Syanti Dewi menjura lalu membalikkan tubuhnya dan melangkah pergi. Akan tetapi dia melihat bayangan hitam berkelebat dan apa yang dikhawatirkannya terjadi. Nenek itu sambil menyeringai telah berdiri di depannya!
“Jangan tergesa-gesa, Nona manis! Sudah kukatakan bahwa seorang dara seperti engkau sepatutnya berada di kamar seorang raja atau pangeran dan engkau akan membantu aku berhubungan dengan Pangeran! Haya!”
Tiba-tiba nenek itu menerkamnya. Syanti Dewi yang sedikit banyak pernah belajar ilmu silat, mencoba untuk mengelak dan memukul leher nenek itu.
“Dukkkk!”
Pukulannya mengenai leher dengan tepat akan tetapi diterima sambil tertawa saja oleh Hek-wan Kui-bo yang sudah mengempit tubuhnya dan membawanya lari cepat sekali! Syanti Dewi memukul-mukul sampai akhirnya nenek itu kembali menotoknya sehingga dia tidak mampu bergerak lagi dan terpaksa memejamkan mata karena merasa ngeri dibawa lari seperti terbang cepatnya itu.
Dengan mempergunakan ilmunya yang tinggi mudah saja malam itu Hek-wan Kui-bo memasuki kota Teng-bun yang terjaga ketat oleh pasukan tentara pemberontak. Seperti seekor burung gagak, dia meloncati pagar tembok sambil mengempit tubuh Syanti Dewi, kemudian setelah menyelinap di antara rumah-rumah penduduk, akhirnya dia memasuki pekarangan belakang gedung Coa-wangwe.
Malam itu Coa-wangwe sekeluarga sudah tidur pulas di kamar masing-masing. Mereka merasa aman karena Coa-wangwe adalah seorartg yang kaya-raya dan pandai mempergunakan kekayaannya untuk memperoleh kedudukan yang baik dalam pandangan para pimpinan pemberontak.
Dia bersahabat baik dengan panglima pernberontak Kim Bouw Sin, bahkan siang tadi dia memperoleh kehormatan untuk menyambut tamu agung, Pangeran Liong Khi Ong yang memasuki Teng-bun secara menyamar. Gedung itu terjaga oleh sepasukan pengawal terdiri dari lima orang jagoan yang memiliki kepandaian tinggi dan semua pintu dan jendela terbuat dari kayu-kayu tebal dan semua terkunci rapat.
Akan tetapi, betapa kagetnya Coa-wangwe dan isterinya ketika tiba-tiba mereka tersentak bangun karena selimut mereka direnggut orang. Mereka bangkit duduk dengan mata terbuka lebar dan melihat seorang nenek tua berwajah buruk sekali telah berada di depan pembaringan mereka.
Nyonya Coa hendak menjerit, akan tetapi sinar hitam berkelebat dan ujung tongkat itu telah menotok lehernya, membuat dia terjatuh rebah kembali dan teriakannya tidak mengeluarkan suara! Juga tongkat itu menyambar ke arah Coa-wangwe yang menjadi lemas.
Mereka berdua lalu diikat dan urat gagu mereka ditotok, kemudian diseret ke ruangan tengah dan dilemparkan ke sudut ruangan di mana telah penuh dengan para pengawal, pelayan dan keluarga lain, pendeknya Coa-wangwe suami isteri merupakan orang-orang terakhir dari seluruh penghuni rumah itu yang menjadi tawanan, terbelenggu dan tertotok sehingga selain tidak mampu bergerak juga tidak mampu bersuara.
Coa-wangwe melihat ke arah lima orang jagoannya dan mereka ini hanya terbelalak penuh ketakutan memandang kepada nenek itu yang selalu terkekeh-kekeh seperti orang gila. Mereka masih merasa ngeri karena tadi tahu-tahu ada nenek buruk muncul di depan mereka. Lima orang pengawal dan penjaga itu sudah serentak mengepung dan menyerang dengan golok mereka, akan tetapi nenek itu menggerakkan tongkatnya, tiga batang golok patah, dua batang golok yang tepat mengenai punggung dan kepala nenek itu terpental seperti menghantam balok besi dan di lain saat sinar hitam tongkat itu berkelebat dan mereka roboh tanpa mereka ketahui bagaimana cara dan apa sebabnya!
Syanti Dewi tidak berdaya sama sekali ketika dia dituntun oleh nenek itu memasuki kamar Coa-wangwe yang indah dan megah. Dia duduk di atas kursi memandang nenek itu setelah totokannya dibebaskan, dan dengan suara halus dia bertanya,
“Hek-wan Kui-bo, engkau telah merampas rumah orang dan membawaku ke sini. Apakah sebenarnya kehendakmu?”
Kembali nenek itu tertegun. Sikap yang tenang dan agung itu, suara yang masih seperti orang memandang rendah kepadanya, sikap seorang ratu! Dalam keadaan terculik seperti itu, kalau lain gadis tentu akan menangis dan minta-minta ampun, minta dibebaskan. Akan tetapi gadis ini agaknya malah menguasai keadaan, mengajukan pertanyaan kepadanya seperti seorang dewasa bertanya kepada seorang anak kecil yang nakal!
“Kalau aku menyembelihmu di sini, mencincang tubuhmu sampai hancur lebur, bagaimana, heh-heh!”
Nenek itu mengancam untuk menakut-nakuti gadis itu. Dia merasa tersinggung juga bahwa dia yang begitu hebat dan lihai sama sekali tidak ditakuti oleh gadis ini, gadis lemah ini, padahal lima orang jagoan penjaga gedung itu jelas merasa takut dan ngeri.
Sepasang mata indah itu sama sekali tidak berkedip, tanda bahwa ucapan yang mengandung ancaman gertakan itu sama sekali tidak mengusik hati dara jelita itu. Bahkan bibir yang merah dan bentuknya seperti gendewa terpentang itu membentuk senyum ketika hendak berkata,
“Hek-wan Kui-bo, entah berapa puluh kali hidupku terancam maut sehingga kematian bagiku bukanlah hal yang menimbulkan rasa takut lagi. Aku tentu tidak akan mampu mempertahankan diri dan melawanmu jika engkau hendak membunuhku, akan tetapi hal itu pasti tidak akan kau lakukan.”
“Eh....? Kalau kulakukan sekarang, kau mau apa?”
Syanti Dewi menggeleng kepalanya.
“Orang seperti engkau hanya akan melakukan sesuatu yang menguntungkan dirimu, Nenek yang baik. Kalau engkau ingin membunuhku, tentu tidak susah-susah kau membawaku ke sini, dan aku tidak melihat keuntungan apa-apa bagimu kalau kau membunuhku.”
Nenek itu terbelalak, kaget dan tertawa bergelak.
“Heh-heh-khek-khek-khek! Engkau cerdas sekali! Memang aku tidak membunuhmu, anak yang baik dan cantik! Tidak, malah engkau akan kumuliakan hidupmu. Kau tunggulah saja di sini, dan besok engkau tentu akan berada di pangkuan seorang pangeran dan engkau akan berterima kasih kepada Hek-wan Kui-bo, hah-ha-ha-ha!”
Sekali ini di dalam hatinya Syanti Dewi merasa ngeri. Samar-samar dia dapat menduga bahwa tentu dia akan “dijual” oleh nenek iblis ini kepada seorang laki-laki yang suka membayarnya, bukan dengan harta karena pemilik gedung ini pun seorang hartawan, melainkan membelinya dengan kedudukan. Karena itulah maka nenek ini selalu menyebut raja atau pangeran!
“Jangan tergesa-gesa, Nona manis! Sudah kukatakan bahwa seorang dara seperti engkau sepatutnya berada di kamar seorang raja atau pangeran dan engkau akan membantu aku berhubungan dengan Pangeran! Haya!”
Tiba-tiba nenek itu menerkamnya. Syanti Dewi yang sedikit banyak pernah belajar ilmu silat, mencoba untuk mengelak dan memukul leher nenek itu.
“Dukkkk!”
Pukulannya mengenai leher dengan tepat akan tetapi diterima sambil tertawa saja oleh Hek-wan Kui-bo yang sudah mengempit tubuhnya dan membawanya lari cepat sekali! Syanti Dewi memukul-mukul sampai akhirnya nenek itu kembali menotoknya sehingga dia tidak mampu bergerak lagi dan terpaksa memejamkan mata karena merasa ngeri dibawa lari seperti terbang cepatnya itu.
Dengan mempergunakan ilmunya yang tinggi mudah saja malam itu Hek-wan Kui-bo memasuki kota Teng-bun yang terjaga ketat oleh pasukan tentara pemberontak. Seperti seekor burung gagak, dia meloncati pagar tembok sambil mengempit tubuh Syanti Dewi, kemudian setelah menyelinap di antara rumah-rumah penduduk, akhirnya dia memasuki pekarangan belakang gedung Coa-wangwe.
Malam itu Coa-wangwe sekeluarga sudah tidur pulas di kamar masing-masing. Mereka merasa aman karena Coa-wangwe adalah seorartg yang kaya-raya dan pandai mempergunakan kekayaannya untuk memperoleh kedudukan yang baik dalam pandangan para pimpinan pemberontak.
Dia bersahabat baik dengan panglima pernberontak Kim Bouw Sin, bahkan siang tadi dia memperoleh kehormatan untuk menyambut tamu agung, Pangeran Liong Khi Ong yang memasuki Teng-bun secara menyamar. Gedung itu terjaga oleh sepasukan pengawal terdiri dari lima orang jagoan yang memiliki kepandaian tinggi dan semua pintu dan jendela terbuat dari kayu-kayu tebal dan semua terkunci rapat.
Akan tetapi, betapa kagetnya Coa-wangwe dan isterinya ketika tiba-tiba mereka tersentak bangun karena selimut mereka direnggut orang. Mereka bangkit duduk dengan mata terbuka lebar dan melihat seorang nenek tua berwajah buruk sekali telah berada di depan pembaringan mereka.
Nyonya Coa hendak menjerit, akan tetapi sinar hitam berkelebat dan ujung tongkat itu telah menotok lehernya, membuat dia terjatuh rebah kembali dan teriakannya tidak mengeluarkan suara! Juga tongkat itu menyambar ke arah Coa-wangwe yang menjadi lemas.
Mereka berdua lalu diikat dan urat gagu mereka ditotok, kemudian diseret ke ruangan tengah dan dilemparkan ke sudut ruangan di mana telah penuh dengan para pengawal, pelayan dan keluarga lain, pendeknya Coa-wangwe suami isteri merupakan orang-orang terakhir dari seluruh penghuni rumah itu yang menjadi tawanan, terbelenggu dan tertotok sehingga selain tidak mampu bergerak juga tidak mampu bersuara.
Coa-wangwe melihat ke arah lima orang jagoannya dan mereka ini hanya terbelalak penuh ketakutan memandang kepada nenek itu yang selalu terkekeh-kekeh seperti orang gila. Mereka masih merasa ngeri karena tadi tahu-tahu ada nenek buruk muncul di depan mereka. Lima orang pengawal dan penjaga itu sudah serentak mengepung dan menyerang dengan golok mereka, akan tetapi nenek itu menggerakkan tongkatnya, tiga batang golok patah, dua batang golok yang tepat mengenai punggung dan kepala nenek itu terpental seperti menghantam balok besi dan di lain saat sinar hitam tongkat itu berkelebat dan mereka roboh tanpa mereka ketahui bagaimana cara dan apa sebabnya!
Syanti Dewi tidak berdaya sama sekali ketika dia dituntun oleh nenek itu memasuki kamar Coa-wangwe yang indah dan megah. Dia duduk di atas kursi memandang nenek itu setelah totokannya dibebaskan, dan dengan suara halus dia bertanya,
“Hek-wan Kui-bo, engkau telah merampas rumah orang dan membawaku ke sini. Apakah sebenarnya kehendakmu?”
Kembali nenek itu tertegun. Sikap yang tenang dan agung itu, suara yang masih seperti orang memandang rendah kepadanya, sikap seorang ratu! Dalam keadaan terculik seperti itu, kalau lain gadis tentu akan menangis dan minta-minta ampun, minta dibebaskan. Akan tetapi gadis ini agaknya malah menguasai keadaan, mengajukan pertanyaan kepadanya seperti seorang dewasa bertanya kepada seorang anak kecil yang nakal!
“Kalau aku menyembelihmu di sini, mencincang tubuhmu sampai hancur lebur, bagaimana, heh-heh!”
Nenek itu mengancam untuk menakut-nakuti gadis itu. Dia merasa tersinggung juga bahwa dia yang begitu hebat dan lihai sama sekali tidak ditakuti oleh gadis ini, gadis lemah ini, padahal lima orang jagoan penjaga gedung itu jelas merasa takut dan ngeri.
Sepasang mata indah itu sama sekali tidak berkedip, tanda bahwa ucapan yang mengandung ancaman gertakan itu sama sekali tidak mengusik hati dara jelita itu. Bahkan bibir yang merah dan bentuknya seperti gendewa terpentang itu membentuk senyum ketika hendak berkata,
“Hek-wan Kui-bo, entah berapa puluh kali hidupku terancam maut sehingga kematian bagiku bukanlah hal yang menimbulkan rasa takut lagi. Aku tentu tidak akan mampu mempertahankan diri dan melawanmu jika engkau hendak membunuhku, akan tetapi hal itu pasti tidak akan kau lakukan.”
“Eh....? Kalau kulakukan sekarang, kau mau apa?”
Syanti Dewi menggeleng kepalanya.
“Orang seperti engkau hanya akan melakukan sesuatu yang menguntungkan dirimu, Nenek yang baik. Kalau engkau ingin membunuhku, tentu tidak susah-susah kau membawaku ke sini, dan aku tidak melihat keuntungan apa-apa bagimu kalau kau membunuhku.”
Nenek itu terbelalak, kaget dan tertawa bergelak.
“Heh-heh-khek-khek-khek! Engkau cerdas sekali! Memang aku tidak membunuhmu, anak yang baik dan cantik! Tidak, malah engkau akan kumuliakan hidupmu. Kau tunggulah saja di sini, dan besok engkau tentu akan berada di pangkuan seorang pangeran dan engkau akan berterima kasih kepada Hek-wan Kui-bo, hah-ha-ha-ha!”
Sekali ini di dalam hatinya Syanti Dewi merasa ngeri. Samar-samar dia dapat menduga bahwa tentu dia akan “dijual” oleh nenek iblis ini kepada seorang laki-laki yang suka membayarnya, bukan dengan harta karena pemilik gedung ini pun seorang hartawan, melainkan membelinya dengan kedudukan. Karena itulah maka nenek ini selalu menyebut raja atau pangeran!
“Aku akan menunggu di sini, Kui-bo. Lakukanlah apa yang kau kehendaki.”
Syanti Dewi lalu menghampiri pembaringan dan duduk di atasnya. Akan tetapi ternyata nenek yang sudah bangkotan dan kawakan itu mana mungkin dapat dibodohi dengan sikap wajar ini? Dia terkekeh dan melangkah maju. Syanti Dewi terkejut dan hendak meloncat menjauhi, namun dia jauh kalah cepat. Tahu-tahu nenek itu sudah mengebutkan sehelai saputangan hitam dan terciumlah bau yang keras oleh Syanti Dewi.
Dara ini menjadi gelap mata dan pening seketika, dan tak lama kemudian dia pun terguling roboh di atas pembaringan dalam keadaan tak sadar atau tertidur pulas! Hek-wan Kui-bo terkekeh dan mendorong tubuh gadis itu sehingga rebah telentang di tengah pembaringan, kemudian tersaruk-saruk dia melangkah ke luar untuk mencari dan menjumpai Pangeran Liong Khi Ong yang dia tahu berada di dalam kota Teng-bun itu.
Demikianlah apa yang dialami oleh Syanti Dewi sampai nenek itu bertemu dengan Tek Hoat dan mengajak pemuda itu memasuki gedung hartawan Coa di mana Tek Hoat dengan terkejut sekali mengenal Syanti Dewi yang rebah miring di atas pembaringan itu!
“Syanti Dewi....!”
Tanpa disadarinya lagi Tek Hoat berseru lirih, akan tetapi bagi Hek-wan Kui-bo sudah cukup keras untuk dapat mendengarnya.
“Aih, kiranya dia puteri dari Bhutan yang dikabarkan lenyap itu....! Ha-ha-ha, tentu Pangeran Liong Khi Ong akan senang sekali menerima persembahanku ini....!”
Hati Tek Hoat terkejut sekali. Pemuda yang cerdik ini mempergunakan otaknya dengan cepat. Syanti Dewi kini sudah berada di tangannya, mana mungkin dia akan melepaskannya begitu saja kepada orang lain? Satu-satunya jalan, nenek ini harus disingkirkan!
“Haiiittt....!”
Tiba-tiba dia memekik dan tangannya sudah menghantam dengan kecepatan kilat dan kekuatan dahsyat ke arah ulu hati nenek itu.
“Hayaaaa....!”
Nenek buruk itu adalah sumoi dari Hek-tiauw Lo-mo, seorang yang selain memiliki kepandaian amat tinggi juga kecerdikan yang luar biasa, maka tentu saja sejak tadi dia sudah siap siaga karena di dalam hatinya dia tidak bisa percaya penuh kepada setiap orang manusia, apalagi Tek Hoat yang dia tahu amat lihai dan baru saja dikenalnya. Maka, betapapun hebatnya serangan dari pemuda itu, Hek-wan Kui-bo telah menduga sebelumnya dan cepat nenek ini melempar tubuh ke belakang ketika ada angin dahsyat menyambar, sambil menggerakkan tongkatnya menangkis.
“Wuuuttt.... krekkkk!”
Ujung tongkat nenek itu bertemu dengan lengan tangan Tek Hoat, menjadi patah dan pada saat itu juga, dari tongkat patah itu menyambar jarum-jarum hitam beracun ke arah dada Tek Hoat dari jarak yang amat dekat!
Tidak ada kesempatan lagi bagi pemuda itu untuk mengelak atau menangkis, maka dia menggigit bibir, mengerahkan tenaganya sehingga semua tenaga simpanan di dalam pusarnya naik ke dalam dada dan dia telah mengerahkan tenaga Inti Bumi dengan menjejakkan kakinya kuat-kuat ke atas lantai.
Belasan batang jarum itu menembus bajunya dan mengenai dadanya, namun kulit dadanya sudah menjadi seperti dilapisi baja saja sehingga jarum-jarum itu runtuh kembali tanpa melukainya sedikit pun. Sambil menerima jarum-jarum ini, Tek Hoat tidak tinggal diam saja, tangan kanannya meraba pinggang dan tahu-tahu seperti main sulap saja, pedang Cui-beng-kiam telah terhunus dan berada di tangannya.
Melihat pedang yang mengeluarkan sinar mengerikan sekali itu, Hek-wan Kui-bo mengeluarkan suara tertawa aneh, tubuhnya mencelat ke belakang dan lenyap dari gedung itu! Nenek ini sama sekali bukan lari karena ketakutan sungguhpun dari pertemuan ujung tongkat yang patah, lalu runtuhnya jarum-jarumnya ditambah pedang ampuh mengerikan di tangan pemuda itu membuat dia maklum bahwa pemuda ini merupakan lawan yang luar biasa beratnya. Dia lari pergi karena terdorong oleh kecerdikannya yang pandai mencari siasat dalam keadaan bagaimanapun juga.
Nenek ini maklum bahwa sekali Tek Hoat berteriak, dia akan dikepung oleh tentara dan banyak orang lihai sebagai mata-mata dan celakalah dia karena dia maklum bahwa menghadapi seorang pemuda lihai dan cerdik seperti Tek Hoat Si Jari Maut ini, bantahan dan pembelaan dirinya akan sia-sia belaka. Karena itulah dia cepat pergi dan lari dari situ, bukan karena takut melainkan untuk menjalankan siasatnya!
Tek Hoat tidak mengejar nenek itu. Dia khawatir akan keadaan Syanti Dewi yang tampaknya terus tidur dan sama sekali tidak terbangun oleh keributan itu. Dengan satu loncatan saja dia sudah berada di dekat pembaringan itu, dan berlutut untuk memeriksa keadaan Syanti Dewi.
Jantungnya berdebar keras melihat betapa tubuh yang menggairahkan dan wajah yang cantik jelita itu telentang di depannya, tinggal dia mengulur tangan saja! Dia meraba pergelangan tangan dara itu dan hatinya lega. Syanti Dewi memang sedang tidur pulas, kepulasan yang mencurigakan. Dia dapat menduga bahwa tentu dara ini telah dibius oleh nenek iblis itu sehingga tertidur daiam keadaan setengah pingsan.
Seperti orang terpesona Tek Hoat berlutut dan menatap wajah itu. Selama hidupnya belum pernah dia menjumpai seorang wanita yang memiliki daya tarik sehebat Puteri Bhutan ini. Dan puteri ini akan dipersembahkan kepada Pangeran Liong Khi Ong, Si Pangeran tua bangka yang mata keranjang itu? Nanti dulu! Tek Hoat mendengus dan dia lalu membungkuk dan.... menyentuh pipi itu dengan ujung hidungnya dengan mesra.
Tiba-tiba dia meloncat berdiri. Dia harus cepat menyadarkan gadis ini dan mengajaknya pergi dari tempat itu. Kalau sampai Pangeran Liong Khi Ong mendengar bahwa Syanti Dewi berada di Teng-bun, tentu pangeran itu akan mengerahkan segalanya untuk mendapatkan puteri yang telah ditunangkan dengan dia itu, apalagi kalau pangeran tua itu sudah melihat sendiri kecantikan Syanti Dewi!
Tergesa-gesa Tek Hoat lari ke belakang, mencari air dan tak lama kemudian dia sudah kembali ke dalam kamar membawa sepanci air dingin. Dengan hati-hati dia membasahi dahi dan tengkuk gadis itu, mengurut jalan darah di lehernya.
Tak lama kemudian usahanya berhasil. Syanti Dewi mengeluh panjang dan Tek Hoat cepat menaruh panci air itu ke atas meja dan memandang dengan mata bersinar-sinar penuh kagum. Karena tidak sadar, Syanti Dewi menggerakkan seluruh tubuhnya, menggeliat dan penglihatan ini membuat Tek Hoat menelan air liurnya, apalagi ketika Syanti Dewi mengeluh dan mengerang perlahan sambil membuka bibirnya yang merah dan mengejap-ngejapkan matanya.
Kini sadarlah Syanti Dewi dan cepat dara ini membuka matanya, teringat akan nenek buruk seperti setan. Ketika dia melihat seorang pemuda berdiri di dekat pembaringannya, dia berteriak dan bangkit duduk lalu meloncat turun dan tangannya meraba-raba di balik jubahnya yang panjang, kemudian ketika tangan itu keluar, dia sudah memegang sebatang pisau tajam yang gagangnya terhias permata, memegangnya dengan ujungnya mengarah ulu hatinya sendiri. Pisau ini adalah pemberian Jenderal Kao kepadanya dan sama sekali tidak disangkanya bahwa pisau ini ternyata pada saat itu merupakan sebuah benda yang amat berharga baginya.
“Mundur kau.... sekali saja engkau berani merabaku, pisau ini akan menembus jantungku dan engkau hanya akan memiliki mayatku!”
Suara itu halus dan tenang dan tangan yang memegang pisau sedikit pun tidak gemetar, sedangkan tangan kirinya dengan jari-jari halus meruncing itu membuat gerakan seperti hendak mendorong pemuda itu untuk mundur.
Tek Hoat terkejut sekali dan melangkah mundur. Dia memandang penuh kekhawatiran ke arah ujung pisau yang menempel di antara dua tonjolan dada di balik baju itu, lalu menatap wajah yang tenang dan menggerakkan kedua tangannya ke atas sambil berkata,
“Haiii.... engkau salah duga. Aku datang untuk menolongmu....!”
“Simpan bujukanmu yang palsu!” Syanti Dewi menghardik. “Kau kira aku takut? Nenek setan itu tentu telah menjualku kepadamu, entah iblis dari mana adanya engkau ini!”
“Sama sekali salah. Aku telah mengusir nenek itu dan baru saja aku menyadarkanmu dengan air dingin. Engkau tertidur karena obat bius dan aku hendak menolongmu.”
“Laki-laki bohong! Kau kira dengan kemudaan dan ketampananmu engkau akan dapat membujuk aku? Pergi dari sini!”
Syanti Dewi berkata lagi dan ujung pisau itu masih mengancam dan menodong dadanya sendiri karena hanya itulah satu-satunya jalan baginya untuk melindungi dirinya dari gangguan laki-laki ini.
“Hemm, keangkuhan seorang puteri! Dalam keadaan begini, engkau masih angkuh dan memandang rendah orang lain. Baiklah kalau engkau lebih suka dibawa oleh nenek itu dan dihadiahkan kepada seorang laki-laki tua untuk menjadi permaisurinya!”
Tek Hoat memutar tubuhnya. Syanti Dewi memandang bengong dan dia menjerit ketika tiba-tiba pemuda itu memutar tubuhnya secepat kilat, kaki pemuda itu telah menyambar dan tepat mengenai pisau yang dipegangnya.
“Takkk.... singgg.... ceppp!”
Pisau yang kena ditendang itu terbang ke atas dan menancap di langit-langit! Tek Hoat tersenyum mengejek dan melangkah maju.
Akan tetapi Syanti Dewi sudah dapat menguasai dirinya, berdiri tegak dengan dagu diangkat dan memandang dengan sinar mata merendahkan sekali.
“Sudah kuduga, engkau tentu manusia buruk juga. Apa kau kira hanya dengan pisau saja aku dapat membunuh diri? Hendak kulihat, kalau engkau berani menggangguku, lalu aku menutup pernapasanku, atau kutusuk pelipisku dengan jari tangan, atau kubenturkan kepalaku pada dinding, engkau akan dapat mencegahku atau tidak!”
Tek Hoat tertegun dan menghentikan langkahnya. Ancaman gadis itu terdengar mengerikan dan dia tahu bahwa Puteri Bhutan ini mempunyai ilmu silat yang cukup untuk dapat melakukan ancaman-ancaman tadi dengan hasil baik.
“Engkau gadis keras kepala!” gerutunya.
“Dan engkau laki-laki rendah budi, kurang ajar, dan keji!” Syanti Dewi membalas.
“Sekali lagi aku katakan kepadamu bahwa aku datang untuk menolongmu, membawamu keluar dari kota ini dan....”
Tiba-tiba muka pemuda itu berubah dan dari luar menerobos masuk nenek Hek-wan Kui-bo diikuti oleh sepasukan pengawal yang mengiringkan Pangeran Liong Khi Ong sendiri!
“Tek Hoat, benarkah Nona ini adalah Syanti Dewi dari Bhutan?”
Tek Hoat cepat menjura dan berkata dengan suara berat,
“Benar, Pangeran.”
“Heh-heh-heh, Pangeran Liong Khi Ong, bukankah benar keteranganku? Aku menemukan dia untuk Paduka!” nenek itu terkekeh.
Tek Hoat mendongkol sekali dan merasa menyesal mengapa dia tadi tidak mengejar dan membunuh saja nenek yang ternyata amat cerdik ini.
“Bagus, jasamu besar sekali, Kui-bo,”
Pangeran Liong Khi Ong berkata sambil melangkah maju dan memandang Syanti Dewi dengan wajah berseri-seri, kemudian dia menjura dan berkata dengan suara halus dan teratur sebagaimana layaknya seorang pangeran berhadapan dengan seorang puteri raja, dalam hal ini seorang calon isterinya.
“Harap Sang Puteri sudi memaafkan kami bahwa baru saat ini kami dapat berhadapan dengan Sang Puteri yang mulia. Jelas bahwa bumi dan langit memang menghendaki perjodohan antara kita sehingga setelah melalui berbagai rintangan akhirnya kita dapat saling berjumpa juga. Selamat datang, Sang Puteri dan marilah kami iringkan ke tempat peristirahatan untuk menghilangkan kekagetan dan kelelahan.”
Puteri Syanti Dewi sejak tadi memandang pria tua itu penuh perhatian. Laki-laki itu tentu sudah lebih dari lima puluh tahun usianya, pakaiannya mewah sekali dan dari muka dan tangannya yang terawat rapi, bahkan ada tanda-tanda bedak di pipinya, membuktikan bahwa pangeran tua itu adalah seorang pesolek.
Pandang matanya jelas membayangkan nafsu berahi yang besar, mata yang seperti berminyak dan mengeluarkan sinar berapi, juga tidak malu-malu memandanginya dari atas ke bawah sehingga Syanti Dewi merasa seolah-olah tubuhnya ditelanjangi dan digerayangi oleh pandang mata itu yang berhenti di tempat-tempat tertentu!
Dia bergidik, akan tetapi mengingat bahwa kini dia berhadapan dengan seorang pangeran, biarpun dia tahu bahwa pangeran ini adalah pemberontak, maka ketakutannya menipis dan harapannya timbul bahwa seorang pangeran setidaknya adalah seorang bangsawan terpelajar sehingga tentu tidak akan bertindak sewenang-wenang. Dia cepat berlutut dengan sebelah kaki sebagai tanda penghormatan, berdiri lagi dan berkata sambil menundukkan mukanya.
“Terima kasih saya haturkan atas kebaikan Paduka Pangeran!”
Dia lalu melirik ke arah Tek Hoat, kemudian ke arah Hek-wan Kui-bo. Nenek itu tersenyum kepadanya akan tetapi pemuda itu mengerutkan alisnya dan memandang kepadanya seperti orang marah-marah.
“Sang Puteri, silakan, mari kami antar ke istana kami yang darurat dan seadanya di kota ini.” Pangeran itu mempersilakan dengan tangan kanannya dengan sikap hormat.
“Baik, Pangeran, akan tetapi saya harap dapat kiranya pisau saya di sana itu diturunkan dan dikembalikan kepada saya,” Syanti Dewi menuding ke atas di mana pisaunya masih menancap di langit-langit kamar itu.
“Eh, bagaimana pisau Sang Puteri bisa terbang ke sana!” Pangeran Liong Khi Ong berseru aneh sambil menoleh kepada Tek Hoat.
“Hamba.... hamba terpaksa membuat pisau itu terlempar dari tangan Sang Puteri karena.... karena beliau tadi hendak menyerang hamba,” kata Tek Hoat.
“Hemm, untung Sang Puteri tidak terluka. Tek Hoat, ambil kembali pisau itu!”
“Hi-hi-hik, Pangeran, biarlah hamba yang mengambilnya!”
Nenek itu mendahului Tek Hoat, tangan kanannya didorongkan ke atas ke arah pisau itu. Dari telapak tangan nenek itu menyambar hawa dahsyat ke atas, pisau itu bergoyang-goyang dan nenek itu memperkuat dorongan hawa dari tangannya dan pisau itu akhirnya runtuh dan diterima oleh nenek itu sambil terkekeh. Semua pengawal memandang kagum bukan main dan Tek Hoat diam-diam juga harus mengakui bahwa nenek ini merupakan lawan yang tangguh.
“Bukan main! Engkau ternyata lihai sekali, Kui-bo. Sungguh senang hatiku, memperoleh seorang pembantu lagi yang memiliki kepandaian tinggi.”
“Hamba bersedia membantu Paduka sampai berhasil segala yang Paduka cita-citakan, dan hamba hanya mengharapkan ikut menikmati kemuliaan Paduka kelak.”
“Ha-ha-ha, tentu saja, Kui-bo. Bantulah kami dan kelak engkau akan kuberi kedudukan yang mulia,”
Pangeran itu mengulurkan tangan dan menerima pisau itu dari tangan Hek-wan Kui-bo, lalu mengamati pisau itu penuh perhatian. Dia menoleh kepada Syanti Dewi sambil bertanya,
“Sang Puteri, kami lihat pisau ini bukanlah buatan Bhutan, sungguhpun amat indahnya!”
“Memang bukan, Pangeran. Pisau itu adalah pemberian seorang sahabat saya yang paling baik.”
Sambil berkata demikian, Syanti Dewi membayangkan wajah Jenderal Kao yang seolah-olah menjadi pengganti orang tuanya ketika dia ditinggalkan oleh Gak Bun Beng di dalam benteng jenderal itu. Melihat pisau itu disimpan oleh Pangeran Liong Khi Ong di ikat pinggangnya, dia tidak berani minta dan dia hanya berjalan keluar diiringkan oleh pangeran itu dan semua pengawal serta kaki tangannya.
Puteri Syanti Dewi yang sekali berjumpa telah membuat pangeran tua itu tergila-gila, segera memperoleh sebuah kamar istimewa di dalam gedung besar yang menjadi tempat tinggal sementara dari Pangeran Liong Khi Ong itu, dilayani oleh lima orang pelayan wanita, diberi pakaian dan perhiasan-perhiasan indah.
Akan tetapi dengan halus semua itu ditolak oleh Syanti Dewi. Hati puteri ini masih gelisah. Dia terjatuh ke tangan pangeran yang dahulu dicalonkan menjadi suaminya. Dahulu dia tidak berani dan tidak dapat membantah kehendak ayahnya dan dia sudah menyerah kepada keadaan, bahkan dia telah diboyong dari istana ayahnya.
Akan tetapi sekarang lain lagi persoalannya. Dia telah secara aneh terbebas dari ikatan itu, telah melakukan perantauan dan mengalami hal-hal yang luar biasa, maka kini diam-diam hatinya memberontak dan dia tidak bersedia lagi untuk menjadi isteri Pangeran Liong Khi Ong.
Burung manakah yang setelah terbang bebas lepas di udara merindukan kurungan kembali? Teringat akan Gak Bun Beng, dia agak terhibur. Pendekar sakti itu sudah pasti akan mencarinya dan akan menolongnya ke luar dari kurungan baru ini.
Akan tetapi hatinya gelisah melihat betapa tugas pertama yang diterima oleh nenek mengerikan itu adalah menjaga di luar kamarnya! Nenek itu sambil tersenyum muncul di pintu dan berkata,
“Wahai, Puteri jelita, Nona calon pengantin yang bahagia! Bukankah semua kata-kataku tepat belaka? Paduka telah berada di kamar seorang pangeran besar! Heh-heh, Paduka patut berterima kasih kepada hamba dan mudah-mudahan kelak Paduka tidak akan lupa akan jasa-jasa hamba.”
Syanti Dewi tidak menjawab dan nenek itu terkekeh lagi.
“Dan harap Paduka jangan mencoba untuk melarikan diri dari sini. Aku sendiri yang menjaga di sini atas perintah Pangeran, hi-hi-hik!”
Dan wajah yang buruk itu lenyap dari pintu. Puteri itu menahan tangisnya, dan dia menjatuhkan diri di atas pembaringan dengan penuh kecemasan.
Syanti Dewi lalu menghampiri pembaringan dan duduk di atasnya. Akan tetapi ternyata nenek yang sudah bangkotan dan kawakan itu mana mungkin dapat dibodohi dengan sikap wajar ini? Dia terkekeh dan melangkah maju. Syanti Dewi terkejut dan hendak meloncat menjauhi, namun dia jauh kalah cepat. Tahu-tahu nenek itu sudah mengebutkan sehelai saputangan hitam dan terciumlah bau yang keras oleh Syanti Dewi.
Dara ini menjadi gelap mata dan pening seketika, dan tak lama kemudian dia pun terguling roboh di atas pembaringan dalam keadaan tak sadar atau tertidur pulas! Hek-wan Kui-bo terkekeh dan mendorong tubuh gadis itu sehingga rebah telentang di tengah pembaringan, kemudian tersaruk-saruk dia melangkah ke luar untuk mencari dan menjumpai Pangeran Liong Khi Ong yang dia tahu berada di dalam kota Teng-bun itu.
Demikianlah apa yang dialami oleh Syanti Dewi sampai nenek itu bertemu dengan Tek Hoat dan mengajak pemuda itu memasuki gedung hartawan Coa di mana Tek Hoat dengan terkejut sekali mengenal Syanti Dewi yang rebah miring di atas pembaringan itu!
“Syanti Dewi....!”
Tanpa disadarinya lagi Tek Hoat berseru lirih, akan tetapi bagi Hek-wan Kui-bo sudah cukup keras untuk dapat mendengarnya.
“Aih, kiranya dia puteri dari Bhutan yang dikabarkan lenyap itu....! Ha-ha-ha, tentu Pangeran Liong Khi Ong akan senang sekali menerima persembahanku ini....!”
Hati Tek Hoat terkejut sekali. Pemuda yang cerdik ini mempergunakan otaknya dengan cepat. Syanti Dewi kini sudah berada di tangannya, mana mungkin dia akan melepaskannya begitu saja kepada orang lain? Satu-satunya jalan, nenek ini harus disingkirkan!
“Haiiittt....!”
Tiba-tiba dia memekik dan tangannya sudah menghantam dengan kecepatan kilat dan kekuatan dahsyat ke arah ulu hati nenek itu.
“Hayaaaa....!”
Nenek buruk itu adalah sumoi dari Hek-tiauw Lo-mo, seorang yang selain memiliki kepandaian amat tinggi juga kecerdikan yang luar biasa, maka tentu saja sejak tadi dia sudah siap siaga karena di dalam hatinya dia tidak bisa percaya penuh kepada setiap orang manusia, apalagi Tek Hoat yang dia tahu amat lihai dan baru saja dikenalnya. Maka, betapapun hebatnya serangan dari pemuda itu, Hek-wan Kui-bo telah menduga sebelumnya dan cepat nenek ini melempar tubuh ke belakang ketika ada angin dahsyat menyambar, sambil menggerakkan tongkatnya menangkis.
“Wuuuttt.... krekkkk!”
Ujung tongkat nenek itu bertemu dengan lengan tangan Tek Hoat, menjadi patah dan pada saat itu juga, dari tongkat patah itu menyambar jarum-jarum hitam beracun ke arah dada Tek Hoat dari jarak yang amat dekat!
Tidak ada kesempatan lagi bagi pemuda itu untuk mengelak atau menangkis, maka dia menggigit bibir, mengerahkan tenaganya sehingga semua tenaga simpanan di dalam pusarnya naik ke dalam dada dan dia telah mengerahkan tenaga Inti Bumi dengan menjejakkan kakinya kuat-kuat ke atas lantai.
Belasan batang jarum itu menembus bajunya dan mengenai dadanya, namun kulit dadanya sudah menjadi seperti dilapisi baja saja sehingga jarum-jarum itu runtuh kembali tanpa melukainya sedikit pun. Sambil menerima jarum-jarum ini, Tek Hoat tidak tinggal diam saja, tangan kanannya meraba pinggang dan tahu-tahu seperti main sulap saja, pedang Cui-beng-kiam telah terhunus dan berada di tangannya.
Melihat pedang yang mengeluarkan sinar mengerikan sekali itu, Hek-wan Kui-bo mengeluarkan suara tertawa aneh, tubuhnya mencelat ke belakang dan lenyap dari gedung itu! Nenek ini sama sekali bukan lari karena ketakutan sungguhpun dari pertemuan ujung tongkat yang patah, lalu runtuhnya jarum-jarumnya ditambah pedang ampuh mengerikan di tangan pemuda itu membuat dia maklum bahwa pemuda ini merupakan lawan yang luar biasa beratnya. Dia lari pergi karena terdorong oleh kecerdikannya yang pandai mencari siasat dalam keadaan bagaimanapun juga.
Nenek ini maklum bahwa sekali Tek Hoat berteriak, dia akan dikepung oleh tentara dan banyak orang lihai sebagai mata-mata dan celakalah dia karena dia maklum bahwa menghadapi seorang pemuda lihai dan cerdik seperti Tek Hoat Si Jari Maut ini, bantahan dan pembelaan dirinya akan sia-sia belaka. Karena itulah dia cepat pergi dan lari dari situ, bukan karena takut melainkan untuk menjalankan siasatnya!
Tek Hoat tidak mengejar nenek itu. Dia khawatir akan keadaan Syanti Dewi yang tampaknya terus tidur dan sama sekali tidak terbangun oleh keributan itu. Dengan satu loncatan saja dia sudah berada di dekat pembaringan itu, dan berlutut untuk memeriksa keadaan Syanti Dewi.
Jantungnya berdebar keras melihat betapa tubuh yang menggairahkan dan wajah yang cantik jelita itu telentang di depannya, tinggal dia mengulur tangan saja! Dia meraba pergelangan tangan dara itu dan hatinya lega. Syanti Dewi memang sedang tidur pulas, kepulasan yang mencurigakan. Dia dapat menduga bahwa tentu dara ini telah dibius oleh nenek iblis itu sehingga tertidur daiam keadaan setengah pingsan.
Seperti orang terpesona Tek Hoat berlutut dan menatap wajah itu. Selama hidupnya belum pernah dia menjumpai seorang wanita yang memiliki daya tarik sehebat Puteri Bhutan ini. Dan puteri ini akan dipersembahkan kepada Pangeran Liong Khi Ong, Si Pangeran tua bangka yang mata keranjang itu? Nanti dulu! Tek Hoat mendengus dan dia lalu membungkuk dan.... menyentuh pipi itu dengan ujung hidungnya dengan mesra.
Tiba-tiba dia meloncat berdiri. Dia harus cepat menyadarkan gadis ini dan mengajaknya pergi dari tempat itu. Kalau sampai Pangeran Liong Khi Ong mendengar bahwa Syanti Dewi berada di Teng-bun, tentu pangeran itu akan mengerahkan segalanya untuk mendapatkan puteri yang telah ditunangkan dengan dia itu, apalagi kalau pangeran tua itu sudah melihat sendiri kecantikan Syanti Dewi!
Tergesa-gesa Tek Hoat lari ke belakang, mencari air dan tak lama kemudian dia sudah kembali ke dalam kamar membawa sepanci air dingin. Dengan hati-hati dia membasahi dahi dan tengkuk gadis itu, mengurut jalan darah di lehernya.
Tak lama kemudian usahanya berhasil. Syanti Dewi mengeluh panjang dan Tek Hoat cepat menaruh panci air itu ke atas meja dan memandang dengan mata bersinar-sinar penuh kagum. Karena tidak sadar, Syanti Dewi menggerakkan seluruh tubuhnya, menggeliat dan penglihatan ini membuat Tek Hoat menelan air liurnya, apalagi ketika Syanti Dewi mengeluh dan mengerang perlahan sambil membuka bibirnya yang merah dan mengejap-ngejapkan matanya.
Kini sadarlah Syanti Dewi dan cepat dara ini membuka matanya, teringat akan nenek buruk seperti setan. Ketika dia melihat seorang pemuda berdiri di dekat pembaringannya, dia berteriak dan bangkit duduk lalu meloncat turun dan tangannya meraba-raba di balik jubahnya yang panjang, kemudian ketika tangan itu keluar, dia sudah memegang sebatang pisau tajam yang gagangnya terhias permata, memegangnya dengan ujungnya mengarah ulu hatinya sendiri. Pisau ini adalah pemberian Jenderal Kao kepadanya dan sama sekali tidak disangkanya bahwa pisau ini ternyata pada saat itu merupakan sebuah benda yang amat berharga baginya.
“Mundur kau.... sekali saja engkau berani merabaku, pisau ini akan menembus jantungku dan engkau hanya akan memiliki mayatku!”
Suara itu halus dan tenang dan tangan yang memegang pisau sedikit pun tidak gemetar, sedangkan tangan kirinya dengan jari-jari halus meruncing itu membuat gerakan seperti hendak mendorong pemuda itu untuk mundur.
Tek Hoat terkejut sekali dan melangkah mundur. Dia memandang penuh kekhawatiran ke arah ujung pisau yang menempel di antara dua tonjolan dada di balik baju itu, lalu menatap wajah yang tenang dan menggerakkan kedua tangannya ke atas sambil berkata,
“Haiii.... engkau salah duga. Aku datang untuk menolongmu....!”
“Simpan bujukanmu yang palsu!” Syanti Dewi menghardik. “Kau kira aku takut? Nenek setan itu tentu telah menjualku kepadamu, entah iblis dari mana adanya engkau ini!”
“Sama sekali salah. Aku telah mengusir nenek itu dan baru saja aku menyadarkanmu dengan air dingin. Engkau tertidur karena obat bius dan aku hendak menolongmu.”
“Laki-laki bohong! Kau kira dengan kemudaan dan ketampananmu engkau akan dapat membujuk aku? Pergi dari sini!”
Syanti Dewi berkata lagi dan ujung pisau itu masih mengancam dan menodong dadanya sendiri karena hanya itulah satu-satunya jalan baginya untuk melindungi dirinya dari gangguan laki-laki ini.
“Hemm, keangkuhan seorang puteri! Dalam keadaan begini, engkau masih angkuh dan memandang rendah orang lain. Baiklah kalau engkau lebih suka dibawa oleh nenek itu dan dihadiahkan kepada seorang laki-laki tua untuk menjadi permaisurinya!”
Tek Hoat memutar tubuhnya. Syanti Dewi memandang bengong dan dia menjerit ketika tiba-tiba pemuda itu memutar tubuhnya secepat kilat, kaki pemuda itu telah menyambar dan tepat mengenai pisau yang dipegangnya.
“Takkk.... singgg.... ceppp!”
Pisau yang kena ditendang itu terbang ke atas dan menancap di langit-langit! Tek Hoat tersenyum mengejek dan melangkah maju.
Akan tetapi Syanti Dewi sudah dapat menguasai dirinya, berdiri tegak dengan dagu diangkat dan memandang dengan sinar mata merendahkan sekali.
“Sudah kuduga, engkau tentu manusia buruk juga. Apa kau kira hanya dengan pisau saja aku dapat membunuh diri? Hendak kulihat, kalau engkau berani menggangguku, lalu aku menutup pernapasanku, atau kutusuk pelipisku dengan jari tangan, atau kubenturkan kepalaku pada dinding, engkau akan dapat mencegahku atau tidak!”
Tek Hoat tertegun dan menghentikan langkahnya. Ancaman gadis itu terdengar mengerikan dan dia tahu bahwa Puteri Bhutan ini mempunyai ilmu silat yang cukup untuk dapat melakukan ancaman-ancaman tadi dengan hasil baik.
“Engkau gadis keras kepala!” gerutunya.
“Dan engkau laki-laki rendah budi, kurang ajar, dan keji!” Syanti Dewi membalas.
“Sekali lagi aku katakan kepadamu bahwa aku datang untuk menolongmu, membawamu keluar dari kota ini dan....”
Tiba-tiba muka pemuda itu berubah dan dari luar menerobos masuk nenek Hek-wan Kui-bo diikuti oleh sepasukan pengawal yang mengiringkan Pangeran Liong Khi Ong sendiri!
“Tek Hoat, benarkah Nona ini adalah Syanti Dewi dari Bhutan?”
Tek Hoat cepat menjura dan berkata dengan suara berat,
“Benar, Pangeran.”
“Heh-heh-heh, Pangeran Liong Khi Ong, bukankah benar keteranganku? Aku menemukan dia untuk Paduka!” nenek itu terkekeh.
Tek Hoat mendongkol sekali dan merasa menyesal mengapa dia tadi tidak mengejar dan membunuh saja nenek yang ternyata amat cerdik ini.
“Bagus, jasamu besar sekali, Kui-bo,”
Pangeran Liong Khi Ong berkata sambil melangkah maju dan memandang Syanti Dewi dengan wajah berseri-seri, kemudian dia menjura dan berkata dengan suara halus dan teratur sebagaimana layaknya seorang pangeran berhadapan dengan seorang puteri raja, dalam hal ini seorang calon isterinya.
“Harap Sang Puteri sudi memaafkan kami bahwa baru saat ini kami dapat berhadapan dengan Sang Puteri yang mulia. Jelas bahwa bumi dan langit memang menghendaki perjodohan antara kita sehingga setelah melalui berbagai rintangan akhirnya kita dapat saling berjumpa juga. Selamat datang, Sang Puteri dan marilah kami iringkan ke tempat peristirahatan untuk menghilangkan kekagetan dan kelelahan.”
Puteri Syanti Dewi sejak tadi memandang pria tua itu penuh perhatian. Laki-laki itu tentu sudah lebih dari lima puluh tahun usianya, pakaiannya mewah sekali dan dari muka dan tangannya yang terawat rapi, bahkan ada tanda-tanda bedak di pipinya, membuktikan bahwa pangeran tua itu adalah seorang pesolek.
Pandang matanya jelas membayangkan nafsu berahi yang besar, mata yang seperti berminyak dan mengeluarkan sinar berapi, juga tidak malu-malu memandanginya dari atas ke bawah sehingga Syanti Dewi merasa seolah-olah tubuhnya ditelanjangi dan digerayangi oleh pandang mata itu yang berhenti di tempat-tempat tertentu!
Dia bergidik, akan tetapi mengingat bahwa kini dia berhadapan dengan seorang pangeran, biarpun dia tahu bahwa pangeran ini adalah pemberontak, maka ketakutannya menipis dan harapannya timbul bahwa seorang pangeran setidaknya adalah seorang bangsawan terpelajar sehingga tentu tidak akan bertindak sewenang-wenang. Dia cepat berlutut dengan sebelah kaki sebagai tanda penghormatan, berdiri lagi dan berkata sambil menundukkan mukanya.
“Terima kasih saya haturkan atas kebaikan Paduka Pangeran!”
Dia lalu melirik ke arah Tek Hoat, kemudian ke arah Hek-wan Kui-bo. Nenek itu tersenyum kepadanya akan tetapi pemuda itu mengerutkan alisnya dan memandang kepadanya seperti orang marah-marah.
“Sang Puteri, silakan, mari kami antar ke istana kami yang darurat dan seadanya di kota ini.” Pangeran itu mempersilakan dengan tangan kanannya dengan sikap hormat.
“Baik, Pangeran, akan tetapi saya harap dapat kiranya pisau saya di sana itu diturunkan dan dikembalikan kepada saya,” Syanti Dewi menuding ke atas di mana pisaunya masih menancap di langit-langit kamar itu.
“Eh, bagaimana pisau Sang Puteri bisa terbang ke sana!” Pangeran Liong Khi Ong berseru aneh sambil menoleh kepada Tek Hoat.
“Hamba.... hamba terpaksa membuat pisau itu terlempar dari tangan Sang Puteri karena.... karena beliau tadi hendak menyerang hamba,” kata Tek Hoat.
“Hemm, untung Sang Puteri tidak terluka. Tek Hoat, ambil kembali pisau itu!”
“Hi-hi-hik, Pangeran, biarlah hamba yang mengambilnya!”
Nenek itu mendahului Tek Hoat, tangan kanannya didorongkan ke atas ke arah pisau itu. Dari telapak tangan nenek itu menyambar hawa dahsyat ke atas, pisau itu bergoyang-goyang dan nenek itu memperkuat dorongan hawa dari tangannya dan pisau itu akhirnya runtuh dan diterima oleh nenek itu sambil terkekeh. Semua pengawal memandang kagum bukan main dan Tek Hoat diam-diam juga harus mengakui bahwa nenek ini merupakan lawan yang tangguh.
“Bukan main! Engkau ternyata lihai sekali, Kui-bo. Sungguh senang hatiku, memperoleh seorang pembantu lagi yang memiliki kepandaian tinggi.”
“Hamba bersedia membantu Paduka sampai berhasil segala yang Paduka cita-citakan, dan hamba hanya mengharapkan ikut menikmati kemuliaan Paduka kelak.”
“Ha-ha-ha, tentu saja, Kui-bo. Bantulah kami dan kelak engkau akan kuberi kedudukan yang mulia,”
Pangeran itu mengulurkan tangan dan menerima pisau itu dari tangan Hek-wan Kui-bo, lalu mengamati pisau itu penuh perhatian. Dia menoleh kepada Syanti Dewi sambil bertanya,
“Sang Puteri, kami lihat pisau ini bukanlah buatan Bhutan, sungguhpun amat indahnya!”
“Memang bukan, Pangeran. Pisau itu adalah pemberian seorang sahabat saya yang paling baik.”
Sambil berkata demikian, Syanti Dewi membayangkan wajah Jenderal Kao yang seolah-olah menjadi pengganti orang tuanya ketika dia ditinggalkan oleh Gak Bun Beng di dalam benteng jenderal itu. Melihat pisau itu disimpan oleh Pangeran Liong Khi Ong di ikat pinggangnya, dia tidak berani minta dan dia hanya berjalan keluar diiringkan oleh pangeran itu dan semua pengawal serta kaki tangannya.
Puteri Syanti Dewi yang sekali berjumpa telah membuat pangeran tua itu tergila-gila, segera memperoleh sebuah kamar istimewa di dalam gedung besar yang menjadi tempat tinggal sementara dari Pangeran Liong Khi Ong itu, dilayani oleh lima orang pelayan wanita, diberi pakaian dan perhiasan-perhiasan indah.
Akan tetapi dengan halus semua itu ditolak oleh Syanti Dewi. Hati puteri ini masih gelisah. Dia terjatuh ke tangan pangeran yang dahulu dicalonkan menjadi suaminya. Dahulu dia tidak berani dan tidak dapat membantah kehendak ayahnya dan dia sudah menyerah kepada keadaan, bahkan dia telah diboyong dari istana ayahnya.
Akan tetapi sekarang lain lagi persoalannya. Dia telah secara aneh terbebas dari ikatan itu, telah melakukan perantauan dan mengalami hal-hal yang luar biasa, maka kini diam-diam hatinya memberontak dan dia tidak bersedia lagi untuk menjadi isteri Pangeran Liong Khi Ong.
Burung manakah yang setelah terbang bebas lepas di udara merindukan kurungan kembali? Teringat akan Gak Bun Beng, dia agak terhibur. Pendekar sakti itu sudah pasti akan mencarinya dan akan menolongnya ke luar dari kurungan baru ini.
Akan tetapi hatinya gelisah melihat betapa tugas pertama yang diterima oleh nenek mengerikan itu adalah menjaga di luar kamarnya! Nenek itu sambil tersenyum muncul di pintu dan berkata,
“Wahai, Puteri jelita, Nona calon pengantin yang bahagia! Bukankah semua kata-kataku tepat belaka? Paduka telah berada di kamar seorang pangeran besar! Heh-heh, Paduka patut berterima kasih kepada hamba dan mudah-mudahan kelak Paduka tidak akan lupa akan jasa-jasa hamba.”
Syanti Dewi tidak menjawab dan nenek itu terkekeh lagi.
“Dan harap Paduka jangan mencoba untuk melarikan diri dari sini. Aku sendiri yang menjaga di sini atas perintah Pangeran, hi-hi-hik!”
Dan wajah yang buruk itu lenyap dari pintu. Puteri itu menahan tangisnya, dan dia menjatuhkan diri di atas pembaringan dengan penuh kecemasan.
**** 084 ****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar