FB

FB


Ads

Jumat, 26 Desember 2014

Pendekar Super Sakti Jilid 084

“Murid murtad! Engkau masih harus menerima hukuman dariku!”

Toat-beng Ciu-sian-li berteriak, penuh kemarahan karena nenek ini masih penasaran dan malu mengingat akan kematian muridnya terkasih, yaitu Gu Lai Kwan.

“Han Han, engkau bekas murid yang selain menyeleweng juga sudah banyak melakukan penghinaan kepadaku, sekali ini terpaksa aku harus membunuhmu!”

Kata Ma-bin Lo-mo, sengaja mengeluarkan kata-kata besar untuk menutupi rasa malunya dan untuk berlagak di depan begitu banyak pengawal yang mengurung tempat itu.

“Ha-ha-ha, engkau bekas kacungku, kiranya engkau benar cucu Jai-hwa-sian Suma Hoat yang menyembunyikan she Suma menjadi she Sie! Ha-ha-ha, mengingat bahwa engkau adalah Suma Han cucu Suma Hoat, biarlah aku akan mengampunimu asal engkau suka bertekuk lutut dan menyerah, Han Han!” kata Kang-thouw-kwi Gak Liat.

Sepasang mata Han Han mendelik. Dia memang tidak akan menyembunyikan nenek moyangnya, akan tetapi disebutnya nama kakeknya yang diam-diam amat dibencinya karena dianggapnya sebagai biang keladi keburukan nasibnya itu membuat hatinya mengkal sekali, namun ia tetap membungkam.

“Omitohud....! Suma-taihiap biarpun masih muda memiliki kepandaian hebat sekali, benar-benar mengagumkan hati pinceng. Perlu apa menyia-nyiakan usia muda dan berkepandaian tinggi? Menyerahlah, Suma-taihiap!” kata Thian Tok Lama.

“Benar ucapan suheng. Suma-taihiap, lebih baik menyerah dan kalau taihiap berjanji akan membantu menumpas pengkhianat Bu Sam Kwi, tentu yang mulia kaisar akan suka memberi ampun, bahkan menganugerahkan kedudukan kepadamu.” Thai Li Lama membujuk.

Namun semua ucapan keras menghina dan lembut membujuk itu sama saja, mendatangkan kemarahan di hati Han Han. Ia berdiri tegak di atas kaki tunggalnya, memegang tongkal butut di tangan kiri dan menyilangkan lengan kanan di depan dada, kemudian berkata.

“Sudah kukatakan, aku tidak ingin berurusan dengan pemerintah maupun dengan Ngo-wi Locianpwe yang merupakan tokoh-tokoh besar di dunia persilatan. Aku datang hanya untuk minta dibebaskan adikku!”

“Hiye-heh-heh! Bocah sombong! Kalau tidak diserahkan, kau mau apa?”

“Akan kurebut dengan paksa dan kuusahakan sampai aku mati.”

“Pemuda buntung sombong!”

Toat-beng Ciu-sian-li sudah menggerakan rantai gelang di kedua telinganya sehingga terdengar suara berdencingan nyaring dan menggetarkan hati para pengawal yang mengurung tempat itu sambil berjaga-jaga, menutup jalan keluar pemuda buntung itu.

“Omitohud, betapa tabahnya!” Thian Tok Lama yang gendut itu berseru memuji karena benar-benar pendeta dari Tibet ini merasa kagum sekali. “Apakah taihiap berani melawan kami sedangkan tempat ini telah dikurung oleh ribuan orang pengawal?”

Han Han menoleh ke sekelilingnya dan melihat bahwa pasukan pengawal kini bertambah banyak, tentu ada dua tiga ribu orang banyaknya. Ketika ia menyapu keadaan di seluruh halaman istana dengan pandang matanya yang tajam, ia melihat bayangan dua orang berkelebat di puncak genteng istana, akan tetapi lenyap lagi, entah bayangan manusia ataukah bukan.

“Thian Tok Lama, bagiku, persoalannya bukan berani atau takut, melainkan benar atau salah. Kalau aku berpijak pada kebenaran, tidak ada lagi kata-kata takut, karena mati dalam kebenaran adalah mati yang terhormat. Kalau aku benar, biar menghadapi iblis sekalipun aku tidak takut, sebaliknya kalau aku salah, biar menghadapi seorang anak kecil pun aku tidak berani. Aku datang untuk membebaskan adikku, dan hal ini benar, maka aku tidak takut. Terserah kepada Ngo-wi, apakah akan menonjolkan kegagahan dengan cara mengeroyok aku dibantu pula oleh ribuan orang pasukan pengawal!”

Ucapan terakhir Han Han ini mengandung ejekan yang amat tajam sehingga wajah kelima orang tokoh besar itu menjadi merah.

Memang harus diakui bahwa peristiwa yang kini mereka hadapi merupakan peristiwa yang ajaib dan amat memalukan. Biasanya, setiap orang di antara mereka berlima yang telah memiliki kesaktian tinggi, tidak pernah atau jarang sekali menemui tanding sehingga mereka berangkuh dan menganggap diri sendiri sebagai tokoh tingkat tinggi yang tidak mau sembarangan bergerak, apalagi hendak mengeroyok lawan.

Dan sekarang, mereka berlima menghadapi seorang pemuda yang selain masih amat muda patut menjadi cucu mereka, juga yang hanya memegang sebatang tongkat butut dan yang kakinya tinggal satu! Menghadapi seorang lawan muda penderita cacad dengan masih mengandalkan pengurungan ribuan orang pengawal! Benar-benar merupakan peristiwa yang tak pernah mereka mimpikan dan amatlah merendahkan nama besar mereka!

“Omitohud, orang muda yang sombong. Kau kira pinceng tidak berani menghadapimu seorang diri?”

Thai Li Lama menjadi tersinggung sekali dan ia sudah meloncat maju menghadapi Han Han. Empat orang tokoh yang lain juga merasa jengah dan tersinggung, maka mereka ini hanya menonton, ingin melihat apakah pendeta Tibet yang kurus itu akan dapat mengatasi Han Han si pemuda buntung yang benar-benar merupakan lawan aneh yang baru pertama kali mereka jumpai selama hidup mereka yang sudah setengah abad lebih.

Han Han mengerti bahwa Thai Li Lama adalah seorang yang selain pandai ilmu silat aneh dari barat, juga memiliki kepandaian ilmu hitam dan ilmu sihir, maka ia bersikap waspada dan sudah bersiap dengan tongkat dilintangkan di depan dada, sedangkan tangan kanan dengan jari-jari terbuka berada di atas kepala, telapak tangannya menghadap ke langit, diam-diam ia telah mengerahkan sin-kang di tubuhnya, yang berputaran dan siap disalurkan untuk menghadapi lawan yang kuat ini.

Akan tetapi aneh, pendeta Tibet itu tidak segera bergerak menyerangnya, melainkan berdiri tegak dan kaku, kepala lurus, kedua lengan lurus di kanan kiri tubuhnya, kemudian terdengar suaranya, halus seperti membujuk.

“Suma-taihiap, kau turutilah permintaanku, tundukkan kepalamu....”

Han Han merasa ada getaran aneh terbawa oleh suara ini, begitu lembut mengelus perasaannya, mendatangkan rasa terharu dan tidak tega untuk menolak permintaan itu. Akan tetapi kesadarannya membisikkan bahwa kakek ini tentu menggunakan ilmu sihir, maka sebaliknya dari menundukkan kepala, ia malah menengadah, memandang ke angkasa! Benar-benar merupakan gerakan kebalikan daripada apa yang diminta hwesio Tibet itu! Merupakan tantangan!

“Omitohud, agaknya taihiap hendak menggunakan kekerasan. Baiklah. Suma Han, kau pandang mataku kalau berani!”






Andaikata ucapan yang dikeluarkan merupakan perintah nyaring dan berwibawa ini tidak diembel-embeli “kalau berani”, tentu Han Han tidak sudi menurut, sungguhpun di dalam suara itu terkandung wibawa dan tenaga mujijat yang seolah-olah memaksanya dan menguasai perasaan dan pikirannya.

Akan tetapi kata “kalau berani” membuat Han Han penasaran. Mengapa tidak berani? Ia lalu memandang ke depan, menentang pandang mata hwesio itu. Dua pasang sinar mata bertemu! Semua orang menahan seruan saking kaget dan seram melihat dua pasang pandang mata yang luar biasa itu. Sepasang mata Thai Li Lama yang sipit itu berubah bundar dan seolah-olah ada sinar terang keluar dari sepasang matanya, sedangkan sepasang mata Han Han menjadi tajam seperti mengandung api!

Thai Li Lama berkemak-kemik dan mengerahkan seluruh kekuatan batinnya untuk menguasai kemauan dan pikiran Han Han melalui pandang matanya, menyerang pemuda itu dengan ilmu i-hun-to-hoat untuk membetot semangat (hypnotism), akan tetapi Han Han yang merasa betapa sinar mata itu seolah-olah menembus jantungnya, cepat membulatkan tekadnya untuk tidak tunduk dan dia malah membalas dengan pandang mata berapi-api.

Di luar kehendak manusia, memang terjadi keanehan yang mujiiat di dalam diri pemuda buntung ini. Kekuatan gaib telah dimilikinya semenjak malapetaka menimpa keluarganya dan kekuatan kemauannya menjadi luar biasa sekali. Kemauan yang mujijat ini tidak saja membuat dia tidak mungkin dapat ditembusi oleh ilmu hitam yang hendak menguasainya, bahkan kemauannya yang amat kuat ini dapat memancar keluar dan masih cukup kuat untuk menguasai orang lain!

Kini Han Han yang maklum apa yang sedang dilakukan lawannya, membulatkan tekadnya untuk melawan dan menolak getaran halus yang keluar dari sinat mata Thai Li Lama. Ketika ia disuruh memandang, dia memang melakukannya, akan tetapi sama sekali bukan berdasarkan tunduk akan perintah itu, melainkan karena memang timbul atas kehendaknya sendiri hendak “mengadu kekuatan pandang mata” dengan hwesio Tibet itu.

Maka terjadilah “pertandingan” yang luar biasa, lebih hebat daripada pertandingan adu kekuatan sin-kang karena yang diadu kini adalah kekuatan batin yang getarannya bergelombang terasa oleh semua orang yang hadir sehingga mereka itu terpesona seperti kemasukan pengaruh mujijat.

Dua pedang sinar mata itu masih saling dorong, saling banting dan berusaha sekuatnya untuk menundukkan lawan, kalau kelihatan tentu amat seru seperti dua ekor naga saling serang. Keduanya tak pernah berkedip, bahkan mata mereka makin lama makin lebar, dengan sinar yang berapi-api.

Diam-diam Thai Li Lama terkejut bukan main. Dia tadinya hanya menganggap bahwa pemuda buntung itu amat lihai ilmu silatnya, dan siapa mengira bahwa ternyata pemuda ini pun agaknya seorang ahli hoat-sut, ahli sihir yang memiliki kekuatan batin luar biasa sekali!

Biasanya, betapapun pandai silat lawannya, sekali ia menggunakan ilmu membetot semangat ini, lawannya tentu akan mudah ia tundukkan. Kini melihat kenyataan betapa sama sekali ia tidak dapat menundukkan pemuda buntung ini, bahkan, seolah-olah sinar matanya melekat pada sinar mata pemuda itu, sukar dilepaskan lagi, Thai Li Lama menjadi kaget dan penasaran.

Mulutnya berkemak-kemik membaca mantram dan ia menggunakan seluruh kepandaian sihirnya yang dahulu ia pelajari dari guru-guru besar dari India di lereng Pegunungan Himalaya. Tiba-tiba ia mengeluarkan gerengan seperti suara seekor biruang dan membentak.

“Suma Han, lihat baik-baik siapa aku? Akulah manusia naga dari Himalaya, berkepala tiga berlengan delapan! Lekas kau berlutut dan menyerah!”

Dari kepala pendeta Tibet itu mengepul uap putih kebiruan dan terdengarlah suara berisik ketika pasukan itu berseru dan berbisik penuh ketakutan sambil memandang ke arah Thai Li Lama dengan mata terbelalak dan muka pucat, tangan menuding dan kaki gemetar.

Siapa orangnya yang tidak akan akan merasa ngeri dan takut? Pendeta Tibet yang tadinya bertubuh kurus kecil dan wajahnya sama sekali tidak menimbulkan rasa gentar itu kini telah berubah menjadi mahluk yang luar biasa.

Tubuhnya masih tidak berubah, akan tetapi kepalanya berubah menjadi kepala naga, yang hidungnya menghembuskan uap biru, dan bukan hanya sebuah kepala naga yang mengerikan itu, melainkan ada tiga buah! Dan lengannya bukan dua lagi, melainkan bertumbuh enam buah lengan tangan lain di pundaknya, sehingga lengannya berjumlah delapan!

Bagi Han Han, karena penglihatannya dilindungi oleh perisai kemauan yang membaja, perubahan pada diri Thai Li Lama itu hanya tampak suram-suram saja. Pemuda ini mengerahkan seluruh kekuatan kemauannya. Pemuda ini tidak pernah mempelajari hoat-sut, tidak tahu bagaimana untuk mempergunakan kekuatan batinnya dalam ilmu ini, akan tetapi ia mengerti bahwa kalau ia mengerahkan kemauannya, maka ia tidak akan dapat terpengaruh orang lain bahkan dapat menguasai kemauan orang. Kini ia mengerti bahwa lawannya menggunakan ilmu sihir yang aneh, maka setelah mengerahkan seluruh tenaga kemauannya, ia tertawa dan berkata.

“Hemmm, Thai Li Lama, engkau ini seorang pendeta yang sudah tua, mengapa bersikap seperti anak kecil? Permainanmu ini hanya untuk menakut-nakuti anak-anak, akan tetapi bagiku, engkau tetap Thai Li Lama yang biasa, berkepala hanya sebuah yang penuh dengan akal muslihat kotor dan berlengan dua yang tidak segan-segan melakukan perbuatan jahat!”

Semua pasukan yang mendengar ucapan Han Han yang keras dan berwibawa ini melihat perubahan aneh pada diri Thai Li Lama. Sekarang pendeta itu berubah menjadi biasa kembali dan kedua orang lawan itu masih melanjutkan mengadu kekuatan melalui sinar mata yang berapi-api!

Akhirnya Thai Li Lama tidak kuat menahan, kepalanya berdenyut-denyut amat peningnya dan dari kedua matanya keluar air mata karena saking panas dan pedas rasa kedua matanya. Ia terhuyung dua langkah, dan tiba-tiba memekik sambil memukulkan sebelah tangannya ke arah dada Han Han, sedangkan tangan yang lain membuat gerakan seperti orang menulis huruf.

Han Han sudah siap sedia, ia melengking nyaring dan kedua tangannya juga mendorong ke depan, sebelah kiri dengan inti tenaga Swat-im Sin-ciang sedangkan yang kanan dengan inti tenaga Hwi-yang Sin-ciang!

Dilanda dua macam tenaga yang berhawa amat dingin dan amat panas ini, Thai Li Lama terlempar ke belakang dan roboh terguling-guling. Ia dapat meloncat bangun lagi, akan tetapi napasnya terengah-engah dan mukanya pucat!

Melihat keadaan sutenya, Thian Tok Lama sudah merendahkan tubuhnya yang gendut, perutnya mengeluarkan suara berkokok, seperti ayam biang, dan kedua tangannya menyerang dengan pukulan Hek-in-hwi-hong-ciang yang ampuhnya menggila itu. Tangan kanannya berubah biru dan dari kedua telapak tangan itu menyambar uap hitam ke arah Han Han.

Pada saat yang hampir sama, tiga orang tokoh sakti yang lain, yaitu Kang-thouw-kwi Gak Liat, Ma-bin Lo-mo Siangkoan Lee dan Toat-beng Ciu-sian-li Bu Ci Goat sudah menerjang dengan pukulan-pukulan sakti mereka ke arah Han Han.

Namun semua pukulan sakti yang membawa maut itu luput karena pada saat yang tepat, tubuh Han Han telah lenyap dan pemuda buntung yang amat sakti ini telah melesat ke atas, kemudian menukik turun dengan tongkatnya diputar menjadi sinar kehijauan melingkar-lingkar yang menyambar ke arah kepala lima orang pengeroyoknya!

Lima orang tokoh besar itu yang kesemuanya memiliki tingkat kepandaian yang sudah mencapai puncaknya, cepat mengelak dan melakukan pengurungan ketat dari lima penjuru, seolah-olah secara otomatis membentuk ngo-heng-tin (barisan lima anasir).

Terjadilah pertandingan yang amat seru dan luar biasa. Kang-thouw-kwi Gak Liat Si Setan Botak melancarkan pukulan-pukulan Hwi-yang Sin-ciang yang berhawa panas sekali. Juga Ma-bin Lo-mo Siangkoan Lee Si Iblis Muka Kuda menghujankan pukulan-pukulan Swat-im Sin-ciang yang berhawa dingin seperti salju. Toat-beng Ciu-sian-li dengan penuh amarah menggerakkan sepasang rantai gelang di kedua telinganya yang merupakan sepasang senjata ampuh, dibantu sambaran rambutnya dan serangan kedua tangan penuh kuku runcing dengan pukulan Toat-beng Tok-ciang yang beracun. Kedua orang pendeta Lama dari Tibet juga tanpa segan-segan lagi karena maklum akan kelihaian pemuda buntung itu, menyerang dengan pukulan-pukulan sakti mereka.

Han Han mengerti sepenuhnya bahwa dia terancam maut. Dia mengenal kehebatan lima orang lawannya. Kalau mereka itu maju seorang demi seorang, dia yakin akan dapat mengalahkan mereka. Akan tetapi, dikeroyok lima orang yang memiliki kepandaian setinggi itu, benar-benar amat berbahaya dan selama hidupnya, baru sekali ini ia benar-benar dihadapkan dengan pengeroyokan lawan yang menggiriskan!

Terpaksa pemuda buntung yang amat sakti ini mengerahkan seluruh kepandaiannya yang pernah dipelajarinya dan mengerahkan seluruh tenaga sin-kang yang berada di tubuhnya untuk melindungi diri dan juga untuk balas menyerang.

Pada saat itu, senja telah mendatang dan keadaan cuaca mulai menggelap. Di atas wuwungan istana, jauh tinggi di puncaknya, terdapat dua orang yang menonton pertandingan itu penuh takjub. Mereka ini bukan lain adalah Puteri Nirahai dan gurunya, Puteri Maya.

Tadi mereka keluar dari istana ketika mendengar akan kekacauan di depan istana, akan tetapi melihat bahwa yang datang mengacau hanya seorang pemuda buntung dan yang menghadapi pemuda buntung itu sudah amat banyak, hati Maya menjadi tertarik maka ia memegang tangan muridnya diajak meloncat naik ke atas wuwungan dan menonton.

Bagi Puteri Maya, benar-benar merupakan pantangan besar dan amat memalukan kalau harus ikut-ikutan mengeroyok seorang lawan yang masih begitu muda, buntung kakinya dan sudah dikeroyok begitu banyak orang. Juga Puteri Nirahai merasa segan untuk turun tangan karena hal ini akan merendahkan derajatnya sebagai seorang puteri kaisar terutama sebagai seorang ahli silat tingkat tinggi.

Begitu mendengar teriakan-teriakan Han Han yang minta dibebaskannya Lulu, Nirahai dapat menduga bahwa tentulah pemuda buntung ini yang bernama Han Han, kakak angkat Lulu. Ia merasa heran dan terkejut melihat bahwa pemuda itu buntung sebelah kakinya, padahal Lulu tidak pernah mengatakan bahwa kakaknya itu buntung!

Dan dia terpesona, takjub menyaksikan gerakan dan sepak-terjang pemuda buntung itu, kagum menyaksikan betapa pemuda itu sanggup menghadapi Ilmu I-hun-to-hoat dari Thai Li Lama, dan hatinya berdebar aneh menyaksikan wajah tampan dilingkari rambut riap-riapan itu, terutama sekali melihat sepasang sinar mata yang begitu tajam dan mengandung sesuatu yang aneh.

“Ihhhhh....! Kedua tangannya mengandung pukulan Hwi-yang Sin-ciang dan Swat-im Sin-ciang yang digunakan secara berbareng! Memecah sin-kang menjadi berlawanan ini dari mana dia mempelajarinya? Siapa bocah setan itu....?”

Terdengar Nenek Maya mengomel dan matanya memandang terbelalak penuh kaget dan heran menyaksikan Han Han menggunakan kedua tangannya untuk menghadapi lima orang pengeroyoknya.

“Subo, dia itulah yang selalu diceritakan Lulu-sumoi. Dia kakak angkatnva yang bernama Han Han,” jawab Nirahai tanpa mengalihkan pandang matanya dari medan pertandingan di bawah.

Akan tetapi Nenek Maya biarpun mendengar ucapan muridnya itu, agaknya tidak mengacuhkan karena dia mengalami kekagetan demi kekagetan ketika menyaksikan pertempuran itu, mulutnya mengeluarkan seruan-seruan heran,

“Lihat pukulannya itu....! Tendangan dengan satu kaki....! Aihhh, bukankah itu jurus-jurus simpanan yang hanya dikenal kami bertiga di Pulau Es? Dan itu heiiiii....! Itu gerakan tongkatnya.... bukankah bagian dari Siang-mo Kiam-sut! Dan loncatan-loncatan itu.... hemmm.... seperti telah mengenalnya akan tetapi demikian aneh! Bukan main! Siapa bocah ini?”

“Subo, dia Han Han dan seperti subo ketahui, dengan Lulu dia telah berhasil mewarisi kitab-kitab di Pulau Es.”

“Aihhh....! Benar! Tapi loncatan-loncatan itu! Ilmu silat iblis manakah itu? Benar-benar hebat dan mengerikan!”

Ternyata Nenek Maya ini merasa terkejut dan kagum sekali karena sebagai seorang ahli dia sampai tidak mengenal ilmu silat dengan gerakan kilat itu. Memang itu adalah Ilmu Soan-hong-lui-kun yang diciptakan oleh sumoinya sendiri, Khu Siauw Bwee, dalam pertapaannya! Tentu saja dia tidak mengenalnya sungguhpun ia merasa kenal akan dasar-dasarnya.

Memang, untuk menghadapi pengeroyokan lima orang sakti itu, terpaksa Han Han mengerahkan seluruh kepandaiannya. Gerakan Ilmu Silat Soan-hong-lui-kun yang ia pelajari dari Khu Siauw Bwee, tongkatnya dimainkan seperti pedang dengan Ilmu Pedang Siang-mo Kiam-sut, dan tangan kanannya melakukan serangan bergantian dengan hawa sin-kang Im dan Yang, juga ia mencampurkan gerakan-gerakan silat dari kitab-kitab yang telah ia pelajari dari Pulau Es, disesuaikan untuk menghadapi hujan serangan kelima orang lawannya!

Benar-benar hebat pemuda ini dan barulah terbukti kesaktiannya yang jarang dapat ditemui tandingnya, karena setelah bertempur selama ratusan jurus, mengandalkan kelincahan ilmu gerak kilat, ia sama sekali tidak terdesak, bahkan berhasil membuat pengepungan lima orang sakti itu kocar-kacir.

Tentu saja lima orang pengeroyoknya menjadi penasaran sekali, terutama Ma-bin Lo-mo dan Toat-beng Ciu-sian-li karena pemuda itu bekas murid mereka, dan Gak Liat karena bocah itu dahulu bekas kacungnya!

Cuaca semakin gelap dan para pemimpin pasukan pengawal yang melihat betapa pemuda buntung itu masih juga belum dapat ditundukkan oleh lima orang sakti itu, menjadi khawatir kalau pemuda itu akan berhasil menyerbu ke istana, maka mereka lalu mulai mengeluarkan aba-aba dan pengurungan pasukan dipersempit dan diperketat, siap untuk menerjang pemuda itu seperti air bah mengamuk.

Han Han melihat ancaman ini. Tidak mungkin baginya untuk menghadapi pengeroyokan begitu banyak orang, sedangkan pengeroyokan lima orang sakti itu saja sudah amat melelahkannya.

“Lebih baik aku menerobos ke dalam istana menangkap Puteri Nirahai atau mencari di mana ditahannya Lulu agar aku dapat membebaskan adikku dan mengajaknya lari dari situ,” pikirnya.

Ia mulai mencari kesempatan untuk lolos dan menerjang ke dalam istana. Akan tetapi lima orang pengeroyoknya makin lama makin penasaran dan marah sekali. Dari depan, sepasang pendeta Lama sudah menerjangnya dengan pukulan-pukulan sin-kang yang lihai, sedangkan dari kanan kiri Ma-bin Lo-mo dan Kang-thouw-kwi sudah menerjang pula. Han Han menggunakan tangan kanannya mendorong ke depan, sekaligus menolak pukulan kedua orang Lama.

Hebat bukan main pengerahan tenaganya ini sehingga kedua orang Lama itu terhuyung ke belakang. Pada saat itu pukulan Kang-thouw-kwi Gak Liat dengan tenaga sakti Hwi-yang Sin-ciang sudah menerjang datang, didahului oleh si nenek Toat-beng Ciu-sian-li yang menyerangnya dari belakang dengan sambaran rantai gelang!

Han Han mengeluarkan suara melengking, tubuhnya cepat melesat ke belakang, tinggi dan berjungkir balik, tangan kanannya cepat menyambar dan ia berhasil menangkap ujung rantai gelang nenek itu yang menyambarnya.

Dengan sepenuh tenaga disentakkannya kuat-kuat hingga tubuh nenek itu melayang ke atas. Nenek itu menjerit, kalau bukan dia tentu daun telinganya akan putus. Han Han melontarkan tubuh nenek itu dengan melepaskan rantai gelang ke arah Kang-thouw-kwi yang memukulnya tadi! Kini tubuh nenek itu melayang dan akan bertemu dengan pukulan Hwi-yang Sin-ciang yang ampuh!

Melihat ini, Ma-bin Lo-mo berseru kaget, cepat ia pun mengerahkan tenaganya mendorong ke depan untuk menyambut pukulan Gak Liat dalam usahanya menolong nenek itu.

“Desssss....!”

Ma-bin Lo-mo terjengkang sedangkan Gak Liat terdorong mundur sambil terbatuk-batuk dan sedikit darah keluar dari mulutnya. Nenek itu sendiri terbanting roboh ke atas tanah, amat kerasnya sehingga nenek ini mengeluh dan merasa seolah-olah pantatnya yang tiada dagingnya lagi terbanting peyok!

Ketika lima orang sakti yang dalam gebrakan hebat ini terdesak cepat menguasai diri dan hendak menerjang, tiba-tiba tubuh Han Han melesat ke atas, melampaui kepala para anak buah pasukan yang mengurung dan telah melayang ke atas genteng istana. Ramailah pasukan itu lari mengejar, ada pula yang memasang obor karena cuaca sudah mulai remang-remang.

“Kejar ke atas....!”

“Awas, kepung istana agar dia tidak lari!”

“Heiii, lekas jaga sebelah dalam istana, hadang semua jalan!”

“Paling perlu lindungi kamar-kamar Sri Baginda dan keluarganya!”

Ramailah pasukan pengawal itu berteriak-teriak dan bergerak kacau-balau seperti serombongan semut diganggu sarangnya. Adapun lima orang sakti itu, biar sudah amat tertinggal jauh, segera meloncat pula naik ke atas genteng melakukan pengejaran.

Cara Han Han meloncat amat luar biasa karena dia menggunakan ilmunya gerak kilat, tubuhnya mencelat-celat ke atas sampai ke wuwungan. Tiba-tiba ia berhenti di atas wuwungan memandang terbelalak kepada seorang nenek dan seorang gadis cantik jelita yang berdiri tenang di situ. Melihat gadis itu dalam cuaca yang remang-remang, Han Han memekik girang.

“Lulu....!” Tubuhnya mencelat dan ia telah berada di depan gadis itu, terus dirangkulnya sambil mengeluh karena kelelahan, “Lulu adikku.... ah, Lulu.... syukur kau selamat.... kau ampunkanlah aku, Lulu....!”

Saking girang hatinya, seperti dahulu, ia mencium pipi adiknya itu, tidak tahu betapa gadis itu terbelalak dan mukanya menjadi merah sekali. Dapat dibayangkan betapa malu dan jengah rasa hati gadis ini yang bukan lain adalah Puteri Nirahai sendiri yang disangka Lulu oleh Han Han.

Memang ada persamaan pada wajah kedua orang gadis itu dan juga bentuk tubuh mereka sama, maka tidak mengherankan apabila Han Han yang dalam keadaan lelah salah duga melihat Nirahai dalam cuaca remang-remang itu.

Han Han berada dalam kegirangan luar biasa melihat “adiknya” selamat, maka ketika merangkul dan menciumnya, kegirangan membuat ia kehilangan kewaspadaannya dan tiba-tiba ia mengeluh, tubuhnya menjadi lemas karena jalan darah di punggungnya telah tertotok secara hebat bukan main.

Totokan biasa saja kiranya tidak akan mempengaruhi tubuhnya yang dialiri sin-kang amat kuat, akan tetapi sekali ini yang menotoknya adalah Nenek Maya serdiri! Maka ia terguling dan tahu-tahu telah dikempit oleh lengan kiri Nenek Maya. Pada saat itu, lima orang sakti telah menyusul ke atas wuwungan. Nenek Maya yang mengempit tubuh Han Han, tersenyum mengejek dan berkata,

“Dia sudah kutangkap, kalian mau apa?”

Lima orang sakti itu telah mendengar bahwa di istana terdapat guru Puteri Nirahai yang amat lihai, akan tetapi karena belum pernah melihat nenek ini yang kehadirannya dirahasiakan, Toat-beng Ciu-sian-li yang berwatak angkuh segera menegur,

“Engkau siapakah?”

Nirahai khawatir kalau-kalau gurunya yang memiliki watak aneh luar biasa itu menjadi marah, maka ia cepat maju dan berkata halus.

“Harap Ngo-wi Locianpwe suka mundur dan beristirahat karena pengacau telah dapat ditangkap oleh guru saya dan akan kami periksa sendiri.”

Mendengar ini, Toat-beng Ciu-sian-li terkejut dan memandang tajam penuh perhatian kepada Nenek Maya. Ia merasa sudah pernah melihat nenek itu, akan tetapi tidak ingat lagi kapan dan di mana. Juga tokoh-tokoh lain ketika mendengar bahwa nenek yang agaknya dengan amat mudahnya menangkap Han Han yang tadi membuat mereka berlima kewalahan itu adalah guru Nirahai, cepat menjura dengan hormat. Mereka semua tahu akan kelihaian puteri cantik itu, kalau muridnya saja sudah demikian lihainya, apa lagi gurunya!

Nenek Maya sudah membalikkan tubuhnya dan tanpa mengeluarkan ucapan sedikit pun ia telah meloncat turun mengempit tubuh Han Han, diikuti oleh Nirahai, memasuki istana kembali melalui pintu belakang. Lima orang tokoh itupun cepat turun dan kini pasukan pengawal sibuk merawat teman-teman yang terluka dalam pengeroyokan mereka terhadap Han Han tadi.

Malam itu, suasana di sekeliling istana sunyi sepi, akan tetapi di dalam kesunyian ini, penjagaan para pengawal diperkuat karena para komandan pengawal merasa khawatir kalau-kalau datang lagi pengacau yang berilmu tinggi seperti si pemuda buntung yang kini telah menjadi tawanan Puteri Nirahai di dalam istana.

Setelah tertotok lemas dan dibawa oleh nenek sakti itu ke dalam istana, barulah Han Han dapat melihat wajah Puteri Nirahai di bawah sinar lampu yang terang dan ia terkejut setengah mati ketika mendapat kenyataan bahwa gadis yang disangkanya Lulu, dirangkul dan dicium pipinya tadi ternyata sama sekali bukanlah Lulu, melainkan seorang gadis yang mirip Lulu dan cantik jelita sekali.

Kekagetannya bertambah ketika ia melirik dan mengamati wajah nenek yang mengempitnya. Ia mengenal wajah ini yang biarpun sudah tua namun masih membayangkan kecantikan, membayangkan raut muka yang mirip benar dengan puteri jelita ini, mirip pula dengan Lulu, dan.... mirip dengan patung wanita di Pulau Es.

Han Han terbelalak, kini ia kembali memandang Nirahai. Bukan main! Sekarang terasa benar olehnya kemiripan wajah gadis jelita ini dengan patung Puteri Maya di Pulau Es! Han Han melongo, terpesona, dan biarpun tubuhnya dikempit, pandang matanya seperti lekat pada wajah Puteri Nirahai.

Puteri Maya membawa tubuh Han Han memasuki ruangan dalam yang luas di depan kamarnya, kemudian sekali tangannya bergerak, Han Han telah dibebaskan totokannya dan tubuhnya telah dilempar ke atas lantai. Kemudian nenek sakti itu duduk di atas kursi, menyambar guci arak dan minum arak dari sebuah cawan perak.

Adapun Puteri Nirahai masih berdiri. Gadis ini memandang wajah Han Han penuh perhatian, memandang ke arah kaki dan alisnya yang bagus itu berkerut dalam kesangsian dan pertanyaan apakah pemuda ini benar-benar kakak Lulu yang bernama Han Han!

Han Han meloncat bangun dan terhuyung karena tubuhnya masih terasa lemas, bukan oleh bekas totokan yang telah dibebaskan, karena sin-kangnya membuat ia dapat menguasai kembali jalan darahnya, melainkan karena lelahnya setelah melakukan pertempuran yang berat tadi.

Tiba-tiba Nenek Maya menggerakkan tangan dan tongkat butut Han Han yang tadi dia bawa pula melayang ke arah Han Han, melayang seperti luncuranan anak panah menuju kedada pemuda buntung itu. Han Han cepat menyambarnya dan nenek itu kagum bukan main. Pemuda buntung ini benar-benar tidak mengecewakan menjadi murid atau ahli waris Istana Pulau Es!

Dengan tongkat di tangannya, Han Han dapat berdiri tegak dan ketika ia memandang Nirahai, puteri inipun sedang memandangnya penuh perhatian. Dua pasang mata bertemu pandang dan wajah Han Han menjadi merah sekali. Ia teringat betapa tadi ia merangkul dan mencium pipi yang halus kemerahan itu. Tak terasa lagi ia lalu berkata lirih menggagap.

“Maaf.... maafkan kekurang ajaranku tadi.... kukira engkau adikku Lulu.”

Wajah puteri yang berkulit halus putih kemerahan itu menjadi makin merah, akan tetapi ia hanya mengangkat pundaknya lalu bertanya, suaranya dingin seolah-olah hal yang dihadapi dan ditanyakannya adalah urusan kecil.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar