Topeng Setan bersikap tenang sekali dan dia menghadapi serangan-serangan lawan dengan elakan cepat dan dibantu oleh tangkisan-tangkisan kedua tangannya yang digoreskan secara mantap dan kuat. Bahkan dia membiarkan Yu-siucai melancarkan serangan terus-menerus sampai sembilan jurus lamanya, selalu dielakkan dan ditangkisnya, kemudian pada jurus ke sepuluh, dia tidak hanya menangkis melainkan membalas dengan dorongan tangannya.
Tenaga sin-kang yang amat dahsyat menyambar, membuat Yu-siucai terdorong ke belakang dan pada saat tubuhnya condong ke belakang ini, kakinya kena ditendang dan tak dapat dipertahankan lagi, tubuhnya terlempar dan terbanting jatuh di depan kursi Raja Tambolon!
Menyaksikan hasil ini, Ceng Ceng menjadi gembira dan kumat lagi sifatnya yang nakal dan jenaka, sifat yang telah lama hampir dilupakannya semenjak dia menjadi murid Ban-tok Mo-li kemudian ditimpa malapetaka pemerkosaan itu. Tanpa disadarinya, dia bertepuk tangan dan berkata memuji,
“Wah, Yu-siucai sungguh mengagumkan sekali! Sepantasnya kedudukan pengawal diganti menjadi peramal karena ramalan Yu-siucai tepat sekali, pertempuran tadi tepat berlangsung sepuluh jurus seperti yang diramalkannya!”
Mendengar kata-kata yang jelas merupakan ejekan ini, Yu-siucai melompat bangun, tangan kanannya bergerak cepat ke arah pinggangnya dan tahu-tahu dia telah mengeluarkan sepasang poan-koan-pit, yaitu senjata sepasang alat tulis yang terkenal lihai karena sepasang senjata ini merupakan alat-alat menotok jalan darah yang berbahaya.
“Aku tadi telah bersikap kurang hati-hati,” katanya. “Akan tetapi aku belum kalah, Topeng Setan!”
Dengan sikap mengancam dia melangkah satu-satu dengan gerakan tegap menghampiri Topeng Setan. Tiba-tiba dia mengeluarkan seruan keras, tubuhnya bergerak dan tampaklah sepasang sinar kilat menyambar-nyambar dari kedua tangannya ketika senjata poan-koan-pit itu mulai menyerang.
“Hemmm....!”
Topeng Setan terpaksa mengelak ke kanan kiri dan bahkan lalu meloncat ke belakang. Demikian cepat dan hebatnya serangan senjata kecil itu. Dan memang inilah keistimewaan Yu-siucai dan tidak percuma dia dijuluki Siucai Maut karena senjatanya pun sesuai dengan julukannya, yaitu sepasang poan-koan-pit yang berbentuk pensil alat tulis dari baja dan yang dimainkannya secara hebat sekali!
“In-kong, sambut ini!”
Tiba-tiba Ceng Ceng berseru dan dia telah melontarkan sepasang sumpitnya yang tadi dipakai makan, kepada Topeng Setan. Sumpit itu terbuat dari gading dan dapat dipakai sebagai sepasang senjata yang lumayan daripada bertangan kosong menghadapi sepadang poan-koan-pit yang lihai itu.
“Terima kasih!”
Topeng Setan berkata sambil menyambar sepasang sumpit yang melayang ke arahnya itu. Sebetulnya, biarpun menghadapi sepasang senjata di tangan Yu-siucai dengan tangan kosong, Topeng Setan sama sekali tidak merasa jerih karena ilmu kepandaiannya masih jauh lebih tinggi daripada lawannya. Akan tetapi tentu saja Ceng Ceng tidak tahu akan hal ini dan telah membantunya.
“Ha-ha, bagus! Dengan begitu kita sama-sama bersenjata!”
Yu-siucai tertawa girang karena tadi dia merasa malu juga harus menyerang lawan dengan senjata, sedangkan lawannya bertangan kosong. Kini, melihat betapa lawannya telah memegang sumpit, dia menjadi girang. Apa artinya sepasang sumpit itu dibandingkan dengan poan-koan-pitnya? Sekali gempur saja tentu sumpit-sumpit itu akan patah-patah!
Tenaga sin-kang yang amat dahsyat menyambar, membuat Yu-siucai terdorong ke belakang dan pada saat tubuhnya condong ke belakang ini, kakinya kena ditendang dan tak dapat dipertahankan lagi, tubuhnya terlempar dan terbanting jatuh di depan kursi Raja Tambolon!
Menyaksikan hasil ini, Ceng Ceng menjadi gembira dan kumat lagi sifatnya yang nakal dan jenaka, sifat yang telah lama hampir dilupakannya semenjak dia menjadi murid Ban-tok Mo-li kemudian ditimpa malapetaka pemerkosaan itu. Tanpa disadarinya, dia bertepuk tangan dan berkata memuji,
“Wah, Yu-siucai sungguh mengagumkan sekali! Sepantasnya kedudukan pengawal diganti menjadi peramal karena ramalan Yu-siucai tepat sekali, pertempuran tadi tepat berlangsung sepuluh jurus seperti yang diramalkannya!”
Mendengar kata-kata yang jelas merupakan ejekan ini, Yu-siucai melompat bangun, tangan kanannya bergerak cepat ke arah pinggangnya dan tahu-tahu dia telah mengeluarkan sepasang poan-koan-pit, yaitu senjata sepasang alat tulis yang terkenal lihai karena sepasang senjata ini merupakan alat-alat menotok jalan darah yang berbahaya.
“Aku tadi telah bersikap kurang hati-hati,” katanya. “Akan tetapi aku belum kalah, Topeng Setan!”
Dengan sikap mengancam dia melangkah satu-satu dengan gerakan tegap menghampiri Topeng Setan. Tiba-tiba dia mengeluarkan seruan keras, tubuhnya bergerak dan tampaklah sepasang sinar kilat menyambar-nyambar dari kedua tangannya ketika senjata poan-koan-pit itu mulai menyerang.
“Hemmm....!”
Topeng Setan terpaksa mengelak ke kanan kiri dan bahkan lalu meloncat ke belakang. Demikian cepat dan hebatnya serangan senjata kecil itu. Dan memang inilah keistimewaan Yu-siucai dan tidak percuma dia dijuluki Siucai Maut karena senjatanya pun sesuai dengan julukannya, yaitu sepasang poan-koan-pit yang berbentuk pensil alat tulis dari baja dan yang dimainkannya secara hebat sekali!
“In-kong, sambut ini!”
Tiba-tiba Ceng Ceng berseru dan dia telah melontarkan sepasang sumpitnya yang tadi dipakai makan, kepada Topeng Setan. Sumpit itu terbuat dari gading dan dapat dipakai sebagai sepasang senjata yang lumayan daripada bertangan kosong menghadapi sepadang poan-koan-pit yang lihai itu.
“Terima kasih!”
Topeng Setan berkata sambil menyambar sepasang sumpit yang melayang ke arahnya itu. Sebetulnya, biarpun menghadapi sepasang senjata di tangan Yu-siucai dengan tangan kosong, Topeng Setan sama sekali tidak merasa jerih karena ilmu kepandaiannya masih jauh lebih tinggi daripada lawannya. Akan tetapi tentu saja Ceng Ceng tidak tahu akan hal ini dan telah membantunya.
“Ha-ha, bagus! Dengan begitu kita sama-sama bersenjata!”
Yu-siucai tertawa girang karena tadi dia merasa malu juga harus menyerang lawan dengan senjata, sedangkan lawannya bertangan kosong. Kini, melihat betapa lawannya telah memegang sumpit, dia menjadi girang. Apa artinya sepasang sumpit itu dibandingkan dengan poan-koan-pitnya? Sekali gempur saja tentu sumpit-sumpit itu akan patah-patah!
Memang dengan poan-koan-pitnya ini Yu-siucai telah mengalahkan banyak lawan secara mengagumkan. Ketika dia akan diterima menjadi pengawal pribadi Tambolon, dia diharuskan memperlihatkan kelihaian poan-koan-pitnya, melawan pengeroyokan selosin orang Mongol yang bersenjata golok besar dan tidak sampai lima puluh jurus saja semua orang Mongol itu telah roboh tertotok oleh sepasang poan-koan-pitnya!
Kini, menghadapi Topeng Setan yang memegang sepasang sumpit dengan tangan kanannya, seperti orang yang hendak makan, diam-diam dia mentertawakannya, lalu poan-koan-pitnya bergerak cepat sekali, yang kiri menotok ke arah pundak kanan, sedangkan poan-koan-pit yang kanan membayangi gerakan senjata yang kiri ini, siap untuk mengirim totokan susulan yang mematikan!
Topeng Setan tentu saja dapat melihat gerakan ini dengan jelas, akan tetapi dia pura-pura tidak mengerti, menggunakan sumpitnya dengan tangan kanan untuk menerima poan-koan-pit kiri lawan yang menotok pundak kanannya.
“Cappp!”
Hebat memang gerakannya karena sepasang sumpitnya itu berhasil “menangkap” poan-koan-pit kiri lawan itu seperti kalau menyumpit sepotong daging saja!
Menyaksikan kecepatan dan gerakan yang tepat ini, Yu-siucai juga kaget sekali, apalagi ketika dia mengerahkan tenaga untuk menarik kembali poan-koan-pit itu dia memperoleh kenyataan betapa senjatanya itu seperti telah menjadi satu dengan sepasang sumpit gading dan tidak dapat dicabut kembali. Akan tetapi, hal ini malah membuat dia girang karena kebodohan lawan, maka cepat sekali poan-koan-pit di tangan kanannya meluncur dan menotok jalan darah di bawah ketiak kiri lawan.
“Cusss....!”
Tepat sekali poan-koan-pit itu mengenai bagian yang harus ditotoknya, mengenai sasaran di bawah ketiak, akan tetapi betapa kagetnya hati siucai itu ketika merasa betapa ujung poan-koan-pitnya itu yang mula-mula mengenai kulit daging lunak, tahu-tahu menancap dan seperti “dihisap”, juga tidak dapat dicabutnya kembali!
Kini Yu-siucai mengerahkan tenaga pada kedua tangannya untuk merampas kembali sepasang poan-koan-pit yang sudah tertangkap lawan itu, yang kiri terjepit oleh sepasang sumpit lawan, sedangkan yang kanan terjepit oleh ketiak lawan.
“Pletak....!” tiba-tiba terdengar suara keras dan poan-koan-pit yang terjepit sumpit itu patah menjadi dua.
Yu-siucai kaget bukan main, melepaskan poan-koan-pit yang sudah patah itu, lalu menggunakan tangan kirinya untuk membantu tangan kanan berusaha mencabut poan-koan-pit yang terjepit di ketiak.
Tiba-tiba Topeng Setan melepaskan jepitannya dan tubuh siucai itu terhuyung ke belakang. Dengan kemarahan meluap, dia lalu menerjang lagi dengan poan-koan-pit yang hanya tinggal sebatang itu. Topeng Setan berkata,
“Hemm, masih belum puas?”
Dia membiarkan poan-koan-pit yang menusuk ke arah lehernya itu lewat dan secepat kilat sepasang sumpitnya digerakkan menotok lutut kanan kiri lawannya. Tanpa dapat dicegah lagi Yu-siucai jatuh berlutut!
“Hi-hik, kalah adalah soal biasa, tidak perlu berlutut, Yu-siucai!” Ceng Ceng berkata sambil tertawa.
“Maafkan saya,”
Topeng Setan berkata sambil melempar sepasang sumpitnya ke atas meja di mana sumpit itu menancap di depan Ceng Ceng dengan rapi.
“Keparat, engkau Tambolon manusia curang!”
Ceng Ceng menjadi marah sekali dan sudah mencabut pedang Ban-tok-kiam dari pinggangnya. Akan tetapi segera dia dikepung oleh Lauw Kui yang bersenjata batang pikulannya yang terbuat dari baja dan Yu Ci Pok yang kini hanya bersenjata sebatang poan-koan-pit dan belasan orang perwira, termasuk Kimonga komandan pasukan liar itu.
“Ha-ha-ha, Nona Lu! Tambolon adalah orang yang perintahnya tidak boleh dibantah oleh siapapun juga, termasuk engkau! Engkau dan temanmu itu harus membantuku, mau atau tidak.”
“Tambolon manusia keparat!”
Ceng Ceng memutar pedang Ban-tok-kiam di tangannya dan semua pengeroyoknya meloncat mundur dengan kaget karena pedang itu mengeluarkan hawa yang menyeramkan. Akan tetapi tiba-tiba mereka melihat nona itu terguling!
Pedang yang menyeramkan itu terlepas dari pegangannya! Mereka bersorak girang, mengira bahwa nona ini pun menjadi korban racun bius di dalam arak merah, maka mereka cepat menubruk dan sekejap mata saja tubuh Ceng Ceng sudah diringkus, kedua kaki tangannya dibelenggu dan gadis ini hanya memaki-maki dan berteriak-teriak.
Dua orang perwira sudah roboh berkelojotan karena sambaran rambut dan ludahnya yang disertai tenaga beracun! Akhirnya dua orang pengawal Tambolon itu yang menanganinya sendiri, menotoknya sehingga dia tidak dapat menggerakkan tubuhnya dan hanya memandang dengan mata melotot!
“Ha-ha-ha, engkau baru tahu kelihaian Tambolon, Nona Lu. Bawa dia ke kamarku dan lempar Topeng Setan itu ke dalam kamar, jaga baik-baik dan belenggu dia jangan sampai terlepas. Akan tetapi perlakukan mereka itu, calon-calon pembantuku, baik-baik!”
Ceng Ceng mendongkol bukan main, dan juga terheran-heran. Tadi, ketika dia hendak mengamuk mati-matian mempertahankan diri dan melindungi Topeng Setan, tiba-tiba kedua kakinya ditotok orang sehingga dia terguling tanpa dapat dipertahankannya lagi, bahkan ketika dia roboh itu, pedang Ban-tok-kiam juga terlepas dari tangannya karena sikunya ditotok orang. Padahal tidak ada orang lain yang dekat dengannya kecuali Si Topeng Setan yang telah rebah pingsan di atas lantai! Apakah pembantunya itu yang menotoknya?
Ah, agaknya tidak mungkin demikian. Ataukah Raja Tambolon sedemikian lihainya sehingga raja itu yang mengeluarkan ilmunya yang mujijat? Akhirnya dia berhenti memaki-maki dan memutar otaknya mencari akal ketika dia dibawa orang ke dalam sebuah kamar dan diikat di atas pembaringan, tidak dapat bergerak dan banyak perwira menjaga di dalam dan di luar kamar itu. Dia menanti apa yang akan terjadi terhadap dirinya sambil mengasah otak mencari akal, sambil diam-diam dia mengkhawatirkan nasib Topeng Setan.
Kini, menghadapi Topeng Setan yang memegang sepasang sumpit dengan tangan kanannya, seperti orang yang hendak makan, diam-diam dia mentertawakannya, lalu poan-koan-pitnya bergerak cepat sekali, yang kiri menotok ke arah pundak kanan, sedangkan poan-koan-pit yang kanan membayangi gerakan senjata yang kiri ini, siap untuk mengirim totokan susulan yang mematikan!
Topeng Setan tentu saja dapat melihat gerakan ini dengan jelas, akan tetapi dia pura-pura tidak mengerti, menggunakan sumpitnya dengan tangan kanan untuk menerima poan-koan-pit kiri lawan yang menotok pundak kanannya.
“Cappp!”
Hebat memang gerakannya karena sepasang sumpitnya itu berhasil “menangkap” poan-koan-pit kiri lawan itu seperti kalau menyumpit sepotong daging saja!
Menyaksikan kecepatan dan gerakan yang tepat ini, Yu-siucai juga kaget sekali, apalagi ketika dia mengerahkan tenaga untuk menarik kembali poan-koan-pit itu dia memperoleh kenyataan betapa senjatanya itu seperti telah menjadi satu dengan sepasang sumpit gading dan tidak dapat dicabut kembali. Akan tetapi, hal ini malah membuat dia girang karena kebodohan lawan, maka cepat sekali poan-koan-pit di tangan kanannya meluncur dan menotok jalan darah di bawah ketiak kiri lawan.
“Cusss....!”
Tepat sekali poan-koan-pit itu mengenai bagian yang harus ditotoknya, mengenai sasaran di bawah ketiak, akan tetapi betapa kagetnya hati siucai itu ketika merasa betapa ujung poan-koan-pitnya itu yang mula-mula mengenai kulit daging lunak, tahu-tahu menancap dan seperti “dihisap”, juga tidak dapat dicabutnya kembali!
Kini Yu-siucai mengerahkan tenaga pada kedua tangannya untuk merampas kembali sepasang poan-koan-pit yang sudah tertangkap lawan itu, yang kiri terjepit oleh sepasang sumpit lawan, sedangkan yang kanan terjepit oleh ketiak lawan.
“Pletak....!” tiba-tiba terdengar suara keras dan poan-koan-pit yang terjepit sumpit itu patah menjadi dua.
Yu-siucai kaget bukan main, melepaskan poan-koan-pit yang sudah patah itu, lalu menggunakan tangan kirinya untuk membantu tangan kanan berusaha mencabut poan-koan-pit yang terjepit di ketiak.
Tiba-tiba Topeng Setan melepaskan jepitannya dan tubuh siucai itu terhuyung ke belakang. Dengan kemarahan meluap, dia lalu menerjang lagi dengan poan-koan-pit yang hanya tinggal sebatang itu. Topeng Setan berkata,
“Hemm, masih belum puas?”
Dia membiarkan poan-koan-pit yang menusuk ke arah lehernya itu lewat dan secepat kilat sepasang sumpitnya digerakkan menotok lutut kanan kiri lawannya. Tanpa dapat dicegah lagi Yu-siucai jatuh berlutut!
“Hi-hik, kalah adalah soal biasa, tidak perlu berlutut, Yu-siucai!” Ceng Ceng berkata sambil tertawa.
“Maafkan saya,”
Topeng Setan berkata sambil melempar sepasang sumpitnya ke atas meja di mana sumpit itu menancap di depan Ceng Ceng dengan rapi.
“Keparat, engkau Tambolon manusia curang!”
Ceng Ceng menjadi marah sekali dan sudah mencabut pedang Ban-tok-kiam dari pinggangnya. Akan tetapi segera dia dikepung oleh Lauw Kui yang bersenjata batang pikulannya yang terbuat dari baja dan Yu Ci Pok yang kini hanya bersenjata sebatang poan-koan-pit dan belasan orang perwira, termasuk Kimonga komandan pasukan liar itu.
“Ha-ha-ha, Nona Lu! Tambolon adalah orang yang perintahnya tidak boleh dibantah oleh siapapun juga, termasuk engkau! Engkau dan temanmu itu harus membantuku, mau atau tidak.”
“Tambolon manusia keparat!”
Ceng Ceng memutar pedang Ban-tok-kiam di tangannya dan semua pengeroyoknya meloncat mundur dengan kaget karena pedang itu mengeluarkan hawa yang menyeramkan. Akan tetapi tiba-tiba mereka melihat nona itu terguling!
Pedang yang menyeramkan itu terlepas dari pegangannya! Mereka bersorak girang, mengira bahwa nona ini pun menjadi korban racun bius di dalam arak merah, maka mereka cepat menubruk dan sekejap mata saja tubuh Ceng Ceng sudah diringkus, kedua kaki tangannya dibelenggu dan gadis ini hanya memaki-maki dan berteriak-teriak.
Dua orang perwira sudah roboh berkelojotan karena sambaran rambut dan ludahnya yang disertai tenaga beracun! Akhirnya dua orang pengawal Tambolon itu yang menanganinya sendiri, menotoknya sehingga dia tidak dapat menggerakkan tubuhnya dan hanya memandang dengan mata melotot!
“Ha-ha-ha, engkau baru tahu kelihaian Tambolon, Nona Lu. Bawa dia ke kamarku dan lempar Topeng Setan itu ke dalam kamar, jaga baik-baik dan belenggu dia jangan sampai terlepas. Akan tetapi perlakukan mereka itu, calon-calon pembantuku, baik-baik!”
Ceng Ceng mendongkol bukan main, dan juga terheran-heran. Tadi, ketika dia hendak mengamuk mati-matian mempertahankan diri dan melindungi Topeng Setan, tiba-tiba kedua kakinya ditotok orang sehingga dia terguling tanpa dapat dipertahankannya lagi, bahkan ketika dia roboh itu, pedang Ban-tok-kiam juga terlepas dari tangannya karena sikunya ditotok orang. Padahal tidak ada orang lain yang dekat dengannya kecuali Si Topeng Setan yang telah rebah pingsan di atas lantai! Apakah pembantunya itu yang menotoknya?
Ah, agaknya tidak mungkin demikian. Ataukah Raja Tambolon sedemikian lihainya sehingga raja itu yang mengeluarkan ilmunya yang mujijat? Akhirnya dia berhenti memaki-maki dan memutar otaknya mencari akal ketika dia dibawa orang ke dalam sebuah kamar dan diikat di atas pembaringan, tidak dapat bergerak dan banyak perwira menjaga di dalam dan di luar kamar itu. Dia menanti apa yang akan terjadi terhadap dirinya sambil mengasah otak mencari akal, sambil diam-diam dia mengkhawatirkan nasib Topeng Setan.
**** 082 ****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar