“Ohhh.... tidak....!” Milana berseru lirih.
“Siocia maklum apa artinya perintah ini. Kami harus membunuh dan menghadapi rintangan apapun, karena kegagalan kami harus kami tebus dengan nyawa. Sekali lagi, harap sudi memaafkan kelancangan kami yang hanya kami lakukan dengan terpaksa sekali, untuk melaksanakan perintah Pangcu. Houw-te (Adik Houw), bunuh dia!”
Su Kak Houw sudah siap sejak tadi. Si Lengan Buntung inipun maklum bahwa sekali kakaknya mengeluarkan tanda perintah membunuh dari Ketua mereka, tentu puteri ketua ini sekalipun tidak akan berani menghalangi tugas mereka.
Maka, begitu mendengar perintah kakaknya sebagai pemegang tanda perintah itu, dia cepat melompat mendekati pembaringan Bun Beng, dilanjutkan dengan terjangannya yang dahsyat, sekalipun menggunakan tangan kirinya membacok dengan gerakan dan pengerahan tenaga sakti. Bacokan tangan miring yang dapat membacok putus baja dan besi, yang membuat dia dijuluki Toat-beng-to karena seolah-olah tangan kirinya berubah menjadi sebuah golok pusaka yang luar biasa ampuhnya!
Menghadapi serangan yang amat dahsyat ini, Bun Beng tidak kehabisan akal dan biarpun dia mengambil keputusan untuk melawan dan tidak menyerahkan nyawanya begitu saja, namun ia maklum bahwa dia terancam bahaya maut.
Akan tetapi, angin pukulan yang amat hebat itu mengingatkan dia akan suara angin ketika dia bersama kakek muka kuning Pulau Neraka naik layang-layang dan di serang badai. Teringat ia akan pelajaran dari kakek itu cara menghadapi serangan badai dan cara menyelamatkan layang-layang berikut dirinya.
“Menghadapi serangan angin yang lebih kuat, jangan sekali-kali melawannya secara langsung.” demikian kakek muka kuning itu berteriak-teriak memberi petunjuk untuk mengatasi.
“Kosongkan tenagamu dan turutilah gerak arus angin itu ke arah mana dia menyambar, kemudian belokkan dan buang ke depan. Pasti layang-layang ini akan dapat menguasainya.”
Teringat akan pelajaran yang berkelebat di dalam benaknya pada detik nyawanya terancam maut itu, Bun Beng cepat membuat gerakan otomatis untuk melaksanakan pelajaran itu. Dia membatalkan niatnya hendak menangkis sambaran tangan kiri tokoh Thian-liong-pang itu, bahkan ketika tangan itu menyambar, didahului arus angin amat kuat menyambar ke arah lehernya, otomatis tubuhnya yang duduk itu meliuk ke belakang dan tenaganya sendiri cepat mengalir ke bagian tubuhnya yang kiri bersama arus tenaga yang datang itu.
Ketika telapak tangan lawan itu sudah dekat dengan lehernya, tiba-tiba Bun Beng yang merasa betapa lengan di seluruh lengan kirinya sudah bergabung dengan tenaga yang datang tadi, persis seperti ketika mengemudikan layang-layang, dia cepat membuang tenaga itu melalui tangan kirinya ke depan, membabat turun dari atas ke arah lengan kiri lawan.
“Crakkkk....!”
Terdengar jerit mengerikan. Bun Beng melihat betapa Milana cepat meloncat ke samping dan tubuh lawannya terhuyung-huyung ke belakang. Dia ngeri sekali menyaksikan akibat dari gerakannya tadi, dan memandang dengan mata terbelalak ke arah lengan kiri lawan itu yang kini telah buntung! Ternyata bahwa babatan tangan kirinya tadi telah dapat membuat lengan lawan itu buntung sebatas pangkalnya!
Tanpa disadari, Bun Beng telah dapat mewarisi dan menggunakan ilmu mujijat dari Pulau Neraka, yaitu ilmu “memindahkan tenaga” yang amat hebat. Adapun korban pertama dari ilmunya itu, yang terjadi tanpa ia sengaja, adalah Su Kak Houw tokoh Thian-liong-pang, sungguhpun tadi dia tahu bahwa hal itu dapat terjadi karena adanya bantuan dari Milana.
Ketika tadi Su Kak Houw melancarkan serangan, Milana yang maklum akan kehebatan tangan kiri Su Kak Houw, cepat menyambar dari belakang dengan sebuah totokan kilat sehingga Su Kak Houw tadi terhenti. Andaikata tidak demikian, biarpun ilmu baru Bun Beng mujijat, namun pemuda itu tetap saja terancam bahaya terkena pukulan sebelum lengan Su Kak Houw buntung!
Su Kak Liong terkejut sekali, cepat meloncat ke depan dan menerima tubuh adik kembarnya yang pingsan, dan dia mengambil pula lengan kiri adiknya. Dengan muka pucat Su Kak Liong memandang kepada Milana karena dia menduga bahwa tentu puteri Ketuanya itulah yang membuat lengan adiknya buntung. Dia tidak dapat melihat dan tak akan mau percaya bahwa pemuda yang sudah lumpuh kedua kakinya itu yang membuntungkan lengan adiknya yang lihai.
“Kami hanya melaksanakan tugas perintah Pangcu, akan tetapi Nona berlaku kejam. Kami tidak berani melawanmu, Nona, akan tetapi kami harus melaporkan peristiwa ini kepada Pangcu dan mohon pengadilan.” Setelah berkata demikian, Su Kak Liong memondong tubuh adik kembarnya keluar dari pondok itu.
“Terima kasih atas pertolonganmu, Nona....” Bun Beng berkata, menahan-nahan rasa nyeri hebat yang menyesakkan dada.
Milana menoleh kepadanya.
“Aihh, Twako. Ilmu mujijat apakah yang kau pergunakan tadi....? Ehhh.... kau kenapa....?”
Gadis itu meloncat dekat pembaringan dimana Bun Beng terengah-engah, kemudian pemuda itu menelungkupkan mukanya ke pinggir pembaringan untuk muntahkan darah segar!
“Kau.... kau terluka....!”
Milana berseru khawatir, duduk di tepi pembaringan dan menyusuti darah dari bibir Bun Beng yang terengah-engah itu dengan saputangan.
Bun Beng merasa makin berterima kasih dan tidak enak.
“Sudahlah, Nona.... lebih baik kau tinggalkan aku disini.... pengerahan tenaga tadi memperhebat penyakitku, dan.... kau akan dimusuhi Thian-liong-pang.... tinggalkan aku, aku tidak mau kalau Nona sampai tersangkut dan terancam bahaya karena aku, seorang yang sudah tiga perempat mati.”
“Tidak! Aku harus membawamu kepada orang yang akan dapat mengobatimu, dapat mengeluarkan racun dari tubuhmu. Kalau kau berada di bawah perlindunganku, jangankan orang-orang Thian-liong-pang, biar segala setan iblis di dunia ini akan mengganggu pasti akan kulawan!”
Biarpun dadanya terasa sesak dan nyeri, Bun Beng terpaksa tersenyum juga mendengar ucapan yang keluar dari mulut yang mungil dan manis itu. Ia memandang wajah itu melalui kunang-kunang yang menari di depan matanya.
“Terserah kalau begitu, Nona Milana. Akan tetapi.... aku hanya akan suka menerima budimu dengan hati berat kalau engkau suka berterus terang pula. Orang-orang Thian-liong-pang tadi bukanlah orang-orang yang berkedudukan rendah, dan ilmu kepandaian mereka yang tinggi membuktikan bahwa mereka adalah tokoh-tokoh besar dari Thian-liong-pang. Akan tetapi, mengapa mereka itu amat menghormati dan takut kepada Nona? Ada hubungan apakah antara Nona dengan Thian-liong-pang? Harap Nona suka berterus terang agar aku tidak menjadi bingung dan ragu-ragu.”
“Siocia maklum apa artinya perintah ini. Kami harus membunuh dan menghadapi rintangan apapun, karena kegagalan kami harus kami tebus dengan nyawa. Sekali lagi, harap sudi memaafkan kelancangan kami yang hanya kami lakukan dengan terpaksa sekali, untuk melaksanakan perintah Pangcu. Houw-te (Adik Houw), bunuh dia!”
Su Kak Houw sudah siap sejak tadi. Si Lengan Buntung inipun maklum bahwa sekali kakaknya mengeluarkan tanda perintah membunuh dari Ketua mereka, tentu puteri ketua ini sekalipun tidak akan berani menghalangi tugas mereka.
Maka, begitu mendengar perintah kakaknya sebagai pemegang tanda perintah itu, dia cepat melompat mendekati pembaringan Bun Beng, dilanjutkan dengan terjangannya yang dahsyat, sekalipun menggunakan tangan kirinya membacok dengan gerakan dan pengerahan tenaga sakti. Bacokan tangan miring yang dapat membacok putus baja dan besi, yang membuat dia dijuluki Toat-beng-to karena seolah-olah tangan kirinya berubah menjadi sebuah golok pusaka yang luar biasa ampuhnya!
Menghadapi serangan yang amat dahsyat ini, Bun Beng tidak kehabisan akal dan biarpun dia mengambil keputusan untuk melawan dan tidak menyerahkan nyawanya begitu saja, namun ia maklum bahwa dia terancam bahaya maut.
Akan tetapi, angin pukulan yang amat hebat itu mengingatkan dia akan suara angin ketika dia bersama kakek muka kuning Pulau Neraka naik layang-layang dan di serang badai. Teringat ia akan pelajaran dari kakek itu cara menghadapi serangan badai dan cara menyelamatkan layang-layang berikut dirinya.
“Menghadapi serangan angin yang lebih kuat, jangan sekali-kali melawannya secara langsung.” demikian kakek muka kuning itu berteriak-teriak memberi petunjuk untuk mengatasi.
“Kosongkan tenagamu dan turutilah gerak arus angin itu ke arah mana dia menyambar, kemudian belokkan dan buang ke depan. Pasti layang-layang ini akan dapat menguasainya.”
Teringat akan pelajaran yang berkelebat di dalam benaknya pada detik nyawanya terancam maut itu, Bun Beng cepat membuat gerakan otomatis untuk melaksanakan pelajaran itu. Dia membatalkan niatnya hendak menangkis sambaran tangan kiri tokoh Thian-liong-pang itu, bahkan ketika tangan itu menyambar, didahului arus angin amat kuat menyambar ke arah lehernya, otomatis tubuhnya yang duduk itu meliuk ke belakang dan tenaganya sendiri cepat mengalir ke bagian tubuhnya yang kiri bersama arus tenaga yang datang itu.
Ketika telapak tangan lawan itu sudah dekat dengan lehernya, tiba-tiba Bun Beng yang merasa betapa lengan di seluruh lengan kirinya sudah bergabung dengan tenaga yang datang tadi, persis seperti ketika mengemudikan layang-layang, dia cepat membuang tenaga itu melalui tangan kirinya ke depan, membabat turun dari atas ke arah lengan kiri lawan.
“Crakkkk....!”
Terdengar jerit mengerikan. Bun Beng melihat betapa Milana cepat meloncat ke samping dan tubuh lawannya terhuyung-huyung ke belakang. Dia ngeri sekali menyaksikan akibat dari gerakannya tadi, dan memandang dengan mata terbelalak ke arah lengan kiri lawan itu yang kini telah buntung! Ternyata bahwa babatan tangan kirinya tadi telah dapat membuat lengan lawan itu buntung sebatas pangkalnya!
Tanpa disadari, Bun Beng telah dapat mewarisi dan menggunakan ilmu mujijat dari Pulau Neraka, yaitu ilmu “memindahkan tenaga” yang amat hebat. Adapun korban pertama dari ilmunya itu, yang terjadi tanpa ia sengaja, adalah Su Kak Houw tokoh Thian-liong-pang, sungguhpun tadi dia tahu bahwa hal itu dapat terjadi karena adanya bantuan dari Milana.
Ketika tadi Su Kak Houw melancarkan serangan, Milana yang maklum akan kehebatan tangan kiri Su Kak Houw, cepat menyambar dari belakang dengan sebuah totokan kilat sehingga Su Kak Houw tadi terhenti. Andaikata tidak demikian, biarpun ilmu baru Bun Beng mujijat, namun pemuda itu tetap saja terancam bahaya terkena pukulan sebelum lengan Su Kak Houw buntung!
Su Kak Liong terkejut sekali, cepat meloncat ke depan dan menerima tubuh adik kembarnya yang pingsan, dan dia mengambil pula lengan kiri adiknya. Dengan muka pucat Su Kak Liong memandang kepada Milana karena dia menduga bahwa tentu puteri Ketuanya itulah yang membuat lengan adiknya buntung. Dia tidak dapat melihat dan tak akan mau percaya bahwa pemuda yang sudah lumpuh kedua kakinya itu yang membuntungkan lengan adiknya yang lihai.
“Kami hanya melaksanakan tugas perintah Pangcu, akan tetapi Nona berlaku kejam. Kami tidak berani melawanmu, Nona, akan tetapi kami harus melaporkan peristiwa ini kepada Pangcu dan mohon pengadilan.” Setelah berkata demikian, Su Kak Liong memondong tubuh adik kembarnya keluar dari pondok itu.
“Terima kasih atas pertolonganmu, Nona....” Bun Beng berkata, menahan-nahan rasa nyeri hebat yang menyesakkan dada.
Milana menoleh kepadanya.
“Aihh, Twako. Ilmu mujijat apakah yang kau pergunakan tadi....? Ehhh.... kau kenapa....?”
Gadis itu meloncat dekat pembaringan dimana Bun Beng terengah-engah, kemudian pemuda itu menelungkupkan mukanya ke pinggir pembaringan untuk muntahkan darah segar!
“Kau.... kau terluka....!”
Milana berseru khawatir, duduk di tepi pembaringan dan menyusuti darah dari bibir Bun Beng yang terengah-engah itu dengan saputangan.
Bun Beng merasa makin berterima kasih dan tidak enak.
“Sudahlah, Nona.... lebih baik kau tinggalkan aku disini.... pengerahan tenaga tadi memperhebat penyakitku, dan.... kau akan dimusuhi Thian-liong-pang.... tinggalkan aku, aku tidak mau kalau Nona sampai tersangkut dan terancam bahaya karena aku, seorang yang sudah tiga perempat mati.”
“Tidak! Aku harus membawamu kepada orang yang akan dapat mengobatimu, dapat mengeluarkan racun dari tubuhmu. Kalau kau berada di bawah perlindunganku, jangankan orang-orang Thian-liong-pang, biar segala setan iblis di dunia ini akan mengganggu pasti akan kulawan!”
Biarpun dadanya terasa sesak dan nyeri, Bun Beng terpaksa tersenyum juga mendengar ucapan yang keluar dari mulut yang mungil dan manis itu. Ia memandang wajah itu melalui kunang-kunang yang menari di depan matanya.
“Terserah kalau begitu, Nona Milana. Akan tetapi.... aku hanya akan suka menerima budimu dengan hati berat kalau engkau suka berterus terang pula. Orang-orang Thian-liong-pang tadi bukanlah orang-orang yang berkedudukan rendah, dan ilmu kepandaian mereka yang tinggi membuktikan bahwa mereka adalah tokoh-tokoh besar dari Thian-liong-pang. Akan tetapi, mengapa mereka itu amat menghormati dan takut kepada Nona? Ada hubungan apakah antara Nona dengan Thian-liong-pang? Harap Nona suka berterus terang agar aku tidak menjadi bingung dan ragu-ragu.”
Milana menjadi merah mukanya. Sampai lama dia saling berpandangan dengan Bun Beng dan melihat sinar mata tajam dan membayangkan kemauan yang kokoh kuat itu, tahulah dia bahwa tiada gunanya membohong terhadap pemuda ini, juga amat berbahaya kalau tidak berterus terang.
“Gak-twako, sesungguhnya hal ini merupakan rahasia besar bagiku. Akan tetapi, karena engkau bukanlah orang luar, kumaksudkan bahwa dahulu di waktu kecil engkau telah mengetahui keadaan kami, dan mengingat akan keadaanmu sekarang, bahwa aku harus menolongmu dan engkau telah menyaksikan pula tadi sikap para tokoh Thian-liong-pang, sebaiknya keberitahukan rahasia besar ini, bahwa aku.... aku adalah puteri Ketua Thian-liong-pang. Ketua penuh rahasia yang mukanya selalu dikerudungi itu bukan lain adalah Ibuku sendiri.”
“Ohhhh....!”
Pengakuan ini merupakan pukulan yang amat hebat bagi Bun Beng sehingga ia terjengkang dan rebah pingsan di atas pembaringannya! Ketika siuman kembali Bun Beng merasa dadanya masih nyeri akan tetapi tidak begitu sesak lagi dan kedua kakinya seolah-olah makin mati. Tubuhnya tergoncang-goncang dan ketika ia membuka mata, kiranya ia telah berada di atas punggung kuda lagi, dan Milana duduk di belakangnya.
“Ohhhh.... engkau hendak membawaku kemana, Nona?”
“Gak-twako, kenapa engkau masih selalu bersikap sungkan dan menyebutku Nona seolah-olah kita bukan sahabat lama? Gak-twako, setelah aku menyebut Twako (Kakak) padamu mengapa engkau tidak tidak mau menyebutku Adik?”
“Aihhh, mana aku berani, Nona Milana? Engkau adalah puteri Pendekar Super Sakti, Pendekar Siluman Majikan Pulau Es yang amat terhormat, sakti dan mulia. Engkau juga puteri Ketua Thian-liong-pang yang terkenal di seluruh dunia! Aihhhh.... Nona, sungguh aku terkejut setengah mati mendengar bahwa Ketua Thian-liong-pang adalah Ibumu. Sekarang.... ah, makin keras permintaanku agar engkau tidak menolongku, Nona.”
“Hemm, kenapa? Karena engkau dimusuhi Thian-liong-pang? Tidak peduli! Aku tetap akan melindungimu dan mencarikan orang pandai yang akan dapat menyembuhkanmu.”
Suara dara itu tetap halus namun menyembunyikan tekad yang amat besar, kemauan yang tak mungkin dibelokkan oleh apapun juga.
“Tapi Thian-liong-pang....?”
“Peduli amat! Kalau mereka datang hendak memaksakan kehendak mereka membunuhmu, akan kuhadapi mereka semua!”
“Akan tetapi, Nona. Tak mungkin demikian! Apakah engkau akan melawan Ibumu sendiri? Para tokoh Thian-liong-pang itu hanya melaksanakan tugas perintah Ibumu!”
“Tidak peduli!”
Ingin Bun Beng memandang wajah gadis itu, akan tetapi karena Milana duduk di belakangnya, tentu saja tidak mungkin ia menoleh ke belakang karena hal itu akan terlalu tidak sopan dan muka mereka tentu akan saling berdekatan. Jantungnya berdebar tidak karuan ketika mendengar jawaban itu, maka untuk melepaskan keraguan hatinya yang berdebar tidak karuan itu, dia memberanikan diri berkata,
“Nona Milana, engkau berkeras menolongku dan menghadapi Ibumu sendiri? Ah, mengapa begini? Engkau membuat aku merasa tidak enak sekali! Ibumu tentu akan marah sekali kepadamu, Nona.”
“Biarlah, aku tidak takut.”
Hening sejenak, hanya suara derap kaki kuda yang mereka tunggangi itu terdengar memecah kesunyian hutan yang mereka lalui, namun bagi Bun Beng, detak jantungnya sendiri lebih keras daripada derap kaki kuda.
“Nona Milana....”
“Ah, telingaku menjadi sakit mendengar sebutanmu nona berkali-kali itu, Twako. Sebut saja namaku, tanpa nona.”
“Maaf, aku tidak berani. Nona Milana, kita bersama lahir sebagai manusia yang sejak kecil digembleng ilmu kekerasan dan kita mengutamakan kejujuran dan kegagahan. Kini kita berdua menghadapi hal yang amat rumit, yang bahwa engkau sebagai puteri Ketua Thian-liong-pang bertekad melindungi aku dari keinginan Ibumu sendiri yang mengutus orang-orangnya untuk membunuhku. Kuharap kau suka menjawab dengan terus terang dan jujur, Nona. Mengapa engkau bersikap seperti ini?”
Hening pula sejenak, kemudian terdengar Milana balas bertanya,
“Apa maksudmu, Twako? Aku tidak mengerti.”
“Nona, mengapa engkau lebih memberatkan aku daripada Ibumu? Jelas bahwa aku bersalah besar terhadap Ibumu sehingga kini Ibumu mengutus orang-orangnya untuk membunuhku. Akan tetapi mengapa engkau melindungiku mati-matian dan tidak enggan melawan Ibumu sendiri? Mengapa engkau lebih memberatkan aku daripada Ibumu?”
Kini suasana menjadi hening, agak lama karena Milana memandang ke atas dengan alis berkerut, agaknya sukar baginya menemukan jawaban untuk pertanyaan Bun Beng itu. Berkali-kali ia menghela napas panjang, kemudian terdengar ia menjawab,
“Sukar sekali menjawab pertanyaanmu, Twako. Akan tetapi setelah kupikir-pikir, agaknya aku sadar akan kekejaman Thian-liong-pang, sadar akan kesesatan Ibu dan kesalahannya terhadap engkau yang tak berdosa. Karena kesadaran itu maka aku berusaha menentang dan kebetulan bertemu denganmu yang terancam oleh Thian-liong-pang. Nah, puaskah kau dengan jawabanku, Twako?”
Bun Beng menggeleng kepala.
“Aku tidak puas, Nona, karena jawaban itu terlalu dicari-cari, dan bukan itu sebabnya. Mengapa untuk menjadi sadar engkau harus menunggu sampai berjumpa denganku? Pula, untuk menyadarkan seorang ibu, tentu cukup dengan menegur dan mengingatkan. Masa sampai menentangnya dan membela orang lain. Maaf, Nona. Coba engkau bayangkan andaikata bukan aku yang kau jumpai, melainkan orang lain yang sama sekali tidak kau kenal, apakah engkau juga akan membelanya dari Ibumu dan Thian-liong-pang? Begitu banyak orang pandai, diculik oleh Thian-liong-pang untuk dicuri ilmunya, mengapa engkau mendiamkannya saja dan tidak ada seorangpun yang kau bela? Mengapa justru aku yang kau bela sehingga kau siap menghadapi pertentangan dengan perkumpulan Ibumu? Harap kau suka menjelaskan, dan mengaku secara jujur, apa sebabnya, Nona?”
Kini lebih lama lagi keadaan menjadi sunyi. Bun Beng mendengarkan dan menanti dengan jantung berdebar tegang. Akan tetapi sunyi saja di belakangnya. Akhirnya terdengar Milana tertawa halus suara tertawa yang jelas sekali bagi Bun Beng adalah suara untuk menutupi kegugupannya.
“Hi-hik, engkau ini aneh-aneh saja, Gak-twako. Aku sampai menjadi bingung. Sudahlah, aku tak dapat menjawab karena aku sendiri tidak mengerti, mengapa aku tiba-tiba ingin membelamu mati-matian. Karena engkau bertanya dengan demikian mendesak, agaknya engkau yang tahu akan sebabnya, Twako. Maka tolonglah engkau yang menjawabkan untukku.”
“Nona Milana, tidaklah mengherankan kalau engkau sendiri tidak tahu, karena memang hal ini amat sulit dimengerti, hanya terasa oleh hati. Engkau bertemu denganku, lalu timbul hasrat untuk menolongku, melindungiku mati-matian bahkan rela bertentangan dengan Ibu sendiri. Hal ini tidak lain adalah karena cinta!”
“Heiiiii.... aduuuhhh....!”
Tubuh Bun Beng terbanting dari atas punggung kuda karena dalam keadaan kaget setengah mati mendengar ucapan pemuda itu, Milana mengeluarkan suara melengking nyaring yang membuat kudanya meringkik dan mengangkat kaki depan ke atas dan tergulinglah tubuh Bun Beng yang kedua kakinya lumpuh itu!
“Ohhh, Twako.... kau tidak apa-apa?” Milana cepat meloncat turun dan berlutut di dekat Bun Beng yang sudah rebah terlentang.
Pemuda itu menggeleng kepala dan berusaha tersenyum, lalu ia bangkit duduk dengan menekankan kedua tangan pada tanah. Mereka saling berpandangan.
“Aku mohon maaf sebesarnya atas ucapanku tadi, Nona. Bukan niatku untuk menghinamu, aku hanya bicara menurutkan suara hati. Maafkanlah aku yang lancang mulut.”
“Engkau orang aneh!” Milana menyambar kedua lengan Bun Beng dan membawanya melompat ke atas kuda lagi. “Aku yang membikin kau terjatuh dari kuda, malah engkau yang minta maaf.”
“Tentu saja, karena aku jatuh oleh kagetnya kuda, kuda kaget oleh lengkinganmu, dan engkau melengking oleh ucapanku. Jadi biang keladinya adalah aku sendiri, maka aku yang bersalah dan aku yang minta maaf.”
“Kata-katamu tadi tidak perlu dimintakan maaf. Akan tetapi, aku menjadi makin heran. Aku tidak tahu apa-apa tentang cinta. Cinta yang bagaimana yang kau maksudkan? Yang ada dalam hatiku hanyalah perasaan ingin menolongmu. Apakah itu cinta yang mendorongnya ataukah perasaan lain, aku tidak tahu. Aku melihatmu, teringat akan masa lalu, dan aku kasihan kepadamu, maka aku ingin menolongmu, Twako. Kalau orang-orang Thian-liong-pang tadi kulawan, karena timbul penasaran dan kemarahan di hatiku, mengapa engkau yang sudah terluka dan dalam keadaan terancam maut ini masih mereka ganggu. Apakah ini semua sebab cinta? Aku tidak tahu dan tak dapat menjawab. Agaknya engkau adalah seorang ahli tentang cinta, Twako, maka tolonglah beri penjelasan dan kuliah tentang cinta.”
Seketika merah kedua pipi Bun Beng dan ia menyeringai, tersenyum masam yang untung tidak tampak oleh dara yang duduk di belakangnya.
“Wah, aku sendiri tidak tahu tentang itu, Nona, aku sendiripun belum mengenal cinta....”
“Ah, kau bohong, Twako!”
“Sungguh mati!”
“Usiamu tentu telah banyak, setidaknya beberapa tahun lebih tua daripada aku yang baru tujuh belas tahun.”
“Aku enam tahun lebih tua, Nona. Akan tetapi, aku.... aku belum pernah.... eh, maksudku mengalami cinta, dan.... eh, apa yang kita bicarakan ini? Sama-sama tidak tahu tentang cinta, akan tetapi sudah berani bicara. Mana bisa?”
Bun Beng tertawa dan Milana juga tertawa. Tiba-tiba Bun Beng merasa betapa gembira hatinya. Aneh sekali! Dia tahu bahwa dirinya terancam maut, sedikit sekali harapan dapat tertolong. Mengapa dia tidak merasa takut, tidak merasa khawatir dan tidak merasa berduka, bahkan hatinya penuh rasa gembira? Kedua kakinya masih lumpuh, dadanya masih nyeri, akan tetapi rasa gembira mengalahkan semua ini.
“Kau benar, Twako. Sekarang lebih baik kau ceritakan semua pengalamanmu mengapa engkau sampai terluka hebat seperti ini, dan dari mana engkau datang, bagaimana pula engkau menjadi tawanan orang-orang Pulau Neraka di perahu itu.”
“Hemm, semua itu gara-gara Sepasang Pedang Iblis....”
“Ehhhh? Sepasang Pedang Iblis? Dimana kedua pedang pusaka itu?”
Bun Beng menarik napas panjang. Agaknya dara jelita inipun terkena pula wabah “demam Sepasang Pedang Iblis” yang diderita semua orang kang-ouw sehingga terjadi perebutan sejak dahulu.
“Sayang pedang-pedang itu tidak berada di tanganku lagi, sungguhpun akulah yang menemukannya. Kalau tidak terampas orang tentu yang sebuah akan kuberikan kepadamu, Nona.”
“Ahhh, suaramu itu! Apa kau kira aku terlalu ingin memperoleh pedang yang namanya saja begitu mengerikan? Tidak, Twako. Aku hanya ingin mengatakan bahwa kalau Sepasang Pedang Iblis itu berada di tanganmu, sudah dapat ditentukan nyawamu akan tertolong!”
“Eh, kenapa begitu?”
“Ibu tentu akan girang sekali menerima sepasang pedang itu, dan akan berterima kasih kepadamu. Ibu tentu akan suka mengampunimu bahkan akan mengobatimu sampai sembuh. Betapapun juga kalau dapat mengatakan dimana adanya pedang-pedang itu saja, Ibu tentu sudah menjadi girang sekali. Ceritakanlah, Twako bagaimana pedang itu terampas orang dan bagaimana pula engkau terluka hebat?”
“Yang melukai aku adalah seorang sakti yang berilmu tinggi dari negeri barat, namanya Maharya dengan muridnya....”
“Aihhhh....! Tan-siucai dan gurunya yang dahulu mencuri pedang Hok-mo-kiam buatan Kakek Nayakavhira dan yang membunuh burung-burung garuda dari Pulau Es itu?”
Bun Beng mengangguk.
“Ya, mengenai sepasang pedang itu, yang betina kuberikan kepada Nona Giam Kwi Hong dan....”
“Aihhhh! Enci Kwi Hong?” Milana berseru girang mendengar nama ini, akan tetapi suaranya tiba-tiba berubah lirih ketika melanjutkan, “Kau.... berikan pedang itu kepadanya?”
Bun Beng tidak mendengar perbedaan suara ini dan ia mengangguk.
“Pedang betina kuberikan kepadanya, dan pedang jantan yang kubawa telah terampas....”
“Oleh Tan Ki dan Maharya?”
“Bukan, oleh pemuda iblis dari Pulau Neraka.”
“Ohhh....!”
Kaget bukan main hati Milana mendengar ini. Ibunya tentu akan marah sekali mendengar bahwa Sepasang Pedang Iblis yang amat diinginkan itu ternyata telah terjatuh ke tangan Pulau Es dan Pulau Neraka!
“Bagaimana bisa demikian?”
Bun Beng lalu menceritakan pengalamannya semenjak bersama Kwi Hong dia mengambil sepasang pedang itu dari tempat ia menyembunyikannya, kemudian betapa mereka bertemu dengan Tan Ki dan Maharya, kemudian muncul pemuda lihai dari Pulau Neraka yang berhasil merampas Lam-mo-kiam dari tangannya. Milana mendengarkan dengan hati tertarik bercampur kecewa.
“Untung bahwa aku telah memberikan Li-mo-kiam kepada Nona Kwi Hong sehingga dapat dibawanya lari. Sayang bahwa Lam-mo-kiam terampas oleh pemuda iblis itu, kalau tidak, aku tentu dengan girang akan memberikan Lam-mo-kiam kepadamu, Nona Milana.”
Ucapan yang menutup penuturannya ini membuat Bun Beng terbayang akan wajah Kwi Hong dan teringatlah ia akan perjalanannya berdua dengan nona itu. Diam-diam ia membandingkan Kwi Hong dengan Milana. Kwi Hong juga tidak mau disebut nona, bahkan marah-marah sehingga terpaksa dia menyebut murid Pendekar Super Sakti itu dengan namanya saja.
Akan tetapi sikap dan sifat Milana lain. Dara ini amat halus tutur sapa dan gerak-geriknya sehingga dia merasa sungkan untuk menyebut namanya begitu saja. Dara ini dengan sikapnya yang halus lemah lembut, memiliki wibawa yang agung dan membuat dia tak berani untuk bersikap tidak hormat!
“Gak-twako, engkau tentu tahu bahwa Sepasang Pedang Iblis itu menjadi rebutan seluruh dunia kang-ouw. Setelah secara kebetulan kau mendapatkan pusaka-pusaka itu, mengapa dengan mudah saja kau berikan sebuah kepada Enci Kwi Hong?”
Bun Beng termenung mendengar pertanyaan ini dan diam-diam mukanya berubah tanpa dapat dilihat Milana yang duduk di belakangnya. Sejenak Bun Beng tak dapat menjawab, mengerutkan kening berpikir, kemudian baru ia menjawab setelah berpikir lama,
“Kurasa tidak aneh, Nona. Untuk apakah aku memiliki dua batang pedang? Tidak ada buruknya kalau aku menyerahkan sebatang kepada Nona Kwi Hong, dan mengapa kepada dia kuserahkan Li-mo-kiam? Pertama, karena kebetulan menemaniku mengambil Sepasang Pedang Iblis. Ke dua, karena dia adalah murid Pendekar Super Sakti yang amat kukagumi dan muliakan. Itulah sebabnya.”
Hening sejenak sebelum Milana bertanya lagi.
“Gak-twako, apakah engkau mencintai Enci Kwi Hong?”
“Hahh....?” Pertanyaan yang keluar dengan suara halus seperti berbisik itu benar-benar tak disangka-sangka, terlalu tiba-tiba datangnya membuat Bun Beng gelagapan seolah-olah dia dibenamkan ke dalam air. “Apa.... apa maksudmu, Nona....?”
“Twako, semenjak masih kecil dahulu, sudah tampak betapa engkau dan Enci Kwi Hong cocok dan akrab sekali. Kini Pedang Li-mo-kiam adalah sebatang diantara Sepasang Pedang Iblis yang diperebutkan seluruh orang kang-ouw. Tokoh-tokoh besar di dunia kang-ouw akan rela mempertaruhkan nyawanya untuk mendapatkan sebatang di antaranya. Akan tetapi engkau dengan mudah saja menyerahkannya kepada Enci Kwi Hong. Kalau engkau mencinta Enci Kwi Hong, hal itu tidaklah aneh lagi. Aku hanya ingin tahu apakah engkau mencinta Enci Kwi Hong?”
“Ahhhh, Nona Milana! Engkau membuat aku malu saja. Orang macam aku ini mana ada hak untuk mencinta seorang seperti dia? Dia adalah murid Pendekar Super Sakti, bahkan dia adalah keponakan Beliau! Mana mungkin dan mana pantas aku jatuh cinta kepadanya? Tidak, Nona, harap tidak menyangka yang bukan-bukan. Aku menyerahkan Li-mo-kiam kepadanya hanya karena mengingat kepada gurunya dan pamannya, Pendekar Siluman atau Pendekar Super Sakti, Majikan Pulu Es yang kuhormati.”
Tanpa terlihat oleh Bun Beng, pandang mata Milana termenung ketika ia mendengar jawaban itu. Sampai lama dia termenung sambil menjalankan kudanya menuruni lembah gunung, memasuki hutan ke dua yang besar dan agak gelap. Hatinya tenang saja karena dia mengenal hutan ini, tahu bahwa dia sudah memasuki wilayah di luar kekuasaan Thian-liong-pang dan ia tahu benar bahwa ibunya melarang anak buahnya melakukan sesuatu di luar wilayah kekuasaannya untuk menjaga nama Thian-liongpang, kecuali utusan-utusan khusus yang ditugaskan untuk suatu keperluan.
Dia bermaksud pergi ke kota Siang-bun di sebelah selatan hutan besar itu, disana ia mendengar tinggal seorang tabib yang pandai. Siapa tahu barangkali tabib itu akan dapat menolong Bun Beng.
“Engkau merasa terlalu rendah untuk mencinta Enci Kwi Hong, Twako?”
Kembali pertanyaan yang tiba-tiba datangnya dan tidak tersangka-sangka, sehingga Bun Beng menjadi terkejut dan menjawab gagap,
“Ya.... ya.... begitulah.”
“Misalnya.... terhadap diriku, bagaimana? Apakah engkau juga merasa terlalu rendah untuk jatuh cinta kepadaku? Ini hanya umpamanya saja, Twako.”
Bun Beng terbelalak, jantungnya berdebar keras. Betapa jujur dan polos hati dara ini! Mukanya menjadi panas seperti dibakar rasanya.
“Ahhh.... mana aku berani, Nona? Lebih-lebih terhadapmu! Engkau adalah puteri Pendekar Super Sakti, puteri Ketua Thian-liong-pang! Sedangkan aku...., aku hanya anak yang tidak syah dari seorang tokoh hitam, datuk kaum sesat!”
Milana merasa terharu.
“Aihh, engkau terlalu merendahkan diri, Gak-twako. Bagiku, aku tidak menilai seseorang karena keturunannya, karena wajahnya maupun karena kepandaian atau kedudukannya. Cinta adalah urusan hati, bukan urusan mata, urusan batin, bukan urusan lahir.”
Jantung Bun Beng makin berdebar. Kata-kata yang amat aneh terdengar olehnya, kata-kata yang sukar sekali untuk diselami dan dikenal bagaimana isi hati orang yang mengucapkannya. Dia menjadi ragu-ragu dan penasaran, maka dia memberanikan hatinya bertanya.
“Maaf, Nona Milana. Sekali lagi aku bermulut lancang mengajukan pertanyaan ini. Apakah Nona mencintaku?”
Bun Beng dapat merasakan dengan punggungnya yang bersentuhan dengan tubuh dara itu betapa Milana agak gemetar mendengar pertanyaan itu, akan tetapi jawaban yang keluar dengan halus itu tetap tenang.
“Aku tidak tahu, Twa-ko. Bagaimana aku tahu kalau aku sendiri tidak mengerti apa artinya cinta itu sendiri? Aku merasa suka kepadamu, dan merasa kasihan kepadamu. Hanya itulah yang terasa di hatiku, yang membuat aku mengambil keputusan bulat untuk membela dan menolongmu. Aku tidak tahu apakah suka dan kasihan itu sama dengan cinta. Bagaimana pendapatmu, Twako? Tahukah engkau apa sebetulnya cinta?”
Bun Beng tidak dapat menjawab. Kuda itu berjalan terus, perlahan-lahan dan keduanya diam, seolah-olah tenggelam dalam lamunan tentang cinta. Bun Beng memandang ke depan ke arah pohon-pohon seolah-olah ingin mencari jawaban tentang arti cinta diantara daun-daun pohon, diantara sinar matahari dan bayangan benda-benda yang bersinar oleh cahaya matahari.
Dahulu ketika ia mengenangkan wajah tiga orang wanita, wajah Kwi Hong, wajah Ang Siok Bi puteri Ketua Bu-tong-pai, wajah Milana, ia pernah merenungkan tentang cinta. Kemudian, ketika ia masih kecil, pertemuan antara Pendekar Super Sakti dan isterinya, Nirahai yang ternyata adalah ibu kandung Milana, juga membuatnya termenung dan mulailah ia berpikir tentang cinta. Cinta antara pria dan wanita, apa itu?
“Cinta adalah penyakit!”
Tiba-tiba saja ucapan ini keluar dari mulutnya, tidak hanya mengejutkan hati Milana, juga mengagetkan Bun Beng sendiri karena kata-katanya sendiri itu seperti terlompat keluar tanpa disadarinya.
“Gak-twako, sesungguhnya hal ini merupakan rahasia besar bagiku. Akan tetapi, karena engkau bukanlah orang luar, kumaksudkan bahwa dahulu di waktu kecil engkau telah mengetahui keadaan kami, dan mengingat akan keadaanmu sekarang, bahwa aku harus menolongmu dan engkau telah menyaksikan pula tadi sikap para tokoh Thian-liong-pang, sebaiknya keberitahukan rahasia besar ini, bahwa aku.... aku adalah puteri Ketua Thian-liong-pang. Ketua penuh rahasia yang mukanya selalu dikerudungi itu bukan lain adalah Ibuku sendiri.”
“Ohhhh....!”
Pengakuan ini merupakan pukulan yang amat hebat bagi Bun Beng sehingga ia terjengkang dan rebah pingsan di atas pembaringannya! Ketika siuman kembali Bun Beng merasa dadanya masih nyeri akan tetapi tidak begitu sesak lagi dan kedua kakinya seolah-olah makin mati. Tubuhnya tergoncang-goncang dan ketika ia membuka mata, kiranya ia telah berada di atas punggung kuda lagi, dan Milana duduk di belakangnya.
“Ohhhh.... engkau hendak membawaku kemana, Nona?”
“Gak-twako, kenapa engkau masih selalu bersikap sungkan dan menyebutku Nona seolah-olah kita bukan sahabat lama? Gak-twako, setelah aku menyebut Twako (Kakak) padamu mengapa engkau tidak tidak mau menyebutku Adik?”
“Aihhh, mana aku berani, Nona Milana? Engkau adalah puteri Pendekar Super Sakti, Pendekar Siluman Majikan Pulau Es yang amat terhormat, sakti dan mulia. Engkau juga puteri Ketua Thian-liong-pang yang terkenal di seluruh dunia! Aihhhh.... Nona, sungguh aku terkejut setengah mati mendengar bahwa Ketua Thian-liong-pang adalah Ibumu. Sekarang.... ah, makin keras permintaanku agar engkau tidak menolongku, Nona.”
“Hemm, kenapa? Karena engkau dimusuhi Thian-liong-pang? Tidak peduli! Aku tetap akan melindungimu dan mencarikan orang pandai yang akan dapat menyembuhkanmu.”
Suara dara itu tetap halus namun menyembunyikan tekad yang amat besar, kemauan yang tak mungkin dibelokkan oleh apapun juga.
“Tapi Thian-liong-pang....?”
“Peduli amat! Kalau mereka datang hendak memaksakan kehendak mereka membunuhmu, akan kuhadapi mereka semua!”
“Akan tetapi, Nona. Tak mungkin demikian! Apakah engkau akan melawan Ibumu sendiri? Para tokoh Thian-liong-pang itu hanya melaksanakan tugas perintah Ibumu!”
“Tidak peduli!”
Ingin Bun Beng memandang wajah gadis itu, akan tetapi karena Milana duduk di belakangnya, tentu saja tidak mungkin ia menoleh ke belakang karena hal itu akan terlalu tidak sopan dan muka mereka tentu akan saling berdekatan. Jantungnya berdebar tidak karuan ketika mendengar jawaban itu, maka untuk melepaskan keraguan hatinya yang berdebar tidak karuan itu, dia memberanikan diri berkata,
“Nona Milana, engkau berkeras menolongku dan menghadapi Ibumu sendiri? Ah, mengapa begini? Engkau membuat aku merasa tidak enak sekali! Ibumu tentu akan marah sekali kepadamu, Nona.”
“Biarlah, aku tidak takut.”
Hening sejenak, hanya suara derap kaki kuda yang mereka tunggangi itu terdengar memecah kesunyian hutan yang mereka lalui, namun bagi Bun Beng, detak jantungnya sendiri lebih keras daripada derap kaki kuda.
“Nona Milana....”
“Ah, telingaku menjadi sakit mendengar sebutanmu nona berkali-kali itu, Twako. Sebut saja namaku, tanpa nona.”
“Maaf, aku tidak berani. Nona Milana, kita bersama lahir sebagai manusia yang sejak kecil digembleng ilmu kekerasan dan kita mengutamakan kejujuran dan kegagahan. Kini kita berdua menghadapi hal yang amat rumit, yang bahwa engkau sebagai puteri Ketua Thian-liong-pang bertekad melindungi aku dari keinginan Ibumu sendiri yang mengutus orang-orangnya untuk membunuhku. Kuharap kau suka menjawab dengan terus terang dan jujur, Nona. Mengapa engkau bersikap seperti ini?”
Hening pula sejenak, kemudian terdengar Milana balas bertanya,
“Apa maksudmu, Twako? Aku tidak mengerti.”
“Nona, mengapa engkau lebih memberatkan aku daripada Ibumu? Jelas bahwa aku bersalah besar terhadap Ibumu sehingga kini Ibumu mengutus orang-orangnya untuk membunuhku. Akan tetapi mengapa engkau melindungiku mati-matian dan tidak enggan melawan Ibumu sendiri? Mengapa engkau lebih memberatkan aku daripada Ibumu?”
Kini suasana menjadi hening, agak lama karena Milana memandang ke atas dengan alis berkerut, agaknya sukar baginya menemukan jawaban untuk pertanyaan Bun Beng itu. Berkali-kali ia menghela napas panjang, kemudian terdengar ia menjawab,
“Sukar sekali menjawab pertanyaanmu, Twako. Akan tetapi setelah kupikir-pikir, agaknya aku sadar akan kekejaman Thian-liong-pang, sadar akan kesesatan Ibu dan kesalahannya terhadap engkau yang tak berdosa. Karena kesadaran itu maka aku berusaha menentang dan kebetulan bertemu denganmu yang terancam oleh Thian-liong-pang. Nah, puaskah kau dengan jawabanku, Twako?”
Bun Beng menggeleng kepala.
“Aku tidak puas, Nona, karena jawaban itu terlalu dicari-cari, dan bukan itu sebabnya. Mengapa untuk menjadi sadar engkau harus menunggu sampai berjumpa denganku? Pula, untuk menyadarkan seorang ibu, tentu cukup dengan menegur dan mengingatkan. Masa sampai menentangnya dan membela orang lain. Maaf, Nona. Coba engkau bayangkan andaikata bukan aku yang kau jumpai, melainkan orang lain yang sama sekali tidak kau kenal, apakah engkau juga akan membelanya dari Ibumu dan Thian-liong-pang? Begitu banyak orang pandai, diculik oleh Thian-liong-pang untuk dicuri ilmunya, mengapa engkau mendiamkannya saja dan tidak ada seorangpun yang kau bela? Mengapa justru aku yang kau bela sehingga kau siap menghadapi pertentangan dengan perkumpulan Ibumu? Harap kau suka menjelaskan, dan mengaku secara jujur, apa sebabnya, Nona?”
Kini lebih lama lagi keadaan menjadi sunyi. Bun Beng mendengarkan dan menanti dengan jantung berdebar tegang. Akan tetapi sunyi saja di belakangnya. Akhirnya terdengar Milana tertawa halus suara tertawa yang jelas sekali bagi Bun Beng adalah suara untuk menutupi kegugupannya.
“Hi-hik, engkau ini aneh-aneh saja, Gak-twako. Aku sampai menjadi bingung. Sudahlah, aku tak dapat menjawab karena aku sendiri tidak mengerti, mengapa aku tiba-tiba ingin membelamu mati-matian. Karena engkau bertanya dengan demikian mendesak, agaknya engkau yang tahu akan sebabnya, Twako. Maka tolonglah engkau yang menjawabkan untukku.”
“Nona Milana, tidaklah mengherankan kalau engkau sendiri tidak tahu, karena memang hal ini amat sulit dimengerti, hanya terasa oleh hati. Engkau bertemu denganku, lalu timbul hasrat untuk menolongku, melindungiku mati-matian bahkan rela bertentangan dengan Ibu sendiri. Hal ini tidak lain adalah karena cinta!”
“Heiiiii.... aduuuhhh....!”
Tubuh Bun Beng terbanting dari atas punggung kuda karena dalam keadaan kaget setengah mati mendengar ucapan pemuda itu, Milana mengeluarkan suara melengking nyaring yang membuat kudanya meringkik dan mengangkat kaki depan ke atas dan tergulinglah tubuh Bun Beng yang kedua kakinya lumpuh itu!
“Ohhh, Twako.... kau tidak apa-apa?” Milana cepat meloncat turun dan berlutut di dekat Bun Beng yang sudah rebah terlentang.
Pemuda itu menggeleng kepala dan berusaha tersenyum, lalu ia bangkit duduk dengan menekankan kedua tangan pada tanah. Mereka saling berpandangan.
“Aku mohon maaf sebesarnya atas ucapanku tadi, Nona. Bukan niatku untuk menghinamu, aku hanya bicara menurutkan suara hati. Maafkanlah aku yang lancang mulut.”
“Engkau orang aneh!” Milana menyambar kedua lengan Bun Beng dan membawanya melompat ke atas kuda lagi. “Aku yang membikin kau terjatuh dari kuda, malah engkau yang minta maaf.”
“Tentu saja, karena aku jatuh oleh kagetnya kuda, kuda kaget oleh lengkinganmu, dan engkau melengking oleh ucapanku. Jadi biang keladinya adalah aku sendiri, maka aku yang bersalah dan aku yang minta maaf.”
“Kata-katamu tadi tidak perlu dimintakan maaf. Akan tetapi, aku menjadi makin heran. Aku tidak tahu apa-apa tentang cinta. Cinta yang bagaimana yang kau maksudkan? Yang ada dalam hatiku hanyalah perasaan ingin menolongmu. Apakah itu cinta yang mendorongnya ataukah perasaan lain, aku tidak tahu. Aku melihatmu, teringat akan masa lalu, dan aku kasihan kepadamu, maka aku ingin menolongmu, Twako. Kalau orang-orang Thian-liong-pang tadi kulawan, karena timbul penasaran dan kemarahan di hatiku, mengapa engkau yang sudah terluka dan dalam keadaan terancam maut ini masih mereka ganggu. Apakah ini semua sebab cinta? Aku tidak tahu dan tak dapat menjawab. Agaknya engkau adalah seorang ahli tentang cinta, Twako, maka tolonglah beri penjelasan dan kuliah tentang cinta.”
Seketika merah kedua pipi Bun Beng dan ia menyeringai, tersenyum masam yang untung tidak tampak oleh dara yang duduk di belakangnya.
“Wah, aku sendiri tidak tahu tentang itu, Nona, aku sendiripun belum mengenal cinta....”
“Ah, kau bohong, Twako!”
“Sungguh mati!”
“Usiamu tentu telah banyak, setidaknya beberapa tahun lebih tua daripada aku yang baru tujuh belas tahun.”
“Aku enam tahun lebih tua, Nona. Akan tetapi, aku.... aku belum pernah.... eh, maksudku mengalami cinta, dan.... eh, apa yang kita bicarakan ini? Sama-sama tidak tahu tentang cinta, akan tetapi sudah berani bicara. Mana bisa?”
Bun Beng tertawa dan Milana juga tertawa. Tiba-tiba Bun Beng merasa betapa gembira hatinya. Aneh sekali! Dia tahu bahwa dirinya terancam maut, sedikit sekali harapan dapat tertolong. Mengapa dia tidak merasa takut, tidak merasa khawatir dan tidak merasa berduka, bahkan hatinya penuh rasa gembira? Kedua kakinya masih lumpuh, dadanya masih nyeri, akan tetapi rasa gembira mengalahkan semua ini.
“Kau benar, Twako. Sekarang lebih baik kau ceritakan semua pengalamanmu mengapa engkau sampai terluka hebat seperti ini, dan dari mana engkau datang, bagaimana pula engkau menjadi tawanan orang-orang Pulau Neraka di perahu itu.”
“Hemm, semua itu gara-gara Sepasang Pedang Iblis....”
“Ehhhh? Sepasang Pedang Iblis? Dimana kedua pedang pusaka itu?”
Bun Beng menarik napas panjang. Agaknya dara jelita inipun terkena pula wabah “demam Sepasang Pedang Iblis” yang diderita semua orang kang-ouw sehingga terjadi perebutan sejak dahulu.
“Sayang pedang-pedang itu tidak berada di tanganku lagi, sungguhpun akulah yang menemukannya. Kalau tidak terampas orang tentu yang sebuah akan kuberikan kepadamu, Nona.”
“Ahhh, suaramu itu! Apa kau kira aku terlalu ingin memperoleh pedang yang namanya saja begitu mengerikan? Tidak, Twako. Aku hanya ingin mengatakan bahwa kalau Sepasang Pedang Iblis itu berada di tanganmu, sudah dapat ditentukan nyawamu akan tertolong!”
“Eh, kenapa begitu?”
“Ibu tentu akan girang sekali menerima sepasang pedang itu, dan akan berterima kasih kepadamu. Ibu tentu akan suka mengampunimu bahkan akan mengobatimu sampai sembuh. Betapapun juga kalau dapat mengatakan dimana adanya pedang-pedang itu saja, Ibu tentu sudah menjadi girang sekali. Ceritakanlah, Twako bagaimana pedang itu terampas orang dan bagaimana pula engkau terluka hebat?”
“Yang melukai aku adalah seorang sakti yang berilmu tinggi dari negeri barat, namanya Maharya dengan muridnya....”
“Aihhhh....! Tan-siucai dan gurunya yang dahulu mencuri pedang Hok-mo-kiam buatan Kakek Nayakavhira dan yang membunuh burung-burung garuda dari Pulau Es itu?”
Bun Beng mengangguk.
“Ya, mengenai sepasang pedang itu, yang betina kuberikan kepada Nona Giam Kwi Hong dan....”
“Aihhhh! Enci Kwi Hong?” Milana berseru girang mendengar nama ini, akan tetapi suaranya tiba-tiba berubah lirih ketika melanjutkan, “Kau.... berikan pedang itu kepadanya?”
Bun Beng tidak mendengar perbedaan suara ini dan ia mengangguk.
“Pedang betina kuberikan kepadanya, dan pedang jantan yang kubawa telah terampas....”
“Oleh Tan Ki dan Maharya?”
“Bukan, oleh pemuda iblis dari Pulau Neraka.”
“Ohhh....!”
Kaget bukan main hati Milana mendengar ini. Ibunya tentu akan marah sekali mendengar bahwa Sepasang Pedang Iblis yang amat diinginkan itu ternyata telah terjatuh ke tangan Pulau Es dan Pulau Neraka!
“Bagaimana bisa demikian?”
Bun Beng lalu menceritakan pengalamannya semenjak bersama Kwi Hong dia mengambil sepasang pedang itu dari tempat ia menyembunyikannya, kemudian betapa mereka bertemu dengan Tan Ki dan Maharya, kemudian muncul pemuda lihai dari Pulau Neraka yang berhasil merampas Lam-mo-kiam dari tangannya. Milana mendengarkan dengan hati tertarik bercampur kecewa.
“Untung bahwa aku telah memberikan Li-mo-kiam kepada Nona Kwi Hong sehingga dapat dibawanya lari. Sayang bahwa Lam-mo-kiam terampas oleh pemuda iblis itu, kalau tidak, aku tentu dengan girang akan memberikan Lam-mo-kiam kepadamu, Nona Milana.”
Ucapan yang menutup penuturannya ini membuat Bun Beng terbayang akan wajah Kwi Hong dan teringatlah ia akan perjalanannya berdua dengan nona itu. Diam-diam ia membandingkan Kwi Hong dengan Milana. Kwi Hong juga tidak mau disebut nona, bahkan marah-marah sehingga terpaksa dia menyebut murid Pendekar Super Sakti itu dengan namanya saja.
Akan tetapi sikap dan sifat Milana lain. Dara ini amat halus tutur sapa dan gerak-geriknya sehingga dia merasa sungkan untuk menyebut namanya begitu saja. Dara ini dengan sikapnya yang halus lemah lembut, memiliki wibawa yang agung dan membuat dia tak berani untuk bersikap tidak hormat!
“Gak-twako, engkau tentu tahu bahwa Sepasang Pedang Iblis itu menjadi rebutan seluruh dunia kang-ouw. Setelah secara kebetulan kau mendapatkan pusaka-pusaka itu, mengapa dengan mudah saja kau berikan sebuah kepada Enci Kwi Hong?”
Bun Beng termenung mendengar pertanyaan ini dan diam-diam mukanya berubah tanpa dapat dilihat Milana yang duduk di belakangnya. Sejenak Bun Beng tak dapat menjawab, mengerutkan kening berpikir, kemudian baru ia menjawab setelah berpikir lama,
“Kurasa tidak aneh, Nona. Untuk apakah aku memiliki dua batang pedang? Tidak ada buruknya kalau aku menyerahkan sebatang kepada Nona Kwi Hong, dan mengapa kepada dia kuserahkan Li-mo-kiam? Pertama, karena kebetulan menemaniku mengambil Sepasang Pedang Iblis. Ke dua, karena dia adalah murid Pendekar Super Sakti yang amat kukagumi dan muliakan. Itulah sebabnya.”
Hening sejenak sebelum Milana bertanya lagi.
“Gak-twako, apakah engkau mencintai Enci Kwi Hong?”
“Hahh....?” Pertanyaan yang keluar dengan suara halus seperti berbisik itu benar-benar tak disangka-sangka, terlalu tiba-tiba datangnya membuat Bun Beng gelagapan seolah-olah dia dibenamkan ke dalam air. “Apa.... apa maksudmu, Nona....?”
“Twako, semenjak masih kecil dahulu, sudah tampak betapa engkau dan Enci Kwi Hong cocok dan akrab sekali. Kini Pedang Li-mo-kiam adalah sebatang diantara Sepasang Pedang Iblis yang diperebutkan seluruh orang kang-ouw. Tokoh-tokoh besar di dunia kang-ouw akan rela mempertaruhkan nyawanya untuk mendapatkan sebatang di antaranya. Akan tetapi engkau dengan mudah saja menyerahkannya kepada Enci Kwi Hong. Kalau engkau mencinta Enci Kwi Hong, hal itu tidaklah aneh lagi. Aku hanya ingin tahu apakah engkau mencinta Enci Kwi Hong?”
“Ahhhh, Nona Milana! Engkau membuat aku malu saja. Orang macam aku ini mana ada hak untuk mencinta seorang seperti dia? Dia adalah murid Pendekar Super Sakti, bahkan dia adalah keponakan Beliau! Mana mungkin dan mana pantas aku jatuh cinta kepadanya? Tidak, Nona, harap tidak menyangka yang bukan-bukan. Aku menyerahkan Li-mo-kiam kepadanya hanya karena mengingat kepada gurunya dan pamannya, Pendekar Siluman atau Pendekar Super Sakti, Majikan Pulu Es yang kuhormati.”
Tanpa terlihat oleh Bun Beng, pandang mata Milana termenung ketika ia mendengar jawaban itu. Sampai lama dia termenung sambil menjalankan kudanya menuruni lembah gunung, memasuki hutan ke dua yang besar dan agak gelap. Hatinya tenang saja karena dia mengenal hutan ini, tahu bahwa dia sudah memasuki wilayah di luar kekuasaan Thian-liong-pang dan ia tahu benar bahwa ibunya melarang anak buahnya melakukan sesuatu di luar wilayah kekuasaannya untuk menjaga nama Thian-liongpang, kecuali utusan-utusan khusus yang ditugaskan untuk suatu keperluan.
Dia bermaksud pergi ke kota Siang-bun di sebelah selatan hutan besar itu, disana ia mendengar tinggal seorang tabib yang pandai. Siapa tahu barangkali tabib itu akan dapat menolong Bun Beng.
“Engkau merasa terlalu rendah untuk mencinta Enci Kwi Hong, Twako?”
Kembali pertanyaan yang tiba-tiba datangnya dan tidak tersangka-sangka, sehingga Bun Beng menjadi terkejut dan menjawab gagap,
“Ya.... ya.... begitulah.”
“Misalnya.... terhadap diriku, bagaimana? Apakah engkau juga merasa terlalu rendah untuk jatuh cinta kepadaku? Ini hanya umpamanya saja, Twako.”
Bun Beng terbelalak, jantungnya berdebar keras. Betapa jujur dan polos hati dara ini! Mukanya menjadi panas seperti dibakar rasanya.
“Ahhh.... mana aku berani, Nona? Lebih-lebih terhadapmu! Engkau adalah puteri Pendekar Super Sakti, puteri Ketua Thian-liong-pang! Sedangkan aku...., aku hanya anak yang tidak syah dari seorang tokoh hitam, datuk kaum sesat!”
Milana merasa terharu.
“Aihh, engkau terlalu merendahkan diri, Gak-twako. Bagiku, aku tidak menilai seseorang karena keturunannya, karena wajahnya maupun karena kepandaian atau kedudukannya. Cinta adalah urusan hati, bukan urusan mata, urusan batin, bukan urusan lahir.”
Jantung Bun Beng makin berdebar. Kata-kata yang amat aneh terdengar olehnya, kata-kata yang sukar sekali untuk diselami dan dikenal bagaimana isi hati orang yang mengucapkannya. Dia menjadi ragu-ragu dan penasaran, maka dia memberanikan hatinya bertanya.
“Maaf, Nona Milana. Sekali lagi aku bermulut lancang mengajukan pertanyaan ini. Apakah Nona mencintaku?”
Bun Beng dapat merasakan dengan punggungnya yang bersentuhan dengan tubuh dara itu betapa Milana agak gemetar mendengar pertanyaan itu, akan tetapi jawaban yang keluar dengan halus itu tetap tenang.
“Aku tidak tahu, Twa-ko. Bagaimana aku tahu kalau aku sendiri tidak mengerti apa artinya cinta itu sendiri? Aku merasa suka kepadamu, dan merasa kasihan kepadamu. Hanya itulah yang terasa di hatiku, yang membuat aku mengambil keputusan bulat untuk membela dan menolongmu. Aku tidak tahu apakah suka dan kasihan itu sama dengan cinta. Bagaimana pendapatmu, Twako? Tahukah engkau apa sebetulnya cinta?”
Bun Beng tidak dapat menjawab. Kuda itu berjalan terus, perlahan-lahan dan keduanya diam, seolah-olah tenggelam dalam lamunan tentang cinta. Bun Beng memandang ke depan ke arah pohon-pohon seolah-olah ingin mencari jawaban tentang arti cinta diantara daun-daun pohon, diantara sinar matahari dan bayangan benda-benda yang bersinar oleh cahaya matahari.
Dahulu ketika ia mengenangkan wajah tiga orang wanita, wajah Kwi Hong, wajah Ang Siok Bi puteri Ketua Bu-tong-pai, wajah Milana, ia pernah merenungkan tentang cinta. Kemudian, ketika ia masih kecil, pertemuan antara Pendekar Super Sakti dan isterinya, Nirahai yang ternyata adalah ibu kandung Milana, juga membuatnya termenung dan mulailah ia berpikir tentang cinta. Cinta antara pria dan wanita, apa itu?
“Cinta adalah penyakit!”
Tiba-tiba saja ucapan ini keluar dari mulutnya, tidak hanya mengejutkan hati Milana, juga mengagetkan Bun Beng sendiri karena kata-katanya sendiri itu seperti terlompat keluar tanpa disadarinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar