FB

FB


Ads

Rabu, 24 Desember 2014

Pendekar Super Sakti Jilid 078

Penyerbuan besar-besaran bala tentara Mancu tiba tepat pada saat dan di tempat-tempat seperti yang dilaporkan Han Han kepada Raja Muda Bu Sam Kwi, dan karena sebelumnya fihak Se-cuan telah membuat persiapan, maka melalui perang mati-matian bala tentara Mancu akhirnya dapat dipukul mundur.

Pemerintah Mancu, dalam hal ini diwakili oleh Puteri Nirahai sendiri yang memimpin sebagai ahli siasat, menjadi kecelik. Bukan saja tiap pasukan yang sudah diatur untuk menyerbu Se-cuan dari beberapa jurusan dalam waktu yang tak tersangka-sangka mengalami perlawanan sengit, juga tokoh-tokoh pandai seperti Kang-thouw-kwi yang memimpin kawan-kawannya, yang diharapkan untuk dapat mengacaukan pertahanan musuh dengan kepandaian mereka, ternyata “membentur karang” karena di Se-cuan terdapat banyak pula orang sakti!

Bahkan segala usaha Setan Botak Gak Liat selain gagal oleh perlawanan tokoh pejuang yang membantu Raja Muda Bu Sam Kwi. Dan yang membuat Setan Botak menjadi kaget, penasaran dan marah adalah sepak terjang pemuda kaki buntung, bekas muridnya, Han Han.

Setelah serbuannya yang berkali-kali dalam beberapa bulan selalu gagal dan ia kehilangan banyak perwira dan perajurit, akhirnya Gak Liat mengirim berita ke kota raja minta bantuan, selain bantuan pasukan yang besar, juga bantuan orang-orang pandai untuk menghadapi fihak musuh yang memiliki banyak jagoan lihai.

Tak lama kemudian, utusannya datang kembali dari kota raja membawa perintah Puteri Nirahai agar penyerangan dihentikan dulu dan pasukan Mancu diharuskan mengurung Se-cuan dengan menjaga tapal batas di timur, selatan dan utara dengan ketat sampai bala bantuan datang.

Karena perintah ini, perang yang biasanya hampir setiap hari terjadi, menjadi berhenti dan kedua fihak hanya berjaga-jaga di daerah kekuasaan masing-masing, terhalang deretan pegunungan yang memagari Propinsi Se-cuan. Pihak Se-cuan yang dalam perang ini menjadi fihak yang mempertahankan diri, bernapas lega menyaksikan terhentinya serangan-serangan musuh dan mereka dapat beristirahat sambil menyusun kekuatan baru.

Secara terpaksa sekali Han Han kini ikut berperang menentang pasukan Mancu. Sebagai seorang panglima pelopor, di samping tokoh-tokoh besar lainnya, terutama sekali kedua orang pendeta Lama dari Tibet yang amat sakti, Han Han memimpin pasukan yang terdiri dari ahli-ahli silat dan sebagian besar adalah kaum pejuang golongan patriot yang berjuang semata-mata membela nusa bangsa tanpa pamrih.

Dan sesuai pula dengan siasat Bu Sam Kwi, pasukan-pasukan orang gagah ini memang dibentuk untuk menghadapi pasukan-pasukan kuat dan istimewa dari pemerintah Mancu, maka tentu saja Han Han menjadi lega hatinya ketika dalam pertempuran-pertempuran itu ia selalu menghadapi tokoh-tokoh hitam yang memimpin pasukan-pasukan istimewa musuh.

Bahkan pernah dalam sebuah pertempuran besar-besaran, ia bertanding melawan Kang-thouw-kwi Gak Liat, Setan Botak yang lihai dan yang menjadi musuh lamanya itu! Kenyataan bahwa dia melawan tokoh-tokoh sesat inilah yang menghibur hatinya yang selalu merasa tidak enak kalau ia teringat bahwa dia berperang melawan bangsa adiknya!

Setelah perang dihentikan oleh pihak Mancu setelah berbulan-bulan terjadi bentrokan-bentrokan di sepanjang perbatasan, keadaan menjadi sunyi dan para pejuang di Se-cuan menjadi menganggur.

Han Han menjadi kesal hatinya. Usahanya mencari Lulu sama sekali tidak berhasil. Bahkan selama terjadi keributan perang, dia tidak pernah bertemu dengan Hian Ceng yang berjanji menyelidiki dan mencari Lulu. Juga Lauw Sin Lian belum masuk ke Se-cuan, ataukah sudah masuk dan melawan musuh di daerah lain? Ataukah tidak sempat memasuki daerah Se-cuan karena perang telah pecah?

Pagi hari itu, selagi Han Han termenung seorang diri dalam hutan, tak jauh dari benteng penjagaan, Wan Sin Kiat datang mengunjunginya. Mendengar panggilan Sin Kiat, Han Han menoleh dan dia memandang kagum. Sahabatnya ini benar-benar amat tampan dan gagah dalam pakaianya sebagai seorang panglima muda! Tubuh Sin Kiat tinggi besar, dadanya bidang, mukanya tampan dan berwibawa dengan alis tebal hitam dan mata yang bersinar penuh semangat, jalannya seperti lenggang seekor harimau!

Seorang muda yang hebat dan dia akan merasa senang sekali kalau Lulu dapat atau lebih tepat lagi mau menjadi isteri pemuda ini! Dia tahu bahwa Sin Kiat amat mencinta Lulu, akan tetapi bagaimana dengan Lulu? Dia mengharap mudah-mudahan Lulu dapat menerima cinta kasih Sin Kiat. Kalau adiknya itu mendapatkan pelindung seperti Sin Kiat ini, hatinya akan merasa tenang dan tenteram, tidak seperti sekarang ini.

Ah, perlu apa memikirkan tentang perjodohan Lulu kalau bocah itu sendiri sampai sekarang belum dapat ditemukan, bahkan tidak ia ketahui di mana tempatnya, masih hidup ataukah sudah mati? Cepat Han Han mengusir pikiran ini dan ia menyambut Sin Kiat dengan senyum lebar karena ia teringat akan bocah pengemis yang ia beri roti dahulu itu.

“Wah, engkau gagah sekali, Sin Kiat! Sekarang telah terbukti dan tercapai cita-citamu ketika masih kecil.”

“Cita-cita masih kecil? Apa maksudmu?” Sin Kiat duduk di atas batu gunung di depan Han Han yang duduk di atas akar pohon.

“Lupa lagikah engkau dahulu? Pernah engkau mengatakan bahwa engkau bercita-cita menjadi seorang perwira! Dan sekarang engkau telah menjadi panglima!”

Sin Kiat tidak menyambut godaan ini dengan wajah berseri, bahkan keningnya berkerut. Ia menghela napas dan berkata,

“Aku teringat akan pengalaman-pengalamanku selama masih kanak-kanak dan ternyata bahwa cita-cita itu tiada bedanya dengan sebuah sarang burung di puncak pohon yang amat diinginkan oleh seorang kanak-kanak. Hati amat gembira dan penuh bayangan indah-indah dan muluk-muluk, penuh ketegangan ketika berusaha untuk memanjat pohon tinggi penuh bahaya, untuk meraih sarang dan mendapatkan anak burung di dalamnya. Dan setelah akhirnya didapatkan, setelah seekor burung tergenggam di tangan? Hanya kegembiraan sebentar saja karena segera disusul oleh kewajiban-kewajiban memelihara agar si anak burung tidak mati. Demikian pula dengan cita-cita, Han Han.”

Han Han membelalakkan matanya, kemudian tertawa memandang wajan tampan gagah yang mengerutkan alis tebal itu.

“Ha-ha-ha, pengalaman merupakan guru terpandai. Engkau kini pandai menyelami hidup, pandai berfilsafat, Sin Kiat. Memang demikianlah, rangkaian mencari, mendapatkan, memiliki, memelihara merupakan mata rantai yang tidak dapat dipisahkan. Kalau orang sudah memiliki sesuatu, berarti dia dibebani sesuatu karena dia harus menjaga dan memelihara! Makin banyak orang memiliki benda atau apa saja yang disukanya, makin banyak pula beban menindih pundaknya dan membuatnya selalu harus menjaga dan memelihara semua miliknya. Hanya orang yang tidak punya apa-apalah, yang akan enak tidur di waktu malam. Orang yang tidak punya tidak akan khawatir kehilangan! Orang yang punya sekali waktu pasti akan kehilahgan!”

Sin Kiat menggaruk-garuk kepalanya.
“Hemmm, kalau begitu apakah lebih enak menjadi orang yang tidak mempunyai apa-apa yang disenanginya agar tidak sampai kehilangan?”






Han Han tertawa dan menggeleng kepala.
“Manusia menjadi korban daripada nafsunya sendiri, Sin Kiat. Karena itu, dalam keadaan bagaimanapun juga ia akan selalu menderita. Yang tidak punya akan menderita oleh nafsunya sendiri yang menimbulkan perasaan iri hati. Yang punya akan menderita oleh nafsunya sendiri yang tidak ingin kehilangan miliknya. Hanyalah orang yang telah mampu mengendalikan nafsunya sendiri, yang tidak dikuasai oleh nafsu pribadinya, baik di situ punya atau tidak punya, akan tetap tenang dan bahagia. Dalam keadaan tidak punya, dia tidak kepingin, dalam keadaan punya dia tidak terikat oleh miliknya.”

Wan Sin Kiat mengangguk-angguk, kemudian memandang sahabatnya, dapat melihat kemuraman wajah Han Han. Dia mengerti apa yang menyebabkan sahabatnya ini murung, bukan lain tehtulah hal yang juga membuat hatinya selalu berduka, yaitu hal lenyapnya Lulu!

“Han Han, tadi aku mendengar engkau dipuji-puji oleh para ho-han yang melaporkan sepak terjangmu selama musuh menyerbu. Jasamu besar sekali dalam menghadapi musuh, Han Han,” katanya untuk membelokkan perhatian sahabatnya ini agar terhibur.

Akan tetapi Han Han menggeleng kepala dan menghela napas panjang.
“Aku tidak peduli akan itu, Sin Kiat. Engkau tahu bahwa kehadiranku di sini bukan untuk perang. Hanya kebetulan saja aku membantu, melihat betapa bala tentara Mancu menggunakan orang-orang golongan sesat. Akan tetapi engkau tahu bahwa sesungguhnya aku mencari adikku yang sampai kini belum ada beritanya. Hemm, aku sudah bosan menanti dan karena sekarang barisan Mancu tidak menyerang lagi, aku bermaksud meninggalkan Se-cuan dan mencari Lulu di lain tempat. Aku yakin dia tidak berada di sini, karena kalau dia berjuang, tentu dia sudah dapat kutemukan di sini.”

“Ah, jangan dulu kau pergi, Han Han. Tenagamu masih amat dibutuhkan. Para penyelidik melaporkan bahwa kabarnya Puteri Nirahai sendiri akan memimpin penyerbuan ke Se-cuan! Mengingat betapa lihainya puteri itu, dan masih banyak pula pembantunya yang lihai, kuharap engkau akan lebih lama membantu perjuangan melawan penjajah!”

“Di sini pun banyak orang gagah. Dua orang pendeta Lama itu lihai sekali, perlu apa takut? Aku tidak suka perang, apalagi aku tidak suka menjadi panglima karena memang bukan kehendakku menghambakan diri disini.”

“Dua orang pendeta itu? Ah, mereka sama sekali tidak boleh diandalkan! Memang, mereka itu memiliki kepandaian tinggi, akan tetapi mereka adalah sekutu-sekutu dari Pangeran Kiu!”

Han Han teringat akan cerita pejuang yang buntung kakinya, maka ia memandang kepada sahabatnya itu dan bertanya.

“Apakah salahnya? Kulihat Pangeran Kiu juga berjuang bahu-membahu dengan Bu-ongya.”

Sin Kiat menggeleng kepala.
“Memang, sekarang ini kita semua bersatu dalam menghadapi serbuan barisan Mancu. Akan tetapi sesungguhnya di sebelah dalam timbul keretakan di antara mereka yang memegang pimpinan! Bu-ongya bertekad untuk menentang pemerintah Mancu sampai tenaga terakhir! Sebaliknya, Pangeran Kiu berkali-kali mendesaknya agar suka berdamai saja dengan fihak Mancu.”

Han Han sudah tahu akan hal ini.
“Kalau menurut pendapatmu, siapa diantara mereka yang benar?”

“Entahlah, kedua-duanya benar. Bu-ongya hendak melawan terus karena tidak mau melihat tanah air dijajah, adapun Pangeran Kiu ingin berdamai dengan penjajah karena tidak mau melihat rakyat makin menderita akibat perang.”

“Dan kau sendiri?”

Sin Kiat menggerakkan pundaknya.
“Aku adalah seorang pejuang tanpa pamrih, hanya didorong oleh kesadaran akan kewajibanku sebagai seorang warga negara untuk membela negaranya!”

“Tapi kau menjadi panglima muda Bu-ongya.”

Wajah Sin Kiat berubah merah dan ia menggeleng-geleng kepala.
“Dorongan cita-cita bocah yang terlalu kenyang menderita. Sesungguhnya, seperti kukatakan tadi, setelah kini menjadi panglima, aku bosan dan baru aku sadar bahwa sesungguhnya bukan untuk pangkat inilah aku berjuang. Andaikata saat ini juga pangkatku dicabut, aku tetap akan berjuang melawan penjajah.”

“Aku sudah bosan akan semua urusan politik, sudah bosan akan perang, Sin Kiat! Kehadiranku di Se-cuan dan bantuan-bantuanku amatlah bertentangan dengan hatiku sendiri. Mungkin rasa tidak senangku akan perang ini ditimbulkan oleh sepak terjang para pimpinan sendiri. Seperti Raja Muda Bu Sam Kwi sendiri, tak dapat disangkal bahwa dia pernah berkhianat terhadap pemerintah dengan bersekongkol bersama bangsa Mancu menyerbu ke selatan. Akan tetapi karena keadaannya berubah, kini ia melawan bangsa Mancu, bahkan dianggap sebagai pusat pertahanan oleh kaum pejuang!

Kemudian aku mendengar pertentangan diam-diam di sini yang tidak lain disebabkan oleh ambisi pribadi masing-masing. Semua ini menjemukan hatiku, Sin Kiat. Aku mulai curiga terhadap orang-orang yang menggunakan kedok yang indah-indah untuk menutupi nafsu pribadi, bersembunyi di balik kata-kata indah seperti perjuangan dan lain-lain sebagai alasan. Kalau saja dalam mengejar cita-cita pribadi orang melakukannya sendiri dengan resiko-resiko ditanggung sendiri, hal itu sudah sewajarnya dan sepatutnya. Akan tetapi dalam perang sungguh merupakan dosa besar sekali karena menyeret laksaan manusia lain yang seolah-olah dipermainkan nyawanya. Aku muak, Sin Kiat, karena itu aku hendak pergi dari sini mencari Lulu.”

Sin Kiat menarik napas panjang.
“Bersabarlah, Han Han. Bukankah engkau masih menanti hasil penyelidikan Nona Tan Hian Ceng? Pula, sekarang belum waktunya untuk keluar perbatasan, amat berbahaya. Di Se-cuan sendiri, semua orang adalah pejuang. Di sini orang tidak mengenal arti bebas perang, yang ada hanyalah kawan atau lawan! Dan kalau engkau keluar perbatasan yang kini dikepung ketat oleh barisan Mancu, engkau tentu akan dianggap mata-mata dan akan dikeroyok ribuan orang tentara. Bersabarlah menanti sampai keadaan perang mereda dan sementara itu, harap engkau berhati-hati.”

“Mengapa engkau memperingatkan aku demikian?”

Sin Kiat memandang ke kanan kiri, kemudian berkata lirih,
“Agaknya pertentangan paham antara Pangeran Kiu dan Bu-ongya timbul lagi dan makin menghebat dengan adanya pengurungan barisan Mancu. Dan aku tahu bahwa kedua pihak ingin memperebutkan orang-orang pandai kedua pihak masing-masing, maka tentu saja engkau menjadi calon yang amat penting dan menarik untuk mereka perebutkan.”

“Hemmm, aku....? Diperebutkan?”

“Tenagamu yang amat mereka butuhkan, Han Han.”

Pemuda buntung itu menggeleng-geleng kepala.
“Aku makin muak. Akan tetapi baiklah, alasan-alasan yang kau kemukakan tadi memang tepat. Aku akan bersabar menanti sampai keadaan mereda.”

“Aku akan pergi mencari Nona Tan Hian Ceng, mungkin dia berada di Wan-sian dan membantu perang di bagian itu. Siapa tahu dia sudah mendengar tentang Nona Lulu.”

Demikianlah, Han Han mendengar bujukan dan nasihat Sin Kiat, menunda kepergiannya meninggalkan Se-cuan. Akan tetapi dia sudah menjadi makin bosan dan gelisah memikirkan Lulu. Apalagi pada waktu itu, pihak Mancu hanya saling menjaga tapal batas daerah kekuasaan masing-masing, mereka hanya mengirim mata-mata dan para penyelundup untuk saling menyelidiki keadaan masing-masing. Se-cuan dikurung dari timur, utara dan selatan. Satu-satunya daerah luar yang masih dapat dihubungi hanyalah Sin-kiang dan Tibet.

Tepat seperti yang dikhawatirkan Sin Kiat, beberapa hari kemudian Han Han mengalami usaha memperebutkan dirinya ketika pada suatu malam dia diundang oleh Pangeran Kiu ke dalam gedungnya.

Han Han yang tidak mempunyai urusan pribadi dengan pangeran itu, merasa heran, akan tetapi tentu saja tidak berani menolak dan pada saat yang ditentukan pergilah ia menghadap Pangeran Kiu di gedungnya.

Berbeda dengan Wan Sin Kiat yang memakai pakaian panglima muda yang indah dan gagah, Han Han tidak pernah mau memakai pakaian kebesaran, sungguhpun dia telah diangkat sendiri oleh Raja Muda Bu Sam Kwi sebagai panglima pasukan pelopor. Kini ia menghadap Pangeran Kiu juga dengan pakaian sederhana, dan terpincang-pincang dibantu tongkat bututnya memasuki istana yang megah itu.

Han Han merasa kaget, heran dan juga malu hati ketika melihat betapa Pangeran Kiu sendiri yang menyambutnya, bersama Thian Tok Lama yang gendut bermuka kekanak-kanakan dan Thai Li Lama yang kurus dan bersinar mata hitam aneh. Ia cepat menjura dengan hormat, dan ia makin heran melihat Pangeran Kiu mendekatinya, memegang tangannya dan berkata,

“Suma-taihiap, tidak perlu melakukan banyak peradatan, marilah kita masuk ke dalam. Aku hendak membicarakan hal yang amat penting dengan taihiap.”

Mereka memasuki ruangan dalam yang indah dan di situ telah tersedia makanan yang serba lengkap dan mewah di atas meja. Pangeran Kiu mempersilahkan Han Han duduk dan beberapa orang pelayan wanita yang muda-muda dan cantik-cantik cepat melayani mereka menuangkan arak, kemudian atas isyarat pangeran itu, mereka mundur dan berdiri di sudut kamar menanti perintah.

Setelah menerima suguhan arak beberapa cawan, Han Han lalu bertanya, tanpa menyembunyikan keheranannya dalam suaranya,

“Maaf, Pangeran. Sungguh saya merasa amat heran atas undangan Pangeran. Ada urusan penting apakah?”

Pangeran Kiu tertawa bergelak, dan dua orang pendeta Lama itupun tersenyum.
“Suma-taihiap, ketahuilah bahwa sebetulnya antara engkau dan aku, masih ada hubungan keluarga.”

“Ahhh, harap Pangeran tidak berkelakar!” Han Han berkata, tidak percaya sama sekali.

“Aku tidak main-main, taihiap. Dan aku pun baru saja mengetahui akan hal ini dari keterangan Thian Tok Lama,” jawab Pangeran Kiu sambil tersenyum.

Han Han teringat akan peringatan Sin Kiat agar dia berhati-hati. Siapa tahu ada maksud tersembunyi dalam sikap pangeran yang aneh ini, maka ia lalu menoleh dan memandang wajah pendeta Lama gendut yang ia tahu amat lihai kepandaiannya itu.

“Saya mohon penjelasan,” kata Han Han singkat, ditujukan kepada Pangeran Kiu akan tetapi dia menatap wajah Thian Tok Lama.

Hwesio Lama gendut ini tersenyum, mengangkat cawan dan minum araknya. Sekali teguk arak keras dalam cawan itu pindah ke perutnya, dan sambil meletakkan cawan kosong di atas meja ia berkata,

“Maaf, Suma-taihiap. Dalam perang pinceng terpaksa untuk sementara membuang pantangan minum arak dan makan daging. Tentu saja engkau merasa heran sekali mendengar keterangan Pangeran Kiu, bukan? Akan tetapi sesungguhnya begitulah. Engkau masih terhitung keluarga dari Pangeran, dan hal ini dapat dibuktikan kalau saja taihiap tidak menyembunyikan sesuatu dan suka mengaku secara jujur.”

Han Han masih merasa heran dan kini ia memandang tajam, mengerutkan alisnya.
“Thian Tok Losuhu, saya tidak menyembunyikan sesuatu.”

Pendeta gendut itu tertawa dan matanya bersinar penuh kagum.
“Taihiap pandai sekali menyembunyikan kesaktian dan pandai pula menyembunyikan nama besar. Suma-taihiap, bukankah taihiap ini cucu dari pendekar sakti Suma Hoat?”

Pertanyaan ini diajukan secara tiba-tiba, membuat Han Han terkejut bukan main. Dia memang tidak menyembunyikan nama keturunannya ketika memperkenalkan diri kepada Raja Muda Bu Sam Kwi, mengaku she Suma, akan tetapi untuk mengakui tokoh sesat yang menjadi kakeknya dan terkenal dengan julukan Jai-hwa-sian, yang amat dibencinya itu, benar-benar ia masih merasa berat.

Akan tetapi, kini ia berhadapan dengan orang-orang pandai seperti Thian Tok Lama, juga dengan seorang pangeran yang memiliki kekuasaan besar, bagaimana akan dapat menyangkal? Selain itu, apa pula perlunya menyangkal?

“Losuhu, bagaimana Losuhu bisa tahu?” Ia balas bertanya, suaranya tenang saja akan tetapi pandang matanya penuh selidik.

Kembali kakek gundul itu tertawa.
“Pinceng mengenal baik Kakekmu itu, taihiap, seorang yang gagah perkasa, tampan dan sakti. Melihat wajah taihiap sama dengan melihat wajah Suma Hoat di waktu muda, tentu saja dengan mudah pinceng dapat menduganya. Melihat usiamu, melihat persamaan wajahmu dengan dia, pantasnya taihiap adalah cucunya.”

Diam-diam Han Han merasa betapa hatinya menjadi kecut dan tidak senang. Celaka tiga belas dan sialan, pikirnya. Siapa kira bahwa wajahnya sama benar dengan kakeknya yang amat dibencinya! Akan tetapi dia tidak dapat berbohong, juga tidak mau membohong. Dia tidak senang diketahui orang sebagai cucu Jai-hwa-sian Suma Hoat akan tetapi dia juga tidak takut orang mengetahuinya! Memang benar kakeknya seorang penjahat, akan tetapi kakeknya dan dia adalah dua orang lain!

“Memang benar, saya adalah cucunya. Akan tetapi saya masih tidak mengerti apa hubungannya ini dengan Pangeran.”

Pangeran Kiu tertawa bangga.
“Ah, Suma-taihiap, atau mulai sekarang lebih baik saya menyebutmu Suma-hiante. Nama besar keluarga Suma sudah menjulang tinggi sampai ke langit selama puluhan tahun....”

“Amat terkenal saking kotor dan jahatnya,” pikir Han Han penuh sesal.

“.... sebagai keluarga yang berkuasa, kaya raya, memiliki ilmu kesaktian yang jarang bandingannya, dan yang lebih daripada itu semua, merupakan keluarga yang setia kepada kerajaan!”

“Hemmm, pujian kosong,” pikir Han Han sungguhpun ia sendiri tidak pernah tahu akan riwayat keluarganya yang terkenal.

“Bahkan pendekar sakti Suling Emas pun masih terhitung anggauta Suma ini. Suma Han-hiante, ketahuilah bahwa antara keluarga Suma dan keluarga Kiu terdapat ikatan kekeluargaan pula, yaitu karena seorang di antara selir mendiang Suma Kiat adalah puteri keluarga Kiu. Sedangkan Pangeran Suma Kiat itu adalah ayah dari Kakekmu Suma Hoat. Bukankah dengan demikian, di antara nenek moyang kita masih terdapat hubungan keluarga, Suma-hiante?”

Kepala Han Han menjadi puyeng mendengar keterangan tentang keluarga Suma yang sering kali menimbulkan benci dan penyesalan di hatinya itu. Ia tidak peduli apakah keluarga Suma itu dahulu keluarga bangsawan ataukah keluarga kaya raya, pendeknya nama kakeknya yang berjuluk Jai-hwa-sian telah menghapus semua perasaan mesra di hatinya sebagai anggauta keluarga Suma.

Kalau dia disuruh memilih, tentu ia akan jauh lebih suka memakai nama keluarga Sie, akan tetapi karena dia tidak sudi menyembunyikan nama yang dianggapnya sebagai sifat pengecut, terpaksa ia menggunakan she Suma yang dibencinya itu.

“Apakah hubungannya hal itu dengan panggilan ini, Pangeran? Saya tidak percaya bahwa saya dipanggil hanya untuk mendengar keterangan tentang keluarga nenek moyang ini.”

“Ha-ha-ha! Engkau terlalu kurang sabar, Hiante! Bukankah hal yang menggirangkan ini perlu dirayakan lebih dulu? Marilah, kita makan minum, baru nanti kita bicara lagi!”

Karena sikap pangeran itu yang ramah-tamah, ditambah lagi sikap dua orang pendeta Lama yang menghormatnya, Han Han tak dapat mengelak dan mulailah mereka makan minum. Han Han tidak tahu betapa Pangeran Kiu dan dua orang pendeta Lama itu sering kali bertukar pandang dan isyarat, dan tidak tahu betapa pangeran itu sengaja mendatangkan dua orang pelayan wanita yang baru, yang muda-muda dan amat cantik.

Tidak tahu bahwa dua orang pelayan ini sengaja diperintah untuk melayaninya, untuk merayunya dengan gerakan-gerakan lemah gemulai, dengan suara merdu ketika menawarkan arak, dengan sentuhan-sentuhan mesra secara sambil lalu ketika melayaninya.

Han Han merasa kikuk dan canggung, diam-diam mendongkol kepada dua orang pelayan itu yang dianggapnya genit dan terlalu berani, akan tetapi dia diam saja, melirik pun tidak kepada dua orang wanita muda yang menyiarkan keharuman dari tubuh mereka, suara-suara merdu memikat dari mulut mereka, dan rangsangan-rangsangan dari sentuhan jari tangan mereka.

Han Han tidak tahu bahwa Pangeran Kiu sudah mengatur semua ini, juga ketika serombongan penari yang cantik-cantik datang, menari dan meliak-liukkan tubuh mereka yang ramping dan seperti menantang minta dipeluk, Han Han sama sekali tidak mengira betapa pangeran itu dan dua orang hwesio Lama memandangi setiap gerak-geriknya.

Dan memang Pangeran Kiu bersama dua orang hwesio Tibet itu kecelik. Mereka tadinya menyangka bahwa sebagai cucu Jai-hwa-sian, pemuda yang buntung kakinya namun memiliki kelihaian melebihi Jai-hwa-sian sendiri ini tentu mewarisi watak kakeknya, suka akan wanita. Karena itu, Pangeran Kiu berusaha memikat Han Han dan menyenangkan hatinya dengan wanita-wanita cantik agar pemuda lihai ini dapat terjatuh ke dalam kekuasaannya dan menjadi pembantunya.

Siapa kira, pemuda itu sama sekali tidak tertarik dan hal ini dapat pula dilihat dari sikap dua orang wanita perayu yang makin lama makin lemas kehabisan semangat. Pangeran Kiu memberi isyarat dan semua penari dan pelayan mundur.

Han Han bernapas lega, karena tadi, sungguhpun ia menekan perasaan dan tetap tenang, hatinya sudah berdebar tidak karuan. Menghadapi rayuan-rayuan wanita cantik itu baginya lebih menegangkan dari pengeroyokan musuh yang bersenjata tajam.
.
“Suma Han-hiante, sekarang tiba saatnya bagi kita. Kita sama mengetahui bahwa di antara kita terdapat hubungan keluarga, maka aku tidak ragu-ragu lagi untuk mengajakmu bicara. Terus terang saja aku mengharapkan bantuanmu, Hiante.”

“Bantuan? Bantuan apakah, Pangeran?”

“Bantuan kepadaku untuk menghadapi musuh-musuhku.”

Han Han memandang pangeran itu, pura-pura heran sungguhpun ia sudah dapat menduganya, mengingat akan penuturan Sin Kiat.

“Pangeran, musuh kita semua bukankah barisan Mancu? Dan saya rasa selama ini saya pun sudah membantu, walaupun hanya sedikit menghadapi tokoh-tokoh pandai di barisan musuh.”

“Bukan hanya itu, Hiante. Musuh yang terbesar bahkan yang kini menjadi sekutu kami. Kumaksudkan, Bu-ongya.”

“Hehhh? Bu-ongya....? Bagaimana ini? Saya tidak mengerti, Pangeran.”

“Thian Tok Lama, harap suka memberi penjelasan kepada Suma-hiante,” perintah Pangeran Kiu.

Pendeta Tibet yang gemuk dan bermuka lunak, kanak-kanakan itu lalu berkata dengan sikap lunak,

“Suma-taihiap, biarpun ilmu kepandaianmu amat hebat dan tinggi, akan tetapi karena usiamu yang masih amat muda, tentu engkau belum tahu akan hal yang terjadi puluhan tahun yang lalu dan tidak mengenal siapakah sebetulnya Bu Sam Kwi. Siapakah yang menjadi biang keladi penjajahan? Yang memungkinkan bangsa Mancu datang menyerbu dan menaklukkan seluruh pedalaman? Bukan lain adalah Bu Sam Kwi!”

Kalimat terakhir ini diucapkan dengan tekanan untuk mendatangkan kesan. Akan tetapi mereka semua melihat bahwa pemuda buntung itu tidak tampak kaget dan mendengarkan dengan tenang-tenang saja. Hal ini memang tidak aneh bagi Han Han yang sudah mendengar akan cerita itu.

Akan tetapi dua orang pendeta Tibet yang sakti itu mengira bahwa sikap tenang Han Han ini hanya karena pemuda ini sudah pandai menguasai hati dan pikirannya, pandai menguasai perasaannya, maka Thian Tok Lama melanjutkan.

“Pada waktu Kerajaan Beng diserbu bangsa Mancu, kalau semua panglima seperti Bu Sam Kwi dan lain-lain mengerahkah bala tentara mempertahankan, tentu bangsa Mancu dapat dipukul hancur. Akan tetapi sayang, kaisar terakhir Kerajaan Beng amat lemah sehingga para panglima memberontak. Bahkan Bu Sam Kwi yang merupakan pengkhianat terbesar telah bersekutu dengan bangsa Mancu dan menyerbu ke selatan. Berkat bantuan Bu Sam Kwi maka bangsa Mancu berhasil menguasai seluruh pedalaman. Dan sekarang, setelah terlambat, setelah melawan pun tiada gunanya lagi, Bu Sam Kwi menentang bangsa Mancu mati-matian dan semua ini untuk mempertahankan kedudukannya sebagai raja muda di Se-cuan!”

Han Han juga sudah mendengar akan hal itu, bahkan dia sudah tahu lebih banyak lagi, misalnya tentang keinginan Pangeran Kiu untuk mengadakan perdamaian dengan fihak Mancu yang tentu saja didasari keinginan mendapatkan kedudukan tinggi yang akan diberikan pemerintah Mancu kepadanya! Akan tetapi karena Han Han tidak peduli akan urusan itu yang dianggapnya bukan urusannya, kini mendengar penuturan Thian Tok Lama lalu bertanya.

“Apakah hubungannya semua itu dengan saya? Dan mengapa diceritakan kepada saya?”

Kini Pangeran Kiu yang melanjutkan.
“Suma-hiante, setelah kau mendengar penuturan Thian Tok Lama, tentu engkau sadar bahwa tidak semestinya engkau mengabdi kepada Bu Sam Kwi! Dia seorang yang palsu hatinya! Karena itu, saya mengulurkan tangan kepadamu, sebagai anggauta keluarga, untuk membantuku.” Pangeran Kiu memandang tajam penuh selidik.

“Akan tetapi, apakah bedanya? Andaikata saya membantu Pangeran, tentu untuk melawan barisan Mancu.” Han Han pura-pura bertanya.

“Omitohud....! Sungguh mengagumkan. Taihiap yang lihai masih terlalu muda, polos dan bersih!” Thai Li Lama yang kurus berkata.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar