Gak Bun Beng menatap wajah panglima yang tampan dan gagah itu dengan sinar mata penuh pertanyaan, kemudian bertanya,
“Akan tetapi, keputusan-keputusan yang telah dikeluarkan oleh Kaisar merupakan keputusan mutlak dan mana mungkin dirubah....”
“Mengapa tidak mungkin? Tergantung si manusia sendiri yang mampu atau tidak, berani atau tidak untuk merubahnya. Keadaan tidak akan berubah selama si manusia sendiri tidak berusaha untuk merubahnya!”
Bun Beng merasa terpukul dan ucapan itu mendatangkan kesan mendalam. Dia harus mengaku pada diri sendiri bahwa dia merana dalam hidupnya karena dia lemah, karena dia “menerima nasib”, karena dia lebih condong menangisi nasibnya daripada berusaha merubah keadaan itu! Dan kedua orang adik seperguruannya, Kian Lee dan Kian Bu, juga mengalami “nasib” yang sama dengan dia, yaitu kalau mereka tidak mau turun tangan, tidak mau bertindak melawan “nasib” itu!
“Kata-katamu mengandung kebenaran yang patut untuk direnungkan, Laote. Maafkan, saya harus menengok kedua orang suteku itu.”
Gak Bun Beng meninggalkan Han Wi Kong yang tersenyum-senyum seorang diri, memasuki kamar kedua orang sutenya dan melihat mereka itu duduk termenung di depan meja. Wajah Kian Bu pucat sekali dan Kian Lee yang bersikap tenang itu berusaha menghibur adiknya ketika Bun Beng muncul di depan pintu.
Diam-diam Bun Beng kagum juga terhadap Kian Lee. Dia tahu betul betapa sutenya ini juga “patah hati” karena cintanya yang gagal terhadap Ceng Ceng, namun kini masih dapat menghibur adiknya yang mengalami hal yang sama!
Bun Beng tersenyum, menghampiri Kian Bu dan menepuk bahu pemuda itu.
“Eh, Bu-sute, apakah engkau ini seorang banci?”
Ditanya seperti itu, Kian Bu yang sedang termenung dan tenggelam ke dalam kekecewaan dan kedukaan itu terperanjat, dan memandang kepada suhengnya itu dengan mata terbelalak. Kalau saja dia tidak terlalu dihimpit duka dan kecewa, tentu wataknya yang gembira ini akan menanggapi pertanyaan Bun Beng sebagai suatu kelakar.
“Apa maksudmu, Suheng?”
“Hanya seorang banci saja yang merenungi nasibnya dan menangisi peristiwa yang menimpa diri. Seorang jantan akan bertindak melawan keadaan yang tidak menyenangkan hatinya. Akan tetapi kulihat di sini engkau termenung menangisi nasib!”
“Aih, Suheng. Apa yang dapat saya lakukan menghadapi keputusan Kaisar? Biarpun beliau itu kakek besarku sendiri, namun aku tetap saja rakyat!” Kian Bu berkata.
“Hemm, mengapa engkau begitu lemah? Pula, mengapa engkau sudah menjadi patah hati? Apakah engkau sudah tahu bagaimana perasaan hati Syanti Dewi terhadap dirimu? Kalau aku menjadi engkau....”
“Bagaimana, Suheng?”
Kian Bu bertanya penuh gairah. Dia adalah seorang pria yang baru menjelang dewasa, masih “hijau” dan tentu saja dia memandang suhengnya ini sebagai seorang pria yang sudah “berpengalaman” yang patut ditiru.
“Kalau aku yang menghadapi peristiwa seperti engkau ini, aku akan menemui dia dan terus terang kunyatakan perasaan hatiku kepadanya untuk mengetahui bagaimana tanggapannya. Kalau dia ternyata tidak mencintaku, mengapa engkau menangisi hal kosong? Sebaliknya, kalau dia memang cinta kepadaku seperti aku cinta kepadanya, aku akan mengajak dia lari bersama!”
Wajah Kian Bu menjadi berseri dan dia memegang tangan suhengnya.
“Terima kasih, Suheng. Aku bukan seorang banci! Aku seorang laki-laki sejati dan akan kulaksanakan nasihatmu itu sekarang juga!”
Kian Bu meloncat keluar dari tempat itu. Kian Lee memanggilnya, namun pemuda itu sudah pergi jauh.
“Ah, Gak-suheng, engkau bisa menimbulkan gara-gara dengan nasihatmu itu,” Kian Lee berkata, khawatir. “Jangan-jangan akan timbul keributan.”
“Lee-sute, yang sudah jelas, kalau didiamkan saja, sudah terjadi keributan dalam hati Bu-sute yang mungkin akan membuat dia merana selama hidupnya. Belum lagi diingat betapa puteri itu pun akan menjadi sengsara. Bukankah itu sudah merupakan hal yang hebat? Sebaliknya, kalau memang mereka saling mencinta, apa salahnya mereka berdua melarikan diri dan berjodoh? Ingat, Puteri Nirahai juga dulu kawin lari dengan ayahmu, buktinya sekarang mereka berbahagia.”
Sampai di sini Bun Beng berhenti karena dia teringat akan urusannya sendiri dengan Milana. Dia bisa memberi nasihat, bahkan sudah ada contoh yang mutlak, yaitu antara Pendekar Super Sakti dan Puteri Nirahai, akan tetapi toh dia dahulu sengaja menjauh dan tidak berani menghadapi kenyataan bahwa dia dan Milana saling mencinta. Hal ini hanya karena dia merasa rendah diri, sebagai keturunan penjahat, merasa tidak pantas menjadi jodoh seorang gadis mulia seperti Puteri Milana!
Setelah berkata demikian, Bun Beng lalu meninggalkan Kian Lee dan pergi ke kamarnya sendiri, tidak jauh dari kamar kakak beradik itu. Akan tetapi dia merasa gelisah, bayangan Milana terus mengejarnya, dan timbul rasa takut di hatinya, takut dan tidak percaya kepada diri sendiri, karena kalau terlalu lama dia berada di rumah kekasihnya ini, terlalu sering berjumpa dengan Milana, dia khawatir kalau-kalau pertahanan batinnya akan bobol.
Aku harus segera pergi dari sini, pikirnya. Tidak ada urusan apa-apa lagi. Syanti Dewi sudah jelas akan dinikahkan dengan Yung Hwa, dan kalau betul seperti yang diharapkannya bahwa Syanti Dewi membalas cinta Suma Kian Bu, biarlah puteri itu hidup bahagia dengan sutenya itu. Tek Hoat pun sudah pergi dan ternyata pemuda itu adalah putera Wan Keng In yang kembali mengulang perbuatan ayah kandungnya dahulu.
Sebaiknya dia pergi dan menjumpai pemuda itu agar persoalannya menjadi jelas dan dendam dapat dihapus dari dalam dada pemuda itu. Akan tetapi dia merasa tidak enak juga kalau harus pergi begitu saja tanpa pamit, dan dia pun harus menanti kembalinya Kian Bu untuk melihat bagaimana jadinya dengan sutenya itu.
Kegelisahannya membuat Bun Beng tidak betah di dalam kamarnya. Hanya sebentar dia rebahan, kemudian dia turun dan keluar dari kamar, melalui pintu samping dia masuk ke dalam taman bunga yang luas dan indah dari istana itu. Hari telah menjelang senja dan di dalam taman bunga itu sunyi sekali.
“Akan tetapi, keputusan-keputusan yang telah dikeluarkan oleh Kaisar merupakan keputusan mutlak dan mana mungkin dirubah....”
“Mengapa tidak mungkin? Tergantung si manusia sendiri yang mampu atau tidak, berani atau tidak untuk merubahnya. Keadaan tidak akan berubah selama si manusia sendiri tidak berusaha untuk merubahnya!”
Bun Beng merasa terpukul dan ucapan itu mendatangkan kesan mendalam. Dia harus mengaku pada diri sendiri bahwa dia merana dalam hidupnya karena dia lemah, karena dia “menerima nasib”, karena dia lebih condong menangisi nasibnya daripada berusaha merubah keadaan itu! Dan kedua orang adik seperguruannya, Kian Lee dan Kian Bu, juga mengalami “nasib” yang sama dengan dia, yaitu kalau mereka tidak mau turun tangan, tidak mau bertindak melawan “nasib” itu!
“Kata-katamu mengandung kebenaran yang patut untuk direnungkan, Laote. Maafkan, saya harus menengok kedua orang suteku itu.”
Gak Bun Beng meninggalkan Han Wi Kong yang tersenyum-senyum seorang diri, memasuki kamar kedua orang sutenya dan melihat mereka itu duduk termenung di depan meja. Wajah Kian Bu pucat sekali dan Kian Lee yang bersikap tenang itu berusaha menghibur adiknya ketika Bun Beng muncul di depan pintu.
Diam-diam Bun Beng kagum juga terhadap Kian Lee. Dia tahu betul betapa sutenya ini juga “patah hati” karena cintanya yang gagal terhadap Ceng Ceng, namun kini masih dapat menghibur adiknya yang mengalami hal yang sama!
Bun Beng tersenyum, menghampiri Kian Bu dan menepuk bahu pemuda itu.
“Eh, Bu-sute, apakah engkau ini seorang banci?”
Ditanya seperti itu, Kian Bu yang sedang termenung dan tenggelam ke dalam kekecewaan dan kedukaan itu terperanjat, dan memandang kepada suhengnya itu dengan mata terbelalak. Kalau saja dia tidak terlalu dihimpit duka dan kecewa, tentu wataknya yang gembira ini akan menanggapi pertanyaan Bun Beng sebagai suatu kelakar.
“Apa maksudmu, Suheng?”
“Hanya seorang banci saja yang merenungi nasibnya dan menangisi peristiwa yang menimpa diri. Seorang jantan akan bertindak melawan keadaan yang tidak menyenangkan hatinya. Akan tetapi kulihat di sini engkau termenung menangisi nasib!”
“Aih, Suheng. Apa yang dapat saya lakukan menghadapi keputusan Kaisar? Biarpun beliau itu kakek besarku sendiri, namun aku tetap saja rakyat!” Kian Bu berkata.
“Hemm, mengapa engkau begitu lemah? Pula, mengapa engkau sudah menjadi patah hati? Apakah engkau sudah tahu bagaimana perasaan hati Syanti Dewi terhadap dirimu? Kalau aku menjadi engkau....”
“Bagaimana, Suheng?”
Kian Bu bertanya penuh gairah. Dia adalah seorang pria yang baru menjelang dewasa, masih “hijau” dan tentu saja dia memandang suhengnya ini sebagai seorang pria yang sudah “berpengalaman” yang patut ditiru.
“Kalau aku yang menghadapi peristiwa seperti engkau ini, aku akan menemui dia dan terus terang kunyatakan perasaan hatiku kepadanya untuk mengetahui bagaimana tanggapannya. Kalau dia ternyata tidak mencintaku, mengapa engkau menangisi hal kosong? Sebaliknya, kalau dia memang cinta kepadaku seperti aku cinta kepadanya, aku akan mengajak dia lari bersama!”
Wajah Kian Bu menjadi berseri dan dia memegang tangan suhengnya.
“Terima kasih, Suheng. Aku bukan seorang banci! Aku seorang laki-laki sejati dan akan kulaksanakan nasihatmu itu sekarang juga!”
Kian Bu meloncat keluar dari tempat itu. Kian Lee memanggilnya, namun pemuda itu sudah pergi jauh.
“Ah, Gak-suheng, engkau bisa menimbulkan gara-gara dengan nasihatmu itu,” Kian Lee berkata, khawatir. “Jangan-jangan akan timbul keributan.”
“Lee-sute, yang sudah jelas, kalau didiamkan saja, sudah terjadi keributan dalam hati Bu-sute yang mungkin akan membuat dia merana selama hidupnya. Belum lagi diingat betapa puteri itu pun akan menjadi sengsara. Bukankah itu sudah merupakan hal yang hebat? Sebaliknya, kalau memang mereka saling mencinta, apa salahnya mereka berdua melarikan diri dan berjodoh? Ingat, Puteri Nirahai juga dulu kawin lari dengan ayahmu, buktinya sekarang mereka berbahagia.”
Sampai di sini Bun Beng berhenti karena dia teringat akan urusannya sendiri dengan Milana. Dia bisa memberi nasihat, bahkan sudah ada contoh yang mutlak, yaitu antara Pendekar Super Sakti dan Puteri Nirahai, akan tetapi toh dia dahulu sengaja menjauh dan tidak berani menghadapi kenyataan bahwa dia dan Milana saling mencinta. Hal ini hanya karena dia merasa rendah diri, sebagai keturunan penjahat, merasa tidak pantas menjadi jodoh seorang gadis mulia seperti Puteri Milana!
Setelah berkata demikian, Bun Beng lalu meninggalkan Kian Lee dan pergi ke kamarnya sendiri, tidak jauh dari kamar kakak beradik itu. Akan tetapi dia merasa gelisah, bayangan Milana terus mengejarnya, dan timbul rasa takut di hatinya, takut dan tidak percaya kepada diri sendiri, karena kalau terlalu lama dia berada di rumah kekasihnya ini, terlalu sering berjumpa dengan Milana, dia khawatir kalau-kalau pertahanan batinnya akan bobol.
Aku harus segera pergi dari sini, pikirnya. Tidak ada urusan apa-apa lagi. Syanti Dewi sudah jelas akan dinikahkan dengan Yung Hwa, dan kalau betul seperti yang diharapkannya bahwa Syanti Dewi membalas cinta Suma Kian Bu, biarlah puteri itu hidup bahagia dengan sutenya itu. Tek Hoat pun sudah pergi dan ternyata pemuda itu adalah putera Wan Keng In yang kembali mengulang perbuatan ayah kandungnya dahulu.
Sebaiknya dia pergi dan menjumpai pemuda itu agar persoalannya menjadi jelas dan dendam dapat dihapus dari dalam dada pemuda itu. Akan tetapi dia merasa tidak enak juga kalau harus pergi begitu saja tanpa pamit, dan dia pun harus menanti kembalinya Kian Bu untuk melihat bagaimana jadinya dengan sutenya itu.
Kegelisahannya membuat Bun Beng tidak betah di dalam kamarnya. Hanya sebentar dia rebahan, kemudian dia turun dan keluar dari kamar, melalui pintu samping dia masuk ke dalam taman bunga yang luas dan indah dari istana itu. Hari telah menjelang senja dan di dalam taman bunga itu sunyi sekali.
Bun Beng terus masuk ke dalam dan di tengah-tengah taman, tertutup oleh pohon-pohon apel, terdapat kolam ikan emas yang lebar dan indah. Airnya jernih sehingga ikan-ikan yang berenang ke sana ke mari itu nampak nyata, beriring-iringan dengan warna sisik mereka yang keemasan dan berkilauan tertimpa sinar kemerahan matahari senja. Bun Beng duduk di atas bangku batu di dekat kolam.
Air yang memancar keluar dari pinggir kolam membuat kolam itu selalu jernih airnya dan luapan air kolam mengalir ke dalam selokan kecil yang berliku-liku di dalam taman, mengairi kembang-kembang yang tampak mekar dengan indahnya, seolah-olah sedang bersaing kecantikan.
“Dia hidup bahagia, dan itu sudah cukup bagiku,” diam-diam Bun Beng mengeluh. “Kehadiranku hanya akan memungkinkan datangnya gangguan dalam hidupnya. Suaminya amat gagah dan baik, kedudukannya mulia dan terhormat, kekayaannya berlimpah, terpenuhilah semua syarat hidup senang. Kalau dahulu ikut bersamaku? Tentu akan hidup serba kekurangan, bahkan hidup di tempat asing dan miskin....”
Akan tetapi, suara hatinya yang menghibur diri bahwa orang yang dicinta sudah hidup bahagia itu dibantah oleh suara lain dalam benaknya.
“Siapa bilang dia bahagia? Dia cukup dengan kesenangan dunia, memang. Akan tetapi apakah itu dapat mendatangkan bahagia? Lihat, dia begitu terguncang sampai pingsan begitu bertemu dengan aku. Dan tentang hidup miskin, mungkin saja mendatangkan bahagia karena cinta. Lihat contohnya Puteri Nirahai dan Pendekar Super Sakti. Biar hidup di Pulau Es yang sunyi, namun penuh madu bahagia....”
“Huh, tolol!” bentaknya sendiri kepada diri sendiri. “Habis kau mau apa?”
“Gak-suheng....”
Bun Beng terkejut dan hampir saja dia meloncat ke dalam kolam! Suara itu dikenalnya benar. Sampai mati pun suara itu tentu akan terus terngiang di telinganya dan dikenalnya baik-baik. Cepat dia membalikkan tubuhnya dan dia berdiri berhadapan dengan Milana!
“Sumoi...., mafkan aku.... aku memasuki tamanmu tanpa permisi....”
Dia menghentikan kata-katanya karena dia melihat puteri itu yang berdiri tegak dan agung ternyata mencucurkan air mata! Satu-satu butiran air mata turun seperti untaian mutiara, di sepanjang kedua pipinya.
“Gak-suheng, sudikah kau mengampunkan aku? Suheng, betapa aku telah menghancurkan hidupmu...., aku telah berkali-kali berdosa kepadamu, Suheng....”
Berdebar keras rasa jantung Bun Beng dan dia hanya menggeleng-geleng kepalanya.
“Tidak.... tidak demikian.... Sumoi. Apa yang kau ucapkan ini....?”
“Suheng, tidak perlu kau berpura-pura lagi. Aku tahu betapa hidupmu menderita, sengsara dan merana karena aku. Suheng, apakah engkau masih tidak mau mengampunkan aku? Mengampunkan pernikahan dengan Han Wi Kong?”
Pertanyaan itu diucapkan dengan suara penuh permohonan, dengan pandang mata yang menusuk ulu hati Bun Beng.
Pendekar itu menguatkan hatinya dan dia memaksa tersenyum.
“Sumoi.... Sumoi! Milana.... mengapa engkau bertanya demikian? Sudah sepantasnya engkau menikah dengan dia, dia seorang yang amat baik dan aku.... aku sudah merasa cukup senang melihat engkau hidup bahagia di sampingnya, Sumoi. Aku.... sebaiknya pergi saja....”
“Gak-suheng....!”
Milana meloncat dan memegang lengan pendekar itu. Sejenak mereka berdiri saling berhadapan, dekat sekali dan tiba-tiba Milana terisak dan memeluk pinggang Bun Beng.
“Suheng.... ah, Suheng.... aku melihat betapa jahatnya aku.... betapa hancurnya hidupmu karena aku.... ampunkan aku, Suheng.”
Bun Beng memejamkan matanya. Merasa betapa tubuh orang yang paling dicintanya di dunia ini memeluk dan menempel di tubuhnya, hampir dia tidak kuat menahan lagi dan dia pun merangkul dan mengusap rambut yang selalu dirindukannya itu, mendekap kepala yang disayangnya itu. Akan tetapi dia segera teringat dan cepat dia melepaskan diri dan melangkah dua tindak ke belakang.
“Tidak.... tidak boleh begini....! Sumoi, jangan menuruti bisikan setan!”
Milana mengangkat muka memandang, matanya berlinangan air mata.
“Gak-suheng, katakanlah terus terang, apakah engkau masih cinta kepadaku?”
“Aku? Cinta padamu? Wahai, Milana, tidak pernah ada sedetik pun aku berhenti mencintamu.... akan terkutuk dan bohonglah aku kalau mengatakan tidak. Akan tetapi, semua itu sudah terlambat.... Sumoi....”
“Tidak, Suheng. Aku siap mengikutimu ke mana pun engkau membawaku! Aku.... aku.... ah, engkau tidak tahu betapa hidupku selama berpisah denganmu seperti dalam neraka. Aku menderita dan kalau tidak kuat-kuat aku bertahan, aku tentu sudah membunuh diri. Kalau sekarang engkau menolak, kiranya tidak ada lagi pegangan bagiku, Suheng....”
“Ahhh....?” Bun Beng terkejut bukan main mendengar kata-kata itu, merasa seperti disambar petir. “Jangan berkata yang bukan-bukan! Engkau bahagia dengan suamimu!”
“Tidak.... tidak.... dia memang seorang yang amat baik, akan tetapi.... aku tidak mencintanya, Suheng. Hanya engkaulah seorang....”
“Aihhh, Sumoi, engkau menghancurkan hatiku!”
Bun Beng berteriak, terhuyung ke belakang dan menjatuhkan diri duduk di atas bangku tadi, mukanya pucat sekali, dadanya ternyata sakit.
“Kalau begitu.... sia-sia belaka semua pengorbananku.... sia-sia belaka aku menyiksa diri.... Sumoi, mengapa begitu?”
Milana lari menghampiri dan menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Bun Beng.
“Aku sudah berdosa, Suheng. Aku mentaati perintah Kaisar untuk kawin. Akan tetapi, baru sekarang aku melihat betapa bodohnya hal itu, aku hanya menyiksa diri sendiri dan engkau, orang yang kucinta. Akan tetapi sekarang kiranya masih belum terlambat, Suheng.... untuk memperbaiki kesalahan itu, kalau.... kalau engkau masih mencintaku seperti aku mencintamu.”
“Milana!” Bun Beng setengah membentak, “Omongan apa yang kau keluarkan ini? Tidak malukah engkau? Kukira aku ini orang apa, hendak melarikan isteri orang? Apakah engkau hendak membuat dosa terhadap suamimu yang baik?”
Milana memandang dan air mata makin deras bercucuran, dia menggeleng kepalanya.
“Dia seorang yang berbudi mulia.... aku bahkan merusak hidupnya karena dia tahu bahwa aku masih mencintamu, tidak dapat mencintanya. Kau tahu, Suheng? Dialah yang tadi membujuk aku agar menemanimu.... dia telah memberi restunya.... dia yang membujuk agar aku menyambung tali cinta kasih kita demi kebahagiaanku....”
“Tidak....!” Gak Bun Beng meloncat dan menjauh, mukanya pucat sekali dan tubuhnya menggigil. “Tidak....! Engkau adalah Nyonya Han Wi Kong, engkau bukan Milana lagi. Tidak boleh aku menyentuhmu, tidak boleh sama sekali....! Duhai Milana.... Sumoi.... jangan.... jangan kita lakukan itu.... lebih baik aku mati daripada melakukan perbuatan terkutuk itu!” Bun Beng lalu berkelebat dan lari keluar dari taman.
“Suheng....!” Namun Bun Beng tidak menengok dan berkelebat lenyap.
“Gak-suheng....!” Milana mengeluh dan terguling roboh, pingsan di dekat kolam!
Han Wi Kong lari tergopoh-gopoh, dia mengangkat tubuh isterinya, dibawa masuk ke dalam kamar. Mata panglima ini merah dan basah. Dia merebahkan isterinya di atas pembaringan, kemudian menulis surat, meletakkan surat di atas meja, dan memanggil pelayan, disuruh menjaga isterinya yang masih pingsan dan disangka tidur oleh pelayan itu. Kemudian Hari Wi Kong pergi dari istananya setelah berganti pakaian sebagai bekas panglima, cucu mantu Kaisar dan pergi tanpa pengawal.
Sementara itu, di sudut ruangan luas di dalam kompleks Istana Kaisar, Puteri Syanti Dewi duduk berhadapan dengan Suma Kian Bu yang tadi diterimanya sebagai seorang tamu yang datang berkunjung kepadanya. Para pengawal tentu saja sudah mengenal Kian Bu, bahkan tahu bahwa adik Puteri Milana ini yang ikut mengantarkan Puteri Bhutan itu ke istana, maka tentu saja kunjungannya diperbolehkan dan tidak ada yang berani mencurigainya. Bahkan ketika Sang Puteri menerimanya bercakap-cakap di sudut ruangan yang luas itu, para pengawal tidak ada yang berani mendekat dan hanya menjaga di luar pintu ruangan.
Syanti Dewi girang sekali melihat Kian Bu dan dia menyambut kedatangan pemuda itu dengan kata-kata,
“Sungguh girang hatiku bahwa engkau yang datang, Bu-koko. Aku sudah menanti-nanti berita dari Bibi Milana....”
“Engkau sudah mendengar tentang keputusan Kaisar, Adik Syanti....?”
Dara itu mengangguk dan alisnya berkerut, pandang matanya penuh kegelisahan.
“Lalu bagaimana pendapatmu dengan keputusan itu?”
“Aku tidak suka! Aiiih, Koko, kau tolonglah, suruh Bibi Milana menolongku.... aku tidak suka dengan pernikahan itu!”
“Akan tetapi, itu adalah keputusan Kaisar dan Pangeran Yung Hwa tidak dapat kau samakan dengan Pangeran Liong Khi Ong. Dia seorang pangeran muda yang tampan dan pandai, bahkan dialah yang dahulu suka kepadamu sebelum kau dijodohkan dengan Pangeran Liong....”
“Aku tidak peduli dia tampan atau buruk, pandai atau bodoh. Akan tetapi sekali ini, bukan ayahku yang menjodohkan aku. Aku tidak mau, Koko.... kau sampaikan permohonanku kepada Bibi Milana.... tolonglah aku...., atau.... tolong kau cari Paman Gak Bun Beng. Dialah satu-satunya orang yang kugantungi harapanku.”
“Kalau benar engkau tidak suka menerima keputusan itu, Adik Syanti.... aku.... aku....”
Kian Bu yang biasanya paling pandai menggoda wanita itu kini menjadi gagap gugup, beberapa kali menelan ludahnya dan sukar sekali kata-kata keluar dari mulutnya.
“Ada apa, Koko? Bagaimana?”
Puteri Syanti Dewi memandang dengan sepasang matanya terbelalak lebar dan begitu indahnya sehingga Kian Bu menjadi makin bingung lagi.
“Adik Syanti.... hemmm.... ehhh, aku.... aku bersedia untuk menolongmu.... untuk mengajak kau lari dari sini....”
“Bu-koko....! Terima kasih....! Ah, aku tahu engkau seorang yang amat berbudi, seperti suhengmu, Paman Gak Bun Beng!”
Syanti Dewi bangkit dari tempat duduknya dan menghampiri Kian Bu, memegang lengan pemuda itu penuh harapan.
Kian Bu juga bangkit berdiri.
“Aku.... aku akan mempertaruhkan nyawaku untukmu, Syanti Dewi, karena.... aku.... aku cinta padamu, aku cinta padamu semenjak kita bertemu.... dan kalau kau lebih memilih aku daripada menjadi isteri seorang pangeran, marilah kita lari.”
“Ahhhh....!”
Syanti Dewi melepaskan kembali pegangan tangannya dan melangkah mundur, lalu menunduk dan memejamkan matanya, akan tetapi tetap saja air matanya bertitik yang cepat diusapnya. Puteri ini lemah lembut, mudah menaruh kasihan kepada orang, juga mudah terharu, namun dia memiliki keagungan seorang puteri raja.
“Bu-koko, harap engkau maafkan padaku. Engkau seorang pemuda yang hebat.... ah, amat baik dan hebat, tampan dan gagah perkasa, berbudi dan putera seorang pendekar yang sudah tersohor di seluruh dunia, anak dari seorang mulia seperti Puteri Milana! Gadis mana yang takkan berbahagia menerima cintamu? Akan tetapi aku.... ah, aku akan berbohong kalau aku berpura-pura mengatakan cinta kepadamu, hanya agar engkau suka menolongku. Tidak, aku tidak mau membohongimu demi keselamatanku, dan kelak menghancurkan hatimu. Tidak, Bu-koko, kalau engkau menolongku dengan dasar cinta kasih seperti itu, aku lebih baik.... menghadapi malapetaka itu seorang diri saja, tanpa pertolonganmu.”
Wajah Kian Bu yang tadinya sudah merah karena ada harapan ketika dia menuruti nasihat suhengnya, kini menjadi pucat sekali.
“Kau.... kau tidak.... tidak cinta padaku, Adik Syanti?” tanyanya dengan suara serak.
Syanti Dewi menggeleng kepalanya, memandang penuh iba.
“Maafkan aku.”
“Kalau begitu engkau.... engkau tentu sudah mencinta lain orang....?”
Syanti Dewi mengerutkan alisnya.
“Memang, aku pernah mencinta orang, yaitu suhengmu, Gak Bun Beng! Aku cinta Kepadanya, aku memujanya karena dia seorang jantan, seorang laki-laki sejati, seorang yang mulia hatinya. Hanya sayang dia tidak cinta kepadaku, maka aku menghapus cinta itu. Aku tidak dan belum mencinta siapa-siapa lagi. Sudahlah, Bu-koko, aku suka kepadamu, aku kagum dan menghormatimu, akan tetapi jangan mengharapkan yang lebih dari itu. Kau kembalilah dan kalau engkau suka, harap sampaikan permohonanku kepada Bibi Milana agar beliau sudi menolongku.”
Kian Bu diam sampai lama karena dia mengerahkan kekuatan batinnya untuk menekan pukulan yang amat menyakitkan itu. Kemudian dia berkata lemah,
“Biarpun engkau tidak cinta kepadaku, Adik Syanti, aku.... aku bersedia menolongmu. Mari kau kularikan keluar dari istana ini.”
“Tidak, Bu-koko. Engkau adalah cucu Kaisar, engkau akan celaka kalau melakukan hal itu, padahal aku tidak dapat menerima cintamu. Tidak, biar Bibi Milana saja yang menolongku dan mencarikan akal....”
“Aku menolongmu dengan ikhlas! Tadi engkau suka kutolong....”
“Tadi lain lagi, Koko. Pulanglah, dan maafkan aku....” Puteri Syanti Dewi bertepuk tangan memberi isyarat kepada pengawal. “Suma-taihiap hendak pulang, antarkan keluar,” katanya penuh wibawa.
Kian Bu menunduk, lalu berjalan ke luar seperti mayat hidup, diikuti pandang mata Syanti Dewi yang berlinang-linang karena merasa kasihan.
Pemuda yang sebenarnya masih terlalu muda untuk jatuh cinta ini, merasa seolah-olah dunia hampir kiamat, kehilangan keindahannya. Bangunan-bangunan istana yang biasanya mempesonakan dan amat dikaguminya itu, kini tidak lebih seperti onggokan-onggokan batu nisan di kuburan yang tidak menarik sama sekali. Orang-orang yang ditemuinya di sepanjang jalan, seolah-olah semua menyeringai dan mencemoohkannya.
Syanti Dewi ternyata tidak cinta kepadanya, seperti yang disangkanya, atau lebih tepat, seperti yang diharapkannya. Bahkan mencinta suhengnya, Gak Bun Beng! Si Tua! Hatinya memaki, akan tetapi kesadarannya memperingatkannya bahwa tidak adil dan tidak tepatlah kalau dia memaki dan menyalahkan suhengnya.
Gak-suheng adalah seorang laki-laki sejati, pikirnya, tepat seperti yang dikatakan Syanti Dewi, dan suhengnya itu tidak menerirna Syanti Dewi sehingga dara jelita ini merubah cintanya menjadi cinta seorang anak kepada ayahnya atau seorang murid kepada gurunya.
Aih, betapa dia amat tidak berharga! Seorang yang sudah setengah tua seperti suhengnya saja mampu merebut hati seorang dara seperti Syanti Dewi, mengapa dia yang jauh lebih muda tidak mampu? Apakah dia kurang tampan? Kurang gagah? Mungkin kurang jantan! Pikiran demi pikiran bergelombang dan mengaduk-aduk hati Kian Bu ketika dia kembali ke istana encinya.
Senja telah lewat, malam mulai tiba dan Kian Bu langsung menuju ke kamarnya, hampir tidak melihat dan tidak menjawab penghormatan para pengawal yang berjaga di depan istana encinya itu. Ketika dia memasuki kamarnya, langsung saja dia melempar tubuhnya ke atas pembaringan, telentang dan menatap langit-langit kamar.
“Bu-te, bagaimana....?”
Kian Lee mendekati, duduk di tepi pembaringan dan memandang wajah adiknya yang pucat dan tidak bersemangat itu.
Kian Bu tadi juga tidak melihat bahwa kakaknya termenung di dalam kamar itu, kini melihat kakaknya mendekatinya, dia bangkit dan mereka berdua duduk di tepi ranjang.
“Lee-ko.... aku menyesal sekali tentang.... Lu Ceng....” Kian Bu berkata dengan suara halus penuh iba.
Kian Lee menggeleng kepala.
“Jangan pedulikan aku, Bu-te. Bagaimana dengan engkau? Sudahkah kau....”
“Sudah, dan dia.... dia ternyata tidak cinta kepadaku, Lee-ko....”
“Ahhh....?” Kian Lee hampir tidak percaya dan dia menatap wajah adiknya penuh selidik.
“Dia sudah mencinta orang lain....”
“Hemmm....?”
“Dia mencinta Gak-suheng.”
“Hehhh....?” Kian Lee mengeluarkan seruan heran dan kaget sambil meloncat turun. “Gak-suheng?”
Melihat wajah kakaknya seperti orang penasaran dan marah, Kian Bu cepat menjelaskan.
“Dia telah berterus terang bahwa dia mencinta Gak-suheng, akan tetapi Gak-suheng tidak mencintanya sehingga dia merubah cintanya sebagai cinta anak terhadap ayah, atau murid terhadap guru....”
“Aahhhh.... sungguh aneh, dan Gak-suheng baru saja pergi tanpa pamit.”
“Pergi ke mana? Mengapa tanpa pamit?”
“Entah, Enci Milana yang memberi tahu dan kulihat mata Enci Milana merah bekas tangis, mukanya pucat dan sinar matanya layu, mengandung kedukaan besar. Entah mengapa aku tidak tahu.”
“Hemm, mengapa timbul peristiwa-peristiwa tidak menyenangkan di antara kita bersaudara ini?” Kian Bu menunduk dan tertekan batinnya.
“Engkau tidak mengajak dia pergi dari istana untuk menghindarkan pernikahan itu?” Kian Lee bertanya.
“Dia tidak mau karena katanya aku melakukan itu karena cinta. Dia tidak dapat membalas cintaku dan dia hanya minta agar aku menyampaikan permohonannya kepada Enci Milana supaya ditolong.”
Kian Lee merangkul adiknya.
“Aih, adikku.... mengapa kita semua gagal dalam bercinta? Mengapa kita harus menghadapi kekecewaan ini?”
“Lee-ko....”
Kakak beradik itu saling peluk dan memejamkan mata, karena pantang bagi kedua orang pemuda gagah perkasa ini untuk mencucurkan air mata kedukaan.
“Bu-te, kuatkan hatimu. Dan kau sampaikan nanti kepada Enci Milana bahwa aku pun terpaksa harus pergi lebih dulu, sekarang juga.”
Kian Bu memandang muka kakaknya yang muran dan tidak ada sinarnya itu.
“Lee-ko.... kau.... kau tenggelam dalam kedukaan!”
Air yang memancar keluar dari pinggir kolam membuat kolam itu selalu jernih airnya dan luapan air kolam mengalir ke dalam selokan kecil yang berliku-liku di dalam taman, mengairi kembang-kembang yang tampak mekar dengan indahnya, seolah-olah sedang bersaing kecantikan.
“Dia hidup bahagia, dan itu sudah cukup bagiku,” diam-diam Bun Beng mengeluh. “Kehadiranku hanya akan memungkinkan datangnya gangguan dalam hidupnya. Suaminya amat gagah dan baik, kedudukannya mulia dan terhormat, kekayaannya berlimpah, terpenuhilah semua syarat hidup senang. Kalau dahulu ikut bersamaku? Tentu akan hidup serba kekurangan, bahkan hidup di tempat asing dan miskin....”
Akan tetapi, suara hatinya yang menghibur diri bahwa orang yang dicinta sudah hidup bahagia itu dibantah oleh suara lain dalam benaknya.
“Siapa bilang dia bahagia? Dia cukup dengan kesenangan dunia, memang. Akan tetapi apakah itu dapat mendatangkan bahagia? Lihat, dia begitu terguncang sampai pingsan begitu bertemu dengan aku. Dan tentang hidup miskin, mungkin saja mendatangkan bahagia karena cinta. Lihat contohnya Puteri Nirahai dan Pendekar Super Sakti. Biar hidup di Pulau Es yang sunyi, namun penuh madu bahagia....”
“Huh, tolol!” bentaknya sendiri kepada diri sendiri. “Habis kau mau apa?”
“Gak-suheng....”
Bun Beng terkejut dan hampir saja dia meloncat ke dalam kolam! Suara itu dikenalnya benar. Sampai mati pun suara itu tentu akan terus terngiang di telinganya dan dikenalnya baik-baik. Cepat dia membalikkan tubuhnya dan dia berdiri berhadapan dengan Milana!
“Sumoi...., mafkan aku.... aku memasuki tamanmu tanpa permisi....”
Dia menghentikan kata-katanya karena dia melihat puteri itu yang berdiri tegak dan agung ternyata mencucurkan air mata! Satu-satu butiran air mata turun seperti untaian mutiara, di sepanjang kedua pipinya.
“Gak-suheng, sudikah kau mengampunkan aku? Suheng, betapa aku telah menghancurkan hidupmu...., aku telah berkali-kali berdosa kepadamu, Suheng....”
Berdebar keras rasa jantung Bun Beng dan dia hanya menggeleng-geleng kepalanya.
“Tidak.... tidak demikian.... Sumoi. Apa yang kau ucapkan ini....?”
“Suheng, tidak perlu kau berpura-pura lagi. Aku tahu betapa hidupmu menderita, sengsara dan merana karena aku. Suheng, apakah engkau masih tidak mau mengampunkan aku? Mengampunkan pernikahan dengan Han Wi Kong?”
Pertanyaan itu diucapkan dengan suara penuh permohonan, dengan pandang mata yang menusuk ulu hati Bun Beng.
Pendekar itu menguatkan hatinya dan dia memaksa tersenyum.
“Sumoi.... Sumoi! Milana.... mengapa engkau bertanya demikian? Sudah sepantasnya engkau menikah dengan dia, dia seorang yang amat baik dan aku.... aku sudah merasa cukup senang melihat engkau hidup bahagia di sampingnya, Sumoi. Aku.... sebaiknya pergi saja....”
“Gak-suheng....!”
Milana meloncat dan memegang lengan pendekar itu. Sejenak mereka berdiri saling berhadapan, dekat sekali dan tiba-tiba Milana terisak dan memeluk pinggang Bun Beng.
“Suheng.... ah, Suheng.... aku melihat betapa jahatnya aku.... betapa hancurnya hidupmu karena aku.... ampunkan aku, Suheng.”
Bun Beng memejamkan matanya. Merasa betapa tubuh orang yang paling dicintanya di dunia ini memeluk dan menempel di tubuhnya, hampir dia tidak kuat menahan lagi dan dia pun merangkul dan mengusap rambut yang selalu dirindukannya itu, mendekap kepala yang disayangnya itu. Akan tetapi dia segera teringat dan cepat dia melepaskan diri dan melangkah dua tindak ke belakang.
“Tidak.... tidak boleh begini....! Sumoi, jangan menuruti bisikan setan!”
Milana mengangkat muka memandang, matanya berlinangan air mata.
“Gak-suheng, katakanlah terus terang, apakah engkau masih cinta kepadaku?”
“Aku? Cinta padamu? Wahai, Milana, tidak pernah ada sedetik pun aku berhenti mencintamu.... akan terkutuk dan bohonglah aku kalau mengatakan tidak. Akan tetapi, semua itu sudah terlambat.... Sumoi....”
“Tidak, Suheng. Aku siap mengikutimu ke mana pun engkau membawaku! Aku.... aku.... ah, engkau tidak tahu betapa hidupku selama berpisah denganmu seperti dalam neraka. Aku menderita dan kalau tidak kuat-kuat aku bertahan, aku tentu sudah membunuh diri. Kalau sekarang engkau menolak, kiranya tidak ada lagi pegangan bagiku, Suheng....”
“Ahhh....?” Bun Beng terkejut bukan main mendengar kata-kata itu, merasa seperti disambar petir. “Jangan berkata yang bukan-bukan! Engkau bahagia dengan suamimu!”
“Tidak.... tidak.... dia memang seorang yang amat baik, akan tetapi.... aku tidak mencintanya, Suheng. Hanya engkaulah seorang....”
“Aihhh, Sumoi, engkau menghancurkan hatiku!”
Bun Beng berteriak, terhuyung ke belakang dan menjatuhkan diri duduk di atas bangku tadi, mukanya pucat sekali, dadanya ternyata sakit.
“Kalau begitu.... sia-sia belaka semua pengorbananku.... sia-sia belaka aku menyiksa diri.... Sumoi, mengapa begitu?”
Milana lari menghampiri dan menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Bun Beng.
“Aku sudah berdosa, Suheng. Aku mentaati perintah Kaisar untuk kawin. Akan tetapi, baru sekarang aku melihat betapa bodohnya hal itu, aku hanya menyiksa diri sendiri dan engkau, orang yang kucinta. Akan tetapi sekarang kiranya masih belum terlambat, Suheng.... untuk memperbaiki kesalahan itu, kalau.... kalau engkau masih mencintaku seperti aku mencintamu.”
“Milana!” Bun Beng setengah membentak, “Omongan apa yang kau keluarkan ini? Tidak malukah engkau? Kukira aku ini orang apa, hendak melarikan isteri orang? Apakah engkau hendak membuat dosa terhadap suamimu yang baik?”
Milana memandang dan air mata makin deras bercucuran, dia menggeleng kepalanya.
“Dia seorang yang berbudi mulia.... aku bahkan merusak hidupnya karena dia tahu bahwa aku masih mencintamu, tidak dapat mencintanya. Kau tahu, Suheng? Dialah yang tadi membujuk aku agar menemanimu.... dia telah memberi restunya.... dia yang membujuk agar aku menyambung tali cinta kasih kita demi kebahagiaanku....”
“Tidak....!” Gak Bun Beng meloncat dan menjauh, mukanya pucat sekali dan tubuhnya menggigil. “Tidak....! Engkau adalah Nyonya Han Wi Kong, engkau bukan Milana lagi. Tidak boleh aku menyentuhmu, tidak boleh sama sekali....! Duhai Milana.... Sumoi.... jangan.... jangan kita lakukan itu.... lebih baik aku mati daripada melakukan perbuatan terkutuk itu!” Bun Beng lalu berkelebat dan lari keluar dari taman.
“Suheng....!” Namun Bun Beng tidak menengok dan berkelebat lenyap.
“Gak-suheng....!” Milana mengeluh dan terguling roboh, pingsan di dekat kolam!
Han Wi Kong lari tergopoh-gopoh, dia mengangkat tubuh isterinya, dibawa masuk ke dalam kamar. Mata panglima ini merah dan basah. Dia merebahkan isterinya di atas pembaringan, kemudian menulis surat, meletakkan surat di atas meja, dan memanggil pelayan, disuruh menjaga isterinya yang masih pingsan dan disangka tidur oleh pelayan itu. Kemudian Hari Wi Kong pergi dari istananya setelah berganti pakaian sebagai bekas panglima, cucu mantu Kaisar dan pergi tanpa pengawal.
Sementara itu, di sudut ruangan luas di dalam kompleks Istana Kaisar, Puteri Syanti Dewi duduk berhadapan dengan Suma Kian Bu yang tadi diterimanya sebagai seorang tamu yang datang berkunjung kepadanya. Para pengawal tentu saja sudah mengenal Kian Bu, bahkan tahu bahwa adik Puteri Milana ini yang ikut mengantarkan Puteri Bhutan itu ke istana, maka tentu saja kunjungannya diperbolehkan dan tidak ada yang berani mencurigainya. Bahkan ketika Sang Puteri menerimanya bercakap-cakap di sudut ruangan yang luas itu, para pengawal tidak ada yang berani mendekat dan hanya menjaga di luar pintu ruangan.
Syanti Dewi girang sekali melihat Kian Bu dan dia menyambut kedatangan pemuda itu dengan kata-kata,
“Sungguh girang hatiku bahwa engkau yang datang, Bu-koko. Aku sudah menanti-nanti berita dari Bibi Milana....”
“Engkau sudah mendengar tentang keputusan Kaisar, Adik Syanti....?”
Dara itu mengangguk dan alisnya berkerut, pandang matanya penuh kegelisahan.
“Lalu bagaimana pendapatmu dengan keputusan itu?”
“Aku tidak suka! Aiiih, Koko, kau tolonglah, suruh Bibi Milana menolongku.... aku tidak suka dengan pernikahan itu!”
“Akan tetapi, itu adalah keputusan Kaisar dan Pangeran Yung Hwa tidak dapat kau samakan dengan Pangeran Liong Khi Ong. Dia seorang pangeran muda yang tampan dan pandai, bahkan dialah yang dahulu suka kepadamu sebelum kau dijodohkan dengan Pangeran Liong....”
“Aku tidak peduli dia tampan atau buruk, pandai atau bodoh. Akan tetapi sekali ini, bukan ayahku yang menjodohkan aku. Aku tidak mau, Koko.... kau sampaikan permohonanku kepada Bibi Milana.... tolonglah aku...., atau.... tolong kau cari Paman Gak Bun Beng. Dialah satu-satunya orang yang kugantungi harapanku.”
“Kalau benar engkau tidak suka menerima keputusan itu, Adik Syanti.... aku.... aku....”
Kian Bu yang biasanya paling pandai menggoda wanita itu kini menjadi gagap gugup, beberapa kali menelan ludahnya dan sukar sekali kata-kata keluar dari mulutnya.
“Ada apa, Koko? Bagaimana?”
Puteri Syanti Dewi memandang dengan sepasang matanya terbelalak lebar dan begitu indahnya sehingga Kian Bu menjadi makin bingung lagi.
“Adik Syanti.... hemmm.... ehhh, aku.... aku bersedia untuk menolongmu.... untuk mengajak kau lari dari sini....”
“Bu-koko....! Terima kasih....! Ah, aku tahu engkau seorang yang amat berbudi, seperti suhengmu, Paman Gak Bun Beng!”
Syanti Dewi bangkit dari tempat duduknya dan menghampiri Kian Bu, memegang lengan pemuda itu penuh harapan.
Kian Bu juga bangkit berdiri.
“Aku.... aku akan mempertaruhkan nyawaku untukmu, Syanti Dewi, karena.... aku.... aku cinta padamu, aku cinta padamu semenjak kita bertemu.... dan kalau kau lebih memilih aku daripada menjadi isteri seorang pangeran, marilah kita lari.”
“Ahhhh....!”
Syanti Dewi melepaskan kembali pegangan tangannya dan melangkah mundur, lalu menunduk dan memejamkan matanya, akan tetapi tetap saja air matanya bertitik yang cepat diusapnya. Puteri ini lemah lembut, mudah menaruh kasihan kepada orang, juga mudah terharu, namun dia memiliki keagungan seorang puteri raja.
“Bu-koko, harap engkau maafkan padaku. Engkau seorang pemuda yang hebat.... ah, amat baik dan hebat, tampan dan gagah perkasa, berbudi dan putera seorang pendekar yang sudah tersohor di seluruh dunia, anak dari seorang mulia seperti Puteri Milana! Gadis mana yang takkan berbahagia menerima cintamu? Akan tetapi aku.... ah, aku akan berbohong kalau aku berpura-pura mengatakan cinta kepadamu, hanya agar engkau suka menolongku. Tidak, aku tidak mau membohongimu demi keselamatanku, dan kelak menghancurkan hatimu. Tidak, Bu-koko, kalau engkau menolongku dengan dasar cinta kasih seperti itu, aku lebih baik.... menghadapi malapetaka itu seorang diri saja, tanpa pertolonganmu.”
Wajah Kian Bu yang tadinya sudah merah karena ada harapan ketika dia menuruti nasihat suhengnya, kini menjadi pucat sekali.
“Kau.... kau tidak.... tidak cinta padaku, Adik Syanti?” tanyanya dengan suara serak.
Syanti Dewi menggeleng kepalanya, memandang penuh iba.
“Maafkan aku.”
“Kalau begitu engkau.... engkau tentu sudah mencinta lain orang....?”
Syanti Dewi mengerutkan alisnya.
“Memang, aku pernah mencinta orang, yaitu suhengmu, Gak Bun Beng! Aku cinta Kepadanya, aku memujanya karena dia seorang jantan, seorang laki-laki sejati, seorang yang mulia hatinya. Hanya sayang dia tidak cinta kepadaku, maka aku menghapus cinta itu. Aku tidak dan belum mencinta siapa-siapa lagi. Sudahlah, Bu-koko, aku suka kepadamu, aku kagum dan menghormatimu, akan tetapi jangan mengharapkan yang lebih dari itu. Kau kembalilah dan kalau engkau suka, harap sampaikan permohonanku kepada Bibi Milana agar beliau sudi menolongku.”
Kian Bu diam sampai lama karena dia mengerahkan kekuatan batinnya untuk menekan pukulan yang amat menyakitkan itu. Kemudian dia berkata lemah,
“Biarpun engkau tidak cinta kepadaku, Adik Syanti, aku.... aku bersedia menolongmu. Mari kau kularikan keluar dari istana ini.”
“Tidak, Bu-koko. Engkau adalah cucu Kaisar, engkau akan celaka kalau melakukan hal itu, padahal aku tidak dapat menerima cintamu. Tidak, biar Bibi Milana saja yang menolongku dan mencarikan akal....”
“Aku menolongmu dengan ikhlas! Tadi engkau suka kutolong....”
“Tadi lain lagi, Koko. Pulanglah, dan maafkan aku....” Puteri Syanti Dewi bertepuk tangan memberi isyarat kepada pengawal. “Suma-taihiap hendak pulang, antarkan keluar,” katanya penuh wibawa.
Kian Bu menunduk, lalu berjalan ke luar seperti mayat hidup, diikuti pandang mata Syanti Dewi yang berlinang-linang karena merasa kasihan.
Pemuda yang sebenarnya masih terlalu muda untuk jatuh cinta ini, merasa seolah-olah dunia hampir kiamat, kehilangan keindahannya. Bangunan-bangunan istana yang biasanya mempesonakan dan amat dikaguminya itu, kini tidak lebih seperti onggokan-onggokan batu nisan di kuburan yang tidak menarik sama sekali. Orang-orang yang ditemuinya di sepanjang jalan, seolah-olah semua menyeringai dan mencemoohkannya.
Syanti Dewi ternyata tidak cinta kepadanya, seperti yang disangkanya, atau lebih tepat, seperti yang diharapkannya. Bahkan mencinta suhengnya, Gak Bun Beng! Si Tua! Hatinya memaki, akan tetapi kesadarannya memperingatkannya bahwa tidak adil dan tidak tepatlah kalau dia memaki dan menyalahkan suhengnya.
Gak-suheng adalah seorang laki-laki sejati, pikirnya, tepat seperti yang dikatakan Syanti Dewi, dan suhengnya itu tidak menerirna Syanti Dewi sehingga dara jelita ini merubah cintanya menjadi cinta seorang anak kepada ayahnya atau seorang murid kepada gurunya.
Aih, betapa dia amat tidak berharga! Seorang yang sudah setengah tua seperti suhengnya saja mampu merebut hati seorang dara seperti Syanti Dewi, mengapa dia yang jauh lebih muda tidak mampu? Apakah dia kurang tampan? Kurang gagah? Mungkin kurang jantan! Pikiran demi pikiran bergelombang dan mengaduk-aduk hati Kian Bu ketika dia kembali ke istana encinya.
Senja telah lewat, malam mulai tiba dan Kian Bu langsung menuju ke kamarnya, hampir tidak melihat dan tidak menjawab penghormatan para pengawal yang berjaga di depan istana encinya itu. Ketika dia memasuki kamarnya, langsung saja dia melempar tubuhnya ke atas pembaringan, telentang dan menatap langit-langit kamar.
“Bu-te, bagaimana....?”
Kian Lee mendekati, duduk di tepi pembaringan dan memandang wajah adiknya yang pucat dan tidak bersemangat itu.
Kian Bu tadi juga tidak melihat bahwa kakaknya termenung di dalam kamar itu, kini melihat kakaknya mendekatinya, dia bangkit dan mereka berdua duduk di tepi ranjang.
“Lee-ko.... aku menyesal sekali tentang.... Lu Ceng....” Kian Bu berkata dengan suara halus penuh iba.
Kian Lee menggeleng kepala.
“Jangan pedulikan aku, Bu-te. Bagaimana dengan engkau? Sudahkah kau....”
“Sudah, dan dia.... dia ternyata tidak cinta kepadaku, Lee-ko....”
“Ahhh....?” Kian Lee hampir tidak percaya dan dia menatap wajah adiknya penuh selidik.
“Dia sudah mencinta orang lain....”
“Hemmm....?”
“Dia mencinta Gak-suheng.”
“Hehhh....?” Kian Lee mengeluarkan seruan heran dan kaget sambil meloncat turun. “Gak-suheng?”
Melihat wajah kakaknya seperti orang penasaran dan marah, Kian Bu cepat menjelaskan.
“Dia telah berterus terang bahwa dia mencinta Gak-suheng, akan tetapi Gak-suheng tidak mencintanya sehingga dia merubah cintanya sebagai cinta anak terhadap ayah, atau murid terhadap guru....”
“Aahhhh.... sungguh aneh, dan Gak-suheng baru saja pergi tanpa pamit.”
“Pergi ke mana? Mengapa tanpa pamit?”
“Entah, Enci Milana yang memberi tahu dan kulihat mata Enci Milana merah bekas tangis, mukanya pucat dan sinar matanya layu, mengandung kedukaan besar. Entah mengapa aku tidak tahu.”
“Hemm, mengapa timbul peristiwa-peristiwa tidak menyenangkan di antara kita bersaudara ini?” Kian Bu menunduk dan tertekan batinnya.
“Engkau tidak mengajak dia pergi dari istana untuk menghindarkan pernikahan itu?” Kian Lee bertanya.
“Dia tidak mau karena katanya aku melakukan itu karena cinta. Dia tidak dapat membalas cintaku dan dia hanya minta agar aku menyampaikan permohonannya kepada Enci Milana supaya ditolong.”
Kian Lee merangkul adiknya.
“Aih, adikku.... mengapa kita semua gagal dalam bercinta? Mengapa kita harus menghadapi kekecewaan ini?”
“Lee-ko....”
Kakak beradik itu saling peluk dan memejamkan mata, karena pantang bagi kedua orang pemuda gagah perkasa ini untuk mencucurkan air mata kedukaan.
“Bu-te, kuatkan hatimu. Dan kau sampaikan nanti kepada Enci Milana bahwa aku pun terpaksa harus pergi lebih dulu, sekarang juga.”
Kian Bu memandang muka kakaknya yang muran dan tidak ada sinarnya itu.
“Lee-ko.... kau.... kau tenggelam dalam kedukaan!”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar