FB

FB


Ads

Jumat, 26 Desember 2014

Pendekar Super Sakti Jilid 086

Biarpun Han Han dapat mempercayai keterangan Nenek Maya bahwa adiknya telah terbebas dari dalam tahanan ketika murid-murid Ma-bin Lo-mo menyerbu tahanan, namun ia masih tidak tergesa-gesa meninggalkan kota raja dan melakukan penyelidikan dengan bertanya-tanya tentang peristiwa itu.

Tentu saja berita penyerbuan itu menggegerkan kota raja dan hampir setiap orang yang ditanyainya dapat menceritakannya. Akan tetapi, seperti biasa berita yang merupakan berita angin dari mulut ke mulut, setiap orang mempunyai cerita yang berbeda, dan tidak seorang pun di antara mereka dapat memberitahukan secara jelas, juga tidak ada yang tahu ke mana perginya Lulu yang ikut pula melarikan diri dari tahanan bersama para tahanan lain ketika murid-murid In-kok-san (Lembah Awan) itu datang menyerbu.

Han Han menjadi bingung dan tidak mengerti kalau ia teringat akan adiknya. Bukankah menurut keterangan Lauw Sin Lian, adiknya itu telah menjadi anak angkat mendiang Lauw-pangcu dan telah memihak para pejuang? Akan tetapi dia berjumpa dengan Lulu di Se-cuan sebagai seorang pemimpin pasukan Mancu!

Kemudian mendengar Lulu ditangkap oleh Puteri Nirahai dan menjadi tawanan, sekarang ditolong oleh murid-murid In-kok-san. Sebenarnya, di fihak manakah Lulu berdiri? Benar-benar membingungkan dan mau tidak mau Han Han tersenyum sendiri kalau mengingat ucapan Nenek Maya bahwa Lulu sudah banyak membikin pusing!

Benar-benar anak nakal adiknya itu! Akan tetapi senyumnya lenyap terganti awan duka kalau ia teringat akan pertemuannya yang terakhir dengan Lulu. Adiknya itu tentu membencinya! Lulu, aku harus dapat menemukanmu dan memberi penjelasan, minta maaf, demikian jerit hatinya dan pemuda ini mengambil keputusan untuk pergi menyelidik ke In-kok-san, di Pegunungan Tai-hang-san.

Adiknya dibebaskan oleh murid-murid Ma-bin Lo-mo dan dia sendiri tidak tahu mengapa murid-murid Ma-bin Lo-mo menyerbu istana sedangkan guru mereka sendiri berada di istana membantu Kerajaan Mancu.

Satu-satunya jalan untuk membongkar rahasia ini dan bertanya kepada bekas suheng-suheng dan suci-sucinya itu di mana adanya Lulu, hanya pergi mengunjungi mereka! Selain hendak mencari Lulu atau kalau adiknya tidak berada di sana, bertanya kepada mereka ke mana perginya adiknya, juga Han Han ingin mengunjungi kuburan kakeknya, yaitu Jai-hwa-sian Suma Hoat dan ingin menyelidik tentang riwayat nenek moyangnya.

Hidupnya selalu dirundung malang, dimusuhi sana-sini, selalu sengsara dan menderita tekanan batin, agaknya hal ini semua terjadi karena darah keturunannya. Hidupnya seperti hukuman, dan agaknya memang hukuman karena dosa-dosa nenek moyangnya!

Di sepanjang perjalanannya yang jauh itu, Han Han selalu merasa hatinya tertindih kedukaan. Kalau ia renungkan dan ingat-ingat, apalagi di waktu ia menghentikan perjalanan karena malam gelap dan ia duduk mengaso di bawah pohon, terbayanglah di depan matanya wajah Kim Cu yang berkepala gundul dan sinar matanya penuh duka, terganti wajah Lu Soan Li yang telah mengorbankan nyawa untuknya, kemudian bermunculan wajah Lauw Sin Lian, Tan Hian Ceng, di antara bayangan wajah Lulu dan yang terakhir Puteri Nirahai! Diam-diam ia mengeluh!

Mengapa Kim Cu dan Soan Li berkorban untuknya? Mengapa mencintanya? Dan Hian Ceng....! Ah, dia, seorang yang buntung, yang tidak patut mendampingi gadis-gadis cantik jelita itu, mengapa justeru dia yang mereka cinta? Bukankah hal ini merupakan hukuman baginya, hukuman karena dosa-dosa nenek moyangnya, terutama sekali kakeknya, Jai-hwa-sian Suma Hoat?

Han Han mengeluh di dalam hatinya. Mengapa dia, yang sudah terang merupakan seorang pemuda berkaki buntung, bercacad sehingga tidak patut mendampingi seorang wanita, apalagi gadis-gadis cantik seperti mereka itu, kini selalu mengenangkan mereka? Tidak, tidak boleh sama sekali! Apakah hal inipun merupakan penyakit baginya, penyakit turunan sehingga ia tidak pernah mampu mengusir bayangan wanita-wanita cantik itu? Apakah dia pun termasuk seorang yang memiliki darah kakeknya, darah seorang pria yang mata keranjang?

Kembali Han Han mengeluh panjang dan menyandarkan tubuhnya pada batang pohon, berusaha untuk melupakan semua itu dan untuk tidur. Dia harus menggunakan kekuatan kemauannya untuk melupakan bayangan-bayangan wajah ayu itu, kecuali bayangan wajah Lulu, adiknya!

Tentu saja pemuda yang bernasib malang ini tidak tahu bahwa dia sama sekali bukan menderita penyakit, bukan pula mata keranjang, melainkan dia pun seorang manusia biasa. Karena usianya sudah dewasa, tentu saja daya tarik lawan kelamin makin kuat dan tanpa disadarinya, berahinya terhadap wanita pun makin menguat. Hal ini adalah wajar dan bahkan sudah semestinya demikian.

Hanya karena pemuda ini telah mengalami hal-hal yang melukai hatinya melihat pengorbanan Kim Cu dan Soan Li untuk dirinya, ditambah pengetahuan bahwa kakeknya seorang penjahat cabul pemerkosa wanita, maka ia mengekang rasa tertarik terhadap wanita ini yang dianggapnya sebagai semacam penyakit dan ia menyalahkan darah keturunannya!

Ketika ia tiba di lereng Pegunungan Tai-hang-san, Han Han memandang sekeliling dan menghirup hawa segar, hatinya agak terharu mengingat betapa dahulu, sepuluh tahun lebih yang lalu, ia tinggal di daerah ini sebagai murid In-kok-san!

Teringatlah ia akan Kim Cu yang semenjak menjadi saudara seperguruan, selalu bersikap amat baik terhadapnya. Memang belum lama ini dia kembali ke In-kok-san, akan tetapi sebagai tawanan Toat-beng Ciu-sian-li sampai kakinya dibuntungi, dan dalam keadaan seperti itu ia tidak dapat menikmati keindahan alam dan tidak terkenang akan masa kanak-kanak dahulu.

Kini ia berdiri termenung dan barulah ia sadar kembali ketika ia mendengar gerakan kaki manusia. Ketika ia menengok, ia melihat dua orang laki-laki menggotong sebuah joli yang tertutup tirai sutera. Cepat Han Han menyelinap ke belakang pohon karena ia melihat berkelebatnya bayangan empat orang yang bergerak cepat sekali, seolah-olah mempunyai niat buruk terhadap joli yang digotong oleh dua orang itu.

Setelah joli yang digotong lewat dan empat bayangan itu dekat, Han Han makin tertarik. Ia mengenal empat orang pemuda tampan itu. Mereka adalah bekas-bekas suhengnya, murid-murid Ma-bin Lo-mo atau murid-murid In-kok-san! Mau apakah mereka mengikuti joli sambil bersembunyi dan siapa pula yang duduk di dalam joli?

Tadinya, melihat sikap mereka yang mengancam, ingin Han Han memperingatkan orang yang duduk di dalam joli, akan tetapi ia segera menekan kehendak hati ini dengan kesadaran betapa ia selalu mendatangkan salah faham dan keributan setiap kali turun tangan.

Dia tidak akan mencampuri urusan yang belum diketahuinya benar. Maka Han Han hanya menyelinap dan mengikuti empat orang pemuda itu sambil bersembunyi, menggunakan kepandaiannya mencelat ke tempat-tempat tersembunyi sambil mengintai.

Agaknya dua orang penggotong joli itu hanyalah memiliki tenaga kasar saja, hanya kuat untuk menggotong joli dan melakukan perjalanan jauh, akan tetapi tidak memiliki kepandaian. Buktinya, mereka berdua ini sama sekali tidak tahu bahwa ada empat orang yang kini membayangi dari dekat.






Kini empat orang murid In-kok-san itu bergerombol di balik semak-semak, berbisik-bisik kemudian mereka mengayun tangan ke arah joli. Han Han terkejut sekali melihat sinar-sinar terang menyambar ke arah joli. Kiranya mereka itu telah menyerang joli dengan senjata-senjata rahasia. Jarum, piauw, dan uang logam beterbangan dengan jitu menyambar dan menerobos tirai sutera joli!

Han Han membuka mata lebar-lebar karena tidak terdengar apa-apa dari dalam joli, bahkan beberapa detik, senjata-senjata kecil itu beterbangan menyambar dari dalam joli, kembali kepada empat orang penyerangnya secara cepat sekali, jauh lebih cepat dan kuat luncurannya daripada sambitan empat orang murid In-kok-san tadi!

Han Han kagum dan juga merasa geli hatinya menyaksikan betapa empat orang itu berseru kaget dan kacau-balau mengelak dari sambaran senjata-senjata rahasia mereka sendiri sedangkan dua orang penggotong joli itu agaknya tidak tahu apa yang terjadi dan terus melangkah maju menggotong joli.

Empat orang murid In-kok-san itu agaknya penasaran dan marah sekali. Mereka berempat lalu melompat keluar dari batik semak-semak, dan mencabut senjata sambil berseru keras mereka berempat itu menerjang ke arah joli. Dua batang pedang dan dua batang golok menyambar dan menusuk ke arah tirai sutera joli itu, terdengar kain robek ketika empat batang senjata runcing dan tajam itu menembus tirai menusuk ke dalam joli.

Dua orang penggotongnya baru kaget, melepaskan joli dan menjatuhkan diri berlutut. Akan tetapi, dapat dibayangkan betapa kaget dan herannya hati empat orang murid In-kok-san itu ketika senjata mereka memasuki joli yang kosong....!

Hanya Han Han yang melihat betapa ada bayangan berkelebat cepat sekali keluar dari joli dari sebelah sana dan bayangan itu kini telah meloncat dan berdiri di atas cabang pohon sambil tersenyum mengejek. Ketika ia memandang, kiranya bayangan itu bukan lain adalah Puterai Nirahai yang cantik jelita!

Kekaguman Han Han makin meningkat. Dapat menangkap serangan am-gi (senjata gelap) dari dalam joli dan mengembalikannya tanpa membuka tirai sudah merupakan kepandaian luar biasa, kini dapat menghindarkan diri dari serangan dengan cara secepat itu hanya dapat dilakukan oleh orang yang telah memiliki tingkat ilmu silat yang amat tinggi!

Empat orang muda itu adalah murid-murid Ma-bin Lo-mo yang tentu saja bukan merupakan jago-jago muda sembarangan, namun mereka kini berdiri bingung dan barulah mereka menggerakkan senjata dibarengi meluncurnya tubuh wanita jelita itu dari atas pohon menyambar kearah mereka!

“Trang-trang-trang-trang....!”

Dua batang pedang itu terlempar ke kanan kiri, disusul robohnya empat orang muda itu dalam keadaan tertotok lemas dan rebah di atas tanah. Hanya mata mereka saja yang mampu memandang melotot penuh kebencian kepada Nirahai yang tersenyum lebar.

“Untung bagi kalian bahwa aku datang membawa tugas perdamaian dan persahabatan. Kalau tidak, apakah kalian dapat mengharap masih dapat hidup di saat ini?”

Setelah berkata demikian, Nirahai memasuki jolinya yang sudah robek-robek tirainya itu, memberi isyarat kepada dua orang penggotongnya. Dua orang itu bergegas menggotong joli dan cepat-cepat pergi dari situ, sedangkan dari balik tirai sutera yang robek-robek itu, Han Han dapat melihat wajah cantik jelita itu mengerling ke arah empat orang murid In-kok-san sambil tersenyum manis.

Bukan main, pikir Han Han. Puteri itu benar-benar memiliki kepandaian yang hebat sekali! Lebih hebat daripada kepandaian datuk-datuk yang pernah ia lawan. Tentu akan merupakan lawan yang amat tangguh! Ia kagum akan kecantikannya yang mempesonakan, akan persamaannya dengan patung Puteri Maya di Pulau Es, akan kepandaiannya yang hebat dan akan sikapnya yang angkuh dan agung terhadap empat orang murid In-kok-san yang sudah jelas menyerang dengan maksud membunuhnya tadi.

Dengan tenang Han Han lalu menghampiri empat orang murid In-kok-san yang masih rebah tak berdaya di atas tanah. Mereka itu memandang terbelalak ketika mengenal Han Han. Pemuda berkaki buntung ini lalu menggerakkan tongkatnya, empat kali tongkatnya bergerak menotok dan ia telah berhasil membebaskan empat orang muda itu yang cepat meloncat bangun dan berdiri di depan Han Han.

“Engkau.... Han Han-sute....!” Seorang di antara mereka yang bernama Song Biauw berkata.

Han Han mengangguk.
“Mengapa kalian menyerang dia?”

Empat orang itu memandang ke arah perginya joli itu dan Song Biauw berseru marah,
“Iblis betina itu sungguh lihai! Dialah biang keladi segala kesengsaraan!” Kemudian ia menoleh kepada Han Han. “Kami sudah mendengar bahwa engkau sekarang menjadi seorang yang memiliki kepandaian tinggi, sute! Marilah kau bantu kami membunuh iblis betina itu!”

Han Han tersenyum dan menggeleng kepala. Dia terharu bahwa empat orang ini masih menyebutnya “sute”, kemudlan ia bertanya,

“Ma-bin Lo-mo sendiri membantunya, mengapa kalian memusuhi puteri yang mewakili kerajaan itu?”

“Ma-bin Lo-mo iblis tua juga akan kami basmi!” bentak seorang murid In-kok-san dengan muka merah penuh kebencian.

Han Han diam-diam terkejut.
“Eh, mengapa kalian memusuhi suhu kalian sendiri? Kalau kalian memusuhi Kerajaan Mancu, hal ini aku tidak heran.”

“Hemmm, agaknya kau belum mendengar akan peristiwa busuk yang menjadi rahasia iblis tua itu, Han-sute? Engkau tentu sudah tahu bahwa kami semua murid In-kok-san adalah orang-orang yatim piatu....”

“Aku tahu, orang tua kalian, seperti juga orang tuaku, terbunuh oleh pasukan Mancu....” kata Han Han.

“Bukan!” Song Biauw memotong cepat sambil menggoyang tangan. “Mungkin orang tuamu terbunuh oleh pasukan Mancu, akan tetapi orang tua kami semua sama sekali tidak terbunuh oleh pasukan Mancu, melainkan dibunuh secara diam-diam oleh Ma-bin Lo-mo!”

“Heeehhhhh....?” Han Han benar-benar terkejut sekali mendengar ini.

“Iblis tua bangka yang busuk itu! Dia dahulunya memusuhi penjajah Mancu, dan untuk dapat membentuk pasukan kuat, dia sengaja memilih anak-anak yang berbakat baik, menggunakan keadaan yang kacau membunuhi orang tua kami dan kemudian menolong kami dengan pernyataan bahwa orang tua kami dibunuh orang-orang Mancu. Kami masih terlalu kecil untuk mengerti akan tipu muslihatnya ini. Akhir-akhir ini dia menjadi penjilat Mancu sehingga kami merasa heran sekali dan akhirnya kami dapat mengetahui rahasianya yang membocor dari istana. Tentu saja kami menjadi sakit hati kepadanya sehingga kami bersumpah selain memusuhi penjajah, juga akan membunuh bekas guru yang juga pembunuh orang tua kami itu!”

Han Han mengangguk-angguk. Baru sekarang ia mengerti mengapa murid-murid In-kok-san menyerbu kota raja.

“Jadi kalian menyerbu kota raja, membebaskan tawanan-tawanan, juga dengan maksud untuk mengacau kota raja dan sekalian mencari Ma-bin Lo-mo?”

Song Biauw berseri wajahnya.
“Kau sudah mendengar akan penyerbuan itu? Kami kehilangan belasan orang saudara, akan tetapi kami berhasil membebaskan banyak tawanan. Kini saudara-saudara kami sebagian sudah menyeberang ke Se¬cuan, maka kami mendengar bahwa engkau telah membantu perjuangan dan bahkan menjadi panglima di Se-cuan. Kami yang masih tinggal di sini, mendengar bahwa puncak Tai-hang-san akan dijadikan tempat pertemuan antara pemerintah dan tokoh-tokoh kang-ouw, maka kami menghadang di sini untuk menyerang Ma-bin Lo-mo. Tadi ketika kami tahu bahwa Puteri Nirahai iblis betina itu datang, kami segera menyerangnya. Siapa tahu dia luar biasa lihainya!”

Han Han menggeleng-geleng kepala.
“Kalian ini bernafsu besar dan bercita-cita muluk, akan tetapi kalian bukanlah lawannya, bahkan kalian berempat takkan mampu mengalahkan Ma-bin Lo-mo.”

“Masih ada lima orang saudara kami di bawah!” Song Biauw membentak.

Han Han menghela napas.
“Aku tidak akan mencampuri urusan kalian. Kebetulan aku bertemu dengan kalian di sini karena memang aku ingin sekali bertanya. Ketika kalian menyerbu kota raja membebaskan para tawanan, terdapat pula adikku Lulu yang ikut melarikan diri. Di manakah dia sekarang?”

“Ohhhh.... dia? Puteri Mancu itu? Wah, dia hebat sekali!” kata Song Biauw dan tiga orang saudaranya mengangguk-angguk. “Hanya karena bantuan dia maka kami dapat menyelamatkan diri keluar dari kota raja, dan hanya belasan orang yang gugur. Agaknya iblis betina Nirahai sendiri segan untuk bersikap keras setelah dia turun tangan membantu kami. Jadi dia adikmu, Han-sute? Ah, sungguh menyesal sekali, kami tidak tahu ke mana dia pergi karena begitu kami semua berhasil keluar dari kota raja, dia menghilang.”

Han Han menghela napas panjang. Dia sudah menduga akan hal ini. Adiknya itu terlalu keras kepala, keras hati dan ingin bebas, tentu saja tidak mau bersatu dengan orang-orang ini. Entah kemana sekarang “terbangnya” bocah itu!

“Sudahlah, aku akan mencarinya sendiri. Kunasihati saja agar kalian tidak terburu nafsu mengandalkan kepandaian. Ma-bin Lo-mo lihai sekali, juga bekas guru kalian itu mempunyai banyak kawan yang lihai. Kalau memang kalian ingin berjuang, tempat kalian adalah di Se-cuan di mana dapat dihimpun kekuatan untuk menghadapi musuh. Nah, selamat berpisah!”

Han Han menggunakan kepandaiannya, sekali mencelat ia telah berkelebat lenyap dari depan empat orang itu yang memandang terbelalak, menengok dan mencari-cari ke sana ke mari kemudian saling pandang dengan melongo. Sukar mereka percaya bahwa pemuda yang kakinya hanya tinggal sebuah itu dapat bergerak secepat itu.

Sambil berloncatan, Han Han berpikir. Pertemuan di puncak Tai-hang-san? Pertemuan apakah itu? Apa pula yang akan dilakukan oleh Puteri Nirahai yang lihai dan cerdik luar biasa itu? Ia tertarik sekali, apalagi dia mengharapkan bahwa Lulu akan hadir pula di pertemuan aneh itu.

Dengan penuh harapan, Han Han lalu mendaki puncak Tai-hang-san, akan tetapi memilih jalan yang sunyi karena dia tidak mau mengunjungi pertemuan itu secara berterang. Dia tidak mau melibatkan diri, dan keinginan satu-satunya pada saat itu hanyalah mencari adiknya, Lulu. Ia pun bergidik kalau teringat akan cerita bekas saudara-saudara seperguruannya tadi akan kekejian hati Ma-bin Lo-mo.

Kiranya kakek iblis itu hendak membentuk pasukan terdiri dari murid-muridnya yang mengandung hati dendam kepada pemerintah Mancu dengan cara membunuhi orang tua dan keluarga calon para muridnya secara diam-diam, kemudian menolong calon murid itu dan mengatakan bahwa keluarga si murid dibasmi orang Mancu. Cara mengobarkan anti Mancu yang amat curang, licik dan keji.

Lebih menjijikkan lagi, setelah melakukan perbuatan yang tidak mengenal prikemanusiaan itu, akhirnya kini Ma-bin Lo-mo dan Toat-beng Ciu-sian-li malah membalik, mengkhianati perjuangan sendiri dan menjadi kaki tangan Mancu!

Makin dikenang, makin sakit rasa hati Han Han. Bukankah kedua orang nenek dan kakek itu merupakan orang-orang terakhir di dunia ini yang masih “berbau” keluarga nenek moyangnya sendiri? Merupakan orang-orang yang masih ada hubungan dengan keluarga Suma yang terkenal jahat di masa lalu? Teringatlah ia akan cerita yang didengarnya dari mulut Ma-bin Lo-mo sendiri ketika ia masih menjadi murid In-kok-san di Pegunungan Tai-hang-san ini. Arca yang dipuja di In-kok-san adalah arca Suma Kiat, guru Ma-bin Lo-mo atau ayah dari Suma Hoat Si Dewa Cabul atau kong-kongnya sendiri!

Jadi Ma-bin Lo-mo adalah murid dari kakek buyutnya. Adapun nenek iblis Toat-beng Ciu-sian-li adalah seorang selir dari kakek buyutnya itu! Hemmm, baru murid dan selir saja sudah merupakan dua orang iblis yang kejahatannya sukar dicari bandingnya! Dapat dibayangkan betapa luar biasa jahat dan kejinya keluarga Suma itu sendiri!

Pantaslah kalau dia, sebagai keturunan keluarga Suma, kini selalu hidup merana dan menderita sengsara, agaknya Thian telah menghukumnya atas dosa-dosa yang dilakukan nenek moyangnya!

Setelah Han Han tiba di puncak Tai-hang-san, di lembah In-kok-san, dari jauh ia sudah melihat banyaknya orang yang berkumpul di situ. Ia cepat menyelinap dan berindap-indap mendekati pekarangan lebar di mana berkumpul banyak orang yang duduk di bangku-bangku membentuk lingkaran.

Mereka itu terdiri dari orang-orang yang sudah tua dan bersikap penuh wibawa. Para tamu itu menghadapi pihak tuan rumah yang merupakan rombongan yang duduk di atas bangku-bangku di depan pondok dan mereka ini adalah Puteri Nirahai sendiri yang ditemani oleh Ma-bin Lo-mo sebagai pemilik In-kok-san tempat mereka mengadakan pertemuan, Toat-beng Ciu-sian-li, Kang-thouw-kwi Gak Liat, dan kedua orang pendeta Lama dari Tibet yang lihai, Thian Tok Lama dan Thian Li Lama!

Han Han yang bersembunyi dekat tempat itu dapat melihat jelas dan sebagian di antara para tamu ada yang telah dikenalnya. Dari pihak Siauw-lim-pai hadir Ceng To Hwesio penjaga kuil Siauw-lim-si yang menjadi sute Ceng San Hwesio ketua Siauw-lim-pai ditemani dua orang kakek yang setelah Han Han ingat-ingat ternyata ia mengenalnya sebagai dua orang di antara Kang-lam Sam-eng (Tiga Pendekar Kang-lam).

Dahulunya tiga pendekar itu adalah Khu Ceng Tiam kakek yang pendek kecil itu, Liem Sian yang tinggi besar, dan orang ke tiga adalah seorang wanita cantik Bhok Khim yang telah diperkosa Gak Liat Si Setan Botak dan bahkan yang terakhir bertemu dengan Han Han ketika wanita yang menjadi gila itu membobol kamar penyiksa diri di Siauw-lim-pai dan melarikan diri membawa anaknya.

Han Han merasa heran mengapa dalam pertemuan penting ini, hanya Ceng To Hwesio dan dua orang tokoh Siauw-lim-pai bukan pendeta ini yang hadir. Mengapa lima orang tokoh Siauw-lim Chit-kiam tidak hadir pula?

Han Han memperhatikan terus para tokoh yang hadir sebagai tamu. Ia melihat pula tokoh-tokoh Hoa-san-pai yang merupakan tosu-tosu tingkat tiga, tiga orang tosu galak yang pernah bentrok dengan dia dahulu, yaitu Lok Seng Cu dan Bhok Seng Cu, agaknya tiga orang kakek ini mewakili guru mereka, ketua Hoa-san-pai untuk hadir di In-kok-san ini.

Selain kedua rombongan wakil Siauw-lim-pai dan Hoa-san-pai, masih banyak terdapat wakil-wakil dari partai-partai persilatan lain, bahkan di antara mereka pula orang-orang dari Pek-lian Kai-pang, dan tokoh-tokoh pejuang yang pernah ia jumpai di Se-cuan. Kini dia memperhatikan Nirahai dan makin kagumlah hati Han Han. Benar-benar amat hebat gadis itu.

Masih amat muda, wajahnya cantik jelita seperti bidadari, kadang-kadang demikian lembut seperti setangkai mawar yang bergoyang-goyang perlahan terhembus angin, kadang-kadang membayangkan kekerasan yang melebihi baja pilihan. Semuda dan secantik itu telah menjadi seorang pemimpin besar, bahkan kini mengumpulkan para tokoh perjuangan dan para wakil-wakil partai persilatan yang jelas merupakan musuh-musuh besarnya.

Demikian beraninya gadis ini! Apa kehendaknya mengumpulkan para pejuang yang bagi puteri itu tentu dianggap pemberontak-pemberontak ini? Diam-diam Han Han merasa khawatir. Puteri ini terkenal cerdik sekali dan ahli siasat yang pandai mengatur tipu-tipu muslihat. Jangan-jangan setelah dikumpulkan di sini, para pejuang dan tokoh partai-partai besar ini akan dibasmi! Han Han berlaku waspada dan siap sedia. Kalau benar seperti itu siasat Nirahai, biarpun dia sendiri tidak peduli lagi akan perang, terpaksa dia akan turun tangan menentang kecurangan besar ini!

Pada saat itu, agaknya semua tamu telah mengambil tempat duduk dan terdengarlah suara lantang akan tetapi merdu dari mulut Puteri Nirahai. Han Han memandang penuh perhatian dan mendengarkan dari tempat sembunyi. Ia menjadi heran mendengar suara gadis jelita itu, karena biarpun gadis itu bukan berbangsa Han, akan tetapi suaranya sama sekali tidak kaku, bahkan kata-katanya teratur dengan rapi, tanda bahwa gadis itu memiliki pengertian yang baik tentang kesusastraan.

“Atas nama Kerajaan Ceng-tiauw yang jaya, kami yang bertugas sebagai wakil kaisar dalam hal ini, menghaturkan banyak terima kasih kepada para locianpwe dan para enghiong yang telah sudi memenuhi undangan kami untuk datang berkumpul dan bersama-sama menciptakan perdamaian, persahabatan dan kerja sama demi kesejahteraan rakyat jelata!”

Han Han mendengarkan dengan kagum. Puteri itu benar hebat. Selain kata-katanya terdengar rapi teratur, juga nadanya membujuk dan memuji-muji orang gagah, suaranya mengandung dasar ketenangan sehingga amat menarik perhatian mereka yang mendengarnya.

Selanjutnya, secara singkat namun padat dan dengan kata-kata teratur baik, puteri itu menjelaskan mengapa pemerintah Kerajaan Mancu mengulurkan tangan untuk mengajak damai dengan para orang gagah, terutama dengan partai-partai besar. Rakyat sudah terlalu lama hidup tertekan dan menderita sengsara akibat perang, katanya. Karena itu, mengapa perang yang menyengsarakan itu dilanjut-lanjutkan? Lebih baik semua tenaga rakyat dikerahkan untuk membangun demi kesejahteraaan hidup rakyat, di bawah pimpinan pemerintah Ceng yang jaya dan yang memang sudah ditentukan oleh Thian untuk memimpin rakyat jelata mencapai kemakmuran.

Sejam lebih puteri itu bicara dengan lancar dan tidak membosankan para pendengarnya. Wajah itu demikian cantik jelita seperti setangkai mawar sedang mekar dengan segarnya, siapakah yang tidak terpikat dan siapakah yang akan bosan memandang? Sepasang mata itu berkilat-kilat penuh semangat dan gairah hidup, bibir yang bergerak-gerak ketika bicara itu demikian manis, semanis kata-kata yang keluar secara teratur dan indah, seolah-olah gadis itu bukan sedang berpidato melainkan sedang mendeklamasikan sajak-sajak indah!

Tubuhnya agak bergoyang, sesuai dengan sikap kewanitaannya, mengingatkan para pemandangnya akan batang pohon yang-liu terhembus angin musim semi, meliak-liuk dengan lemas dan indahnya.

Setelah membeberkan rencana kerja pemerintah dan memberikan janji dengan sumpah bahwa pemerintah tidak akan mengganggu hak milik para tuan tanah dan tidak akan mengganggu milik rakyat, tidak akan memeras rakyat dengan pajak berat seperti yang sudah-sudah dilakukan oleh kaisar-kaisar dahulu, berjanji pula akan menumpas semua kejahatan yang menghimpit penghidupan rakyat, menumpas para pencopet, pencuri, perampok dan mereka yang masih memberontak, terdengar puteri jelita itu berkata.

“Hendaknya cu-wi sekalian tidak membesar-besarkan perbedaan suku bangsa. Kita seluruhnya merupakan bangsa yang besar, dan jangan terpengaruh oleh perpecahan-perpecahan yang ditimbulkan oleh para pemberontak. Kita semenjak dahulu merupakan kesatuan suku bangsa-suku bangsa yang menjadi bangsa besar. Tentu cu-wi sekalian masih ingat akan nama seorang pahlawan dan pendekar yang tiada bandingnya selama sejarah berkembang. Siapa yang tidak pernah mendengar nama julukan pendekar besar Suling Emas? Siapa pula yang tidak tahu akan sepak terjangnya, yang tidak memperbedakan bangsa, yang bahkan menjadi suami Ratu Khitan dan mempersatukan suku bangsa-suku bangsa menjadi bangsa yang besar? Bahkan sesungguhnya bangsa-bangsa pun hanya merupakan perpecahan yang dibuat-buat oleh manusia sendiri karena sesungguhnya, tanpa adanya pemecahan bangsa-bangsa, semua manusia di empat penjuru lautan adalah saudara, seperti yang telah diajarkan oleh Nabi Kong Hu Cu bahwa

Su-hai-ci-lwe-kai-heng-te-ya!” (Di Empat Penjuru Lautan Adalah Saudara). Nah, cu-wi sekalian, hendaknya cu-wi percaya bahwa andaikata Pendekar Sakti Suling Emas sekarang masih hidup, beliau tentu akan menyetujui persatuan di antara kita, dan sebagai buktinya bahwa saya, Puteri Nirahai, tidak membohong dan masih mempunyai hubungan dengan keluarga Suling Emas, hendaknya cu-wi sekalian suka memandang pusaka ini!”

Tangan Puteri Nirahai bergerak dan berkelebatlah sinar kuning emas yang menyilaukan mata. Ternyata sebatang suling emas telah berada di tangan kanannya dan diangkatnya tinggi-tinggi di atas kepala.

“Suling Emas....!”

Banyak mulut mengucapkan kata-kata ini penuh takjub dan hormat, dan mereka yang tadinya masih ragu-ragu, baru setengah tunduk oleh bujukan kata-kata Puteri Nirahai, kini menjadi tunduk benar ketika menyaksikan senjata pusaka keramat itu berada di tangan sang puteri.

Biarpun orangnya sudah puluhan, bahkan ratusan tahun tidak ada, namun nama besar Suling Emas dikenal oleh semua orang gagah di dunia kang-ouw, dan karenanya, melihat senjata keramat ini semua orang menjadi kagum dan tunduk. Puteri jelita itu tersenyum girang menyaksikan sikap para orang gagah itu dan ia melanjutkan.

“Selain memiliki pusaka keramat ini, juga terus terang saja tanpa maksud membanggakan dan menyombongkan diri, saya berani mengaku bahwa saya adalah seorang yang mewarisi ilmu dari pendekar wanita perkasa Mutiara Hitam. Melihat hubungan saya dengan Suling Emas dan Mutiara Hitam, masih perlukah diragukan bahwa saya tidak mempunyai niat buruk terhadap cu-wi sekalian, orang-orang gagah di dunia kang-ouw?”

Semua orang makin tunduk dan keadaan sejenak menjadi hening. Akan tetapi, tiba-tiba terdengar suara Ceng To Hwesio wakil Siauw-lim-pai, suaranya tenang namun mengandung wibawa dan suara itu menggetarkan jantung karena dikeluarkan dengan pengerahan tenaga khi-kang,

“Omitohud....! Apa yang diucapkan oleh Kouwnio amat benar dan melihat senjata keramat itu, siapakah yang tidak akan tunduk? Siapakah pula orangnya di dunia ini yang menghendaki perang yang hanya akan menimbulkan kesengsaraan kepada rakyat jelata? Akan tetapi, Kouwnio, pinceng ingin sekali mengetahui, kalau benar Kouwnio tidak mempunyai niat buruk terhadap kami, mengapakah dua orang murid Siauw-lim-pai, yaitu Liok Si Bhok dan Liong Ki Tek, dua diantara Siauw-lim Chit-kiam, telah dibunuh?”

Semua orang menjadi tegang hatinya mendengar ini, apalagi ketika Lok Seng Cu, orang pertama dari tiga orang tokoh Hoa-san-pai, berkata nyaring.

“Tepat sekali apa yang diucapkan oleh Ceng To Hwesio. Kalau tidak mempunyai niat buruk, mengapa tokoh besar Siauw-lim-pai dibunuh kemudian kesalahannya ditimpakan kepada Hoa-san-pai dengan jalan melemparkan fitnah?”

Suasana menjadi makin tegang. Apalagi bagi Han Han yang mengintai dari tempat persembunyiannya, karena dia sebagai orang luar mengetahui benar akan fitnah itu yang menjadi siasat licin Nirahai, bahkan dia terlibat dalam urusan itu. Maka pemuda buntung ini mendengarkan penuh perhatian dan seperti orang-orang yang hadir di situ, ia pun memandang ke arah Puteri Nirahai, ingin tahu apa yang akan menjadi jawaban puteri itu.

Semua orang tercengang dan terheran melihat puteri cantik itu tetap tenang, bahkan kini tersenyum manis, sedikit pun tidak menjadi gugup menghadapi pertanyaan dari fihak Siauw-lim-pai dan Hoa-san-pai yang merupakan serangan hebat itu. Puteri itu memandang tajam ke arah Ceng To Hwesio, kemudian menjura dan berkata, suaranya tetap merdu dan tenang.

“Maaf, Losuhu. Sebelum saya menjawab pertanyaanmu, juga pertanyaan dari Totiang wakil Hoa-san-pai yang sifatnya sama, lebih dulu saya hendak mengajukan pertanyaan dengan harapan agar Losuhu sudi menjawab secara sejujurnya. Pertama, dalam pertandingan perorangan terdapat istilah curang kalau orang itu menggunakan cara-cara yang melanggar ketentuan pertandingan. Akan tetapi, di dalam keadaan perang, terdapat istilah siasat, dan apakah seorang panglima yang menggunakan siasat dalam perang untuk menjebak fihak musuh dapat disebut curang pula?”

“Siasat dalam perang bukanlah kecurangan,” jawab Ceng To Hwesio dan semua orang mengangguk karena siapakah yang akan dapat mengatakan bahwa siasat dalam perang itu curang?

“Terima kasih,” kata Nirahai sambil tersenyum. “Pertanyaan ke dua, kalau seorang perajurit dalam perang membunuh lawan, tanpa peduli siapa lawan yang berada di fihak musuh itu, apakah dia dianggap bersalah dan menjadi seorang pembunuh keji?”

“Tentu saja tidak,” jawab pula Ceng To Hwesio. “Membunuh musuh dalam perang merupakan pelaksanaan tugasnya.”





Tidak ada komentar:

Posting Komentar