FB

FB


Ads

Rabu, 24 Desember 2014

Pendekar Super Sakti Jilid 079

“Bukan, Hiante. Kuminta agar engkau suka berpihak kepadaku karena terjadi pertentangan antara pihakku dan pihak Bu Sam Kwi. Engkau tahu bahwa jelek-jelek aku masih keluarga Kerajaan Beng, seorang pangeran dari kerajaan itu, sedangkan Bu Sam Kwi hanyalah seorang panglima yang sudah memberontak dan berkhianat! Kami tidak akan memerangi Kerajaan Mancu lagi, bahkan akan berdamai.”

Han Han pura-pura terheran.
“Hemm, tadi Bu-ongya dipersalahkan ketika bersekutu dengan bangsa Mancu, kenapa sekarang Pangeran hendak bersekutu dengan bangsa Mancu? Bagaimana ini?”

“Jauh bedanya, Hiante! Dahulu tidak semestinya Bu Sam Kwi bersekutu dengan bangsa Mancu, karena Kerajaan Beng masih kuat. Dalam keadaan masih kuat melawan dia bersekutu, itulah pengkhianatan namanya! Sekarang, Kerajaan Mancu amat kuat, sudah menguasai seluruh Tiongkok. Kalau kita berdamai, itu adalah menggunakan kecerdikan namanya. Rakyat tidak tersiksa dan menderita oleh perang yang berlarut-larut, dan setelah kita memperoleh kedudukan, mudah bagi kita untuk berusaha menguasai mereka, menanti kesempatan baik untuk menggulingkan musuh. Ini adalah sebuah siasat yang cerdik, tidak melawan secara membuta seperti yang kita lakukan selama ini.”

Han Han mengerutkan keningnya, hatinya muak. Kalau dipikir mendalam, semua itu sama saja. Permainan orang-orang besar yang bercita-cita mencapai kedudukan setinggi-tingginya bagi mereka sendiri.

Tiba-tiba ia mengangkat muka, memandang wajah tiga orang itu berganti-ganti dengan pandang mata tajam sehingga Pangeran Kiu dan dua orang pendeta itu terkejut. Sinar mata Han Han seperti menembus jantung mereka. Thai Li Lama, seorang yang ahli dalam ilmu sihir, melihat sinar mata ini menjadi kagum dan terkejut sekali, mulutnya berbisik,

“Omitohud....!”

“Pangeran, maafkan kata-kata saya. Akan tetapi, sesungguhnya aku muak akan perang, muak akan urusan orang-orang besar yang saling memperebutkan kursi dan kedudukan. Saya datang ke Se-cuan sesungguhnya bukan untuk berperang, melainkan untuk mencari adik saya yang bernama Lulu, yang saya kira tadinya berada di Se-cuan. Kalau saya ikut membantu peperangan adalah semata-mata ingin membantu para orang gagah dan melawan pasukan Mancu yang datang menyerbu. Kini perang berhenti, adik saya tidak berhasil saya temukan, maka saya pun hendak meninggalkan Se-cuan. Mengenai urusan Pangeran dengan Bu-ongya, saya tidak suka mencampurinya. Perang amat jahat, akan tetapi lebih kotor lagi adalah permainan orang-orang besar yang menggerakkan perang.

Demi mencapai cita-cita mereka memperebutkan kedudukan, mereka mengobarkan perang, menciptakan dalih yang muluk-muluk untuk membakar hati rakyat atau menggunakan harta benda untuk menukarnya dengan nyawa rakyat! Perang terjadi, siapakah yang menderita, siapa yang menjadi korban dan siapa yang mati bergelimpangan dalam jumlah puluhan laksa? Bukan lain rakyatlah! Kalau menang? Bukan rakyat yang mengecap nikmat kemenangannya, melainkan orang-orang besar pengejar cita-cita pribadi berkedok demi rakyat itulah yang berpesta-pora, mabuk kemenangan!

Kalau kalah? Rakyat yang mati tetap mati, akan tetapi orang-orang besar itu dapat melarikan diri jauh dari tempat perang membawa harta bendanya, atau kalau ditawan pun dapat menjadi sekutu yang menang dan memperoleh kedudukan pula, sungguhpun tidak setinggi seperti kalau menang! Sungguh menyedihkan namun menjadi kenyataan selama sejarah berkembang. Perang adalah permainan orang-orang besar yang mempermainkan rakyat demi tercapainya cita-cita mereka. Kalau kalah mereka, orang-orang besar itu lebih dulu melarikan diri karena memang tempatnya selalu di belakang, sebaliknya kalau menang mereka pulalah yang lebih dulu lari ke depan saling memperebutkan pahala dan jasa!”

Han Han bicara penuh semangat dan memang di dalam hatinya ia merasa prihatin sekali setelah mengalami bermacam hal sebagai akibat perang. Dia telah melihat rakyat yang melarikan diri mengungsi akibat perang, kehilangan semua miliknya yang tidak seberapa, bahkan banyak yang kehilangan nyawa keluarga dan nyawa sendiri, dikejar-kejar tentara Mancu, diperkosa, disiksa, dibunuh!

Dan orang-orang besar seperti Pangeran Kiu ini dan banyak lagi, enak-enak di Se-cuan, di gedung besar sama sekali aman daripada penderitaan rakyat kecil, namun masih bicara tentang perjuangan! Bahkan mengatur siasat untuk bersekutu dan berdamai dengan bangsa Mancu! Dan semua itu masih pakai dalih yang muluk-muluk dan baik-baik. Kecerdikan! Agar rakyat tidak tersiksa! Phuhh! Katakan saja demi untuk keselamatannya sendiri, demi untuk kedudukan dan keuntungan diri pribadi! Rakyat pula yang dibawa-bawa. Siapa tidak akan muak?

Wajah kedua orang pendeta Tibet menjadi pucat, dan wajah Pangeran Kiu menjadi merah sekali saking marahnya. Tak mereka sangka pemuda buntung yang mereka harapkan berpihak kepada mereka itu mengeluarkan ucapan seperti itu! Ucapan seorang pengkhianat pula! Bagi mereka, tentu saja segala perbuatan mereka yang sudah-sudah, yang sedang berjalan, maupun yang akan datang kesemuanya adalah baik dan benar belaka!

“Suma Han! Berani engkau bicara seperti ini?”

Pangeran Kiu hampir tak dapat menahan kemarahannya, akan tetapi Thian Tok Lama cepat berkata.

“Pangeran, harap suka memaafkan ucapan Suma-taihiap. Dia masih muda, darahnya masih panas, tentu saja pandangannya pun dangkal. Betapapun juga, harus diingat bahwa dia telah berjasa. Biarlah penawaran Pangeran tadi dia pikirkan masak-masak, dan setelah pikirannya tenang, tentu dia akan berpendapat lain.” Kemudian pendeta gendut ini berdiri menjura kepada Han Han sambil berkata.

“Suma-taihiap, pinceng harap taihiap suka pulang dulu dan kami berharap dalam waktu tiga hari taihiap suka mempertimbangkan apa yang kita bicarakan di sini sekarang ini. Di samping itu, pinceng pun akan membantu taihiap mencari dan menyelidiki tentang adik taihiap yang bernama Nona Lulu itu.”

Han Han sadar bahwa ucapannya yang terdorong hati penasaran tadi membikin marah Pangeran Kiu. Dia bangkit berdiri, memberi hormat sambil berkata,

“Mohon Pangeran sudi memaafkan saya yang lancang mulut.” Ia lalu mengundurkan diri dan pergi meninggalkan gedung Pangeran Kiu.

Dua hari kemudian, ketika Han Han sedang termenung menyendiri, telinganya menangkap gerakan orang di sebelah belakang. Dia tahu bahwa yang datang adalah orang yang memiliki gin-kang tinggi, akan tetapi dia diam saja, menoleh pun tidak.

“Suma-taihiap....!”

Han Han baru menoleh dan melihat Thian Tok Lama telah berdiri dibelakangnya. Cepat ia memberi hormat dan berkata.

“Sepagi ini Losuhu sudah datang menemui saya, ada keperluan apakah?”

Thian Tok Lama tertawa.
“Kabar baik, taihiap. Kabar baik sekali. Pinceng sudah dapat menemukan adik taihiap.”

Seketika wajah Han Han berseri, dadanya berdebar tegang.
“Losuhu! Di mana dia? Benarkah Losuhu bertemu dengan Lulu? Ahhh, terima kasih kepada Thian Yang Maha Kasih. Adikku masih hidup! Losuhu, di mana dia?”

Thian Tok Lama memperlebar senyumnya, diam-diam ia kasihan kepada pemuda ini, kemudian ia menggerak-gerakkan telunjuknya seperti menegur kepada Han Han,

“Taihiap, setelah pinceng mengetahui keadaanmu, mendengar siapa adanya adikmu, sungguh pinceng merasa makin kagum dan terharu. Mengertilah pinceng, mengapa taihiap demikian membenci perang, akan tetapi pinceng kagum bahwa pendirian taihiap tetap teguh tak terpengaruh keadaan. Kiranya adik taihiap adalah seorang puteri Mancu! Hemmm....!”






Kalau tadinya Han Han masih curiga dan ragu-ragu apakah benar-benar pendeta Tibet ini tahu di mana adanya Lulu, kini keraguannya menghilang dan ia bertanya dengan suara mendesak,

“Losuhu, setelah Losuhu datang menjumpaiku dan mengabarkan tentang Lulu, harap jangan menyiksa perasaanku dan katakanlah, di mana dia?”

“Dia belum lama datang bersama pasukan yang dipimpin oleh Puteri Nirahai. Dia adalah seorang Panglima Mancu, taihiap.”

Han Han membelalakkan matanya.
“Aaaahhhhh? Tidak mungkin! Tidak mungkin!”

Pendeta itu memandang tajam.
“Mengapa, taihiap? Bukankah Nona Lulu seorang gadis bangsa Mancu?”

“Di mana dia, Losuhu, aku segera menyusulnya!” Han Han berkata penuh gairah.

“Di perbatasan sebelah barat Min-san, di lereng-lereng gunung itulah dia bertugas melakukan penyelidikan.”

“Terima kasih, Losuhu! Terima kasih! Sekarang juga aku hendak berpamit dan pergi!”

Setelah berkata demikian, Han Han berkelebat pergi untuk minta diri dari Bu Sam Kwi. Pemuda itu tidak tahu betapa Thian Tok Lama memandangnya sambil menggeleng kepala dan berkata lirih.

“Sayang.... dia pemuda yang lihai sekali.... sayang....!”

Bu Sam Kwi tidak dapat menahan ketika Han Han berpamit dan menyatakan meletakkan jabatan dengan alasan ingin keluar dari Se-cuan dan mencari adiknya. Tentu saja dia tidak mengatakan bahwa adiknya kini telah menjadi seorang Panglima Mancu! Ketika ia mendapat perkenan dan keluar dari istana, dia bertemu dengan Wan Sin Kiat.

“Sin Kiat, aku pergi sekarang juga, sudah mendapat perkenan Bu-ongya. Selamat tinggal.”

Sin Kiat memegang lengan sahabatnya itu.
“Eh, nanti dulu. Engkau hendak ke manakah, Han Han?”

“Ke mana lagi? Tentu saja mencari Lulu. Kalau lebih lama menanti di sini saja, sampai kapan aku dapat menemukannya?”

Sin Kiat menarik napas panjang. Hatinya pun menyesal sekali mengapa dia tidak mendapat kesempatan untuk pergi sendiri mencari gadis yang telah merobohkan hatinya itu.

“Aku pun akan minta ijin dari Ongya untuk membantumu mencarinya.”

“Jangan!” Cepat-cepat Han Han menarik lengannya. “Engkau masih dibutuhkan di sini, biar aku sendiri yang mencarinya.” Setelah berkata demikian, Han Han melesat pergi cepat sekali.

Sin Kiat menarik napas panjang.
“Ah, Lulu....!”

Ia lalu mengambil keputusan untuk minta ijin dari atasannya. Perang sedang berhenti, musuh tidak menyerbu. Kesempatan dalam menganggur ini akan ia pergunakan membantu Han Han mencari jejak gadis itu.

Han Han berlari, atau lebih tepat berloncatan cepat sekali menuju ke Pegunungan Min-san yang terletak di perbatasan utara Propinsi Se-cuan. Setelah melakukan perjalanan selama tiga hari, barulah ia tiba di daerah Pegunungan Min-san itu. Daerah yang sunyi dan di daerah inipun perang tidak tampak, suasana sepi dan agaknya para penjaga di pihak Se-cuan juga melakukan penjagaan sembunyi-sembunyi di dalam hutan-hutan.

Dengan kepandaiannya, Han Han dapat melalui tempat penjagaan dan memasuki hutan-hutan di seberang perbatasan, memasuki daerah musuh di Propinsi Kan-su, di sebelah barat puncak Min-san.

Pada hari ke lima, pagi-pagi ia memasuki sebuah hutan dan hatinya agak bingung mengapa sampai sekian jauhnya belum juga ia menemukan pasukan Mancu. Mulailah ia meragu. Jangan-jangan ia ditipu oleh pendeta Tibet itu! Han Han mengusap peluh di dahinya dengan ujung lengan baju, beristirahat dan berdiri sambil bersandar pada tongkatnya, karena ia menjadi bingung, tidak tahu harus mencari ke mana di hutan besar yang sunyi itu.

Tiba-tiba Han Han menghentikan usapannya pada dahi dan leher, matanya melirik ke kanan kiri, tongkat siap di tangan. Ia mendengar gerakan banyak orang makin mendekat, agaknya mengurung tempat itu.

“Wir-wir-sing-sing-singgg!”

Dari arah belakang dan kiri, meluncur banyak anak panah ke arah tubuhnya. Han Han menggerakkan tongkatnya dan semua anak panah runtuh. Kemudian bermunculan dari balik-balik pohon di sekelilingnya pasukan yang terdiri dari kurang lebih lima puluh orang! Mereka bersenjata lengkap dan terdengar aba-aba dalam bahasa Mancu disusul serbuan pasukan itu!

“Aku tidak ingin berkelahi! Aku mencari adikku Lulu!”

Han Han cepat berseru dan karena ia menggunakan tenaga khikang, maka suaranya nyaring sekali membuat perajurit Mancu terkejut dan langkah kaki mereka tertahan.

“Dia panglima pemberontak Bu! Tangkap! Bunuh saja!”

Tiba-tiba terdengar suara yang amat dikenal Han Han, suara Thian Tok Lama! Mulailah Han Han mengerti bahwa dia memang ditipu! Teringat ia sekarang bahwa Thian Tok Lama termasuk sekutu Pangeran Kiu yang ingin berdamai dengan bangsa Mancu. Kiranya pendeta itu sengaja menjebaknya di sini untuk membunuhnya, dan tentu saja untuk memperlihatkan iktikad baiknya terhadap bangsa Mancu!

Han Han menjadi marah, apalagi ketika dugaannya itu terbukti dengan munculnya Thian Tok Lama, agak jauh dari tempat itu. Ia melihat pula Thai Li Lama si pendeta Tibet yang kurus, dan yang lebih memarahkan hatinya lagi adalah ketika ia melihat banyak orang-orang sakti yang pernah ia lihat di kota raja ketika ia mengejar Giam Kok Ma, yaitu sepasang saudara Tikus Kuburan dan Si Burung Hantu yang menyeramkan, ditambah lagi dengan beberapa orang tokoh Mancu. Lawan yang berat, pikirnya, apalagi di situ terdapat dua orang pendeta Tibet yang sudah ia ketahui kelihaiannya!

Betapapun marahnya, Han Han masih tidak ingin untuk bertempur, sekali-kali bukan karena takut, melainkan karena dia tidak mau membuang-buang waktu, ingin segera pergi untuk mencari adiknya yang ia yakin tidak berada ditempat ini dan keterangan Thian Tok Lama kepadanya itu palsu, hanya untuk menjebaknya di tempat itu. Maka ia lalu membalik dan meloncat ke belakang.

Akan tetapi di belakangnya sudah menjaga pula perajurit-perajurit Mancu dan tiba-tiba bayangan orang tinggi besar menerjangnya dari samping dengan pukulan tangan yang mendatangkan hawa panas dan angin keras!

“Wuuuttttt!”

Han Han meloncat ke belakang dan pukulan itu menyambar lewat. Akan tetapi pada detik berikutnya, kembali pukulan yang sama hebatnya menyambar dari belakangnya, dan cepat ia kembali mengelak.

“Hemmm, kiranya Hek-giam-ong dan Pek-giam-ong. Masih ada lagikah?” Han Han berkata marah.

“Singgggg....!”

Sinar merah menyambarnya dan Han Han kembali mengelak dengan mudah. Ternyata di situ telah berdiri pula Hiat-ciang Sian-li Ma Su Nio. Dengan demikian lengkaplah tiga orang murid yang terkenal dari Setan Botak yang sudah mengurungnya bersama puluhan orang perajurit Mancu!

“Hek-pek Giam-ong dan Hiat-ciang Sian-li, aku tidak mencampuri lagi urusan perang, aku hendak mencari adikku dan tidak ingin bertempur. Berilah aku jalan agar aku pergi saja dari sini!” kata Han Han.

Hek-giam-ong yang seperti dua orang saudara seperguruannya tadi memandang Han Han penuh perhatian, terutama sekali ke arah kakinya yang tinggal sebelah, kini berkata dengan suaranya yang parau, sesuai dengan mukanya yang hitam dan tubuhnya yang tinggi besar.

“Han Han, engkau bocah setan sudah buntung kakimu masih menjual lagak. Lebih baik engkau lekas berlutut menyerah menjadi tawanan kami daripada kami turun tangan membuntungi kakimu yang sebelah lagi!”

Diejek demikian Han Han masih tetap sabar, akan tetapi ia tahu bahwa pertempuran tak mungkin dihindarkan melihat betapa pasukan Mancu itu, kini mengepungnya makin ketat dalam jarak dekat, sedangkan tokoh-tokoh sakti yang menyertai penjebakan inipun menjaga dari empat penjuru.

“Han Han, setelah kakimu buntung, apa sih dayamu menghadapi pasukan kami? Aku sendiri menjadi malu harus bertanding melawan seorang buntung!” kata Pek-giam-ong memandang rendah.

“Minggirlah, biar aku pergi!” Han Han masih bersikap sabar.

“Siuuuttttt.... plakkk!”

Tubuh Ma Su Nio terhuyung ke belakang ketika pukulannya tadi ditangkis Han Han seenaknya tanpa menoleh, hanya mengangkat tangan kiri menangkis datangnya pukulan itu dari kiri.

“Sudahlah, aku pergi saja!”

Han Han berkata lalu tubuhnya mencelat ke kanan, menjauhi tiga orang murid Kang-thouw-kwi itu, hendak mendobrak penjagaan para perajurit Mancu yang mengurungnya untuk meloloskan diri.

Melihat ini, enam orang perajurit Mancu bergerak menubruk dan menyerangnya dari segala jurusan, sedangkan jalan keluar telah ditutup oleh penjagaan para perajurit. Han Han tidak melihat jalan keluar, terpaksa ia menggerakkan tangan kanannya mendorong dan enam orang itu terpelanting ke kanan kiri seperti dihempaskan oleh tenaga angin badai yang amat kuat.

Akan tetapi, sebelum Han Han sempat meloncat lagi, terdengar pukulan sakti menyambar dari belakang dan kanan kiri. Hawanya panas bukan main. Kiranya tiga orang murid Setan Botak itu telah menerjangnya dengan marah.

Hek-giam-ong dan Pek-giam-ong menghantamnya dengan pengerahan ilmu pukulan mereka Toat-beng Hwi-ciang sedangkan Ma Su Nio menggunakan ilmu pukulannya yang lebih hebat lagi, yaitu pukulan Hiat-ciang yang mengeluarkan bunyi bercicitan sangat tinggi sehingga membikin anak telinga tergetar.

Ilmu pukulan Toat-beng Hwi-ciang (Tangan Api Pencabut Nyawa) dari Hek-giam-ong dan Pek-giam-ong adalah cabang dari ilmu pukulan Hwi-yang Sin-ciang yang biarpun kehebatannya tak dapat disamakan dengan Hwi-yang Sin-ciang namun sudah amat dahsyat karena tubuh lawan yang terpukul selain nyawanya melayang juga akan menjadi hangus seperti terbakar kulitnya.

Akan tetapi Hiat-ciang (Tangan Merah) dari Ma Su Nio masih setingkat lebih tinggi lagi daripada Toat beng Hwi-ciang. Sepasang tangan Ma Su Nio menjadi merah darah kalau ia menggunakan ilmu ini dan setiap pukulannya selain mengandung hawa panas melebihi pukulan kedua orang kakek, juga membawa bau amis dan mengeluarkan bunyi mencicit tinggi.

Berbeda dengan Toat-beng Hwi-ciang yang menghanguskan kulit lawan, pukulan Hiat-ciang ini mengandung racun jahat sekali yang akan meracuni darah lawan hanya oleh hawa pukulan saja, apalagi kalau sampai bersentuhan atau terkena pukulan tangan merah itu!

Namun, betapapun lihai dan mengerikan ilmu pukulan dari ketiga orang murid Setan Botak ini, bagi Han Han mereka itu bukan apa-apa. Dia tidak ingin berkelahi, akan tetapi setelah diserang seperti itu, tentu saja dia tidak sabar lagi.

Melihat datangnya pukulan dari belakang, kanan dan kiri ini dia mengempit tongkatnya, kakinya yang tinggal sebuah itu berputar sehingga tubuhnya membalik, tangan kirinya didorongkan ke arah pukulan Ma Su Nio yang berbunyi seperti tikus terjepit sedangkan tangan kanannya membuat gerakan dorongan memutar, sekaligus menghadapi kedua pukulan Hekgiam-ong dan Pek-giam-ong dari depan dan kanan.

“Desssss....!!”

Hawa pukulan yang panas bertumbuk di udara. Terdengar pekik nyaring dan tubuh tiga orang murid Setan Botak itu terbanting dan bergulingan sampai beberapa meter jauhnya.

Han Han tidak menyia-nyiakan kesempatan selagi tiga orang lawannya itu bergulingan untuk meloncat dan hendak menerobos kepungan, akan tetapi para perajurit Mancu yang sudah menghadangnya telah menubruknya dengan tombak dan golok mereka.

Menghadapi hujan senjata ini, Han Han cepat memutar tongkatnya. Terdengar suara nyaring berkerontangan ketika belasan batang tombak dan golok beterbangan terlepas dari tangan para pernegangnya, bahkan banyak di antara senjata-senjata itu yang patah-patah.

“Setan-setan ganas! Minggirlah, beri jalan! Aku tidak mau berkelahi!”

Han Han membentak, akan tetapi tentu saja suaranya tidak dihiraukan orang dan dari depan menyambar belasan batang anak panah sebagai jawaban bentakannya itu.

“Hemmm, benar-benar keparat orang-orang Mancu!”

Han Han mulai panas perutnya. Sekali putar saja, tongkatnya telah meruntuhkan semua anak panah. Para perajurit sudah menyerbu lagi. Ada yang menyerang dengan tombak, pedang, atau golok, akan tetapi banyak pula yang nekat menyerang dengan tangan kosong karena senjatanya telah patah. Mereka menyerang sambil berteriak-teriak, membuat Han Han makin marah.

Empat orang perajurit yang menerjang dari kiri memandang rendah dan merasa girang ketika pemuda buntung itu menyambut terjangan golok mereka dengan tangan kiri yang kosong. Mereka merasa yakin bahwa tentu serbuan mereka sekali ini akan merobohkan atau setidaknya melukai Han Han.

Akan tetapi, tiba-tiba ketika tangan kiri pemuda buntung itu digerakkan seperti orang menampar, hawa yang amat dingin menyambar, tubuh mereka terpelanting ke atas tanah seperti dibanting dan senjata mereka masih tergenggam, akan tetapi empat orang perajurit ini telah menjadi mayat yang darahnya membeku!

Enam orang lain yang datang menerjang dari depan dan kiri, disambut dengan tongkat. Demikian cepat gerakan tongkat ini sedangkan tubuh Han Han tetap tidak berpindah tempat, hanya berdiri di atas sebelah kaki, tongkat digerakkan ke arah para pengeroyok. Dalam waktu beberapa detik saja enam orang inipun roboh dan tewas!

“Swinggggg....!”

Han Han cepat merendahkan tubuh membiarkan sinar pedang yang menusuk ke arah tengkuknya itu lewat di atas kepalanya. Tanpa membalikkan tubuh, tongkatnya menyambar ke belakang, ke arah penyerangnya.

“Trang-tranggg....!”

Tampak api berpijar ketika tongkatnya tertangkis oleh dua batang golok yang digerakkan tenaga kuat. Han Han memutar kaki tunggalnya dan melihat bahwa yang menyerangnya tadi adalah Hiat-ciang Sian-li Ma Su Nio sedangkan yang menangkis tongkatnya adalah Hek-giam-ong dan Pek-giam-ong. Kiranya ketiga orang murid Setan Botak ini sudah bangkit kembali dan kini telah mempergunakan senjata.

Hal ini sebetulnya jarang sekali dilakukan tiga orang itu. Mereka telah menerima gemblengan Kang-thouw-kwi Gak Liat dan telah memiliki ilmu silat tinggi, bahkan kedua orang kakek yang mukanya hitam dan putih itu telah memiliki ilmu pukulan Toat-beng Hwi-ciang, sedangkan Ma Su Nio memiliki Hiat-ciang. Dengan kedua macam ilmu pukulan yang didasari tenaga sakti Hwi-yang Sin-ciang ini, mereka amat percaya akan kemampuan sendiri menghadapi lawan sehingga mereka tidak pernah membutuhkan senjata tajam. Kedua tangan mereka lebih ampuh daripada senjata tajam yang manapun juga!

Akan tetapi sekali ini, menghadapi Han Han yang ternyata memiliki tenaga sin-kang yang amat luar biasa, jauh lebih kuat daripada tenaga mereka sehingga mereka itu sama sekali tidak dapat mengandalkan pukulan tangan kosong berdasarkan sin-kang, maka setelah mereka bergulingan dan lenyap kepeningan kepala mereka, tiga orang tokoh kaum sesat itu telah menyambar senjata dan menyerang lagi.

Begitu Han Han membalikkan tubuh, tiga orang sakti itu menyerangnya. Gerakan pedang di tangan Ma Su Nio cepat bukan main sehingga pedangnya merupakan sekelebatan sinar menyilaukan mata. Juga gerakan golok di tangan kedua orang Hek-pek Giam-ong mendatangkan angin berdesir, tanda bahwa tenaga mereka kuat sekali.

Tiga orang ini menyerang dari depan, kanan dan kiri Han Han dan begitu senjata mereka meluncur dengan tangan kanan, tangan kiri mereka menyusul dengan pukulan Toat-beng Hwi-ciang dan Hiat-ciang!

Han Han yang baru saja membalikkan tubuh melihat berkelebatnya tiga batang senjata tajam itu, cepat menangkis dengan putaran tongkatnya, tidak menyangka bahwa tiga orang lawannya itu menyusulkan pukulan-pukulan tangan kiri yang amat kuat, maka ia hanya menangkis pedang dan golok.

“Cring-trang-tranggg....!”

Tiga batang senjata lawan ini terpental dan hampir terlepas dari pegangan, akan tetapi pukulan tiga tangan yang mengandung hawa sakti kuat, menyambar ke tubuh Han Han. Pemuda ini mengerahkan sin-kang dan menerima pukulan itu. Tubuhnya bergoyang-goyang.

Melihat betapa tubuh Han Han bergoyang-goyang akibat sambaran tiga buah pukulan jarak jauh, Ma Su Nio menjadi girang dan mengira bahwa pemuda buntung yang amat lihai itu telah terluka. Ia mengeluarkan pekik melengking dan menubruk maju, pedangnya menusuk ke arah lambung kiri Han Han dan tangan kirinya dengan tenaga Hiat-ciang sepenuhnya mencengkeram ke arah leher.

Hebat bukan main serangan Hiat-ciang Sian-li Ma Su Nio ini, dan entah mana yang lebih berbahaya antara pedang di tangan kanan ataukah pukulan Hiat-ciang tangan kirinya. Terjangan ganas yang merupakan serangan maut dari Ma Su Nio ini masih disusul oleh serbuan Hek-giam-ong dan Pek-giam-ong yang siap-siap mendekati dan mencari kesempatan baik sebagai perkembangan serangan Ma Su Nio.

Han Han melihat betapa para perajurit Mancu sudah mengepung rapat tempat itu, melihat pula sikap para tokoh kaum sesat yang siap hendak membunuhnya. Ia maklum bahwa makin lama akan makin berbahayalah keadaannya. Kini menghadapi terjangan Ma Su Nio, ia mengeluarkan seruan keras, tongkatnya bergerak ke pinggir menangkis dan terus menggunakan sin-kang menempel pedang wanita itu. Pukulan Hiat-ciang yang mengeluarkan bau amis itu tidak ia elakkan, melainkan ia papaki dengan tangan kanannya yang terbuka telapak tangannya.

“Dukkk! Plakkk!”

Pedang dan tongkat bertemu dan melekat, kedua tangan pun bertemu dan melekat. Ma Su Nio kembali mengeluarkan suara melengking nyaring ketika merasa betapa pedangnya melekat pada tongkat dan betapa tangan kirinya yang menempel tangan kanan pemuda itu, pertama-tama terasa menggigil kemudian terasa betapa hawa yang amat dingin menjalar masuk ke tubuh melalui lengan kirinya.

“Aiiihhhhh!”

Ia berseru, melepaskan pedangnya yang masih menempel tongkat lawan, menggunakan tangan kanannya untuk menghantamkan lagi pukulan Hiat-ciang yang lebih hebat ke arah dada Han Han.

“Bukkkkk!”

Han Han sengaja menerima pukulan tangan kanan wanita itu dan.... telapak tangan Ma Su Nio menempel pada dadanya, langsung hawa dingin menjalar memasuki lengan kanan wanita itu. Ma Su Nio mengerahkan sin-kang dan berusaha menarik kembali kedua lengannya, namun terlambat. Hawa dingin yang tersalur keluar dari tubuh Han Han adalah inti dari Im-kang yang dihimpunnya di Pulau Es, maka hawa dingin yang amat luar biasa itu telah melukai jantung Ma Su Nio yang seketika menjadi seperti kaku dan membeku!

“Setan buntung!”

Bentakan ini keluar dari mulut Pek-giam-ong. Iblis yang berjuluk Raja Maut Putih ini mencelat maju hendak menolong sumoinya. Goloknya menyambar ke tengkuk Han Han dengan kecepatan seperti kilat menyambar, sedangkan Hek-giam-ong juga sudah menusukkan goloknya untuk mencodet perut pemuda itu dari kanan.

Han Han melepaskan Ma Su Nio sambil meloncat mundur. Tubuh wanita itu roboh tak bernyawa lagi, roboh seperti patung kayu yang kaku. Sambil meloncat mundur, Han Han merendahkan tubuh, tongkatnya menyelinap dari bawah, tangan kanannya didorongkan ke atas menggunakan hawa pukulan menangkis bacokan golok Pek-giam-ong.

Pek-giam-ong menjerit ngeri ketika tahu-tahu orang yang dibacok tengkuknya itu sekali mengangkat tangan membuat goloknya tertahan dan tanpa dapat ia elakkan lagi, tongkat Han Han yang tadi bergerak dari bawah, melemparkan pedang Ma Su Nio yang tadi menempel di ujung tongkat.

Pedang itu meluncur seperti anak panah dari jarak dekat, menembus perut Pek-giam-ong sampai ke punggung. Pek-giam-ong membelalakkan mata melihat ke perutnya, kemudian dengan kedua tangannya ia mencabut pedang itu dan.... berbareng dengan menyemburnya darah dari perut dan punggungnya, iblis muka putih ini menubruk maju!

Han Han menangkis pedang itu, sekaligus ia mengirim tendangan yang membuat tubuh lawan itu tergelimpang dan tewas. Cara Han Han menendang amatlah mengherankan, tubuhnya mencelat ke atas, di udara kakinya bergerak dan tendangannya seperti tendangan ayam jago bertanding. Sambil menendang, ia telah menyambar pedang Ma Su Nio dengan tangan kanan, pedang yang oleh Pek-giam-ong dipergunakan untuk menyerangnya dalam keadaan sudah sekarat tadi.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar