Perdana Menteri Su meninggalkan pangeran itu sambil menggeleng-geleng kepalanya yang penuh uban. Heran dia melihat ulah orang-orang muda dan makin kagum hati kakek itu menyaksikan kekuatan cinta yang menguasai hampir seluruh kehidupan manusia.
Tanpa cinta, matahari akan kehilangan sinarnya, bunga-bunga akan kehilangan keharumannya dan madu akan kehilangan manisnya! Dengan hati-hati dan cerdik, perdana menteri ini akhirnya dapat pula meredakan kemarahan Kaisar dan mengajukan alasan-alasan masuk akal bahwa peristiwa itu terjadi karena pertikaian pribadi antara keluarga Puteri Milana dan Pangeran Liong Bin Ong, sama sekali tidak menyangkut urusan negara, maka hendaknya Kaisar tidak mencampurinya.
Adapun tentang kehilangan Puteri Syanti Dewi, Perdana Menteri berjanji akan menyebar orang untuk mencarinya dan mengusulkan bahwa seyogianya urusan perjodohan itu ditunda saja.
“Dahulu Paduka melamar Puteri Bhutan untuk mendiang Pangeran Liong Khi Ong, dan kalau sekarang suami untuk Puteri itu ditukar tanpa mengadakan perundingan lebih dulu dengan Kerajaan Bhutan, hamba kira hal itu malah akan menanamkan sakit hati seolah-olah Paduka kurang menghargai Kerajaan Bhutan. Sebaiknya dinanti sampai ada kabar tentang puteri itu, baru mengajukan usul perubahan ikatan jodoh itu dengan Kerajaan Bhutan.”
Semua alasan yang kuat diajukan oleh Perdana Menteri Su dan akhirnya Kaisar dapat dibujuk sehingga tidak meributkan lagi peristiwa-peristiwa yang terjadi itu. Malah Kaisar juga tidak keberatan ketika mendengar betapa Perdana Menteri Su mengurus jenazah Han Wi Kong dan menguburkan jenazah itu di dalam kuburan keluarga Kaisar tingkat dua, karena betapapun juga, Han Wi Kong adalah mantu cucu dari kaisar sendiri. Maka terlaksanalah apa yang menjadi permohonan Milana kepada Perdana Menteri Su.
Duka timbul dari kecewa. Kecewa timbul dari tidak tercapainya nafsu keinginan. Nafsu keinginan adalah hasrat pengejaran terhadap sesuatu yang menyenangkan dari si aku. Si aku timbul dari pikiran. Si aku adalah pikiran sendiri. Pikiran adalah ingatan yang mengenang masa lalu, ingin mengejar lagi kenangan yang menyenangkan dan menjauhi yang tidak menyenangkan. Kebahagiaan hidup, baru mungkin ada apabila bebas dari nafsu keinginan, tidak lagi mencari-cari, tidak lagi mengejar sesuatu seperti yang kita inginkan.
Bebas dari pikiran yang membanding-bandingkan, berambisi, berkhayal. Bebas dari si aku. Kebebasan ini menimbulkan kewaspadaan dan kesadaran bahwa segala sesuatu ini adalah indah dan sempurna, tidak ada kecualinya. Yang ada hanyalah kenyataannya, apa adanya dan ini adalah wajar dan mutlak.
Bukan suka bukan pula duka, bukan puas bukan pula kecewa, bukan nikmat dan bukan derita karena banding-membanding dan semua kebalikan-kebalikan ini adalah permainan pikiran yang memilih-milih sehingga timbullah konflik-konflik batin yang kemudian meledak menjadi konflik-konflik lahir. Kebahagiaan terletak di atas segalanya itu, di atas dan bebas dari pikiran. Kekurangan dan kekecewaan hanya diderita oleh mereka yang tidak mengenal kecukupan. Maka hanya mereka yang tidak membutuhkan apa-apa lagi salah yang dapat menyentuh kebahagiaan!
Hawa udara panas sekali. Terik matahari seolah-olah hendak membakar segala sesuatu di permukaan bumi. Sinar matahari yang langsung menimpa bumi, terpantul kembali menciptakan hawa yang gerah.
Seorang pemuda yang duduk di bawah sebatang pohon besar dalam hutan itu membuka kancing bajunya dan menutupi leher dan dadanya. Pemuda ini berwajah tampan dan rambutnya mengkilap hitam, dikuncir panjang berjuntai di belakang pundak kanan. Pakaiannya sederhana, jubahnya yang hitam kebiruan lebar dan panjang, menutupi baju dan celana sehingga membuat dia makin kegerahan.
Pemuda ini adalah Suma Kian Bu yang telah melakukan perantauan seorang diri, pergi dari kota raja di mana hatinya untuk pertama kali mengalami pecah berantakan akibat cinta gagal. Akan tetapi, karena dasar wataknya memang gembira, setelah merantau sebulan lebih, luka di hatinya itu hanya tinggal bekasnya saja, tidak terasa nyeri lagi.
“Uihhhh, panasnya....!”
Dia mengeluh. Hutan yang penuh pohon itu masih belum mampu melawan hawa panas yang datang dari gurun. Daerah sekitar hutan itu adalah daerah pegunungan yang diselang-seling padang rumput dan padang pasir.
Tadi, sebelum memasuki hutan, Kian Bu melewati padang pasir yang luar biasa panasnya. Matanya silau melihat sinar matahari menimpa pasir-pasir yang berkilauan, dan terasa benar olehnya hawa yang panas menyerangnya dari bawah. Maka ketika dia memasuki hutan itu, hawa terasa sejuk dan nyaman sehingga dia menjatuhkan diri di bawah pohon besar itu sambil meniupi lehernya. Tubuhnya lelah sekali dan betapa nikmatnya duduk di bawah pohon, terlindung dari sengatan terik matahari. Angin sepoi-sepoi semilir meniupi muka dan lehernya, membuat matanya menjadi berat dan mengantuk.
Betapa enak rasanya dilanda kantuk! Sudah pasti bahwa tidak ada yang lebih nikmat di dunia ini daripada tidur bagi orang yang mengantuk, seperti juga makan bagi orang yang lapar dan minum bagi orang yang haus.
“Dukk....!” Kepalanya membentur batang pohon.
“Heh-heh, pemalas!”
Kian Bu mengomel sambil tertawa ketika dia tersadar karena ketika dia melenggut tadi, kepalanya terbanting ke belakang dan membentur batang pohon. Agaknya sudah tidak berbekas lagi kepatahan hati pemuda yang berwatak gembira ini.
Dia bangkit berdiri, memandang ke sekeliling. Hutan itu liar dan lebat, sunyi bukan main. Dia ingin sekali tidur barang sejenak, akan tetapi jangan-jangan ada binatang buas dan berbisa di hutan asing ini datang mengganggunya di waktu dia tertidur nyenyak. Maka dia lalu berdongak ke atas dan di lain saat pemuda yang memiliki kepandaian tinggi itu sudah melesat ke atas pohon, memilih tempat yang enak di atas cabang pohon yang besar, duduk mepet di pangkal cabang, melingkar seperti seekor monyet dan tak lama kemudian pemuda ini sudah tertidur pulas!
Tidur merupakan berkat bagi tubuh manusia. Tidur dengan pikiran kosong tanpa mimpi, biar hanya sekejap saja, sudah sanggup memulihkan kesegaran tubuh, dan tidur pulas sejam saja sudah terasa amat lama. Sebaliknya, yang membuat tidur merupakan suatu kemalasan yang bahkan melelahkan adalah jika pikiran bekerja terus di waktu tidur sehingga timbul mimpi-mimpi buruk.
“Clekittt....!”
“Auwwww....!” Kian Bu terbangun dan cepat menggaruk-garuk pinggulnya.
Tanpa cinta, matahari akan kehilangan sinarnya, bunga-bunga akan kehilangan keharumannya dan madu akan kehilangan manisnya! Dengan hati-hati dan cerdik, perdana menteri ini akhirnya dapat pula meredakan kemarahan Kaisar dan mengajukan alasan-alasan masuk akal bahwa peristiwa itu terjadi karena pertikaian pribadi antara keluarga Puteri Milana dan Pangeran Liong Bin Ong, sama sekali tidak menyangkut urusan negara, maka hendaknya Kaisar tidak mencampurinya.
Adapun tentang kehilangan Puteri Syanti Dewi, Perdana Menteri berjanji akan menyebar orang untuk mencarinya dan mengusulkan bahwa seyogianya urusan perjodohan itu ditunda saja.
“Dahulu Paduka melamar Puteri Bhutan untuk mendiang Pangeran Liong Khi Ong, dan kalau sekarang suami untuk Puteri itu ditukar tanpa mengadakan perundingan lebih dulu dengan Kerajaan Bhutan, hamba kira hal itu malah akan menanamkan sakit hati seolah-olah Paduka kurang menghargai Kerajaan Bhutan. Sebaiknya dinanti sampai ada kabar tentang puteri itu, baru mengajukan usul perubahan ikatan jodoh itu dengan Kerajaan Bhutan.”
Semua alasan yang kuat diajukan oleh Perdana Menteri Su dan akhirnya Kaisar dapat dibujuk sehingga tidak meributkan lagi peristiwa-peristiwa yang terjadi itu. Malah Kaisar juga tidak keberatan ketika mendengar betapa Perdana Menteri Su mengurus jenazah Han Wi Kong dan menguburkan jenazah itu di dalam kuburan keluarga Kaisar tingkat dua, karena betapapun juga, Han Wi Kong adalah mantu cucu dari kaisar sendiri. Maka terlaksanalah apa yang menjadi permohonan Milana kepada Perdana Menteri Su.
Duka timbul dari kecewa. Kecewa timbul dari tidak tercapainya nafsu keinginan. Nafsu keinginan adalah hasrat pengejaran terhadap sesuatu yang menyenangkan dari si aku. Si aku timbul dari pikiran. Si aku adalah pikiran sendiri. Pikiran adalah ingatan yang mengenang masa lalu, ingin mengejar lagi kenangan yang menyenangkan dan menjauhi yang tidak menyenangkan. Kebahagiaan hidup, baru mungkin ada apabila bebas dari nafsu keinginan, tidak lagi mencari-cari, tidak lagi mengejar sesuatu seperti yang kita inginkan.
Bebas dari pikiran yang membanding-bandingkan, berambisi, berkhayal. Bebas dari si aku. Kebebasan ini menimbulkan kewaspadaan dan kesadaran bahwa segala sesuatu ini adalah indah dan sempurna, tidak ada kecualinya. Yang ada hanyalah kenyataannya, apa adanya dan ini adalah wajar dan mutlak.
Bukan suka bukan pula duka, bukan puas bukan pula kecewa, bukan nikmat dan bukan derita karena banding-membanding dan semua kebalikan-kebalikan ini adalah permainan pikiran yang memilih-milih sehingga timbullah konflik-konflik batin yang kemudian meledak menjadi konflik-konflik lahir. Kebahagiaan terletak di atas segalanya itu, di atas dan bebas dari pikiran. Kekurangan dan kekecewaan hanya diderita oleh mereka yang tidak mengenal kecukupan. Maka hanya mereka yang tidak membutuhkan apa-apa lagi salah yang dapat menyentuh kebahagiaan!
Hawa udara panas sekali. Terik matahari seolah-olah hendak membakar segala sesuatu di permukaan bumi. Sinar matahari yang langsung menimpa bumi, terpantul kembali menciptakan hawa yang gerah.
Seorang pemuda yang duduk di bawah sebatang pohon besar dalam hutan itu membuka kancing bajunya dan menutupi leher dan dadanya. Pemuda ini berwajah tampan dan rambutnya mengkilap hitam, dikuncir panjang berjuntai di belakang pundak kanan. Pakaiannya sederhana, jubahnya yang hitam kebiruan lebar dan panjang, menutupi baju dan celana sehingga membuat dia makin kegerahan.
Pemuda ini adalah Suma Kian Bu yang telah melakukan perantauan seorang diri, pergi dari kota raja di mana hatinya untuk pertama kali mengalami pecah berantakan akibat cinta gagal. Akan tetapi, karena dasar wataknya memang gembira, setelah merantau sebulan lebih, luka di hatinya itu hanya tinggal bekasnya saja, tidak terasa nyeri lagi.
“Uihhhh, panasnya....!”
Dia mengeluh. Hutan yang penuh pohon itu masih belum mampu melawan hawa panas yang datang dari gurun. Daerah sekitar hutan itu adalah daerah pegunungan yang diselang-seling padang rumput dan padang pasir.
Tadi, sebelum memasuki hutan, Kian Bu melewati padang pasir yang luar biasa panasnya. Matanya silau melihat sinar matahari menimpa pasir-pasir yang berkilauan, dan terasa benar olehnya hawa yang panas menyerangnya dari bawah. Maka ketika dia memasuki hutan itu, hawa terasa sejuk dan nyaman sehingga dia menjatuhkan diri di bawah pohon besar itu sambil meniupi lehernya. Tubuhnya lelah sekali dan betapa nikmatnya duduk di bawah pohon, terlindung dari sengatan terik matahari. Angin sepoi-sepoi semilir meniupi muka dan lehernya, membuat matanya menjadi berat dan mengantuk.
Betapa enak rasanya dilanda kantuk! Sudah pasti bahwa tidak ada yang lebih nikmat di dunia ini daripada tidur bagi orang yang mengantuk, seperti juga makan bagi orang yang lapar dan minum bagi orang yang haus.
“Dukk....!” Kepalanya membentur batang pohon.
“Heh-heh, pemalas!”
Kian Bu mengomel sambil tertawa ketika dia tersadar karena ketika dia melenggut tadi, kepalanya terbanting ke belakang dan membentur batang pohon. Agaknya sudah tidak berbekas lagi kepatahan hati pemuda yang berwatak gembira ini.
Dia bangkit berdiri, memandang ke sekeliling. Hutan itu liar dan lebat, sunyi bukan main. Dia ingin sekali tidur barang sejenak, akan tetapi jangan-jangan ada binatang buas dan berbisa di hutan asing ini datang mengganggunya di waktu dia tertidur nyenyak. Maka dia lalu berdongak ke atas dan di lain saat pemuda yang memiliki kepandaian tinggi itu sudah melesat ke atas pohon, memilih tempat yang enak di atas cabang pohon yang besar, duduk mepet di pangkal cabang, melingkar seperti seekor monyet dan tak lama kemudian pemuda ini sudah tertidur pulas!
Tidur merupakan berkat bagi tubuh manusia. Tidur dengan pikiran kosong tanpa mimpi, biar hanya sekejap saja, sudah sanggup memulihkan kesegaran tubuh, dan tidur pulas sejam saja sudah terasa amat lama. Sebaliknya, yang membuat tidur merupakan suatu kemalasan yang bahkan melelahkan adalah jika pikiran bekerja terus di waktu tidur sehingga timbul mimpi-mimpi buruk.
“Clekittt....!”
“Auwwww....!” Kian Bu terbangun dan cepat menggaruk-garuk pinggulnya.
“Sialan.... semut merah!” gerutunya ketika dia merogoh ke balik celananya dan jari-jari tangannya menjepit seekor semut merah.
Pinggulnya sudah bintul dan terasa gatal sekali. Kiranya semut itu menyelinap masuk melalui pakaiannya dan entah mengapa, menggigit pinggulnya.
“Huh, tentu semut betina!” gerutunya lagi. “Kalau jantan mana mau mencubit pinggul? Sialan!” Dia menggaruk-garuk pinggulnya, makin digaruk makin gatal.
Tiba-tiba dia berhenti menggaruk pinggul. Ada suara derap kaki kuda! Kiranya hutan liar ini bukannya tidak ada manusianya seperti yang dia kira semula. Makin lama makin jelas suara derap kaki kuda menuju ke tempat itu dan tak lama kemudian dia melihat dua orang penunggang kuda yang berpakaian sebagai ahli-ahli silat dan bertubuh tegap-tegap dan kuat-kuat seperti tubuh orang-orang yang biasa hidup mengandalkan kekuatan tubuhnya.
Di punggung mereka terselip golok telanjang yang mengkilap tajam. Ketika tiba di bawah pohon itu, mereka menahan kuda mereka. Dua ekor kuda itu meringkik dan mengangkat kaki depan, hidung mereka mendengus-dengus dan mulut mereka mengeluarkan busa.
“Sudah jelaskah bahwa dia itu mata-mata?” tanya yang bercambang tebal.
“Tak salah lagi, dia mengejar kita dan kepandaiannya hebat. Kita harus cepat pulang dan melaporkan ini kepada pimpinan. Siapa tahu dia diikuti oleh pasukan musuh.”
“Baiknya kita berpencar di sini, dan kalau kita dapat terbebas dari dia, berkumpul di dusun Ma-cin,” kata pula yang bercambang tebal.
“Baik!”
Dua orang itu lalu berpisahan, yang seorang membalapkan kuda membelok ke kiri, dan yang seorang lagi ke kanan. Keadaan menjadi sunyi kembali setelah derap kaki dua ekor kuda itu menghilang dan tak terdengar lagi. Sunyi yang menegangkan.
Kian Bu duduk di atas cabang pohon, bersembunyi di balik daun-daun lebar sambil termenung. Jelas bahwa dua orang itu merupakan anggauta suatu kelompok atau pasukan atau gerombolan. Perkumpulan apakah yang agaknya menguasai daerah ini? Siapa mereka itu dan siapa ketua mereka? Dan siapa pula orang-orang yang mereka bicarakan tadi, yang disangka mata-mata musuh? Dia menanti sampai lama karena mengira bahwa orang yang dibicarakan mereka berdua tadi, yang katanya mengejar mereka, tentu akan muncul pula. Akan tetapi, sampai satu jam lebih dia menanti, tidak juga tampak ada yang datang mengejar.
“Huh, pengejar yang lambat dan bodoh seperti itu mana akan mampu menyusul buruan?”
Dia sudah mengomel karena merasa kesal juga menanti sebegitu lamanya di atas pohon, dan merasa mendongkol karena dia telah terganggu dari kenikmatan tidur siang terayun-ayun di cabang itu. Kini dia harus berjaga dengan penuh ketegangan, namun yang dinanti-nanti tidak kunjung muncul. Siapa tidak menjadi gemas?
“Uuuhhh, pengejar tolol....!”
Habis kesabarannya dan selagi dia hendak meloncat turun, tiba-tiba terdengar suara orang bernyanyi! Sayup-sayup suaranya, akan tetapi makin lama makin jelas. Suara seorang wanita bernyanyi. Merdu bukan main! Suara itu bening, halus dan pulen, terbawa angin semilir memasuki telinganya mendatangkan perasaan nyaman dan sedap!
Kian Bu terbelalak heran. Suara wanita begitu merdu di hutan liar dan sunyi ini? Jangan-jangan suara siluman itu! Yang dinantikannya adalah seorang pengejar yang bengis, bukan seorang yang suaranya mengalahkan biduanita yang pernah didengarnya bernyanyi di kota raja! Dan isi nyanyian itu! Dia mendengarkan penuh perhatian.
“Pada usia delapan tahun
aku mencuri pandang di dalam cermin,
dan aku sudah dapat menghitami alis mataku!
Pada usia sepuluh aku pergi
ke pesta sincia dengan baju baru
berkembang bunga teratai!
Pada usia dua belas aku belajar
meniup suling,
hiasan kuku tak pernah lepas dari
jari tanganku!
Pada usia empat belas aku
tak berani bertemu pria,
menduga-duga akan segera dijodohkan.
Pada usia lima belas aku menangis
di dalam musim bunga,
dan menyembunyikan mukaku
di balik pintu taman....”
Kian Bu tertegun. Tentu saja dia mengenal sajak nyanyian itu. Kian Bu telah diberi pelajaran sastra oleh ibunya dan banyak sajak-sajak ciptaan sastrawan-sastrawan kuno hafal olehnya. Dia ingat bahwa nyanyian itu diambil dari sajak ciptaan pujangga Li Shang Yin yang hidup di abad ke sembilan (812-858). Li Shang Yin terkenal dengan tulisan sajaknya, terutama sajak Tujuh Sajak Cinta dan yang dinyanyikan suara merdu itu adalah sajak ke tiga!
Kian Bu menjadi penasaran karena sampai lama orangnya belum juga muncul. Kalau penyanyi itu berjalan kaki, tentu jalannya lambat sekali, apalagi kalau naik kuda. Agaknya kudanya itu berjalan sambil makan rumput di sepanjang jalan! Akan tetapi, wanita dengan suara seperti itu tidak pantas kalau berjalan kaki atau naik kuda di hutan liar ini, pantasnya naik kereta. Akan tetapi dia tidak mendengar suara roda kereta!
Kian Bu merayap turun dari atas pohon. Kalau yang muncul seorang wanita bersuara semerdu ini, dia tidak perlu lagi bersembunyi. Sebaliknya malah, dia ingin menemui wanita itu dan melihat apakah orangnya juga seindah suaranya! Dengan tergesa-gesa dia merayap turun, lalu meloncat ke bawah.
“Heiiitttt.... eihhhh....!”
Kian Bu meloncat ke samping menghindarkan kakinya yang hampir menginjak sebuah kepala orang! Dia memandang dengan mata terbelalak dan tengkuknya berdiri karena merasa serem. Kepala itu berambut panjang sudah putih semua, kepala yang kecil, kepala seorang tua renta, seorang kakek kurus yang sedang tidur mendengkur di bawah pohon, kepalanya berbantalkan akar pohon itu.
Kian Bu melongo. Bagaimana dan bilamana orang ini bisa berada di bawah pohon tanpa diketahuinya? Mustahil! Kalau sudah lama, pasti tampak oleh dua orang berkuda tadi. Kalau baru saja, bagaimana sampai dia tidak tahu? Jangan-jangan ini bukan orang, melainkan setan, iblis hutan yang menjaga hutan itu! Dan jangan-jangan suara merdu tadi itu pun suara peri atau siluman yang suka menjadi perempuan cantik. Dia bergidik akan tetapi dilawannya dengan keyakinan bahwa menurut dongeng-dongeng manapun juga, setan dan iblis tidak muncul di siang hari!
Dan sekarang masih siang. Kata yang empunya dongeng, semua mahluk halus takut akan sinar matahari. Bukan kalau begitu, bukan iblis! Kalau manusia, tentu luar biasa sekali kepandaian kakek ini! Kiranya hanya orang dengan kepandaian setingkat kakaknya atau dia sendiri yang akan mampu datang tanpa suara seperti itu!
Kian Bu menjadi khawatir, dan melihat orang itu tidur mendengkur, dia lalu melayang lagi ke atas, sembunyi di dalam daun-daun sambil mengintai ke bawah. Kalau kakek itu berniat buruk kepadanya, tentu sudah dilakukannya dari tadi, tidak tidur mendengkur dulu di bawah pohon.
Kini terdengar bunyi kerincingan. Masih lirih tanda bahwa suara itu masih jauh akan tetapi suara kerincingan itu bening sekali. Tang-ting-tang-ting dan crang-cring-crang-cring seperti perak dipukul. Dan kini terdengar lagi suara wanita bernyanyi, suara yang merdu tadi, kini diiringi suara kerincingan tang-ting-tang-ting itu, seolah-olah yang-kim (kecapi) yang hanya mempunyai dua macam nada. Suaranya yang merdu itu kini bernada gembira dan jenaka.
“Hujan musim rontok,
hujan musim rontok!
Tiada bulan, tiada malam.
Berintik-rintik, bercucuran deras!
Lampunya padam, kasurnya dingin,
kesepian yang menjemukan.
Si Cantik Jelita berduka merana!
Angin barat semilir meniup bambu di jendela,
berhenti sebentar dan mulai lagi,
dua butir air mata seperti mutiara
bergantung di sepasang pipi dingin.
Betapa sering kakanda berjanji,
Apabila angsa liar terbang datang....
Kakanda melanggar janji,
angsa liar telah datang,
namun kakanda tidak....”
Saking kagumnya karena dia pun mengenal sajak indah ini, Kian Bu meloncat turun lagi, lupa bahwa di bawah itu ada orang tidur. Untung rambut putih itu tampak olehnya sehingga dia cepat berjungkir balik dan turun di balik pohon besar. Sialan, pikirnya. Kamu mengejek aku, ya! Dia baru saja mengalami kegagalan cinta dan sejak tadi suara itu bernyanyi tentang cinta gagal! Tapi kakek ini agaknya menanti yang bersuara itu.
Kian Bu menyelinap di balik batang pohon besar, tak jauh dari situ, menanti dan siap untuk membantu kalau kakek seperti setan ini nanti menyerang si penyanyi yang tentu saja seorang wanita.... dan sepatutnya cantik pula. Suara seperti itu sepantasnya keluar dari bibir yang mungil, mulut yang basah kecil dan segar! Mau dia mempertaruhkan.... kucirnya kalau tidak begitu!
Suara berkerincing tadi makin jelas dan dari balik tempat sembunyinya, Kian Bu memandang ke depan, sama sekali lupa dia sudah akan kehadiran kakek yang tadi tidur mendengkur di bawah pohon. Hatinya berdebar tegang karena ingin sekali dia melihat orang yang mempunyai suara indah itu.
Mula-mula yang tampak adalah kuda putih kecil seperti keledai muncul di tikungan jalan. Kuda itu mungkin keturunan keledai, pendek dan telinganya panjang seperti telinga keledai. Leher kuda itu dipasangi kalung yang terbuat dari kerincingan-kerincingan kecil itu sehingga selalu mengeluarkan bunyi ketika kuda setengah keledai itu berjalan.
Akan tetapi, kuda atau keledai Kian Bu tidak peduli, yang penting adalah penunggangnya! Seorang dara remaja yang.... aduhai! Cantik manis, jelita remaja, dengan bentuk tubuh yang meranum, duduk seenaknya di atas punggung keledai sehingga Kian Bu mendengar hatinya berbisik,
“Aku juga mau menjadi keledai itu!”
Dara itu memegang sebatang payung yang terbuka dan payung itu bergerak-gerak terkena angin, akan tetapi tetap dipertahankan menjaga mukanya yang manis itu dari sengatan sinar matahari.
Seperti orang terpesona, Kian Bu lupa bahwa dia harus bersembunyi. Tahu-tahu dia sudah melangkah keluar dari pohon besar itu, memandang kepada dara ayu beraksi dengan payungnya di atas keledai itu sambil tersenyum, memasang “senyum mautnya” karena kini sudah pulih kembali Kian Bu, menjadi seperti Kian Bu yang dahulu, jenaka gembira dan paling suka berhadapan dengan wanita jelita!
“Selamat siang, Nona. Wahai.... suaramu tadi, nyanyianmu tadi, hebat bukan main....” Kian Bu menegur ramah.
Dara itu menahan keledainya, berhenti di depan Kian Bu tanpa menurunkan payungnya, memandang penuh selidik, kemudian terdengar dia bertanya, suaranya serak-serak basah tidak seperti nyanyian yang bening tadi, akan tetapi malah terdengar makin menarik bagi “telinga keranjang” Kian Bu.
“Apanya yang hebat? Apakah engkau mengerti nyanyian tadi?”
Agaknya dara itu menduga bahwa Kian Bu hanyalah seorang pemuda gunung yang mencari kayu bakar di hutan itu.
“Kesemuanya hebat dan indah! Sajak ke tiga dari Lagu Tujuh Cinta karangan Li Shang Yin di jaman Tong-tiauw itu hebat, akan tetapi sajak Yen Sian di jaman Sung-tiauw tadi pun indah. Dan terutama sekali.... suaramu amat merdu, Nona....”
Dara itu membelalakkan matanya, sekali lagi tangannya bergerak,
“Treppp!”
Payung itu telah tertutup dan sekali pinggangnya yang ramping dan pinggulnya yang melengkung itu bergerak, dia sudah meloncat turun dari punggung keledai. Kian Bu makin kagum melihat gadis itu sudah berdiri. Kiranya bentuk tubuhnya juga hebat, seperti yang diduganya, setelah kini dara itu berdiri, akan tetapi untuk memuji tubuh orang dia tidak berani, maka biarpun sepasang matanya memandang tubuh dara itu, mulutnya memuji keledai,
“Keledaimu putih mulus dan bentuknya mempesona!”
“Apa, keledai? Buka matamu baik-baik, sobat. Engkau pandai mengenal sajak, akan tetapi tidak dapat mengenal binatang keramat!”
“Hahh....?”
Kian Bu baru sekarang memandang keledai itu penuh perhatian karena disebutnya binatang keramat oleh dara itu. Dia mendekati dan melihat dengan teliti dari moncong sampai ke ekor, dari ujung telinga sampai ujung kaki, akan tetapi dia tidak melihat sesuatu yang aneh pada binatang “keramat” ini.
“Kau melihat sesuatu yang aneh?” dara itu bertanya.
Kian Bu menggeleng kepalanya.
“Ini hanya seekor keledai biasa, hanya bulunya putih dan....”
“Engkaulah yang bodoh melebihi keledai!” Gadis itu mencela. “Ini bukan keledai melainkan seekor kuda.”
“Hah? Kuda? Memang mukanya tidak sebodoh keledai, akan tetapi telinganya panjang dan kakinya pendek.”
“Agaknya engkau seorang kutu buku yang hanya tahu tentang sajak,” gadis yang amat lincah dan galak itu mengomel. “Ini adalah keturunan dari kuda Han-hiat-po-ma (Kuda Keramat Berkeringat Darah) dan seekor keledai. Masih keturunan yang ke tiga puluh sembilan dari kuda tunggangan Kaisar Jenghis Khan di jaman dahulu!”
“Ahhhh....!” Kian Bu mengangguk-angguk. “Tentu hebat sekali!”
“Tentu saja hebat!”
Dara itu lalu mengalungkan gagang payung yang bengkok itu ke sebuah di antara telinga keledai itu dan.... telinga itu menegang dapat menahan payung!
“Ha-ha, kiranya bisa juga dipakai sebagai tempat menyimpan payung!” Kian Bu tertawa.
“Kau menertawakan kuda keramat ini? Hemm, dasar engkau tolol. Akan tetapi sudahlah, aku mau bertanya padamu.”
“Tanya? Tanyalah!”
Kian Bu tertarik sekali. Gadis remaja ini lincah, gembira dan jenaka, begitu bebas dan terbuka, akan tetapi juga memperlihatkan keberanian luar biasa, tidak malu-malu seperti kebanyakan gadis biasa.
“Aku mau bertanya, apakah engkau tadi melihat orang lewat di sini?”
“Orang lewat? Dua orang laki-laki penunggang kuda?”
“Ih, bukan! Siapa yang mencari laki-laki? Cihh!”
Kian Bu tersenyum, lalu dia teringat akan kakek yang mendengkur itu. Wah, sudah pasti kakek itu yang dicari. Gadis manis jenaka dengan keledai aneh ini pantasnya memang berkawan dengan kakek aneh itu.
“Apakah kau mencari dia....?” Kian Bu menoleh dan menuding ke bawah pohon di mana dia tidur tadi. “Ehhhh....? Heeee, ke mana dia....?”
Kian Bu tertegun karena di bawah pohon itu tidak ada apa-apanya, jangankan seorang kakek tidur, seekor cacing pun tidak nampak. Kian Bu mencari-cari dengan pandang matanya, ke kanan kiri, ke atas bawah, depan belakang, namun tidak kelihatan lagi bayangan seorang kakek.
“Wah, ke mana dia....? Apakah aku mimpi....?”
Gadis itu juga menoleh ke kanan kiri dan dia tertawa geli melihat sikap Kian Bu yang kebingungan. Dia tertawa dengan manis sekali, mengeluarkan suara ketawa kecil sambil menutupi mulut dengan tangan, akan tetapi karena jari-jari tangan yang dipakai menutupi mulut itu merenggang, jadi masih nampak deretan gigi putih seperti mutiara di balik belahan bibir merah.
“Hi-hi-hik, kau mencari apa?”
“Kakek tua renta....”
“Aku juga tidak butuh kakek-kakek! Yang kucari adalah seorang wanita!”
Kian Bu memandang dara itu.
“Seorang wanita?”
“Ya, seorang wanita cantik sekali, pakaiannya indah menyala, mukanya bundar telur, dagunya runcing, matanya seperti bintang kejora, berkedip-kedip dan lirikannya tajam seperti gunting, hidungnya agak terlalu mancung, pipinya merah, bibirnya lebih merah lagi dan senyumnya manis melebihi madu lebah. Pakaiannya indah dan dari sutera mahal, jubahnya berwarna merah muda, ikat pinggangnya kuning dan celananya biru, rambutnya digelung ke atas seperti puteri istana. Hemm, pendeknya seorang wanita cantik dan kaya, dan dia amat genit, genit memikat hati. Kau melihat dia?”
Kian Bu melongo. Bukan karena penuturan itu, akan tetapi melongo mengikuti gerakan bibir yang tiada hentinya bergerak ketika bicara panjang lebar itu. Bibir yang gerakannya menggemaskan, mencas-mencos akan tetapi manis sehingga Kian Bu merasa seolah-olah pandang matanya melekat pada bibir itu, bibir bawah yang mempesona itu.
Gadis ini benar-benar genit menarik, dan dia masih dapat mengatakan orang lain genit memikat! Melihat usianya tentu tidak akan lebih dari lima belas tahun, seperti tersebut di dalam nyanyiannya tadi. Akan tetapi “bocah” ini sudah pandai bicara, pandai mainkan bibir dan gerak bola mata, bahkan sudah pandai pula menilai wanita lain!
“Yang bagaimana sih yang disebut genit memikat itu?”
Kian Bu menggoda, akan tetapi sikapnya seolah-olah dia mengingat-ingat barangkali dia pernah bertemu dengan wanita yang digambarkan oleh dara itu.
“Genit memikat saja kau tidak tahu? Waahh, sungguh bocah gunung yang terbelakang kau! Genit memikat adalah.... aihhh.... bagaimana, ya?” Dara itu kelihatan tersipu, agaknya sukar juga baginya untuk memberi penjelasan. “Pendeknya, sikap yang genit, yang centil, yang mempunyai daya pikat, terhadap pria terutama. Masa kau tidak mengerti?”
Kian Bu yang merasa suka sekali kepada sikap dara ini, mulai menggodanya.
“Apakah kau maksudkan, genit memikat hati itu seperti sikap ini?”
Kian Bu lalu bergaya, meliak-liukkan tubuhnya, melerok dan menjulurkan lidahnya seperti orang menakut-nakuti anak kecil.
“Beginikah genit memikat?”
“Hi-hi-hik!” Dara itu tertawa geli, menggeleng kepalanya keras-keras. “Ah, sama sekali bukan!”
“Apakah begini?” Kian Bu merubah gayanya, melotot cemberut seperti nenek-nenek marah.
“Bukan! Bukan....! Ihh, menakutkan gitu mana bisa disebut memikat?”
“Habis bagaimana? Coba kau beri contoh biar aku mengerti!”
Pinggulnya sudah bintul dan terasa gatal sekali. Kiranya semut itu menyelinap masuk melalui pakaiannya dan entah mengapa, menggigit pinggulnya.
“Huh, tentu semut betina!” gerutunya lagi. “Kalau jantan mana mau mencubit pinggul? Sialan!” Dia menggaruk-garuk pinggulnya, makin digaruk makin gatal.
Tiba-tiba dia berhenti menggaruk pinggul. Ada suara derap kaki kuda! Kiranya hutan liar ini bukannya tidak ada manusianya seperti yang dia kira semula. Makin lama makin jelas suara derap kaki kuda menuju ke tempat itu dan tak lama kemudian dia melihat dua orang penunggang kuda yang berpakaian sebagai ahli-ahli silat dan bertubuh tegap-tegap dan kuat-kuat seperti tubuh orang-orang yang biasa hidup mengandalkan kekuatan tubuhnya.
Di punggung mereka terselip golok telanjang yang mengkilap tajam. Ketika tiba di bawah pohon itu, mereka menahan kuda mereka. Dua ekor kuda itu meringkik dan mengangkat kaki depan, hidung mereka mendengus-dengus dan mulut mereka mengeluarkan busa.
“Sudah jelaskah bahwa dia itu mata-mata?” tanya yang bercambang tebal.
“Tak salah lagi, dia mengejar kita dan kepandaiannya hebat. Kita harus cepat pulang dan melaporkan ini kepada pimpinan. Siapa tahu dia diikuti oleh pasukan musuh.”
“Baiknya kita berpencar di sini, dan kalau kita dapat terbebas dari dia, berkumpul di dusun Ma-cin,” kata pula yang bercambang tebal.
“Baik!”
Dua orang itu lalu berpisahan, yang seorang membalapkan kuda membelok ke kiri, dan yang seorang lagi ke kanan. Keadaan menjadi sunyi kembali setelah derap kaki dua ekor kuda itu menghilang dan tak terdengar lagi. Sunyi yang menegangkan.
Kian Bu duduk di atas cabang pohon, bersembunyi di balik daun-daun lebar sambil termenung. Jelas bahwa dua orang itu merupakan anggauta suatu kelompok atau pasukan atau gerombolan. Perkumpulan apakah yang agaknya menguasai daerah ini? Siapa mereka itu dan siapa ketua mereka? Dan siapa pula orang-orang yang mereka bicarakan tadi, yang disangka mata-mata musuh? Dia menanti sampai lama karena mengira bahwa orang yang dibicarakan mereka berdua tadi, yang katanya mengejar mereka, tentu akan muncul pula. Akan tetapi, sampai satu jam lebih dia menanti, tidak juga tampak ada yang datang mengejar.
“Huh, pengejar yang lambat dan bodoh seperti itu mana akan mampu menyusul buruan?”
Dia sudah mengomel karena merasa kesal juga menanti sebegitu lamanya di atas pohon, dan merasa mendongkol karena dia telah terganggu dari kenikmatan tidur siang terayun-ayun di cabang itu. Kini dia harus berjaga dengan penuh ketegangan, namun yang dinanti-nanti tidak kunjung muncul. Siapa tidak menjadi gemas?
“Uuuhhh, pengejar tolol....!”
Habis kesabarannya dan selagi dia hendak meloncat turun, tiba-tiba terdengar suara orang bernyanyi! Sayup-sayup suaranya, akan tetapi makin lama makin jelas. Suara seorang wanita bernyanyi. Merdu bukan main! Suara itu bening, halus dan pulen, terbawa angin semilir memasuki telinganya mendatangkan perasaan nyaman dan sedap!
Kian Bu terbelalak heran. Suara wanita begitu merdu di hutan liar dan sunyi ini? Jangan-jangan suara siluman itu! Yang dinantikannya adalah seorang pengejar yang bengis, bukan seorang yang suaranya mengalahkan biduanita yang pernah didengarnya bernyanyi di kota raja! Dan isi nyanyian itu! Dia mendengarkan penuh perhatian.
“Pada usia delapan tahun
aku mencuri pandang di dalam cermin,
dan aku sudah dapat menghitami alis mataku!
Pada usia sepuluh aku pergi
ke pesta sincia dengan baju baru
berkembang bunga teratai!
Pada usia dua belas aku belajar
meniup suling,
hiasan kuku tak pernah lepas dari
jari tanganku!
Pada usia empat belas aku
tak berani bertemu pria,
menduga-duga akan segera dijodohkan.
Pada usia lima belas aku menangis
di dalam musim bunga,
dan menyembunyikan mukaku
di balik pintu taman....”
Kian Bu tertegun. Tentu saja dia mengenal sajak nyanyian itu. Kian Bu telah diberi pelajaran sastra oleh ibunya dan banyak sajak-sajak ciptaan sastrawan-sastrawan kuno hafal olehnya. Dia ingat bahwa nyanyian itu diambil dari sajak ciptaan pujangga Li Shang Yin yang hidup di abad ke sembilan (812-858). Li Shang Yin terkenal dengan tulisan sajaknya, terutama sajak Tujuh Sajak Cinta dan yang dinyanyikan suara merdu itu adalah sajak ke tiga!
Kian Bu menjadi penasaran karena sampai lama orangnya belum juga muncul. Kalau penyanyi itu berjalan kaki, tentu jalannya lambat sekali, apalagi kalau naik kuda. Agaknya kudanya itu berjalan sambil makan rumput di sepanjang jalan! Akan tetapi, wanita dengan suara seperti itu tidak pantas kalau berjalan kaki atau naik kuda di hutan liar ini, pantasnya naik kereta. Akan tetapi dia tidak mendengar suara roda kereta!
Kian Bu merayap turun dari atas pohon. Kalau yang muncul seorang wanita bersuara semerdu ini, dia tidak perlu lagi bersembunyi. Sebaliknya malah, dia ingin menemui wanita itu dan melihat apakah orangnya juga seindah suaranya! Dengan tergesa-gesa dia merayap turun, lalu meloncat ke bawah.
“Heiiitttt.... eihhhh....!”
Kian Bu meloncat ke samping menghindarkan kakinya yang hampir menginjak sebuah kepala orang! Dia memandang dengan mata terbelalak dan tengkuknya berdiri karena merasa serem. Kepala itu berambut panjang sudah putih semua, kepala yang kecil, kepala seorang tua renta, seorang kakek kurus yang sedang tidur mendengkur di bawah pohon, kepalanya berbantalkan akar pohon itu.
Kian Bu melongo. Bagaimana dan bilamana orang ini bisa berada di bawah pohon tanpa diketahuinya? Mustahil! Kalau sudah lama, pasti tampak oleh dua orang berkuda tadi. Kalau baru saja, bagaimana sampai dia tidak tahu? Jangan-jangan ini bukan orang, melainkan setan, iblis hutan yang menjaga hutan itu! Dan jangan-jangan suara merdu tadi itu pun suara peri atau siluman yang suka menjadi perempuan cantik. Dia bergidik akan tetapi dilawannya dengan keyakinan bahwa menurut dongeng-dongeng manapun juga, setan dan iblis tidak muncul di siang hari!
Dan sekarang masih siang. Kata yang empunya dongeng, semua mahluk halus takut akan sinar matahari. Bukan kalau begitu, bukan iblis! Kalau manusia, tentu luar biasa sekali kepandaian kakek ini! Kiranya hanya orang dengan kepandaian setingkat kakaknya atau dia sendiri yang akan mampu datang tanpa suara seperti itu!
Kian Bu menjadi khawatir, dan melihat orang itu tidur mendengkur, dia lalu melayang lagi ke atas, sembunyi di dalam daun-daun sambil mengintai ke bawah. Kalau kakek itu berniat buruk kepadanya, tentu sudah dilakukannya dari tadi, tidak tidur mendengkur dulu di bawah pohon.
Kini terdengar bunyi kerincingan. Masih lirih tanda bahwa suara itu masih jauh akan tetapi suara kerincingan itu bening sekali. Tang-ting-tang-ting dan crang-cring-crang-cring seperti perak dipukul. Dan kini terdengar lagi suara wanita bernyanyi, suara yang merdu tadi, kini diiringi suara kerincingan tang-ting-tang-ting itu, seolah-olah yang-kim (kecapi) yang hanya mempunyai dua macam nada. Suaranya yang merdu itu kini bernada gembira dan jenaka.
“Hujan musim rontok,
hujan musim rontok!
Tiada bulan, tiada malam.
Berintik-rintik, bercucuran deras!
Lampunya padam, kasurnya dingin,
kesepian yang menjemukan.
Si Cantik Jelita berduka merana!
Angin barat semilir meniup bambu di jendela,
berhenti sebentar dan mulai lagi,
dua butir air mata seperti mutiara
bergantung di sepasang pipi dingin.
Betapa sering kakanda berjanji,
Apabila angsa liar terbang datang....
Kakanda melanggar janji,
angsa liar telah datang,
namun kakanda tidak....”
Saking kagumnya karena dia pun mengenal sajak indah ini, Kian Bu meloncat turun lagi, lupa bahwa di bawah itu ada orang tidur. Untung rambut putih itu tampak olehnya sehingga dia cepat berjungkir balik dan turun di balik pohon besar. Sialan, pikirnya. Kamu mengejek aku, ya! Dia baru saja mengalami kegagalan cinta dan sejak tadi suara itu bernyanyi tentang cinta gagal! Tapi kakek ini agaknya menanti yang bersuara itu.
Kian Bu menyelinap di balik batang pohon besar, tak jauh dari situ, menanti dan siap untuk membantu kalau kakek seperti setan ini nanti menyerang si penyanyi yang tentu saja seorang wanita.... dan sepatutnya cantik pula. Suara seperti itu sepantasnya keluar dari bibir yang mungil, mulut yang basah kecil dan segar! Mau dia mempertaruhkan.... kucirnya kalau tidak begitu!
Suara berkerincing tadi makin jelas dan dari balik tempat sembunyinya, Kian Bu memandang ke depan, sama sekali lupa dia sudah akan kehadiran kakek yang tadi tidur mendengkur di bawah pohon. Hatinya berdebar tegang karena ingin sekali dia melihat orang yang mempunyai suara indah itu.
Mula-mula yang tampak adalah kuda putih kecil seperti keledai muncul di tikungan jalan. Kuda itu mungkin keturunan keledai, pendek dan telinganya panjang seperti telinga keledai. Leher kuda itu dipasangi kalung yang terbuat dari kerincingan-kerincingan kecil itu sehingga selalu mengeluarkan bunyi ketika kuda setengah keledai itu berjalan.
Akan tetapi, kuda atau keledai Kian Bu tidak peduli, yang penting adalah penunggangnya! Seorang dara remaja yang.... aduhai! Cantik manis, jelita remaja, dengan bentuk tubuh yang meranum, duduk seenaknya di atas punggung keledai sehingga Kian Bu mendengar hatinya berbisik,
“Aku juga mau menjadi keledai itu!”
Dara itu memegang sebatang payung yang terbuka dan payung itu bergerak-gerak terkena angin, akan tetapi tetap dipertahankan menjaga mukanya yang manis itu dari sengatan sinar matahari.
Seperti orang terpesona, Kian Bu lupa bahwa dia harus bersembunyi. Tahu-tahu dia sudah melangkah keluar dari pohon besar itu, memandang kepada dara ayu beraksi dengan payungnya di atas keledai itu sambil tersenyum, memasang “senyum mautnya” karena kini sudah pulih kembali Kian Bu, menjadi seperti Kian Bu yang dahulu, jenaka gembira dan paling suka berhadapan dengan wanita jelita!
“Selamat siang, Nona. Wahai.... suaramu tadi, nyanyianmu tadi, hebat bukan main....” Kian Bu menegur ramah.
Dara itu menahan keledainya, berhenti di depan Kian Bu tanpa menurunkan payungnya, memandang penuh selidik, kemudian terdengar dia bertanya, suaranya serak-serak basah tidak seperti nyanyian yang bening tadi, akan tetapi malah terdengar makin menarik bagi “telinga keranjang” Kian Bu.
“Apanya yang hebat? Apakah engkau mengerti nyanyian tadi?”
Agaknya dara itu menduga bahwa Kian Bu hanyalah seorang pemuda gunung yang mencari kayu bakar di hutan itu.
“Kesemuanya hebat dan indah! Sajak ke tiga dari Lagu Tujuh Cinta karangan Li Shang Yin di jaman Tong-tiauw itu hebat, akan tetapi sajak Yen Sian di jaman Sung-tiauw tadi pun indah. Dan terutama sekali.... suaramu amat merdu, Nona....”
Dara itu membelalakkan matanya, sekali lagi tangannya bergerak,
“Treppp!”
Payung itu telah tertutup dan sekali pinggangnya yang ramping dan pinggulnya yang melengkung itu bergerak, dia sudah meloncat turun dari punggung keledai. Kian Bu makin kagum melihat gadis itu sudah berdiri. Kiranya bentuk tubuhnya juga hebat, seperti yang diduganya, setelah kini dara itu berdiri, akan tetapi untuk memuji tubuh orang dia tidak berani, maka biarpun sepasang matanya memandang tubuh dara itu, mulutnya memuji keledai,
“Keledaimu putih mulus dan bentuknya mempesona!”
“Apa, keledai? Buka matamu baik-baik, sobat. Engkau pandai mengenal sajak, akan tetapi tidak dapat mengenal binatang keramat!”
“Hahh....?”
Kian Bu baru sekarang memandang keledai itu penuh perhatian karena disebutnya binatang keramat oleh dara itu. Dia mendekati dan melihat dengan teliti dari moncong sampai ke ekor, dari ujung telinga sampai ujung kaki, akan tetapi dia tidak melihat sesuatu yang aneh pada binatang “keramat” ini.
“Kau melihat sesuatu yang aneh?” dara itu bertanya.
Kian Bu menggeleng kepalanya.
“Ini hanya seekor keledai biasa, hanya bulunya putih dan....”
“Engkaulah yang bodoh melebihi keledai!” Gadis itu mencela. “Ini bukan keledai melainkan seekor kuda.”
“Hah? Kuda? Memang mukanya tidak sebodoh keledai, akan tetapi telinganya panjang dan kakinya pendek.”
“Agaknya engkau seorang kutu buku yang hanya tahu tentang sajak,” gadis yang amat lincah dan galak itu mengomel. “Ini adalah keturunan dari kuda Han-hiat-po-ma (Kuda Keramat Berkeringat Darah) dan seekor keledai. Masih keturunan yang ke tiga puluh sembilan dari kuda tunggangan Kaisar Jenghis Khan di jaman dahulu!”
“Ahhhh....!” Kian Bu mengangguk-angguk. “Tentu hebat sekali!”
“Tentu saja hebat!”
Dara itu lalu mengalungkan gagang payung yang bengkok itu ke sebuah di antara telinga keledai itu dan.... telinga itu menegang dapat menahan payung!
“Ha-ha, kiranya bisa juga dipakai sebagai tempat menyimpan payung!” Kian Bu tertawa.
“Kau menertawakan kuda keramat ini? Hemm, dasar engkau tolol. Akan tetapi sudahlah, aku mau bertanya padamu.”
“Tanya? Tanyalah!”
Kian Bu tertarik sekali. Gadis remaja ini lincah, gembira dan jenaka, begitu bebas dan terbuka, akan tetapi juga memperlihatkan keberanian luar biasa, tidak malu-malu seperti kebanyakan gadis biasa.
“Aku mau bertanya, apakah engkau tadi melihat orang lewat di sini?”
“Orang lewat? Dua orang laki-laki penunggang kuda?”
“Ih, bukan! Siapa yang mencari laki-laki? Cihh!”
Kian Bu tersenyum, lalu dia teringat akan kakek yang mendengkur itu. Wah, sudah pasti kakek itu yang dicari. Gadis manis jenaka dengan keledai aneh ini pantasnya memang berkawan dengan kakek aneh itu.
“Apakah kau mencari dia....?” Kian Bu menoleh dan menuding ke bawah pohon di mana dia tidur tadi. “Ehhhh....? Heeee, ke mana dia....?”
Kian Bu tertegun karena di bawah pohon itu tidak ada apa-apanya, jangankan seorang kakek tidur, seekor cacing pun tidak nampak. Kian Bu mencari-cari dengan pandang matanya, ke kanan kiri, ke atas bawah, depan belakang, namun tidak kelihatan lagi bayangan seorang kakek.
“Wah, ke mana dia....? Apakah aku mimpi....?”
Gadis itu juga menoleh ke kanan kiri dan dia tertawa geli melihat sikap Kian Bu yang kebingungan. Dia tertawa dengan manis sekali, mengeluarkan suara ketawa kecil sambil menutupi mulut dengan tangan, akan tetapi karena jari-jari tangan yang dipakai menutupi mulut itu merenggang, jadi masih nampak deretan gigi putih seperti mutiara di balik belahan bibir merah.
“Hi-hi-hik, kau mencari apa?”
“Kakek tua renta....”
“Aku juga tidak butuh kakek-kakek! Yang kucari adalah seorang wanita!”
Kian Bu memandang dara itu.
“Seorang wanita?”
“Ya, seorang wanita cantik sekali, pakaiannya indah menyala, mukanya bundar telur, dagunya runcing, matanya seperti bintang kejora, berkedip-kedip dan lirikannya tajam seperti gunting, hidungnya agak terlalu mancung, pipinya merah, bibirnya lebih merah lagi dan senyumnya manis melebihi madu lebah. Pakaiannya indah dan dari sutera mahal, jubahnya berwarna merah muda, ikat pinggangnya kuning dan celananya biru, rambutnya digelung ke atas seperti puteri istana. Hemm, pendeknya seorang wanita cantik dan kaya, dan dia amat genit, genit memikat hati. Kau melihat dia?”
Kian Bu melongo. Bukan karena penuturan itu, akan tetapi melongo mengikuti gerakan bibir yang tiada hentinya bergerak ketika bicara panjang lebar itu. Bibir yang gerakannya menggemaskan, mencas-mencos akan tetapi manis sehingga Kian Bu merasa seolah-olah pandang matanya melekat pada bibir itu, bibir bawah yang mempesona itu.
Gadis ini benar-benar genit menarik, dan dia masih dapat mengatakan orang lain genit memikat! Melihat usianya tentu tidak akan lebih dari lima belas tahun, seperti tersebut di dalam nyanyiannya tadi. Akan tetapi “bocah” ini sudah pandai bicara, pandai mainkan bibir dan gerak bola mata, bahkan sudah pandai pula menilai wanita lain!
“Yang bagaimana sih yang disebut genit memikat itu?”
Kian Bu menggoda, akan tetapi sikapnya seolah-olah dia mengingat-ingat barangkali dia pernah bertemu dengan wanita yang digambarkan oleh dara itu.
“Genit memikat saja kau tidak tahu? Waahh, sungguh bocah gunung yang terbelakang kau! Genit memikat adalah.... aihhh.... bagaimana, ya?” Dara itu kelihatan tersipu, agaknya sukar juga baginya untuk memberi penjelasan. “Pendeknya, sikap yang genit, yang centil, yang mempunyai daya pikat, terhadap pria terutama. Masa kau tidak mengerti?”
Kian Bu yang merasa suka sekali kepada sikap dara ini, mulai menggodanya.
“Apakah kau maksudkan, genit memikat hati itu seperti sikap ini?”
Kian Bu lalu bergaya, meliak-liukkan tubuhnya, melerok dan menjulurkan lidahnya seperti orang menakut-nakuti anak kecil.
“Beginikah genit memikat?”
“Hi-hi-hik!” Dara itu tertawa geli, menggeleng kepalanya keras-keras. “Ah, sama sekali bukan!”
“Apakah begini?” Kian Bu merubah gayanya, melotot cemberut seperti nenek-nenek marah.
“Bukan! Bukan....! Ihh, menakutkan gitu mana bisa disebut memikat?”
“Habis bagaimana? Coba kau beri contoh biar aku mengerti!”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar