FB

FB


Ads

Jumat, 26 Desember 2014

Pendekar Super Sakti Jilid 081

Akan tetapi, tiba-tiba selagi tubuhnya meloncat, kaki tunggalnya terbelit ujung rantai baja yang panjang dan kuat. Kiranya dia telah dikejar dan dikurung Sepasang Tikus Kuburan dan kakek kecil bertelanjang kaki yang telah menggerakkan rantai bajanya secara istimewa.

Rantai baja itu meluncur cepat dan berhasil melibat pergelangan kaki Han Han selagi pemuda ini meloncat. Han Han terkejut bukan main. Ia menendangkan kakinya namun tak dapat terlepas dari libatan rantai baja sehingga tubuhnya tertarik turun dan terbanting ke bawah!

Cepat ia menggunakan lengan kiri merangkul batang pohon agar tubuhnya tidak terbanting. Pada saat itu, tampak sinar berkelebat dan pedang di tangan Bhong Poa Sik telah menyambar ke arah lehernya!

Han Han menjadi marah sekali. Teriakan dahsyat keluar dari kerongkongannya, teriakan yang mengandung hawa khi-kang sehingga si manusia berkepala benjol itu kaget, gerakannya tertahan sedetik namun cukup bagi Han Han yang masih bergantung dengan lengan kiri pada batang pohon sedangkan kaki tunggalnya masih terlibat rantai itu. Han Han menggerakkan tangan kanannya, mencengkeram ujung pedang, mengerahkan sin-kang dan sekali betot pedang itu telah dirampasnya.

Pergelangan tangannya bergerak, pedang membalik dan kini ia telah memegang gagang pedang, langsung ia tusukkan ke lambung Bhong Phoa Sik. Pengerahan sin-kang tadi membuat dadanya makin sesak dan matanya menjadi gelap, namun Han Han masih dapat menusuk lambung lawannya dengan tepat sehingga pedang rampasannya menembus dari lambung kiri Bhong Poa Sik.

Bukan itu saja, juga berbareng ia mengerahkan tenaga pada kakinya, menarik kaki itu ke belakang. Bersama dengan jerit kematian yang keluar dari mulut Bhong Poa Sik bersama semburan darahnya, terdengar pekik kaget kakek yang memegang ujung rantai karena tubuhnya terbawa oleh tarikan kaki Han Han. Betapapun ia mempertahankan, tetap saja tubuhnya terbawa melayang ke arah Han Han.

“Cappppp!”

Han Han terkejut bukan main. Karena pandang matahya gelap, ia kurang waspada sehingga pada saat ia menusukkan pedang ke lambung Bhong Poa Sik dan membetot tubuh kakek yang memegang rantai, sebuah tusukan tombak pendek di tangan kiri Bhong Lek si Muka Tikus menancap di paha kaki tunggalnya!

Rasa sakit membuat Han Han makin marah. Tubuh kakek yang memegang rantai itu telah melayang dekat dan sekali Han Han menendang ke belakang, tumit kakinya menendang perut kakek itu yang seketika putus napasnya karena isi perutnya remuk!

Dan Bhong Lek yang tadinya girang dapat melukai paha Han Hang tiba-tiba melihat sinar bergulungan di depan matanya dan.... arwahnya melayang tanpa disadarinya karena tahu-tahu leher Si Muka Tikus ini telah putus oleh sinar pedang yang digerakkan Han Han.

Pemuda buntung ini berdiri dengan kaki tunggalnya yang terluka dan bercucuran darah, pedang di tangan kanan, tongkat di tangan kiri, tubuhnya agak bergoyang, rambutnya riap-riapan, mukanya beringas penuh keringat, pakaiannya berlepotan darahnya sendiri dan darah para korban yang tewas di tangannya. Dia siap menghadapi maut, akan tetapi kematiannya akan ditebus mahal sekali oleh musuh-musuhnya karena dia siap untuk membela diri mati-matian sampai tetesan darah terakhir!

Para perwira dan perajurit Mancu gentar menghadapi pemuda kaki buntung yang luar biasa itu. Kakak beradik Tikus Kuburan tewas, kakek Mongol yang terkenal lihai dengan rantai bajanya juga tewas, tiga orang murid Setan Botak yang amat lihai tewas pula, belum lagi banyak perajurit dan perwira yang roboh bahkan kedua orang pendeta Tibet masih duduk bersila memejamkan mata memulihkan tenaga! Namun, para perajurit yang mengurung itupun maklum bahwa pemuda buntung yang sakti itu sudah terluka hebat.

“Tangkap.... Bunuh....!” Teriakan-teriakan terdengar.

“Jangan dekati!” teriak seorang perwira. “Serang dengan anak panah....!”

Sibuklah para perajurit, seperti serombongan orang yang ketakutan mengurung seekor harimau yang ganas dan kuat. Han Han menggigit bibirnya. Tak mungkin dia menerjang maju karena kakinya, satu-satunya anggauta badan yang ia andalkan untuk menahan tubuh, telah terluka cukup parah. Tidak, kalau ia menggerakkan kakinya berarti ia memperlemah pertahanannya sendiri. Dia akan tetap berdiri di situ dan menghadapi semua terjangan musuh sampai mati!

“Serrr.... serrr-serrrrr....!”

Puluhan batang anak panah menyambar. Han Han memutar pedang rampasan di tangannya sehingga terdengar suara nyaring berkali-kali, tampak bunga api berpijar dan disusul pekik beberapa orang perajurit yang termakan anak panah mereka sendiri yang membalik oleh tangkisan Han Han.

Sebagian besar anak panah runtuh, ada sebatang menancap di antara rambut yang awut-awutan itu seperti hiasan rambut, dan sebatang lagi menancap di bajunya setelah melukai kulit pinggul, tidak dapat menembus kulit karena Han Han memutar pedang sambil mengerahkan sin-kang melindungi tubuh!

“Hentikan serangan....!”

Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dan ternyata di tempat itu telah datang pasukan yang terdiri dari seratus orang lebih yang merupakan pasukan pilihan Mancu, dikepalai oleh seorang wanita yang cantik sekali, cantik dan gagah bermata seperti bintang kembar.

“Han-koko....! Aihhh.... kalian orang-orang gila! Berani menyerang kakakku? Pergi semua! Pergi....! Dia itu Han-koko, kakakku....! Han-koko....!”

Gadis jelita yang gagah perkasa itu bukan lain adalah Lulu! Gadis ini, seperti kita ketahui, telah menjadi sumoi dari Puteri Nirahai di bawah gemblengan Puteri Maya, yaitu nenek bangsa Khitan yang sakti itu. Kemudian, karena pelaporan dari barisan yang menyerbu Se-cuan selalu terpukul mundur, Puteri Nirahai menjadi penasaran dan datang sendiri ke garis depan di perbatasan Se-cuan, mengajak Lulu.

Ketika itu Lulu sedang bertugas meronda tapal batas memimpin sebuah pasukan. Tentu saja segera mengenal Han Han dan kedatangannya pada saat yang amat tepat itu menyelamatkan kakaknya. Akan tetapi, dapat dibayangkan betapa kaget hati dara ini ketika melihat bahwa kakaknya itu berdiri hanya dengan sebuah kaki!

“Han-ko....!”

Ia menjerit lagi, meloncat turun dari kudanya dan melesat cepat seperti terbang, langsung menubruk dan berlutut merangkul kaki Han Han yang tinggal sebuah sambil menangis sesenggukan.

“Lulu....!”

Han Han juga memanggil nama adiknya dengan hati yang tidak karuan rasanya. Mula-mula semangatnya seperti terbang saking girangnya mendengar suara dan melihat betapa adiknya masih sehat dan selamat, akan tetapi hatinya menjadi perih melihat kedatangan adiknya itu bersama pasukan Mancu.

Karena itu, panggilannya keluar dengan suara seperti orang merintih. Betapapun juga, keharuan hatinya lebih besar dan dia pun menjatuhkan tubuhnya yang sudah lemas itu, berlutut dan merangkul adiknya dengan kedua lengannya. Sejenak mereka berangkulan dan bertangisan.






“Lulu.... kau.... bocah nakal.... ke mana saja kau pergi?”

Han Han menegur, tangan kiri diletakkan di atas pundak dara itu, tangan kanannya menghapus air mata yang bercucuran di atas pipi Lulu.

Akan tetapi Lulu tidak menjawab, melainkan meraba-raba paha kiri Han Han yang buntung, matanya yang basah air mata itu terbelalak memandang, kemudian ia meloncat bangun, matanya yang lebar indah itu liar memandang ke arah para perajurit Mancu yang sibuk mengurus teman-teman yang tewas dan merawat yang luka, wajahnya yang manis dan jelita itu menjadi beringas, kulit mukanya merah sekali.

“Siapa yang membuntungi kakimu, Han-ko? Siapa? Hayo katakan kepadaku agar dapat kubalas dia! Han-ko, katakan siapa yang membuntungi kakimu? Katakan....!”

Para perwira dan perajurit Mancu menjadi ketakutan dan saling pandang. Mereka tentu saja amat takut kepada adik seperguruan Puteri Nirahai ini, bukan hanya takut akan kepandaiannya yang kabarnya amat lihai seperti sang puteri, akan tetapi terutama takut akan kekuasaan dan kedudukan Puteri Nirahai sendiri.

“Lulu, bukan mereka.... kakiku sudah sangat lama buntung....” Han Han berkata.

“Aihhhhh, Koko....!”

Lulu menubruk lagi dan menangis, meraba-raba kaki yang buntung, lalu meraba-raba muka Han Han, menyibakkan rambut kakaknya yang awut-awutan menutupi muka yang tampan itu.

“Kau.... kau terluka hebat.... ahhh.... Koko, mengapa kau berada di sini?”

Kembali Lulu meloncat bangun dengan sigapnya, membalikkan tubuhnya dan membentak kepada para perajurit.

“Pergi kalian semua! Pergi dari sini! Kalau tidak, kubunuh semua! Pergi!”

Para perwira Mancu dan para perajurit terkejut, cepat-cepat mereka membawa mayat dan teman-teman yang terluka meninggalkan tempat itu. Dua orang pendeta Lama sudah tidak kelihatan lagi di tempat itu. Mereka berdua maklum bahwa setelah Lulu datang secara tidak terduga-duga, rencana mereka membunuh Han Han yang dianggap seorang lawan berbahaya itu menjadi gagal.

Setelah tempat itu bersih ditinggalkan semua pasukan, Lulu kembali menubruk Han Han.

“Han-ko, apakah yang terjadi dengan dirimu? Mengapa kakimu buntung? Siapa yang dapat melakukan perbuatan keji ini kepadamu, Han-koko?”

Kembali kedua mata gadis itu bercucuran air mata begitu ia melihat ke arah kaki buntung kakaknya.

Akan tetapi Han Han tidak menjawab.

Lulu masih menangis sambil membenamkan mukanya di dada kakaknya, kedua lengannya merangkul leher.

“Han koko.... setengah mati aku mencarimu.... bertahun-tahun amat lama rasanya, hampir aku putus harapan. Aku sampai di tempat sejauh ini juga mencarimu.... tapi.... siapa menduga bahwa kau.... ah, kakimu.... aduh, Koko....! Katakanlah, siapa orangnya yang begitu kejam membuntungi kakimu? Aku bersumpah untuk menuntut balas!”

Akan tetapi Han Han tetap diam tak menjawab.

Lulu yang diamuk keharuan, kegirangan, juga kemarahan melihat kaki Han Han buntung, tidak merasa betapa semua pertanyaannya tak terjawab. Kini ia mengangkat mukanya dan berkata penuh semangat.

“Jangan khawatir, Han-ko. Kalau musuh itu terlalu lihai, aku dapat membantumu. Aku, adikmu ini, sekarang bukanlah Lulu yang dahulu! Aku sudah memiliki kepandaian tinggi dan....”

Tiba-tiba Lulu menghentikan kata-katanya ketika ia melihat wajah Han Han. Kiranya sejak tadi kakaknya itu memandangnya dengan sepasang mata mendelik penuh amarah!

Wajah Han Han pucat, matanya mendelik seolah-olah mengeluarkan api, akan tetapi dari pelupuk matanya menetes-netes air mata! Pemuda yang terluka ini tidak hanya terluka pahanya yang robek oleh tusukan tombak Bhong Lek melainkan yang lebih berbahaya lagi adalah luka di dalam dadanya akibat pukulan Ciam Tek si Burung Hantu, napasnya makin sesak dan seluruh dada terasa panas.

Setengah mati ia mencari Lulu, bertahun-tahun ia lamanya dengan hati rindu dan penuh kekhawatiran, kini setelah bertemu, kegirangan hatinya ternoda oleh kenyataan bahwa adiknya telah memimpin pasukan Mancu!

“Koko.... Han-ko.... kau.... kau menangis? Kenapakah....?”

Dengan jari tangan gemetar Lulu mengusap air mata yang mengalir di atas pipi yang pucat itu. Gerakan Lulu yang penuh kasih sayang ini memancing naiknya sedu-sedan dari dada Han Han, tangan kirinya merangkul dan mengelus-elus rambut di kepala Lulu, akan tetapi tangan kanannya mengepal keras sekali. Mulutnya tidak mampu menjawab, dua macam perasaan bertanding dalam hatinya sendiri.

“Koko...., Koko.... bicaralah.... kau kenapakah? Kakimu....” Lulu terisak, “siapa yang membuntungi kakimu....?”

“Buk! Buk! Bukkk!”

Tiga kali kepalan tangan kanan Han Han menghantam tanah sehingga Lulu merasa betapa tanah yang diinjak tergetar. Ia kaget sekali dan memandang wajah kakaknya dengan kedua mata terbelalak lebar.

“Han-ko! Kenapa....?”

“Lulu! Buntungnya kakiku bukan hal penting!” Akhirnya ia dapat mengeluarkan kata-kata dengan napas terengah. “Urusan diriku tidak perlu dibicarakan! Akan tetapi engkau....! Engkau....!”

Lulu mengerutkan keningnya, memandang wajah kakaknya penuh selidik, lalu memegang kedua pundak kakaknya.

“Han-ko, apa maksudmu? Ada apa denganku....?”

Tiba-tiba Han Han menggunakan kedua tangannya mendorong sepasang lengan adiknya sehingga Lulu terjengkang ke belakang.

“Ada apa dengan engkau? Masih hendak bertanya lagi? Engkau.... menjadi pemimpin pasukan Mancu terkutuk!”

Seketika pucat wajah Lulu. Air mata yang tadi telah berhenti mengalir kini bercucuran dari sepasang mata yang tak pernah berkedip menatap wajah kakaknya. Perlahan ia bangkit kembali, merangkak menghampiri Han Han dan menubruk kakaknya sambil menangis sesenggukan.

“Han-koko.... lupakah engkau bahwa aku adalah seorang gadis Mancu? Anehkah kalau aku membantu bangsaku menghadapi para pemberontak....?”

“Plak! Plak!”

Kedua tangan Han Han menyambar dan sepasang pipi yang pucat itu ditamparnya. Lulu terpekik dan mundur ke belakang sambil meloncat bangun berdiri, memegangi kedua pipinya yang terasa panas dan sedikit berdarah keluar dari ujung bibir kiri yang pecah.

Matanya terbelalak, mukanya pucat sekali. Rasa sakit di kedua pipinya bukan apa-apa kalau dibandingkan dengan rasa nyeri yang menusuk masuk di hatinya. Ia ditampar kakaknya! Selamanya Han Han belum pernah memperlakukan dia seperti ini. Jangankan menampar, bersikap kasar sedikit pun belum!

Han Han ikut pula berdiri, bersandar pada tongkatnya. Wajahnya lebih pucat lagi dan matanya juga terbelalak ketika ia melihat darah di ujung bibir Lulu. Rambutnya terurai menutupi muka, ia sibakkan dengan gerakan kepala, akan tetapi rambut itu terurai kembali menutupi sebelah mukanya.

“Lulu....! Adikku....! Ahhhh.... apa yang telah kulakukan....?”

Suaranya gemetar, mengandung isak, penuh penyesalan seolah-olah ia baru sadar dari sebuah mimpi buruk.

Namun wajah adiknya yang biasanya berseri-seri, yang biasanya jenaka, yang biasarya selalu cerah seperti sinar matanari di siang hari, kini berubah, dingin dan seperti muka mayat, amat pucat, matanya tidak bersinar, bahkan suaranya berubah ketika bibir itu bergerak bicara.

“Han-koko....!” Ia berhenti dan terisak, susah payah menahan isak agar dapat bicara. “Kau tidak adil....! Memang aku membantu bangsaku karena aku memang bangsa Mancu. Memang aku telah bersalah, akan tetapi karena engkau tidak berada di sampingku, aku menjadi bimbang dan akhirnya terseret ke dalam perang. Akan tetapi engkau sendiri? Bukankah engkau menjadi seorang panglima Bu Sam Kwi yang mempertahankan Se-cuan? Sudah lama kami mendengar akan adanya panglima kaki buntung dari pihak musuh yang lihai. Tak kusangka engkaulah orangnya! Engkau seorang berbangsa Han membela bangsamu menghadapi Mancu, sebaliknya aku seorang berbangsa Mancu membela bangsaku menghadapi musuh. Siapakah yang benar di antara kita? Siapa yang bersalah? Engkau.... telah menamparku, bukan menampar pipi melainkan menampar dan menghancurkan hatiku. Ah, Han-koko, engkau tidak adil....!”

Lulu mendekap muka dengan kedua tangan dan air matanya mengalir turun melalui celah-celah jari tangannya.

“Lulu...., Moi-moi adikku.... kau ampunkan aku....”

Han Han melangkah maju hendak memegang lengan adiknya. Akan tetapi sentuhan jari tangannya seperti ujung api menyengat tangan Lulu yang cepat menarik tangannya, memandang dengan mata basah penuh penyesalan, kemudian terisak dan gadis ini membalikkan tubuhnya dan lari dari tempat itu.

“Lulu....!”

“.... engkau tidak adil....! Engkau kejam.... tidak adil....!”

Suara Lulu yang bercampur tangis itu terdengar oleh Han Han seperti tusukan pedang menembus jantungnya. Ia meloncat dan mengejar sambil berteriak-teriak seperti orang gila,

“Lulu....! Lulu adikku....!”

Akan tetapi ia terguling roboh. Pertemuan dengan adiknya yang mengakibatkan pukulan batin hebat itu membuat luka di dadanya makin parah. Ia masih memanggil-manggil nama Lulu sambil merangkak, kemudian bangkit perlahan-lahan dan berjalan terhuyung-huyung menyeret tongkat, berloncatan tanpa mempedulikan pahanya yang mengucurkan darah.

Namun Lulu telah jauh, telah lenyap dari situ. Biarpun bayangan gadis itu tidak tampak lagi, namun masih terngiang di telinga Han Han, merupakan tusukan-tusukan yang membikin hatinya perih, jeritan adiknya tadi,

“Engkau tidak adil....! Tidak adil.... tidak adil....!”

Han Han hampir tak kuat menahan. Ia merangkul sebatang pohon dan menangis, mengguguk seperti anak kecil. Ia sadar akan kesalahannya terhadap Lulu tadi. Memang dia tidak adil terhadap Lulu. Akan tetapi, bukankah dia mendengar bahwa Lulu telah menjadi adik angkat Sin Lian dan bahkan ikut pula membantu gerakan para pejuang? Mengapa kini Lulu menjadi pemimpin pasukan Mancu? Benarkah dia tidak adil? Siapa yang tidak adil? Siapa yang salah? Siapa yang benar?

Han Han menggeleng kepala dan berbisik,
“Tidak ada yang salah kecuali perang! Yang tidak adil adalah perang! Terkutuklah perang!”

Dan pemuda ini lalu terpincang-pincang meninggalkan tempat itu, terus memasuki hutan tanpa tujuan. Hatinya kosong, lenyap sudah gairah hidup. Pikirannya pun kosong, dan ia hanya mengikuti gerak kaki berloncatan secara otomatis. Akhirnya, di dalam jantung hutan yang lebat, ia terguling pingsan!

“.... engkau tidak adil....! Hu-huuu-huuuuu.... tidak adil.... tidak adil....! Hi-hiii-hiiiii.... hu-huuuuu!”

Lulu berlari cepat sekali sambil menangis dan merintih-rintih di sepanjang jalan, kedua tangannya menggosok-gosok kedua mata seperti anak kecil menangis, beberapa kali ia terhuyung karena kakinya tersandung batu atau akar pohon.

“Sumoi....!”

Lulu terkejut, seperti sadar dari mimpi, menahan kakinya dan berdiri memandang melalui air matanya. Nirahai telah berdiri di depannya. Wajah yang cantik jelita dan biasanya bersikap ramah penuh kasih kepadanya itu kini kelihatan marah, kedua tangan bertolak pinggang.

Akan tetapi dalam kesedihannya, Lulu tidak melihat perubahan ini. Begitu bertemu sucinya, ia lalu menubruk, merangkul dan menangis dipundak Nirahai.

“Aduh, suci.... hu-huuuuu....!”

“Hemmm, tenanglah dan jangan seperti bocah cengeng! Bicaralah!” kata Nirahai yang masih bersikap marah.

“Suci.... dia.... dia....”

Lulu menangis lagi, terlampau sakit hatinya oleh sikap kakaknya tadi sehingga sukar untuk bicara.

Nirahai memegang kedua pundak Lulu dan mendorongnya mundur.
“Sumoi, hentikan tangismu! Apa yang telah kudengar dari laporan pasukanmu? Engkau telah melindungi musuh!”

Lulu mengusap air matanya, kemudian mengangkat muka memandang Nirahai.
“Suci, dia.... dia adalah Han-koko yang kucari-cari!”

Nirahai mengangguk.
“Aku sudah mendengar. Jadi panglima pemberontak berkaki buntung itulah Han Han yang selama ini kau cari-cari? Di mana dia sekarang?”

“Kau.... kau.... mau apakan dia....?”

“Mau apakan dia? Dia adalah panglima musuh! Harus ditawan atau dibunuh!”

“Suci....!”

“Sumoi, tidak tahukah engkau bahwa tadi engkau telah melakukan perbuatan yang khianat? Engkau membantu musuh!”

“Tapi dia kakakku!” Lulu membantah penasaran.

“Tapi dia panglima musuh!” Nirahai membentak, lebih penasaran lagi.

Lulu menjadi lemah kembali dan meratap,
“Suci.... suci.... ingatlah, dia kakakku! Bagaimana aku dapat memusuhinya?”

Nirahai menarik napas panjang.
“Hemmm, sudahlah! Biarpun kakak, hanya kakak angkat. Andaikata kakak kandung sekalipun, kalau membantu musuh, harus ditentang. Lulu, dalam masa perang, urusan pribadi harus dikeduakan, yang diutamakan adalah urusan negara! Aku tidak membenci kakakmu yang belum pernah kujumpai, bahkan aku tidak pernah membenci para pemberontak secara pribadi, akan tetapi aku akan membunuh mereka sebagai musuh negara. Sudah, biarlah untuk sekali ini, aku tidak akan mengejar panglima buntung dari Se-cuan itu. Mari kita kembali ke pesanggrahan kita.”

Lulu menggeleng kepala.
“Tidak, suci. Setelah melihat kenyataan bahwa Han-koko berada di fihak musuh, aku tidak mau perang lagi. Aku akan pergi.”

“Ke mana?” Nirahai menyembunyikan kemarahannya. “Pergi menyeberang ke Se-cuan membantu pemberontak?”

Lulu menggeleng kepala dengan sedih.
“Tidak, aku mau pergi menjauhi semua ini, mau menjauhi perang yang menghancurkan hidupku. Aku tidak sudi lagi terlibat....”

“Sumoi! Engkau harus kembali bersama aku! Ini merupakan perintah!”

Baru sekali ini selama menjadi sumoi Nirahai, sucinya itu mengeluarkan suara keras dan memperlihatkan sikap marah. Hal ini mengingatkan Lulu akan sikap Han Han tadi dan sakitlah hatinya. Ia pun memandang sucinya dengan sinar mata penuh penasaran dan tentangan, lalu bertanya dengan suara tegas.

“Perintah siapa kepada siapa?”

“Perintah seorang pemimpin kepada bawahannya! Perintah seorang wakil kaisar kepada warga negaranya! Perintah seorang suci kepada sumoinya!”

Lulu menggeleng kepala.
“Tidak, suci. Apapun yang terjadi, aku tidak mau kembali ke markas, tidak mau ikut perang. Aku hendak pergi ke mana aku suka!”

“Lulu! Membangkang berarti memberontak dan kau bisa dihukum!”

“Terserah!”

“Sumoi, engkau hendak melawan sucimu? Engkau berani melawan aku?”

“Suci, ketika aku ikut bersamamu, tidak ada perjanjian jual beli kebebasanku. Kalau sekarang engkau hendak memaksa, hendak mengganggu kebebasanku, terpaksa aku melawanmu. Melawan engkau sebagai orang yang hendak memaksaku, bukan sekali-kali melawan bangsa atau negara! Aku tidak peduli akan urusan bangsa dan negara, tidak peduli akan perang, aku muak! Biarkan mereka yang suka perang itu maju sendiri mempertaruhkan nyawa. Bagiku, terima kasih! Aku tidak mau kembali dan kalau suci hendak memaksa, apa boleh buat, aku melawan sebisaku!”

Nirahai menghela napas, wajahnya kelihatan penuh kecewa dan sesal. Dia amat mencinta Lulu yang dianggapnya sebagai adik sendiri, tidak ingin menggunakan kekerasan. Akan tetapi dia pun sudah mengenal watak Lulu yang sekali menentukan sikap akan dibela sampai mati.

Betapapun juga tak mungkin ia melepaskan sumoinya ini. Kalau sampai sumoinya ini kemudian membantu pemberontak, hal itu merupakan malapetaka yang lebih hebat lagi. Bayangkan saja. Sumoinya, seorang gadis Mancu pula, membantu pemberontak melawan bangsa sendiri! Tidak, ia harus mencegah hal yang terkutuk itu. Lebih baik melihat sumoinya mati di depan kakinya untuk kemudian ia tangisi dan kabungi daripada melihat sumoinya menjadi pengkhianat!

“Sumoi, sekali lagi, marilah kau ikut aku kembali dan kita bicarakan semua urusan dengan baik. Jangan menuruti perasaan yang sedang terganggu. Perlukah urusan begini saja sampai mematahkan ikatan persaudaraan dan kasih di antara kita?” Suara Nirahai yang lemah lembut ini membuat Lulu kembali terisak.

“Suci.... suci.... kau kasihanilah aku, biarkan aku pergi....” ia meratap.

“Sumoi!” Nirahai membentak lagi. “Engkau seorang gadis yang perkasa! Engkau adalah sumoiku! Engkau adalah murid Subo Maya! Mengapa sikapmu begini lemah? Hayo ikut aku kembali!”

Lulu menggeleng kepala,
“Tidak mau, suci.”

“Hemmm, baik. Kita lihat saja siapa di antara kita yang lebih kuat. Akan tetapi ingat, sekali ini kita bukan sedang berlatih!”

Nirahai berkata mengejek dan menubruk ke depan mengirim totokan ke arah leher Lulu disusul cengkeraman ke arah pundak.

Lulu cepat mengelak totokan dan menangkis cengkeraman, bahkan langsung ia membalas dengan pukulan dari ilmu silatnya yang ampuh dan yang ia latih dari Puteri atau Nenek Maya, yaitu Toat-beng Sian-kun.

Kelihatannya ringan saja, pukulan ini yang mengarah dada dan perut Nirahai dengan kedua tangan terbuka. Akan tetapi tentu saja mengenal pukulan sakti, cepat ia mengelak dan balas menyerang. Makin lama makin cepat gerakan mereka sehingga yang tampak hanya dua bayangan berkelebat, kadang-kadang menjadi satu!

Betapapun lihainya Lulu, tentu saja dia tidak dapat menandingi kehebatan Nirahai yang memiliki banyak ilmu silat tinggi yang luar biasa. Sebentar saja, tidak sampai tiga puluh jurus, Lulu mulai terdesak hebat dan hanya mengandalkan kelincahan gerakannya yang ia dapat dari latihan di Pulau Es saja yang membuat ia dapat bertahan dari serangan Nirahai yang bertubi-tubi. Lulu mulai berloncatan ke sana-sini dan terus mundur.

“Lu-moi, jangan takut! Aku datang membantumu!”

Tiba-tiba terdengar seruan nyaring dan muncullah Sin Kiat yang langsung menyerang Nirahai dengan pedangnya. Gerakan murid Im-yang Seng-cu yang berjuluk Hoa-san Gi-hiap ini cepat dan dahsyat sekali, pedangnya mengeluarkan suara berdesing dan berubah menjadi sinar terang bergulung-gulung.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar