Pukulan ini hebat bukan main dan tokoh lain yang tinggi kepandaiannya pun kiranya akan tewas seketika menerima pukulan maut ini. Akan tetapi didalam diri Bhok Khim terdapat hawa aneh yang timbul sebagai akibat dari mempelajari ilmu tinggi yang keliru dan biarpun pukulan itu membuat dadanya seperti remuk akan tetapi tidak membuat ia tewas dan dalam kenyeriannya ia memperkuat gigitannya sampai gigi-giginya menembus kulit daging dan mengoyak urat besar!
“Desss!”
Sekali lagi Gak Liat memukul sekuatnya dan tubuh Bhok Khim terkulai dengan dada berubah hitam dan hangus, akan tetapi tubuh Gak Liat sendiri berkelojotan dalam sekarat karena urat lehernya putus dan lehernya koyak-koyak, matanya mendelik dan dari leher itu keluar suara mengerikan seperti seekor babi disembelih, dibarengi darah yang mengucur seperti pancuran air!
Setelah tubuh Gak Liat yang berkelojotan itu menegang lalu terkulai, barulah semua orang menghela napas dengan muka pucat saking tegang dan ngerinya menyaksikan pertandingan hebat yang mengakibatkan matinya Bhok Khim dan Gak Liat. Akan tetapi, benar-benar hebat wanita itu. Terdengar ia mengeluh dan tubuhnya bergerak perlahan, tangannya lemah menggapai ke arah Khu Cen Tiam dan Liem Sian.
“Suheng.... suheng.... harap suheng.... rawat...., anakku....” terdengar suaranya lemah.
Suara yang terdengar aneh, seperti suara yang datangnya dari lubang kubur. Memang aneh sekali melihat tubuh yang sudah menerima dua kali pukulan Hwi-yang Sin-ciang dan yang sudah hangus menghitam itu masih dapat mengeluarkan suara!
“Kami bukan suhengmu!” Khu Cen Tiam membentak, jijik dan marah. “Anakmu adalah anak haram, anak iblis, dan engkau sendiri sudah menjadi iblis betina!”
Memang Khu Cen Tiam dan Liem Sian yang dahulunya amat mencinta Bhok Khim, menjadi benci ketika mendengar betapa dalam kamar penyiksa diri itu sumoi mereka telah menjadi gila dan melahirkan anak. Kini menyaksikan sepak terjang Bhok Khim, mereka menjadi makin benci karena biarpun Bhok Khim berhasil membunuh Gak Liat, akan tetapi caranya berkelahi tadi amat memalukan, tidak patut dilakukan seorang murid Siauw-lim-pai! Karena itu, mereka tidak mau mengakui Bhok Khim yang dianggap mencemarkan nama besar Siauw-lim-pai.
“Kami bukan suhengmu dan engkau bukan murid Siauw-lim-pai lagi!” Liem Sian ikut membentak.
“Suheng.... tolong.... anak.... ku....”
Bhok Khim masih mencoba untuk mohon kepada bekas kedua suhengnya sambil mengerahkan seluruh tenaga terakhir.
“Ibils betina!”
Khu Cen Tiam dan Liem Sian menggerakkan senjata mereka hendak membunuh bekas sumoi itu karena kalau dibiarkan bicara terus, mereka takut kalau ketahuan rahasianya dan akan menjadi bahan penghinaan dan pencemoohan para tokoh kang-ouw terhadap Siauw-lim-pai.
“Tring-tringgg....!”
Cambuk besi dan toya kuningan itu terlempar diikuti tubuh dua orang tokoh Siauw-lim-pai itu terlempar sampai empat meter dan terbanting ke atas tanah. Han Han telah berdiri di situ dengan kening dikerutkan, memandang marah kepada dua orang itu.
“Pesan seorang yang akan mati adalah pesan keramat, apalagi kalian adalah bekas suhengnya, betapa kejinya hati kalian!” bentak Han Han tanpa mempedulikan siapa pun dan ia lalu berlutut dekat tubuh Bhok Khim.
“Toanio, biar siauwte yang akan menolong dan merawat puteramu. Di mana dia?”
Bhok Khim membelalakkan matanya, memandang Han Han dan agaknya ia mengenal pemuda ini.
“Kau.... dua kali kau menolongku.... ahhh.... terima kasih.... anakku.... kuserahkan padamu.... kasihan dia.... tidak berdosa.... dia.... dia.... aaahhhhh.... dia berada....”
“Desss!”
Sekali lagi Gak Liat memukul sekuatnya dan tubuh Bhok Khim terkulai dengan dada berubah hitam dan hangus, akan tetapi tubuh Gak Liat sendiri berkelojotan dalam sekarat karena urat lehernya putus dan lehernya koyak-koyak, matanya mendelik dan dari leher itu keluar suara mengerikan seperti seekor babi disembelih, dibarengi darah yang mengucur seperti pancuran air!
Setelah tubuh Gak Liat yang berkelojotan itu menegang lalu terkulai, barulah semua orang menghela napas dengan muka pucat saking tegang dan ngerinya menyaksikan pertandingan hebat yang mengakibatkan matinya Bhok Khim dan Gak Liat. Akan tetapi, benar-benar hebat wanita itu. Terdengar ia mengeluh dan tubuhnya bergerak perlahan, tangannya lemah menggapai ke arah Khu Cen Tiam dan Liem Sian.
“Suheng.... suheng.... harap suheng.... rawat...., anakku....” terdengar suaranya lemah.
Suara yang terdengar aneh, seperti suara yang datangnya dari lubang kubur. Memang aneh sekali melihat tubuh yang sudah menerima dua kali pukulan Hwi-yang Sin-ciang dan yang sudah hangus menghitam itu masih dapat mengeluarkan suara!
“Kami bukan suhengmu!” Khu Cen Tiam membentak, jijik dan marah. “Anakmu adalah anak haram, anak iblis, dan engkau sendiri sudah menjadi iblis betina!”
Memang Khu Cen Tiam dan Liem Sian yang dahulunya amat mencinta Bhok Khim, menjadi benci ketika mendengar betapa dalam kamar penyiksa diri itu sumoi mereka telah menjadi gila dan melahirkan anak. Kini menyaksikan sepak terjang Bhok Khim, mereka menjadi makin benci karena biarpun Bhok Khim berhasil membunuh Gak Liat, akan tetapi caranya berkelahi tadi amat memalukan, tidak patut dilakukan seorang murid Siauw-lim-pai! Karena itu, mereka tidak mau mengakui Bhok Khim yang dianggap mencemarkan nama besar Siauw-lim-pai.
“Kami bukan suhengmu dan engkau bukan murid Siauw-lim-pai lagi!” Liem Sian ikut membentak.
“Suheng.... tolong.... anak.... ku....”
Bhok Khim masih mencoba untuk mohon kepada bekas kedua suhengnya sambil mengerahkan seluruh tenaga terakhir.
“Ibils betina!”
Khu Cen Tiam dan Liem Sian menggerakkan senjata mereka hendak membunuh bekas sumoi itu karena kalau dibiarkan bicara terus, mereka takut kalau ketahuan rahasianya dan akan menjadi bahan penghinaan dan pencemoohan para tokoh kang-ouw terhadap Siauw-lim-pai.
“Tring-tringgg....!”
Cambuk besi dan toya kuningan itu terlempar diikuti tubuh dua orang tokoh Siauw-lim-pai itu terlempar sampai empat meter dan terbanting ke atas tanah. Han Han telah berdiri di situ dengan kening dikerutkan, memandang marah kepada dua orang itu.
“Pesan seorang yang akan mati adalah pesan keramat, apalagi kalian adalah bekas suhengnya, betapa kejinya hati kalian!” bentak Han Han tanpa mempedulikan siapa pun dan ia lalu berlutut dekat tubuh Bhok Khim.
“Toanio, biar siauwte yang akan menolong dan merawat puteramu. Di mana dia?”
Bhok Khim membelalakkan matanya, memandang Han Han dan agaknya ia mengenal pemuda ini.
“Kau.... dua kali kau menolongku.... ahhh.... terima kasih.... anakku.... kuserahkan padamu.... kasihan dia.... tidak berdosa.... dia.... dia.... aaahhhhh.... dia berada....”
“Di mana? Di mana puteramu, Toanio....?”
Han Han bertanya, mengguncang pundak itu. Bhok Khim sudah meramkan matanya, bibirnya berbisik lemah dan lirih sekali sehingga terpaksa Han Han mendekatkan telinganya sambil mengerahkan tenaga saktinya untuk menangkap kata-kata terakhir yang hampir tidak terdengar itu.
Bagaikan hembusan napas yang lemah, suara itu memasuki telinga Han Han bersama dengan napas terakhir Bhok Khim mengucapkan jawaban yang hanya terdengar oleh telinga Han Han sendiri. Han Han bangkit berdiri dan melihat betapa Khu Cen Tiam dan Liem Sian sudah mengangkat jenazah Ceng To Hwesio dan pergi dari tempat itu tanpa mempedulikan mayat Bhok Khim.
Sementara itu, semua orang memandang pemuda buntung itu penuh takjub, terutama mereka yang belum mengenalnya. Adapun mereka yang telah mengenalnya memandang Han Han dengan hati gentar karena mereka itu sudah melihat atau mendengar akan kesaktian pemuda buntung itu. Terutama sekali Nirahai memandang Han Han dengan sinar mata tajam, menyembunyikan kekagumannya.
Pemuda itu agaknya telah lama berada di situ akan tetapi tidak seorang pun, juga dia sendiri tidak, yang mengetahui keberadaan pemuda itu. Padahal di situ terdapat banyak orang sakti. Hal ini saja sudah membuktikan betapa hebatnya pemuda buntung yang menjadi kakak angkat Lulu yang mengatakan bahwa hanya Han Han inilah yang patut menjadi jodohnya!
Teringat akan ini, tanpa dapat dicegah lagi merahlah kedua pipi Nirahai. Dara ini merasa jengah sendiri dan untuk menutupi debar jantungnya, ia segera berkata dengan suara dingin.
“Setelah dibebaskan subo, apa keperluanmu datang ke sini?”
Han Han mengangkat muka lalu berbalik dan memandang puteri itu, kemudian menjawab tenang,
“Engkau telah menawan adikku Lulu, maka aku datang untuk bertanya ke mana perginya adikku itu.”
Kedua alis yang kecil panjang hitam itu berkerut, lalu terdengar suara Nirahai jengkel,
“Apa kau kira aku menyembunyikan Lulu?”
“Aku tidak mengira atau menyangka apa-apa, hanya aku bertanya ke mana perginya Lulu?”
Han Han bertanya, tetap tenang biarpun semua orang yang berada di situ memperhatikan dia bercakap-cakap dengan puteri itu. Sinar matanya tajam dan tidak membayangkan sesuatu, sungguhpun kini setelah berdiri dekat dan memandang wajah gadis itu dengan jelas, ia mendapat kenyataan betapa wajah puteri itu benar-benar amat cantik seperti bidadari.
“Aku tidak tahu ke mana perginya. Dia melarikan diri dari tempat tahanan ketika murid-murid In-kok-san datang menyerbu. Dia benar sumoiku, akan tetapi dia mengecewakan hatiku, maka aku tidak mau tahu lagi ke mana dia pergi.”
Ucapan ini melemaskan hati Han Han, karena dia percaya bahwa puteri itu memang benar tidak tahu. Akan tetapi ucapan yang mengandung penyesalan itu pun menyinggung hati Ma-bin Lo-mo karena murid-murid In-kok-san adalah murid-muridnya! Maka ia lalu berseru marah,
“Murid-murid In-kok-san adalah murid-muridku yang murtad! Manusia-manusia tidak kenal budi, lupa betapa semenjak kecil dengan susah payah aku mengajar mereka. Terkutuk, akan kubunuh mereka seorang demi seorang!”
Tidak ada yang berani mencampuri urusan Ma-bin Lo-mo dengan murid-muridnya, akan tetapi Han Han menjadi panas hatinya. Ia tahu betapa murid-murid In-kok-san itu masih memiliki kegagahan dan sifat-sifat yang jauh lebih baik daripada watak Iblis Muka Kuda ini, maka ia menengok kepada Ma-bin Lo-mo dan berkata.
“Ma-bin Lo-mo, ucapanmu ini sebenarnya tak perlu kau keluarkan di depan para orang gagah! Engkaulah yang terkutuk dan murtad, setelah apa yang kau lakukan terhadap orang tua dan keluarga para murid In-kok-san!”
Seketika wajah Ma-bin Lo-mo menjadi pucat. Sedikit pun ia tidak pernah mengira bahwa pemuda buntung yang amat lihai itu telah mengetahui rahasianya. Ia hanya memandang dengan mata melotot tanpa dapat menjawab. Han Han juga tidak mempedulikannya lagi lalu berkata, tidak ditujukan kepada siapapun juga.
“Suara yang mengajak damai adalah suara hati yang murni, akan tetapi manusia sudah terlalu dibungkus kepalsuan, maka sayanglah kalau suara damai itu menyembunyikan sesuatu yang jauh daripada mendatangkan kedamaian di hati sesama manusia.”
Setelah berkata demikian, sekali lagi ia mengerling ke arah Puteri Nirahai lalu tubuhnya berkelebat, sekali mencelat lenyaplah tubuhnya, membuat semua orang bengong memandang.
“Pemuda Super Sakti!” terdengar orang-orang berbisik kagum.
Nirahai juga kagum sekali. Dia dapat melihat bayangan pemuda itu meloncat-loncat cepat sekali seperti kilat menyambar dan dalam beberapa loncatan saja sudah amat jauh dari tempat itu. Ia kagum dan juga penasaran ingin sekali ia mencoba kepandaian pemuda buntung yang amat terkenal bahkan kini dijuluki pemuda Super Sakti itu!
Pertemuan itu ditutup dengan janji para tokoh kang-ouw dan wakil-wakil perkumpulan untuk mencuci tangan tidak mencampuri perang, bahkan berjanji akan menarik semua murid dari Se-cuan.
Puteri Nirahai menjadi lega sekali dan menganggap bahwa tugas dan usahanya berhasil baik sekali. Akan tetapi dalam perjalanan meninggalkan tempat itu, wajah Han Han tidak pernah lenyap dari depan matanya. Ia kagum, dan juga penasaran, belum puas hatinya kalau belum dapat berhadapan sebagai lawan dengan pemuda buntung itu.
Akan tetapi, berkali-kali Nirahai mencela hatinya sendiri yang tak pernah dapat melupakan Han Han. Dia masih mempunyai banyak kewajiban yang harus diselesaikan, harus cepat pulang ke kota raja memberi laporan kemudian ke perbatasan Se¬cuan untuk memimpin sendiri pasukan yang mengepung daerah pemberontak itu.
Han Han bertanya, mengguncang pundak itu. Bhok Khim sudah meramkan matanya, bibirnya berbisik lemah dan lirih sekali sehingga terpaksa Han Han mendekatkan telinganya sambil mengerahkan tenaga saktinya untuk menangkap kata-kata terakhir yang hampir tidak terdengar itu.
Bagaikan hembusan napas yang lemah, suara itu memasuki telinga Han Han bersama dengan napas terakhir Bhok Khim mengucapkan jawaban yang hanya terdengar oleh telinga Han Han sendiri. Han Han bangkit berdiri dan melihat betapa Khu Cen Tiam dan Liem Sian sudah mengangkat jenazah Ceng To Hwesio dan pergi dari tempat itu tanpa mempedulikan mayat Bhok Khim.
Sementara itu, semua orang memandang pemuda buntung itu penuh takjub, terutama mereka yang belum mengenalnya. Adapun mereka yang telah mengenalnya memandang Han Han dengan hati gentar karena mereka itu sudah melihat atau mendengar akan kesaktian pemuda buntung itu. Terutama sekali Nirahai memandang Han Han dengan sinar mata tajam, menyembunyikan kekagumannya.
Pemuda itu agaknya telah lama berada di situ akan tetapi tidak seorang pun, juga dia sendiri tidak, yang mengetahui keberadaan pemuda itu. Padahal di situ terdapat banyak orang sakti. Hal ini saja sudah membuktikan betapa hebatnya pemuda buntung yang menjadi kakak angkat Lulu yang mengatakan bahwa hanya Han Han inilah yang patut menjadi jodohnya!
Teringat akan ini, tanpa dapat dicegah lagi merahlah kedua pipi Nirahai. Dara ini merasa jengah sendiri dan untuk menutupi debar jantungnya, ia segera berkata dengan suara dingin.
“Setelah dibebaskan subo, apa keperluanmu datang ke sini?”
Han Han mengangkat muka lalu berbalik dan memandang puteri itu, kemudian menjawab tenang,
“Engkau telah menawan adikku Lulu, maka aku datang untuk bertanya ke mana perginya adikku itu.”
Kedua alis yang kecil panjang hitam itu berkerut, lalu terdengar suara Nirahai jengkel,
“Apa kau kira aku menyembunyikan Lulu?”
“Aku tidak mengira atau menyangka apa-apa, hanya aku bertanya ke mana perginya Lulu?”
Han Han bertanya, tetap tenang biarpun semua orang yang berada di situ memperhatikan dia bercakap-cakap dengan puteri itu. Sinar matanya tajam dan tidak membayangkan sesuatu, sungguhpun kini setelah berdiri dekat dan memandang wajah gadis itu dengan jelas, ia mendapat kenyataan betapa wajah puteri itu benar-benar amat cantik seperti bidadari.
“Aku tidak tahu ke mana perginya. Dia melarikan diri dari tempat tahanan ketika murid-murid In-kok-san datang menyerbu. Dia benar sumoiku, akan tetapi dia mengecewakan hatiku, maka aku tidak mau tahu lagi ke mana dia pergi.”
Ucapan ini melemaskan hati Han Han, karena dia percaya bahwa puteri itu memang benar tidak tahu. Akan tetapi ucapan yang mengandung penyesalan itu pun menyinggung hati Ma-bin Lo-mo karena murid-murid In-kok-san adalah murid-muridnya! Maka ia lalu berseru marah,
“Murid-murid In-kok-san adalah murid-muridku yang murtad! Manusia-manusia tidak kenal budi, lupa betapa semenjak kecil dengan susah payah aku mengajar mereka. Terkutuk, akan kubunuh mereka seorang demi seorang!”
Tidak ada yang berani mencampuri urusan Ma-bin Lo-mo dengan murid-muridnya, akan tetapi Han Han menjadi panas hatinya. Ia tahu betapa murid-murid In-kok-san itu masih memiliki kegagahan dan sifat-sifat yang jauh lebih baik daripada watak Iblis Muka Kuda ini, maka ia menengok kepada Ma-bin Lo-mo dan berkata.
“Ma-bin Lo-mo, ucapanmu ini sebenarnya tak perlu kau keluarkan di depan para orang gagah! Engkaulah yang terkutuk dan murtad, setelah apa yang kau lakukan terhadap orang tua dan keluarga para murid In-kok-san!”
Seketika wajah Ma-bin Lo-mo menjadi pucat. Sedikit pun ia tidak pernah mengira bahwa pemuda buntung yang amat lihai itu telah mengetahui rahasianya. Ia hanya memandang dengan mata melotot tanpa dapat menjawab. Han Han juga tidak mempedulikannya lagi lalu berkata, tidak ditujukan kepada siapapun juga.
“Suara yang mengajak damai adalah suara hati yang murni, akan tetapi manusia sudah terlalu dibungkus kepalsuan, maka sayanglah kalau suara damai itu menyembunyikan sesuatu yang jauh daripada mendatangkan kedamaian di hati sesama manusia.”
Setelah berkata demikian, sekali lagi ia mengerling ke arah Puteri Nirahai lalu tubuhnya berkelebat, sekali mencelat lenyaplah tubuhnya, membuat semua orang bengong memandang.
“Pemuda Super Sakti!” terdengar orang-orang berbisik kagum.
Nirahai juga kagum sekali. Dia dapat melihat bayangan pemuda itu meloncat-loncat cepat sekali seperti kilat menyambar dan dalam beberapa loncatan saja sudah amat jauh dari tempat itu. Ia kagum dan juga penasaran ingin sekali ia mencoba kepandaian pemuda buntung yang amat terkenal bahkan kini dijuluki pemuda Super Sakti itu!
Pertemuan itu ditutup dengan janji para tokoh kang-ouw dan wakil-wakil perkumpulan untuk mencuci tangan tidak mencampuri perang, bahkan berjanji akan menarik semua murid dari Se-cuan.
Puteri Nirahai menjadi lega sekali dan menganggap bahwa tugas dan usahanya berhasil baik sekali. Akan tetapi dalam perjalanan meninggalkan tempat itu, wajah Han Han tidak pernah lenyap dari depan matanya. Ia kagum, dan juga penasaran, belum puas hatinya kalau belum dapat berhadapan sebagai lawan dengan pemuda buntung itu.
Akan tetapi, berkali-kali Nirahai mencela hatinya sendiri yang tak pernah dapat melupakan Han Han. Dia masih mempunyai banyak kewajiban yang harus diselesaikan, harus cepat pulang ke kota raja memberi laporan kemudian ke perbatasan Se¬cuan untuk memimpin sendiri pasukan yang mengepung daerah pemberontak itu.
**** 088 ****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar