“Apakah engkau ini yang bernama Han Han, kakak angkat Lulu?”
Han Han mengangguk dan bertanya,
“Di manakah adikku? Dan engkau.... eh, tentu engkau inilah Puteri Nirahai, bukan? Mengapa engkau menangkap adikku itu dan di mana dia? Kuharap kau suka membebaskannya. Kedatanganku ini bukan untuk mengacau, hanya untuk membebaskan adikku.”
Nirahai tersenyum mengejek.
“Tidak membikin kacau akan tetapi membunuh dan melukai banyak pengawal istana, menggegerkan istana. Bahkan pernah menjadi pembantu pemberontak di Se-cuan! Hemmm, tentang urusan Lulu, dia adalah sumoiku, karena dia menyeleweng maka kutangkap. Subo yang menangkapmu, maka terserah kepada subo untuk mengadilimu. Subo, teecu akan pergi sekarang mempersiapkan pertemuan penting itu. Mengenai orang buntung ini, terserah kepada subo.”
Nenek Maya mengangguk, sejak tadi nenek ini memandang Han Han penuh perhatian, lalu menggerakkan tangan menyuruh Puteri Nirahai pergi. Setelah melontarkan kerling mata terakhir kepada Han Han, mulut yang manis itu menyimpulkan senyum, Nirahai lalu pergi meninggalkan ruangan itu.
Han Han kini menghadapi Nenek Maya, mereka saling pandang dan Han Han menjadi makin yakin di dalam hatinya bahwa nenek ini tentulah wanita yang patungnya berada di Pulau Es, suci dari gurunya yang telah membuntungi kaki gurunya itu. Dan betapa hebat persamaan puteri cantik tadi dengan patung itu pula!
“Orang muda, engkaukah pemuda yang bersama muridku Lulu tinggal bertahun-tahun di Pulau Es?” Nenek Maya bertanya sambil memandang tajam.
Karena kini tidak ragu lagi, Han Han lalu menjatuhkan diri berlutut dan berkata,
“Benar, subo, harap subo memaafkan kelancangan teecu yang telah membikin ribut di tempat ini. Teecu tidak tahu bahwa adik teecu telah menjadi murid subo, dan sesungguhnya teecu hanya mengkhawatirkan keselamatan Lulu.”
“Hemmm...., kau menyebut aku subo (Ibu Guru), atas dasar apakah? Tahukah engkau, siapa aku?”
Han Han teringat bahwa seperti juga Khu Siauw Bwee, nenek buntung yang menjadi gurunya, Nenek Maya ini pun telah mengasingkan diri dan tidak pernah muncul di dunia ramai, maka tentu saja nenek itu ingin sekali tahu bagaimana Han Han dapat mengenalnya.
“Maafkan teecu kalau keliru. Subo adalah Puteri Maya yang arcanya pernah teecu lihat di dalam Istana Pulau Es, bersama arca Subo Khu Siauw Bwee dan Suhu Kam Han Ki.”
“Aihhhhh....!” Nenek itu terbelalak dan sepasang matanya berkilat-kilat, “Di antara kami bertiga tidak mungkin ada yang meninggalkan nama di Pulau Es. Bagaimana engkau bisa mengenal nama-nama kami? Awas, sekali engkau berbohong, aku akan membunuhmu!”
Pandang mata, suara dan sikap nenek ini benar-benar membuat Han Han mengkirik. Betapa jauh bedanya nenek ini dengan gurunya Si Nenek Buntung. Nenek ini memiliki kecantikan yang amat luar biasa, seperti bukan manusia, akan tetapi di samping kecantikannya, juga memiliki watak yang mengerikan. Dan tentang kepandaian, tentu saja nenek ini memiliki kesaktian hebat, hal ini dia tidak ragu-ragu lagi mengingat akan hebatnya kepandaian Khu Siauw Bwee, nenek yang menjadi gurunya, yang kakinya dibuntungi oleh Nenek Maya ini.
“Teecu tidak berani membohong. Tentu subo telah mendengar penuturan adik teecu tentang pengalaman kami berdua di Pulau Es. Teecu bersama Lulu memang tadinya tidak tahu sama sekali siapa adanya tiga arca yang berada di Istana Pulau Es itu. Akan tetapi, teecu telah berjumpa dengan Subo Khu Siauw Bwee....”
Tiba-tiba Han Han menghentikan kata-katanya. Seluruh urat syaraf di tubuhnya menggetar dan hanya dengan kemauannya yang amat keras saja ia dapat memaksa dirinya untuk tinggal diam berlutut dan tidak melawan, mengelak maupun menangkis.
Nenek itu telah mencelat ke dekatnya dan tahu-tahu jari tangan nenek itu telah menyentuh ubun-ubun kepalanya, siap untuk mencengkeram! Sedikit saja nenek itu menggunakan tenaganya mencengkeram, tentu kepalanya akan pecah!
“Orang muda.... hati-hati kau.... kalau bohong....!”
Suara itu terdengar gemetar, agaknya Nenek Maya ini terharu dan terkejut mendengar bahwa sumoinya itu masih hidup!
Han Han mengangguk dan bertanya,
“Di manakah adikku? Dan engkau.... eh, tentu engkau inilah Puteri Nirahai, bukan? Mengapa engkau menangkap adikku itu dan di mana dia? Kuharap kau suka membebaskannya. Kedatanganku ini bukan untuk mengacau, hanya untuk membebaskan adikku.”
Nirahai tersenyum mengejek.
“Tidak membikin kacau akan tetapi membunuh dan melukai banyak pengawal istana, menggegerkan istana. Bahkan pernah menjadi pembantu pemberontak di Se-cuan! Hemmm, tentang urusan Lulu, dia adalah sumoiku, karena dia menyeleweng maka kutangkap. Subo yang menangkapmu, maka terserah kepada subo untuk mengadilimu. Subo, teecu akan pergi sekarang mempersiapkan pertemuan penting itu. Mengenai orang buntung ini, terserah kepada subo.”
Nenek Maya mengangguk, sejak tadi nenek ini memandang Han Han penuh perhatian, lalu menggerakkan tangan menyuruh Puteri Nirahai pergi. Setelah melontarkan kerling mata terakhir kepada Han Han, mulut yang manis itu menyimpulkan senyum, Nirahai lalu pergi meninggalkan ruangan itu.
Han Han kini menghadapi Nenek Maya, mereka saling pandang dan Han Han menjadi makin yakin di dalam hatinya bahwa nenek ini tentulah wanita yang patungnya berada di Pulau Es, suci dari gurunya yang telah membuntungi kaki gurunya itu. Dan betapa hebat persamaan puteri cantik tadi dengan patung itu pula!
“Orang muda, engkaukah pemuda yang bersama muridku Lulu tinggal bertahun-tahun di Pulau Es?” Nenek Maya bertanya sambil memandang tajam.
Karena kini tidak ragu lagi, Han Han lalu menjatuhkan diri berlutut dan berkata,
“Benar, subo, harap subo memaafkan kelancangan teecu yang telah membikin ribut di tempat ini. Teecu tidak tahu bahwa adik teecu telah menjadi murid subo, dan sesungguhnya teecu hanya mengkhawatirkan keselamatan Lulu.”
“Hemmm...., kau menyebut aku subo (Ibu Guru), atas dasar apakah? Tahukah engkau, siapa aku?”
Han Han teringat bahwa seperti juga Khu Siauw Bwee, nenek buntung yang menjadi gurunya, Nenek Maya ini pun telah mengasingkan diri dan tidak pernah muncul di dunia ramai, maka tentu saja nenek itu ingin sekali tahu bagaimana Han Han dapat mengenalnya.
“Maafkan teecu kalau keliru. Subo adalah Puteri Maya yang arcanya pernah teecu lihat di dalam Istana Pulau Es, bersama arca Subo Khu Siauw Bwee dan Suhu Kam Han Ki.”
“Aihhhhh....!” Nenek itu terbelalak dan sepasang matanya berkilat-kilat, “Di antara kami bertiga tidak mungkin ada yang meninggalkan nama di Pulau Es. Bagaimana engkau bisa mengenal nama-nama kami? Awas, sekali engkau berbohong, aku akan membunuhmu!”
Pandang mata, suara dan sikap nenek ini benar-benar membuat Han Han mengkirik. Betapa jauh bedanya nenek ini dengan gurunya Si Nenek Buntung. Nenek ini memiliki kecantikan yang amat luar biasa, seperti bukan manusia, akan tetapi di samping kecantikannya, juga memiliki watak yang mengerikan. Dan tentang kepandaian, tentu saja nenek ini memiliki kesaktian hebat, hal ini dia tidak ragu-ragu lagi mengingat akan hebatnya kepandaian Khu Siauw Bwee, nenek yang menjadi gurunya, yang kakinya dibuntungi oleh Nenek Maya ini.
“Teecu tidak berani membohong. Tentu subo telah mendengar penuturan adik teecu tentang pengalaman kami berdua di Pulau Es. Teecu bersama Lulu memang tadinya tidak tahu sama sekali siapa adanya tiga arca yang berada di Istana Pulau Es itu. Akan tetapi, teecu telah berjumpa dengan Subo Khu Siauw Bwee....”
Tiba-tiba Han Han menghentikan kata-katanya. Seluruh urat syaraf di tubuhnya menggetar dan hanya dengan kemauannya yang amat keras saja ia dapat memaksa dirinya untuk tinggal diam berlutut dan tidak melawan, mengelak maupun menangkis.
Nenek itu telah mencelat ke dekatnya dan tahu-tahu jari tangan nenek itu telah menyentuh ubun-ubun kepalanya, siap untuk mencengkeram! Sedikit saja nenek itu menggunakan tenaganya mencengkeram, tentu kepalanya akan pecah!
“Orang muda.... hati-hati kau.... kalau bohong....!”
Suara itu terdengar gemetar, agaknya Nenek Maya ini terharu dan terkejut mendengar bahwa sumoinya itu masih hidup!
“Teecu bersumpah tidak bohong, subo. Teecu ditangkap dan kaki teecu dibuntungi aleh Toat-beng Ciu-sian-li sebagai hukuman, teecu terjerumus ke dalam jurang, hanyut di sungai dan ketika teecu berhasil mendarat, teecu bertemu dengan Subo Khu Siauw Bwee. Maka teecu lalu memberi kantung surat yaitu peninggalan Suhu Kam Han Ki yang teecu bawa dari Pulau Es untuk teecu sampaikan kepada orang yang berhak. Dan ternyata surat-surat itu memang ditujukan oleh suhu kepada Subo Khu Siauw Bwee....”
Kembali Han Han menghentikan kata-katanya karena nenek itu mengeluh lalu terhuyung-huyung ke belakang dan menjatuhkan lagi dirinya di atas kursi. Wajahnya yang dahulu di waktu mudanya tentu amat cantik itu pucat sekarang.
“Teruskan.... teruskan.... apa isi surat-suratnya itu....”
Diam-diam Han Han berpikir. Biarpun nenek buntung Khu Siauw Bwee tidak mau menceritakan pengalaman-pengalaman mereka bertiga di waktu muda ketika mereka berada di Pulau Es, namun ia dapat menduga bahwa tentu terjadi perebutan cinta antara Nenek Maya dan Nenek Khu Siauw Bwee, dan kemudian, melihat sikap Nerek Khu Siauw Bwee ketika membaca surat-surat itu, jelaslah bahwa sesungguhnya Koai-lojin hanya mencinta Khu Siauw Bwee seorang. Akan tetapi, kalau ia kemukakan hal ini, bukankah berarti ia akan menyakiti hati Nenek Maya ini? Dia menjadi tidak tega, bahkan diam-diam Han Han merasa kasihan kepada nenek ini.
Dia sendiri dahulu terpesona oleh arca nenek ini di waktu muda, demikian cantik jelitanya, seperti bidadari, dan baru melihat arcanya saja jantung sudah berdebar dan gairahnya terangsang. Tadi pun ketika ia melihat puteri Nirahai yang mirip dengan arca itu, ia merasakan sesuatu yang aneh di dalam hatinya.
Betapa mungkin ia dapat menyakiti hati nenek itu? Akan tetapi, kalau dia tidak berterus terang, nenek ini yang berwatak luar biasa tentu akan menjadi marah dan akibatnya tak dapat ia kira-kirakan, yang jelas ia tentu terancam bahaya maut.
“Teecu tidak berani membuka surat-surat itu, subo. Biarpun teecu hanya mengetahui subo bertiga dari arca-arca yang berada di Pulau Es, namun tentu saja subo bertiga telah teecu anggap sebagai penghuni-penghuni Istana Pulau Es, dengan demikian menjadi pula guru-guru teecu. Mana berani teecu membaca surat Suhu Koai-lojin? Teecu hanya membawanya untuk diserahkan kepada orang yang berhak, dan ternyata memang surat-surat itu ditujukan kepada Subo Khu Siauw Bwee.”
Kembali terdengar keluhan dari dada nenek itu, keluhan yang membayangkan kehancuran hati. Kemudian Nenek Maya dapat menguasai dirinya kembali dan bertanya, suaranya menggetar,
“Ceritakan, bagaimana sikap sumoi setelah membaca surat dari suheng itu....!”
Di dalam lubuk hatinya, Han Han sudah dapat menduga apakah yang dahulu terjadi antara tiga orang gurunya, penghuni-penghuni Pulau Es yang aneh itu. Sebaliknya bagi yang berkepentingan sendiri harus mengetahui hal sebenarnya, baik manis maupun pahit, agar tidak selalu menjadi keraguan dan menimbulkan pertikaian. Nenek Maya ini tentu selalu menyangka bahwa Koai-lojin mencintanya maka dahulu telah terjadi pertentangan antara dia dan sumoinya.
“Subo Khu Siauw Bwee setelah membaca surat-surat itu lalu menangis dan mengatakan mengapa dahulu suhu tidak berterus terang menyatakan mencinta subo seorang sehingga tidak terjadi pembuntungan kakinya. Surat-surat itu adalah surat-surat pernyataan cinta....”
Tiba-tiba Nenek Maya menjerit lirih dan menangis tersedu-sedu. Melihat ini, Han Han menjadi kasihan sekali. Betapa mungkin seorang wanita yang dahulunya tentu amat cantik jelita seperti bidadari mengalami penderitaan karena cinta! Pemuda itu teringat akan syair yang diukir di dinding Istana Pulau Es, dan dalam keadaan penuh haru dan setengah sadar itu Han Han lalu mengucapkan syair dengan suara penuh perasaan:
“Betapa ingin mata memandang mesra
Betapa ingin jari tangan membelai sayang
betapa ingin hati menjeritkan cinta
namun Siansu berkata: bebaskan dirimu dari ikatan nafsu!
Mungkinkah pria dipisahkan dari wanita?
Tanpa adanya perpaduan Im dan Yang dunia takkan
pernah tercipta!
Betapapun juga,
Cinta segitiga tak membahagiakan
menyenangkan yang satu
menyusahkan yang lain
akibatnya hanya perpecahan dan permusuhan
ikatan persaudaraan dilupakan
akhirnya yang ada
hanyalah duka dan sengsara.
Kesimpulan, benarlah pesan Siansu
bahwa sengsaralah buah daripada nafsu!”
Nenek Maya yang tadinya membelalakkan matanya yang basah itu, memandang dengan bengis dan penuh nafsu membunuh, ketika mendengarkan syair ini, makin lama makin terbelalak dan wajahnya tidak bengis lagi melainkan penuh keheranan dan keharuan, kemudian dengan suara serak ia berkata.
“Orang muda, apa.... apa maksudmu dengan syair itu....?”
“Maaf, subo. Saking terharu hati teecu, maka teecu teringat akan syair yang diukir pada dinding Istana Pulau Es, dan menurut Subo Khu Siauw Bwee, agaknya syair itu diukir oleh Suhu Koai-lojin.”
Kembali Nenek Maya mengeluh dan menutupkan kedua telapak tangannya pada mukanya.
“Ahhh, kasihan.... kasihan sekali suheng....! Biarpun mencinta sumoi, ternyata tidak mau mengaku karena tidak suka menghancurkan hatiku! Orang muda, engkau tentu telah digembleng oleh Khu-sumoi, bukan? Cara engkau meloncat-loncat itu....”
“Benar, subo. Sesungguhnyalah karena mengingat bahwa teecu memang sudah menjadi murid suhu dan subo berdua, dan agaknya melihat kaki teecu yang buntung, maka Subo Khu Siauw Bwee lalu mengajar teecu beberapa lamanya.”
“Bagus, karena itu maka engkau tidak kubunuh sekarang! Dalam cinta mungkin aku telah kalah oleh sumoi, akan tetapi dalam ilmu silat, aku tidak mau kalah! Sumoi telah menurunkan ilmu silat ciptaannya yang baru kepadamu, dan aku akan menurunkan kepandaianku kepada muridku Nirahai. Kita sama lihat saja kelak siapa yang lebih unggul. Aku menitipkan nyawa kepadamu, bocah, dan kelak Nirahai muridkulah yang akan mengambil nyawamu sekalian membuktikan bahwa ilmuku masih lebih tinggi daripada ilmu sumoi. Nah, pergilah sebelum aku menyesal akan keputusanku ini!”
Han Han bukan seorang penakut. Kalau hanya menghadapi ancaman maut saja, dia sudah berkali-kali mengalaminya. Kedatangannya untuk mencari Lulu adiknya, tentu saja ia tidak akan mudah diusir pergi dengan ancaman sebelum ia berhasil mendapatkan adiknya atau setidaknya mengetahui apa yang terjadi dengan adiknya.
“Maaf, subo. Tentu saja teecu akan mentaati semua perintah subo, akan tetapi terlebih dahulu teecu harus dapat menemukan Lulu, adik teecu dan membebaskannya.”
Nenek Maya menyusut air matanya dan memandang pemuda berkaki buntung itu. Biarpun hatinya masih merasa panas terhadap sumoinya, namun diam-diam ia merasa kagum kepada pemuda ini. Memang hanya muridnya Nirahai itulah yang agaknya merupakan satu-satunya orang yang akan dapat menandingi pemuda hebat ini.
Muridnya itu mempunyai kecerdikan luar biasa, bakat yang amat hebat dan kekerasan hati yang sukar dicari keduanya. Betapapun juga, timbul keraguan hatinya apakah Nirahai akan mampu menandingi pemuda ini dan ia berjanji di dalam hati untuk menurunkan semua ilmunya yang paling ampuh kepada muridnya itu. Pendeknya, Nirahai tidak boleh kalah oleh murid Khu Siauw Bwee!
“Bocah keras kepala, Lulu adalah muridku, siapakah yang akan mengganggunya? Dia memang ditangkap oleh sucinya karena dia menyeleweng, akan tetapi kini dia telah melarikan diri ketika murid-murid Ma-bin Lo-mo menyerbu tahanan. Entah ke mana perginya bocah yang suka menimbulkan kekacauan itu, aku tidak tahu.”
Han Han terkejut bukan main.
“Murid-murid Ma-bin Lo¬mo....? Bagaimana.... apa maksud subo?”
Nenek itu tersenyum dingin dan Han Han kagum melihat betapa nenek itu ternyata masih mempunyai gigi yang berderet lengkap dan kuat.
“Siapa tahu dan siapa peduli? Murid-murid Si Muka Kuda itu memberontak terhadap guru mereka, dan melihat macamnya Ma-bin Lo-mo, jelas bahwa murid-muridnya tentu lebih baik daripada dia! Kalau aku turun tangan, apa yang dapat dilakukan mereka? Aku tidak peduli, dan karena Lulu hanya akan mereka bebaskan dan tidak diganggu, aku tidak peduli. Bocah itu sudah banyak bikin pusing, sekarang pergi entah ke mana, kau cari sendiri. Nah, sekarang pergilah dan kalau kau masih tidak taat, kuanggap kau menantangku!”
Han Han menjadi girang akan tetapi juga bingung. Dia percaya penuh kepada nenek ini, seorang berkepandaian tinggi luar biasa dan berwatak angkuh, tentu tidak sudi membohong. Yang penting baginya, Lulu sudah bebas dan perkara mencarinya adalah urusannya sendiri.
Maka ia cepat memberi hormat, kemudian tubuhnya mencelat pergi dari tempat itu. Sengaja ia mengerahkan tenaga menggunakan kepandaiannya yang ia dapat dari Khu Siauw Bwee, maka gerakannya pun cepat seolah-olah ia pandai menghilang dan lenyap dalam sekejap mata dari depan Nenek Maya. Melihat ini, NenekMaya menghela napas panjang penuh kagum.
Kembali Han Han menghentikan kata-katanya karena nenek itu mengeluh lalu terhuyung-huyung ke belakang dan menjatuhkan lagi dirinya di atas kursi. Wajahnya yang dahulu di waktu mudanya tentu amat cantik itu pucat sekarang.
“Teruskan.... teruskan.... apa isi surat-suratnya itu....”
Diam-diam Han Han berpikir. Biarpun nenek buntung Khu Siauw Bwee tidak mau menceritakan pengalaman-pengalaman mereka bertiga di waktu muda ketika mereka berada di Pulau Es, namun ia dapat menduga bahwa tentu terjadi perebutan cinta antara Nenek Maya dan Nenek Khu Siauw Bwee, dan kemudian, melihat sikap Nerek Khu Siauw Bwee ketika membaca surat-surat itu, jelaslah bahwa sesungguhnya Koai-lojin hanya mencinta Khu Siauw Bwee seorang. Akan tetapi, kalau ia kemukakan hal ini, bukankah berarti ia akan menyakiti hati Nenek Maya ini? Dia menjadi tidak tega, bahkan diam-diam Han Han merasa kasihan kepada nenek ini.
Dia sendiri dahulu terpesona oleh arca nenek ini di waktu muda, demikian cantik jelitanya, seperti bidadari, dan baru melihat arcanya saja jantung sudah berdebar dan gairahnya terangsang. Tadi pun ketika ia melihat puteri Nirahai yang mirip dengan arca itu, ia merasakan sesuatu yang aneh di dalam hatinya.
Betapa mungkin ia dapat menyakiti hati nenek itu? Akan tetapi, kalau dia tidak berterus terang, nenek ini yang berwatak luar biasa tentu akan menjadi marah dan akibatnya tak dapat ia kira-kirakan, yang jelas ia tentu terancam bahaya maut.
“Teecu tidak berani membuka surat-surat itu, subo. Biarpun teecu hanya mengetahui subo bertiga dari arca-arca yang berada di Pulau Es, namun tentu saja subo bertiga telah teecu anggap sebagai penghuni-penghuni Istana Pulau Es, dengan demikian menjadi pula guru-guru teecu. Mana berani teecu membaca surat Suhu Koai-lojin? Teecu hanya membawanya untuk diserahkan kepada orang yang berhak, dan ternyata memang surat-surat itu ditujukan kepada Subo Khu Siauw Bwee.”
Kembali terdengar keluhan dari dada nenek itu, keluhan yang membayangkan kehancuran hati. Kemudian Nenek Maya dapat menguasai dirinya kembali dan bertanya, suaranya menggetar,
“Ceritakan, bagaimana sikap sumoi setelah membaca surat dari suheng itu....!”
Di dalam lubuk hatinya, Han Han sudah dapat menduga apakah yang dahulu terjadi antara tiga orang gurunya, penghuni-penghuni Pulau Es yang aneh itu. Sebaliknya bagi yang berkepentingan sendiri harus mengetahui hal sebenarnya, baik manis maupun pahit, agar tidak selalu menjadi keraguan dan menimbulkan pertikaian. Nenek Maya ini tentu selalu menyangka bahwa Koai-lojin mencintanya maka dahulu telah terjadi pertentangan antara dia dan sumoinya.
“Subo Khu Siauw Bwee setelah membaca surat-surat itu lalu menangis dan mengatakan mengapa dahulu suhu tidak berterus terang menyatakan mencinta subo seorang sehingga tidak terjadi pembuntungan kakinya. Surat-surat itu adalah surat-surat pernyataan cinta....”
Tiba-tiba Nenek Maya menjerit lirih dan menangis tersedu-sedu. Melihat ini, Han Han menjadi kasihan sekali. Betapa mungkin seorang wanita yang dahulunya tentu amat cantik jelita seperti bidadari mengalami penderitaan karena cinta! Pemuda itu teringat akan syair yang diukir di dinding Istana Pulau Es, dan dalam keadaan penuh haru dan setengah sadar itu Han Han lalu mengucapkan syair dengan suara penuh perasaan:
“Betapa ingin mata memandang mesra
Betapa ingin jari tangan membelai sayang
betapa ingin hati menjeritkan cinta
namun Siansu berkata: bebaskan dirimu dari ikatan nafsu!
Mungkinkah pria dipisahkan dari wanita?
Tanpa adanya perpaduan Im dan Yang dunia takkan
pernah tercipta!
Betapapun juga,
Cinta segitiga tak membahagiakan
menyenangkan yang satu
menyusahkan yang lain
akibatnya hanya perpecahan dan permusuhan
ikatan persaudaraan dilupakan
akhirnya yang ada
hanyalah duka dan sengsara.
Kesimpulan, benarlah pesan Siansu
bahwa sengsaralah buah daripada nafsu!”
Nenek Maya yang tadinya membelalakkan matanya yang basah itu, memandang dengan bengis dan penuh nafsu membunuh, ketika mendengarkan syair ini, makin lama makin terbelalak dan wajahnya tidak bengis lagi melainkan penuh keheranan dan keharuan, kemudian dengan suara serak ia berkata.
“Orang muda, apa.... apa maksudmu dengan syair itu....?”
“Maaf, subo. Saking terharu hati teecu, maka teecu teringat akan syair yang diukir pada dinding Istana Pulau Es, dan menurut Subo Khu Siauw Bwee, agaknya syair itu diukir oleh Suhu Koai-lojin.”
Kembali Nenek Maya mengeluh dan menutupkan kedua telapak tangannya pada mukanya.
“Ahhh, kasihan.... kasihan sekali suheng....! Biarpun mencinta sumoi, ternyata tidak mau mengaku karena tidak suka menghancurkan hatiku! Orang muda, engkau tentu telah digembleng oleh Khu-sumoi, bukan? Cara engkau meloncat-loncat itu....”
“Benar, subo. Sesungguhnyalah karena mengingat bahwa teecu memang sudah menjadi murid suhu dan subo berdua, dan agaknya melihat kaki teecu yang buntung, maka Subo Khu Siauw Bwee lalu mengajar teecu beberapa lamanya.”
“Bagus, karena itu maka engkau tidak kubunuh sekarang! Dalam cinta mungkin aku telah kalah oleh sumoi, akan tetapi dalam ilmu silat, aku tidak mau kalah! Sumoi telah menurunkan ilmu silat ciptaannya yang baru kepadamu, dan aku akan menurunkan kepandaianku kepada muridku Nirahai. Kita sama lihat saja kelak siapa yang lebih unggul. Aku menitipkan nyawa kepadamu, bocah, dan kelak Nirahai muridkulah yang akan mengambil nyawamu sekalian membuktikan bahwa ilmuku masih lebih tinggi daripada ilmu sumoi. Nah, pergilah sebelum aku menyesal akan keputusanku ini!”
Han Han bukan seorang penakut. Kalau hanya menghadapi ancaman maut saja, dia sudah berkali-kali mengalaminya. Kedatangannya untuk mencari Lulu adiknya, tentu saja ia tidak akan mudah diusir pergi dengan ancaman sebelum ia berhasil mendapatkan adiknya atau setidaknya mengetahui apa yang terjadi dengan adiknya.
“Maaf, subo. Tentu saja teecu akan mentaati semua perintah subo, akan tetapi terlebih dahulu teecu harus dapat menemukan Lulu, adik teecu dan membebaskannya.”
Nenek Maya menyusut air matanya dan memandang pemuda berkaki buntung itu. Biarpun hatinya masih merasa panas terhadap sumoinya, namun diam-diam ia merasa kagum kepada pemuda ini. Memang hanya muridnya Nirahai itulah yang agaknya merupakan satu-satunya orang yang akan dapat menandingi pemuda hebat ini.
Muridnya itu mempunyai kecerdikan luar biasa, bakat yang amat hebat dan kekerasan hati yang sukar dicari keduanya. Betapapun juga, timbul keraguan hatinya apakah Nirahai akan mampu menandingi pemuda ini dan ia berjanji di dalam hati untuk menurunkan semua ilmunya yang paling ampuh kepada muridnya itu. Pendeknya, Nirahai tidak boleh kalah oleh murid Khu Siauw Bwee!
“Bocah keras kepala, Lulu adalah muridku, siapakah yang akan mengganggunya? Dia memang ditangkap oleh sucinya karena dia menyeleweng, akan tetapi kini dia telah melarikan diri ketika murid-murid Ma-bin Lo-mo menyerbu tahanan. Entah ke mana perginya bocah yang suka menimbulkan kekacauan itu, aku tidak tahu.”
Han Han terkejut bukan main.
“Murid-murid Ma-bin Lo¬mo....? Bagaimana.... apa maksud subo?”
Nenek itu tersenyum dingin dan Han Han kagum melihat betapa nenek itu ternyata masih mempunyai gigi yang berderet lengkap dan kuat.
“Siapa tahu dan siapa peduli? Murid-murid Si Muka Kuda itu memberontak terhadap guru mereka, dan melihat macamnya Ma-bin Lo-mo, jelas bahwa murid-muridnya tentu lebih baik daripada dia! Kalau aku turun tangan, apa yang dapat dilakukan mereka? Aku tidak peduli, dan karena Lulu hanya akan mereka bebaskan dan tidak diganggu, aku tidak peduli. Bocah itu sudah banyak bikin pusing, sekarang pergi entah ke mana, kau cari sendiri. Nah, sekarang pergilah dan kalau kau masih tidak taat, kuanggap kau menantangku!”
Han Han menjadi girang akan tetapi juga bingung. Dia percaya penuh kepada nenek ini, seorang berkepandaian tinggi luar biasa dan berwatak angkuh, tentu tidak sudi membohong. Yang penting baginya, Lulu sudah bebas dan perkara mencarinya adalah urusannya sendiri.
Maka ia cepat memberi hormat, kemudian tubuhnya mencelat pergi dari tempat itu. Sengaja ia mengerahkan tenaga menggunakan kepandaiannya yang ia dapat dari Khu Siauw Bwee, maka gerakannya pun cepat seolah-olah ia pandai menghilang dan lenyap dalam sekejap mata dari depan Nenek Maya. Melihat ini, NenekMaya menghela napas panjang penuh kagum.
**** 085 ****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar