"Hai, nanti dulu! Kalian hendak pergi kemana?"
Hek-tiauw Lo-mo berkata nyaring dan semua anak buahnya sudah bergerak menghadang kedua orang muda itu.
"Kami hendak pergi dari sini!"
Kian Bu membentak, marah sudah. Melihat kemarahan adiknya, Kian Lee cepat berkata dengan suara masih penuh kesabaran dan ketenangan,
"Harap Cu-wi tidak menghalangi kami yang hendak pergi lagi dengan aman."
"Ha-ha-ha, tidak begitu mudah, orang-orang muda yang baik! Siapapun dia yang sudah mendarat di Pulau Neraka, tidak dapat pergi begitu saja!"
"Pulau Neraka....?"
Kedua orang muda itu terbelalak setelah mengeluarkan kata-kata ini. Tentu saja mereka telah mendengar akan Pulau Neraka dari penuturan orang tua mereka, bahkan Kian Lee tahu pula bahwa ibu kandungnya dahulu adalah ketua Pulau Neraka!
"Aihhh! Jadi kalian ini adalah para penghuni Pulau Neraka dan kami berdua berada di Pulau Neraka? Sungguh kebetulan sekali!" teriak Kian Bu dengan girang.
"Ha-ha-ha, mengapa kau katakan kebetulan, orang muda?" tanya Hek-tiauw Lo-mo, agak kecewa mengapa kedua orang pemuda tanggung ini tidak takut mendengar nama Pulau Neraka.
"Karena ibu kami, ibu kandung kakakku ini, pernah menjadi ketua Pulau Neraka ini!"
"Bu-te....!" Kian Lee terkejut melihat adiknya yang begitu sembrono mengakui hal itu.
Benar saja, kakek itu terkejut sekali, akan tetapi lebih terkejut lagi adalah para penghuni Pulau Neraka itu yang kini memandang kepada Kian Lee dengan mata bengong dan penuh selidik. Mereka semua tahu bahwa majikan mereka yang dahulu, kini telah menjadi isteri Pendekar Super Sakti di Pulau Es.
Hek-tiauw Lo-mo yang tidak mengenal apa yang dimaksudkan dengan wanita ketua Pulau Neraka itu, bertanya mendesak,
"Benarkah demikian?"
Karena adiknya sudah terlanjur bicara, maka Kian Lee lalu berkata dengan suara tenang, dan sesungguhnya,
"Tidak salah ucapan adikku. Ibuku pernah menjadi ketua Pulau Neraka, akan tetapi sekarang ibuku adalah penghuni Pulau Es. Kami berdua datang dari Pulau Es, kami adalah dua orang putera Pendekar Super Sakti, Majikan Pulau Es."
Mendengar ucapan ini, semua penghuni Pulau Neraka terbelalak dan serta merta mereka menjatuhkan diri berlutut menghadap ke arah dua orang pemuda itu!
Melihat betapa semua anak buahnya memperlihatkan sikap menghormat kepada dua orang muda yang mengaku datang dari Pulau Es itu, Hek-tiauw Lo-mo menjadi marah sekali. Dia membanting kedua kakinya yang sebesar kaki gajah itu ke atas tanah sehingga tanah sekeliling tempat dia berdiri tergetar seperti dilanda gempa bumi!
"Bangun semua! Hayo bangkit semua, yang tidak bangkit akan kubunuh!"
Tentu saja para anak buah Pulau Neraka terkejut dan ketakutan. Cepat mereka bangkit berdiri sungguhpun mereka masih memandang ke arah Kian Lee dan Kian Bu dengan sikap sungkan.
Hek-tiauw Lo-mo sudah meloncat ke depan dan dua orang pemuda tanggung itu melihat betapa gerakan kakek ini ringan sekali, sama sekali tidak sepadan dengan tubuhnya yang demikian besarnya.
"Bagus! Jadi kalian adalah putera Pendekar Super Sakti dari Pulau Es? Siapa sih itu Pendekar Super Sakti? Baru sekarang aku mendengar namanya! Tadinya kalian akan kujadikan pesta, daging kalian yang muda tentu enak dipanggang. Akan tetapi karena kalian adalah orang-orang Pulau Es, biarlah aku menjadikan kalian tahanan disini. Hendak kulihat apa yang akan dapat dilakukan oleh Pendekar Super Sakti!"
Tiba-tiba seorang yang tua dan tubuhnya gendut tinggi besar, menjatuhkan diri berlutut di depan ketuanya.
"Ji Song, kau mau bicara apa?"
Hek-tiauw Lo-mo membentak, masih marah karena para anak buahnya tadi memberi penghormatan besar kepada dua orang pemuda itu.
Ji Song adalah seorang tokoh Pulau Neraka yang boleh dibilang tertua, juga dia lihai sekali dan menjadi orang kedua setelah Hek-tiauw Lo-mo. Tentu saja sebagai tokoh tua, dia cukup mengenal kehebatan Pendekar Super Sakti yang amat ditakutinya itu (baca cerita Sepasang Pedang Iblis). Maka begitu mendengar tantangan ketuanya, dia takut akan akibatnya, kalau Pendekar Super Sakti mengamuk, bukan hanya ketua Pulau Neraka, mungkin seluruh penghuni Pulau Neraka akan menanggung akibatnya.
"Tocu, harap maafkan saya.... akan tetapi saya harap tocu tidak main-main dengan.... dengan Pendekar Super Sakti, Majikan Pulau Es. Hendaknya tocu percaya kepada saya dan.... dan sebaiknya kalau kedua orang pemuda ini dibebaskan saja agar jangan timbul banyak urusan yang akan memusingkan saja."
Raksasa itu mengelus jenggotnya dan mengangguk-angguk.
"Hemmm, kalau bukan engkau yang bicara aku tentu tidak akan percaya, Ji Song. Penghuni Pulau Neraka takut terhadap seorang manusia lain? Engkau membangkitkan keinginan tahuku lebih besar lagi, melihat engkau sendiri begitu takut! Seperti apakah Pendekar Super Sakti?"
"Seperti apa? Kalau dia datang, jangan harap engkau akan dapat hidup lebih lama lagi!" Tiba-tiba Kian Bu berkata dengan suara mengejek. "Pula, tidak perlu ayah datang, kami berduapun tidak takut menghadapi kalian!"
"Bu-te....!" Kian Lee mencela adiknya, kemudian dengan suara halus dia berkata kepada ketua Pulau Neraka itu, "Harap tocu suka memaafkan kami dan apa yang dikatakan oleh lopek itu tadi benar. Sebaiknyalah kalau diantara kita tidak timbul permusuhan apa-apa. Harap tocu membiarkan kami pergi."
"Nanti dulu, orang muda. Tidak begitu mudah menggertak Hek-tiauw Lo-mo, ha-ha-ha! Boleh jadi ayah kalian itu berkepandaian tinggi dan membikin takut hati para penghuni Pulau Neraka, akan tetapi aku yang belum pernah bertemu dengan Pendekar Super Sakti, sama sekali tidak takut!"
"Habis, apa yang hendak kau lakukan terhadap kami?"
Kian Bu membentak lagi saking marahnya. Kalau tidak melihat sikap kakaknya, tentu dia sudah menerjang maju dan menggunakan kekerasan untuk membebaskan diri dan meninggalkan pulau berbahaya itu.
"Ha-ha-ha, seperti melihat bumi dengan langit. Begitu besar perbedaan antara mereka, akan tetapi begitu sama tampan dan gagahnya! Orang-orang muda yang gagah dan tampan, siapakah nama kalian?"
"Namaku adalah Suma Kian Lee dan dia ini adalah adikku, Suma Kian Bu. Sekali lagi aku mengharap kebijaksanaan tocu untuk membebaskan kami dan biarlah kami akan menceritakan kepada ayah kami akan kebaikan hatimu itu."
"Oho! Kau hendak menggunakan nama ayahmu untuk menakuti aku?"
"Habis, kau mau apa?" Kian Bu membentak.
"Kalian tidak boleh meninggalkan pulau ini sampai ayah kalian datang. Kalau benar ayah kalian super sakti dan dapat mengalahkan aku, ha-ha-ha, hal yang sama sekali tak mungkin, kalau aku kalah, baru kalian boleh pergi bersama ayahmu."
"Manusia sombong! Aku tidak takut, hendak kulihat bagaimana kau hendak menangkap aku!"
Kian Bu membentak lagi dan sudah memasang kuda-kuda dengan kokoh, kedua kakinya menyilang dan agak ditekuk lututnya, kedua lengan di depan dan di belakang tubuh, sikap yang siap menghadapi pengeroyokan banyak lawan yang mengurungnya.
Kian Lee yang kini maklum bahwa tidak mungkin dapat membujuk ketua Pulau Neraka, juga sudah bersiap untuk membela diri, akan tetapi sikapnya tenang dan penuh kewaspadaan, cepat dia meloncat di belakang tubuh adiknya sehingga mereka berdua berdiri saling membelakangi dan dengan demikian saling melindungi.
"Heh-heh-heh, luar biasa! Ji Song, perintahkan lima orang untuk menangkap mereka. Hendak kulihat gerakan mereka. Dari gerakan anak-anaknya, tentu aku akan dapat mengukur kepandaian ayahnya," kata raksasa itu sambil tertawa penuh kegirangan.
Kedua alis Ji Song berkerut. Dia takut sekali terhadap Pendekar Super Sakti. Sudah sering kali dia menyaksikan kehebatan sepak terjang pendekar yang menjadi Majikan Pulau Es itu. Bahkan bekas ketuanya, wanita yang memiliki kepandaian tinggi, sekarang menjadi isteri Pendekar Super Sakti dan seorang diantara kedua pemuda ini, yang bersikap tenang dan gagah, adalah putera bekas ketuanya.
Tentu saja dia menjadi jerih sekali dan kalau saja tidak takut kepada ketuanya yang baru ini, yang dia tahu juga amat lihai dan kejam, tentu dia akan cepat-cepat membiarkan kedua orang muda itu pergi, seperti membiarkan kedua ekor singa muda yang masuk ke dalam rumahnya. Sekarang terpaksa dia menyuruh lima orang pembantunya yang paling lihai untuk maju menangkap kedua orang muda ini.
"Tangkap mereka, akan tetapi jangan sampai mereka terluka," perintahnya kepada lima orang anak buahnya itu.
Lima orang itu, tidak berbeda dengan Ji Song, adalah penghuni-penghuni lama Pulau Neraka, tentu saja merekapun gentar terhadap Pendekar Super Sakti dan terhadap Lulu, bekas ketua mereka. Ngeri rasa hati mereka kalau mengingat bahwa mereka disuruh melawan putera bekas ketua mereka itu!
Akan tetapi karena mereka maklum bahwa kalau mereka berani membangkang, tentu ketua mereka yang baru takkan ragu-ragu membunuh mereka, bahkan mungkin makan daging mereka, lima orang itu mengangguk lalu meloncat maju mengurung dua orang muda itu.
Kian Lee dan Kian Bu tidak bergerak, tetap memasang kuda-kuda seperti tadi, tubuh mereka seperti arca, sedikitpun tidak bergerak, hanya mata mereka yang melirik ke kanan kiri mengikuti gerakan lima orang pengurung mereka itu. Seluruh urat syarat di dalam tubuh mereka menegang dan dalam keadaan siap siaga.
Lima orang itu juga tidak berani turun tangan secara sembrono karena mereka dapat menduga bahwa dua orang muda ini tentulah memiliki ilmu kepandaian tinggi dan sama sekali tidak boleh dipandang ringan. Maka mereka lalu mengurung sambil melangkah perlahan-lahan mengelilingi dua orang muda itu, saling memberi tanda dengan mata untuk mengatur gerakan mereka.
Ternyata mereka itu hendak menggunakan bentuk barisan Ngo-seng-tin (Barisan Lima Bintang) seperti yang diajarkan oleh ketua mereka yang baru. Melihat gerakan anak buahnya ini, Hek-tiauw Lo-mo mengangguk-angguk dan mengelus jenggotnya dengan girang, mulutnya tersenyum-senyum dan dia sudah merasa yakin bahwa dalam beberapa gebrakan saja dua orang muda itu tentu sudah dapat diringkus dan ditawan.
Tiba-tiba seorang diantara lima penghuni Pulau Neraka itu mengeluarkan teriakan yang menyayat hati saking tinggi lengkingnya, dan teriakan ini disusul oleh teriakan keempat orang kawannya. Teriakan-teriakan ini mempunyai wibawa yang amat kuat dan dengan teriakan-teriakan ini saja, musuh yang kurang kuat sin-kangnya sudah akan dapat dirobohkan!
Harus diketahui bahwa tingkat kepandaian para penghuni Pulau Neraka tidak boleh disamakan dengan dahulu ketika Lulu masih menjadi ketua disitu (baca Sepasang Pedang Iblis). Ketika Lulu masih menjadi ketua, belasan tahun sampai dua puluh tahun yang lalu, kepandaian anak buah Pulau Neraka memang sudah hebat dan tingkat kepandaian atau kekuatan sin-kang mereka ditandai dengan warna muka mereka.
Muka mereka sebagai akibat keracunan ketika berlatih di Pulau Neraka, berubah menjadi berwarna-warna, ada yang merah, merah muda, biru, hijau, kuning dan sebagainya. Makin muda warna muka mereka, makin tinggilah kepandaian mereka dan makin kuat sin-kang mereka.
Ji Song yang kini menjadi pembantu utama ketua baru, dahulu bermuka merah muda, merupakan tingkat ketiga dari Pulau Neraka. Akan tetapi sekarang, semenjak Hek-tiauw Lo-mo menjadi ketua, tokoh sakti ini telah memberikan latihan baru dan kepandaian para penghuni Pulau Neraka meningkat demikian hebatnya sehingga warna muka mereka telah berubah menjadi putih semua. Putih seperti dikapur!
Hal ini bukan merupakan tanda bahwa racun Pulau Neraka yang mengeram di tubuh mereka lenyap, sama sekali tidak, bahkan perubahan itu datang karena hawa beracun lain yang lebih hebat memasuki tubuh mereka. Hawa beracun yang tidak mengancam keselamatan nyawa, melainkan yang mendatangkan tenaga sakti beracun yang hebat!
Mendengar lengking-lengking mengerikan dan menyayat hati itu, Kian Lee dan Kian Bu cepat mengerahkan sin-kang mereka. Biarpun kedua orang pemuda tanggung ini telah memiliki tingkat kepandaian yang luar biasa tingginya, akan tetapi mereka tidak pernah bertempur dengan lawan tangguh, maka kini menghadapi pengeroyokan lima orang yang menggunakan khi-kang untuk merobohkan mereka itu mereka menjadi terkejut sekali.
Mereka mampu mempertahankan serangan suara khi-kang ini dengan mudah, namun rasa kaget di hati mereka membuat tubuh mereka agak bergoyang. Hal ini disalah tafsirkan oleh Hek-tiauw Lo-mo. Goyangan tubuh kedua orang pemuda tanggung ini dianggapnya sebagai tanda bahwa sin-kang mereka tidaklah begitu kuat, maka dia tertawa bergelak dan membentak,
“Lekas tangkap mereka!”
Mendengar aba-aba yang keluar dari mulut sang ketua sendiri, lima orang itu cepat bergerak. Seorang diantara mereka mendahului kawan-kawannya, menyerang Kian Lee, orang kedua menyerang Kian Bu sedangkan tiga orang yang lain sudah menerjang ke tengah-tengah diantara kedua orang muda itu.
Kian Lee dan Kian Bu dengan mudah dapat menangkis serangan lawan masing-masing, akan tetapi ketika melihat tiga orang yang lain menyergap ke bagian kosong diantara punggung mereka, keduanya terkejut dan melompat dengan menggeser kaki. Sambil mengelak ini, Kian Lee merendahkan tubuhnya, kakinya bergerak menyapu dengan kecepatan kilat dan seorang lawan terpelanting!
Kian Bu juga mengelak dengan melompat ke atas, dengan gaya yang amat indah tubuhnya berjungkir balik di udara dan kedua tangannya bergerak menyambar ke arah kepala dua orang pengeroyok lain. Gerakannya cepat sekali dan tidak terduga-duga, juga amat ganas karena serangannya adalah serangan yang dapat mendatangkan maut. Kalau jari tangannya menemui sasaran, yaitu ubun-ubun kepala, lawan yang betapa kuatpun tentu akan terancam bahaya maut!
Akan tetapi, seorang diantara mereka melempar diri ke belakang sehingga terluput dari serangan itu, yang kedua menangkis dan inilah kesalahannya. Biarpun ditangkis, karena Kian Bu menyerang dari atas dan menggunakan inti tenaga Im-kang yang dingin, tetap saja orang itu mengeluh, tubuhnya menggigil dan roboh terguling! Dia tidak terluka hebat, akan tetapi tubuhnya terbanting dan dia harus cepat bergulingan menyelamatkan diri.
Memang keistimewaan sin-kang yang dilatih di Pulau Es adalah sin-kang yang mengandung hawa dingin. Dan seperti gumpalan es yang dingin, sin-kang ini amat kuat terhadap perlawanan dari bawah, amat kuat untuk menekan ke bawah, berbeda dengan Yang-kang yang berhawa panas dan kuat sekali untuk mendorong, terutama ke atas, sesuai pula dengan kekuatan api yang panas.
Dalam segebrakan saja, dua orang pengeroyok telah terguling. Biarpun mereka tidak roboh terluka, namun mereka telah terguling dan barisan mereka telah kacau, hal ini menunjukkan betapa hebatnya dua orang muda itu!
Hek-tiauw Lo-mo memandang dengan melongo. Dia tadi sudah girang menyaksikan gerakan lima orang anak buahnya dan dia melihat pula betapa lima orang itu menggunakan Ngo-seng-tin dengan baiknya.
Bahkan gebrakan pertama, sebagai serangan pembuka tadi sudah amat baik, yang dua orang memancing perhatian kedua lawan, yang tiga orang mendobrak untuk membuat dua orang kakak-beradik itu terpisah dan tidak saling melindungi dengan berdiri saling membelakangi.
Akan tetapi, biarpun kedua kakak beradik itu kini berpisah, fihak anak buahnya yang menderita rugi, dan kalau dikehendaki, kedua orang pemuda remaja itu tentu telah dapat berdiri saling melindungi lagi.
Akan tetapi agaknya mereka menganggap hal itu tidak perlu. Dan memang benar. Gebrakan pertama tadi membuat Kian Lee dan Kian Bu maklum bahwa para pengeroyok mereka tidaklah sehebat yang mereka duga. Pertemuan tangan ketika menangkis, gerakan mereka ketika menyergap, sekaligus membuat kakak beradik ini mengerti bahwa untuk menghadapi lima orang ini saja, mereka berdua tidak perlu untuk saling melindungi! Bahkan kini Kian Bu berkata,
“Lee-ko, mundurlah dan biarlah aku main-main dengan mereka ini.”
Kian Lee percaya akan kekuatan adiknya, maka dia mengangguk lalu mundur dan berdiri dengan sikap tenang. Hal ini tentu membuat Hek-tiauw Lo-mo makin terheran. Benarkah lima orang anak buahnya hanya akan dihadapi oleh seorang pemuda saja? Pemuda itu masih belum dewasa benar, baru lima belas tahun usianya. Biarpun menerima pendidikan orang pandai, tentu belum matang kepandaiannya dan banyak pengalamannya.
Hatinya merasa penasaran sekali dan perasaannya menegang ketika dia melihat lima orang anak buahnya sudah menerjang maju dengan gerakan berbareng, dari lima jurusan menubruk dan seperti lima ekor burung rajawali memperebutkan seekor kelinci, mereka itu mengulur lengan dengan jari-jari terbuka, siap hendak mencengkeram dan menangkap.
Kian Bu yang memang merasa penasaran dan marah sekali melihat sikap ketua Pulau Neraka, kini menggunakan kepandaiannya dan mengerahkan sin-kangnya. Sengaja dia hendak memperlihatkan kepandaiannya, maka tubuhnya sudah bergerak seperti gasing, berputar dan sekaligus dia telah dapat menangkis lengan lima orang lawannya dengan keras sekali sehingga lima orang lawannya itu berteriak kaget karena tiba-tiba saja mereka merasa betapa hawa yang amat dingin menjalar melalui lengan yang ditangkis, membuat mereka menggigil!
Itulah inti yang dilatihnya di Pulau Es, tenaga Im-kang yang disebut Swat-in Sin-ciang (Inti Salju). Melihat lima orang lawannya dapat dibuatnya mundur dengan tangkisan tadi, kini tubuhnya bergerak cepat dan kedua lengannya meluncur ke arah lima orang itu seperti dua ekor ular yang bergerak ganas dan cepat sekali.
Pemuda ini telah mainkan Ilmu Silat Sin-coa-kun (Ilmu Silat Ular Sakti) yang dipelajarinya dari ibunya, Puteri Nirahai. Demikian cepatnya kedua lengannya itu bergerak sehingga sukar diikuti pandangan mata para pengeroyoknya, juga amat sukar diduga terlebih dahulu.
“Bu-te, jangan lukai orang!”
Kian Lee berseru karena dia tidak menghendaki adiknya yang berwatak keras itu menimbulkan keributan dan memperbesar permusuhan dengan Pulau Neraka.
Untung bagi lima orang Pulau Neraka itu bahwa Kian Bu selalu mentaati perintah kakaknya, kalau tidak, tentu mereka itu akan tewas! Mendengar ucapan kakaknya, Kian Bu mengubah totokannya yang tadinya ditujukan kepada jalan darah berbahaya dengan tamparan-tamparan yang mengenai dada mereka. Tamparan yang tidak begitu keras tetapi akibatnya cukup hebat. Berturut-turut lima orang itu mengeluh, tubuh mereka menggigil dan tergulinglah mereka ke atas tanah.
Melihat lima orang anak buahnya menggigil dan muka mereka kebiruan, Ji Song cepat menghampiri mereka dan dengan menempelkan telapak tangannya sebentar dalam gerakan menekan, dia telah menyalurkan sin-kang dan membantu mereka mengusir keluar hawa dingin yang menyesak dada. Lima orang itu maklum bahwa mereka bukanlah lawan pemuda tanggung itu, maka mereka lalu mundur mentaati isyarat mata yang diberikan Ji Song kepada mereka.
Hek-tiauw Lo-mo mengerutkan alisnya yang sudah terhias uban. Sama sekali tidak diduganya keadaan akan menjadi demikian. Lima orang anak buahnya kalah oleh seorang pemuda tanggung, hanya dalam segebrakan saja! Hal yang tidak mungkin!
Akan tetapi jelas telah terjadi! Gerakan pemuda itu tadi amat cepat dan hebat, dilakukan dengan tenang, ciri khas ilmu silat yang tinggi tingkatnya. Mulai khawatirlah hatinya. Benarkah ayah kedua orang pemuda yang berjuluk Pendekar Super Sakti itu amat hebat ilmunya? Tidak, tidak bisa dia percaya bahwa di dunia ini ada seorang tokoh yang akan mampu menandinginya.
“Bagus sekali!”
Hanya satu kali dia menggerakkan kaki dan tubuhnya sudah mencelat ke depan Kian Bu dan Kian Lee. Sejenak dia menatap wajah kedua orang pemuda tanggung itu.
“Kalian ternyata memiliki juga sedikit kepandaian. Hendak kulihat apakah kalian dapat bertahan sampai sepuluh jurus melawanku. ”
“Tocu, mengapa tocu mendesak kami? Kami berdua orang muda sama sekali tidak mempunyai niat untuk melawan tocu. Mana kami berani bersikap begitu kurang ajar?” Kian Lee masih berusaha membujuk ketua itu.
“Ha-ha-ha, apakah kalian takut?”
Hati Kian Bu yang sudah merasa tidak puas menyaksikan sikap kakaknya yang terlalu mengalah, kini meledak menjadi remarahan mendengar tantangan ketua itu. Dia bertolak pinggang dan membenak,
“Iblis tua, siapa takut kepadamu?”
Kian Lee terkejut mendengar adiknya memaki, akan tetapi karena memang julukan ketua itu adalah Iblis Tua Rajawali Hitam, maka disebut Lo-mo (Iblis Tua) oleh Kian Bu, ketua itu tidak menjadi marah, bahkan tertawa.
“Kalau tidak takut, lekas maju dan menyerangku.”
Kian Bu sudah siap, mengepal kedua tinjunya.
“Bu-te, perlahan dulu “ kakaknya memperingatkan.
“Ha-ha, orang muda yang halus. Kau pun boleh maju. Majulah kalian berdua dan hendak kulihat apakah kalian berdua sanggup bertahan sampai sepuluh jurus.”
“Kakek sombong!” Kian Bu membentak lagi. “Mari kita maju, Lee-ko. Dia yang menantang dan akan malulah ayah dan ibu kalau kita tidak menyambut tantangannya!”
Klan Lee mengangguk kepada adiknya dan berkata,
“Hati-hatilah, Bu-te, jangan sembrono.”
Melihat kedua orang pemuda itu sudah siap, Hek-tiauw Lo-mo tertawa.
“Ha-ha-ha, majulah kalian....”
Sejenak mereka saling berpandangan. Kakek itu berdiri dengan kedua kaki terpentang lebar dan kedua tangannya di pinggang. Celana yang pendek, hanya sebatas lutut itu membuat dia kelihatan seperti seorang pengemis saja, akan tetapi kedua kakinya kelihatan bersih dan putih kulitnya, walaupun penuh dengan bulu dan otot yang melingkar-lingkar. Juga kedua lengannya yang hanya tertutup baju dengan lengan sampai ke siku, kelihatan kekar dan kuat.
“Hyaaattt....!”
Kian Bu yang sudah marah sekali itu kini sudah mendahului kakaknya, menerjang maju dan kembali dia menggunakan ilmu simpanan yang dipelajarinya dari ibunya yaitu sebuah jurus pilihan dari Ilmu Silat Pat-sian-kun (Ilmu Silat Delapan Dewa).
Mula-mula dia meloncat ke depan sambil memekik nyaring, dari atas tubuhnya menerjang dengan pukulan tangan kanan mengarah dahi lawan, sedang tangan kiri mencengkeram ke arah pusar, akan tetaoi secara tiba-tiba sekali gerakan yang hanya merupakan pancingan itu berubah sama sekali, tubuhnya menurun dan tahu-tahu pukulannya berubah menjadi serangan dari bawah, menotok ke arah ulu hati dan menonjok ke arah perut. Inilah jurus yang disebut Ciu-san-hoan-eng (Dewa Arak Menukar Bayangan).
“Ha-ha, bagus!”
Kakek itu mengubah kedudukan kakinya yang tadi terpentang lebar, dengan loncatan kecil dia mundur, kini menggunakan kuda-kuda dengan kaki kiri di depan dan kanan di belakang, tubuh agak merendah, kedua lengannya yang berotot bergerak cepat, yang kiri menangkis totokan lawan, yang kanan bergerak menangkap pergelangan tangan kiri Kian Bu.
“Dukkkk!”
Pertemuan kedua lengan ketika kakek itu menangkis mengejutkan hati Kian Bu karena dia merasa betapa seluruh tubuhnya tergetar hebat, tanda bahwa tenaga sin-kang kakek itu kuat bukan main, sedangkan tangan kirinya yang tadinya memukul, kini tanpa dapat dihindarkan lagi karena luar biasa cepatnya gerakan lawan, tahu-tahu telah dicengkeram pergelangannya oleh kakek itu yang masih tertawa-tawa!
Kian Bu mengerahkan Swat-im Sin-ciang, akan tetapi kakek itu masih enak saja tertawa, seolah-olah tenaga Inti Salju itu tidak ada artinya baginya. Padahal, diam-diam kakek itu juga terkejut bukan main ketika merasa betapa hawa dingin yang tak dapat dilawannya menyusup melalui tangan pemuda itu memasuki lengannya!
Kian Lee lebih hati-hati daripada adiknya. Ketika tadi dia melihat adiknya menyerang dengan dahsyat, dia diam saja, hanya mendekat dan siap membantu. Dia maklum bahwa kakek ketua Pulau Neraka ini tentu lihai sekali dan dugaannya ternyata tepat ketika melihat betapa menghadapi serangan adiknya yang amat dahsyat itu, Hek-tiauw Lo-mo tidak hanya dapat menangkis, bahkan berhasil memegang pergelangan tangan kiri Kian Bu.
“Wuuuuutttt.... plak-plak!”
Kedua pukulan Kian Lee yang mengarah lambung dan tengkuk kakek itu dapat ditangkis dengan tepat oleh Hek-tiauw Lo-mo, akan tetapi ketika melihat datangnya pukulan yang mendatangkan angin dingin ini, terpaksa dia melepaskan tangan Kian Bu karena maklum bahwa serangan pemuda kedua inipun hebat sekali.
Dia makin penasaran dan mulailah dia mengeluarkan kepandaiannya, tubuhnya bergerak-gerak seperti orang menari, akan tetapi tarian yang liar dan buruk, dan memang ilmu silat kakek ini bersumber kepada tari-tarian bangsa yang masih liar dan belum beradab, dan melihat unsur-unsur ajaib dalam gerakan tari liar ini, dia lalu menciptakan semacam ilmu silat dengan menggabungkan unsur-unsur itu dengan inti ilmu silat yang pernah dipelajarinya.
Terjadilah pertandingan yang amat hebat! Pertandingan antara seorang kakek raksasa yang dikeroyok oleh dua orang pemuda tanggung, yang membuat semua penghuni Pulau Neraka, bahkan Ji Song sendiri, terbelalak dan ternganga penuh kagum. Tubuh tiga orang itu berkelebatan, kadang-kadang lenyap terbungkus bayangan lengan mereka, kadang-kadang mencelat kesana-sini, sehingga bagi mereka sukar sekali menentukan siapa diantara kedua fihak yang mendesak dan siapa pula yang terdesak!
Dapat dibayangkan betapa kaget dan penuh penasaran rasa hati Hek-tiauw Lo-mo! Tadi dia menantang dan mengejek karena dia merasa yakin bahwa dalam waktu kurang dari sepuluh jurus dia tentu akan berhasil mengalahkan dua orang pemuda tanggung itu dan mampu menawannya.
Akan tetapi siapa mengira, setelah lewat lima puluh jurus belum juga dia mampu mengalahkan mereka, bahkan beberapa kali hampir saja dia menjadi korban kedahsyatan serangan mereka, dan setiap kali bertemu dengan tangan mereka, tentu ada hawa dingin menyusup yang sungguhpun dapat dilawannya dengan sin-kangnya yang amat kuat, namun tetap saja dia merasa kulit lengannya dingin seperti terkena salju.
Rasa penasaran membuat kakek ini merasa malu dan marah. Malu kepada para anak buahnya dan marah kepada kedua orang pemuda itu. Akan tetapi untuk menjatuhkan tangan maut, dia merasa sayang. Selain keinginan makan daging mereka yang timbul melihat daging muda mereka yang menimbulkan seleranya, juga dia ingin menggunakan mereka sebagai pancingan agar orang yang berjuluk Pendekar Super Sakti yang amat ditakuti oleh semua penghuni Pulau Neraka itu datang ke tempat itu.
“Terimalah ini....!”
Kedua tangan kakek itu bergerak. Kian Lee dan Kian Bu terkejut dan cepat mereka bergerak mengelak karena mengira bahwa kakek itu tentu menggunakan senjata rahasia untuk menyerang mereka.
Akan tetapi tiba-tiba tampak benda seperti kabut atau uap tebal mengurung mereka dan ketika mereka berdua meloncat, ternyata bahwa kabut itu adalah sebuah jala yang terbuat dari bahan tipis sekali namun amat ulet dan kuat!
Ketika mereka berdua meloncat, tubuh mereka tentu saja terhalang jala dan mereka berdua terguling. Jala yang aneh itu makin menggulung mereka dan kedua orang pemuda tanggung itu tak dapat meloloskan diri, betapapun mereka meronta-ronta dan menarik-narik jala tipis itu.
Penggunaan jala sebagai senjata ini memang luar biasa sekali. Jala itu sedemikian tipisnya sehingga tadi dapat dikepal di kedua tangan Hek-tiauw Lo-mo, akan tetapi setelah dilempar dan dikembangkan, dapat menyelimuti tubuh kedua orang pemuda itu. Senjata istimewa ini merupakan sebuah diantara senjata-senjata yang hebat dan aneh dari Hek-tiauw Lo-mo, dan jala ini dibuatnya ketika dia menjadi raja bangsa biadab di dalam hutan liar di selatan, bahannya dibuat dari otot-otot binatang semacam rubah aneh yang hanya terdapat di dalam hutan itu. Otot-otot binatang ini amat ulet, sukar dibikin putus oleh senjata tajam sekalipun, dan memiliki sifat melar seperti karet.
Setelah menotok jalan darah kedua orang pemuda itu, Hek-tiauw Lo-mo menyimpan kembali jalanya dan memerintahkan kepada Ji Song,
“Tangkap dan belenggu mereka! Masukkan ke dalam kamar tahanan dan jaga jangan sampai lolos, akan tetapi perlakukan mereka dengan baik.”
Ji Song meneruskan perintah ini kepada anak buahnya dan setelah kedua orang pemuda yang tak dapat bergerak lagi itu digotong pergi, Hek-tiauw Lo-mo berkata kepada Ji Song,
“Suruh orang menyampaikan berita ke Pulau Es bahwa mereka kita tawan.”
“Maaf, tocu. Apakah tocu sudah memikirkan secara mendalam persoalan ini?” Ji Song berkata. “Apa gunanya bermusuh dengan Pendekar Super Sakti? Diapun tidak pernah mengganggu kita. Lebih baik kedua orang pemuda itu dibebaskan saja.”
Hek-tiauw Lo-mo mengerutkan alisnya.
“Tidak mengganggu kita, ya? Bukankah aku mendengar dari kalian bahwa Pulau Neraka ini dahulunya merupakan tempat pembuangan? Pembuangan dari kerajaan di Pulau Es?”
“Itu adalah sejarah dahulu, tocu. Akan tetapi kini Kerajaan Pulau Es telah tidak ada, bahkan kabarnya Pendekar Super Saktipun bukan keturunan dari Kerajaan Pulau Es.”
“Sudah, diamlah, Ji Song! Aku merasa penasaran kalau belum dapat bertemu dengan dia dan mengalahkannya.”
“Dia sakti sekali, tocu.”
“Aku tidak takut. Aku sudah siap menghadapinya. Pula, kedua orang puteranya berada di tangan kita, takut apa?”
Hek-tiauw Lo-mo berkata nyaring dan semua anak buahnya sudah bergerak menghadang kedua orang muda itu.
"Kami hendak pergi dari sini!"
Kian Bu membentak, marah sudah. Melihat kemarahan adiknya, Kian Lee cepat berkata dengan suara masih penuh kesabaran dan ketenangan,
"Harap Cu-wi tidak menghalangi kami yang hendak pergi lagi dengan aman."
"Ha-ha-ha, tidak begitu mudah, orang-orang muda yang baik! Siapapun dia yang sudah mendarat di Pulau Neraka, tidak dapat pergi begitu saja!"
"Pulau Neraka....?"
Kedua orang muda itu terbelalak setelah mengeluarkan kata-kata ini. Tentu saja mereka telah mendengar akan Pulau Neraka dari penuturan orang tua mereka, bahkan Kian Lee tahu pula bahwa ibu kandungnya dahulu adalah ketua Pulau Neraka!
"Aihhh! Jadi kalian ini adalah para penghuni Pulau Neraka dan kami berdua berada di Pulau Neraka? Sungguh kebetulan sekali!" teriak Kian Bu dengan girang.
"Ha-ha-ha, mengapa kau katakan kebetulan, orang muda?" tanya Hek-tiauw Lo-mo, agak kecewa mengapa kedua orang pemuda tanggung ini tidak takut mendengar nama Pulau Neraka.
"Karena ibu kami, ibu kandung kakakku ini, pernah menjadi ketua Pulau Neraka ini!"
"Bu-te....!" Kian Lee terkejut melihat adiknya yang begitu sembrono mengakui hal itu.
Benar saja, kakek itu terkejut sekali, akan tetapi lebih terkejut lagi adalah para penghuni Pulau Neraka itu yang kini memandang kepada Kian Lee dengan mata bengong dan penuh selidik. Mereka semua tahu bahwa majikan mereka yang dahulu, kini telah menjadi isteri Pendekar Super Sakti di Pulau Es.
Hek-tiauw Lo-mo yang tidak mengenal apa yang dimaksudkan dengan wanita ketua Pulau Neraka itu, bertanya mendesak,
"Benarkah demikian?"
Karena adiknya sudah terlanjur bicara, maka Kian Lee lalu berkata dengan suara tenang, dan sesungguhnya,
"Tidak salah ucapan adikku. Ibuku pernah menjadi ketua Pulau Neraka, akan tetapi sekarang ibuku adalah penghuni Pulau Es. Kami berdua datang dari Pulau Es, kami adalah dua orang putera Pendekar Super Sakti, Majikan Pulau Es."
Mendengar ucapan ini, semua penghuni Pulau Neraka terbelalak dan serta merta mereka menjatuhkan diri berlutut menghadap ke arah dua orang pemuda itu!
Melihat betapa semua anak buahnya memperlihatkan sikap menghormat kepada dua orang muda yang mengaku datang dari Pulau Es itu, Hek-tiauw Lo-mo menjadi marah sekali. Dia membanting kedua kakinya yang sebesar kaki gajah itu ke atas tanah sehingga tanah sekeliling tempat dia berdiri tergetar seperti dilanda gempa bumi!
"Bangun semua! Hayo bangkit semua, yang tidak bangkit akan kubunuh!"
Tentu saja para anak buah Pulau Neraka terkejut dan ketakutan. Cepat mereka bangkit berdiri sungguhpun mereka masih memandang ke arah Kian Lee dan Kian Bu dengan sikap sungkan.
Hek-tiauw Lo-mo sudah meloncat ke depan dan dua orang pemuda tanggung itu melihat betapa gerakan kakek ini ringan sekali, sama sekali tidak sepadan dengan tubuhnya yang demikian besarnya.
"Bagus! Jadi kalian adalah putera Pendekar Super Sakti dari Pulau Es? Siapa sih itu Pendekar Super Sakti? Baru sekarang aku mendengar namanya! Tadinya kalian akan kujadikan pesta, daging kalian yang muda tentu enak dipanggang. Akan tetapi karena kalian adalah orang-orang Pulau Es, biarlah aku menjadikan kalian tahanan disini. Hendak kulihat apa yang akan dapat dilakukan oleh Pendekar Super Sakti!"
Tiba-tiba seorang yang tua dan tubuhnya gendut tinggi besar, menjatuhkan diri berlutut di depan ketuanya.
"Ji Song, kau mau bicara apa?"
Hek-tiauw Lo-mo membentak, masih marah karena para anak buahnya tadi memberi penghormatan besar kepada dua orang pemuda itu.
Ji Song adalah seorang tokoh Pulau Neraka yang boleh dibilang tertua, juga dia lihai sekali dan menjadi orang kedua setelah Hek-tiauw Lo-mo. Tentu saja sebagai tokoh tua, dia cukup mengenal kehebatan Pendekar Super Sakti yang amat ditakutinya itu (baca cerita Sepasang Pedang Iblis). Maka begitu mendengar tantangan ketuanya, dia takut akan akibatnya, kalau Pendekar Super Sakti mengamuk, bukan hanya ketua Pulau Neraka, mungkin seluruh penghuni Pulau Neraka akan menanggung akibatnya.
"Tocu, harap maafkan saya.... akan tetapi saya harap tocu tidak main-main dengan.... dengan Pendekar Super Sakti, Majikan Pulau Es. Hendaknya tocu percaya kepada saya dan.... dan sebaiknya kalau kedua orang pemuda ini dibebaskan saja agar jangan timbul banyak urusan yang akan memusingkan saja."
Raksasa itu mengelus jenggotnya dan mengangguk-angguk.
"Hemmm, kalau bukan engkau yang bicara aku tentu tidak akan percaya, Ji Song. Penghuni Pulau Neraka takut terhadap seorang manusia lain? Engkau membangkitkan keinginan tahuku lebih besar lagi, melihat engkau sendiri begitu takut! Seperti apakah Pendekar Super Sakti?"
"Seperti apa? Kalau dia datang, jangan harap engkau akan dapat hidup lebih lama lagi!" Tiba-tiba Kian Bu berkata dengan suara mengejek. "Pula, tidak perlu ayah datang, kami berduapun tidak takut menghadapi kalian!"
"Bu-te....!" Kian Lee mencela adiknya, kemudian dengan suara halus dia berkata kepada ketua Pulau Neraka itu, "Harap tocu suka memaafkan kami dan apa yang dikatakan oleh lopek itu tadi benar. Sebaiknyalah kalau diantara kita tidak timbul permusuhan apa-apa. Harap tocu membiarkan kami pergi."
"Nanti dulu, orang muda. Tidak begitu mudah menggertak Hek-tiauw Lo-mo, ha-ha-ha! Boleh jadi ayah kalian itu berkepandaian tinggi dan membikin takut hati para penghuni Pulau Neraka, akan tetapi aku yang belum pernah bertemu dengan Pendekar Super Sakti, sama sekali tidak takut!"
"Habis, apa yang hendak kau lakukan terhadap kami?"
Kian Bu membentak lagi saking marahnya. Kalau tidak melihat sikap kakaknya, tentu dia sudah menerjang maju dan menggunakan kekerasan untuk membebaskan diri dan meninggalkan pulau berbahaya itu.
"Ha-ha-ha, seperti melihat bumi dengan langit. Begitu besar perbedaan antara mereka, akan tetapi begitu sama tampan dan gagahnya! Orang-orang muda yang gagah dan tampan, siapakah nama kalian?"
"Namaku adalah Suma Kian Lee dan dia ini adalah adikku, Suma Kian Bu. Sekali lagi aku mengharap kebijaksanaan tocu untuk membebaskan kami dan biarlah kami akan menceritakan kepada ayah kami akan kebaikan hatimu itu."
"Oho! Kau hendak menggunakan nama ayahmu untuk menakuti aku?"
"Habis, kau mau apa?" Kian Bu membentak.
"Kalian tidak boleh meninggalkan pulau ini sampai ayah kalian datang. Kalau benar ayah kalian super sakti dan dapat mengalahkan aku, ha-ha-ha, hal yang sama sekali tak mungkin, kalau aku kalah, baru kalian boleh pergi bersama ayahmu."
"Manusia sombong! Aku tidak takut, hendak kulihat bagaimana kau hendak menangkap aku!"
Kian Bu membentak lagi dan sudah memasang kuda-kuda dengan kokoh, kedua kakinya menyilang dan agak ditekuk lututnya, kedua lengan di depan dan di belakang tubuh, sikap yang siap menghadapi pengeroyokan banyak lawan yang mengurungnya.
Kian Lee yang kini maklum bahwa tidak mungkin dapat membujuk ketua Pulau Neraka, juga sudah bersiap untuk membela diri, akan tetapi sikapnya tenang dan penuh kewaspadaan, cepat dia meloncat di belakang tubuh adiknya sehingga mereka berdua berdiri saling membelakangi dan dengan demikian saling melindungi.
"Heh-heh-heh, luar biasa! Ji Song, perintahkan lima orang untuk menangkap mereka. Hendak kulihat gerakan mereka. Dari gerakan anak-anaknya, tentu aku akan dapat mengukur kepandaian ayahnya," kata raksasa itu sambil tertawa penuh kegirangan.
Kedua alis Ji Song berkerut. Dia takut sekali terhadap Pendekar Super Sakti. Sudah sering kali dia menyaksikan kehebatan sepak terjang pendekar yang menjadi Majikan Pulau Es itu. Bahkan bekas ketuanya, wanita yang memiliki kepandaian tinggi, sekarang menjadi isteri Pendekar Super Sakti dan seorang diantara kedua pemuda ini, yang bersikap tenang dan gagah, adalah putera bekas ketuanya.
Tentu saja dia menjadi jerih sekali dan kalau saja tidak takut kepada ketuanya yang baru ini, yang dia tahu juga amat lihai dan kejam, tentu dia akan cepat-cepat membiarkan kedua orang muda itu pergi, seperti membiarkan kedua ekor singa muda yang masuk ke dalam rumahnya. Sekarang terpaksa dia menyuruh lima orang pembantunya yang paling lihai untuk maju menangkap kedua orang muda ini.
"Tangkap mereka, akan tetapi jangan sampai mereka terluka," perintahnya kepada lima orang anak buahnya itu.
Lima orang itu, tidak berbeda dengan Ji Song, adalah penghuni-penghuni lama Pulau Neraka, tentu saja merekapun gentar terhadap Pendekar Super Sakti dan terhadap Lulu, bekas ketua mereka. Ngeri rasa hati mereka kalau mengingat bahwa mereka disuruh melawan putera bekas ketua mereka itu!
Akan tetapi karena mereka maklum bahwa kalau mereka berani membangkang, tentu ketua mereka yang baru takkan ragu-ragu membunuh mereka, bahkan mungkin makan daging mereka, lima orang itu mengangguk lalu meloncat maju mengurung dua orang muda itu.
Kian Lee dan Kian Bu tidak bergerak, tetap memasang kuda-kuda seperti tadi, tubuh mereka seperti arca, sedikitpun tidak bergerak, hanya mata mereka yang melirik ke kanan kiri mengikuti gerakan lima orang pengurung mereka itu. Seluruh urat syarat di dalam tubuh mereka menegang dan dalam keadaan siap siaga.
Lima orang itu juga tidak berani turun tangan secara sembrono karena mereka dapat menduga bahwa dua orang muda ini tentulah memiliki ilmu kepandaian tinggi dan sama sekali tidak boleh dipandang ringan. Maka mereka lalu mengurung sambil melangkah perlahan-lahan mengelilingi dua orang muda itu, saling memberi tanda dengan mata untuk mengatur gerakan mereka.
Ternyata mereka itu hendak menggunakan bentuk barisan Ngo-seng-tin (Barisan Lima Bintang) seperti yang diajarkan oleh ketua mereka yang baru. Melihat gerakan anak buahnya ini, Hek-tiauw Lo-mo mengangguk-angguk dan mengelus jenggotnya dengan girang, mulutnya tersenyum-senyum dan dia sudah merasa yakin bahwa dalam beberapa gebrakan saja dua orang muda itu tentu sudah dapat diringkus dan ditawan.
Tiba-tiba seorang diantara lima penghuni Pulau Neraka itu mengeluarkan teriakan yang menyayat hati saking tinggi lengkingnya, dan teriakan ini disusul oleh teriakan keempat orang kawannya. Teriakan-teriakan ini mempunyai wibawa yang amat kuat dan dengan teriakan-teriakan ini saja, musuh yang kurang kuat sin-kangnya sudah akan dapat dirobohkan!
Harus diketahui bahwa tingkat kepandaian para penghuni Pulau Neraka tidak boleh disamakan dengan dahulu ketika Lulu masih menjadi ketua disitu (baca Sepasang Pedang Iblis). Ketika Lulu masih menjadi ketua, belasan tahun sampai dua puluh tahun yang lalu, kepandaian anak buah Pulau Neraka memang sudah hebat dan tingkat kepandaian atau kekuatan sin-kang mereka ditandai dengan warna muka mereka.
Muka mereka sebagai akibat keracunan ketika berlatih di Pulau Neraka, berubah menjadi berwarna-warna, ada yang merah, merah muda, biru, hijau, kuning dan sebagainya. Makin muda warna muka mereka, makin tinggilah kepandaian mereka dan makin kuat sin-kang mereka.
Ji Song yang kini menjadi pembantu utama ketua baru, dahulu bermuka merah muda, merupakan tingkat ketiga dari Pulau Neraka. Akan tetapi sekarang, semenjak Hek-tiauw Lo-mo menjadi ketua, tokoh sakti ini telah memberikan latihan baru dan kepandaian para penghuni Pulau Neraka meningkat demikian hebatnya sehingga warna muka mereka telah berubah menjadi putih semua. Putih seperti dikapur!
Hal ini bukan merupakan tanda bahwa racun Pulau Neraka yang mengeram di tubuh mereka lenyap, sama sekali tidak, bahkan perubahan itu datang karena hawa beracun lain yang lebih hebat memasuki tubuh mereka. Hawa beracun yang tidak mengancam keselamatan nyawa, melainkan yang mendatangkan tenaga sakti beracun yang hebat!
Mendengar lengking-lengking mengerikan dan menyayat hati itu, Kian Lee dan Kian Bu cepat mengerahkan sin-kang mereka. Biarpun kedua orang pemuda tanggung ini telah memiliki tingkat kepandaian yang luar biasa tingginya, akan tetapi mereka tidak pernah bertempur dengan lawan tangguh, maka kini menghadapi pengeroyokan lima orang yang menggunakan khi-kang untuk merobohkan mereka itu mereka menjadi terkejut sekali.
Mereka mampu mempertahankan serangan suara khi-kang ini dengan mudah, namun rasa kaget di hati mereka membuat tubuh mereka agak bergoyang. Hal ini disalah tafsirkan oleh Hek-tiauw Lo-mo. Goyangan tubuh kedua orang pemuda tanggung ini dianggapnya sebagai tanda bahwa sin-kang mereka tidaklah begitu kuat, maka dia tertawa bergelak dan membentak,
“Lekas tangkap mereka!”
Mendengar aba-aba yang keluar dari mulut sang ketua sendiri, lima orang itu cepat bergerak. Seorang diantara mereka mendahului kawan-kawannya, menyerang Kian Lee, orang kedua menyerang Kian Bu sedangkan tiga orang yang lain sudah menerjang ke tengah-tengah diantara kedua orang muda itu.
Kian Lee dan Kian Bu dengan mudah dapat menangkis serangan lawan masing-masing, akan tetapi ketika melihat tiga orang yang lain menyergap ke bagian kosong diantara punggung mereka, keduanya terkejut dan melompat dengan menggeser kaki. Sambil mengelak ini, Kian Lee merendahkan tubuhnya, kakinya bergerak menyapu dengan kecepatan kilat dan seorang lawan terpelanting!
Kian Bu juga mengelak dengan melompat ke atas, dengan gaya yang amat indah tubuhnya berjungkir balik di udara dan kedua tangannya bergerak menyambar ke arah kepala dua orang pengeroyok lain. Gerakannya cepat sekali dan tidak terduga-duga, juga amat ganas karena serangannya adalah serangan yang dapat mendatangkan maut. Kalau jari tangannya menemui sasaran, yaitu ubun-ubun kepala, lawan yang betapa kuatpun tentu akan terancam bahaya maut!
Akan tetapi, seorang diantara mereka melempar diri ke belakang sehingga terluput dari serangan itu, yang kedua menangkis dan inilah kesalahannya. Biarpun ditangkis, karena Kian Bu menyerang dari atas dan menggunakan inti tenaga Im-kang yang dingin, tetap saja orang itu mengeluh, tubuhnya menggigil dan roboh terguling! Dia tidak terluka hebat, akan tetapi tubuhnya terbanting dan dia harus cepat bergulingan menyelamatkan diri.
Memang keistimewaan sin-kang yang dilatih di Pulau Es adalah sin-kang yang mengandung hawa dingin. Dan seperti gumpalan es yang dingin, sin-kang ini amat kuat terhadap perlawanan dari bawah, amat kuat untuk menekan ke bawah, berbeda dengan Yang-kang yang berhawa panas dan kuat sekali untuk mendorong, terutama ke atas, sesuai pula dengan kekuatan api yang panas.
Dalam segebrakan saja, dua orang pengeroyok telah terguling. Biarpun mereka tidak roboh terluka, namun mereka telah terguling dan barisan mereka telah kacau, hal ini menunjukkan betapa hebatnya dua orang muda itu!
Hek-tiauw Lo-mo memandang dengan melongo. Dia tadi sudah girang menyaksikan gerakan lima orang anak buahnya dan dia melihat pula betapa lima orang itu menggunakan Ngo-seng-tin dengan baiknya.
Bahkan gebrakan pertama, sebagai serangan pembuka tadi sudah amat baik, yang dua orang memancing perhatian kedua lawan, yang tiga orang mendobrak untuk membuat dua orang kakak-beradik itu terpisah dan tidak saling melindungi dengan berdiri saling membelakangi.
Akan tetapi, biarpun kedua kakak beradik itu kini berpisah, fihak anak buahnya yang menderita rugi, dan kalau dikehendaki, kedua orang pemuda remaja itu tentu telah dapat berdiri saling melindungi lagi.
Akan tetapi agaknya mereka menganggap hal itu tidak perlu. Dan memang benar. Gebrakan pertama tadi membuat Kian Lee dan Kian Bu maklum bahwa para pengeroyok mereka tidaklah sehebat yang mereka duga. Pertemuan tangan ketika menangkis, gerakan mereka ketika menyergap, sekaligus membuat kakak beradik ini mengerti bahwa untuk menghadapi lima orang ini saja, mereka berdua tidak perlu untuk saling melindungi! Bahkan kini Kian Bu berkata,
“Lee-ko, mundurlah dan biarlah aku main-main dengan mereka ini.”
Kian Lee percaya akan kekuatan adiknya, maka dia mengangguk lalu mundur dan berdiri dengan sikap tenang. Hal ini tentu membuat Hek-tiauw Lo-mo makin terheran. Benarkah lima orang anak buahnya hanya akan dihadapi oleh seorang pemuda saja? Pemuda itu masih belum dewasa benar, baru lima belas tahun usianya. Biarpun menerima pendidikan orang pandai, tentu belum matang kepandaiannya dan banyak pengalamannya.
Hatinya merasa penasaran sekali dan perasaannya menegang ketika dia melihat lima orang anak buahnya sudah menerjang maju dengan gerakan berbareng, dari lima jurusan menubruk dan seperti lima ekor burung rajawali memperebutkan seekor kelinci, mereka itu mengulur lengan dengan jari-jari terbuka, siap hendak mencengkeram dan menangkap.
Kian Bu yang memang merasa penasaran dan marah sekali melihat sikap ketua Pulau Neraka, kini menggunakan kepandaiannya dan mengerahkan sin-kangnya. Sengaja dia hendak memperlihatkan kepandaiannya, maka tubuhnya sudah bergerak seperti gasing, berputar dan sekaligus dia telah dapat menangkis lengan lima orang lawannya dengan keras sekali sehingga lima orang lawannya itu berteriak kaget karena tiba-tiba saja mereka merasa betapa hawa yang amat dingin menjalar melalui lengan yang ditangkis, membuat mereka menggigil!
Itulah inti yang dilatihnya di Pulau Es, tenaga Im-kang yang disebut Swat-in Sin-ciang (Inti Salju). Melihat lima orang lawannya dapat dibuatnya mundur dengan tangkisan tadi, kini tubuhnya bergerak cepat dan kedua lengannya meluncur ke arah lima orang itu seperti dua ekor ular yang bergerak ganas dan cepat sekali.
Pemuda ini telah mainkan Ilmu Silat Sin-coa-kun (Ilmu Silat Ular Sakti) yang dipelajarinya dari ibunya, Puteri Nirahai. Demikian cepatnya kedua lengannya itu bergerak sehingga sukar diikuti pandangan mata para pengeroyoknya, juga amat sukar diduga terlebih dahulu.
“Bu-te, jangan lukai orang!”
Kian Lee berseru karena dia tidak menghendaki adiknya yang berwatak keras itu menimbulkan keributan dan memperbesar permusuhan dengan Pulau Neraka.
Untung bagi lima orang Pulau Neraka itu bahwa Kian Bu selalu mentaati perintah kakaknya, kalau tidak, tentu mereka itu akan tewas! Mendengar ucapan kakaknya, Kian Bu mengubah totokannya yang tadinya ditujukan kepada jalan darah berbahaya dengan tamparan-tamparan yang mengenai dada mereka. Tamparan yang tidak begitu keras tetapi akibatnya cukup hebat. Berturut-turut lima orang itu mengeluh, tubuh mereka menggigil dan tergulinglah mereka ke atas tanah.
Melihat lima orang anak buahnya menggigil dan muka mereka kebiruan, Ji Song cepat menghampiri mereka dan dengan menempelkan telapak tangannya sebentar dalam gerakan menekan, dia telah menyalurkan sin-kang dan membantu mereka mengusir keluar hawa dingin yang menyesak dada. Lima orang itu maklum bahwa mereka bukanlah lawan pemuda tanggung itu, maka mereka lalu mundur mentaati isyarat mata yang diberikan Ji Song kepada mereka.
Hek-tiauw Lo-mo mengerutkan alisnya yang sudah terhias uban. Sama sekali tidak diduganya keadaan akan menjadi demikian. Lima orang anak buahnya kalah oleh seorang pemuda tanggung, hanya dalam segebrakan saja! Hal yang tidak mungkin!
Akan tetapi jelas telah terjadi! Gerakan pemuda itu tadi amat cepat dan hebat, dilakukan dengan tenang, ciri khas ilmu silat yang tinggi tingkatnya. Mulai khawatirlah hatinya. Benarkah ayah kedua orang pemuda yang berjuluk Pendekar Super Sakti itu amat hebat ilmunya? Tidak, tidak bisa dia percaya bahwa di dunia ini ada seorang tokoh yang akan mampu menandinginya.
“Bagus sekali!”
Hanya satu kali dia menggerakkan kaki dan tubuhnya sudah mencelat ke depan Kian Bu dan Kian Lee. Sejenak dia menatap wajah kedua orang pemuda tanggung itu.
“Kalian ternyata memiliki juga sedikit kepandaian. Hendak kulihat apakah kalian dapat bertahan sampai sepuluh jurus melawanku. ”
“Tocu, mengapa tocu mendesak kami? Kami berdua orang muda sama sekali tidak mempunyai niat untuk melawan tocu. Mana kami berani bersikap begitu kurang ajar?” Kian Lee masih berusaha membujuk ketua itu.
“Ha-ha-ha, apakah kalian takut?”
Hati Kian Bu yang sudah merasa tidak puas menyaksikan sikap kakaknya yang terlalu mengalah, kini meledak menjadi remarahan mendengar tantangan ketua itu. Dia bertolak pinggang dan membenak,
“Iblis tua, siapa takut kepadamu?”
Kian Lee terkejut mendengar adiknya memaki, akan tetapi karena memang julukan ketua itu adalah Iblis Tua Rajawali Hitam, maka disebut Lo-mo (Iblis Tua) oleh Kian Bu, ketua itu tidak menjadi marah, bahkan tertawa.
“Kalau tidak takut, lekas maju dan menyerangku.”
Kian Bu sudah siap, mengepal kedua tinjunya.
“Bu-te, perlahan dulu “ kakaknya memperingatkan.
“Ha-ha, orang muda yang halus. Kau pun boleh maju. Majulah kalian berdua dan hendak kulihat apakah kalian berdua sanggup bertahan sampai sepuluh jurus.”
“Kakek sombong!” Kian Bu membentak lagi. “Mari kita maju, Lee-ko. Dia yang menantang dan akan malulah ayah dan ibu kalau kita tidak menyambut tantangannya!”
Klan Lee mengangguk kepada adiknya dan berkata,
“Hati-hatilah, Bu-te, jangan sembrono.”
Melihat kedua orang pemuda itu sudah siap, Hek-tiauw Lo-mo tertawa.
“Ha-ha-ha, majulah kalian....”
Sejenak mereka saling berpandangan. Kakek itu berdiri dengan kedua kaki terpentang lebar dan kedua tangannya di pinggang. Celana yang pendek, hanya sebatas lutut itu membuat dia kelihatan seperti seorang pengemis saja, akan tetapi kedua kakinya kelihatan bersih dan putih kulitnya, walaupun penuh dengan bulu dan otot yang melingkar-lingkar. Juga kedua lengannya yang hanya tertutup baju dengan lengan sampai ke siku, kelihatan kekar dan kuat.
“Hyaaattt....!”
Kian Bu yang sudah marah sekali itu kini sudah mendahului kakaknya, menerjang maju dan kembali dia menggunakan ilmu simpanan yang dipelajarinya dari ibunya yaitu sebuah jurus pilihan dari Ilmu Silat Pat-sian-kun (Ilmu Silat Delapan Dewa).
Mula-mula dia meloncat ke depan sambil memekik nyaring, dari atas tubuhnya menerjang dengan pukulan tangan kanan mengarah dahi lawan, sedang tangan kiri mencengkeram ke arah pusar, akan tetaoi secara tiba-tiba sekali gerakan yang hanya merupakan pancingan itu berubah sama sekali, tubuhnya menurun dan tahu-tahu pukulannya berubah menjadi serangan dari bawah, menotok ke arah ulu hati dan menonjok ke arah perut. Inilah jurus yang disebut Ciu-san-hoan-eng (Dewa Arak Menukar Bayangan).
“Ha-ha, bagus!”
Kakek itu mengubah kedudukan kakinya yang tadi terpentang lebar, dengan loncatan kecil dia mundur, kini menggunakan kuda-kuda dengan kaki kiri di depan dan kanan di belakang, tubuh agak merendah, kedua lengannya yang berotot bergerak cepat, yang kiri menangkis totokan lawan, yang kanan bergerak menangkap pergelangan tangan kiri Kian Bu.
“Dukkkk!”
Pertemuan kedua lengan ketika kakek itu menangkis mengejutkan hati Kian Bu karena dia merasa betapa seluruh tubuhnya tergetar hebat, tanda bahwa tenaga sin-kang kakek itu kuat bukan main, sedangkan tangan kirinya yang tadinya memukul, kini tanpa dapat dihindarkan lagi karena luar biasa cepatnya gerakan lawan, tahu-tahu telah dicengkeram pergelangannya oleh kakek itu yang masih tertawa-tawa!
Kian Bu mengerahkan Swat-im Sin-ciang, akan tetapi kakek itu masih enak saja tertawa, seolah-olah tenaga Inti Salju itu tidak ada artinya baginya. Padahal, diam-diam kakek itu juga terkejut bukan main ketika merasa betapa hawa dingin yang tak dapat dilawannya menyusup melalui tangan pemuda itu memasuki lengannya!
Kian Lee lebih hati-hati daripada adiknya. Ketika tadi dia melihat adiknya menyerang dengan dahsyat, dia diam saja, hanya mendekat dan siap membantu. Dia maklum bahwa kakek ketua Pulau Neraka ini tentu lihai sekali dan dugaannya ternyata tepat ketika melihat betapa menghadapi serangan adiknya yang amat dahsyat itu, Hek-tiauw Lo-mo tidak hanya dapat menangkis, bahkan berhasil memegang pergelangan tangan kiri Kian Bu.
“Wuuuuutttt.... plak-plak!”
Kedua pukulan Kian Lee yang mengarah lambung dan tengkuk kakek itu dapat ditangkis dengan tepat oleh Hek-tiauw Lo-mo, akan tetapi ketika melihat datangnya pukulan yang mendatangkan angin dingin ini, terpaksa dia melepaskan tangan Kian Bu karena maklum bahwa serangan pemuda kedua inipun hebat sekali.
Dia makin penasaran dan mulailah dia mengeluarkan kepandaiannya, tubuhnya bergerak-gerak seperti orang menari, akan tetapi tarian yang liar dan buruk, dan memang ilmu silat kakek ini bersumber kepada tari-tarian bangsa yang masih liar dan belum beradab, dan melihat unsur-unsur ajaib dalam gerakan tari liar ini, dia lalu menciptakan semacam ilmu silat dengan menggabungkan unsur-unsur itu dengan inti ilmu silat yang pernah dipelajarinya.
Terjadilah pertandingan yang amat hebat! Pertandingan antara seorang kakek raksasa yang dikeroyok oleh dua orang pemuda tanggung, yang membuat semua penghuni Pulau Neraka, bahkan Ji Song sendiri, terbelalak dan ternganga penuh kagum. Tubuh tiga orang itu berkelebatan, kadang-kadang lenyap terbungkus bayangan lengan mereka, kadang-kadang mencelat kesana-sini, sehingga bagi mereka sukar sekali menentukan siapa diantara kedua fihak yang mendesak dan siapa pula yang terdesak!
Dapat dibayangkan betapa kaget dan penuh penasaran rasa hati Hek-tiauw Lo-mo! Tadi dia menantang dan mengejek karena dia merasa yakin bahwa dalam waktu kurang dari sepuluh jurus dia tentu akan berhasil mengalahkan dua orang pemuda tanggung itu dan mampu menawannya.
Akan tetapi siapa mengira, setelah lewat lima puluh jurus belum juga dia mampu mengalahkan mereka, bahkan beberapa kali hampir saja dia menjadi korban kedahsyatan serangan mereka, dan setiap kali bertemu dengan tangan mereka, tentu ada hawa dingin menyusup yang sungguhpun dapat dilawannya dengan sin-kangnya yang amat kuat, namun tetap saja dia merasa kulit lengannya dingin seperti terkena salju.
Rasa penasaran membuat kakek ini merasa malu dan marah. Malu kepada para anak buahnya dan marah kepada kedua orang pemuda itu. Akan tetapi untuk menjatuhkan tangan maut, dia merasa sayang. Selain keinginan makan daging mereka yang timbul melihat daging muda mereka yang menimbulkan seleranya, juga dia ingin menggunakan mereka sebagai pancingan agar orang yang berjuluk Pendekar Super Sakti yang amat ditakuti oleh semua penghuni Pulau Neraka itu datang ke tempat itu.
“Terimalah ini....!”
Kedua tangan kakek itu bergerak. Kian Lee dan Kian Bu terkejut dan cepat mereka bergerak mengelak karena mengira bahwa kakek itu tentu menggunakan senjata rahasia untuk menyerang mereka.
Akan tetapi tiba-tiba tampak benda seperti kabut atau uap tebal mengurung mereka dan ketika mereka berdua meloncat, ternyata bahwa kabut itu adalah sebuah jala yang terbuat dari bahan tipis sekali namun amat ulet dan kuat!
Ketika mereka berdua meloncat, tubuh mereka tentu saja terhalang jala dan mereka berdua terguling. Jala yang aneh itu makin menggulung mereka dan kedua orang pemuda tanggung itu tak dapat meloloskan diri, betapapun mereka meronta-ronta dan menarik-narik jala tipis itu.
Penggunaan jala sebagai senjata ini memang luar biasa sekali. Jala itu sedemikian tipisnya sehingga tadi dapat dikepal di kedua tangan Hek-tiauw Lo-mo, akan tetapi setelah dilempar dan dikembangkan, dapat menyelimuti tubuh kedua orang pemuda itu. Senjata istimewa ini merupakan sebuah diantara senjata-senjata yang hebat dan aneh dari Hek-tiauw Lo-mo, dan jala ini dibuatnya ketika dia menjadi raja bangsa biadab di dalam hutan liar di selatan, bahannya dibuat dari otot-otot binatang semacam rubah aneh yang hanya terdapat di dalam hutan itu. Otot-otot binatang ini amat ulet, sukar dibikin putus oleh senjata tajam sekalipun, dan memiliki sifat melar seperti karet.
Setelah menotok jalan darah kedua orang pemuda itu, Hek-tiauw Lo-mo menyimpan kembali jalanya dan memerintahkan kepada Ji Song,
“Tangkap dan belenggu mereka! Masukkan ke dalam kamar tahanan dan jaga jangan sampai lolos, akan tetapi perlakukan mereka dengan baik.”
Ji Song meneruskan perintah ini kepada anak buahnya dan setelah kedua orang pemuda yang tak dapat bergerak lagi itu digotong pergi, Hek-tiauw Lo-mo berkata kepada Ji Song,
“Suruh orang menyampaikan berita ke Pulau Es bahwa mereka kita tawan.”
“Maaf, tocu. Apakah tocu sudah memikirkan secara mendalam persoalan ini?” Ji Song berkata. “Apa gunanya bermusuh dengan Pendekar Super Sakti? Diapun tidak pernah mengganggu kita. Lebih baik kedua orang pemuda itu dibebaskan saja.”
Hek-tiauw Lo-mo mengerutkan alisnya.
“Tidak mengganggu kita, ya? Bukankah aku mendengar dari kalian bahwa Pulau Neraka ini dahulunya merupakan tempat pembuangan? Pembuangan dari kerajaan di Pulau Es?”
“Itu adalah sejarah dahulu, tocu. Akan tetapi kini Kerajaan Pulau Es telah tidak ada, bahkan kabarnya Pendekar Super Saktipun bukan keturunan dari Kerajaan Pulau Es.”
“Sudah, diamlah, Ji Song! Aku merasa penasaran kalau belum dapat bertemu dengan dia dan mengalahkannya.”
“Dia sakti sekali, tocu.”
“Aku tidak takut. Aku sudah siap menghadapinya. Pula, kedua orang puteranya berada di tangan kita, takut apa?”
**** 002 ****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar