“Apa? Cinta adalah penyakit? Milana berseru keras.
Karena sudah terlanjur, Bun Beng melanjutkan, mengikuti suara hatinya yang timbul disaat itu.
“Cinta adalah sumber penyakit yang menciptakan penyakit-penyakit baru. Cinta yang dikenal pria dan wanita, sebenarnya tidak patut disebut cinta, bahkan mungkin bukan cinta yang sesungguhnya! Seorang wanita dan seorang pria saling berjumpa, saling mengagumi keelokan masing-masing, saling tertarik. Kemudian timbul hasrat ingin saling memiliki. Itulah cinta! Bukankah keinginan itu hanya nafsu belaka? Nafsu mendapatkan sesuatu demi kesenangan dan kepuasan diri sendiri? Karena itu menjadi sumber penyakit.
Kalau keinginan tidak terkabul, juga timbul penyakit-penyakit baru seperti cemburu, kecewa dan lain-lain. Ketidakcocokan pikiran dan watak mendatangkan pertengkaran dan kemana larinya cinta? Ketidak puasan dalam hubungan satu sama lain menimbulkan kekecewaan, kemana larinya cinta? Cemburu yang menimbulkan kebencian, kemana larinya cinta? Cinta yang dikenal sekarang, terutama oleh kaum pria, hanyalah nafsu dan si wanita hanyalah dijadikan alat penyenang hati dan badannya. Kalau kenyataan sebaliknya, terbanglah cintanya.”
Milana membelalakkan mata, bergidik ngeri.
“Aihhh, kau terlalu kejam, Twako! Kurasa tidak demikian buruk seperti yang kau sangka, atau karena kau belum merngenal, kau lalu mengawur saja tentang cinta. Cinta itu murni, halus, indah bagi wanita. Cinta itu bukan nafsu semata, lebih halus, lebih mendalam, mengenai perasaan hati. Wanita ingin dicinta, ingin dihargai, ingin dikagumi, ingin dimanja. Untuk itu, dia rela berkorban apapun, rela menyerahkan badan dan nyawa untuk laki-laki yang mencintanya.”
“Hemm, dimana ada keinginan, timbullah kekecewaan. Keretakanpun terjadilah seperti Ibu dan Ayahmu, eh, maaf....!”
Bun Beng terkejut dan tiba-tiba saja terbukalah matanya mengenai keretakan hubungan antara Pendekar Super Sakti dan isterinya, Nirahai.
“Kau keliru. Kekecewaan pun akan diterima oleh wanita yang mencinta dan dicinta. Suka sama dinikmati, duka sama dipikul. Itulah cinta....”
Bun Beng menarik napas panjang.
“Ahhh, memang ada perbedaan pendapat tentang cinta antara pria dan wanita, akan tetapi justeru perbedaan pendapat itulah yang menciptakan seninya, seni untuk menyesuaikan diri. Setiap perjuangan menghadapi kenyataan pahit dan usaha untuk mengatasinya, itulah seni hidup. Wanita lebih menggunakan perasaannya yang halus, karena itu cintanya lebih murni, tidak seperti pria yang menggunakan pikirannya sehingga timbullah dorongan-dorongan nafsu jasmani yang kadang-kadang berlebihan sehingga memancing datangnya pertentangan dan persoalan....”
“Sssstt.... ada orang....”
Tiba-tiba Milana berbisik dan ketika Bun Beng mengangkat muka, ternyata muncul lima orang Thian-liong-pang yang sikapnya keren dan menyeramkan. Milana menahan kudanya dan menghadapi lima orang itu dengan pandang mata penuh wibawa. Ia menggunakan lengan kiri dilingkarkan di pinggang Bun Beng, karena maklum bahwa sekali terguncang hebat, pemuda yang masih setengah lumpuh dari pinggang ke bawah itu akan dapat terpelanting dari atas punggung kuda. Tangan kanan memegang kendali kuda dan ia berkata nyaring,
“Kalian berlima menghadang perjalananku, ada maksud apakah?”
Seorang diantara mereka segera mengangkat kedua tangan memberi hormat sambil menjawab,
“Harap Siocia suka memaafkan kami dan suka memaklumi kedudukan dan keadaan kami sebagai petugas dan utusan Pangcu. Kami diperintahkan untuk menangkap atau membunuh pemuda yang bernama Gak Bun Beng ini, dan kami sangat mengharapkan agar Siocia suka menyerahkan kepada kami, mengingat bahwa kami adalah utusan-utusan Pangcu yang berkuasa penuh.”
“Tidak. Aku juga bertugas sebagai manusia sudah mengambil keputusan melidungi Gak Bun Beng. Aku tidak mau menyerahkannya, dan tidak akan membolehkan kalian menangkap atau membunuhnya. Habis, kalian mau apa?”
“Srat-srat-sing-sing!” Tampak sinar kilat ketika lima orang itu mencabut golok masing-masing.
“Maaf, Siocia. Tidak melaksanakan perintah Pangcu berarti nyawa kami melayarrg secara sia-sia. Kalau memaksa sehingga bertentangan dengan Siocia, andaikata kami tewas sekalipun, kami tewas dalam menjalankan tugas sebagai anggauta Thian-liong-pang yang setia. Tentu kami memilih mati sebagai anggauta setia daripada anggauta yang murtad tidak menurut perintah Ketua.”
“Hemm, jadi kalian hendak melawanku?” Milana membentak.
“Bukan melawan Siocia, hanya menjalankan tugas kami.”
“Nona Milana, tinggalkan aku, harap jangan engkau turun tangan melawan orang-orangmu sendiri,” kata Bun Beng.
“Tidak! Aku akan melindugimu dengan taruhan apapun juga.”
“Kalau begitu, biarlah aku menghadapi mereka, kau larikan saja kuda ini!” bisik Bun Beng.
Lima orang itu sudah berpencar mengurung kuda mereka dengan golok di tangan. Tiba-tiba seorang diantara mereka yang berada di sebelah kiri, menggerakkan goloknya membacok ke arah tubuh Bun Beng.
Pemuda ini yang menggantungkan tubuh di lengan Milana yang menahan pinggang, cepat mengikuti gerakan golok, menggunakan ilmu barunya, yaitu ilmu memindahkan tenaga, menggerakkan tubuh kemudian tangan kirinya bergerak membuang ke depan cepat mengenai punggung golok itu.
“Krekkk!”
Golok itu patah menjadi dua, bahkan tangan yang memegang gagangnya menjadi kaku sehingga sisa golok itu terlepas pula. Orangnya meloncat mundur sambil menjerit kaget. Orang ke dua menerjang, disusul orang ke tiga, ke empat dan ke lima. Gerakan mereka hebat, akan tetapi karena mereka itu tentu saja masih menjaga agar senjata mereka jangan sampai mengenai tubuh puteri Ketua mereka, maka gerakan mereka kaku dan tidak leluasa.
Di lain pihak, Bun Beng yang melihat baik ilmunya yang baru itu, cepat menggunakan terus ilmu itu, tubuhnya mengikuti gerakan serangan golok dari atas, dari samping kanan atau kiri, kedua tangannya membabat dan memindahkan tenaga ayunan golok lawan untuk menyerang lawan itu sendiri.
Terdengar jerit-jerit kesakitan dan berturut-turut empat orang itupun terhuyung, ada yang patah tulang lengannya. Ketika mereka meloncat bangun, kuda itu telah dikaburkan cepat-cepat oleh Milana!
Mereka hanya berdiri bengong, terheran-heran karena mereka tidak tahu mengapa senjata mereka patah-patah dan tulang lengan mereka ada yang patah. Belum pernah mereka menyaksikan ilmu seperti yang dimainkan pemuda yang hanya dapat menggerakkan tubuh bagian atas itu!
Karena sudah terlanjur, Bun Beng melanjutkan, mengikuti suara hatinya yang timbul disaat itu.
“Cinta adalah sumber penyakit yang menciptakan penyakit-penyakit baru. Cinta yang dikenal pria dan wanita, sebenarnya tidak patut disebut cinta, bahkan mungkin bukan cinta yang sesungguhnya! Seorang wanita dan seorang pria saling berjumpa, saling mengagumi keelokan masing-masing, saling tertarik. Kemudian timbul hasrat ingin saling memiliki. Itulah cinta! Bukankah keinginan itu hanya nafsu belaka? Nafsu mendapatkan sesuatu demi kesenangan dan kepuasan diri sendiri? Karena itu menjadi sumber penyakit.
Kalau keinginan tidak terkabul, juga timbul penyakit-penyakit baru seperti cemburu, kecewa dan lain-lain. Ketidakcocokan pikiran dan watak mendatangkan pertengkaran dan kemana larinya cinta? Ketidak puasan dalam hubungan satu sama lain menimbulkan kekecewaan, kemana larinya cinta? Cemburu yang menimbulkan kebencian, kemana larinya cinta? Cinta yang dikenal sekarang, terutama oleh kaum pria, hanyalah nafsu dan si wanita hanyalah dijadikan alat penyenang hati dan badannya. Kalau kenyataan sebaliknya, terbanglah cintanya.”
Milana membelalakkan mata, bergidik ngeri.
“Aihhh, kau terlalu kejam, Twako! Kurasa tidak demikian buruk seperti yang kau sangka, atau karena kau belum merngenal, kau lalu mengawur saja tentang cinta. Cinta itu murni, halus, indah bagi wanita. Cinta itu bukan nafsu semata, lebih halus, lebih mendalam, mengenai perasaan hati. Wanita ingin dicinta, ingin dihargai, ingin dikagumi, ingin dimanja. Untuk itu, dia rela berkorban apapun, rela menyerahkan badan dan nyawa untuk laki-laki yang mencintanya.”
“Hemm, dimana ada keinginan, timbullah kekecewaan. Keretakanpun terjadilah seperti Ibu dan Ayahmu, eh, maaf....!”
Bun Beng terkejut dan tiba-tiba saja terbukalah matanya mengenai keretakan hubungan antara Pendekar Super Sakti dan isterinya, Nirahai.
“Kau keliru. Kekecewaan pun akan diterima oleh wanita yang mencinta dan dicinta. Suka sama dinikmati, duka sama dipikul. Itulah cinta....”
Bun Beng menarik napas panjang.
“Ahhh, memang ada perbedaan pendapat tentang cinta antara pria dan wanita, akan tetapi justeru perbedaan pendapat itulah yang menciptakan seninya, seni untuk menyesuaikan diri. Setiap perjuangan menghadapi kenyataan pahit dan usaha untuk mengatasinya, itulah seni hidup. Wanita lebih menggunakan perasaannya yang halus, karena itu cintanya lebih murni, tidak seperti pria yang menggunakan pikirannya sehingga timbullah dorongan-dorongan nafsu jasmani yang kadang-kadang berlebihan sehingga memancing datangnya pertentangan dan persoalan....”
“Sssstt.... ada orang....”
Tiba-tiba Milana berbisik dan ketika Bun Beng mengangkat muka, ternyata muncul lima orang Thian-liong-pang yang sikapnya keren dan menyeramkan. Milana menahan kudanya dan menghadapi lima orang itu dengan pandang mata penuh wibawa. Ia menggunakan lengan kiri dilingkarkan di pinggang Bun Beng, karena maklum bahwa sekali terguncang hebat, pemuda yang masih setengah lumpuh dari pinggang ke bawah itu akan dapat terpelanting dari atas punggung kuda. Tangan kanan memegang kendali kuda dan ia berkata nyaring,
“Kalian berlima menghadang perjalananku, ada maksud apakah?”
Seorang diantara mereka segera mengangkat kedua tangan memberi hormat sambil menjawab,
“Harap Siocia suka memaafkan kami dan suka memaklumi kedudukan dan keadaan kami sebagai petugas dan utusan Pangcu. Kami diperintahkan untuk menangkap atau membunuh pemuda yang bernama Gak Bun Beng ini, dan kami sangat mengharapkan agar Siocia suka menyerahkan kepada kami, mengingat bahwa kami adalah utusan-utusan Pangcu yang berkuasa penuh.”
“Tidak. Aku juga bertugas sebagai manusia sudah mengambil keputusan melidungi Gak Bun Beng. Aku tidak mau menyerahkannya, dan tidak akan membolehkan kalian menangkap atau membunuhnya. Habis, kalian mau apa?”
“Srat-srat-sing-sing!” Tampak sinar kilat ketika lima orang itu mencabut golok masing-masing.
“Maaf, Siocia. Tidak melaksanakan perintah Pangcu berarti nyawa kami melayarrg secara sia-sia. Kalau memaksa sehingga bertentangan dengan Siocia, andaikata kami tewas sekalipun, kami tewas dalam menjalankan tugas sebagai anggauta Thian-liong-pang yang setia. Tentu kami memilih mati sebagai anggauta setia daripada anggauta yang murtad tidak menurut perintah Ketua.”
“Hemm, jadi kalian hendak melawanku?” Milana membentak.
“Bukan melawan Siocia, hanya menjalankan tugas kami.”
“Nona Milana, tinggalkan aku, harap jangan engkau turun tangan melawan orang-orangmu sendiri,” kata Bun Beng.
“Tidak! Aku akan melindugimu dengan taruhan apapun juga.”
“Kalau begitu, biarlah aku menghadapi mereka, kau larikan saja kuda ini!” bisik Bun Beng.
Lima orang itu sudah berpencar mengurung kuda mereka dengan golok di tangan. Tiba-tiba seorang diantara mereka yang berada di sebelah kiri, menggerakkan goloknya membacok ke arah tubuh Bun Beng.
Pemuda ini yang menggantungkan tubuh di lengan Milana yang menahan pinggang, cepat mengikuti gerakan golok, menggunakan ilmu barunya, yaitu ilmu memindahkan tenaga, menggerakkan tubuh kemudian tangan kirinya bergerak membuang ke depan cepat mengenai punggung golok itu.
“Krekkk!”
Golok itu patah menjadi dua, bahkan tangan yang memegang gagangnya menjadi kaku sehingga sisa golok itu terlepas pula. Orangnya meloncat mundur sambil menjerit kaget. Orang ke dua menerjang, disusul orang ke tiga, ke empat dan ke lima. Gerakan mereka hebat, akan tetapi karena mereka itu tentu saja masih menjaga agar senjata mereka jangan sampai mengenai tubuh puteri Ketua mereka, maka gerakan mereka kaku dan tidak leluasa.
Di lain pihak, Bun Beng yang melihat baik ilmunya yang baru itu, cepat menggunakan terus ilmu itu, tubuhnya mengikuti gerakan serangan golok dari atas, dari samping kanan atau kiri, kedua tangannya membabat dan memindahkan tenaga ayunan golok lawan untuk menyerang lawan itu sendiri.
Terdengar jerit-jerit kesakitan dan berturut-turut empat orang itupun terhuyung, ada yang patah tulang lengannya. Ketika mereka meloncat bangun, kuda itu telah dikaburkan cepat-cepat oleh Milana!
Mereka hanya berdiri bengong, terheran-heran karena mereka tidak tahu mengapa senjata mereka patah-patah dan tulang lengan mereka ada yang patah. Belum pernah mereka menyaksikan ilmu seperti yang dimainkan pemuda yang hanya dapat menggerakkan tubuh bagian atas itu!
“Gak-twako, hebat bukan main ilmu pukulanmu tadi! Dalam keadaan lumpuh engkau masih mampu mengalahkan lima orang tokoh Thian-liong-pang yang sudah tinggi tingkatnya. Kalau engkau tidak lumpuh, aku sendiri agaknya tidak akan kuat melawanmu!”
Bun Beng menarik napas panjang.
“Ahhh, engkau terlalu memuji, Nona. Lihat di depan itu, sekarang kita bertemu lawan tangguh.”
Dara itu memandang dan ketika melihat seorang kakek tua yang bermuka bengis dan muka itu berwarna merah muda seperti dicat, terkejut dan berkata,
“Wah, bukankah warna mukanya itu menunjukkan bahwa dia seorang dari Pulau Neraka?”
“Tidak salah lagi, dia seorang dari Pulau Neraka. Nona, lebih baik kau tinggalkan aku, biar aku hadapi sendiri orang-orang yang hendak menyerangku. Aku hanya menyeret engkau ke dalam pertentangan-pertentangan yang amat berbahaya, tidak hanya dengan kaum Thian-liong-pang yang dipimpin oleh Ibumu sendiri bahkan dengan Pulau Neraka.”
“Sudah! Jangan ulangi lagi permintaan seperti itu, Twako. Apa kau kira aku takut menghadapi Pulau Neraka? Kau lihat saja!”
Sambil berkata demikian, Milana mempercepat larinya kuda menghampiri kakek yang berdiri tegak itu.
“Berhenti!”
Kakek itu membentak dengan pengerahan suara khi-kang sehingga terdengar suaranya melengking dan membuat pohon-pohon seperti tergetar dan tiba-tiba kuda itu meringkik dan menunduk, keempat kakinya gemetar, matanya liar ketakutan.
“Orang tua, apa kehendakmu menghentikan perjalananku?” Milana bertanya, sedikitpun tidak merasa takut.
Kakek itu memandang agak heran melihat betapa dara muda itu sama sekali tidak terpengaruh oleh bentakannya tadi, bahkan sedikitpun tidak kelihatan gentar. Ia menudingkan tongkat hitamnya ke arah Bun Beng dan berkata,
“Nona muda, aku menghendaki bocah itu! Ketahuilah bahwa Kongcu dari Pulau Neraka memerintahkan aku menangkap bocah ini, dan sebaiknya engkau tidak menentang kehendak Tuan Muda dari Pulau Neraka.”
“Aku tidak peduli apakah engkau disuruh setan muda ataukah setan tua dari Pulau Neraka, dan aku tidak menentang siapa-siapa. Pemuda ini adalah seorang sahabatku, dan siapapun tidak boleh mengganggunya. Pergilah dan jangan ganggu kami!”
Sinar mata kakek itu berapi-api, tanda bahwa dia marah sekali. Tokoh-tokoh besar di dunia kang-ouw yang berilmu tinggi saja tidak berani memandang rendah Pulau Neraka, akan tetapi nona muda ini berani mengeluarkan kata-kata merendahkan dan menghina. Melihat sikap ini, cepat Bun Beng yang bermaksud menyelamatkan Milana berkata,
“Locianpwe dari Pulau Neraka agaknya tidak tahu siapa Nona ini. Dia adalah puteri dari Thian-liong-pangcu.”
Sinar mata marah itu lenyap, terganti oleh keheranan dan kekagetan.
“Aahhhh? Puteri Pangcu dari Thian-liong-pang?”
Milana tersenyum.
“Kalau benar, mengapa? Thian-liong-pang tidak pernah takut terhadap Pulau Neraka. Sahabatku yang sakit parah ini berada dalam perlindunganku, kalau kau hendak memaksa dan merampasnya, engkau harus dapat mengalahkan aku lebih dulu!”
Kakek bermuka merah muda itu menjadi bimbang. Biarpun dia tidak pernah takut terhadap lawan yang bagaimanapun, akan tetapi mendengar nama puteri Ketua Thian-liong-pang dia gentar juga. Kalau sampai ia salah tangan melukai puteri Ketua Thian-liong-pang, hal itu bukanlah persoalan kecil dan bukan main-main! Bahkan dia tentu akan mendapat teguran hebat atau hukuman dari Majikan Pulau Neraka yang sudah memesan agar para anak buahnya, di luar perintahnya, jangan sampai menimbulkan bentrokan dengan orang-orang Thian-liong-pang dan Pulau Es.
Dan sekarang, dia melakukan perintah untuk menangkap Gak Bun Beng, ternyata pemuda itu dilindungi oleh puteri Ketua Thian-liong-pang sendiri. Andaikata bukan puteri Ketua Thian-liong-pang, melainkan seorang tokoh biasa saja dari Thian-liong-pang, persolannya tentu tidak akan seberat dan segawat ini.
“Maaf, Nona,” akhirnya dia menjura, “Karena tidak tahu, aku bersikap kurang hormat. Aku tidak sekali-kali ingin bertentangan dengan Nona, akan tetapi orang muda ini amat dibutuhkan oleh Kongcu kami, oleh karena itu kuharap Nona suka menyerahkannya kepadaku. Kalau Kongcu mendengar laporanku akan kebaikan hati Nona, tentu Kongcu dan Majikan kami akan mennghaturkan terima kasih kepadamu.”
“Aku tidak butuh terima kasih Kongcumu yang jahat! Minggirlah!”
Milana menyendal kendali kudanya dan Bun Beng sudah siap untuk menghadapi, apabila tokoh Pulau Neraka itu menyerangnya.
Kakek itu tertawa bergelak, tiba-tiba tongkat hitamnya berkelebat, dipukulkan ke arah kepala Bun Beng. Pemuda ini cepat mengikuti gerakan itu dan siap mempergunakan ilmu memindahkan tenaga, akan tetapi tiba-tiba tongkat hitam itu tidak dilanjutkan menyerangnya, sebaliknya menghantam ke bawah.
“Prokkk!”
Kepala kuda itu pecah dan Milana cepat meloncat sambil mengempit pinggang Bun Beng. Muka dara itu menjadi merah, matanya bersinar-sinar penuh kemarahan, tangannya bergerak dan sinar merah menyambar dibarengi bau harum menyengat hidung. Itulah belasan batang jarum Siang-tok-ciam (Jarum Racun Harum) yang amat berbahaya. Sekaligus menyambar ke arah tujuh belas pusat jalan darah di tubuh kakek itu.
Kakek muka merah muda itu terkejut sekali, cepat meloncat tinggi ke atas dan memutar tongkat, mengebutkan lengan baju kiri. Dengan gerakan ini barulah ia dapat terbebas daripada maut, akan tetapi ketika tubuhnya melayang turun, kembali tampak sinar-sinar merah menyambar dari tangan Milana.
“Ayaaa....!”
Kakek itu berjungkir balik, memutar tongkatnya, namun tetap saja sebatang jarum menancap di rambutnya dan hampir saja menggores kulit kepala. Mukanya menjadi pucat sekali. Nyaris nyawanya melayang, hanya seujung rambut selisihnya! Ia mengeluarkan pekik melengking dan muncullah dua orang lain, seorang kakek dan seorang nenek yang keduanya bermuka merah muda pula. Kiranya kakek itu memanggil bala bantuan karena menghadapi puteri Ketua Thian-liong-pang yang amat lihai itu.
Melihat ini, Milana cepat meloncat sambil menggendong tubuh Bun Beng di belakangnya. Ia berlari cepat sekali seperti terbang dan Bun Beng merasa amat tidak enak. Dia tahu bahwa Milana amat lihai, agaknya tidak akan kalah kalau hanya menghadapi tiga orang Pulau Neraka tadi.
Akan tetapi karena dara itu merasa tidak leluasa menghadapi lawan sambil melindunginya yang sudah lumpuh, maka gadis ini cepat membawanya melarikan diri. Yang paling membuat dia tidak enak, jengah dan terharu adalah betapa dara ini memaksanya untuk digendong di belakang punggung!
Cepat sekali Milana melarikan diri, akan tetapi tiga orang Pulau Neraka itu mengejar terus. Biarpun mereka merasa segan untuk memusuhi puteri Ketua Thian-liong-pang, namun mereka bertekad untuk menangkap Bun Beng, pemuda yang tahu akan Sepasang Pedang Iblis yang hanya dapat dirampas sebatang oleh Kongcu mereka, dan pemuda ini malah telah membunuh dua orang Pulau Neraka.
Mereka mengejar terus dengan cepat dan untung bagi mereka bahwa puteri Ketua Thian-liong-pang itu terhalang gerakannya karena menggendong tubuh Bun Beng. Andaikata tidak demikian, tiga orang itu maklum bahwa tidak mungkin mereka dapat mengejar dara yang memiliki sin-kang sedemikian hebatnya itu.
“Nona, di depan itu kumelihat menara tinggi, tentu sebuah kuil. Larilah ke sana. Kalau tidak terhalang olehku, tentu Nona akan mampu menghadapi mereka,”
Kata Bun Beng yang tidak berani lagi menyatakan isi hatinya, yaitu bahwa Si Nona jangan melindunginya terus sehingga dia sendiri terancam bahaya.
“Aku sedang menuju ke sana,” jawab Milana “Lari mereka cepat sekali!”
Menara dari kuil tua itu sudah tampak akan tetapi jaraknya masih cukup jauh dan tiga orang pengejar itu makin dekat, berlari seperti terbang di sebelah belakangnya. Ketika Milana sudah tiba di dekat kuil tua yang ada menara tingginya itu, tiga orang Pulau Neraka sudah dekat sekali, bahkan seorang diantara mereka berseru.
“Nona, lepaskan pemuda itu!”
Dia sudah menggerakkan tangannya dan sebatang tali panjang seperti ular hidup menyambar dari belakang ke arah Milana, ujungnya menotok jalan darah. Bun Beng cepat menangkis dengan tangan ketika melihat tali seperti cambuk itu, akan tetapi begitu ditangkis, ujung tali itu bergerak membelit lehernya!
“Haiiiittt!”
Milana sudah menghentikan kakinya, memutar tubuh dan tangannya cepat menangkap tali yang membelit leher Bun Beng, dengan mengerahkan tenaga sin-kang dia membetot dengan renggutan tiba-tiba.
“Brettt!”
Tali itu putus dan tubuh kakek Pulau Neraka terhuyung ke depan. Milana tidak mempedulikan lagi, cepat membalik dan hendak lari, sedangkan tiga orang itu sudah meloncat dekat, senjata mereka bergerak-gerak. Kakek yang terhuyung itu memutar sisa tali di tangannya sebagai senjata, kakek ke dua menggerakkan sebatang pedang, sedangkan kakek pertama menggerakkan tongkathya.
“Cuat-cuat-cuattt!”
Tampak tiga benda bersinar terang menyambar dari atas menara dan tiga batang hui-to (golok terbang) menancap tepat di depan kaki tiga orang kakek Pulau Neraka itu, hanya sejengkal selisihnya dari kaki mereka. Mereka tiba-tiba berhenti bergerak, memandang gagang golok kecil yang bergoyang-goyang itu dengan mata terbelalak dan muka pucat.
Milana yang menoleh dan melihat ini, menjadi kaget akan tetapi juga girang sekali.
“Ibuku di sana....!”
Ia berseru, kemudian mendaki sebuah tangga yang menuju ke atas menara. Menara itu tinggi sekali, akan tetapi puncaknya sudah rusak, tak terpelihara, hanya tinggal temboknya saja, agaknya atapnya sudah roboh.
Ketika Bun Beng mendengar ini, jantungnya berdebar tegang. Dia menoleh ke bawah dan melihat betapa tiga orang kakek Pulau Neraka itu sudah lari dari tempat itu tanpa berani menoleh lagi. Tentu mereka mengenal senjata rahasia itu! Ia tahu bahwa yang turun tangan mengancam mereka adalah Ketua Thian-liong-pang. Memang hebat sekali golok-golok terbang tadi, agaknya sengaja dilepas untuk mengusir mereka sehingga menancap di depan mereka dalam jarak sejengkal.
Kalau dikehendaki, tentu tiga batang hui-to itu sudah mengenai tubuh mereka dan merenggut nyawa mereka. Bun Beng teringat akan hui-to-hui-to yang dilepas oleh Ketua Thian-liong-pang ketika diadakan pertemuan antara tokoh-tokoh besar dahulu di pulau Sungai Huang-ho. Hui-to yang berbentuk golok kecil atau pisau belati itu oleh Si Ketua yang berkerudung dipergunakan untuk menyerang Pendekar Super Sakti.
Dia bergidik setelah kini teringat bahwa wanita berkerudung itu bukan lain adalah ibu Milana yang cantik jelita itu, isteri sendiri dari Pendekar Super Sakti! Diam-diam ia merasa heran sekali dan menaruh kasihan kepada Pendekar Siluman yang dipujanya. Mengapa hidupnya demikian penuh duka sehingga dimusuhi oleh isteri sendiri. Ia membayangkan pertemuan pendekar sakti itu dengan isterinya, mengenang kembali percekcokan mereka dan diam-diam ia menimbang-nimbang, menyesuaikan ucapan Milana tadi tentang cinta. Sungguh aneh sekali hati wanita, terutama hati ibu Milana ini.
Dan betapa anehnya sikap Pendekar Siluman yang jelas mencinta isterinya. Mengapa mereka saling berpisah? Mengapa si isteri yang tercinta itu seolah-olah hendak memusuhi suami yang tercinta? Sungguh membuat dia bingung dan juga penasaran sekali.
Seorang pria seperti Pendekar Super Sakti, kurang apakah sebagai suami? Berilmu tinggi, gagah dan tampan, berwatak mulia, memiliki kebaikan yang cukup berlebihan untuk menutupi cacadnya, yaitu kakinya yang buntung. Seorang suami seperti dia itu, mengapa tidak cukup membahagiakan hati seorang isteri? Tentu si isteri yang tidak benar! Tentu ibu Milana ini yang tidak benar.
Dia menjadi penasaran dan kalau tadinya dia merasa gentar bertemu dengan Ketua Thian-liong-pang, kini dia malah ingin berjumpa, ingin membela Pendekar Super Sakti yang ia anggap diperlakukan sewenang-wenang oleh ibu Milana!
Dengan cepat namun hati-hati karena menggendong Bun Beng, Milana memanjat tangga itu dan setelah tiba di atas, tampaklah oleh Milana dan Bun Beng sesosok tubuh yang duduk bersila seperti sebuah arca di atas lantai menara. Tubuh ramping dengan kepala berkerudung, Ketua Thian-liong-pang!
“Ibu....!” Milana menurunkan Bun Beng dari gendongan dan berlutut di depan ibunya.
“Locianpwe....” Bun Beng juga memberi hormat dengan duduk karena dia tidak dapat berlutut.
“Milana! Apa yang kau lakukan ini?” suara merdu halus yang keluar dari balik kerudung itu penuh teguran. “Kau berani menentang Thian-liong-pang dan melawan anak buah kita sendiri?”
“Ibu.... aku.... tidak mungkin membiarkan Gak-twako yang terluka hebat ini diganggu. Harap Ibu suka mengampunkannya. Dia luka parah, lumpuh, keracunan dan kalau Ibu tidak menolongnya, dia akan mati.”
“Biar saja mati anak setan ini! Kalau dia tidak mati keracunan, aku sendiri akan turun tangan membunuhnya!”
“Ibu, kasihanilah dia, ampunkanlah....” Milana berkata penuh permohonan.
“Kau malah berani menyebut Ibu kepadaku di depan anak setan ini, Milana, apakah kau hendak membuka rahasia.”
“Locianpwe, harap jangan menyalahkan Nona Milana. Dia tidak membuka rahasia Locianpwe, akan tetapi melihat sikap orang-orang Thian-liong-pang kepadanya, saya sudah dapat menduga bahwa dia puteri Locianpwe. Sungguh tidak saya sangka bahwa Ketua Thian-liong-pang adalah Locianpwe, isteri Pendekar Super.”
“Wuuutttt....!”
Tangan wanita berkerudung itu bergerak dan angin pukulan yang amat hebat menyambar tubuh Bun Beng.
“Ibu....!”
Milana menjerit dan Bun Beng sudah menggulingkan tubuhnya, bergulingan sehingga terhindar dari bahaya maut.
“Anak setan, kau kira aku tak dapat membunuhmu? Untuk kekacauan yang kau buat di Thian-liong-pang, mungkin aku dapat mengampunimu. Akan tetapi engkau telah mengetahui rahasiaku, mengenal siapa Ketua Thian-liong-pang dan untuk hal itu engkau harus mati!”
Tiba-tiba tubuh yang duduk bersila itu meloncat ke atas, dalam keadaan masih duduk bersila, meluncur ke arah Bun Beng dan lengan baju yang lebar panjang itu menyambar ke arah kepala Bun Beng. Pemuda ini terkejut sekali, kembali melempar diri ke belakang dan sambil bergulingan, tiga kali lengannya menangkis.
“Plak-plak-plak....” Ia berhasil menangkis, namun lengan sampai ke pundaknya terasa nyeri dan hampir lumpuh.
“Ibu.... jangan....!” Milana meloncat dan menghadang, akan tetapi sebuah dorongan membuat dara itu terlempar.
Rasa penasaran yang berkumpul di dalam dada Bun Beng seperti akan meledak. Dia sudah siap, duduk dan memandang tajam, siap melawan sampai mati, namun dia tidak akan puas sebelum mengeluarkan isi hatinya.
“Locianpwe! Locianpwe adalah isteri Pendekar Super Sakti yang amat saya muliakan. Dia seorang pendekar sakti yang hebat, yang tiada keduanya di dunia ini, akan tetapi mengapa Locian-pwe sebagai isterinya malah membangun perkumpulan yang keji, menculik dan mencuri kepandaian orang lain? Semua itu masih belum hebat, akan tetapi Lo-cianpwe menjauhkan diri daripadanya, membuat hatinya sengsara. Bukankah kewajiban seorang isteri harus ikut bersama suaminya kemana pun dia pergi? Di mana cinta kasih seorang isteri terhadap suaminya yang demikian mulia seperti Pendekar Super Sakti?”
“Anak setan, lancang mulut, keparat!” Wanita berkerudung itu membentak.
“Locianpwe boleh membunuh saya. Saya tidak takut, apalagi saya telah terluka dan keracunan, tiada harapan hidup lagi. Akan tetapi saya tidak menyesal untuk mati, hanya menyesal sekali melihat Locianpwe selain membikin sengsara hati pendekar sakti yang saya muliakan, juga merusak penghidupan puteri Locian-pwe sendiri! Mengapa Locianpwe tidak membubarkan saja perkumpulan Thian-liong-pang yang keji itu dan mengajak Nona Milana menyusul ayahnya di Pulau Es, hidup bahagia dan damai di sana?”
“Gak Bun Beng, engkau anak datuk kaum sesat, mulutmu melebihi kejahatan Ayahmu!” Wanita itu marah sekali, ucapannya seperti menjerit dan tubuhnya sudah mencelat lagi ke atas.
“Saya memang anak yang hina dan rendah, akan tetapi tidak membikin sakit hati orang lain, apalagi merusak hidup suami dan anak seperti yang Lo-cianpwe lakukan!”
Tiba-tiba tubuh yang sudah mencelat ke atas itu turun lagi, duduk bersila dan dari balik kerudung itu terdengar suara menggetar,
“Bocah setan! Kau tahu apa? Sebelum engkau mampus, buka dulu telingamu, dengarkan baik-baik! Pendekar Siluman yang kau puja-puja itu, apakah dia seorang suami yang baik? Puhhhhh! Engkau tidak tahu urusannya sudah berani mencela aku memuji dia! Engkau tahu apa? Setelah menjadi suamiku, dia tidak mau mengikutiku, dia memisahkan diri. Bahkan dia tidak tahu ketika anaknya dilahirkan, dia tidak peduli, tidak mau mencari kami, tidak mempedulikan kami! Apakah aku harus menyembah-nyembah dan mengemis perhatiannya? Hemm, kau kira aku selemah itu? Tidak, aku akan menandinginya, aku akan membentuk perkumpulan yang lebih kuat daripada Pulau Es! Akan kuserbu Pulau Es dan kukalahkan dia dalam pertandingan! Akan tetapi kau.... kau anak Si Datuk Sesat Gak Liat Si Setan Botak, engkau telah mengetahui rahasiaku, dan engkau harus mampus!”
“Ibu! Jangan...., jangan....!” Tiba-tiba Milana menubruk dan melindungi tubuh Bun Beng.
Nirahai, Ketua Thian-liong-pang yang berkerudung itu, memandang kaget dan heran, kemudian penuh kemarahan dan kekhawatiran membentak dari balik kerudungnya.
“Milana! Apa ini? Gak Bun Beng, berani engkau membuat anakku jatuh cinta?”
“Ibu....!”
“Locianpwe, engkau terlalu keji menuduh anakmu! Orang macam aku ini, keturunan seorang penjahat, mana berani kurang ajar mencinta puteri Pendekar Super Sakti? Nona Milana menolongku hanya karena kasihan, karena dia memiliki watak halus penuh budi luhur seperti ayahnya.”
“Ibu, harap jangan bunuh dia.... ah, Gak-twako, kau bersumpahlah bahwa kau takkan membuka rahasia Ibu.... bersumpahlah, Twako....”
Bun Beng menarik napas panjang.
“Nona, aku tidak takut mati, aku toh akan mati juga, perlu apa aku bersumpah hanya agar tidak dibunuh oleh Ibumu? Akan tetapi mengingat kebaikan-kebaikanmu, biarlah aku bersumpah. Selama hidupku, aku Gak Bun Beng tidak akan membuka rahasia bahwa Ketua Thian-liong-pang adalah isteri Pendekar Super Sakti, bahwa engkau adalah puteri mereka.”
“Ibu, dia sudah bersumpah, ampunkanlah dia, Ibu.”
Melihat sikap puterinya ini, makin gelisah hati Nirahai. Dia melihat tanda-tanda tunas cinta kasih. Puterinya mencinta anak Gak Liat? Betapa rendahnya! Dia tahu betapa berbahayanya cinta kasih kalau sudah menguasai hati wanita. Maka jalan terbaik hanyalah membunuh Bun Beng sebelum terlambat, sebelum cinta kasih yang baru bertunas itu tumbuh dan berakar kuat.
“Minggir kau....!”
Dia menggerakkan tangan dan Milana kembali terlempar ke samping. Ketua Thian-liong-pang ini lalu menerjang dengan tamparan yang amat kuat ke arah kepala Bun Beng, sekali ini tidak lagi menggunakan ujung lengan baju karena pemuda itu terlalu kuat dan pandai untuk diserang begitu saja, melainkan menggunakan tangannya yang ampuh.
“Wuuuutttt!”
Bun Beng memang tidak takut mati, namun dia pantang menyerah begitu saja menyerahkan nyawa tanpa melawan. Hal itu bukanlah watak seorang gagah! Dia teringat akan ilmunya yang baru, yang telah dua kali menolongnya dari bahaya maut.
Melihat datangnya tangan yang menyambar ke arah kepalanya dengan didahului angin pukulan luar biasa dahsyatnya, dia cepat mengikuti arus gerakan tangan lawan, menggerakkan tubuh miring ke kanan, kemudian tangannya sendiri yang dipenuhi aliran tenaganya sendiri ditambah tenaga lawan, dari samping menangkis dengan pukulan dahsyat.
“Dessss....!”
“Aihhhh, pukulan apa ini....!”
Bun Beng menarik napas panjang.
“Ahhh, engkau terlalu memuji, Nona. Lihat di depan itu, sekarang kita bertemu lawan tangguh.”
Dara itu memandang dan ketika melihat seorang kakek tua yang bermuka bengis dan muka itu berwarna merah muda seperti dicat, terkejut dan berkata,
“Wah, bukankah warna mukanya itu menunjukkan bahwa dia seorang dari Pulau Neraka?”
“Tidak salah lagi, dia seorang dari Pulau Neraka. Nona, lebih baik kau tinggalkan aku, biar aku hadapi sendiri orang-orang yang hendak menyerangku. Aku hanya menyeret engkau ke dalam pertentangan-pertentangan yang amat berbahaya, tidak hanya dengan kaum Thian-liong-pang yang dipimpin oleh Ibumu sendiri bahkan dengan Pulau Neraka.”
“Sudah! Jangan ulangi lagi permintaan seperti itu, Twako. Apa kau kira aku takut menghadapi Pulau Neraka? Kau lihat saja!”
Sambil berkata demikian, Milana mempercepat larinya kuda menghampiri kakek yang berdiri tegak itu.
“Berhenti!”
Kakek itu membentak dengan pengerahan suara khi-kang sehingga terdengar suaranya melengking dan membuat pohon-pohon seperti tergetar dan tiba-tiba kuda itu meringkik dan menunduk, keempat kakinya gemetar, matanya liar ketakutan.
“Orang tua, apa kehendakmu menghentikan perjalananku?” Milana bertanya, sedikitpun tidak merasa takut.
Kakek itu memandang agak heran melihat betapa dara muda itu sama sekali tidak terpengaruh oleh bentakannya tadi, bahkan sedikitpun tidak kelihatan gentar. Ia menudingkan tongkat hitamnya ke arah Bun Beng dan berkata,
“Nona muda, aku menghendaki bocah itu! Ketahuilah bahwa Kongcu dari Pulau Neraka memerintahkan aku menangkap bocah ini, dan sebaiknya engkau tidak menentang kehendak Tuan Muda dari Pulau Neraka.”
“Aku tidak peduli apakah engkau disuruh setan muda ataukah setan tua dari Pulau Neraka, dan aku tidak menentang siapa-siapa. Pemuda ini adalah seorang sahabatku, dan siapapun tidak boleh mengganggunya. Pergilah dan jangan ganggu kami!”
Sinar mata kakek itu berapi-api, tanda bahwa dia marah sekali. Tokoh-tokoh besar di dunia kang-ouw yang berilmu tinggi saja tidak berani memandang rendah Pulau Neraka, akan tetapi nona muda ini berani mengeluarkan kata-kata merendahkan dan menghina. Melihat sikap ini, cepat Bun Beng yang bermaksud menyelamatkan Milana berkata,
“Locianpwe dari Pulau Neraka agaknya tidak tahu siapa Nona ini. Dia adalah puteri dari Thian-liong-pangcu.”
Sinar mata marah itu lenyap, terganti oleh keheranan dan kekagetan.
“Aahhhh? Puteri Pangcu dari Thian-liong-pang?”
Milana tersenyum.
“Kalau benar, mengapa? Thian-liong-pang tidak pernah takut terhadap Pulau Neraka. Sahabatku yang sakit parah ini berada dalam perlindunganku, kalau kau hendak memaksa dan merampasnya, engkau harus dapat mengalahkan aku lebih dulu!”
Kakek bermuka merah muda itu menjadi bimbang. Biarpun dia tidak pernah takut terhadap lawan yang bagaimanapun, akan tetapi mendengar nama puteri Ketua Thian-liong-pang dia gentar juga. Kalau sampai ia salah tangan melukai puteri Ketua Thian-liong-pang, hal itu bukanlah persoalan kecil dan bukan main-main! Bahkan dia tentu akan mendapat teguran hebat atau hukuman dari Majikan Pulau Neraka yang sudah memesan agar para anak buahnya, di luar perintahnya, jangan sampai menimbulkan bentrokan dengan orang-orang Thian-liong-pang dan Pulau Es.
Dan sekarang, dia melakukan perintah untuk menangkap Gak Bun Beng, ternyata pemuda itu dilindungi oleh puteri Ketua Thian-liong-pang sendiri. Andaikata bukan puteri Ketua Thian-liong-pang, melainkan seorang tokoh biasa saja dari Thian-liong-pang, persolannya tentu tidak akan seberat dan segawat ini.
“Maaf, Nona,” akhirnya dia menjura, “Karena tidak tahu, aku bersikap kurang hormat. Aku tidak sekali-kali ingin bertentangan dengan Nona, akan tetapi orang muda ini amat dibutuhkan oleh Kongcu kami, oleh karena itu kuharap Nona suka menyerahkannya kepadaku. Kalau Kongcu mendengar laporanku akan kebaikan hati Nona, tentu Kongcu dan Majikan kami akan mennghaturkan terima kasih kepadamu.”
“Aku tidak butuh terima kasih Kongcumu yang jahat! Minggirlah!”
Milana menyendal kendali kudanya dan Bun Beng sudah siap untuk menghadapi, apabila tokoh Pulau Neraka itu menyerangnya.
Kakek itu tertawa bergelak, tiba-tiba tongkat hitamnya berkelebat, dipukulkan ke arah kepala Bun Beng. Pemuda ini cepat mengikuti gerakan itu dan siap mempergunakan ilmu memindahkan tenaga, akan tetapi tiba-tiba tongkat hitam itu tidak dilanjutkan menyerangnya, sebaliknya menghantam ke bawah.
“Prokkk!”
Kepala kuda itu pecah dan Milana cepat meloncat sambil mengempit pinggang Bun Beng. Muka dara itu menjadi merah, matanya bersinar-sinar penuh kemarahan, tangannya bergerak dan sinar merah menyambar dibarengi bau harum menyengat hidung. Itulah belasan batang jarum Siang-tok-ciam (Jarum Racun Harum) yang amat berbahaya. Sekaligus menyambar ke arah tujuh belas pusat jalan darah di tubuh kakek itu.
Kakek muka merah muda itu terkejut sekali, cepat meloncat tinggi ke atas dan memutar tongkat, mengebutkan lengan baju kiri. Dengan gerakan ini barulah ia dapat terbebas daripada maut, akan tetapi ketika tubuhnya melayang turun, kembali tampak sinar-sinar merah menyambar dari tangan Milana.
“Ayaaa....!”
Kakek itu berjungkir balik, memutar tongkatnya, namun tetap saja sebatang jarum menancap di rambutnya dan hampir saja menggores kulit kepala. Mukanya menjadi pucat sekali. Nyaris nyawanya melayang, hanya seujung rambut selisihnya! Ia mengeluarkan pekik melengking dan muncullah dua orang lain, seorang kakek dan seorang nenek yang keduanya bermuka merah muda pula. Kiranya kakek itu memanggil bala bantuan karena menghadapi puteri Ketua Thian-liong-pang yang amat lihai itu.
Melihat ini, Milana cepat meloncat sambil menggendong tubuh Bun Beng di belakangnya. Ia berlari cepat sekali seperti terbang dan Bun Beng merasa amat tidak enak. Dia tahu bahwa Milana amat lihai, agaknya tidak akan kalah kalau hanya menghadapi tiga orang Pulau Neraka tadi.
Akan tetapi karena dara itu merasa tidak leluasa menghadapi lawan sambil melindunginya yang sudah lumpuh, maka gadis ini cepat membawanya melarikan diri. Yang paling membuat dia tidak enak, jengah dan terharu adalah betapa dara ini memaksanya untuk digendong di belakang punggung!
Cepat sekali Milana melarikan diri, akan tetapi tiga orang Pulau Neraka itu mengejar terus. Biarpun mereka merasa segan untuk memusuhi puteri Ketua Thian-liong-pang, namun mereka bertekad untuk menangkap Bun Beng, pemuda yang tahu akan Sepasang Pedang Iblis yang hanya dapat dirampas sebatang oleh Kongcu mereka, dan pemuda ini malah telah membunuh dua orang Pulau Neraka.
Mereka mengejar terus dengan cepat dan untung bagi mereka bahwa puteri Ketua Thian-liong-pang itu terhalang gerakannya karena menggendong tubuh Bun Beng. Andaikata tidak demikian, tiga orang itu maklum bahwa tidak mungkin mereka dapat mengejar dara yang memiliki sin-kang sedemikian hebatnya itu.
“Nona, di depan itu kumelihat menara tinggi, tentu sebuah kuil. Larilah ke sana. Kalau tidak terhalang olehku, tentu Nona akan mampu menghadapi mereka,”
Kata Bun Beng yang tidak berani lagi menyatakan isi hatinya, yaitu bahwa Si Nona jangan melindunginya terus sehingga dia sendiri terancam bahaya.
“Aku sedang menuju ke sana,” jawab Milana “Lari mereka cepat sekali!”
Menara dari kuil tua itu sudah tampak akan tetapi jaraknya masih cukup jauh dan tiga orang pengejar itu makin dekat, berlari seperti terbang di sebelah belakangnya. Ketika Milana sudah tiba di dekat kuil tua yang ada menara tingginya itu, tiga orang Pulau Neraka sudah dekat sekali, bahkan seorang diantara mereka berseru.
“Nona, lepaskan pemuda itu!”
Dia sudah menggerakkan tangannya dan sebatang tali panjang seperti ular hidup menyambar dari belakang ke arah Milana, ujungnya menotok jalan darah. Bun Beng cepat menangkis dengan tangan ketika melihat tali seperti cambuk itu, akan tetapi begitu ditangkis, ujung tali itu bergerak membelit lehernya!
“Haiiiittt!”
Milana sudah menghentikan kakinya, memutar tubuh dan tangannya cepat menangkap tali yang membelit leher Bun Beng, dengan mengerahkan tenaga sin-kang dia membetot dengan renggutan tiba-tiba.
“Brettt!”
Tali itu putus dan tubuh kakek Pulau Neraka terhuyung ke depan. Milana tidak mempedulikan lagi, cepat membalik dan hendak lari, sedangkan tiga orang itu sudah meloncat dekat, senjata mereka bergerak-gerak. Kakek yang terhuyung itu memutar sisa tali di tangannya sebagai senjata, kakek ke dua menggerakkan sebatang pedang, sedangkan kakek pertama menggerakkan tongkathya.
“Cuat-cuat-cuattt!”
Tampak tiga benda bersinar terang menyambar dari atas menara dan tiga batang hui-to (golok terbang) menancap tepat di depan kaki tiga orang kakek Pulau Neraka itu, hanya sejengkal selisihnya dari kaki mereka. Mereka tiba-tiba berhenti bergerak, memandang gagang golok kecil yang bergoyang-goyang itu dengan mata terbelalak dan muka pucat.
Milana yang menoleh dan melihat ini, menjadi kaget akan tetapi juga girang sekali.
“Ibuku di sana....!”
Ia berseru, kemudian mendaki sebuah tangga yang menuju ke atas menara. Menara itu tinggi sekali, akan tetapi puncaknya sudah rusak, tak terpelihara, hanya tinggal temboknya saja, agaknya atapnya sudah roboh.
Ketika Bun Beng mendengar ini, jantungnya berdebar tegang. Dia menoleh ke bawah dan melihat betapa tiga orang kakek Pulau Neraka itu sudah lari dari tempat itu tanpa berani menoleh lagi. Tentu mereka mengenal senjata rahasia itu! Ia tahu bahwa yang turun tangan mengancam mereka adalah Ketua Thian-liong-pang. Memang hebat sekali golok-golok terbang tadi, agaknya sengaja dilepas untuk mengusir mereka sehingga menancap di depan mereka dalam jarak sejengkal.
Kalau dikehendaki, tentu tiga batang hui-to itu sudah mengenai tubuh mereka dan merenggut nyawa mereka. Bun Beng teringat akan hui-to-hui-to yang dilepas oleh Ketua Thian-liong-pang ketika diadakan pertemuan antara tokoh-tokoh besar dahulu di pulau Sungai Huang-ho. Hui-to yang berbentuk golok kecil atau pisau belati itu oleh Si Ketua yang berkerudung dipergunakan untuk menyerang Pendekar Super Sakti.
Dia bergidik setelah kini teringat bahwa wanita berkerudung itu bukan lain adalah ibu Milana yang cantik jelita itu, isteri sendiri dari Pendekar Super Sakti! Diam-diam ia merasa heran sekali dan menaruh kasihan kepada Pendekar Siluman yang dipujanya. Mengapa hidupnya demikian penuh duka sehingga dimusuhi oleh isteri sendiri. Ia membayangkan pertemuan pendekar sakti itu dengan isterinya, mengenang kembali percekcokan mereka dan diam-diam ia menimbang-nimbang, menyesuaikan ucapan Milana tadi tentang cinta. Sungguh aneh sekali hati wanita, terutama hati ibu Milana ini.
Dan betapa anehnya sikap Pendekar Siluman yang jelas mencinta isterinya. Mengapa mereka saling berpisah? Mengapa si isteri yang tercinta itu seolah-olah hendak memusuhi suami yang tercinta? Sungguh membuat dia bingung dan juga penasaran sekali.
Seorang pria seperti Pendekar Super Sakti, kurang apakah sebagai suami? Berilmu tinggi, gagah dan tampan, berwatak mulia, memiliki kebaikan yang cukup berlebihan untuk menutupi cacadnya, yaitu kakinya yang buntung. Seorang suami seperti dia itu, mengapa tidak cukup membahagiakan hati seorang isteri? Tentu si isteri yang tidak benar! Tentu ibu Milana ini yang tidak benar.
Dia menjadi penasaran dan kalau tadinya dia merasa gentar bertemu dengan Ketua Thian-liong-pang, kini dia malah ingin berjumpa, ingin membela Pendekar Super Sakti yang ia anggap diperlakukan sewenang-wenang oleh ibu Milana!
Dengan cepat namun hati-hati karena menggendong Bun Beng, Milana memanjat tangga itu dan setelah tiba di atas, tampaklah oleh Milana dan Bun Beng sesosok tubuh yang duduk bersila seperti sebuah arca di atas lantai menara. Tubuh ramping dengan kepala berkerudung, Ketua Thian-liong-pang!
“Ibu....!” Milana menurunkan Bun Beng dari gendongan dan berlutut di depan ibunya.
“Locianpwe....” Bun Beng juga memberi hormat dengan duduk karena dia tidak dapat berlutut.
“Milana! Apa yang kau lakukan ini?” suara merdu halus yang keluar dari balik kerudung itu penuh teguran. “Kau berani menentang Thian-liong-pang dan melawan anak buah kita sendiri?”
“Ibu.... aku.... tidak mungkin membiarkan Gak-twako yang terluka hebat ini diganggu. Harap Ibu suka mengampunkannya. Dia luka parah, lumpuh, keracunan dan kalau Ibu tidak menolongnya, dia akan mati.”
“Biar saja mati anak setan ini! Kalau dia tidak mati keracunan, aku sendiri akan turun tangan membunuhnya!”
“Ibu, kasihanilah dia, ampunkanlah....” Milana berkata penuh permohonan.
“Kau malah berani menyebut Ibu kepadaku di depan anak setan ini, Milana, apakah kau hendak membuka rahasia.”
“Locianpwe, harap jangan menyalahkan Nona Milana. Dia tidak membuka rahasia Locianpwe, akan tetapi melihat sikap orang-orang Thian-liong-pang kepadanya, saya sudah dapat menduga bahwa dia puteri Locianpwe. Sungguh tidak saya sangka bahwa Ketua Thian-liong-pang adalah Locianpwe, isteri Pendekar Super.”
“Wuuutttt....!”
Tangan wanita berkerudung itu bergerak dan angin pukulan yang amat hebat menyambar tubuh Bun Beng.
“Ibu....!”
Milana menjerit dan Bun Beng sudah menggulingkan tubuhnya, bergulingan sehingga terhindar dari bahaya maut.
“Anak setan, kau kira aku tak dapat membunuhmu? Untuk kekacauan yang kau buat di Thian-liong-pang, mungkin aku dapat mengampunimu. Akan tetapi engkau telah mengetahui rahasiaku, mengenal siapa Ketua Thian-liong-pang dan untuk hal itu engkau harus mati!”
Tiba-tiba tubuh yang duduk bersila itu meloncat ke atas, dalam keadaan masih duduk bersila, meluncur ke arah Bun Beng dan lengan baju yang lebar panjang itu menyambar ke arah kepala Bun Beng. Pemuda ini terkejut sekali, kembali melempar diri ke belakang dan sambil bergulingan, tiga kali lengannya menangkis.
“Plak-plak-plak....” Ia berhasil menangkis, namun lengan sampai ke pundaknya terasa nyeri dan hampir lumpuh.
“Ibu.... jangan....!” Milana meloncat dan menghadang, akan tetapi sebuah dorongan membuat dara itu terlempar.
Rasa penasaran yang berkumpul di dalam dada Bun Beng seperti akan meledak. Dia sudah siap, duduk dan memandang tajam, siap melawan sampai mati, namun dia tidak akan puas sebelum mengeluarkan isi hatinya.
“Locianpwe! Locianpwe adalah isteri Pendekar Super Sakti yang amat saya muliakan. Dia seorang pendekar sakti yang hebat, yang tiada keduanya di dunia ini, akan tetapi mengapa Locian-pwe sebagai isterinya malah membangun perkumpulan yang keji, menculik dan mencuri kepandaian orang lain? Semua itu masih belum hebat, akan tetapi Lo-cianpwe menjauhkan diri daripadanya, membuat hatinya sengsara. Bukankah kewajiban seorang isteri harus ikut bersama suaminya kemana pun dia pergi? Di mana cinta kasih seorang isteri terhadap suaminya yang demikian mulia seperti Pendekar Super Sakti?”
“Anak setan, lancang mulut, keparat!” Wanita berkerudung itu membentak.
“Locianpwe boleh membunuh saya. Saya tidak takut, apalagi saya telah terluka dan keracunan, tiada harapan hidup lagi. Akan tetapi saya tidak menyesal untuk mati, hanya menyesal sekali melihat Locianpwe selain membikin sengsara hati pendekar sakti yang saya muliakan, juga merusak penghidupan puteri Locian-pwe sendiri! Mengapa Locianpwe tidak membubarkan saja perkumpulan Thian-liong-pang yang keji itu dan mengajak Nona Milana menyusul ayahnya di Pulau Es, hidup bahagia dan damai di sana?”
“Gak Bun Beng, engkau anak datuk kaum sesat, mulutmu melebihi kejahatan Ayahmu!” Wanita itu marah sekali, ucapannya seperti menjerit dan tubuhnya sudah mencelat lagi ke atas.
“Saya memang anak yang hina dan rendah, akan tetapi tidak membikin sakit hati orang lain, apalagi merusak hidup suami dan anak seperti yang Lo-cianpwe lakukan!”
Tiba-tiba tubuh yang sudah mencelat ke atas itu turun lagi, duduk bersila dan dari balik kerudung itu terdengar suara menggetar,
“Bocah setan! Kau tahu apa? Sebelum engkau mampus, buka dulu telingamu, dengarkan baik-baik! Pendekar Siluman yang kau puja-puja itu, apakah dia seorang suami yang baik? Puhhhhh! Engkau tidak tahu urusannya sudah berani mencela aku memuji dia! Engkau tahu apa? Setelah menjadi suamiku, dia tidak mau mengikutiku, dia memisahkan diri. Bahkan dia tidak tahu ketika anaknya dilahirkan, dia tidak peduli, tidak mau mencari kami, tidak mempedulikan kami! Apakah aku harus menyembah-nyembah dan mengemis perhatiannya? Hemm, kau kira aku selemah itu? Tidak, aku akan menandinginya, aku akan membentuk perkumpulan yang lebih kuat daripada Pulau Es! Akan kuserbu Pulau Es dan kukalahkan dia dalam pertandingan! Akan tetapi kau.... kau anak Si Datuk Sesat Gak Liat Si Setan Botak, engkau telah mengetahui rahasiaku, dan engkau harus mampus!”
“Ibu! Jangan...., jangan....!” Tiba-tiba Milana menubruk dan melindungi tubuh Bun Beng.
Nirahai, Ketua Thian-liong-pang yang berkerudung itu, memandang kaget dan heran, kemudian penuh kemarahan dan kekhawatiran membentak dari balik kerudungnya.
“Milana! Apa ini? Gak Bun Beng, berani engkau membuat anakku jatuh cinta?”
“Ibu....!”
“Locianpwe, engkau terlalu keji menuduh anakmu! Orang macam aku ini, keturunan seorang penjahat, mana berani kurang ajar mencinta puteri Pendekar Super Sakti? Nona Milana menolongku hanya karena kasihan, karena dia memiliki watak halus penuh budi luhur seperti ayahnya.”
“Ibu, harap jangan bunuh dia.... ah, Gak-twako, kau bersumpahlah bahwa kau takkan membuka rahasia Ibu.... bersumpahlah, Twako....”
Bun Beng menarik napas panjang.
“Nona, aku tidak takut mati, aku toh akan mati juga, perlu apa aku bersumpah hanya agar tidak dibunuh oleh Ibumu? Akan tetapi mengingat kebaikan-kebaikanmu, biarlah aku bersumpah. Selama hidupku, aku Gak Bun Beng tidak akan membuka rahasia bahwa Ketua Thian-liong-pang adalah isteri Pendekar Super Sakti, bahwa engkau adalah puteri mereka.”
“Ibu, dia sudah bersumpah, ampunkanlah dia, Ibu.”
Melihat sikap puterinya ini, makin gelisah hati Nirahai. Dia melihat tanda-tanda tunas cinta kasih. Puterinya mencinta anak Gak Liat? Betapa rendahnya! Dia tahu betapa berbahayanya cinta kasih kalau sudah menguasai hati wanita. Maka jalan terbaik hanyalah membunuh Bun Beng sebelum terlambat, sebelum cinta kasih yang baru bertunas itu tumbuh dan berakar kuat.
“Minggir kau....!”
Dia menggerakkan tangan dan Milana kembali terlempar ke samping. Ketua Thian-liong-pang ini lalu menerjang dengan tamparan yang amat kuat ke arah kepala Bun Beng, sekali ini tidak lagi menggunakan ujung lengan baju karena pemuda itu terlalu kuat dan pandai untuk diserang begitu saja, melainkan menggunakan tangannya yang ampuh.
“Wuuuutttt!”
Bun Beng memang tidak takut mati, namun dia pantang menyerah begitu saja menyerahkan nyawa tanpa melawan. Hal itu bukanlah watak seorang gagah! Dia teringat akan ilmunya yang baru, yang telah dua kali menolongnya dari bahaya maut.
Melihat datangnya tangan yang menyambar ke arah kepalanya dengan didahului angin pukulan luar biasa dahsyatnya, dia cepat mengikuti arus gerakan tangan lawan, menggerakkan tubuh miring ke kanan, kemudian tangannya sendiri yang dipenuhi aliran tenaganya sendiri ditambah tenaga lawan, dari samping menangkis dengan pukulan dahsyat.
“Dessss....!”
“Aihhhh, pukulan apa ini....!”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar