“Heiiiiittt....!”
Dia membentak dan kini dia mengeluarkan pukulan-pukulan Hun-kin Coh-kut-ciang (Pukulan Memutuskan Otot dan Melepaskan Tulang). Kedua tangannya seperti dua batang golok saja membacok dan menyambar-nyambar, mengeluarkan suara bersiutan. Mengerikan ketika bergerak.
“Plakk! Dukk....!” ketika dua kali lengan Ciang Bun bertemu dengan tangan yang dimiringkan itu, dia tidak kalah tenaga, akan tetapi kulitnya terasa perih seperti terbacok senjata tajam.
Kedua lengannya untung terlindung oleh sin-kang yang amat kuat, kalau tidak tentu otot-ototnya putus dan tangannya terlepas! Pemuda ini berhati-hati dan memainkan Toat-beng Bian-kun yang membuat kedua tangannya lembut dan lunak seperti kapas namun mengandung kekuatan yang dapat mencabut nyawa, dan melengkapinya dengan ilmu silat aneh Cui-beng Pat-ciang yang dipelajari dari ibunya. Menghadapi ilmu campuran yang serba aneh dan tinggi ini, beberapa kali Pek-bin Tok-ong mengeluarkan seruan kaget dan heran.
Kalau Ciang Bun dapat menguasai keadaan dengan ilmu silatnya yang pada dasarnya memang jauh lebih menang mutunya ketimbang lawan, sebaliknya Gangga repot sekali menghadapi desakan Thai Hong Lama. Suling dan tasbeh hitam di tangan kakek gendut itu benar-benar amat berbahaya dan pendeta Lama ini memiliki tenaga sin-kang yang amat kuat, juga tubuhnya kebal sehingga beberapa kali tamparan tangan Gangga yang mengenai perut atau dadanya mental kembali seperti bola karet yang amat kuat saja.
Sebaliknya, senjata-senjata di tangan kakek itu harus selalu dielakkannya, karena Gangga tidak berani menangkis dengan tangan. Terlampau berbahaya baginya untuk mencoba-coba menyambut kedua senjata itu dengan tangan, walaupun ia sudah pernah mempelajari dan menghimpun tenaga Inti Bumi dari ayahnya.
Maka, ia hanya mengandalkan gin-kangnya yang menang jauh ketimbang lawan untuk mengelak, berlompatan kesana-sini seolah-olah ia sedang menari-nari di antara dua gulungan hitam dan putih dari tasbeh dan suling kakek itu.
Biarpun Ciang Bun dapat mendesak lawan, akan tetapi dia maklum bahwa untuk menjatuhkan lawannya ini membutuhkan waktu, sedangkan dari tempat dia berkelahi dilihatnya bahwa keadaan Gangga tidak menguntungkan. Maka, diapun cepat mencabut sepasang siang-kiam dari punggungnya.
“Sringggg....!”
Nampak dua gulungan sinar dan begitu Ciang Bun mainkan pedang di kedua tangannya, Pek-bin Tok-ong yang bermuka putih ini menjadi pucat. Menghadapi pemuda ini bertangan kosong saja sudah membuat dia kewalahan, apalagi pemuda itu kini menggunakan sepasang pedang dan ternyata ilmu pedang pemuda ini hehat bukan main! Dia cepat meloncat mundur dan kesempatan itu dipergunakan oleh Ciang Bun untuk meloncat ke tempat Gangga berkelahi dan pedangnya meluncur menyerang Thai Hong Lama yang mendesak sahabatnya itu dengan suling dan tasbeh.
“Tringgg.... trangg....!”
Nampak bunga api berpijar menyilaukan mata ketika sepasang pedang bertemu dengan dua senjata di tangan Thai Hong Lama itu, dan Thai Hong Lama terkejut merasa betapa kedua telapak tangannya menjadi panas dan tergetar hebat. Pada saat itu Pek-binTok-ong menerjang maju disambut Gangga dan kini mereka bertukar lawan!
Ciang Bun dengan sepasang pedang di tangan melawan Thai Hong Lama yang bersenjata tasbeh dan suling sedangkan Gangga yang bertangan kosong berhadapan dengan Pek-bin Tok-ong yang juga bertangan kosong.
“Dukk! Plakk....!”
Kembali kecepatan gerakan Gangga menolongnya. Ia beradu lengan dengan Pek-bin Tok-ong, merasa betapa lengan kakek kurus ini kuat sekali dan begitu lengan beradu, tangan kakek itu sudah mencengkeram ke arah dadanya dengan ganas sekali. Akan tetapi, kembali kehebatan gin-kang Gangga menyelamatkannya. Ia dapat berkelebat ke belakang seperti seekor burung walet saja, membuat penyerangnya bengong saking kagumnya. Akan tetapi, tiba-tiba Pek-bin Tok-ong tertawa bergelak.
“Ha-ha-ha, Lama, tak usah repot-repot lagi, mereka segera roboh, ha-ha. Tok-ciang (Tangan Beracun) yang kupergunakan tentu akan segera bekerja!”
Mendengar ucapan itu, tiba-tiba Ciang Bun yang sedang mendesak Thai Hong Lama dengan sepasang pedangnya terkejut bukan main. Sejak tadi dia sudah merasa betapa kedua lengannya gatal-gatal dan kini bahkan mulai terasa kesemutan pada persendian kedua tangannya.
“Celaka....!” Teriaknya sambil melompat ke belakang. “Gangga, jangan biarkan tangannu bersentuhan dengan tangan iblis itu!”
Akan tetapi sahabatnya itupun sudah merasa betapa lengannya yang tadi beradu dengan tangan lawan gatal-gatal. Marahlah Ganggananda.
“Iblis tua curang!”
Dan iapun sudah menyerang dengan cepatnya. Dara ini adalah anak tunggal Wan Tek Hoat seorang pendekar perkasa yang pernah dijuluki Si Jari Maut. Dari ayahnya, selain ilmu-ilmu silat yang tinggi, juga ia telah mempelajari Toat-beng-ci (Jari Pencabut Nyawa). Kini, mendengar bahwa lawan telah mempergunakan jari beracun untuk mencelakai ia dan Ciang Bun, ia menjadi marah dan tubuhnya sudah menyambar seperti terbang cepatnya, dan ia menyerang Pek-bin Tok-ong dengan totokan Toat-beng-ci yang dilanjutkan dengan pukulan-pukulan tangan miring. Bertubi-tubi datangnya serangan kedua tangan ini, apalagi dilakukan dengan tubuh yang demikian cepat gerakannya seperti terbang saja.
Pek-bin Tok-ong sudah berusaha mengelak, bahkan menangkap tubuh lawan atau menangkis, namun tetap saja dia kalah cepat.
“Plakk.... aduhhh....!”
Tubuhnya terpelanting dan kalau saja tubuhnya tidak begitu kebal penuh kekuatan, atau kalau saja yang menamparnya tadi bukan Gangga melainkan ayahnya, tentu dia tidak akan mampu bangun kembali. Tamparan tangan Gangga yang kecil halus tadipun hanya mengenai pundak kirinya, akan tetapi akibatnya membuat sambungan tulang pundaknya terlepas dan nyeri bukan kepalang.
Dia yang sudah terkenal dengan ilmu pukulan memutuskan otot dan melepaskan tulang, kini terpaksa mengakui keunggulan seorang dara dengan tamparan yang membuat tulang pundaknya terlepas. Dia masih mampu meloncat bangun dan menyerang membabi-buta dengan tangan kanannya, menggunakan pukulan beracun.
Dia membentak dan kini dia mengeluarkan pukulan-pukulan Hun-kin Coh-kut-ciang (Pukulan Memutuskan Otot dan Melepaskan Tulang). Kedua tangannya seperti dua batang golok saja membacok dan menyambar-nyambar, mengeluarkan suara bersiutan. Mengerikan ketika bergerak.
“Plakk! Dukk....!” ketika dua kali lengan Ciang Bun bertemu dengan tangan yang dimiringkan itu, dia tidak kalah tenaga, akan tetapi kulitnya terasa perih seperti terbacok senjata tajam.
Kedua lengannya untung terlindung oleh sin-kang yang amat kuat, kalau tidak tentu otot-ototnya putus dan tangannya terlepas! Pemuda ini berhati-hati dan memainkan Toat-beng Bian-kun yang membuat kedua tangannya lembut dan lunak seperti kapas namun mengandung kekuatan yang dapat mencabut nyawa, dan melengkapinya dengan ilmu silat aneh Cui-beng Pat-ciang yang dipelajari dari ibunya. Menghadapi ilmu campuran yang serba aneh dan tinggi ini, beberapa kali Pek-bin Tok-ong mengeluarkan seruan kaget dan heran.
Kalau Ciang Bun dapat menguasai keadaan dengan ilmu silatnya yang pada dasarnya memang jauh lebih menang mutunya ketimbang lawan, sebaliknya Gangga repot sekali menghadapi desakan Thai Hong Lama. Suling dan tasbeh hitam di tangan kakek gendut itu benar-benar amat berbahaya dan pendeta Lama ini memiliki tenaga sin-kang yang amat kuat, juga tubuhnya kebal sehingga beberapa kali tamparan tangan Gangga yang mengenai perut atau dadanya mental kembali seperti bola karet yang amat kuat saja.
Sebaliknya, senjata-senjata di tangan kakek itu harus selalu dielakkannya, karena Gangga tidak berani menangkis dengan tangan. Terlampau berbahaya baginya untuk mencoba-coba menyambut kedua senjata itu dengan tangan, walaupun ia sudah pernah mempelajari dan menghimpun tenaga Inti Bumi dari ayahnya.
Maka, ia hanya mengandalkan gin-kangnya yang menang jauh ketimbang lawan untuk mengelak, berlompatan kesana-sini seolah-olah ia sedang menari-nari di antara dua gulungan hitam dan putih dari tasbeh dan suling kakek itu.
Biarpun Ciang Bun dapat mendesak lawan, akan tetapi dia maklum bahwa untuk menjatuhkan lawannya ini membutuhkan waktu, sedangkan dari tempat dia berkelahi dilihatnya bahwa keadaan Gangga tidak menguntungkan. Maka, diapun cepat mencabut sepasang siang-kiam dari punggungnya.
“Sringggg....!”
Nampak dua gulungan sinar dan begitu Ciang Bun mainkan pedang di kedua tangannya, Pek-bin Tok-ong yang bermuka putih ini menjadi pucat. Menghadapi pemuda ini bertangan kosong saja sudah membuat dia kewalahan, apalagi pemuda itu kini menggunakan sepasang pedang dan ternyata ilmu pedang pemuda ini hehat bukan main! Dia cepat meloncat mundur dan kesempatan itu dipergunakan oleh Ciang Bun untuk meloncat ke tempat Gangga berkelahi dan pedangnya meluncur menyerang Thai Hong Lama yang mendesak sahabatnya itu dengan suling dan tasbeh.
“Tringgg.... trangg....!”
Nampak bunga api berpijar menyilaukan mata ketika sepasang pedang bertemu dengan dua senjata di tangan Thai Hong Lama itu, dan Thai Hong Lama terkejut merasa betapa kedua telapak tangannya menjadi panas dan tergetar hebat. Pada saat itu Pek-binTok-ong menerjang maju disambut Gangga dan kini mereka bertukar lawan!
Ciang Bun dengan sepasang pedang di tangan melawan Thai Hong Lama yang bersenjata tasbeh dan suling sedangkan Gangga yang bertangan kosong berhadapan dengan Pek-bin Tok-ong yang juga bertangan kosong.
“Dukk! Plakk....!”
Kembali kecepatan gerakan Gangga menolongnya. Ia beradu lengan dengan Pek-bin Tok-ong, merasa betapa lengan kakek kurus ini kuat sekali dan begitu lengan beradu, tangan kakek itu sudah mencengkeram ke arah dadanya dengan ganas sekali. Akan tetapi, kembali kehebatan gin-kang Gangga menyelamatkannya. Ia dapat berkelebat ke belakang seperti seekor burung walet saja, membuat penyerangnya bengong saking kagumnya. Akan tetapi, tiba-tiba Pek-bin Tok-ong tertawa bergelak.
“Ha-ha-ha, Lama, tak usah repot-repot lagi, mereka segera roboh, ha-ha. Tok-ciang (Tangan Beracun) yang kupergunakan tentu akan segera bekerja!”
Mendengar ucapan itu, tiba-tiba Ciang Bun yang sedang mendesak Thai Hong Lama dengan sepasang pedangnya terkejut bukan main. Sejak tadi dia sudah merasa betapa kedua lengannya gatal-gatal dan kini bahkan mulai terasa kesemutan pada persendian kedua tangannya.
“Celaka....!” Teriaknya sambil melompat ke belakang. “Gangga, jangan biarkan tangannu bersentuhan dengan tangan iblis itu!”
Akan tetapi sahabatnya itupun sudah merasa betapa lengannya yang tadi beradu dengan tangan lawan gatal-gatal. Marahlah Ganggananda.
“Iblis tua curang!”
Dan iapun sudah menyerang dengan cepatnya. Dara ini adalah anak tunggal Wan Tek Hoat seorang pendekar perkasa yang pernah dijuluki Si Jari Maut. Dari ayahnya, selain ilmu-ilmu silat yang tinggi, juga ia telah mempelajari Toat-beng-ci (Jari Pencabut Nyawa). Kini, mendengar bahwa lawan telah mempergunakan jari beracun untuk mencelakai ia dan Ciang Bun, ia menjadi marah dan tubuhnya sudah menyambar seperti terbang cepatnya, dan ia menyerang Pek-bin Tok-ong dengan totokan Toat-beng-ci yang dilanjutkan dengan pukulan-pukulan tangan miring. Bertubi-tubi datangnya serangan kedua tangan ini, apalagi dilakukan dengan tubuh yang demikian cepat gerakannya seperti terbang saja.
Pek-bin Tok-ong sudah berusaha mengelak, bahkan menangkap tubuh lawan atau menangkis, namun tetap saja dia kalah cepat.
“Plakk.... aduhhh....!”
Tubuhnya terpelanting dan kalau saja tubuhnya tidak begitu kebal penuh kekuatan, atau kalau saja yang menamparnya tadi bukan Gangga melainkan ayahnya, tentu dia tidak akan mampu bangun kembali. Tamparan tangan Gangga yang kecil halus tadipun hanya mengenai pundak kirinya, akan tetapi akibatnya membuat sambungan tulang pundaknya terlepas dan nyeri bukan kepalang.
Dia yang sudah terkenal dengan ilmu pukulan memutuskan otot dan melepaskan tulang, kini terpaksa mengakui keunggulan seorang dara dengan tamparan yang membuat tulang pundaknya terlepas. Dia masih mampu meloncat bangun dan menyerang membabi-buta dengan tangan kanannya, menggunakan pukulan beracun.
Terpaksa Gangga kembali mengelak ke sana-sini berloncatan cepat. Pada saat itu, Ciang Bun sudah menyerang Thai Hong Lama lagi dan biarpun dia merasa kedua tangannya gatal-gatal dan kesemutan, pemuda ini masih terlalu tangkas untuk dapat dikalahkan lawan.
“Iblis-iblis tua bangka, berani kalian mengganggu adikku?”
Tiba-tiba berkelebat bayangan orang yang menyerang Thai Hong Lama dari samping. Biarpun pendeta Lama itu masih mencoba untuk meloncat mundur, tetap saja sebuah kaki menyambar pinggangnya dan diapun terlempar ke belakang.
Ketika dia bergulingan sambil menyabetkan tasbehnya dan meloncat berdiri, memandang dan melihat seorang wanita cantik gagah perkasa berdiri dengan sikap marah, tahulah dia bahwa dia dan kawannya berada dalam bahaya. Menghadapi dua orang muda pertama saja mereka sudah kewalahan, apalagi kini muncul kakak si pemuda yang agaknya lebih galak lagi.
“Mari kita pergi.!”
Teriaknya dan Pek-bin Tok-ong yang sudah terluka tidak menanti ajakan kedua kalinya. Mereka berloncatan dan melarikan diri secepatnya meninggalkan tempat berbahaya itu.
“Iblis-iblis busuk, ke mana kalian hendak lari?”
Suma Hui, yang baru saja datang dan menendang Thai Hong Lama sampai terpental, bergerak hendak melakukan pengejaran.
“Enci, jangan kejar.... aku.... kami.... keracunan....!”
Ucapan adiknya ini membuat Suma Hui menghentikan larinya dan cepat ia menghampiri adiknya.
“Bun-te, apa yang terjadi? Engkau keracunan?” tanyanya dengan khawatir sambil memandang adiknya penuh perhatian.
Akan tetapi ia tidak melihat sesuatu pada diri adiknya yang menunjukkan bahwa adiknya terluka. Iapun menoleh kepada pemuda langsing yang berdiri pula di dekat adiknya dan juga ia tidak melihat pemuda ini terluka.
“Lenganku.... iblis itu telah mempergunakan Tok-ciang (Tangan Beracun)!”
Kata Ciang Bun, akan tetapi dia tidak memperdulikan kedua lengannya sendiri yang terasa kesemutan dan gatal-gatal, melainkan cepat menghampiri Gangga.
“Gangga, engkau tadi beradu lengan dengannya. Apakah engkau tidak merasakan sesuatu yang tidak wajar?”
“Nanti dulu, Hui-ci. Di dalam kuil terdapat dua orang muda-mudi yang nyaris menjadi korban dua orang kakek iblis cabul itu, mari kita tolong mereka lebih dulu.” kata Ciang Bun.
Ketika kakak dan adik ini bicara, Gangga hanya memandang dan diam-diam ia merasa kagum sekali kepada gadis yang cantik dan gagah itu, juga merasa kasihan karena ia telah mendengar cerita Ciang Bun tentang Suma Hui yang menjadi korban kejahatan seorang laki-laki yang pernah diserang oleh Ciang Bun di telaga hutan dalam taman di kota raja itu.
Mendengar ucapan Ciang Bun, mereka bertiga lalu melangkah menuju ke kuil kuno dan di dalam kuil itu mereka melihat muda-mudi itu saling rangkul di sudut dengan tubuh gemetar dan muka pucat.
Kiranya muda-mudi yang kakak beradik telah saling bertemu sesudah dua orang kakek itu melepaskan mereka untuk menghadapi lawan. Mereka hanya dapat saling rangkul dan menangis ketakutan.
Ketika Ciang Bun, Suma Hui dan Gangga mumcul, mereka tadinya terkejut dan gadis cilik itu hampir menjerit ketakutan, akan tetapi setelah melihat bahwa yang muncul bukanlah dua orang kakek iblis yang mereka takuti, keduanya menghentikan tangis mereka dan memandang kepada tiga orang yang masuk itu dengan mata terbelalak.
“Jangan takut”, kata Gangga. “Dua orang kakek iblis itu telah dapat kami usir dari sini dan kami datang untuk menolong kalian.”
Mendengar ucapan ini, kakak beradik itu mengeluarkan seruan girang dan sang kakak lalu menarik tangan adiknya diajak menjatuhkan diri berlutut di atas lantai.
“Terima kasih, terima kasih....” kata mereka berulang-ulang.
“Bangkitlah dan ceritakan siapa kalian dan mengapa kalian sampai diculik oleh dua orang kakek itu”. kata Ciang Bun.
Kakak beradik itu bangkit berdiri dan sang kakak lalu menceritakan bahwa mereka berdua adalah putera dan puteri keluarga hartawan Ciok di kota raja. Hari itu mereka pagi-pagi sekali pergi pelesir di dalam taman itu, dikawal oleh tujuh orang pengawal atau tukang pukul mereka.
“Kami tidak pernah mengenal dua orang kakek itu. Ketika kami tiba didekat hutan buatan yang sunyi itu, tiba-tiba saja dua orang kakek itu menyerang dan tujuh orang pengawal kami tewas oleh seorang di antara mereka. Lalu kami ditangkap dan dilarikan ke sini.”
Ciang Bun dan Gangga sudah tahu akan hal itu dan mereka dapat menduga bahwa tentu kedua orang kakak beradik ini telah ditotok ketika dibawa keluar pintu gerbang sebelah barat.
“Hemm, kalau begitu mari kami antar kalian pulang”. katanya dan mereka bertiga lalu mengantar dua orang kakak beradik itu kembali ke kota raja.
Di sepanjang perjalanan, Suma Hui dan Suma Ciang Bun memperoleh kesempatan untuk bercakap-cakap.
“Bun-te, siapakah kawanmu ini?” tanya Suma Hui sambil memandang kepada Gangga.
Di dalam suara gadis ini terdapat keheranan yang disembunyikan. Memang ia merasa heran sekali. Ia sudah tahu akan kelainan yang diderita adiknya, yaitu kecondongan untuk lebih suka pria daripada wanita.
Akan tetapi, kini ia melihat betapa Ciang Bun memandang amat mesra dan bersikap amat manis, bahkan agaknya menjadi sahabat akrab sekali dengan seorang gadis, walaupun gadis itu menyamar sebagai seorang pria! Dan ketika ia tahu, dari logat bicara gadis yang menyamar pria itu, bahwa gadis itu bukan orang Han, melainkan seorang asing, ia merasa lebih heran lagi.
“Dia bernama Ganggananda, enci.”
“Ah, seorang Nepal?”
“Bukan, saya seorang berbangsa Bhutan”. kata Gangga.
Suma Hui mengangguk-angguk dan memandang tajam. Seorang gadis yang amat cantik, pikirnya, akan tetapi penyamarannya juga baik sekali. Ia hanya dapat mengenal penyamaran itu melalui perasaan kewanitaannya saja. Kalau jarak jauh sedikit saja, ia sendiripun tidak akan dapat mengetahui bahwa pemuda ini adalah seorang wanita.
“Dan bagaimanakah kalian dapat berkenalan dan bersahabat?” tanyanya ingin tahu sekali.
“Enci, saudara Gangga ini telah menyelamatkan nyawaku dan aku berhutang budi besar sekali kepadanya. Kalau tidak ada dia yang telah menolongku secara mati-matian, kiranya engkau takkan dapat bertemu lagi dengan adikmu ini.”
“Aih, itu terlalu dilebih-lebihkan.”
Gangga merendahkan diri walaupun hatinya girang sekali oleh pujian ini. Suma Hui terkejut mendengar betapa adiknya nyaris tewas.
“Apakah yang telah terjadi denganmu, Bun-te?”
“Aku nyaris tewas di tangan.... Tek Ciang, Hui-ci.”
Suma Hui terkejut bukan main, sampai meloncat dan memegang tangan adiknya.
“Apa? Dia? Kau bertemu dia? Di mana jahanam itu sekarang?
“Tenanglah, enci, aku akan ceritakan semuanya. Akan tetapi sebaiknya kita antarkan dulu dua orang anak ini ke rumah mereka”. jawab Ciang Bun.
Suma Hui maklum betapa pentingnya hal yang akan diceritakan adiknya, maka ia menahan gejolak hatinya dan mengangguk. Setelah tiba di kota raja dan mengantarkan muda-mudi itu sampai ke pekarangan gedung keluarga mereka, tiga orang pendekar ini segera pergi, tidak mau menerima undangan dua orang muda-mudi kaya-raya itu untuk singgah.
“Ceritakan saja semua yang terjadi dan menimpa diri kalian kepada orang tua kalian, agar jenazah tujuh orang pengawal kalian itu dapat diambil dan diurus. Kami akan pergi sekarang juga.”
Ciang Bun tidak memberi kesempatan kepada dua orang muda-mudi itu untuk banyak cakap. Dia lalu pergi bersama Suma Hui dan Gangga, dan tak lama kemudian mereka bertiga telah berada di atas sebuah perahu kecil di atas telaga dalam taman itu.
Mereka membiarkan perahu itu terapung-apung di sudut yang sunyi dan Ciang Bun menceritakan semua peristiwa yang dialaminya ketika dia tiba di telaga itu, mencari encinya. Diceritakan pertemuannya dengan Gangga dan mereka bersahabat lalu berperahu berdua, kemudian betapa Tek Ciang dan seorang pria lain muncul. Betapa mereka berkelahi dan dia telah terpukul oleh Tek Ciang dengan Hoa-mo-kang yang hampir saja menewaskannya kalau tidak saja Gangga yang mempergunakan gin-kangnya yang luar biasa untuk mencarikan obat penawarnya.
Mendengar penuturan adiknya secara panjang lebar itu, Suma Hui mengepal tinjunya.
“Sayang sekali aku tidak bertemu ketika jahanam itu muncul. Keparat, belum juga aku berhasil membunuhnya, dia telah melukai dan hampir saja membunuhmu, Untung ada.... sahabatmu ini. Saudara Ganggananda, saya ikut merasa bersyukur dan menghaturkan terima kasih atas pertolonganmu kepada adik saya”.
Melihat Suma Hui memberi hormat kepadanya, Gangga cepat membalas.
“Ahh.... nona, harap jangan sungkan. Ciang Bun telah menjadi sahabat baikku, di antara sahabat mana ada istilah tolong-menolong? Sudah sewajarnya dan selayaknya kalau ada seorang di antara sahabat kesukaran, yang lain membantunya, bukan?
Suma Hui mengangguk-angguk dan diam-diam ia merasa suka kepada gadis yang menyamar sebagai pria ini. Juga ia dapat menyelami hati gadis ini. Apa lagi kalau bukan cinta yang mendekatkan gadis itu dengan Ciang Bun? Anehnya kini ia tahu benar bahwa Ciang Bun menganggap gadis itu sebagai seorang pria. Mengapa begitu?
“Ahhh....” Tiba-tiba Suma Hui menepuk pahanya sendiri sehingga mengejutkan dua orang muda yang lain.
“Ada apakah, Hui-ci?”
Suma Hui tertegun dan menjadi bingung, tidak mengira bahwa jalan pikirannya membuat ia lupa diri tadi.
“Ah, tidak, hanya aku masih merasa kecewa tidak dapat bertemu sendiri dengan jahanam itu”.
“Biarpun demikian, pertemuanku dengan dia di telaga ini menunjukkan bahwa dia tidak berada jauh dari kota raja. Kita akan mencari lagi sampai dapat, enci. Akan tetapi, sebaiknya kalau kita minta bantuan kanda Kao Cin Liong. Kita cari dia di kota raja dan kita ceritakan tentang jahanam itu.”
Mendengar adiknya menyebut kanda kepada Cin Liong, diam-diam Suma Hui merasa girang dan berterima kasih. Adiknya sebetulnya masih terhitung paman dari Cin Liong, akan tetapi adiknya itu memandang kepadanya dan menyebut kanda.
“Baiklah, usulmu memang baik dan tanpa bantuan banyak tenaga, agaknya sukar menemukan jahanam yang licik itu.”
Karena hari sudah menjelang malam, mereka mengambil keputusan untuk mencari Cin Liong pada keesokan harinya dan malam hari itu mereka bermalam di sebuah rumah penginapan.
Melihat betapa Ciang Bun tidak sekamar dengan Ganggananda, Suma Hui mengerutkan alisnya. Bagaimanakah adiknya ini? Benarkah adiknya belum tahu akan keadaan Gangga sebenarnya, bahwa Gangga adalah seorang gadis? Akan tetapi kalau Ciang Bun mengira bahwa Gangga seorang pemuda, mengapa pula mereka berpisah kamar? Barangkali Gangga yang tidak mau tidur sekamar, pikirnya.
Andaikata ia menjadi Gangga, dalam penyamaran sebagai seorang pria, iapun tentu tidak mau tidur sekamar dengan seorang kawan pria, dan akan mencari dalih apapun agar mereka tidur berpisah. Betapapun juga, untuk menghilangkan keraguannya apakah adiknya itu tahu atau tidak akan keadaan Gangga, ia lalu mendatangi kamar adiknya dan bertanya.
“Bun-te, di mana Gangga?”
“Dia berada di kamarnya, di sudut lorong ini.”
“Eh, kenapa tidak disini saja, sekamar denganmu? Bukankah tempat tidur ini cukup besar untuk kalian berdua?”
Wajah Ciang Bun berobah merah dan dia lalu menyuruh encinya duduk, kemudian menutupkan daun pintu.
“Hui-ci, aku mau bicara denganmu.” katanya serius.
“Bicara apa? Katakanlah”. kata Suma Hui sambil duduk di tepi pembaringan dan memandang adiknya dengan sinar mata penuh kasih sayang.
Ia tahu akan kesulitan yang berkecamuk di dalam hati adiknya dan ia merasa kasihan karena keadaan adiknya sungguh membuat ia sendiri menjadi bingung.
“Enci, maukah enci andaikata harus tidur sepembaringan dengan seorang pemuda seperti halnya Gangga?”
“Eh? apa maksud pertanyaanmu ini? Aneh-aneh saja engkau. Tentu saja aku tidak mau!” Suma Hui berkata tegas dan heran.
“Nah, begitulah perasaanku, enci. Mana mungkin aku tidur sekamar dengan seorang pemuda seperti Gangga kalau aku mempunyai perasaan wanita seperti engkau itu? Dan aku.... aku takut kepada diriku sendiri, dan aku.... tidak ingin kehilangan Gangga, Hui-ci. Aku cinta padanya, aku cinta padanya dan aku tidak ingin kehilangan dia, tidak ingin berpisah darinya. Karena itulah aku selalu berusaha menjauhkan diri.... aku khawatir dia akan merasa jijik dan membenciku kalau dia tahu akan keadaanku, dan aku.... aku tidak ingin kehilangan dia, Hui-ci.”
Melihat adiknya yang gagah perkasa itu kini duduk menundukkan muka, dengan kedua pundak bergantung ke depan, gambaran seorang yang patah semangat dan penuh kegelisahan, Suma Hui merasa kasihan sekali. Hal ini sudah diduganya ketika mereka bertiga berada dalam perahu, yang membuat ia menepuk paha sendiri mengejutkan Ciang Bun.
Didalam perahu itu iapun teringat bahwa Ciang Bun tentu jatuh cinta kepada Gangga sebagai seorang pria! Teringat ia akan kelainan adiknya. Tak dapat dibayangkan bagaimana akan jadinya kalau adiknya tahu bahwa Gangga bukan pria, melainkan wanita! Dan tiba-tiba saja ia seperti memperoleh ilham! Inikah cara pengobatan untuk memulihkan keadaan adiknya sehingga batinnya akan seirama dengan badannya? Ingin ia melihat Ciang Bun pulih seperti seorang laki-laki biasa, bertubuh pria dan juga berselera dan berbatin pria agar adiknya tidak akan mengalami rintangan dan kesulitan-kesulitan di dalam hidup selanjutnya.
Dan kini Suma Hui melihat cahaya berkilat yang agaknya akan dapat memberi penerangan dalam kehidupan adiknya. Ia tidak ingin melihat adiknya mengalami derita hidup seperti yang pernah dialaminya.
“Adikku yang baik”, katanya sambil memegang kedua pundak Ciang Bun dan menegakkannya. “Seorang gagah tidak pernah putus asa dan tunduk terhadap nasib! Aku sudah tahu akan keadaanmu dan aku dapat ikut merasakan betapa hebat penderitaan batinmu. Akan tetapi, janganlah kau membiarkan kedukaan mengotori batinmu. Duka dan putus asa hanya permainan orang lemah. Engkau harus berani melihat kenyataan dirimu sendiri, berani menghadapinya dan berusaha mengatasinya. Segala yang tidak wajar berarti suatu keadaan yang tidak seimbang, katakanlah suatu penyakit. Karena itu, engkau tidak perlu merasa malu. Bersikaplah wajar saja namun dengan penuh kesadaran dan tertib diri, tidak hanya menurutkan dorongan nafsu yang timbul dari ketidak wajaran atau penyakitmu itu.”
“Aku tahu akan hal itu, Hui-ci dan selama ini, akupun sudah bertahan dan menentang dorongan hasrat nafsuku sendiri yang tidak wajar. Akan tetapi, aku jatuh cinta kepada Gangga, bukan semata karena dorongan nafsu birahi, bukan hanya karena gairah, akan tetapi segala-galanya pada diri Gangga menarik hatiku, menimbulkan rasa cinta dan aku tidak mau kehilangan dia, Hui-ci.”
Suma Hui menarik napas panjang. Ia dapat merasakan apa yang terkandung dalam hati adiknya. Seperti itulah agaknya perasaannya sendiri terhadap Cin Liong. Mencinta, sayang dan mesra, ingin sekali berdekatan dan selamanya tidak ingin berpisah lagi.
“Adikku, engkaupun tahu dan tentu ingat akan semua pelajaran ayah. Cinta kasih adalah sesuatu yang suci. Jangan sekali-kali salah kira dan mencampur adukkan cinta kasih dengan cinta birahi. Gejolak hatimu yang timbul dari gairah berahi itu bukanlah cinta kasih yang sesungguhnya. Itu hanya berahi yang timbul dari pikiran dan badan, dan bagi dirimu yang mempunyai kelainan, berahimu timbul kalau engkau melihat seorang pria yang tampan atau yang menyenangkan hatimu. Maka, sekarang aku hendak bertanya, adikku. Engkau bilang bahwa engkau cinta kepada Gangga, apakah cintamu itu semata-mata timbul karena kenyataan bahwa Gangga adalah seorang pemuda tampan dan gagah?”
“Kurasa kesemuanya itu mengambil bagian, Hui-ci. Bukan hanya karena dia seorang pemuda tampan dan gagah, akan tetapi juga karena dia berhati mulia, karena semua gerak-geriknya amat menarik dan menyenangkan hatiku, karena dia pernah menolongku dan mati-matian menyelamatkan diriku. Pendek kata, aku cinta padanya karena pribadinya, bukan semata karena dia seorang pemuda tampan.”
“Kalau begitu, bersikaplah wajar saja dalam cintamu, adikku. Anggap dia seorang sahabat yang baik sekali. Dan sekali waktu, kalau keadaan mengijinkan, lebih baik engkau berterus terang kepadanya tentang keadaan dirimu, tentang kelainanmu.”
“Ah, aku tidak berani, enci! Dia tentu akan marah dan jijik dan membenciku....!”
“Belum tentu, adikku. Apalagi kalau dia mencintamu sebagai seorang sahabat baik yang sudah dibuktikannya ketika dia mencarikan obat untukmu. Dia, seperti aku, tentu akan dapat memaklumi kelainanmu sebagai suatu penyakit dan dia tidak akan membencimu, malah akan merasa kasihan kepadamu.”
Setelah menghibur adiknya, Suma Hui lalu meninggalkannya untuk pergi tidur. Akan tetapi, gadis ini tidak pergi ke kamarnya, melainkan diam-diam ia pergi ke kamar Ganggananda di sudut lorong. Ia bersikap hati-hati sekali dan menjaga agar adiknya jangan sampai mengetahui perbuatannya. Setelah tiba di depan pintu kamar Gangga, ia mengetuk pintu perlahan.
“Siapa....?” terdengar suara Gangga dari dalam.
“Adik Gangga, bukalah, aku ingin bicara”. kata Suma Hui lirih.
Daun pintu terbuka dan Ganggananda muncul, memandang kepada Suma Hui dengan sinar mata penuh selidik. Tentu saja Ganggananda merasa heran mengapa malam-malam begini seorang gadis seperti Suma Hui mengetuk pintu kamar seorang pemuda.
“Ah, kiranya nona Suma Hui. Ada keperluan apakah.?”
Belum habis Gangga bicara, Suma Hui sudah melangkah masuk dan menutupkan daun pintu kamar itu. Gangga memandang dengan mata terbelalak, akan tetapi Suma Hui tersenyum dan berkata,
“Adik yang manis, tak perlu lagi bersandiwara. Kita sama-sama perempuan, apa salahnya bicara dalam kamar tertutup?”
Ganggananda atau Gangga Dewi terkejut, lalu menarik napas panjang dan tersenyum.
“Ah, enci Suma Hui, kiranya engkau sudah tahu? Lupa aku bahwa engkau adalah seorang pendekar wanita yang lihai dan bermata tajam. Maafkan penyamaranku.”
“Sstt, adik Gangga. Mari kita keluar dari kamarmu, melalui jendela saja agar jangan sampai ketahuan Ciang Bun. Aku ingin bicara empat mata denganmu”. kata Suma Hui yang segera menghampiri jendela kamar Gangga Dewi yang menembus ke kebun samping rumah penginapan.
Ia memberi isyarat dan tak lama kemudian dua orang gadis itu telah meloncat keluar pagar setelah menutupkan daun jendela kamar itu.
“Kita ke taman dan bicara di tempat sepi....” kata Suma Hui dan merekapun lalu berloncatan naik ke atas genteng-genteng bangunan rumah di sepanjang jalan.
Suma Hui sudah mendengar penuturan Ciang Bun betapa dengan mengandalkan gin-kangnya, Gangga telah menyelamatkannya dan berhasil mencari obat penawar racun Hoa-mo-kang. Maka kini Suma Hui memperoleh kesempatan untuk menguji kehebatan gin-kang dari gadis Bhutan itu. Ia sengaja mengerahkan gin-kang dan berlompatan dengan cepat sekali, melompati rumah-rumah dan kadang-kadang melayang turun dan berlari cepat menuju ke taman besar di mana siang tadi ia mencari adiknya kemudian melihat coretan-coretan di batang pohon.
“Iblis-iblis tua bangka, berani kalian mengganggu adikku?”
Tiba-tiba berkelebat bayangan orang yang menyerang Thai Hong Lama dari samping. Biarpun pendeta Lama itu masih mencoba untuk meloncat mundur, tetap saja sebuah kaki menyambar pinggangnya dan diapun terlempar ke belakang.
Ketika dia bergulingan sambil menyabetkan tasbehnya dan meloncat berdiri, memandang dan melihat seorang wanita cantik gagah perkasa berdiri dengan sikap marah, tahulah dia bahwa dia dan kawannya berada dalam bahaya. Menghadapi dua orang muda pertama saja mereka sudah kewalahan, apalagi kini muncul kakak si pemuda yang agaknya lebih galak lagi.
“Mari kita pergi.!”
Teriaknya dan Pek-bin Tok-ong yang sudah terluka tidak menanti ajakan kedua kalinya. Mereka berloncatan dan melarikan diri secepatnya meninggalkan tempat berbahaya itu.
“Iblis-iblis busuk, ke mana kalian hendak lari?”
Suma Hui, yang baru saja datang dan menendang Thai Hong Lama sampai terpental, bergerak hendak melakukan pengejaran.
“Enci, jangan kejar.... aku.... kami.... keracunan....!”
Ucapan adiknya ini membuat Suma Hui menghentikan larinya dan cepat ia menghampiri adiknya.
“Bun-te, apa yang terjadi? Engkau keracunan?” tanyanya dengan khawatir sambil memandang adiknya penuh perhatian.
Akan tetapi ia tidak melihat sesuatu pada diri adiknya yang menunjukkan bahwa adiknya terluka. Iapun menoleh kepada pemuda langsing yang berdiri pula di dekat adiknya dan juga ia tidak melihat pemuda ini terluka.
“Lenganku.... iblis itu telah mempergunakan Tok-ciang (Tangan Beracun)!”
Kata Ciang Bun, akan tetapi dia tidak memperdulikan kedua lengannya sendiri yang terasa kesemutan dan gatal-gatal, melainkan cepat menghampiri Gangga.
“Gangga, engkau tadi beradu lengan dengannya. Apakah engkau tidak merasakan sesuatu yang tidak wajar?”
“Nanti dulu, Hui-ci. Di dalam kuil terdapat dua orang muda-mudi yang nyaris menjadi korban dua orang kakek iblis cabul itu, mari kita tolong mereka lebih dulu.” kata Ciang Bun.
Ketika kakak dan adik ini bicara, Gangga hanya memandang dan diam-diam ia merasa kagum sekali kepada gadis yang cantik dan gagah itu, juga merasa kasihan karena ia telah mendengar cerita Ciang Bun tentang Suma Hui yang menjadi korban kejahatan seorang laki-laki yang pernah diserang oleh Ciang Bun di telaga hutan dalam taman di kota raja itu.
Mendengar ucapan Ciang Bun, mereka bertiga lalu melangkah menuju ke kuil kuno dan di dalam kuil itu mereka melihat muda-mudi itu saling rangkul di sudut dengan tubuh gemetar dan muka pucat.
Kiranya muda-mudi yang kakak beradik telah saling bertemu sesudah dua orang kakek itu melepaskan mereka untuk menghadapi lawan. Mereka hanya dapat saling rangkul dan menangis ketakutan.
Ketika Ciang Bun, Suma Hui dan Gangga mumcul, mereka tadinya terkejut dan gadis cilik itu hampir menjerit ketakutan, akan tetapi setelah melihat bahwa yang muncul bukanlah dua orang kakek iblis yang mereka takuti, keduanya menghentikan tangis mereka dan memandang kepada tiga orang yang masuk itu dengan mata terbelalak.
“Jangan takut”, kata Gangga. “Dua orang kakek iblis itu telah dapat kami usir dari sini dan kami datang untuk menolong kalian.”
Mendengar ucapan ini, kakak beradik itu mengeluarkan seruan girang dan sang kakak lalu menarik tangan adiknya diajak menjatuhkan diri berlutut di atas lantai.
“Terima kasih, terima kasih....” kata mereka berulang-ulang.
“Bangkitlah dan ceritakan siapa kalian dan mengapa kalian sampai diculik oleh dua orang kakek itu”. kata Ciang Bun.
Kakak beradik itu bangkit berdiri dan sang kakak lalu menceritakan bahwa mereka berdua adalah putera dan puteri keluarga hartawan Ciok di kota raja. Hari itu mereka pagi-pagi sekali pergi pelesir di dalam taman itu, dikawal oleh tujuh orang pengawal atau tukang pukul mereka.
“Kami tidak pernah mengenal dua orang kakek itu. Ketika kami tiba didekat hutan buatan yang sunyi itu, tiba-tiba saja dua orang kakek itu menyerang dan tujuh orang pengawal kami tewas oleh seorang di antara mereka. Lalu kami ditangkap dan dilarikan ke sini.”
Ciang Bun dan Gangga sudah tahu akan hal itu dan mereka dapat menduga bahwa tentu kedua orang kakak beradik ini telah ditotok ketika dibawa keluar pintu gerbang sebelah barat.
“Hemm, kalau begitu mari kami antar kalian pulang”. katanya dan mereka bertiga lalu mengantar dua orang kakak beradik itu kembali ke kota raja.
Di sepanjang perjalanan, Suma Hui dan Suma Ciang Bun memperoleh kesempatan untuk bercakap-cakap.
“Bun-te, siapakah kawanmu ini?” tanya Suma Hui sambil memandang kepada Gangga.
Di dalam suara gadis ini terdapat keheranan yang disembunyikan. Memang ia merasa heran sekali. Ia sudah tahu akan kelainan yang diderita adiknya, yaitu kecondongan untuk lebih suka pria daripada wanita.
Akan tetapi, kini ia melihat betapa Ciang Bun memandang amat mesra dan bersikap amat manis, bahkan agaknya menjadi sahabat akrab sekali dengan seorang gadis, walaupun gadis itu menyamar sebagai seorang pria! Dan ketika ia tahu, dari logat bicara gadis yang menyamar pria itu, bahwa gadis itu bukan orang Han, melainkan seorang asing, ia merasa lebih heran lagi.
“Dia bernama Ganggananda, enci.”
“Ah, seorang Nepal?”
“Bukan, saya seorang berbangsa Bhutan”. kata Gangga.
Suma Hui mengangguk-angguk dan memandang tajam. Seorang gadis yang amat cantik, pikirnya, akan tetapi penyamarannya juga baik sekali. Ia hanya dapat mengenal penyamaran itu melalui perasaan kewanitaannya saja. Kalau jarak jauh sedikit saja, ia sendiripun tidak akan dapat mengetahui bahwa pemuda ini adalah seorang wanita.
“Dan bagaimanakah kalian dapat berkenalan dan bersahabat?” tanyanya ingin tahu sekali.
“Enci, saudara Gangga ini telah menyelamatkan nyawaku dan aku berhutang budi besar sekali kepadanya. Kalau tidak ada dia yang telah menolongku secara mati-matian, kiranya engkau takkan dapat bertemu lagi dengan adikmu ini.”
“Aih, itu terlalu dilebih-lebihkan.”
Gangga merendahkan diri walaupun hatinya girang sekali oleh pujian ini. Suma Hui terkejut mendengar betapa adiknya nyaris tewas.
“Apakah yang telah terjadi denganmu, Bun-te?”
“Aku nyaris tewas di tangan.... Tek Ciang, Hui-ci.”
Suma Hui terkejut bukan main, sampai meloncat dan memegang tangan adiknya.
“Apa? Dia? Kau bertemu dia? Di mana jahanam itu sekarang?
“Tenanglah, enci, aku akan ceritakan semuanya. Akan tetapi sebaiknya kita antarkan dulu dua orang anak ini ke rumah mereka”. jawab Ciang Bun.
Suma Hui maklum betapa pentingnya hal yang akan diceritakan adiknya, maka ia menahan gejolak hatinya dan mengangguk. Setelah tiba di kota raja dan mengantarkan muda-mudi itu sampai ke pekarangan gedung keluarga mereka, tiga orang pendekar ini segera pergi, tidak mau menerima undangan dua orang muda-mudi kaya-raya itu untuk singgah.
“Ceritakan saja semua yang terjadi dan menimpa diri kalian kepada orang tua kalian, agar jenazah tujuh orang pengawal kalian itu dapat diambil dan diurus. Kami akan pergi sekarang juga.”
Ciang Bun tidak memberi kesempatan kepada dua orang muda-mudi itu untuk banyak cakap. Dia lalu pergi bersama Suma Hui dan Gangga, dan tak lama kemudian mereka bertiga telah berada di atas sebuah perahu kecil di atas telaga dalam taman itu.
Mereka membiarkan perahu itu terapung-apung di sudut yang sunyi dan Ciang Bun menceritakan semua peristiwa yang dialaminya ketika dia tiba di telaga itu, mencari encinya. Diceritakan pertemuannya dengan Gangga dan mereka bersahabat lalu berperahu berdua, kemudian betapa Tek Ciang dan seorang pria lain muncul. Betapa mereka berkelahi dan dia telah terpukul oleh Tek Ciang dengan Hoa-mo-kang yang hampir saja menewaskannya kalau tidak saja Gangga yang mempergunakan gin-kangnya yang luar biasa untuk mencarikan obat penawarnya.
Mendengar penuturan adiknya secara panjang lebar itu, Suma Hui mengepal tinjunya.
“Sayang sekali aku tidak bertemu ketika jahanam itu muncul. Keparat, belum juga aku berhasil membunuhnya, dia telah melukai dan hampir saja membunuhmu, Untung ada.... sahabatmu ini. Saudara Ganggananda, saya ikut merasa bersyukur dan menghaturkan terima kasih atas pertolonganmu kepada adik saya”.
Melihat Suma Hui memberi hormat kepadanya, Gangga cepat membalas.
“Ahh.... nona, harap jangan sungkan. Ciang Bun telah menjadi sahabat baikku, di antara sahabat mana ada istilah tolong-menolong? Sudah sewajarnya dan selayaknya kalau ada seorang di antara sahabat kesukaran, yang lain membantunya, bukan?
Suma Hui mengangguk-angguk dan diam-diam ia merasa suka kepada gadis yang menyamar sebagai pria ini. Juga ia dapat menyelami hati gadis ini. Apa lagi kalau bukan cinta yang mendekatkan gadis itu dengan Ciang Bun? Anehnya kini ia tahu benar bahwa Ciang Bun menganggap gadis itu sebagai seorang pria. Mengapa begitu?
“Ahhh....” Tiba-tiba Suma Hui menepuk pahanya sendiri sehingga mengejutkan dua orang muda yang lain.
“Ada apakah, Hui-ci?”
Suma Hui tertegun dan menjadi bingung, tidak mengira bahwa jalan pikirannya membuat ia lupa diri tadi.
“Ah, tidak, hanya aku masih merasa kecewa tidak dapat bertemu sendiri dengan jahanam itu”.
“Biarpun demikian, pertemuanku dengan dia di telaga ini menunjukkan bahwa dia tidak berada jauh dari kota raja. Kita akan mencari lagi sampai dapat, enci. Akan tetapi, sebaiknya kalau kita minta bantuan kanda Kao Cin Liong. Kita cari dia di kota raja dan kita ceritakan tentang jahanam itu.”
Mendengar adiknya menyebut kanda kepada Cin Liong, diam-diam Suma Hui merasa girang dan berterima kasih. Adiknya sebetulnya masih terhitung paman dari Cin Liong, akan tetapi adiknya itu memandang kepadanya dan menyebut kanda.
“Baiklah, usulmu memang baik dan tanpa bantuan banyak tenaga, agaknya sukar menemukan jahanam yang licik itu.”
Karena hari sudah menjelang malam, mereka mengambil keputusan untuk mencari Cin Liong pada keesokan harinya dan malam hari itu mereka bermalam di sebuah rumah penginapan.
Melihat betapa Ciang Bun tidak sekamar dengan Ganggananda, Suma Hui mengerutkan alisnya. Bagaimanakah adiknya ini? Benarkah adiknya belum tahu akan keadaan Gangga sebenarnya, bahwa Gangga adalah seorang gadis? Akan tetapi kalau Ciang Bun mengira bahwa Gangga seorang pemuda, mengapa pula mereka berpisah kamar? Barangkali Gangga yang tidak mau tidur sekamar, pikirnya.
Andaikata ia menjadi Gangga, dalam penyamaran sebagai seorang pria, iapun tentu tidak mau tidur sekamar dengan seorang kawan pria, dan akan mencari dalih apapun agar mereka tidur berpisah. Betapapun juga, untuk menghilangkan keraguannya apakah adiknya itu tahu atau tidak akan keadaan Gangga, ia lalu mendatangi kamar adiknya dan bertanya.
“Bun-te, di mana Gangga?”
“Dia berada di kamarnya, di sudut lorong ini.”
“Eh, kenapa tidak disini saja, sekamar denganmu? Bukankah tempat tidur ini cukup besar untuk kalian berdua?”
Wajah Ciang Bun berobah merah dan dia lalu menyuruh encinya duduk, kemudian menutupkan daun pintu.
“Hui-ci, aku mau bicara denganmu.” katanya serius.
“Bicara apa? Katakanlah”. kata Suma Hui sambil duduk di tepi pembaringan dan memandang adiknya dengan sinar mata penuh kasih sayang.
Ia tahu akan kesulitan yang berkecamuk di dalam hati adiknya dan ia merasa kasihan karena keadaan adiknya sungguh membuat ia sendiri menjadi bingung.
“Enci, maukah enci andaikata harus tidur sepembaringan dengan seorang pemuda seperti halnya Gangga?”
“Eh? apa maksud pertanyaanmu ini? Aneh-aneh saja engkau. Tentu saja aku tidak mau!” Suma Hui berkata tegas dan heran.
“Nah, begitulah perasaanku, enci. Mana mungkin aku tidur sekamar dengan seorang pemuda seperti Gangga kalau aku mempunyai perasaan wanita seperti engkau itu? Dan aku.... aku takut kepada diriku sendiri, dan aku.... tidak ingin kehilangan Gangga, Hui-ci. Aku cinta padanya, aku cinta padanya dan aku tidak ingin kehilangan dia, tidak ingin berpisah darinya. Karena itulah aku selalu berusaha menjauhkan diri.... aku khawatir dia akan merasa jijik dan membenciku kalau dia tahu akan keadaanku, dan aku.... aku tidak ingin kehilangan dia, Hui-ci.”
Melihat adiknya yang gagah perkasa itu kini duduk menundukkan muka, dengan kedua pundak bergantung ke depan, gambaran seorang yang patah semangat dan penuh kegelisahan, Suma Hui merasa kasihan sekali. Hal ini sudah diduganya ketika mereka bertiga berada dalam perahu, yang membuat ia menepuk paha sendiri mengejutkan Ciang Bun.
Didalam perahu itu iapun teringat bahwa Ciang Bun tentu jatuh cinta kepada Gangga sebagai seorang pria! Teringat ia akan kelainan adiknya. Tak dapat dibayangkan bagaimana akan jadinya kalau adiknya tahu bahwa Gangga bukan pria, melainkan wanita! Dan tiba-tiba saja ia seperti memperoleh ilham! Inikah cara pengobatan untuk memulihkan keadaan adiknya sehingga batinnya akan seirama dengan badannya? Ingin ia melihat Ciang Bun pulih seperti seorang laki-laki biasa, bertubuh pria dan juga berselera dan berbatin pria agar adiknya tidak akan mengalami rintangan dan kesulitan-kesulitan di dalam hidup selanjutnya.
Dan kini Suma Hui melihat cahaya berkilat yang agaknya akan dapat memberi penerangan dalam kehidupan adiknya. Ia tidak ingin melihat adiknya mengalami derita hidup seperti yang pernah dialaminya.
“Adikku yang baik”, katanya sambil memegang kedua pundak Ciang Bun dan menegakkannya. “Seorang gagah tidak pernah putus asa dan tunduk terhadap nasib! Aku sudah tahu akan keadaanmu dan aku dapat ikut merasakan betapa hebat penderitaan batinmu. Akan tetapi, janganlah kau membiarkan kedukaan mengotori batinmu. Duka dan putus asa hanya permainan orang lemah. Engkau harus berani melihat kenyataan dirimu sendiri, berani menghadapinya dan berusaha mengatasinya. Segala yang tidak wajar berarti suatu keadaan yang tidak seimbang, katakanlah suatu penyakit. Karena itu, engkau tidak perlu merasa malu. Bersikaplah wajar saja namun dengan penuh kesadaran dan tertib diri, tidak hanya menurutkan dorongan nafsu yang timbul dari ketidak wajaran atau penyakitmu itu.”
“Aku tahu akan hal itu, Hui-ci dan selama ini, akupun sudah bertahan dan menentang dorongan hasrat nafsuku sendiri yang tidak wajar. Akan tetapi, aku jatuh cinta kepada Gangga, bukan semata karena dorongan nafsu birahi, bukan hanya karena gairah, akan tetapi segala-galanya pada diri Gangga menarik hatiku, menimbulkan rasa cinta dan aku tidak mau kehilangan dia, Hui-ci.”
Suma Hui menarik napas panjang. Ia dapat merasakan apa yang terkandung dalam hati adiknya. Seperti itulah agaknya perasaannya sendiri terhadap Cin Liong. Mencinta, sayang dan mesra, ingin sekali berdekatan dan selamanya tidak ingin berpisah lagi.
“Adikku, engkaupun tahu dan tentu ingat akan semua pelajaran ayah. Cinta kasih adalah sesuatu yang suci. Jangan sekali-kali salah kira dan mencampur adukkan cinta kasih dengan cinta birahi. Gejolak hatimu yang timbul dari gairah berahi itu bukanlah cinta kasih yang sesungguhnya. Itu hanya berahi yang timbul dari pikiran dan badan, dan bagi dirimu yang mempunyai kelainan, berahimu timbul kalau engkau melihat seorang pria yang tampan atau yang menyenangkan hatimu. Maka, sekarang aku hendak bertanya, adikku. Engkau bilang bahwa engkau cinta kepada Gangga, apakah cintamu itu semata-mata timbul karena kenyataan bahwa Gangga adalah seorang pemuda tampan dan gagah?”
“Kurasa kesemuanya itu mengambil bagian, Hui-ci. Bukan hanya karena dia seorang pemuda tampan dan gagah, akan tetapi juga karena dia berhati mulia, karena semua gerak-geriknya amat menarik dan menyenangkan hatiku, karena dia pernah menolongku dan mati-matian menyelamatkan diriku. Pendek kata, aku cinta padanya karena pribadinya, bukan semata karena dia seorang pemuda tampan.”
“Kalau begitu, bersikaplah wajar saja dalam cintamu, adikku. Anggap dia seorang sahabat yang baik sekali. Dan sekali waktu, kalau keadaan mengijinkan, lebih baik engkau berterus terang kepadanya tentang keadaan dirimu, tentang kelainanmu.”
“Ah, aku tidak berani, enci! Dia tentu akan marah dan jijik dan membenciku....!”
“Belum tentu, adikku. Apalagi kalau dia mencintamu sebagai seorang sahabat baik yang sudah dibuktikannya ketika dia mencarikan obat untukmu. Dia, seperti aku, tentu akan dapat memaklumi kelainanmu sebagai suatu penyakit dan dia tidak akan membencimu, malah akan merasa kasihan kepadamu.”
Setelah menghibur adiknya, Suma Hui lalu meninggalkannya untuk pergi tidur. Akan tetapi, gadis ini tidak pergi ke kamarnya, melainkan diam-diam ia pergi ke kamar Ganggananda di sudut lorong. Ia bersikap hati-hati sekali dan menjaga agar adiknya jangan sampai mengetahui perbuatannya. Setelah tiba di depan pintu kamar Gangga, ia mengetuk pintu perlahan.
“Siapa....?” terdengar suara Gangga dari dalam.
“Adik Gangga, bukalah, aku ingin bicara”. kata Suma Hui lirih.
Daun pintu terbuka dan Ganggananda muncul, memandang kepada Suma Hui dengan sinar mata penuh selidik. Tentu saja Ganggananda merasa heran mengapa malam-malam begini seorang gadis seperti Suma Hui mengetuk pintu kamar seorang pemuda.
“Ah, kiranya nona Suma Hui. Ada keperluan apakah.?”
Belum habis Gangga bicara, Suma Hui sudah melangkah masuk dan menutupkan daun pintu kamar itu. Gangga memandang dengan mata terbelalak, akan tetapi Suma Hui tersenyum dan berkata,
“Adik yang manis, tak perlu lagi bersandiwara. Kita sama-sama perempuan, apa salahnya bicara dalam kamar tertutup?”
Ganggananda atau Gangga Dewi terkejut, lalu menarik napas panjang dan tersenyum.
“Ah, enci Suma Hui, kiranya engkau sudah tahu? Lupa aku bahwa engkau adalah seorang pendekar wanita yang lihai dan bermata tajam. Maafkan penyamaranku.”
“Sstt, adik Gangga. Mari kita keluar dari kamarmu, melalui jendela saja agar jangan sampai ketahuan Ciang Bun. Aku ingin bicara empat mata denganmu”. kata Suma Hui yang segera menghampiri jendela kamar Gangga Dewi yang menembus ke kebun samping rumah penginapan.
Ia memberi isyarat dan tak lama kemudian dua orang gadis itu telah meloncat keluar pagar setelah menutupkan daun jendela kamar itu.
“Kita ke taman dan bicara di tempat sepi....” kata Suma Hui dan merekapun lalu berloncatan naik ke atas genteng-genteng bangunan rumah di sepanjang jalan.
Suma Hui sudah mendengar penuturan Ciang Bun betapa dengan mengandalkan gin-kangnya, Gangga telah menyelamatkannya dan berhasil mencari obat penawar racun Hoa-mo-kang. Maka kini Suma Hui memperoleh kesempatan untuk menguji kehebatan gin-kang dari gadis Bhutan itu. Ia sengaja mengerahkan gin-kang dan berlompatan dengan cepat sekali, melompati rumah-rumah dan kadang-kadang melayang turun dan berlari cepat menuju ke taman besar di mana siang tadi ia mencari adiknya kemudian melihat coretan-coretan di batang pohon.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar