, aku hanya membawa bekal obat-obat luka dan hanya dapat mengobati luka-luka pukulan dan senjata saja. Mana mungkin aku dapat mengobati penyakit Ciang Bun kalau orang lain yang ahli tidak mampu menyembuhkannya? Penyakit apakah itu?”
“Kami berduapun tidak tahu penyakit apa itu namanya. Akan tetapi adikku amat menderita karenanya. Jangan kaget, Gangga. Adikku itu adalah seorang laki-laki, seorang jantan sejati, berwatak pendekar yang tidak memalukan keluarga kami. Akan tetapi, dia.... dia mempunyai penyakit aneh, yaitu dia.... condong untuk menyukai pria daripada wanita.
Sepasang mata yang indah itu terbelalak dan mulut yang kecil itu ternganga saking herannya hati Gangga Dewi mendengar ucapan Suma Hui itu.
“Apa.... apa yang kau maksudkan, enci Hui? Aku tidak mengerti....!”
“Adik Gangga, memang penyakit itu amat aneh. Biarpun Ciang Bun adalah seorang pemuda, jasmaninya adalah seorang pria yang sempurna, akan tetapi selera dan berahinya seperti seorang wanita. Dia.... dia lebih tertarik dan suka kepada seorang pria daripada seorang wanita. Mengertikah engkau?”
“Ahhh....!”
Gangga Dewi menunduk, kedua pipinya kemerahan dan alisnya berkerut. Ia merasa bingung sekali, dan tidak tahu harus bicara apa untuk menanggapi keterangan yang amat mengejutkan dan mengherankan hatinya itu. Sungguh sama sekali tidak pernah disangkanya bahwa ada penyakit yang demikian anehnya, apalagi kalau penyakit seperti itu diderita oleh Ciang Bun yang amat dikaguminya itu. Ia seorang gadis yang cerdik dan tanpa dijelaskan sekalipun kini tahulah ia akan kenyataan yang amat menusuk perasaannya. Jadi kalau begitu, Ciang Bun dikatakan mencinta dirinya karena mengira ia seorang pria!
“Enci, kalau.... kalau begitu.... engkau hendak mengatakan bahwa jika Ciang Bun mengerti bahwa aku sebenarnya seorang wanita, maka dia.... dia tidak akan suka kepadaku, begitukah?”
Suma Hui mengangguk.
“Akan tetapi, cinta tidak dapat disamakan dengan rasa suka yang terdorong gairah berahi, adikku. Ciang Bun mengaku kepadaku bahwa dia amat mencintamu, walaupun rasa cintanya itu mengandung gairah berahi karena mengira bahwa engkau seorang pemuda. Nah, rasa cintanya inilah yang harus kita pergunakan untuk menyembuhkan penyakit aneh yang dideritanya itu. Tentu saja.... tentu saja kalau engkau juga mencintanya seperti yang kuduga. Adik Gangga yang baik, demi hubungan antara orang tua kita, demi cinta Ciang Bun kepadamu, dan demi cintamu sendiri.... sudikah engkau menolongnya?”
Dalam suaranya terkandung nada yang penuh permohonan dan ketika Gangga Dewi memandang, ternyata kedua mata gadis perkasa itu berlinang air mata! Gangga Dewi merasa terharu sekali dan ia dapat merasakan betapa besar cinta kasih gadis itu kepada adiknya. Ia sendiripun merasa kasihan kepada Ciang Bun, walaupun terdapat perasaan tidak enak mengganggu hatinya mendengar akan keadaan Ciang Bun yang aneh itu.
“Enci Hui, tentu saja aku suka menolong, akan tetapi bagaimana mungkin? Kalau dia tidak suka kepada wanita, dan setelah nanti dia tahu bahwa aku sesungguhnya adalah seorang wanita dan dia pun tidak suka kepadaku, bagaimana aku akan dapat merobah seleranya?”
“Kita menggunakan cinta sebagai obatnya, adikku. Biarlah cinta kasih murni yang akan menyembuhkannya dari penyakit aneh itu.”
“Akan tetapi, bagaimana caranya, enci Hui?”
“Begini, Gangga. Biarkan cinta kasihnya kepadamu bersemi dengan subur dan berakar kuat dalam hatinya dan untuk itu perlu pemupukan.”
“Pemupukan bagaimana maksudmu, enci? Aku.... aku sama sekali tidak tahu apa-apa tentang cinta.”
“Sekali waktu engkau harus meninggalkan dia, kita harus memberi pupuk kepada cintanya dengan kerinduan. Biar dia merasakan betapa besar rasa kehilangannya kalau engkau tidak berada di dekatnya. Rasa cintanya yang semakin subur itu akan menghapus perbedaan antara wanita dan pria, dia akan mencintamu, tidak perduli engkau pria ataupun wanita. Rasa cinta murni itu mungkin sekali akan merupakan obat dan lebih kuat daripada sekedar berahinya yang ganjil itu. Maukah engkau melakukannya, demi cinta kalian berdua, adikku?”
Gangga Dewi mengangguk.
“Kita sama sekali tidak boleh menyalahkannya, Gangga. Keadaan diri Ciang Bun itu adalah suatu kelainan yang bukan timbul karena disengaja, atau karena memang wataknya yang kotor, melainkan karena tentu ada sebab-sebabnya. Dia adalah penderita suatu penyakit aneh, suatu kelainan yang mungkin timbul dari keadaan darahnya, atau susunan tubuhnya, atau juga karena sebab-sebab batiniah yang kita tidak mengerti. Bagaimanapun juga, karena keadaan itu menggambarkan hal yang tidak sebagaimana mestinya, tidak sebagaimana umumnya, maka biarlah kita menamakannya suatu penyakit. Keadaan setengah-setengah itu, setengah pria karena
bertubuh pria, dan setengah wanita karena berselera wanita, tentu saja merupakan hal yang amat mengganggu dan menyiksa batin. Jalan satu-satunya hanyalah menjadikannya wanita sepenuhnya atau pria sepenuhnya. Akan tetapi, melihat bentuk tubuhnya, akan lebih sempurnalah kalau dia dapat dijadikan pria sepenuhnya dan hal ini mungkin saja disembuhkan dengan cinta kasih.”
Gangga Dewi mendengarkan dengan kagum. Dari kata-katanya dapat dimengerti bahwa Suma Hui adalah seorang gadis yang luas pengetahuannya dan pintar. Dan memang demikianlah. Semenjak menderita aib yang menimpa dirinya, setelah mengalami banyak hal-hal yang amat menyakitkan hatinya, setelah memperdalam ilmunya dan banyak melakukan perantauan, Suma Hui berobah menjadi seorang wanita yang matang dan berpemandangan luas. masalah adiknya amat mengganggu hatinya dan selama ini banyak ia memikirkan tentang adiknya sehingga ia dapat mengambil kesimpulan seperti yang dikatakannya kepada Gangga Dewi.
Demikianlah, terdapat suatu kerjasama antara Suma Hui dan Gangga Dewi, untuk menolong pemuda yang sama-sama mereka cinta, yang seorang mencintanya sebagai seorang kakak perempuan sedangkan yang lain mencinta sebagai seorang wanita terhadap seorang pria yang dikaguminya.
**** 085 ****
OBJEK WISATA MANCA NEGARA
===============================
Tidak ada komentar:
Posting Komentar