Agaknya kedua orang itu juga sengaja memancing Bun Beng karena mereka itu berlari tidak secepat yang mereka dapat lakukan. Hal ini pertama untuk memberi kesempatan kepada kakek kembar untuk lebih dulu sampai ke sarang mereka, kedua kalinya karena memancing pemuda lihai itu yang tentu akan menarik perhatian Ketua mereka!
Bun Beng bukan seorang bodoh. Dia cerdik sekali dan dapat memperhitungkan keadaan, maka diapun dapat menduga bahwa tentu dua orang itu sengaja memancingnya. Namun dia tidak takut. Malah kebetulan, pikirnya. Aku tidak perlu susah payah mencari sarang mereka. Akan kutemui Ketua mereka, kupaksa agar membebaskan Ang Lojin dan lain-lain tawanan, dan kalau ada, dan memaksanya berjanji agar menghentikan perbuatan-perbuatan menculik orang-orang penting itu!
Sebetulnya apakah yang terjadi dengan Thian-liong-pang sehingga kini perkumpulan besar itu melakukan perbuatan aneh itu, menculiki tokoh-tokoh kang-ouw dan ketua partai persilatan? Sesungguhnya, tidaklah terjadi perubahan di Thian-liong-pang. Ketuanya masih tetap Si Wanita berkerudung yang makin lama makin hebat ilmu kepandaiannya itu.
Seperti kita ketahui, wanita berkerudung yang aneh dan penuh rahasia ini, yang mukanya tidak pernah kelihatan oleh siapa pun juga, bahkan para pembantunya yang bertingkat paling tinggi pun tidak ada yang pernah melihatnya, bukan lain adalah Nirahai, puteri Kaisar Kang Hsi sendiri yang terlahir dari selir berdarah Khitan campuran Mongol!
Ketika ia dijodohkan oleh kedua orang nenek sakti yang menjadi gurunya dan bibi gurunya, yaitu Nenek Maya dan Khu Siauw Bwee, menjadi isteri Suma Han, hatinya girang bukan main. Diam-diam ia telah jatuh cinta kepada Pendekar Super Sakti yang berkaki tunggal itu. Namun betapa kecewanya ketika ia mendapat kenyataan bahwa suami yang dicintainya itu tidak menyetujui cita-citanya pergi ke Mongol sehingga mereka berpisah dengan hati hancur (baca ceritaPendekar Super Sakti).
Dengan rasa hati berat karena sesungguhnya wanita ini amat mencinta suaminya, Nirahai berangkat ke Mongol. Terlambat ia mengetahui bahwa ia telah mengandung! Ingin ia kembali ke selatan mencari suaminya untuk memberi tahu hal ini, namun keangkuhannya sebagai bekas puteri kaisar mencegahnya.
Dia amat mencinta Suma Han, bahkan telah berkorban dengan kehilangan haknya sebagai puteri kaisar. Dia telah kecewa karena setelah berjuang untuk kerajaan ayahnya, akhirnya dia menjadi seorang buruan!
Pukulan batin ke dua yang lebih kecewa lagi bahwa suami yang dibelanya itu ternyata tidak ikut bersama dia! Namun masih timbul harapan di hatinya bahwa cinta kasih dalam hati Suma Han akan membuat suaminya itu kelak menyusulnya ke Mongol.
Namun harapannya ini buyar. Sampai dia melahirkan anak perempuan, sampai bertahun-tahun ia menanti dan tinggal di istana Kerajaan Mongol, tetap saja tidak ada kabar berita dari suaminya! Betapapun juga, wanita yang keras hati ini tetap tidak mau pergi mencari suaminya.
Kalau memang suaminya tidak mencintainya, dengan bukti tidak pernah menyusulnya, biarlah dia akan memperlihatkan bahwa dia tidak kalah keras hati! Maka dia lalu meninggalkan puterinya kepada Pangeran Jenghan yaitu keponakan yang berkekuasaan besar dari Pangeran Galdan, dan dia sendiri merantau ke selatan.
Karena dia mendengar bahwa suaminya telah menjadi Majikan Pulau Es, maka dia lalu membuat perkumpulan yang kelak dapat ia pergunakan untuk menandingi nama besar Pulau Es, dan dipilihlah Perkumpulan Thian-liong-pang.
Di dalam cerita “Pendekar Super Sakti” telah diceritakan tentang watak dan sifat Puteri Nirahai yang gagah perkasa, angkuh dan tidak pernah mau kalah, di samping kecantikannya yang luar biasa dan ilmu kepandaiannya yang amat tinggi. Mati-matian ia membela Suma Han yang dicintainya, bahkan ia telah mengorbankan nama, kedudukan dan kehormatannya untuk pendekar kaki tunggal yang dikaguminya itu.
Sebesar itu cintanya, sebesar itu pula sakit hatinya ketika ia mendapat kenyataan bahwa suaminya itu tidak mempedulikannya, tidak menyusulnya, bahkan tak pernah mencarinya sampai dia melahirkan seorang puteri! Rasa sakit hati membuat Nirahai ingin memperlihatkan bahwa dalam hal kepandaian dan kebesaran, dia tidak mau kalah oleh suaminya! Pergilah wanita sakti ini meninggalkan Mongol, merantau ke selatan dan ia menjatuhkan pilihannya kepada Perkumpulan Thian-liong-pang!
Perkumpulan Thian-liong-pang adalah sebuah perkumpulan besar yang pernah mengalami jatuh bangun seperti juga perkumpulan-perkumpulan lain dan merupakan sebuah perkumpulan yang cukup tua usianya. Usianya sudah lebih dari seratus tahun dan pendirinya dahulu adalah seorang kakek yang berjuluk Sin Seng Losu (Kakek Bintang Sakti) yang berilmu tinggi karena dia adalah murid keponakan dari Siauw-bin Lo-mo, seorang di antara datuk kaum sesat yang amat sakti.
Ketika perkumpulan ini terjatuh ke tangan mantu Sin Seng Losu yang bernama Siangkoan Bu, perkumpulan itu kembali ke jalan lurus dan tergolong perkumpulan bersih yang mengutamakan kegagahan dan berjiwa pendekar.
Akan tetapi, setelah Siangkoan Bu tewas dan perkumpulan itu dipimpin oleh murid Sin Seng Losu yang bernama Ma Kiu berjuluk Thai-lek-kwi dan dibantu oleh sebelas orang sutenya maka kembali Thian-liong-pang menjadi sebuah partai persilatan yang amat ditakuti karena tidak segan melakukan kejahatan mengandalkan kekuasaan mereka.
Terutama sekali Cap-ji-liong (Dua Belas Ekor Naga) amat terkenal. Mereka adalah Ma Kiu dan sute-sutenya yang merajalela di dunia kang-ouw. Dalam keadaan seperti itu muncullah Siangkoan Li, putera mendiang Siangkoan Bu atau cucu dari Sin Seng Losu yang dengan bantuan Mutiara Hitam menentang para paman gurunya (baca cerita Mutiara Hitam).
Siangkoan Li ini lihai bukan main karena dia telah diterima menjadi murid dua orang kakek sakti yang setengah gila, yang berjuluk Pek-kek Sian-ong dan Lam-kek Sian-ong. Hanya sayang sekali, Siangkoan Li yang tadinya merupakan seorang pemuda tampan yang gagah perkasa, bahkan menjadi sahabat baik Mutiara Hitam dan jatuh cinta kepada pendekar wanita perkasa itu, tidak hanya mewarisi kesaktian kedua orang gurunya, akan tetapi juga mewarisi keganasan dan kegilaannya!
Siangkoan Li mengamuk dan berhasil merampas Thian-liong-pang dimana dia menjadi ketuanya dan semenjak itu Thian-liong-pang menjadi perkumpulan yang penuh rahasia. Perkumpulan ini tidak pernah menonjol di dunia kang-ouw, akan tetapi tidak ada yang berani lancang tangan mencari perkara dengan orang-orang Thian-liong-pang yang hidupnya aneh dan penuh rahasia.
Ilmu silat para anggauta Thian-liong-pang rata-rata amat tinggi dan dasar ilmu kepandaian mereka bersumber ilmu-ilmu yang aneh dan luar biasa dari Pek-kek Sian-ong dan Lam-kek Sian-ong, atau lebih tepat dari Siangkoan Li yang menyebarkan kepandaian itu kepada para anak buah dan murid-muridnya.
Setelah Siangkoan Li meninggal dunia dalam keadaan menderita batin karena cintanya yang gagal terhadap Mutiara Hitam dan selamanya tidak mau menikah, dalam puluhan tahun terjadilah pergantian ketua baru beberapa kali dan mulailah terjadi kekacauan di dalam perkumpulan ini karena perebutan kursi ketua! Dan semenjak itu, selalu ada ketegangan diantara para murid-murid kepala atau dewan pimpinan mereka yang selalu berusaha memperkuat diri untuk merampas kedudukan ketua.
Keadaan ini menimbulkan peraturan baru yang dipegang teguh oleh mereka, yaitu setiap tahun diadakan pemilihan ketua baru dengan jalan berpibu, mengadu kepandaian dan siapa yang paling pandai diantara mereka, tidak peduli wanita atau pria, tidak peduli saudara tua atau saudara muda dalam perguruan, dia yang berhak menjadi ketua sampai lain tahun diadakan pibu lagi dimana dia harus mempertahankan kedudukannya dengan taruhan nyawa!
Bun Beng bukan seorang bodoh. Dia cerdik sekali dan dapat memperhitungkan keadaan, maka diapun dapat menduga bahwa tentu dua orang itu sengaja memancingnya. Namun dia tidak takut. Malah kebetulan, pikirnya. Aku tidak perlu susah payah mencari sarang mereka. Akan kutemui Ketua mereka, kupaksa agar membebaskan Ang Lojin dan lain-lain tawanan, dan kalau ada, dan memaksanya berjanji agar menghentikan perbuatan-perbuatan menculik orang-orang penting itu!
Sebetulnya apakah yang terjadi dengan Thian-liong-pang sehingga kini perkumpulan besar itu melakukan perbuatan aneh itu, menculiki tokoh-tokoh kang-ouw dan ketua partai persilatan? Sesungguhnya, tidaklah terjadi perubahan di Thian-liong-pang. Ketuanya masih tetap Si Wanita berkerudung yang makin lama makin hebat ilmu kepandaiannya itu.
Seperti kita ketahui, wanita berkerudung yang aneh dan penuh rahasia ini, yang mukanya tidak pernah kelihatan oleh siapa pun juga, bahkan para pembantunya yang bertingkat paling tinggi pun tidak ada yang pernah melihatnya, bukan lain adalah Nirahai, puteri Kaisar Kang Hsi sendiri yang terlahir dari selir berdarah Khitan campuran Mongol!
Ketika ia dijodohkan oleh kedua orang nenek sakti yang menjadi gurunya dan bibi gurunya, yaitu Nenek Maya dan Khu Siauw Bwee, menjadi isteri Suma Han, hatinya girang bukan main. Diam-diam ia telah jatuh cinta kepada Pendekar Super Sakti yang berkaki tunggal itu. Namun betapa kecewanya ketika ia mendapat kenyataan bahwa suami yang dicintainya itu tidak menyetujui cita-citanya pergi ke Mongol sehingga mereka berpisah dengan hati hancur (baca ceritaPendekar Super Sakti).
Dengan rasa hati berat karena sesungguhnya wanita ini amat mencinta suaminya, Nirahai berangkat ke Mongol. Terlambat ia mengetahui bahwa ia telah mengandung! Ingin ia kembali ke selatan mencari suaminya untuk memberi tahu hal ini, namun keangkuhannya sebagai bekas puteri kaisar mencegahnya.
Dia amat mencinta Suma Han, bahkan telah berkorban dengan kehilangan haknya sebagai puteri kaisar. Dia telah kecewa karena setelah berjuang untuk kerajaan ayahnya, akhirnya dia menjadi seorang buruan!
Pukulan batin ke dua yang lebih kecewa lagi bahwa suami yang dibelanya itu ternyata tidak ikut bersama dia! Namun masih timbul harapan di hatinya bahwa cinta kasih dalam hati Suma Han akan membuat suaminya itu kelak menyusulnya ke Mongol.
Namun harapannya ini buyar. Sampai dia melahirkan anak perempuan, sampai bertahun-tahun ia menanti dan tinggal di istana Kerajaan Mongol, tetap saja tidak ada kabar berita dari suaminya! Betapapun juga, wanita yang keras hati ini tetap tidak mau pergi mencari suaminya.
Kalau memang suaminya tidak mencintainya, dengan bukti tidak pernah menyusulnya, biarlah dia akan memperlihatkan bahwa dia tidak kalah keras hati! Maka dia lalu meninggalkan puterinya kepada Pangeran Jenghan yaitu keponakan yang berkekuasaan besar dari Pangeran Galdan, dan dia sendiri merantau ke selatan.
Karena dia mendengar bahwa suaminya telah menjadi Majikan Pulau Es, maka dia lalu membuat perkumpulan yang kelak dapat ia pergunakan untuk menandingi nama besar Pulau Es, dan dipilihlah Perkumpulan Thian-liong-pang.
Di dalam cerita “Pendekar Super Sakti” telah diceritakan tentang watak dan sifat Puteri Nirahai yang gagah perkasa, angkuh dan tidak pernah mau kalah, di samping kecantikannya yang luar biasa dan ilmu kepandaiannya yang amat tinggi. Mati-matian ia membela Suma Han yang dicintainya, bahkan ia telah mengorbankan nama, kedudukan dan kehormatannya untuk pendekar kaki tunggal yang dikaguminya itu.
Sebesar itu cintanya, sebesar itu pula sakit hatinya ketika ia mendapat kenyataan bahwa suaminya itu tidak mempedulikannya, tidak menyusulnya, bahkan tak pernah mencarinya sampai dia melahirkan seorang puteri! Rasa sakit hati membuat Nirahai ingin memperlihatkan bahwa dalam hal kepandaian dan kebesaran, dia tidak mau kalah oleh suaminya! Pergilah wanita sakti ini meninggalkan Mongol, merantau ke selatan dan ia menjatuhkan pilihannya kepada Perkumpulan Thian-liong-pang!
Perkumpulan Thian-liong-pang adalah sebuah perkumpulan besar yang pernah mengalami jatuh bangun seperti juga perkumpulan-perkumpulan lain dan merupakan sebuah perkumpulan yang cukup tua usianya. Usianya sudah lebih dari seratus tahun dan pendirinya dahulu adalah seorang kakek yang berjuluk Sin Seng Losu (Kakek Bintang Sakti) yang berilmu tinggi karena dia adalah murid keponakan dari Siauw-bin Lo-mo, seorang di antara datuk kaum sesat yang amat sakti.
Ketika perkumpulan ini terjatuh ke tangan mantu Sin Seng Losu yang bernama Siangkoan Bu, perkumpulan itu kembali ke jalan lurus dan tergolong perkumpulan bersih yang mengutamakan kegagahan dan berjiwa pendekar.
Akan tetapi, setelah Siangkoan Bu tewas dan perkumpulan itu dipimpin oleh murid Sin Seng Losu yang bernama Ma Kiu berjuluk Thai-lek-kwi dan dibantu oleh sebelas orang sutenya maka kembali Thian-liong-pang menjadi sebuah partai persilatan yang amat ditakuti karena tidak segan melakukan kejahatan mengandalkan kekuasaan mereka.
Terutama sekali Cap-ji-liong (Dua Belas Ekor Naga) amat terkenal. Mereka adalah Ma Kiu dan sute-sutenya yang merajalela di dunia kang-ouw. Dalam keadaan seperti itu muncullah Siangkoan Li, putera mendiang Siangkoan Bu atau cucu dari Sin Seng Losu yang dengan bantuan Mutiara Hitam menentang para paman gurunya (baca cerita Mutiara Hitam).
Siangkoan Li ini lihai bukan main karena dia telah diterima menjadi murid dua orang kakek sakti yang setengah gila, yang berjuluk Pek-kek Sian-ong dan Lam-kek Sian-ong. Hanya sayang sekali, Siangkoan Li yang tadinya merupakan seorang pemuda tampan yang gagah perkasa, bahkan menjadi sahabat baik Mutiara Hitam dan jatuh cinta kepada pendekar wanita perkasa itu, tidak hanya mewarisi kesaktian kedua orang gurunya, akan tetapi juga mewarisi keganasan dan kegilaannya!
Siangkoan Li mengamuk dan berhasil merampas Thian-liong-pang dimana dia menjadi ketuanya dan semenjak itu Thian-liong-pang menjadi perkumpulan yang penuh rahasia. Perkumpulan ini tidak pernah menonjol di dunia kang-ouw, akan tetapi tidak ada yang berani lancang tangan mencari perkara dengan orang-orang Thian-liong-pang yang hidupnya aneh dan penuh rahasia.
Ilmu silat para anggauta Thian-liong-pang rata-rata amat tinggi dan dasar ilmu kepandaian mereka bersumber ilmu-ilmu yang aneh dan luar biasa dari Pek-kek Sian-ong dan Lam-kek Sian-ong, atau lebih tepat dari Siangkoan Li yang menyebarkan kepandaian itu kepada para anak buah dan murid-muridnya.
Setelah Siangkoan Li meninggal dunia dalam keadaan menderita batin karena cintanya yang gagal terhadap Mutiara Hitam dan selamanya tidak mau menikah, dalam puluhan tahun terjadilah pergantian ketua baru beberapa kali dan mulailah terjadi kekacauan di dalam perkumpulan ini karena perebutan kursi ketua! Dan semenjak itu, selalu ada ketegangan diantara para murid-murid kepala atau dewan pimpinan mereka yang selalu berusaha memperkuat diri untuk merampas kedudukan ketua.
Keadaan ini menimbulkan peraturan baru yang dipegang teguh oleh mereka, yaitu setiap tahun diadakan pemilihan ketua baru dengan jalan berpibu, mengadu kepandaian dan siapa yang paling pandai diantara mereka, tidak peduli wanita atau pria, tidak peduli saudara tua atau saudara muda dalam perguruan, dia yang berhak menjadi ketua sampai lain tahun diadakan pibu lagi dimana dia harus mempertahankan kedudukannya dengan taruhan nyawa!
Ya, dalam pibu antara orang-orang liar ini sering kali terjadi pembunuhan. Mereka tidak segan saling membunuh diantara saudara sendiri untuk memperebutkan kursi ketua yang amat mereka rindukan karena kursi itu berarti kemuliaan, kemewahan, kehormatan dan nama besar!
Ketika Nirahai mendatangi perkumpulan yang hendak dipilihnya sebagai syarat untuk menandingi kebesaran Pulau Es yang dipimpin oleh Suma Han, suaminya yang dianggapnya menyia-nyiakan dan menyakitkan hatinya itu tepat terjadi di waktu Thian-liong-pang sedang mengadakan pibu tahunan yang selalu terjadi di ruangan belakang gedung perkumpulan yang amat luas dan terkurung pagar tembok yang tinggi dan atasnya dipasangi tombak-tombak runcing sehingga orang yang berkepandaian tinggi sekalipun jarang ada yang dapat melompat pagar tembok itu.
Seperti biasa, pibu diadakan di pekarangan luas yang dikurung oleh anak buah Thian-liong-pang yang menonton dengan penuh perhatian, ketegangan dan juga kegembiraan karena mereka itu tentu saja mempunyai pilihan calon ketua masing-masing sehingga keadaan hampir sama dengan orang-orang yang menonton adu jago. Bahkan diantara anak buah itu ada yang bertaruh, bukan hanya bertaruh uang dan barang berharga, bahkan ada yang mempertaruhkan isterinya!
Pada waktu itu, Thian-liong-pang yang tidak hanya berganti-ganti ketua akan tetapi juga berpindah-pindah tempat itu berpusat di kota kecil Cin-bun yang letaknya di lembah Sungai Huang-ho, di sebelah utara kota Cin-bun di Propinsi Shantung.
Para penduduk Cin-bun mendengar akan pemilihan ketua, akan tetapi tidak ada yang berani mencampuri, bahkan mendekati kelompok bangunan besar yang dilingkungi pagar tembok bertombak itupun merupakan hal yang berbahaya bagi mereka.
Para pembesar pemerintah Mancu pun tidak ada yang berani mencampuri, dan mereka ini sudah menerima perintah dari atasan bahwa pemerintah tidak ingin menciptakan permusuhan dengan perkumpulan yang kuat ini, maka pemerintah daerah yang mengawasi gerak-gerik mereka dan selama perkumpulan itu tidak melakukan perbuatan yang menentang pemerintah, pemerintah pun lebih suka untuk berbaik dengan mereka.
Menentang pun berarti tentu akan menimbulkan pemberontakan baru dan pemerintah tidak menghendaki hal ini karena setiap pemberontakan merupakan bahaya besar, dapat merupakan api yang membakar semangat perlawanan rakyat yang dijajah.
Pada waktu itu, Thian-liong-pang mempunyai anak buah yang jumlahnya dua ratus orang lebih, sebagian besar tinggal di Cin-bun, akan tetapi ada pula yang tinggal di dusun-dusun sekitar Propinsi Shantung dan membuka cabang-cabang Thian-liong-pang.
Akan tetapi pada waktu itu, semua pimpinan cabang berkumpul pula di pusat untuk menyaksikan pemilihan ketua baru melalui pibu, bahkan diantara mereka ada yang ingin melihat-lihat barangkali tingkat kepandaian mereka sudah cukup untuk dicoba mengadu untung ikut dalam pibu.
Dua ratus orang lebih anggauta Thian-liong-pang sudah berkumpul dan suasana menjadi riang gembira karena para anggauta itu sibuk saling bertaruh memilih jago masing-masing. Para pimpinan rendahan yang mendapat tempat di bangku rendah yang berjajar di depan anak buah itu hanya mendengarkan tingkah anak buah mereka sambil tersenyum-senyum.
Mereka ini tentu saja tidak berani bertaruh seperti yang dilakukan anak buah mereka, hanya diam-diam mereka pun mempunyai pilihan masing-masing karena mereka sendiri masih merasa terlalu rendah tingkat kepandaiannya untuk coba-coba berpibu yang berarti mempertaruhkan nyawa.
Adapun pimpinan yang tingkatnya tinggi sudah pula berkumpul di atas kursi-kursi di tingkat atas ruangan yang dipisahkan dari pekarangan tempat pibu itu oleh lima buah anak tangga di mana ditaruh kursi gading untuk Sang Ketua, diapit-apit beberapa buah kursi untuk para pimpinan yang tinggi tingkatnya dan mereka inilah yang menjadi calon-calon penantang ketua lama.
Pada waktu itu tampak lima orang pemimpin tinggi yang telah duduk dengan tubuh tegak dan sikap angkuh, sinar mata mereka berseri seolah-olah mereka itu masing-masing telah merasa yakin akan memperoleh kemenangan dalam pibu yang hendak diadakan. Kursi gading untuk Ketua masih kosong karena Ketuanya belum keluar, sedangkan seperangkat alat tetabuhan yang dipukul perlahan menyemarakkan suasana seperti dalam pesta.
Orang pertama dari para pimpinan tinggi adalah seorang kakek yang menyeramkan. Mukanya seperti muka singa karena rambut di kedua pelipisnya disambung dengan jenggot yang melingkari wajahnya, kumisnya juga tipis seperti kumis singa. Tubuhnya kekar penuh membayangkan tenaga yang amat kuat biarpun kakek ini usianya sudah mendekati enam puluh tahun. Rambut dan cambang bauknya sudah berwarna putih, namun warna ini menambah keangkerannya karena membuat mukanya lebih mirip muka singa. Sepasang matanya yang lebar menyinarkan cahaya kilat menyeramkan, namun sikapnya pendiam, pakaiannya sederhana dan dia duduk seperti seekor singa kekenyangan yang mengantuk!
Kakek ini sebenarnya merupakan saudara seperguruan tertua dan bahkan menjadi suheng dari Ketua yang sekarang, namun karena dia seorang berjiwa perantau dan petualang, maka dia tidak mempunyai nafsu untuk merebut kedudukan ketua, sungguhpun dalam hal kepandaian, masih sukar ditentukan siapa yang lebih unggul antara dia dan Sang Ketua. Kakek ini sudah tidak dikenal lagi nama aslinya, lebih dikenal julukannya yang menyeramkan, yaitu Sai-cu Lo-mo (Iblis Tua Bermuka Singa)!
Orang ke dua juga seorang kakek berusia lima puluh tahun lebih, kepalanya gundul akan tetapi dia bukanlah seorang hwesio karena dia berjenggot dan berkumis dan berpakaian seperti seorang pelajar, bersikap halus namun matanya liar seperti mata orang yang tidak waras pikirannya. Kelihatannya kakek gundul ini lemah, duduk memegangi lengan kursi dan kadang-kadang kedua tangannya bergerak menggigil seperti orang buyuten, kepalanya bergerak-gerak sendiri tanpa disadari mengangguk-angguk dan mulutnya kadang-kadang tersenyum geli seolah-olah ada setan tak tampak membadut di depannya.
Namun jangan dianggap remeh kakek ini karena dia pun merupakan suheng dari Sang Ketua, dan sute dari Sai-cu Lo-mo. Namanya Chie Kang dan julukannya tidak kalah menyeramkan dari suhengnya karena di dunia kang-ouw dia dikenal sebagai Lui-hong Sin-ciang (Tangan Sakti Angin dan Kilat)!
Orang ke tiga adalah seorang laki-laki berusia empat puluh tahun, tinggi besar tubuhnya, wajahnya merah seperti orang sakit darah tinggi, matanya melotot jarang berkedip, hidungnya besar merah tanda sifat gila perempuan, pakaiannya seperti seorang jago silat dan di punggungnya tampak gagang sebatang golok besar. Inilah Twa-to Sin-seng (Bin-tang Sakti Golok Besar) Ma Chun yang amat disegani dan ditakuti karena wataknya yang kasar, terbuka, dan kurang ajar terhadap wanita tanpa tedeng aling-aling lagi!
Orang ke empat adalah seorang laki-laki berusia tiga puluh tahun lebih, wajahya tampan sekali, bahkan begitu halus gerak-geriknya, begitu merah bibirnya dan begitu tajam memikat kerling matanya sehingga dia lebih mirip seorang wanita! Sepasang pedang tergantung di pinggangnya, pakaiannya biru, dari bahan sutera halus dan laki-laki tampan ini termasuk seorang yang pesolek.
Sayangnya, sinar matanya yang bagus itu mengandung kekejaman dan juga kesombongan yang memandang rendah semua orang! Dia ini pun bukan orang biasa dan merupakan diantara para pemimpin tinggi yang telah membuat nama Thian--liong-pang menjadi nama besar dan tenar.
Pedangnya amat ditakuti orang dan dia dijuluki Cui-beng-kiam (Pedang Pengejar Arwah), namanya Liauw It Ban. Kalau suhengnya, Ma Chun, terkenal sebagai seorang laki-laki gila perempuan dan suka mempermainkan wanita, Liauw It Ban ini lebih hebat lagi karena dia seorang mata keranjang yang berwatak sadis, senang sekali menyiksa wanita yang menjadi korbannya!
Betapapun juga, dia dan suhengnya tidak pernah mengumbar hawa nafsu iblis itu di daerah sendiri karena mereka tunduk akan perintah ketua mereka agar tidak mengotorkan nama Thian-liong-pang di daerah sendiri sehingga tidak mendapat kesan buruk terhadap pemerintah. Karena itu, namanya lebih tersohor di daerah lain di luar propinsi.
Orang ke lima akan mendatangkan rasa heran bagi orang luar Thian-liong-pang karena dia paling tidak patut menjadi anggauta dewan pimpinan perkumpulan besar itu. Dia adalah seorang wanita yang masih muda, kurang lebih dua puluh tujuh tahun usianya, cantik manis dengan pakaian sederhana namun tidak dapat menyembunyikan lekuk lengkung tubuhnya yang sudah matang.
Wanita ini merupakan saudara seperguruan termuda, namun dia memiliki ilmu kepandaian diluar ilmu keturunan ilmu para Pimpinan Thian-liong-pang karena dia telah menerima ilmu-ilmu dari mendiang suaminya, seorang murid dari Bu-tong-pai yang lihai.
Suaminya tewas setahun yang lalu ketika berusaha memasuki pibu memperebutkan kedudukan ketua sehingga wanita ini yang bernama Tang Wi Siang, adalah seorang janda kembang yang harum dan membuat banyak pria tertarik dan ingin sekali memetiknya. Terutama sekali kedua orang suhengnya sendiri, Ma Chun dan Liauw It Ban yang pada waktu itupun seringkali melayangkan sinar mata ke arahnya. Bahkan beberapa kali Ma Chun menelan ludah kalau pandang matanya menyapu tubuh sumoinya yang penuh gairah.
Liauw It Ban juga memandang dengan sinar mata penuh gairah, akan tetapi ia tersenyum-senyum dan memasang aksi setampan mungkin untuk menundukkan hati sumoinya yang sudah menjadi janda itu. Namun, Tang Wi Siang duduk dengan tenang dan sikapnya dingin sekali, seperti sebongkah es membeku. Namun, diluar tahu lain orang, diam-diam ia menyapukan pandang matanya yang tajam itu ke arah Liauw It Ban, suhengnya yang tampan.
Dahulu sebelum suaminya tewas, dia tidak mempedulikan suhengnya yang tampan ini, bahkan sebelum ia menikah, ia tidak pernah melayani rayuan suhengnya. Akan tetapi sekarang, setelah setahun lamanya dia menjanda, setelah merasa tersiksa hatinya karena kehilangan rayuan dan cinta kasih seorang pria yang pernah dinikmatinya hanya beberapa tahun lamanya, diam-diam sering jantungnya berdebar kalau membayangkan suhengnya yang tampan itu menggantikan mendiang suaminya!
Lima orang inilah, bersama Sang Ketua sendiri, yang menjadi tokoh-tokoh utama dari Thian-liong-pang dan memang mereka berenam memiliki kepandaian yang tinggi, memiliki keistimewaan masing--masing sehingga sukar untuk dikatakan siapa diantara mereka yang paling lihai.
Dan kini, sudah dapat dibayangkan bahwa dalam pibu perebutan kedudukan ketua, lima orang inilah yang akan berani maju untuk berpibu melawan Sang Ketua, karena selain mereka, siapa lagi yang akan berani maju?
Tiba-tiba tetabuhan dipukul keras dan terdengar aba-aba dari komandan upacara, yaitu seorang pemimpin rendahan yang memberi tahu akan munculnya Sang Ketua. Semua anggauta Thian-liong-pang serentak bangkit memberi hormat, dan lima orang itulah yang berdiri dengan tenang dan biasa menyambut munculnya Si Ketua yang ditunggu-tunggu sejak tadi.
Orang takkan merasa heran setelah melihat munculnya Ketua Thian-liong-pang karena memang patutlah orang ini menjadi ketua. Tubuhnya tinggi besar seperti raksasa sehingga Ma Chun yang tinggi besar itu hanya setinggi pundaknya! Ketua Thian-liong-pang ini tingginya seimbang dengan besar tubuhnya. Langkahnya lebar dan berat seperti langkah seekor gajah, lantai sampai tergetar dibuatnya.
Pakaiannya mentereng akan tetapi ketat dan membayangkan tonjolan otot-otot yang besar. Kedua lengannya sampai ke jari tangannya penuh bulu hitam kasar, kepalanya yang besar juga berambut hitam kasar seperti kawat-kawat baja. Alisnya tebal hampir persegi, matanya bulat dengan manik mata hitam amat kecil sehingga kelihatannya mata itu putih semua, hidungnya kecil akan tetapi mulutnya besar seperti terobek kedua ujungnya.
Jenggot dan kumisnya dipotong pendek, kaku seperti sikat kawat! Kulitnya yang kelihatannya tebal seperti kulit badak itu berkerut-kerut, agak hitam mengingatkan orang akan kulit buaya yang tebal, keras, dan lebat!
Inilah dia Phang Kok Sek, Ketua Thian-liong-pang yang telah mewarisi Hwi-tok-ciang (Tangan Racun Api) dari leluhur Thian-liong-pang, yaitu Lam-kek Sian-ong! Tahun yang lalu, dalam pibu dia telah menewaskan ketua lama yang menjadi paman gurunya sendiri, menewaskan pula suami Tan Wi Siang dan beberapa orang lain lagi, bahkan melukai Ma Chun yang menjadi sutenya.
Dengan gerakan kedua tangannya yang kaku Ketua ini mempersilakan saudara-saudara seperguruannya untuk duduk kembali. Dia sendiri menduduki kursi gading, dan semua anak buah lalu duduk pula, para pemimpin rendah duduk di bangku dan para anggauta duduk di atas lantai yang terbuat dari batu persegi yang lebar, keras dan berwarna hitam.
Seperti biasa, mereka itu merupakan setengah lingkaran menghadap ke arah tempat para pimpinan duduk, yaitu di atas anak tangga dan di depan atau sebelah bawah anak tangga itu merupakan ruangan yang sengaja dikosongkan karena di situlah biasanya diadakan pibu antara pimpinan untuk menentukan siapa yang berhak menjadi ketua baru karena memiliki ilmu kepandaian tertinggi. Tempat pibu yang berbahaya karena lantai ubin batu itu amat keras sehingga sekali terbanting, tulang bisa patah, apalagi kalau kepala yang terbanting bisa pecah!
Seperti sudah menjadi kebiasaan setiap diadakan pibu pemilihan ketua baru, Thian-liong-pangcu yang bertubuh seperti raksasa memberi isyarat dengan kedua tangan ke atas, menyuruh semua orang tidak mengeluarkan suara berisik. Setelah keadaan menjadi hening, dia bangkit berdiri dan mengucapkan kata-kata yang sudah dikenal baik oleh semua anggauta.
“Saudara sekalian, hari ini kita berkumpul untuk mengadakan pemilihan ketua baru seperti yang tiap kali diadakan sesuai dengan kehendak dewan pimpinan. Aku sendiri sebagai ketua, kedua orang Suheng, dua orang Sute, dan Sumoiku sebagai anggauta dewan pimpinan telah bersepakat untuk mengadakan pemilihan ketua baru pada hari ini sesuai dengan kebiasaan dan peraturan perkumpulan kita. Seperti telah menjadi kebiasaan Thian-liong-pang pula, aku sebagai ketua harus mempertahankan kedudukanku sebagai ketua dan dia yang dapat mengalahkan aku dan kemudian keluar sebagai orang terkuat, dialah yang berhak menjadi ketua baru tanpa ada tantangan dari siapapun juga dan memiliki hak mutlak untuk menjadi Ketua Thian-liong-pang.
Luka atau mati dalam pibu tidak boleh mengakibatkan dendam dan kebencian diantara saudara seperkumpulan, karena pibu ini diadakan bukan karena urusan pribadi, melainkan untuk pemilihan ketua dan demi kepentingan dan nama besar Thian-liong-pang. Aku sudah selesai bicara dan diantara para anggauta biasa dan pimpinan yang ingin memasuki pibu, harap berdiri dan menyatakan pendapatnya.”
Setelah berkata demikian, Ketua yang bertubuh seperti raksasa itu duduk kembali, kedua lengannya yang besar ditaruh di atas lengan kursi gading, tubuhnya memenuhi kursi itu dan pandang matanya menyapu semua orang yang hadir penuh tantangan. Namun diam-diam ia melirik ke arah dua orang suhengnya, yaitu Sai-cu Lo-mo dan Lui-hong Sin-ciang Chie Kang.
Ketua ini tidak gentar menghadapi dua orang sutenya dan seorang sumoinya karena merasa yakin bahwa dia akan dapat mengalahkan mereka. Namun dia mengerti bahwa kalau dua orang suhengnya itu memasuki pibu, dia harus berhati-hati karena akan bertemu lawan yang berat.
Sai-cu Lo-mo yang sudah berusia enam puluh tahun itu adalah seorang perantau dan sejak dahulu tidak pernah memasuki pibu perebutan kursi ketua karena baginya, menjadi ketua berarti harus selalu berada di Thian-liong-pang dan agaknya dia tidak mau mengorbankan kesukaannya merantau dengan menjadi ketua.
Adapun Lui-hong Sin-ciang Chie Kang adalah seorang yang sama sekali tidak mempunyai ambisi, belum pernah mengikuti pibu pemilihan ketua, lebih senang duduk termenung, atau bersamadhi atau diam-diam melatih ilmu silatnya, kalau tidak tentu dia tenggelam dalam kitab-kitab kuno karena dia adalah seorang kutu buku yang karena terlalu suka membaca tanpa mempedulikan waktu, sampai kadang-kadang matanya basah dan merah, sedangkan kedua tangannya menggigil buyuten!
Betapapun juga, Phang Kok Sek maklum bahwa suhengnya yang ke dua ini memiliki ilmu kepandaian yang tinggi dan dia masih belum berani memastikan apakah dia akan menang melawan Ji-suhengnya ini.
Karena ada kekhawatiran ini, dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika ia melihat twa-suhengnya, Sai-cu Lo-mo sebagai orang pertama yang bangkit berdiri dari kursi di ujung sebelah kanannya. Juga para anggauta menjadi heran dan tegang karena maklum bahwa kalau yang tua-tua ini sudah ikut pibu, tentu akan ramai sekali pertandingan antara saudara-saudara seperguruan itu.
Sai-cu Lo-mo mengelus brewoknya yang putih sambil tersenyum sebelum bicara, kemudian ia berkata,
“Harap semua saudara jangan salah menduga. Aku lebih suka merantau di alam bebas daripada harus terikat di atas kursi gading sebagai ketua! Sekarang pun aku masih belum mengubah kesenanganku dan aku tidak akan mengikuti pibu pemilihan ketua, hanya ada sedikit hal yang perlu kukemukakan. Siapa pun yang akan menjadi ketua baru, mulai sekarang harus dapat mengendalikan Thian-liong-pang dengan baik, mencegah penyelewengan para anggauta yang hanya akan merusak nama besar Thiang-liong-pang.
Hentikan perbuatan-perbuatan maksiat yang rendah dan yang menyeret Thian-liong-pang ke lembah kehinaan, karena kita bukanlah angauta-anggauta perkumpulan rendah, bukan segerombolan penjahat-penjahat kecil yang mengandalkan nama perkumpulan untuk melakukan perbuatan menjijikkan seperti yang sering kudengar yaitu berlaku sewenang-wenang, memperkosa wanita, dan sebagainya. Kalau perbuatan-perbuatan ini tidak dihentikan, kalau Ketua baru tidak mampu mengendalikan, hemmm.... aku tidak mengancam, akan tetapi terpaksa aku akan turun tangan menantangnya dan mungkin akan timbul hasratku untuk menjadi ketua!”
Setelah berkata demikian, kakek muka singa itu duduk kembali dan melenggut seperti orang hendak tidur!
Keadaan menjadi sunyi, kemudian terdengar bisik-bisik diantara para anggauta yang sebagian besar merasa tersinggung dan tidak senang dengan ucapan itu. Adapun Phang Kok Sek, Sang Ketua, menjadi merah mukanya, terasa panas seperti baru saja menerima tamparan.
“Cocok sekali!”
Tiba-tiba Lui-hong Sin-ciang Chie Kang berseru dan bangkit dari kursinya, suaranya tinggi nyaring sungguh tidak sesuai dengan sikapnya yang tenang dan kelihatan lemah.
“Jangan membikin malu nenek moyang kita yang gagah perkasa, Siangkoan Li Su-couw yang pernah menjadi sahabat baik pendekar wanita sakti Mutiara Hitam!” Setelah berkata demikian, Lui-hong Sin-ciang Chie Kang duduk kembali.
Biarpun ucapan kedua orang suhengnya itu merupakan tamparan dan teguran tersembunyi, yang ditujukan kepadanya, namun hati Phang Kok Sek menjadi lega karena jelas bahwa kedua orang suhengnya itu tidak mau memasuki pibu memperebutkan kursi ketua! Kini tinggal dua orang sutenya dan seorang sumoinya, karena selain mereka bertiga, siapa lagi yang berani memasuki pibu? Dia melirik ke arah kedua orang sutenya dan sumoinya.
Hampir berbareng, Twa-to Sin-seng Ma Chun dan Cui-beng-kiam Liauw It Ban bangkit berdiri memandang ketua mereka juga suheng mereka sambil berkata,
“Aku hendak memasuki pibu!” kata Ma Chun.
“Dan aku juga ingin mencoba-coba, memasuki pibu pemilihan ketua baru!” kata Liauw It Ban.
Setelah kedua orang itu duduk kembali, Tang Wi Siang bangkit berdiri. Janda muda yang cantik jelita ini berkata tenang,
“Aku ingin memasuki pibu, akan tetapi hendaknya Pangcu dan sekalian Suheng dan saudara sekalian maklum bahwa aku merasa tidak cukup untuk menjadi ketua....”
“Sumoi, aku bersedia membantumu mengatur pekerjaan ketua!”
Tiba-tiba Liauw It Ban berseru dan matanya memandang dengan sinar penuh arti. Kedua pipi wanita itu berubah merah, jantungnya berdebar karena maklum apa yang tersembunyi di balik ucapan itu, apalagi ketika ia melihat banyak mulut tersenyum-senyum maklum, membuat dia merasa lebih jengah lagi.
“Terima kasih, Liauw-suheng. Akan tetapi, aku tidak ingin menjadi ketua, juga jangan disalah artikan bahwa aku memasuki pibu karena mendendam atas kematian mendiang suamiku. Sama sekali tidak, aku memasuki pibu setelah selama ini aku melatih diri memperdalam ilmu silat dan semata-mata hanya untuk mempertebal keyakinan bahwa orang yang menjadi ketua perkumpulan kita memiliki ilmu kepandaian yang lebih tinggi dariku sehingga boleh dipercaya dan diandalkan utuk menjunjung nama dan kehormatan Thian-liong-pang!”
Girang sekali hati Phang Kok Sek mendengar ini dan diam-diam ia mengambil keputusan untuk memaafkan sumoinya yang cantik itu dan tidak membunuhnya. Akan tetapi kedua orang sutenya Ma Chun dan Liauw It Ban harus ia tewaskan dalam pibu itu karena kalau sekali ini mereka gagal, pada lain kesempatan tentu mereka itu akan mencoba lagi dan hal ini merupakan bahaya terus-menerus bagi kedudukannya. Ia segera bangkit berdiri dan berkata,
“Terima kasih atas wejangan kedua Suheng dan tentu saya akan berusaha memperbaiki keadaan perkumpulan kita. Seperti saudara sekalian telah mendengar, yang memasuki pibu untuk kedudukan ketua baru hanyalah Ma-sute dan Liauw-sute, sedangkan Sumoi hanya akan menguji kepandaian Ketua baru yang berhasil keluar sebagai pemenang dalam pibu ini. Kurasa tidak ada orang lain lagi yang akan memasuki pibu hari ini!”
“Ada!” Tiba-tiba terdengar suara yang bening merdu, suara wanita! “Akulah yang akan memasuki pibu memperebutkan kedudukan ketua Thian-liong-pang!”
Semua orang menengok dan memandang dengan penuh keheranan kepada seorang wanita yang kepalanya berkerudung sutera putih dan tahu-tahu telah berdiri di dalam ruangan itu. Bagaimana mungkin orang ini masuk? Semua pintu masih tertutup, dan tempat itu dikelilingi tembok yang tinggi dan atasnva dipasangi tombak-tombak runcing mengandung racun!
“Engkau siapa?” Phang Kok Sek membentak dengan suara menggeledek karena marah.
Terdengar suara ketawa kecil di balik kerudung sutera itu dan dengan langkah tenang wanita berkerudung itu memasuki ruangan sampai di bagian tengah yang kosong, di bawah anak tangga kemudian berkata,
“Pangcu, siapa aku bukanlah hal penting. Akan tetapi kalau kalian semua ingin tahu juga, akulah calon Ketua baru dari Thian-liong-pang, calon Ketua kalian. Aku memasuki pibu untuk mendapatkan kedudukan Ketua Thian-liong-pang.”
Phang Kok Sek bangkit berdiri dan menudingkan telunjuknya ke arah wanita berkerudung itu.
“Tidak mungkin! Engkau telah melakukan dua pelanggaran. Pertama, engkau sebagai orang luar berani memasuki tempat ini tanpa ijin, kesalahan ini saja sudah patut dihukum dengan kematian. Ke dua, pibu kedudukan Ketua Thian-liong-pang hanya dilakukan diantara anggauta sendiri, tidak boleh dicampuri orang dari luar! Hayo, buka kedokmu dan perkenalkan dirimu. Karena engkau seorang wanita, mungkin sekali kami dapat memberi ampun.”
Kembali wanita itu tertawa, halus merdu dan penuh ejekan namun cukup membuat tulang punggung yang mendengarnya terasa dingin.
“Phang Kok Sek, biarpun engkau telah menjadi Ketua Thian-liong-pang, ternyata engkau agaknya tidak tahu atau lupa akan sejarah Thian-liong-pang dan riwayat tokoh-tokoh besarnya di waktu dahulu. Dahulu, pendekar besar Siongkoan Li telah diusir dari Thian-liong-pang, dan dianggap sebagai orang luar karena perbuatan-perbuatannya yang menentang Thian-liong-pang dan karena menjadi murid dari kedua Sian-ong Kutub Utara dan Selatan.
Akan tetapi kemudian dia kembali dan merampas Thian-liong-pang menjadi ketuanya! Bukankah itu berarti seorang luar dapat menjadi Ketua Thian-liong-pang? Dan lupakah engkau kepada Gurumu sendiri, Guru semua anggauta dewan pimpinan Thian-liong-pang ini? Siapakah Guru kalian? Bukankah guru kalian mendiang Kim-sin-to Sai-kong adalah seorang pertapa dari Kun-lun-san yang sama sekali bukan anggauta Thian-liong-pang tadinya?”
Ketika Nirahai mendatangi perkumpulan yang hendak dipilihnya sebagai syarat untuk menandingi kebesaran Pulau Es yang dipimpin oleh Suma Han, suaminya yang dianggapnya menyia-nyiakan dan menyakitkan hatinya itu tepat terjadi di waktu Thian-liong-pang sedang mengadakan pibu tahunan yang selalu terjadi di ruangan belakang gedung perkumpulan yang amat luas dan terkurung pagar tembok yang tinggi dan atasnya dipasangi tombak-tombak runcing sehingga orang yang berkepandaian tinggi sekalipun jarang ada yang dapat melompat pagar tembok itu.
Seperti biasa, pibu diadakan di pekarangan luas yang dikurung oleh anak buah Thian-liong-pang yang menonton dengan penuh perhatian, ketegangan dan juga kegembiraan karena mereka itu tentu saja mempunyai pilihan calon ketua masing-masing sehingga keadaan hampir sama dengan orang-orang yang menonton adu jago. Bahkan diantara anak buah itu ada yang bertaruh, bukan hanya bertaruh uang dan barang berharga, bahkan ada yang mempertaruhkan isterinya!
Pada waktu itu, Thian-liong-pang yang tidak hanya berganti-ganti ketua akan tetapi juga berpindah-pindah tempat itu berpusat di kota kecil Cin-bun yang letaknya di lembah Sungai Huang-ho, di sebelah utara kota Cin-bun di Propinsi Shantung.
Para penduduk Cin-bun mendengar akan pemilihan ketua, akan tetapi tidak ada yang berani mencampuri, bahkan mendekati kelompok bangunan besar yang dilingkungi pagar tembok bertombak itupun merupakan hal yang berbahaya bagi mereka.
Para pembesar pemerintah Mancu pun tidak ada yang berani mencampuri, dan mereka ini sudah menerima perintah dari atasan bahwa pemerintah tidak ingin menciptakan permusuhan dengan perkumpulan yang kuat ini, maka pemerintah daerah yang mengawasi gerak-gerik mereka dan selama perkumpulan itu tidak melakukan perbuatan yang menentang pemerintah, pemerintah pun lebih suka untuk berbaik dengan mereka.
Menentang pun berarti tentu akan menimbulkan pemberontakan baru dan pemerintah tidak menghendaki hal ini karena setiap pemberontakan merupakan bahaya besar, dapat merupakan api yang membakar semangat perlawanan rakyat yang dijajah.
Pada waktu itu, Thian-liong-pang mempunyai anak buah yang jumlahnya dua ratus orang lebih, sebagian besar tinggal di Cin-bun, akan tetapi ada pula yang tinggal di dusun-dusun sekitar Propinsi Shantung dan membuka cabang-cabang Thian-liong-pang.
Akan tetapi pada waktu itu, semua pimpinan cabang berkumpul pula di pusat untuk menyaksikan pemilihan ketua baru melalui pibu, bahkan diantara mereka ada yang ingin melihat-lihat barangkali tingkat kepandaian mereka sudah cukup untuk dicoba mengadu untung ikut dalam pibu.
Dua ratus orang lebih anggauta Thian-liong-pang sudah berkumpul dan suasana menjadi riang gembira karena para anggauta itu sibuk saling bertaruh memilih jago masing-masing. Para pimpinan rendahan yang mendapat tempat di bangku rendah yang berjajar di depan anak buah itu hanya mendengarkan tingkah anak buah mereka sambil tersenyum-senyum.
Mereka ini tentu saja tidak berani bertaruh seperti yang dilakukan anak buah mereka, hanya diam-diam mereka pun mempunyai pilihan masing-masing karena mereka sendiri masih merasa terlalu rendah tingkat kepandaiannya untuk coba-coba berpibu yang berarti mempertaruhkan nyawa.
Adapun pimpinan yang tingkatnya tinggi sudah pula berkumpul di atas kursi-kursi di tingkat atas ruangan yang dipisahkan dari pekarangan tempat pibu itu oleh lima buah anak tangga di mana ditaruh kursi gading untuk Sang Ketua, diapit-apit beberapa buah kursi untuk para pimpinan yang tinggi tingkatnya dan mereka inilah yang menjadi calon-calon penantang ketua lama.
Pada waktu itu tampak lima orang pemimpin tinggi yang telah duduk dengan tubuh tegak dan sikap angkuh, sinar mata mereka berseri seolah-olah mereka itu masing-masing telah merasa yakin akan memperoleh kemenangan dalam pibu yang hendak diadakan. Kursi gading untuk Ketua masih kosong karena Ketuanya belum keluar, sedangkan seperangkat alat tetabuhan yang dipukul perlahan menyemarakkan suasana seperti dalam pesta.
Orang pertama dari para pimpinan tinggi adalah seorang kakek yang menyeramkan. Mukanya seperti muka singa karena rambut di kedua pelipisnya disambung dengan jenggot yang melingkari wajahnya, kumisnya juga tipis seperti kumis singa. Tubuhnya kekar penuh membayangkan tenaga yang amat kuat biarpun kakek ini usianya sudah mendekati enam puluh tahun. Rambut dan cambang bauknya sudah berwarna putih, namun warna ini menambah keangkerannya karena membuat mukanya lebih mirip muka singa. Sepasang matanya yang lebar menyinarkan cahaya kilat menyeramkan, namun sikapnya pendiam, pakaiannya sederhana dan dia duduk seperti seekor singa kekenyangan yang mengantuk!
Kakek ini sebenarnya merupakan saudara seperguruan tertua dan bahkan menjadi suheng dari Ketua yang sekarang, namun karena dia seorang berjiwa perantau dan petualang, maka dia tidak mempunyai nafsu untuk merebut kedudukan ketua, sungguhpun dalam hal kepandaian, masih sukar ditentukan siapa yang lebih unggul antara dia dan Sang Ketua. Kakek ini sudah tidak dikenal lagi nama aslinya, lebih dikenal julukannya yang menyeramkan, yaitu Sai-cu Lo-mo (Iblis Tua Bermuka Singa)!
Orang ke dua juga seorang kakek berusia lima puluh tahun lebih, kepalanya gundul akan tetapi dia bukanlah seorang hwesio karena dia berjenggot dan berkumis dan berpakaian seperti seorang pelajar, bersikap halus namun matanya liar seperti mata orang yang tidak waras pikirannya. Kelihatannya kakek gundul ini lemah, duduk memegangi lengan kursi dan kadang-kadang kedua tangannya bergerak menggigil seperti orang buyuten, kepalanya bergerak-gerak sendiri tanpa disadari mengangguk-angguk dan mulutnya kadang-kadang tersenyum geli seolah-olah ada setan tak tampak membadut di depannya.
Namun jangan dianggap remeh kakek ini karena dia pun merupakan suheng dari Sang Ketua, dan sute dari Sai-cu Lo-mo. Namanya Chie Kang dan julukannya tidak kalah menyeramkan dari suhengnya karena di dunia kang-ouw dia dikenal sebagai Lui-hong Sin-ciang (Tangan Sakti Angin dan Kilat)!
Orang ke tiga adalah seorang laki-laki berusia empat puluh tahun, tinggi besar tubuhnya, wajahnya merah seperti orang sakit darah tinggi, matanya melotot jarang berkedip, hidungnya besar merah tanda sifat gila perempuan, pakaiannya seperti seorang jago silat dan di punggungnya tampak gagang sebatang golok besar. Inilah Twa-to Sin-seng (Bin-tang Sakti Golok Besar) Ma Chun yang amat disegani dan ditakuti karena wataknya yang kasar, terbuka, dan kurang ajar terhadap wanita tanpa tedeng aling-aling lagi!
Orang ke empat adalah seorang laki-laki berusia tiga puluh tahun lebih, wajahya tampan sekali, bahkan begitu halus gerak-geriknya, begitu merah bibirnya dan begitu tajam memikat kerling matanya sehingga dia lebih mirip seorang wanita! Sepasang pedang tergantung di pinggangnya, pakaiannya biru, dari bahan sutera halus dan laki-laki tampan ini termasuk seorang yang pesolek.
Sayangnya, sinar matanya yang bagus itu mengandung kekejaman dan juga kesombongan yang memandang rendah semua orang! Dia ini pun bukan orang biasa dan merupakan diantara para pemimpin tinggi yang telah membuat nama Thian--liong-pang menjadi nama besar dan tenar.
Pedangnya amat ditakuti orang dan dia dijuluki Cui-beng-kiam (Pedang Pengejar Arwah), namanya Liauw It Ban. Kalau suhengnya, Ma Chun, terkenal sebagai seorang laki-laki gila perempuan dan suka mempermainkan wanita, Liauw It Ban ini lebih hebat lagi karena dia seorang mata keranjang yang berwatak sadis, senang sekali menyiksa wanita yang menjadi korbannya!
Betapapun juga, dia dan suhengnya tidak pernah mengumbar hawa nafsu iblis itu di daerah sendiri karena mereka tunduk akan perintah ketua mereka agar tidak mengotorkan nama Thian-liong-pang di daerah sendiri sehingga tidak mendapat kesan buruk terhadap pemerintah. Karena itu, namanya lebih tersohor di daerah lain di luar propinsi.
Orang ke lima akan mendatangkan rasa heran bagi orang luar Thian-liong-pang karena dia paling tidak patut menjadi anggauta dewan pimpinan perkumpulan besar itu. Dia adalah seorang wanita yang masih muda, kurang lebih dua puluh tujuh tahun usianya, cantik manis dengan pakaian sederhana namun tidak dapat menyembunyikan lekuk lengkung tubuhnya yang sudah matang.
Wanita ini merupakan saudara seperguruan termuda, namun dia memiliki ilmu kepandaian diluar ilmu keturunan ilmu para Pimpinan Thian-liong-pang karena dia telah menerima ilmu-ilmu dari mendiang suaminya, seorang murid dari Bu-tong-pai yang lihai.
Suaminya tewas setahun yang lalu ketika berusaha memasuki pibu memperebutkan kedudukan ketua sehingga wanita ini yang bernama Tang Wi Siang, adalah seorang janda kembang yang harum dan membuat banyak pria tertarik dan ingin sekali memetiknya. Terutama sekali kedua orang suhengnya sendiri, Ma Chun dan Liauw It Ban yang pada waktu itupun seringkali melayangkan sinar mata ke arahnya. Bahkan beberapa kali Ma Chun menelan ludah kalau pandang matanya menyapu tubuh sumoinya yang penuh gairah.
Liauw It Ban juga memandang dengan sinar mata penuh gairah, akan tetapi ia tersenyum-senyum dan memasang aksi setampan mungkin untuk menundukkan hati sumoinya yang sudah menjadi janda itu. Namun, Tang Wi Siang duduk dengan tenang dan sikapnya dingin sekali, seperti sebongkah es membeku. Namun, diluar tahu lain orang, diam-diam ia menyapukan pandang matanya yang tajam itu ke arah Liauw It Ban, suhengnya yang tampan.
Dahulu sebelum suaminya tewas, dia tidak mempedulikan suhengnya yang tampan ini, bahkan sebelum ia menikah, ia tidak pernah melayani rayuan suhengnya. Akan tetapi sekarang, setelah setahun lamanya dia menjanda, setelah merasa tersiksa hatinya karena kehilangan rayuan dan cinta kasih seorang pria yang pernah dinikmatinya hanya beberapa tahun lamanya, diam-diam sering jantungnya berdebar kalau membayangkan suhengnya yang tampan itu menggantikan mendiang suaminya!
Lima orang inilah, bersama Sang Ketua sendiri, yang menjadi tokoh-tokoh utama dari Thian-liong-pang dan memang mereka berenam memiliki kepandaian yang tinggi, memiliki keistimewaan masing--masing sehingga sukar untuk dikatakan siapa diantara mereka yang paling lihai.
Dan kini, sudah dapat dibayangkan bahwa dalam pibu perebutan kedudukan ketua, lima orang inilah yang akan berani maju untuk berpibu melawan Sang Ketua, karena selain mereka, siapa lagi yang akan berani maju?
Tiba-tiba tetabuhan dipukul keras dan terdengar aba-aba dari komandan upacara, yaitu seorang pemimpin rendahan yang memberi tahu akan munculnya Sang Ketua. Semua anggauta Thian-liong-pang serentak bangkit memberi hormat, dan lima orang itulah yang berdiri dengan tenang dan biasa menyambut munculnya Si Ketua yang ditunggu-tunggu sejak tadi.
Orang takkan merasa heran setelah melihat munculnya Ketua Thian-liong-pang karena memang patutlah orang ini menjadi ketua. Tubuhnya tinggi besar seperti raksasa sehingga Ma Chun yang tinggi besar itu hanya setinggi pundaknya! Ketua Thian-liong-pang ini tingginya seimbang dengan besar tubuhnya. Langkahnya lebar dan berat seperti langkah seekor gajah, lantai sampai tergetar dibuatnya.
Pakaiannya mentereng akan tetapi ketat dan membayangkan tonjolan otot-otot yang besar. Kedua lengannya sampai ke jari tangannya penuh bulu hitam kasar, kepalanya yang besar juga berambut hitam kasar seperti kawat-kawat baja. Alisnya tebal hampir persegi, matanya bulat dengan manik mata hitam amat kecil sehingga kelihatannya mata itu putih semua, hidungnya kecil akan tetapi mulutnya besar seperti terobek kedua ujungnya.
Jenggot dan kumisnya dipotong pendek, kaku seperti sikat kawat! Kulitnya yang kelihatannya tebal seperti kulit badak itu berkerut-kerut, agak hitam mengingatkan orang akan kulit buaya yang tebal, keras, dan lebat!
Inilah dia Phang Kok Sek, Ketua Thian-liong-pang yang telah mewarisi Hwi-tok-ciang (Tangan Racun Api) dari leluhur Thian-liong-pang, yaitu Lam-kek Sian-ong! Tahun yang lalu, dalam pibu dia telah menewaskan ketua lama yang menjadi paman gurunya sendiri, menewaskan pula suami Tan Wi Siang dan beberapa orang lain lagi, bahkan melukai Ma Chun yang menjadi sutenya.
Dengan gerakan kedua tangannya yang kaku Ketua ini mempersilakan saudara-saudara seperguruannya untuk duduk kembali. Dia sendiri menduduki kursi gading, dan semua anak buah lalu duduk pula, para pemimpin rendah duduk di bangku dan para anggauta duduk di atas lantai yang terbuat dari batu persegi yang lebar, keras dan berwarna hitam.
Seperti biasa, mereka itu merupakan setengah lingkaran menghadap ke arah tempat para pimpinan duduk, yaitu di atas anak tangga dan di depan atau sebelah bawah anak tangga itu merupakan ruangan yang sengaja dikosongkan karena di situlah biasanya diadakan pibu antara pimpinan untuk menentukan siapa yang berhak menjadi ketua baru karena memiliki ilmu kepandaian tertinggi. Tempat pibu yang berbahaya karena lantai ubin batu itu amat keras sehingga sekali terbanting, tulang bisa patah, apalagi kalau kepala yang terbanting bisa pecah!
Seperti sudah menjadi kebiasaan setiap diadakan pibu pemilihan ketua baru, Thian-liong-pangcu yang bertubuh seperti raksasa memberi isyarat dengan kedua tangan ke atas, menyuruh semua orang tidak mengeluarkan suara berisik. Setelah keadaan menjadi hening, dia bangkit berdiri dan mengucapkan kata-kata yang sudah dikenal baik oleh semua anggauta.
“Saudara sekalian, hari ini kita berkumpul untuk mengadakan pemilihan ketua baru seperti yang tiap kali diadakan sesuai dengan kehendak dewan pimpinan. Aku sendiri sebagai ketua, kedua orang Suheng, dua orang Sute, dan Sumoiku sebagai anggauta dewan pimpinan telah bersepakat untuk mengadakan pemilihan ketua baru pada hari ini sesuai dengan kebiasaan dan peraturan perkumpulan kita. Seperti telah menjadi kebiasaan Thian-liong-pang pula, aku sebagai ketua harus mempertahankan kedudukanku sebagai ketua dan dia yang dapat mengalahkan aku dan kemudian keluar sebagai orang terkuat, dialah yang berhak menjadi ketua baru tanpa ada tantangan dari siapapun juga dan memiliki hak mutlak untuk menjadi Ketua Thian-liong-pang.
Luka atau mati dalam pibu tidak boleh mengakibatkan dendam dan kebencian diantara saudara seperkumpulan, karena pibu ini diadakan bukan karena urusan pribadi, melainkan untuk pemilihan ketua dan demi kepentingan dan nama besar Thian-liong-pang. Aku sudah selesai bicara dan diantara para anggauta biasa dan pimpinan yang ingin memasuki pibu, harap berdiri dan menyatakan pendapatnya.”
Setelah berkata demikian, Ketua yang bertubuh seperti raksasa itu duduk kembali, kedua lengannya yang besar ditaruh di atas lengan kursi gading, tubuhnya memenuhi kursi itu dan pandang matanya menyapu semua orang yang hadir penuh tantangan. Namun diam-diam ia melirik ke arah dua orang suhengnya, yaitu Sai-cu Lo-mo dan Lui-hong Sin-ciang Chie Kang.
Ketua ini tidak gentar menghadapi dua orang sutenya dan seorang sumoinya karena merasa yakin bahwa dia akan dapat mengalahkan mereka. Namun dia mengerti bahwa kalau dua orang suhengnya itu memasuki pibu, dia harus berhati-hati karena akan bertemu lawan yang berat.
Sai-cu Lo-mo yang sudah berusia enam puluh tahun itu adalah seorang perantau dan sejak dahulu tidak pernah memasuki pibu perebutan kursi ketua karena baginya, menjadi ketua berarti harus selalu berada di Thian-liong-pang dan agaknya dia tidak mau mengorbankan kesukaannya merantau dengan menjadi ketua.
Adapun Lui-hong Sin-ciang Chie Kang adalah seorang yang sama sekali tidak mempunyai ambisi, belum pernah mengikuti pibu pemilihan ketua, lebih senang duduk termenung, atau bersamadhi atau diam-diam melatih ilmu silatnya, kalau tidak tentu dia tenggelam dalam kitab-kitab kuno karena dia adalah seorang kutu buku yang karena terlalu suka membaca tanpa mempedulikan waktu, sampai kadang-kadang matanya basah dan merah, sedangkan kedua tangannya menggigil buyuten!
Betapapun juga, Phang Kok Sek maklum bahwa suhengnya yang ke dua ini memiliki ilmu kepandaian yang tinggi dan dia masih belum berani memastikan apakah dia akan menang melawan Ji-suhengnya ini.
Karena ada kekhawatiran ini, dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika ia melihat twa-suhengnya, Sai-cu Lo-mo sebagai orang pertama yang bangkit berdiri dari kursi di ujung sebelah kanannya. Juga para anggauta menjadi heran dan tegang karena maklum bahwa kalau yang tua-tua ini sudah ikut pibu, tentu akan ramai sekali pertandingan antara saudara-saudara seperguruan itu.
Sai-cu Lo-mo mengelus brewoknya yang putih sambil tersenyum sebelum bicara, kemudian ia berkata,
“Harap semua saudara jangan salah menduga. Aku lebih suka merantau di alam bebas daripada harus terikat di atas kursi gading sebagai ketua! Sekarang pun aku masih belum mengubah kesenanganku dan aku tidak akan mengikuti pibu pemilihan ketua, hanya ada sedikit hal yang perlu kukemukakan. Siapa pun yang akan menjadi ketua baru, mulai sekarang harus dapat mengendalikan Thian-liong-pang dengan baik, mencegah penyelewengan para anggauta yang hanya akan merusak nama besar Thiang-liong-pang.
Hentikan perbuatan-perbuatan maksiat yang rendah dan yang menyeret Thian-liong-pang ke lembah kehinaan, karena kita bukanlah angauta-anggauta perkumpulan rendah, bukan segerombolan penjahat-penjahat kecil yang mengandalkan nama perkumpulan untuk melakukan perbuatan menjijikkan seperti yang sering kudengar yaitu berlaku sewenang-wenang, memperkosa wanita, dan sebagainya. Kalau perbuatan-perbuatan ini tidak dihentikan, kalau Ketua baru tidak mampu mengendalikan, hemmm.... aku tidak mengancam, akan tetapi terpaksa aku akan turun tangan menantangnya dan mungkin akan timbul hasratku untuk menjadi ketua!”
Setelah berkata demikian, kakek muka singa itu duduk kembali dan melenggut seperti orang hendak tidur!
Keadaan menjadi sunyi, kemudian terdengar bisik-bisik diantara para anggauta yang sebagian besar merasa tersinggung dan tidak senang dengan ucapan itu. Adapun Phang Kok Sek, Sang Ketua, menjadi merah mukanya, terasa panas seperti baru saja menerima tamparan.
“Cocok sekali!”
Tiba-tiba Lui-hong Sin-ciang Chie Kang berseru dan bangkit dari kursinya, suaranya tinggi nyaring sungguh tidak sesuai dengan sikapnya yang tenang dan kelihatan lemah.
“Jangan membikin malu nenek moyang kita yang gagah perkasa, Siangkoan Li Su-couw yang pernah menjadi sahabat baik pendekar wanita sakti Mutiara Hitam!” Setelah berkata demikian, Lui-hong Sin-ciang Chie Kang duduk kembali.
Biarpun ucapan kedua orang suhengnya itu merupakan tamparan dan teguran tersembunyi, yang ditujukan kepadanya, namun hati Phang Kok Sek menjadi lega karena jelas bahwa kedua orang suhengnya itu tidak mau memasuki pibu memperebutkan kursi ketua! Kini tinggal dua orang sutenya dan seorang sumoinya, karena selain mereka bertiga, siapa lagi yang berani memasuki pibu? Dia melirik ke arah kedua orang sutenya dan sumoinya.
Hampir berbareng, Twa-to Sin-seng Ma Chun dan Cui-beng-kiam Liauw It Ban bangkit berdiri memandang ketua mereka juga suheng mereka sambil berkata,
“Aku hendak memasuki pibu!” kata Ma Chun.
“Dan aku juga ingin mencoba-coba, memasuki pibu pemilihan ketua baru!” kata Liauw It Ban.
Setelah kedua orang itu duduk kembali, Tang Wi Siang bangkit berdiri. Janda muda yang cantik jelita ini berkata tenang,
“Aku ingin memasuki pibu, akan tetapi hendaknya Pangcu dan sekalian Suheng dan saudara sekalian maklum bahwa aku merasa tidak cukup untuk menjadi ketua....”
“Sumoi, aku bersedia membantumu mengatur pekerjaan ketua!”
Tiba-tiba Liauw It Ban berseru dan matanya memandang dengan sinar penuh arti. Kedua pipi wanita itu berubah merah, jantungnya berdebar karena maklum apa yang tersembunyi di balik ucapan itu, apalagi ketika ia melihat banyak mulut tersenyum-senyum maklum, membuat dia merasa lebih jengah lagi.
“Terima kasih, Liauw-suheng. Akan tetapi, aku tidak ingin menjadi ketua, juga jangan disalah artikan bahwa aku memasuki pibu karena mendendam atas kematian mendiang suamiku. Sama sekali tidak, aku memasuki pibu setelah selama ini aku melatih diri memperdalam ilmu silat dan semata-mata hanya untuk mempertebal keyakinan bahwa orang yang menjadi ketua perkumpulan kita memiliki ilmu kepandaian yang lebih tinggi dariku sehingga boleh dipercaya dan diandalkan utuk menjunjung nama dan kehormatan Thian-liong-pang!”
Girang sekali hati Phang Kok Sek mendengar ini dan diam-diam ia mengambil keputusan untuk memaafkan sumoinya yang cantik itu dan tidak membunuhnya. Akan tetapi kedua orang sutenya Ma Chun dan Liauw It Ban harus ia tewaskan dalam pibu itu karena kalau sekali ini mereka gagal, pada lain kesempatan tentu mereka itu akan mencoba lagi dan hal ini merupakan bahaya terus-menerus bagi kedudukannya. Ia segera bangkit berdiri dan berkata,
“Terima kasih atas wejangan kedua Suheng dan tentu saya akan berusaha memperbaiki keadaan perkumpulan kita. Seperti saudara sekalian telah mendengar, yang memasuki pibu untuk kedudukan ketua baru hanyalah Ma-sute dan Liauw-sute, sedangkan Sumoi hanya akan menguji kepandaian Ketua baru yang berhasil keluar sebagai pemenang dalam pibu ini. Kurasa tidak ada orang lain lagi yang akan memasuki pibu hari ini!”
“Ada!” Tiba-tiba terdengar suara yang bening merdu, suara wanita! “Akulah yang akan memasuki pibu memperebutkan kedudukan ketua Thian-liong-pang!”
Semua orang menengok dan memandang dengan penuh keheranan kepada seorang wanita yang kepalanya berkerudung sutera putih dan tahu-tahu telah berdiri di dalam ruangan itu. Bagaimana mungkin orang ini masuk? Semua pintu masih tertutup, dan tempat itu dikelilingi tembok yang tinggi dan atasnva dipasangi tombak-tombak runcing mengandung racun!
“Engkau siapa?” Phang Kok Sek membentak dengan suara menggeledek karena marah.
Terdengar suara ketawa kecil di balik kerudung sutera itu dan dengan langkah tenang wanita berkerudung itu memasuki ruangan sampai di bagian tengah yang kosong, di bawah anak tangga kemudian berkata,
“Pangcu, siapa aku bukanlah hal penting. Akan tetapi kalau kalian semua ingin tahu juga, akulah calon Ketua baru dari Thian-liong-pang, calon Ketua kalian. Aku memasuki pibu untuk mendapatkan kedudukan Ketua Thian-liong-pang.”
Phang Kok Sek bangkit berdiri dan menudingkan telunjuknya ke arah wanita berkerudung itu.
“Tidak mungkin! Engkau telah melakukan dua pelanggaran. Pertama, engkau sebagai orang luar berani memasuki tempat ini tanpa ijin, kesalahan ini saja sudah patut dihukum dengan kematian. Ke dua, pibu kedudukan Ketua Thian-liong-pang hanya dilakukan diantara anggauta sendiri, tidak boleh dicampuri orang dari luar! Hayo, buka kedokmu dan perkenalkan dirimu. Karena engkau seorang wanita, mungkin sekali kami dapat memberi ampun.”
Kembali wanita itu tertawa, halus merdu dan penuh ejekan namun cukup membuat tulang punggung yang mendengarnya terasa dingin.
“Phang Kok Sek, biarpun engkau telah menjadi Ketua Thian-liong-pang, ternyata engkau agaknya tidak tahu atau lupa akan sejarah Thian-liong-pang dan riwayat tokoh-tokoh besarnya di waktu dahulu. Dahulu, pendekar besar Siongkoan Li telah diusir dari Thian-liong-pang, dan dianggap sebagai orang luar karena perbuatan-perbuatannya yang menentang Thian-liong-pang dan karena menjadi murid dari kedua Sian-ong Kutub Utara dan Selatan.
Akan tetapi kemudian dia kembali dan merampas Thian-liong-pang menjadi ketuanya! Bukankah itu berarti seorang luar dapat menjadi Ketua Thian-liong-pang? Dan lupakah engkau kepada Gurumu sendiri, Guru semua anggauta dewan pimpinan Thian-liong-pang ini? Siapakah Guru kalian? Bukankah guru kalian mendiang Kim-sin-to Sai-kong adalah seorang pertapa dari Kun-lun-san yang sama sekali bukan anggauta Thian-liong-pang tadinya?”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar