"Tidak lagi, Bu-te, aku harus.... dan kau juga harus dapat mengatasi ini semua, jangan biarkan diri kita tenggelam oleh kegagalan cinta. Aku akan pergi mencari Hek-tiauw Lo-mo, harus kubalas jahanam itu yang telah memukul.... Ceng Ceng dengan pukulan beracun sehingga mengancam keselamatan nyawanya.”
“Lee-ko, aku ikut....”
“Jangan Bu-te. Sebaiknya kita berpisah dulu. Kita masing-masing perlu untuk mengembalikan ketenangan batin.... dalam keadaan begini aku lebih suka menyendiri dulu, Bu-te. Sebetulnya sudah tadi aku hendak pergi, akan tetapi aku menanti kau kembali. Lihat, pakaianku sudah kusiapkan.”
Kian Lee lalu mengambil buntalan pakaiannya dan setelah menepuk-nepuk pundak adiknya dengan mata merah karena menahan turunnya air mata, dia lalu pergi meninggalkan Istana itu dengan cepat.
Kian Bu duduk termenung, merasa kasihan sekali kepada kakaknya dan aneh, begitu dia merasa kasihan kepada kakaknya, penderitaannya sendiri terlupa dan dadanya terasa ringan! Dia tidak tahu bahwa duka timbulnya dari pikiran, dari ingatan yang membayang-bayangkan segala kekecewaan dan segala macam hal yang terjadi dan yang tidak menyenangkan dirinya.
Begitu ingatan ini tidak ada, begitu pikiran beralih ke lain hal, maka dengan sendirinya duka pun lenyap dan baru akan muncul lagi kalau ingatan kembali ditujukan kepada hal-hal yang mengecewakan atau tidak menyenangkan tadi.
Jelaslah bahwa Si Pembuat Duka adalah pikiran kita sendiri. Segala peristiwa yang terjadi adalah suatu fakta yang wajar, tidak membawa duka maupun suka, dan suka atau duka adalah hasil permainan pikiran kita sendiri. Maka, bebas dari pikiran berarti bebas pula dari duka! Bebas dari ingatan berarti bebas dari masa lalu, tidak mengingat-ingat lagi hal-hal yang telah lalu atau telah terjadi, baik hal itu menguntungkan atau merugikan diri pribadi.
Kian Bu teringat akan suhengnya yang katanya pergi tanpa pamit, dan akan encinya yang menurut kakaknya tadi sepergi orang yang berduka, maka dia lalu bangkit dan keluar dari kamarnya, menuju ke kamar encinya. Pintu kamar itu tertutup dan dia mengetuknya.
“Siapa di luar?” terdengar suara Milana setelah agak lama Kian Bu mengetuk pintu kamar itu.
“Aku, Enci Milana.”
“Oh, Bu-te. Kau masuklah!”
Kian Bu mendorong daun pintu dan memasuki kamar itu. Dia melihat encinya sedang rebah di atas pembaringan dan di bawah sinar penerangan, dia melihat wajah encinya pucat seperti orang sakit.
“Enci Milana, kau kenapakah? Sakitkah?” Kian Bu menghampiri dan duduk di atas bangku dekat ranjang.
Milana bangkit duduk dan menggeleng kepala lemah.
“Tidak, Bu-te. Engkau sudah kembali? Bagaimana dengan Syanti Dewi?”
Kian Bu menunduk. Tak disangkanya bahwa encinya juga agaknya sudah tahu bahwa dia tadi pergi mengunjungi Syanti Dewi, dan memang Milana mendengar akan hal ini dari Kian Lee.
“Dia.... dia menyampaikan pesan untuk mohon pertolongan darimu, Enci, agar dia dapat keluar dari istana karena dia tidak suka akan keputusan pernikahannya itu.”
Milana memandang tajam dan tentu saja dia melihat wajah muram adiknya itu. Sampai lama mereka berdua diam saja, Milana memandang penuh selidik sedangkan Kian Bu lebih banyak menunduk.
“Bu-te, engkau.... cinta kepada Syanti Dewi?”
Kian Bu makin menunduk, dia merasa malu dan juga sedih. Akhirnya dia mengangguk dan berkata,
“Akan tetapi dia.... dia tidak cinta padaku.... dia mencinta orang lain....”
Milana diam-diam menarik napas panjang, maklumlah dia siapa yang dicinta oleh Puteri Bhutan itu.
“Tenangkan hatimu, adikku. Kiraku sebaiknya begitulah, lebih baik mencinta namun tidak terbalas dan dengan demikian menginsyafkan kita, bahwa cinta kita salah alamat, daripada saling mencinta akan tetapi tidak dapat berjodoh. Saling mencinta akan tetapi harus saling berpisah. Engkau adalah seorang laki-laki yang memiliki kegagahan. Ditolak cintamu oleh seorang gadis tidak perlu menurunkan semangat dan merendahkan diri, bahkan kau harus berterima kasih dan bersyukur bahwa Syanti Dewi bersikap jujur kepadamu.”
Kian Bu mengangguk-angguk. Sedikit nasihat itu dirasakannya tepat sekali dan sudah merupakan obat yang manjur baginya.
“Enci Milana, aku mendengar dari Lee-ko bahwa Gak-suheng sudah pergi. Ke manakah dia dan mengapa tidak memberitahukan Lee-ko dan aku?”
“Entahlah.... dia sudah pergi. Kau tahu orang aneh seperti dia....!”
Milana tidak mau banyak bicara tentang Bun Beng, juga memang dia tidak sanggup bicara banyak tentang pria itu karena hal ini hanya akan menusuk perasaannya saja.
“Enci, Lee-ko juga sudah pergi, dia minta agar aku memberitahukan kepadamu.”
“Ehh?” Milana terkejut, “mengapa anak itu? Ke mana dia pergi?”
“Enci, agaknya kau tidak tahu. Sebetulnya.... Lee-ko juga mengalami patah hati.”
“Heiii? Patah hati bagaimana?”
“Dia sesungguhnya amat mencinta Ceng Ceng, kemudian terdapat kenyataan bahwa gadis itu adalah keponakannya sendiri.”
“Aihhh....!”
“Lee-ko, aku ikut....”
“Jangan Bu-te. Sebaiknya kita berpisah dulu. Kita masing-masing perlu untuk mengembalikan ketenangan batin.... dalam keadaan begini aku lebih suka menyendiri dulu, Bu-te. Sebetulnya sudah tadi aku hendak pergi, akan tetapi aku menanti kau kembali. Lihat, pakaianku sudah kusiapkan.”
Kian Lee lalu mengambil buntalan pakaiannya dan setelah menepuk-nepuk pundak adiknya dengan mata merah karena menahan turunnya air mata, dia lalu pergi meninggalkan Istana itu dengan cepat.
Kian Bu duduk termenung, merasa kasihan sekali kepada kakaknya dan aneh, begitu dia merasa kasihan kepada kakaknya, penderitaannya sendiri terlupa dan dadanya terasa ringan! Dia tidak tahu bahwa duka timbulnya dari pikiran, dari ingatan yang membayang-bayangkan segala kekecewaan dan segala macam hal yang terjadi dan yang tidak menyenangkan dirinya.
Begitu ingatan ini tidak ada, begitu pikiran beralih ke lain hal, maka dengan sendirinya duka pun lenyap dan baru akan muncul lagi kalau ingatan kembali ditujukan kepada hal-hal yang mengecewakan atau tidak menyenangkan tadi.
Jelaslah bahwa Si Pembuat Duka adalah pikiran kita sendiri. Segala peristiwa yang terjadi adalah suatu fakta yang wajar, tidak membawa duka maupun suka, dan suka atau duka adalah hasil permainan pikiran kita sendiri. Maka, bebas dari pikiran berarti bebas pula dari duka! Bebas dari ingatan berarti bebas dari masa lalu, tidak mengingat-ingat lagi hal-hal yang telah lalu atau telah terjadi, baik hal itu menguntungkan atau merugikan diri pribadi.
Kian Bu teringat akan suhengnya yang katanya pergi tanpa pamit, dan akan encinya yang menurut kakaknya tadi sepergi orang yang berduka, maka dia lalu bangkit dan keluar dari kamarnya, menuju ke kamar encinya. Pintu kamar itu tertutup dan dia mengetuknya.
“Siapa di luar?” terdengar suara Milana setelah agak lama Kian Bu mengetuk pintu kamar itu.
“Aku, Enci Milana.”
“Oh, Bu-te. Kau masuklah!”
Kian Bu mendorong daun pintu dan memasuki kamar itu. Dia melihat encinya sedang rebah di atas pembaringan dan di bawah sinar penerangan, dia melihat wajah encinya pucat seperti orang sakit.
“Enci Milana, kau kenapakah? Sakitkah?” Kian Bu menghampiri dan duduk di atas bangku dekat ranjang.
Milana bangkit duduk dan menggeleng kepala lemah.
“Tidak, Bu-te. Engkau sudah kembali? Bagaimana dengan Syanti Dewi?”
Kian Bu menunduk. Tak disangkanya bahwa encinya juga agaknya sudah tahu bahwa dia tadi pergi mengunjungi Syanti Dewi, dan memang Milana mendengar akan hal ini dari Kian Lee.
“Dia.... dia menyampaikan pesan untuk mohon pertolongan darimu, Enci, agar dia dapat keluar dari istana karena dia tidak suka akan keputusan pernikahannya itu.”
Milana memandang tajam dan tentu saja dia melihat wajah muram adiknya itu. Sampai lama mereka berdua diam saja, Milana memandang penuh selidik sedangkan Kian Bu lebih banyak menunduk.
“Bu-te, engkau.... cinta kepada Syanti Dewi?”
Kian Bu makin menunduk, dia merasa malu dan juga sedih. Akhirnya dia mengangguk dan berkata,
“Akan tetapi dia.... dia tidak cinta padaku.... dia mencinta orang lain....”
Milana diam-diam menarik napas panjang, maklumlah dia siapa yang dicinta oleh Puteri Bhutan itu.
“Tenangkan hatimu, adikku. Kiraku sebaiknya begitulah, lebih baik mencinta namun tidak terbalas dan dengan demikian menginsyafkan kita, bahwa cinta kita salah alamat, daripada saling mencinta akan tetapi tidak dapat berjodoh. Saling mencinta akan tetapi harus saling berpisah. Engkau adalah seorang laki-laki yang memiliki kegagahan. Ditolak cintamu oleh seorang gadis tidak perlu menurunkan semangat dan merendahkan diri, bahkan kau harus berterima kasih dan bersyukur bahwa Syanti Dewi bersikap jujur kepadamu.”
Kian Bu mengangguk-angguk. Sedikit nasihat itu dirasakannya tepat sekali dan sudah merupakan obat yang manjur baginya.
“Enci Milana, aku mendengar dari Lee-ko bahwa Gak-suheng sudah pergi. Ke manakah dia dan mengapa tidak memberitahukan Lee-ko dan aku?”
“Entahlah.... dia sudah pergi. Kau tahu orang aneh seperti dia....!”
Milana tidak mau banyak bicara tentang Bun Beng, juga memang dia tidak sanggup bicara banyak tentang pria itu karena hal ini hanya akan menusuk perasaannya saja.
“Enci, Lee-ko juga sudah pergi, dia minta agar aku memberitahukan kepadamu.”
“Ehh?” Milana terkejut, “mengapa anak itu? Ke mana dia pergi?”
“Enci, agaknya kau tidak tahu. Sebetulnya.... Lee-ko juga mengalami patah hati.”
“Heiii? Patah hati bagaimana?”
“Dia sesungguhnya amat mencinta Ceng Ceng, kemudian terdapat kenyataan bahwa gadis itu adalah keponakannya sendiri.”
“Aihhh....!”
Milana terbelalak, diam-diam perasaannya makin tertusuk. Mengapa begini kebetulan? Mereka bertiga, anak-anak dari Pendekar Super Sakti, dalam waktu yang bersamaan semua menderita patah hati karena cinta gagal?
“Dia bilang hendak mencari Hek-tiauw Lo-mo yang telah melukai Ceng Ceng, hendak membalas dendam kepada kakek Pulau Neraka itu. Karena semua sudah pergi, aku pun akan pergi sekarang juga, Enci.”
“Eh, anak nakal! Engkau pula? Hendak ke mana kau?”
“Aku hendak menghibur hati dan pergi malam ini juga.... mungkin aku terus kembali ke Pulau Es.... atau ke mana saja, pokoknya jauh dari sini....”
Milana menarik napas panjang. Dia mengerti apa yang dimaksudkan oleh adiknya ini yang setelah kekecewaannya dalam kegagalan cintanya kini ingin secepat mungkin pergi sejauh mungkin meninggalkan wanita yang menjadi sebab kepatahan hatinya itu.
“Kenapa tidak besok saja, Adikku....?”
“Tidak, Enci Milana. Sekarang juga aku pergi, dan harap sampaikan maafku kepada Ci-hu (kakak ipar).... selamat tinggal, Enci.”
Dia lalu berlari ke luar untuk mengambil pakaiannya dan malam itu juga dia pergi meninggalkan istana encinya.
Milana mengerutkan alisnya, termenung dan membayangkan semua peristiwa yang telah menimpa dirinya, mengikuti bayangan Gak Bun Beng yang pergi dalam keadaan patah hati dan semangatnya, dan bayangan Kian Lee dan Kian Bu yang juga mengalami kegagalan dalam cintanya. Tak terasa lagi, puteri yang cantik jelita dan gagah perkasa ini meruntuhkan air mata, terisak-isak menangis di atas pembaringannya.
Gak Bun Beng, Suma Kian Lee dan Suma Kian Bu, tiga orang laki-laki gagah perkasa itu semua patah hati dan menderita sengsara karena wanita. Betapa banyaknya peristiwa seperti itu terjadi di dunia ini, semenjak jaman dahulu kala sampai sekarang. Sejak jaman dahulu, banyak sudah tercatat dalam sejarah betapa laki-laki yang gagah perkasa, satria-satria dan pahlawan-pahlawan, pendekar-pendekar sakti yang sukar menemukan tandingan, akhirnya roboh oleh wanita!
Banyak pula dalam sejarah tercatat betapa kaisar-kaisar, raja-raja besar, panglima-panglima dan pemimpin-pemimpin gemblengan, seorang demi seorang roboh tak berdaya di bawah telapak kaki halus seorang wanita.
Bahkan di dalam dongeng-dongeng kuno dari bahasa apa pun, tentu terdapat peristiwa di mana para dewata yang memiliki kesaktian dan kekuatan, dapat pula roboh karena wanita. Siapa pula yang tidak mengenal cerita tentang manusia pertama, Adam yang juga runtuh karena bujuk rayu Hawa, seorang wanita pula?
Akan tetapi, benarkah demikian? Benarkah itu bahwa mereka, para pria yang jatuh itu, raja-raja yang kehilangan tahtanya, pahlawan-pahlawan yang kehilangan kepahlawanannya, pendekar-pendekar yang kehilangan kegagahannya, semua jatuh karena kesalahan wanita? Wanitakah yang bersalah sehingga kaum pria runtuh oleh kelembutan mereka?
Tidak! Kiranya tidaklah tepat kalau kita berpendapat demikian. Wanita pun banyak yang menjadi korban karena hubungannya dengan pria. Hampir semua wanita yang terperosok ke dalam lembah kehinaan, yang umumnya dinamakan pelacur, tentu akan dapat menceritakan riwayat masing-masing yang hampir semua adalah akibat dari perbuatan pria, atau menjadi korban hubungan mereka dengan pria. Juga dalam hal mereka ini, tidak dapat dipersalahkan kepada kaum pria.
Bukan wanita dan bukan pria yang bersalah dengan terjadinya semua kegagalan hidup itu. Yang bersalah adalah yang disebut cinta antara pria dan wanita, yang sesungguhnya bukankah cinta sejati, melainkan cinta yang diciptakan oleh nafsu belaka.
Cinta nafsu tentu saja menimbulkan bermacam peristiwa, yang menimbulkan kenikmatan dan kesenangan hebat, namun di lain saat bisa mendatangkan derita dan kedukaan yang hebat pula. Karena cinta nafsu adalah penonjolan dari diri pribadi dalam bentuk yang paling nyata, dan selama diri pribadi ditonjolkan, sudah pasti yang ada hanyalah suka dan duka, nikmat dan derita!
Tiada yang senikmat cinta
sorgaloka turun ke dunia
membuai dan membius manusia!
Tiada yang selucu cinta
manusia menjadi badut-badut dibuatnya
segala kepalsuan dilakukannya!
Tiada yang secelaka cinta
mendatangkan derita tiada taranya
dunia berubah menjadi neraka!
Akan tetapi....,
tiada yang seindah cinta sejati
dalam tawa remaja puteri
Dalam sinar matahari pagi
yang terkandung dalam tangis bayi
dalam lautan danau dan sungai
dalam semua isi langit dan bumi
dalam segala yang hidup dan mati
Cinta mulia dan suci
tetap ADA dan kekal abadi
apabila AKU TIADA lagi.
“Apa kaubilang....?”
Puteri Milana meloncat dengan kaget sekali mendengar laporan dari seorang pengawalnya dengan muka pucat bahwa suaminya, Han Wi Kong, sedang membuat huru-hara di istana Pangeran Liong Bin Ong dan kini sedang dikeroyok oleh para pengawal pangeran itu.
“Hamba.... hamba dengar.... Pangeran Liong Bin Ong telah dibunuhnya....”
Milana menahan jeritnya dan sekali berkelebat tubuhnya sudah lenyap dari depan pengawal yang melaporkan peristiwa hebat itu. Bagaikan bayangan siluman saja saking cepatnya, Milana berlari ke istana Pangeran Liong Bin Ong dan ketika dia melayang naik ke atas genteng istana itu, dia sudah mendengar suara ribut-ribut di bagian belakang istana. Cepat dia melayang turun. Dua orang pengawal berteriak dan menghadang, akan tetapi dua kali tangannya bergerak, dua orang pengawal itu terpelanting ke kanan kiri seperti disambar petir.
Milana terus lari ke dalam dan ketika dia tiba di tempat yang luas di ruangan belakang menuju ke pintu taman, dia terkejut bukan main. Pangeran Liong Bin Ong telah menggeletak di atas lantai dengan dada tertusuk pedang yang dia kenal sebagai pedang suaminya!
Pangeran tua itu mati dan melihat meja yang penuh hidangan, agaknya tadi pangeran itu sedang menjamu tamu yang agaknya suaminya itulah! Dan tak jauh dari situ dia melihat suaminya dikepung dan dikeroyok oleh belasan orang pengawal, dan di antaranya terdapat seorang kakek yang tidak berbaju. Kakek ini memegang sebatang gendewa besar dan kelihatan lihai sekali sungguhpun melihat pakaian dan sikapnya dia itu sepantasnyalah seorang pekerja di dapur atau tukang kebun di taman!
Han Wi Kong sudah luka-luka dan dengan gagah berani panglima ini membela diri dengan tangan kosong. Ketika dia melihat isterinya muncul di situ, dia terkejut sekali.
“Milana...., pergilah kau....!”
“Dess....!”
Sebatang toya menghantam pundak panglima itu ketika dia menoleh kepada isterinya. Han Wi Kong terhuyung, kemudian dia meloncat ke arah Milana.
“Cepat.... pergi dari sini.... tiada jalan lain aku membunuh pemberontak itu....”
“Wirrr-wirrr-wirrr....!”
“Awas panah....!” Milana menjerit kaget.
“Cep-cep-ceppp....! Aughhhh....!”
Tiga batang anak panah yang dilepas oleh kakek telanjang baju dari jarak dekat dengan gendewanya yang besar itu telah menancap di lengan dan punggung Han Wi Kong. Panglima itu mengeluh, terbelalak karena dua batang anak panah yang menancap di punggung menancap dalam sekali, sedangkan lengannya tertembus sebatang anak panah.
“Milana.... maafkan aku.... lekas pergi.... surat di atas mejaku.... kau berikan dia....”
Setelah berkata demikian, Han Wi Kong roboh terguling dan tewas di saat itu juga karena dua batang anak panah yang menancap di punggungnya itu menembus jantung.
“Aihhhh....!”
Milana terbelalak memandang mayat suaminya sambil menutup mulut dengan punggung tangan kanan. Kemudian dia mengangkat muka, memandang kakek telanjang itu dan para pengawal yang sudah maju menghampiri dan mengurungnya, sepasang matanya mengeluarkan sinar berapi-api, cuping hidungnya kembang-kempis dan bibirnya gemetar.
Tiba-tiba terdengar suara melengking tinggi nyaring yang menggetarkan semua pengawal, suara lengking mengerikan yang keluar dari mulut kecil Puteri Milana, dan tampak bayangan merah dari jubahnya yang lebar berkelebat ke depan. Para pengawal terkejut dan mengangkat senjata, namun terdengar suara keras dan empat orang di antara mereka terpental, terbentur pada dinding dan tewas seketika dengan kepala pecah!
Para pengawal itu adalah orang-orang pilihan yang sengaja dipelihara oleh Liong Bin Ong untuk mengawal dirinya. Mereka adalah orang-orang kepercayaan pemberontak itu, maka biarpun mereka tahu akan kelihaian Puteri Milana, mereka menganggap puteri ini sebagai musuh majikannya. Bahkan laki-laki memegang gendewa itu adalah seorang tokoh hitam yang bekerja di situ menyamar sebagai tukang masak, padahal dia pun merupakan seorang pengawal dalam yang dipercaya dan memiliki ilmu kepandaian tinggi.
Tadi sore Han Wi Kong datang secara baik-baik, dan resminya adalah untuk mengucapkan berduka cita atas kematian Pangeran Liong Khi Ong. Akan tetapi Liong Bin Ong yang cerdik itu menyambut ucapan dukacita itu dengan tertawa.
“Dia mati karena ulahnya sendiri. Siapa suruh dia memberontak terhadap pemerintah yang sah?” kata Liong Bin Ong. “Sudah sering aku memberi nasihat, akan tetapi tidak diturutnya. Sekarang dia tewas, itulah hukumannya, dan kita tidak perlu berduka cita!”
Untuk memperlihatkan bahwa dia “tidak ada hubungan” dengan adiknya yang memberontak itu, Liong Bin Ong memperlihatkan kegembiraan, bahkan dia lalu menjamu makan kepada suami Puteri Milana yang diam-diam merupakan lawan tangguh dan musuh besarnya itu. Milana terhitung keponakan pangeran ini, maka Han Wi Kong juga masih merupakan keluarga dekat, yaitu mantu keponakan.
Mereka makan minum di ruangan belakang dan dijaga oleh dua belas orang pengawal kepercayaan Pangeran Liong Bi Ong. Akan tetapi, dengan tidak tersangka-sangka sama sekali, ketika tuan rumah dan tamu itu sudah minum sampai setengah mabok tiba-tiba saja Han Wi Kong mencabut pedang dan menusuk pangeran tua itu dari depan, tepat mengenai dadanya dan Pangeran Liong Bin Ong roboh dan tewas seketika.
Tentu saja peristiwa yang tidak tersangka-sangka ini tidak dapat dicegah oleh para pengawal yang kini menjadi marah dan mengepung serta menyerang Han Wi Kong. Keributan ini terdengar dari luar sehingga sampai juga ke istana Puteri Milana sehingga seorang pengawal cepat melaporkan kepada puteri itu.
Kini Milana mengamuk. Kedukaan dan kemarahan bercampur menjadi satu membuat puteri ini menjadi luar biasa berbahayanya. Gelang di tangan kirinya yang terbuat dari emas itu telah berlepotan darah dan dalam waktu singkat saja, delapan orang pengawal telah roboh oleh wanita sakti ini.
Tinggal empat orang pengawal bersama kakek telanjang baju yang masih melawannya, akan tetapi biarpun kakek itu memiliki kepandaian tinggi dan gerakan gendewa sebagai senjatanya itu amat kuat, namun sudah dua kali dia terhuyung kena diserempet hawa pukulan dari tangan lembut Puteri Milana.
“Serr-serr-serrr....!” Tiga batang anak panah meluncur, dilepas oleh kakek itu dari jarak dekat.
“Bedebah....!”
Milana memaki karena panah-panah ini mengingatkan dia akan kematian suaminya. Cepat tangannya menyambar dan tiga batang anak panah itu telah dapat disambarnya di udara, kemudian dia memekik dan tiga batang anak panah itu dilontarkan dengan kecepatan kilat ke arah kakek itu.
Kakek itu terkejut sekali melihat betapa wanita itu dapat menangkap tiga batang anak panahnya dan kekagetannya inilah yang mencelakakan dia karena ketika dia melihat berkelebatnya tiga sinar kilat menyambarnya, dia kurang cepat mengelak sehingga sebatang di antara tiga anak panah itu menyambar tenggorokannya.
“Arrgghhhh....!”
Kakek itu mengeluarkan suara seperti seekor babi disembelih, kemudian dia menubruk dengan nekat, menggunakan gendewanya untuk melakukan serangan terakhir. Namun, Milana sudah meloncat ke samping, kakinya menendang dan tubuh kakek itu roboh terjengkang, tewas seketika. Empat orang pengawal menjadi jerih, dan hendak lari, namun tahu-tahu ada bayangan berkelebat melewati mereka dan ketika mereka memandang, Puteri Milana sudah berdiri di depan mereka!
“Tidak ada yang kubiarkan hidup!”
Milana membentak dan begitu dia bergerak, kaki tangannya sudah menyerang dan berturut-turut robohlah empat orang pengawal itu. Baru puas rasa hati Milana dan dia cepat meloncat ke dekat mayat suaminya, mencabuti tiga batang anak panah itu lalu memanggul mayat itu dan meloncat pergi, terus melarikan diri ke dalam istananya sendiri.
Dia merebahkan mayat suaminya di atas pembaringan, teringat akan pesan suaminya dia menoleh ke atas meja. Benar saja, di situ terdapat dua buah sampul surat kuning yang ketika dibacanya, yang sebuah dialamatkan kepadanya dan yang sebuah lagi dialamatkan kepada Gak Bun Beng!
Dengan jari-jari tangan gemetar Milana membuka sampul surat untuknya, membaca dengan muka pucat dan perlahan-lahan air matanya yang tadi tertahan oleh kemarahan mulai menetes-netes ke atas surat yang dibacanya, melunturkan tintanya.
Milana isteriku tercinta,
Hanya ada satu jalan bagi kita semua, juga bagi keselamatan negara, yaitu aku harus membunuh Liong Bin Ong. Percayalah, aku bukan melakukan bunuh diri dengan membuta, melainkan sudah kupertimbangkan masak-masak, demi keselamatan negara dan terutama sekali demi kebahagiaan hidupmu. Kau bawalah suratku dan berikan kepada Gak Bun Beng, dia patut menerima cinta kasihmu.
Selamat tinggal.
Suamimu, juga sahabatmu,
Han Wi Kong
“Ahhhh....!”
Milana menubruk ke pembaringan dan berlutut sambil menangis di depan mayat suaminya. Dia maklum, dia mengerti mengapa suaminya melakukan perbuatan ini. Suaminya sudah tahu bahwa dalam membunuh Pangeran Liong Bin Ong, dia pasti akan tewas. Dan memang harus diakui bahwa satu-satunya jalan untuk menghindarkan negara dari bahaya ancaman pangeran yang palsu hatinya itu, hanyalah dengan cara membunuhnya, karena Kaisar terlampau sayang dan terlampau percaya kepada saudaranya itu. Dan Han Wi Kong telah sengaja melakukan itu untuk memberi kesempatan kepada dia dan Gak Bun Beng.
“Han Wi Kong, harap kau sudi mengampunkan aku. Di dunia ini aku tidak bisa menjadi isterimu, biarlah di dalam kehidupan lain kelak aku akan suka menjadi apa saja untuk melayanimu.”
Tiba-tiba para pengawal berlari masuk dan dengan terengah-engah melaporkan bahwa Perdana Menteri Su sendiri dengan para petugas keamanan istana telah datang, dan pasukan itu mendapat perintah, untuk menangkap Puteri Milana!
“Jangan melawan!”
Kata Milana dan cepat dia menyimpan dua buah surat itu ke saku bajunya, kemudian dia menggunakan pit untuk membuat corat-coret di atas tembok kamar suaminya karena dia sudah tidak mempunyai waktu untuk menulis surat dengan baik-baik.
Kemudian, dia cepat mengumpulkan beberapa perhiasan dan pakaian, membuntalnya dengan kain kuning, menyambar pedangnya dan mengikatkan pedang dan buntalan di pundak, kemudian dia meloncat melalui jendela kamar itu ketika mendengar derap kaki banyak orang mendatangi ke arah kamar itu.
Ketika Perdana Menteri Su dan para pasukan memasuki kamar, pembesar ini hanya melihat mayat Han Wi Kong dan coretan-coretan di atas tembok yang berbunyi:
“Milana akan berterima kasih sekali kepada Perdana Menteri Su jika sudi mengurus jenazah Han Wi Kong dengan sepatutnya.
Tertanda : Puteri Milana.
Perdana Menteri Su menggeleng-geleng kepala dan menarik napas panjang. Biarpun dia tadi terkejut sekali mendengar akan peristiwa pembunuhan Pangeran Liong Bin Ong, namun dia mengerti mengapa Han Wi Kong melakukan perbuatan nekat itu dan diam-diam dia bersyukur karena dibunuhnya Pangeran Liong Bin Ong itu terbebaslah negara dari ancaman bahaya besar.
Maka dia lalu menghampiri jenazah Han Wi Kong dan tanpa ragu-ragu lagi pembesar tinggi yang sudah tua ini menjatuhkan diri berlutut di depan pembaringan sebagai penghormatan dan mulutnya berkemak-kemik menghaturkan terima kasih kepada Han Wi Kong yang disebutnya sebagai seorang pahlawan bangsa!
Mudah saja dia akan membujuk Kaisar dengan mengatakan bahwa apa yang terjadi hanyalah pertikaian pribadi antara keluarga Milana dan Liong Bin Ong, sehingga dengan demikian Han Wi Kong tidak akan dianggap sebagai seorang musuh negara.
“Hei, kenapa kalian bengong saja?” Setelah dia berdiri lagi dia membentak pasukan yang dipimpin oleh seorang panglima itu. “Hayo lekas cari dan tangkap Puteri Milana!”
Pasukan itu lalu lari cerai-berai. Hanya lagaknya saja Perdana Menteri Su berkata demikian, akan tetapi diam-diam dia maklum bahwa tidak ada seorang pun di antara pasukan itu yang akan berani menyentuh ujung jubah Puteri Milana yang mereka kagumi dan hormati.
Maka lenyaplah Puteri Milana dan berbareng dengan menghilangnya puteri ini dari kota raja, hilang pula Puteri Syanti Dewi dari kamarnya tanpa ada yang tahu ke mana Puteri Bhutan itu pergi. Hanya Perdana Menteri Su yang mengangguk-angguk dan menduga bahwa pasti Puteri Milana yang melakukan hal itu, sengaja mengajak Puteri Syanti Dewi lari dari istana karena tidak setuju Puteri Bhutan itu dikawinkan dengan Pangeran Yung Hwa.
Perdana Menteri Su merasa heran sekali dan tidak mengerti mengapa Milana melakukan hal itu. Maka didatanginyalah Pangeran Yung Hwa dan betapa herannya pembesar yang bijaksana dan setia ini melihat Pangeran Yung Hwa kegirangan luar biasa mendengar bahwa Puteri Syanti Dewi telah melarikan diri!
“Paman Menteri, saya girang sekali, ahh, saya bersyukur sekali bahwa dia telah pergi, karena kalau tidak, tentu aku yang akan pergi lagi.”
“Eh, kenapa begitu, Pangeran?”
“Aku tidak suka diharuskan menikah dengan puteri Bhutan.”
Perdana Menteri Su memandang heran dan mengerutkan alisnya.
“Ingatlah, Pangeran Muda, dahulu engkau marah-marah dan melarikan diri dari istana karena permintaanmu untuk menikah dengan puteri Bhutan ditolak Sri Baginda. Sekarang keinginanmu itu dituruti, engkau malah menolak. Apa artinya ini?”
Pangeran Yung Hwa tersenyum.
“Artinya, Paman, bahwa dulu itu cintaku adalah cinta yang mentah, cinta monyet, cinta kanak-kanak karena yang kucinta adalah bayangan seorang gadis yang muncul karena cerita-cerita indah tentang dirinya. Dahulu aku mencinta seorang dara yang belum pernah kulihat, cinta bayangan saja. Sekarang, saya telah tahu apa artinya cinta, saya telah mencinta seorang dara dari darah daging, bukan bayangan kosong belaka. Biar dia gadis biasa, aku cinta padanya dan setelah Syanti Dewi pergi, saya pun akan pergi untuk mencari dara yang saya cinta itu. Saya girang dapat bebas dari Puteri Bhutan!” Pangeran Yung Hwa bergembira dan bersenandung!
“Dia bilang hendak mencari Hek-tiauw Lo-mo yang telah melukai Ceng Ceng, hendak membalas dendam kepada kakek Pulau Neraka itu. Karena semua sudah pergi, aku pun akan pergi sekarang juga, Enci.”
“Eh, anak nakal! Engkau pula? Hendak ke mana kau?”
“Aku hendak menghibur hati dan pergi malam ini juga.... mungkin aku terus kembali ke Pulau Es.... atau ke mana saja, pokoknya jauh dari sini....”
Milana menarik napas panjang. Dia mengerti apa yang dimaksudkan oleh adiknya ini yang setelah kekecewaannya dalam kegagalan cintanya kini ingin secepat mungkin pergi sejauh mungkin meninggalkan wanita yang menjadi sebab kepatahan hatinya itu.
“Kenapa tidak besok saja, Adikku....?”
“Tidak, Enci Milana. Sekarang juga aku pergi, dan harap sampaikan maafku kepada Ci-hu (kakak ipar).... selamat tinggal, Enci.”
Dia lalu berlari ke luar untuk mengambil pakaiannya dan malam itu juga dia pergi meninggalkan istana encinya.
Milana mengerutkan alisnya, termenung dan membayangkan semua peristiwa yang telah menimpa dirinya, mengikuti bayangan Gak Bun Beng yang pergi dalam keadaan patah hati dan semangatnya, dan bayangan Kian Lee dan Kian Bu yang juga mengalami kegagalan dalam cintanya. Tak terasa lagi, puteri yang cantik jelita dan gagah perkasa ini meruntuhkan air mata, terisak-isak menangis di atas pembaringannya.
Gak Bun Beng, Suma Kian Lee dan Suma Kian Bu, tiga orang laki-laki gagah perkasa itu semua patah hati dan menderita sengsara karena wanita. Betapa banyaknya peristiwa seperti itu terjadi di dunia ini, semenjak jaman dahulu kala sampai sekarang. Sejak jaman dahulu, banyak sudah tercatat dalam sejarah betapa laki-laki yang gagah perkasa, satria-satria dan pahlawan-pahlawan, pendekar-pendekar sakti yang sukar menemukan tandingan, akhirnya roboh oleh wanita!
Banyak pula dalam sejarah tercatat betapa kaisar-kaisar, raja-raja besar, panglima-panglima dan pemimpin-pemimpin gemblengan, seorang demi seorang roboh tak berdaya di bawah telapak kaki halus seorang wanita.
Bahkan di dalam dongeng-dongeng kuno dari bahasa apa pun, tentu terdapat peristiwa di mana para dewata yang memiliki kesaktian dan kekuatan, dapat pula roboh karena wanita. Siapa pula yang tidak mengenal cerita tentang manusia pertama, Adam yang juga runtuh karena bujuk rayu Hawa, seorang wanita pula?
Akan tetapi, benarkah demikian? Benarkah itu bahwa mereka, para pria yang jatuh itu, raja-raja yang kehilangan tahtanya, pahlawan-pahlawan yang kehilangan kepahlawanannya, pendekar-pendekar yang kehilangan kegagahannya, semua jatuh karena kesalahan wanita? Wanitakah yang bersalah sehingga kaum pria runtuh oleh kelembutan mereka?
Tidak! Kiranya tidaklah tepat kalau kita berpendapat demikian. Wanita pun banyak yang menjadi korban karena hubungannya dengan pria. Hampir semua wanita yang terperosok ke dalam lembah kehinaan, yang umumnya dinamakan pelacur, tentu akan dapat menceritakan riwayat masing-masing yang hampir semua adalah akibat dari perbuatan pria, atau menjadi korban hubungan mereka dengan pria. Juga dalam hal mereka ini, tidak dapat dipersalahkan kepada kaum pria.
Bukan wanita dan bukan pria yang bersalah dengan terjadinya semua kegagalan hidup itu. Yang bersalah adalah yang disebut cinta antara pria dan wanita, yang sesungguhnya bukankah cinta sejati, melainkan cinta yang diciptakan oleh nafsu belaka.
Cinta nafsu tentu saja menimbulkan bermacam peristiwa, yang menimbulkan kenikmatan dan kesenangan hebat, namun di lain saat bisa mendatangkan derita dan kedukaan yang hebat pula. Karena cinta nafsu adalah penonjolan dari diri pribadi dalam bentuk yang paling nyata, dan selama diri pribadi ditonjolkan, sudah pasti yang ada hanyalah suka dan duka, nikmat dan derita!
Tiada yang senikmat cinta
sorgaloka turun ke dunia
membuai dan membius manusia!
Tiada yang selucu cinta
manusia menjadi badut-badut dibuatnya
segala kepalsuan dilakukannya!
Tiada yang secelaka cinta
mendatangkan derita tiada taranya
dunia berubah menjadi neraka!
Akan tetapi....,
tiada yang seindah cinta sejati
dalam tawa remaja puteri
Dalam sinar matahari pagi
yang terkandung dalam tangis bayi
dalam lautan danau dan sungai
dalam semua isi langit dan bumi
dalam segala yang hidup dan mati
Cinta mulia dan suci
tetap ADA dan kekal abadi
apabila AKU TIADA lagi.
“Apa kaubilang....?”
Puteri Milana meloncat dengan kaget sekali mendengar laporan dari seorang pengawalnya dengan muka pucat bahwa suaminya, Han Wi Kong, sedang membuat huru-hara di istana Pangeran Liong Bin Ong dan kini sedang dikeroyok oleh para pengawal pangeran itu.
“Hamba.... hamba dengar.... Pangeran Liong Bin Ong telah dibunuhnya....”
Milana menahan jeritnya dan sekali berkelebat tubuhnya sudah lenyap dari depan pengawal yang melaporkan peristiwa hebat itu. Bagaikan bayangan siluman saja saking cepatnya, Milana berlari ke istana Pangeran Liong Bin Ong dan ketika dia melayang naik ke atas genteng istana itu, dia sudah mendengar suara ribut-ribut di bagian belakang istana. Cepat dia melayang turun. Dua orang pengawal berteriak dan menghadang, akan tetapi dua kali tangannya bergerak, dua orang pengawal itu terpelanting ke kanan kiri seperti disambar petir.
Milana terus lari ke dalam dan ketika dia tiba di tempat yang luas di ruangan belakang menuju ke pintu taman, dia terkejut bukan main. Pangeran Liong Bin Ong telah menggeletak di atas lantai dengan dada tertusuk pedang yang dia kenal sebagai pedang suaminya!
Pangeran tua itu mati dan melihat meja yang penuh hidangan, agaknya tadi pangeran itu sedang menjamu tamu yang agaknya suaminya itulah! Dan tak jauh dari situ dia melihat suaminya dikepung dan dikeroyok oleh belasan orang pengawal, dan di antaranya terdapat seorang kakek yang tidak berbaju. Kakek ini memegang sebatang gendewa besar dan kelihatan lihai sekali sungguhpun melihat pakaian dan sikapnya dia itu sepantasnyalah seorang pekerja di dapur atau tukang kebun di taman!
Han Wi Kong sudah luka-luka dan dengan gagah berani panglima ini membela diri dengan tangan kosong. Ketika dia melihat isterinya muncul di situ, dia terkejut sekali.
“Milana...., pergilah kau....!”
“Dess....!”
Sebatang toya menghantam pundak panglima itu ketika dia menoleh kepada isterinya. Han Wi Kong terhuyung, kemudian dia meloncat ke arah Milana.
“Cepat.... pergi dari sini.... tiada jalan lain aku membunuh pemberontak itu....”
“Wirrr-wirrr-wirrr....!”
“Awas panah....!” Milana menjerit kaget.
“Cep-cep-ceppp....! Aughhhh....!”
Tiga batang anak panah yang dilepas oleh kakek telanjang baju dari jarak dekat dengan gendewanya yang besar itu telah menancap di lengan dan punggung Han Wi Kong. Panglima itu mengeluh, terbelalak karena dua batang anak panah yang menancap di punggung menancap dalam sekali, sedangkan lengannya tertembus sebatang anak panah.
“Milana.... maafkan aku.... lekas pergi.... surat di atas mejaku.... kau berikan dia....”
Setelah berkata demikian, Han Wi Kong roboh terguling dan tewas di saat itu juga karena dua batang anak panah yang menancap di punggungnya itu menembus jantung.
“Aihhhh....!”
Milana terbelalak memandang mayat suaminya sambil menutup mulut dengan punggung tangan kanan. Kemudian dia mengangkat muka, memandang kakek telanjang itu dan para pengawal yang sudah maju menghampiri dan mengurungnya, sepasang matanya mengeluarkan sinar berapi-api, cuping hidungnya kembang-kempis dan bibirnya gemetar.
Tiba-tiba terdengar suara melengking tinggi nyaring yang menggetarkan semua pengawal, suara lengking mengerikan yang keluar dari mulut kecil Puteri Milana, dan tampak bayangan merah dari jubahnya yang lebar berkelebat ke depan. Para pengawal terkejut dan mengangkat senjata, namun terdengar suara keras dan empat orang di antara mereka terpental, terbentur pada dinding dan tewas seketika dengan kepala pecah!
Para pengawal itu adalah orang-orang pilihan yang sengaja dipelihara oleh Liong Bin Ong untuk mengawal dirinya. Mereka adalah orang-orang kepercayaan pemberontak itu, maka biarpun mereka tahu akan kelihaian Puteri Milana, mereka menganggap puteri ini sebagai musuh majikannya. Bahkan laki-laki memegang gendewa itu adalah seorang tokoh hitam yang bekerja di situ menyamar sebagai tukang masak, padahal dia pun merupakan seorang pengawal dalam yang dipercaya dan memiliki ilmu kepandaian tinggi.
Tadi sore Han Wi Kong datang secara baik-baik, dan resminya adalah untuk mengucapkan berduka cita atas kematian Pangeran Liong Khi Ong. Akan tetapi Liong Bin Ong yang cerdik itu menyambut ucapan dukacita itu dengan tertawa.
“Dia mati karena ulahnya sendiri. Siapa suruh dia memberontak terhadap pemerintah yang sah?” kata Liong Bin Ong. “Sudah sering aku memberi nasihat, akan tetapi tidak diturutnya. Sekarang dia tewas, itulah hukumannya, dan kita tidak perlu berduka cita!”
Untuk memperlihatkan bahwa dia “tidak ada hubungan” dengan adiknya yang memberontak itu, Liong Bin Ong memperlihatkan kegembiraan, bahkan dia lalu menjamu makan kepada suami Puteri Milana yang diam-diam merupakan lawan tangguh dan musuh besarnya itu. Milana terhitung keponakan pangeran ini, maka Han Wi Kong juga masih merupakan keluarga dekat, yaitu mantu keponakan.
Mereka makan minum di ruangan belakang dan dijaga oleh dua belas orang pengawal kepercayaan Pangeran Liong Bi Ong. Akan tetapi, dengan tidak tersangka-sangka sama sekali, ketika tuan rumah dan tamu itu sudah minum sampai setengah mabok tiba-tiba saja Han Wi Kong mencabut pedang dan menusuk pangeran tua itu dari depan, tepat mengenai dadanya dan Pangeran Liong Bin Ong roboh dan tewas seketika.
Tentu saja peristiwa yang tidak tersangka-sangka ini tidak dapat dicegah oleh para pengawal yang kini menjadi marah dan mengepung serta menyerang Han Wi Kong. Keributan ini terdengar dari luar sehingga sampai juga ke istana Puteri Milana sehingga seorang pengawal cepat melaporkan kepada puteri itu.
Kini Milana mengamuk. Kedukaan dan kemarahan bercampur menjadi satu membuat puteri ini menjadi luar biasa berbahayanya. Gelang di tangan kirinya yang terbuat dari emas itu telah berlepotan darah dan dalam waktu singkat saja, delapan orang pengawal telah roboh oleh wanita sakti ini.
Tinggal empat orang pengawal bersama kakek telanjang baju yang masih melawannya, akan tetapi biarpun kakek itu memiliki kepandaian tinggi dan gerakan gendewa sebagai senjatanya itu amat kuat, namun sudah dua kali dia terhuyung kena diserempet hawa pukulan dari tangan lembut Puteri Milana.
“Serr-serr-serrr....!” Tiga batang anak panah meluncur, dilepas oleh kakek itu dari jarak dekat.
“Bedebah....!”
Milana memaki karena panah-panah ini mengingatkan dia akan kematian suaminya. Cepat tangannya menyambar dan tiga batang anak panah itu telah dapat disambarnya di udara, kemudian dia memekik dan tiga batang anak panah itu dilontarkan dengan kecepatan kilat ke arah kakek itu.
Kakek itu terkejut sekali melihat betapa wanita itu dapat menangkap tiga batang anak panahnya dan kekagetannya inilah yang mencelakakan dia karena ketika dia melihat berkelebatnya tiga sinar kilat menyambarnya, dia kurang cepat mengelak sehingga sebatang di antara tiga anak panah itu menyambar tenggorokannya.
“Arrgghhhh....!”
Kakek itu mengeluarkan suara seperti seekor babi disembelih, kemudian dia menubruk dengan nekat, menggunakan gendewanya untuk melakukan serangan terakhir. Namun, Milana sudah meloncat ke samping, kakinya menendang dan tubuh kakek itu roboh terjengkang, tewas seketika. Empat orang pengawal menjadi jerih, dan hendak lari, namun tahu-tahu ada bayangan berkelebat melewati mereka dan ketika mereka memandang, Puteri Milana sudah berdiri di depan mereka!
“Tidak ada yang kubiarkan hidup!”
Milana membentak dan begitu dia bergerak, kaki tangannya sudah menyerang dan berturut-turut robohlah empat orang pengawal itu. Baru puas rasa hati Milana dan dia cepat meloncat ke dekat mayat suaminya, mencabuti tiga batang anak panah itu lalu memanggul mayat itu dan meloncat pergi, terus melarikan diri ke dalam istananya sendiri.
Dia merebahkan mayat suaminya di atas pembaringan, teringat akan pesan suaminya dia menoleh ke atas meja. Benar saja, di situ terdapat dua buah sampul surat kuning yang ketika dibacanya, yang sebuah dialamatkan kepadanya dan yang sebuah lagi dialamatkan kepada Gak Bun Beng!
Dengan jari-jari tangan gemetar Milana membuka sampul surat untuknya, membaca dengan muka pucat dan perlahan-lahan air matanya yang tadi tertahan oleh kemarahan mulai menetes-netes ke atas surat yang dibacanya, melunturkan tintanya.
Milana isteriku tercinta,
Hanya ada satu jalan bagi kita semua, juga bagi keselamatan negara, yaitu aku harus membunuh Liong Bin Ong. Percayalah, aku bukan melakukan bunuh diri dengan membuta, melainkan sudah kupertimbangkan masak-masak, demi keselamatan negara dan terutama sekali demi kebahagiaan hidupmu. Kau bawalah suratku dan berikan kepada Gak Bun Beng, dia patut menerima cinta kasihmu.
Selamat tinggal.
Suamimu, juga sahabatmu,
Han Wi Kong
“Ahhhh....!”
Milana menubruk ke pembaringan dan berlutut sambil menangis di depan mayat suaminya. Dia maklum, dia mengerti mengapa suaminya melakukan perbuatan ini. Suaminya sudah tahu bahwa dalam membunuh Pangeran Liong Bin Ong, dia pasti akan tewas. Dan memang harus diakui bahwa satu-satunya jalan untuk menghindarkan negara dari bahaya ancaman pangeran yang palsu hatinya itu, hanyalah dengan cara membunuhnya, karena Kaisar terlampau sayang dan terlampau percaya kepada saudaranya itu. Dan Han Wi Kong telah sengaja melakukan itu untuk memberi kesempatan kepada dia dan Gak Bun Beng.
“Han Wi Kong, harap kau sudi mengampunkan aku. Di dunia ini aku tidak bisa menjadi isterimu, biarlah di dalam kehidupan lain kelak aku akan suka menjadi apa saja untuk melayanimu.”
Tiba-tiba para pengawal berlari masuk dan dengan terengah-engah melaporkan bahwa Perdana Menteri Su sendiri dengan para petugas keamanan istana telah datang, dan pasukan itu mendapat perintah, untuk menangkap Puteri Milana!
“Jangan melawan!”
Kata Milana dan cepat dia menyimpan dua buah surat itu ke saku bajunya, kemudian dia menggunakan pit untuk membuat corat-coret di atas tembok kamar suaminya karena dia sudah tidak mempunyai waktu untuk menulis surat dengan baik-baik.
Kemudian, dia cepat mengumpulkan beberapa perhiasan dan pakaian, membuntalnya dengan kain kuning, menyambar pedangnya dan mengikatkan pedang dan buntalan di pundak, kemudian dia meloncat melalui jendela kamar itu ketika mendengar derap kaki banyak orang mendatangi ke arah kamar itu.
Ketika Perdana Menteri Su dan para pasukan memasuki kamar, pembesar ini hanya melihat mayat Han Wi Kong dan coretan-coretan di atas tembok yang berbunyi:
“Milana akan berterima kasih sekali kepada Perdana Menteri Su jika sudi mengurus jenazah Han Wi Kong dengan sepatutnya.
Tertanda : Puteri Milana.
Perdana Menteri Su menggeleng-geleng kepala dan menarik napas panjang. Biarpun dia tadi terkejut sekali mendengar akan peristiwa pembunuhan Pangeran Liong Bin Ong, namun dia mengerti mengapa Han Wi Kong melakukan perbuatan nekat itu dan diam-diam dia bersyukur karena dibunuhnya Pangeran Liong Bin Ong itu terbebaslah negara dari ancaman bahaya besar.
Maka dia lalu menghampiri jenazah Han Wi Kong dan tanpa ragu-ragu lagi pembesar tinggi yang sudah tua ini menjatuhkan diri berlutut di depan pembaringan sebagai penghormatan dan mulutnya berkemak-kemik menghaturkan terima kasih kepada Han Wi Kong yang disebutnya sebagai seorang pahlawan bangsa!
Mudah saja dia akan membujuk Kaisar dengan mengatakan bahwa apa yang terjadi hanyalah pertikaian pribadi antara keluarga Milana dan Liong Bin Ong, sehingga dengan demikian Han Wi Kong tidak akan dianggap sebagai seorang musuh negara.
“Hei, kenapa kalian bengong saja?” Setelah dia berdiri lagi dia membentak pasukan yang dipimpin oleh seorang panglima itu. “Hayo lekas cari dan tangkap Puteri Milana!”
Pasukan itu lalu lari cerai-berai. Hanya lagaknya saja Perdana Menteri Su berkata demikian, akan tetapi diam-diam dia maklum bahwa tidak ada seorang pun di antara pasukan itu yang akan berani menyentuh ujung jubah Puteri Milana yang mereka kagumi dan hormati.
Maka lenyaplah Puteri Milana dan berbareng dengan menghilangnya puteri ini dari kota raja, hilang pula Puteri Syanti Dewi dari kamarnya tanpa ada yang tahu ke mana Puteri Bhutan itu pergi. Hanya Perdana Menteri Su yang mengangguk-angguk dan menduga bahwa pasti Puteri Milana yang melakukan hal itu, sengaja mengajak Puteri Syanti Dewi lari dari istana karena tidak setuju Puteri Bhutan itu dikawinkan dengan Pangeran Yung Hwa.
Perdana Menteri Su merasa heran sekali dan tidak mengerti mengapa Milana melakukan hal itu. Maka didatanginyalah Pangeran Yung Hwa dan betapa herannya pembesar yang bijaksana dan setia ini melihat Pangeran Yung Hwa kegirangan luar biasa mendengar bahwa Puteri Syanti Dewi telah melarikan diri!
“Paman Menteri, saya girang sekali, ahh, saya bersyukur sekali bahwa dia telah pergi, karena kalau tidak, tentu aku yang akan pergi lagi.”
“Eh, kenapa begitu, Pangeran?”
“Aku tidak suka diharuskan menikah dengan puteri Bhutan.”
Perdana Menteri Su memandang heran dan mengerutkan alisnya.
“Ingatlah, Pangeran Muda, dahulu engkau marah-marah dan melarikan diri dari istana karena permintaanmu untuk menikah dengan puteri Bhutan ditolak Sri Baginda. Sekarang keinginanmu itu dituruti, engkau malah menolak. Apa artinya ini?”
Pangeran Yung Hwa tersenyum.
“Artinya, Paman, bahwa dulu itu cintaku adalah cinta yang mentah, cinta monyet, cinta kanak-kanak karena yang kucinta adalah bayangan seorang gadis yang muncul karena cerita-cerita indah tentang dirinya. Dahulu aku mencinta seorang dara yang belum pernah kulihat, cinta bayangan saja. Sekarang, saya telah tahu apa artinya cinta, saya telah mencinta seorang dara dari darah daging, bukan bayangan kosong belaka. Biar dia gadis biasa, aku cinta padanya dan setelah Syanti Dewi pergi, saya pun akan pergi untuk mencari dara yang saya cinta itu. Saya girang dapat bebas dari Puteri Bhutan!” Pangeran Yung Hwa bergembira dan bersenandung!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar