FB

FB


Ads

Rabu, 25 Februari 2015

Kisah Sepasang Rajawali Jilid 083

Tek Hoat terpaksa mengawal Pangeran Liong Khi Ong yang tergesa-gesa menyelamatkan dirinya ke dalam kota Teng-bun yang dijadikan pusat dan markas besar pemberontak karena dia merasa tidak aman berada di luar benteng ini melihat betapa banyaknya terdapat mata-mata pemerintah. Dia khawatir kalau-kalau sampai dia tertangkap basah sebagai puncak pimpinan pemberontak mewakili kakaknya, Pangeran Liong Bin Ong yang masih berada di kota raja mendekati Kaisar.

Tek Hoat diam-diam merasa mendongkol bukan main. Dia merasa heran mengapa segala hal yang dipegangnya selalu mengalami kegagalan! Mengapa di dalam waktu singkat ini dia telah bertemu dengan begitu banyak orang pandai yang agaknya pada saat itu semua berkumpul di utara, di tempat yang sedang geger ini.

Yang membuat dia merasa mendongkol sekali adalah karena dia kembali telah kehilangan jejak Puteri Syanti Dewi! Sambil mengawal Pangeran Liong memasuki benteng Teng-bun, dia mengenangkan puteri yang cantik dan halus lembut itu, dan ia teringat betapa halus sikap puteri itu terhadap dirinya ketika dia dahulu sengaja menghadang perjalanan rombongan puteri ini di dekat sungai, betapa halus puteri itu minta kepadanya agar dia pergi karena Sang Puteri hendak turun mandi di sungai!

Teringat pula olehnya betapa Syanti Dewi juga bersikap halus sekali, jauh bedanya dengan sikap kasar Lu Ceng ketika dia menyamar sebagai tukang perahu dan “menolong” mereka dengan perahunya. Gara-gara kenakalan Ceng Ceng maka dia terpaksa berpisah dan kehilangan mereka! Bahkan hampir saja kitab-kitab dalam bungkusannya lenyap di dasar sungai karena dibuang oleh gadis galak itu.

Di kota Koan-bun, secara kebetulan sekali dia bertemu dengan Syanti Dewi! Mula-mula bahkan melihat puteri itu di dusun Ang-kiok-teng di dalam warung. Betapa dia ingin merampas puteri itu di waktu itu juga. Akan tetapi sungguh tidak beruntung baginya, puteri itu disertai tiga orang yang demikian lihainya.

Dua orang pemuda itu saja sudah amat lihai, dan dia ingat bahwa mereka adalah orang-orang yang pernah menolong Jenderal Kao, dengan sendirinya mereka tentulah orang-orang pemerintah, mungkin mata-mata yang memiliki kepandaian lihai.

Juga orang tua itu, sungguh amat lihai dan tidak boleh dipandang ringan sama sekali apalagi orang setengah tua itu disebut paman oleh mereka. Di kota Koan-bun dia telah diam-diam membayangi mereka, akan tetapi kedatangan pasukan liar dari Tambolon mengakibatkan geger, ditambah lagi dengan gerakan orang-orang pemerintah dan pendudukan kota Koan-bun oleh Panglima Kim Bouw Sin, membuat dia kembali kehilangan Syanti Dewi di antara orang banyak. Dia sudah mengerahkan kaki tangannya untuk mencari di seluruh kota Koan-bun, namun hasilnya sia-sia.

Gadis bangsawan itu seperti lenyap ditelan bumi tidak meninggalkan bekas. Hal inilah yang membuat Tek Hoat termenung dengan hati kesal dan murung, kehilangan kegembiraan hatinya, sungguhpun kini gerakan pemberontakan mulai maju dan hal ini berarti bahwa cita-citanya makin mendekati kenyataan.

Dia sendiri merasa heran mengapa setelah kini bertemu dengan Syanti Dewi, dia menjadi kehilangan gairahnya terhadap cita-citanya, bahkan hampir tidak mempedulikan lagi tentang usaha pemberontakan yang dipimpin oleh Pangeran Liong.

“Semua gara-gara gadis laknat si Lu Ceng itu,” pikirnya gemas.

Kalau tidak ada Lu Ceng, tentu sekarang dia masih berdekatan dengan Syanti Dewi. Akan tetapi, dia sendiri merasa heran mengapa kalau dia sudah bertemu dengan Lu Ceng yang nakal itu, dia seperti mati kutu, padahal biarpun gadis itu memiliki ilmu tentang racun yang amat lihai, dia toh akan dapat mengalahkan gadis itu dengan mudah. Ada sesuatu yang aneh terjadi kalau dia berhadapan dengan Lu Ceng, ada sesuatu pada diri gadis itu yang membuat dia tidak tega untuk memusuhinya!

Kini dia mengalihkan kemendongkolan hatinya pada dua orang pemuda tampan yang menemani puteri itu, dan kepada orang setengah tua gagah sederhana itu. Mereka itulah yang menjadi penghalang sehingga kembali dia kehilangan Syanti Dewi.

Tadinya dia hampir berhasil menawan atau membunuh dua orang pemuda itu, dengan bantuan tiba-tiba dari Hek-wan Kui-bo Si Nenek Hitam buruk yang muncul membantunya, bahkan seorang di antara dua orang pemuda itu telah terluka parah. Akan tetapi, ini pun akhirnya gagal karena pemuda yang terluka itu dapat melenyapkan diri sedangkan pemuda yang ke dua telah ditolong oleh laki-laki setengah tua yang amat hebat ilmunya itu! Sungguh sial! Seolah-olah segala yang dipegangnya tidak berhasil baik!

Setelah Pangeran Liong Khi Ong memasuki gedung yang disediakan untuknya, Tek Hoat diperbolehkan mengaso dan pemuda ini memasuki kamarnya sendiri. Dia melempar tubuhnya ke atas pembaringan dan memejamkan mata, mengenangkan semua pengalamannya semenjak dia meninggalkan ibunya.

Betapa lama sudah dia meninggalkan ibunya di puncak Bukit Angsa di lembah Huang-ho. Teringat akan ibunya, timbul rasa rindu di dalam hatinya. Sesungguhnya, di lubuk hatinya terdapat rasa kasih sayang yang amat besar terhadap ibu kandungnya, juga perasaan iba yang besar. Teringat dia ketika beberapa tahun yang lalu dia meninggalkan ibunya, dia berjanji akan pulang menengok ibunya. Kenyataannya, sudah lima enam tahun dia pergi, tidak pernah dia pulang ke Bukit Angsa! Sungguh kasihan ibunya, hidup seorang diri, menanti-nanti kedatangannya.

“Kau anak tidak berbakti!” Dia memaki dirinya sendiri. “Sebetulnya engkau sudah harus pulang.”

“Tidak!” Bentaknya sambil membuka kembali matanya. “Kalau aku pulang dalam keadaan begini saja, tentu hati ibu akan kecewa. Tidak! Aku baru akan pulang kalau cita-citaku sudah berhasil, menjadi raja atau pangeran atau setidaknya seorang pembesar yang berkedudukan tinggi dan mulia di kota raja. Baru aku akan pulang menjemput ibuku dengan segala hormat....”

Dia lalu memejamkan matanya kembali, membayangkan betapa dia menjemput ibunya dengan kereta besar dan mewah, dikawal pasukan yang gagah, kemudian mengajak ibunya memasuki sebuah istana miliknya sendiri! Betapa ibunya akan girang dan bangga!

Dan dari dalam istana itu menyambut keluar mantu ibunya, Puteri Syanti Dewi yang cantik jelita! Puteri Raja Bhutan. Betapa ibunya akan makin bangga dan dia.... ahhh! Tek Hoat bangkit dan duduk, bertopang dagu. Dia melamun terlalu jauh, sedangkan puteri itu pun berada di mana dia tidak tahu. Mengapa dia bermalas-malas seperti ini?

Tek Hoat cepat meloncat, berganti pakaian lalu berlari keluar setelah memberitahukan pengawal dalam bahwa kalau Pangeran Liong Khi Ong bertanya tentang dia agar dikatakan bahwa dia pergi berjalan-jalan untuk memeriksa keadaan. Tek Hoat lalu memasuki kota Tek-bun yang sudah mulai normal kembali karena Panglima Kim Bouw Sin dengan tangan besi memaksakan keamanan dan ketenteraman di kota yang dijadikan benteng pemberontak itu.

Penjagaan di seluruh kota amat ketat dan pengawasan amat cermat sehingga agaknya amat sukarlah bagi mata-mata pemerintah untuk menyusup ke dalam kota pemberontak ini tanpa diketahui.






Tek Hoat yang sudah banyak dikenal oleh para perwira yang memimpin penjagaan dan perondaan kota sebagai tangan kanan Pangeran Liong Khi Ong yang memiliki kepandaian amat tinggi, berkali-kali disapa dengan hormat oleh mereka dan dibalasnya dengan anggukan kepala tak acuh karena hatinya sedang kesal.

Dia tidak ingin mencari Syanti Dewi di kota Koan-bun lagi karena ada belasan orang kaki tangannya yang sudah diberi tugas untuk mencari gadis itu di sana. Tiba-tiba timbul pikiran yang aneh dalam kepalanya. Siapa tahu, yang dicarinya itu berada di Teng-bun! Betapapun aneh dan tidak masuk akalnya, dugaan ini, akan tetapi siapa tahu!

Dia teringat betapa teman-teman puteri itu adalah orang-orang yang tinggi sekali ilmunya, siapa tahu dia yang membawa puteri itu menyelundup ke pusat pemberontak ini! Mulailah dia memasang mata memperhatikan keadaan sekelilingnya.

Karena dia kini mulai memandang ke sekeliling dengan penuh kewaspadaan, maka tiba-tiba dia dapat melihat munculnya sesosok bayangan orang di antara kemuraman cuaca senja hari itu. Sosok bayangan tubuh seorang nenek bertongkat, nenek yang buruk rupa, yang telah membantunya menghadapi dua orang pemuda pengawal Syanti Dewi yang lihai.

Nenek yang mengaku berjuluk Hek-wan Kui-bo, Si Iblis Lutung Hitam! Mau apa nenek aneh itu berkeliaran di Teng-bun? Padahal dia tahu betul bahwa nenek itu tidak mempunyai hubungan apa-apa dengan Pangeran Liong atau para pimpinan pemberontak lainnya. Bagaimana nenek ini dapat memasuki Teng-bun? Memang tidak begitu mengherankan andaikata nenek ini dapat menerobos penjagaan yang ketat karena memang nenek ini memiliki kepandaian hebat, akan tetapi, apakah kehendaknya memasuki benteng ini?

Dengan beberapa langkah saja Tek Hoat dapat mengejarnya.
“Perlahan dulu, Hek-wan Kui-bo!”

Nenek itu terkejut bukan main, tubuhnya membalik dan tahu-tahu ujung tongkatnya sudah menyambar ke arah jalan darah di dada Tek Hoat dengan serangan totokan maut yang amat berbahaya.

“Siuuutttt.... plakk!”

Tek Hoat terpaksa menangkis dengan tangan yang dimiringkan karena serangan itu dahsyat dan berbahaya sekali.

“Ihhh.... wah, kiranya engkau, orang muda yang tampan dan gagah perkasa? Hi-hik, hampir saja engkau mampus di ujung tongkatku!”

Merah muka Tek Hoat mendengar ini dan ia tersenyum mengejek. Kalau saja nenek ini tidak pernah membantunya, tentu sudah diserangnya nenek ini yang begitu memandang rendah kepadanya.

“Hemm, kurasa tidaklah begitu mudah, Kui-bo!”

Nenek itu tertawa. Makin menjijikkan mukanya ketika dia tertawa. Muka yang kelaki-lakian dan buruk itu menjadi makin buruk karena kini mulutnya terbuka dan kelihatan tiga buah giginya yang besar-besar dan bergantung saling berjauhan, sehingga kelihatan seperti mulut binatang yang bertaring.

“Aku tahu.... aku tahu, engkau adalah Si Jari Maut, pembantu yang amat sakti dari Pangeran Liong, bukan? Masih begini muda sudah memiliki kepandaian hebat, sungguh mengagumkan.”

Tek Hoat merasa tidak suka kepada nenek ini. Wajah buruk itu membayangkan banyak sekali kepalsuan yang mengerikan.

“Hek-wan Kui-bo, apakah maksud kedatanganmu menyelundup ke Teng-bun ini?”

“Hi-hik, engkau mencurigai aku? Aku sudah membantu menghadapi dua orang mata-mata pemerintah yang masih muda-muda dan juga lihai itu.”

“Dalam kedaan seperti sekarang ini, siapapun harus dicurigai, dan kami semua tidak tahu apa maksud kedatangan seorang tokoh seperti engkau, Kui-bo.”

“Hi-hi-hik, apa sih yang diinginkan seorang nenek seperti aku? Laki-laki muda dan tampan? Wah, aku sudah muak dan tidak ada lagi nafsu di tubuhku yang tua! Kekayaan? Untuk apa? Memakai segala yang indah pun aku tidak akan dapat menjadi cantik, makan yang bagaimana mahal dan lezat pun, gigiku yang tidak lengkap akan mendatangkan rasa yang tidak enak! Akan tetapi kedudukan! Nah, itu! Nama besar, wah, itu masih kuperlukan. Kemuliaan dan penghormatan! Eh, orang muda, aku ingin bertemu dengan Liong Bin Ong atau Liong Khi Ong!”

“Mau apa?”

“Aku ingin membantu pemberontakannya dengan janji bahwa aku kelak akan mendapatkan balas jasa yang berupa pangkat dan kedudukan terhormat di dalam istana! Aku Hek-wan Kui-bo yang selalu dipandang rendah, dianggap iblis, aku ingin kelak mati sebagai seorang paduka yang mulia, ditangisi oleh rakyat senegara dan dibikin bong-pai (nisan) yang paling mewah dan besar, disembahyangi sampai ribuan tahun!”

Tek Hoat muak mendengar ini, akan tetapi dia pun tahu bahwa tenaga nenek ini memang amat diperlukan di waktu itu.

“Hek-wan Kui-bo, tidaklah mudah untuk bertemu dengan kedua orang pangeran itu. Biasanya, sebelum orang diterima menjadi pembantu, dia harus memperlihatkan kecakapannya lebih dulu, harus membuat jasa lebih dulu. Apakah jasamu terhadap pemerintah baru yang dipimpin oleh kedua orang Pangeran Liong?”

“Hi-hi-hi-hik, jadi di sini ada pula peraturan sogokan? Ha-ha-ha, jangan khawatir, orang muda. Aku sudah siap dengan barang sogokan yang tentu akan menggirangkan hati Pangeran Liong Khi Ong!”

Tek Hoat mengerutkan alisnya.
“Sogokan? Apa maksudmu?”

“Aih-aihh.... kura-kura dalam perahu, ya? Pura-pura tidak tahu! Siapakah di dunia ini yang tidak mengenal sogokan? Aku mendengar bahwa seorang di antara kedua orang pangeran tua itu, seperti hampir semua lakl-laki di dunia ini, mahluk menyebalkan, gila akan wajah cantik dan tubuh mulus seorang perawan remaja! Nah, jasaku yang pertama untuk Pangeran Liong Khi Ong adalah persembahanku berupa seorang dara remaja yang cantik jelita!”

Tek Hoat menjadi makin sebal.
“Hemm, Hek-wan Kui-bo, mengingat bahwa engkau pernah membantuku, aku tidak menaruh curiga kepadamu. Akan tetapi jangan engkau bermain gila dalam keadaan seperti ini. Tak perlu kututupi bahwa Pangeran Liong Khi Ong sekarang memang berada di Teng-bun dan memang beliau seorang laki-laki tua yang suka kepada wanita muda, akan tetapi jangan harap kalau engkau dapat bertemu dengan dia hanya karena engkau dapat mempersembahkan seorang gadis muda. Beliau sudah tidak kekurangan penghibur berupa banyak dara-dara jelita!”

“Eh-eh, jangan engkau memandang rendah, ya? Gadis jelita di seluruh Teng-bun ini, bahkan di seluruh daratan, belum tentu dapat menyamai gadis yang akan kupersembahkan sebagai uang sogokan atau uang kunci ini! Tidak ada keduanya! Bukan perawan biasa, bukan cantik sembarang cantik. Aku adalah seorang wanita tua, aku lebih tahu tentang kecantikan wanita daripada kalian kaum pria! Aku tahu mana kecantikan asli, mana pulasan! Aku sendiri dahulu di waktu muda pun cantik jelita, akan tetapi terus terang saja, dibandingkan dengan perawan ini, aku mengaku kalah jauh!”

“Sudahlah, Hek-wan Kui-bo, harap jangan engkau mimpi yang bukan-bukan. Tunjukkan jasamu untuk perjuangan, baru aku ada pikiran untuk membawamu menghadap Pangeran Liong Khi Ong. Urusan kecil mengenai gadis itu tidak perlu kau sebut-sebut lagi....”

“Urusan kecil! Mulut besar! Kau bilang urusan kecil, ya? Kau tahu, aku berani tanggung bahwa dia itu adalah keturunan raja, dia pasti seorang puteri bangsawan tinggi, dan bukan berdarah pribumi! Kalau Pangeran Liong melihatnya....”

Tiba-tiba perhatian Tek Hoat tertarik. Tentu saja! Siapa lagi kalau bukan Syanti Dewi yang dimaksudkan oleh nenek ini?

“Dari mana engkau memperoleh dia itu?” tanyanya dengan suara datar sambil menekan guncangan hatinya.

“Heh-heh, jangan kau memandang rendah, ya? Susah payah aku membawanya dari himpitan orang-orang yang panik ketika terjadi geger di Koan-bun, susah payah aku membujuknya dan susah payah pula aku menyelundupkannya ke Teng-bun untuk kupersembahkan kepada Pangeran Liong Khi Ong agar aku diterima membantunya, eh.... kau mengatakannya urusan kecil! Apa kau berarti menantangku, orang muda?” Nenek itu sudah melintangkan tongkatnya di depan dada, sikapnya menantang dan marah sekali.

Jantung Tek Hoat terguncang makin keras. Kalau saja cuaca tidak menjadi makin gelap, tentu akan tampak perubahan pada wajahnya yang tampan. Dia yakin kini bahwa yang dimaksudkan nenek iblis ini adalah Syanti Dewi! Pantas saja disuruhnya cari di seluruh pelosok kota Koan-bun tidak berhasil, kiranya gadis itu terjatuh ke dalam tangan nenek ini dan diselundupkan ke Teng-bun!

“Hemmm, baiklah.... baiklah....! Aku percaya kepadamu, akan tetapi aku harus melihat dulu orangnya untuk kunilai apakah dia patut dipersembahkan kepada Pangeran Liong Khi Ong. Engkau harus mengerti bahwa saat ini dia dikelilingi banyak gadis cantik, maka kalau persembahanmu itu tidak istimewa sekali, tentu beliau akan marah terganggu.”

“Boleh-boleh, kau boleh melihatnya sendiri!” nenek itu berkata penuh keyakinan dan Tek Hoat lalu mengikuti nenek ini berjalan menyusuri jalan raya itu.

Kini nenek itu berjalan dengan terang-terangan karena dia tidak takut lagi berjumpa dengan para penjaga yang semua mengenal Tek Hoat bahkan menghormatinya.

Tek Hoat heran bukan main ketika mendapat kenyataan bahwa nenek itu membawanya ke sebuah rumah gedung yang berdekatan dengan gedung yang dipergunakan sebagai tempat tinggal oleh Pangeran Liong Khi Ong. Dia tahu bahwa gedung itu adalah milik seorang hartawan di kota Teng-bun.

“Eh, bagaimana kau dapat tinggal di sini, Kui-bo? Apakah engkau masih ada hubungan dengan Coa-wangwe (Hartawan Coa)?”

Nenek itu terkekeh.
“Tentu saja ada hubungannya, masuklah!”

Mereka memasuki lewat pintu samping yang kecil dan makin heranlah Tek Hoat karena tidak ada penjaga seorang pun di situ, juga tidak nampak seorang pun pelayan. Nenek itu sambil terkekeh mendahului Tek Hoat memasuki ruangan besar di tengah gedung dan terkejutlah Tek Hoat ketika melihat semua keluarga Coa termasuk semua pelayannya duduk berjajar-jajar di atas lantai ruangan itu, semuanya terbelenggu dan tidak mampu bergerak atau bersuara karena mereka telah tertotok gagu semua!

“He-he-he, aku terpaksa meminjam tempat mereka selama menanti diterimanya oleh Pangeran. Kelak belum terlambat bagiku untuk minta maaf kepada mereka ini yang telah berjasa kepadaku, hi-hi-hik!”

“Bebaskan mereka!”

Tek Hoat berkata, menahan kemarahannya. Keluarga hartawan Coa ini adalah sahabat baik Panglima Kim Bouw Sin dan sudah banyak menyumbang untuk usaha pemberontakan itu.

“Heh-heh, bagaimana kalau mereka melarang kami....”

“Bebaskan, kalau engkau memang mempunyai makaud baik dengan kami semua, Kui-bo!”

“Hi-hi-hik, kau berwibawa juga, orang muda! Ha-ha, bebas, bebaslah....!”

Nenek itu berloncatan di antara orang-orang itu dan tongkatnya bergerak. Demikian cepatnya tongkat itu bergerak-gerak dan belenggu-belenggu itu beterbangan, semua orang itu terbebas dari belenggu dan dapat bergerak kembali. Diam-diam Tek Hoat memandang gerakan ini dan harus mengakui bahwa nenek ini benar-beinar lihai, di samping wataknya yang ku-koai (aneh).

“Mari, mari kau lihat bidadariku....”

Tek Hoat menghampiri Coa-wangwe yang sudah bangkit berdiri, menjura dan berkata,
“Harap Coa-wangwe memaafkan perbuatan nenek yang aneh ini dan tidak perlu ribut-ribut karena aku sendiri yang akan mengurus dan membereskannya.”

Coa-wangwe yang sudah mengenal Tek Hoat, mengangguk, dan Tek Hoat lalu mengikuti nenek itu memasuki sebuah kamar yang besar dan mewah karena kamar ini adalah kamar tidur sendiri dari Coa-wangwe.

Di sudut kamar terdapat sebuah pembaringan yang terukir indah sekali, dengan kasur dan tilam sutera yang berkembang dan dihias sulaman. Meja kecil di depan pembaringan itu juga terukir, dan sebuah lampu penerangan tergantung dari gantungan yang berupa burung emas!

“Lihat.... heh-heh-heh, lihat baik-baik.... pernahkah engkau melihat puteri secantik dia?”

Nenek itu menuding ke arah pembaringan di mana rebah seorang gadis dalam keadaan tidur pulas.

Tek Hoat berdiri tegang, jantungnya berdebar penuh kegirangan dan juga ketegangan. Gadis itu tidur dengan bibir agak tersenyum, lengan kanan tergantung sedikit di tepi pembaringan, tangan kiri di atas perut, pakaiannya sederhana saja akan tetapi kesederhanaan pakaiannya itu tidak menyembunyikan keagungan wajah. Puteri Bhutan itu bahkan membuat kecantikannya makin menonjol.

Memang siapa lagi puteri itu kalau bukan Syanti Dewi? Seperti telah kita ketahui, puteri ini terpisah dari Gak Bun Beng, Suma Kian Lee dan Suma Kian Bu ketika terjadi geger di kota Koan-bun. Dia ikut terseret oleh arus manusia yang berhimpit-himpit itu. Di dalam segala hal, manusia selalu berebutan, selalu memikirkan kepentingan diri pribadi. Di waktu tidak ada bahaya mengancam diri, manusia berlumba dan saling memperebutkan harta benda, kedudukan, atau nama dan dalam perebutan ini siapa yang menghalang di jalan akan diterjang.

Demikian pula di dalam keadaan bahaya mengancam, mereka juga berebutan, saling memperebutkan keselamatan diri masing-masing tanpa menghiraukan orang lain, siapa yang menghalang di depan akan diterjangnya, bahkan setiap orang akan tidak malu-malu atau ragu-ragu untuk menggunakan mayat orang lain sebagai batu loncatan menuju ke arah keselamatan diri sendiri!

Syanti Dewi yang tadinya masih mempunyai harapan akan dapat tersusul oleh tiga orang temannya itu atau setidaknya oleh seorang di antara mereka, menjadi panik juga ketika makin lama makin jauh terseret sampai tidak dapat melihat Gak Bun Beng atau dua orang saudara Suma.

Akhirnya dia tiba di tempat yang tidak begitu penuh orang karena pasukan itu telah lewat dan dia cepat mundur sampai mepet di tembok rumah agar tidak terseret terus makin menjauh. Dia memandang ke kanan kiri dengan muka pucat dan sepasang matanya membayangkan kekhawatiran.

“Nona yang cantik, engkau mencari siapakah?”

Tiba-tiba dia mendengar suara orang dan ketika dia menoleh, dia terkejut melihat seorang nenek yang mukanya buruk sekali, kasar, hitam, rambutnya riap-riapan dan memegang sebatang tongkat yang bentuknya seperti ular. Akan tetapi karena betapa buruknya pun orang itu hanya seorang wanita tua, Syanti Dewi menjawab,

“Aku terseret arus manusia dan terpaksa berpisah dari teman-temanku, Nek. Aku khawatir sekali, bagaimana dapat menemukan mereka kembali dalam arus manusia sebanyak itu?”

“Aduh kasihan.... Nona tentu bukan orang sini....”

“Bagaimana engkau bisa menduga begitu, Nek?”

“Hi-hik, aku hanya menduga-duga.... jangan khawatir, Nona. Aku akan membantumu mencarikan teman-temanmu itu. Mari, pegang tongkatku.”

Karena sedang panik, tentu saja uluran tangan siapa pun untuk membantunya mencari tiga orang temannya itu merupakan hal yang amat menggembirakan.

“Terima kasih, nenek yang baik,” katanya dan tanpa ragu-ragu lagi dia menggandeng nenek itu, bukan memegang tongkatnya, melainkan memegang tangan kirinya.

Baru dia terkejut sekali ketika mendapat kenyataan betapa nenek itu dapat berjalan cepat sekali, menyelinap dan menyusup di antara orang banyak sambil menariknya, dan dengan sedikit terdorong tangannya saja dia sudah dapat membuat banyak orang yang menghalangi jalannya terdorong tumpang tindih sehingga terkuak jalan untuk mereka!

“Aihh, kiranya engkau lihai sekali, Nek!” Syanti Dewi berkata.

“Hi-hi-hik, kalau Hek-wan Kui-bo tidak lihai, siapa lagi yang lihai di dunia ini?”

Semenjak keluar dari istana Bhutan, Syanti Dewi terus-menerus mengalami hal-hal yang luar biasa dan dia bahkan terseret-seret ke dalam dunia persilatan di mana dia bertemu dengan banyak tokoh persilatan yang lihai-lihai. Oleh karena ini maka begitu melihat nenek yang lihai ini dan mendengar julukannya yang menyeramkan, yaitu Biang Setan Lutung Hitam, mengertilah dia bahwa dia terjatuh ke dalam tangan seorang tokoh hitam yang menyeramkan!

Akan tetapi dengan pembawaannya yang tenang Syanti Dewi tidak memperlihatkan sikap takut, melainkan menoleh ke kanan kiri, mencari-cari tiga orang temannya itu. Kalau saja dia dapat melihat seorang di antara mereka! Dia tidak akan terancam lagi oleh nenek ini! Akan tetapi dia tidak melihat seorang pun di antara mereka, dan nenek itu sudah menariknya lagi.

“Nanti dulu, Kui-bo. Kita berhenti dan cari mereka di sini!” Syanti Dewi berkata, menyebut “Kui-bo” seolah-olah tanpa mengerti artinya.

“Heh-heh, hayo ikut dengan aku. Seorang dara jelita seperti engkau ini amat berbahaya kalau berkeliaran seorang diri di tempat ini dalam keadaan seperti sekarang ini. Apa kau lebih suka dilarikan serdadu-serdadu dan diperkosa oleh mereka?”

Tentu saja Syanti Dewi terkejut mendengar ini, memandang nenek itu dengan mata terbelalak dan menggeleng kepalanya.

“Heh-heh, nah, kalau begitu hayo ikut dengan aku, kucarikan tempat yang baik untukmu. Orang seperti engkau ini pantasnya berada di dalam kamar seorang raja atau pangeran!”

Dia menarik terus sampai mereka tiba di pintu gerbang kota Koan-bun. Tiba-tiba Syanti Dewi merasa betapa pundaknya nyeri dan tahu-tahu tubuhnya telah menjadi lemas dan dia dipondong dan dibawa meloncat oleh nenek itu keluar dari kota Koan-bun melalui tembok pagar yang tinggi!

Setelah nenek itu turun ke luar tembok dan lari cepat sekali, Syanti Dewi yang tak mampu bergerak itu berkata,

“Kui-bo, lepaskan aku!”

Mereka telah berada jauh dari kota dan di tempat sunyi. Sambil terkekeh Hek-wan Kui-bo membebaskan totokannya dan menurunkan tubuh Syanti Dewi. Dara ini membalik, menghadapi nenek itu tanpa sikap takut sama sekali, kemarahan berpancar dari sepasang matanya yang indah dan dia menegur,

“Hek-wan Kui-bo, katakanlah sejujurnya, engkau ini hendak membantuku mencari teman-temanku ataukah mempunyai niat lain yang tidak baik?”

Nenek itu tersenyum dan memandang penuh perhatian kepada dara yang berdiri di depannya. Kecantikannya yang tidak dapat disembunyikan dengan pakaian sederhana, sikapnya yang agung dari cara dara itu menggerakkan kepala dan cara dia memandang, dari gerak bibir dari dagunya, semua itu tidak luput dari penilaian Hek-wan Kui-bo.

“Nona yang baik, engkau puteri dari manakah?”

Syanti Dewi terkejut, akan tetapi dengan sikap biasa dia berkata,
“Aku seorang gadis biasa yang terpisah dari keluargaku dalam keributan dikota itu.”

“He-heh-heh, engkau tidak bisa membohongi Hek-wan Kui-bo. Engkau tentu seorang puteri bangsawan tinggi, dari suku bangsa lain di luar daerah.”

“Sudahlah, Kui-bo. Aku menghaturkan terima kasih atas pertolonganmu, dan kalau engkau mempunyai keperluan lain, biarlah aku sendiri kembali ke Koan-bun untuk mencari keluargaku yang terpisah dariku”.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar