FB

FB


Ads

Senin, 22 Desember 2014

Pendekar Super Sakti Jilid 064

Puteri Nirahai memenuhi janjinya. Lulu diterima di istana dan tidak dituntut oleh kaisar, bahkan Pangeran Ouwyang Cin Kok dan puteranya pura-pura tidak tahu bahwa gadis yang menjadi adik angkat Han Han itu kini kembali ke istana.

Lulu tekun belajar ilmu silat di bawah bimbingan Nenek Puteri Maya yang amat sakti itu, juga Nirahai digembleng oleh nenek ini. Ternyata bahwa yang dilatih oleh Lulu ketika ia berada di Pulau Es adalah Ilmu Silat Hong-in-bun-hoat, yaitu ilmu silat yang dasar geraknya mengambil dari coretan huruf-huruf indah. Karena ketika berlatih di Pulau Es itu tidak ada yang memimpin, maka Lulu hanya mempelajari secara ngawur saja, sehingga ia hanya menguasai kulitnya, tidak menguasai isinya. Kini, setelah digembleng oleh Puteri Mayat baru ia dapat mengerti inti dari Ilmu Silat Hong-in-bun-hoat.

Ilmu Silat Hong-in-bun-hoat adalah ilmu silat sakti yang diciptakan oleh Bu Kek Siansu, seorang manusia dewa yang selain sakti dalam ilmu silat, juga seorang ahli dalam ilmu sastra. Oleh kakek dewa ini kedua ilmu itu digabungkan sehingga dalam gerakan ilmu silat itu dimasukkan unsur-unsur keindahan tulisan, seolah-olah yang menggunakan ilmu silat ini sedang mencoret-coret tulisan huruf indah di udara. Karena inilah maka disebut Hong-in-bun-hoat (Ilmu Silat Sastra Angin dan Awan).

Dahulu, jika Lulu bersilat, kelihatannya hanya indah sehingga oleh Han Han dikatakan sebagai tarian. Kini, setelah mengetahui inti sari ilmu itu, setiap gerakan Lulu adalah didasari goresan menulis huruf.

Di jaman dahulu, Ilmu Hong-in-bun-hoat ini oleh Bu Kek Siansu hanya diturunkan kepada pendekar sakti Suling Emas. Kemudian diajarkan pula kepada muridnya yang terkasih, yaitu Kam Han Ki yang kini menjadi Koai-lojin. Oleh Kam Han Ki inilah ilmu itu disusun menjadi kitab yang dipelajari Lulu (Kam Han Ki di waktu muda dalam cerita tersendiri: ISTANA PULAU ES).

Selain dilatih ilmu silat yang pada dasarnya telah dipelajari Lulu ini, juga Nenek Maya menurunkan ilmu yang amat dahsyat, yaitu ilmu Toat-beng-bian-kun (Ilmu Silat Tangan Kapas) yang kelihatannya dimainkan tanpa tenaga, dengan kedua tangan berubah sehalus kapas, namun mengandung inti tenaga sin-kang yang dapat menahan tenaga sin-kang lawan yang kuat.

Lulu amat berbakat dan juga amat cerdik sehingga dalam waktu singkat, hanya beberapa bulan saja, ia telah dapat menguasai kedua ilmu itu sehingga tingkat kepandaiannya melonjak cepat bukan main. Hal ini adalah karena ia telah memiliki tenaga sin-kang murni yang ia dapatkan ketika bersama Han Han melatih diri di Pulau Es.

Adapun Nirahai yang memang tadinya sudah lihai bukan main sebagai pewaris ilmu-ilmu dahsyat dari Mutiara Hitam, yang dahulunya menjadi ilmu-ilmu tangguh dari tokoh wanita perkasa Tok-siauw-kwi Liu Lu Sian ibu kandung Suling Emas, kini setelah digembleng oleh Nenek Maya, kepandaiannya pun meningkat secara hebat sekali.

Bahkan ia telah dilatih untuk mainkan ilmu pedang Pat-sian Kiam-hoat yang dimainkan dengan suling emas yang dipinjamnya dari Gu Toan si kakek bongkok penjaga kuburan Suling Emas. Kini dara perkasa ini menguasai dua ilmu pedang yang sebenarnya berlawanan, yaitu Pat-mo Kiam-hoat (Ilmu Pedang Delapan Iblis) dan Pat-sian Kiam-hoat (Ilmu Pedang Delapan Dewa). Dengan penggabungan dari kedua ilmu pedang yang berlawanan ini dapat dibayangkan betapa lihainya Puteri selir Kaisar Mancu ini.

Makin lama, Lulu makin betah tinggal di istana yang indah dan mewah, juga yang mencukupi segala kebutuhannya. Apalagi Nirahai amat baik kepadanya, memperlakukannya sebagai adik sendiri. Dan memang sesungguhnya Nirahai amat mencinta Lulu sehingga Lulu yang halus perasaannya itu membalas kasih sayang sucinya.

Mereka amat rukun dan kerukunan ini mempengaruhi juga pendirian Lulu tentang pertentangan antara Kerajaan Mancu dan pemberontak yang berpusat di Se-cuan. Memang pada mulanya, secara terus terang ia berani menentang Nirahai dengan mengemukakan pendapatnya yang timbul dari pengalamannya.

“Suci, sebetulnya aku tidak ingin mencampuri tugas suci sebagai puteri Kaisar dan sebagai pemimpin para pengawal. Akan tetapi karena suci ingin mengajak aku membantu, perlu kuberitahukan kepadamu bahwa aku tidak mempunyai kesan baik terhadap sepak-terjang bangsaku sendiri!”

Nirahai memandang tajam dan berkata,
“Sumoi, lupakah engkau bahwa keluarga orang tuamu dibasmi oleh para pemberontak? Kalau engkau tidak memiliki kesetiaan dan kebaktian kepada bangsa dan negara, hal itu masih dapat kumengerti karena sejak kecil engkau hidup sebatangkara bahkan kemudian menjadi adik angkat kakakmu Han Han. Akan tetapi, aku tidak percaya bahwa engkau akan melupakan ayah bundamu yang tewas oleh para pemberontak. Aku tidak percaya bahwa engkau akan tidak berbakti kepada orang tuamu!”

Lulu mengerutkan alisnya yang hitam. Sepasang matanya memandang Nirahai dengan mata terbelalak.

“Yang kau katakan pemberontak itu sebetulnya adalah pejuang-pejuang yang baik, suci. Sebailknya, dengan mata kepala sendiri aku menyaksikan betapa kejamnya tentara Mancu yang membunuhi rakyat yang tak berdosa, memperkosa, merampok, membunuh seperti sekawanan binatang buas saja.”

“Hemmm, pendirianmu itu salah sungguhpun aku tidak sangsi akan keteranganmu tentang perbutan sebagian tentara Yang kejam. Akan tetapi, apakah kau anggap bahwa perbuatan para pemberontak yang membunuhi ayahmu sekeluarga itu juga tidak kejam?”

“Memang kuakui bahwa mereka telah membunuh orang tuaku bahkan telah kudapatkan pembunuhnya. Akan tetapi ternyata dia seorang gagah yang melakukan pembunuhan itu demi perjuangan, demi pembelaan terhadap bangsa mereka. Sama sekali tidak terkandung hati benci di dada mereka terhadap perorangan, bahkan mereka tidak mengenal orang tuaku yang tewas sebagai akibat perang.”

Nirahai mengangguk-angguk.
“Memang aku percaya benar demikian. Akan tetapi engkau pun lupa bahwa aku dan teman-teman yang memimpin usaha penindasan para pemberontak pun terdorong oleh tugas membela bangsa dan negara! Aku seorang bangsa Mancu, kalau aku tidak membela bangsa Mancu, habis bagaimana? Engkau pun seorang gadis Mancu, sudah selayaknya kalau engkau membantu perjuangan bangsa sendiri. Kini para pemberontak yang bersarang di Se-cuan harus dihancurkan, kalau tidak, perang tidak akan pernah terhenti dan penderitaan rakyat pun takkan dapat dihabiskan.

Kalau kau menganggap bahwa orang tuamu tewas dalam perang dan engkau tidak menaruh dendam perorangan, engkau pun harus dapat mengerti bahwa perbuatan tentara-tentara kita itupun adalah akibat perang dan bukan merupakan perbuatan kejam perorangan, melainkan, kekejaman perang. Akan tetapi percayalah bahwa pimpinan kita tidak menghendaki hal demikian itu terjadi. Hal itu hanya terjadi sebagai akibat-akibat yang berkelebihan dari perang yang memang ganas.”

Lulu merasa terdesak karena pikirannya yang cerdik dapat menangkap kebenaran-kebenaran dalam ucapan Nirahai.

“Apakah engkau percaya bahwa aku adalah seorang manusia yang begitu curang sehingga sudi mengadu domba Hoa-san-pai dan Siauw-lim-pai kalau bukan karena hal itu kuanggap sebagai taktik perjuangan? Aku tidak mempunyai permusuhan pribadi dengan mereka, bahkan aku mengagumi tokoh-tokoh dan pendekar-pendekar dari kedua partai itu. Akan tetapi, sebagai pejuang untuk negaraku, aku melihat bahaya besar kalau sampai kedua partai yang kuat itu membantu pemberontak, maka jalan satu-satunya adalah mengadu domba mereka agar mereka tidak berkesempatan membantu pemberontak sehingga kedudukan para pemberontak tidak begitu kuat, mudah dihancurkan. Aku tidak mempunyai permusuhan pribadi dengan dua tokoh di antara Siauw-lim Chit-kiam yang kukagumi karena kegagahan mereka, akan tetapi aku membunuh mereka, sebagai musuh negara, bukan sebagai musuhku!”






“Kalau seorang saudaramu kebetulan memihak pejuang yang menentang kerajaan, apakah engkau juga akan membunuhnya, suci?”

“Tentu Saja! Kalau dia memihak pemberontak, dia berarti menjadi musuh negara! Bagi seorang pejuang yang mencinta bangsa dan negaranya, musuh sendiri bisa dimaafkan, akan tetapi musuh negara tidak!”

“Wah, kejinya! Aku benci....! Aku benci perang!”

Lulu mencela, teringat akan kakaknya. Kalau Han Han kebetulan membantu pejuang, apakah dia pun harus memusuhi kakak yang disayangnya itu? Tidak mungkin!

Nirahai merangkul leher Lulu dan mengecup pipinya.
“Adikku yang baik, siapakah orangnya yang mencinta perang? Hanya orang gila yang miring otaknya saja yang tidak membenci perang. Aku pun benci dengan perang. Aku pun rindu akan perdamaian di mana hidup manusia ini tenang tenteram, di mana nyawa manusia dihargai, di mana hak hidup seorang manusia lebih terjamin, di mana harga seorang manusia lebih dinilai tinggi.

Akan tetapi, perang timbul bukan atas kehendak seseorang, dan kalau sudah timbul dan kita terseret di dalamnya, hanya dengan kemenangan saja perang itu dapat dihentikan! Menang atau kalah! Itulah persoalannya dan sekuat tenaga tentu saja kita ingin menang. Dengan kemenangan, atau pun dengan kekalahan, perang baru habis dan perdamaian timbul. Percayalah, aku ingin sekali menikmati masa damai di mana kita tidak akan bicara tentang bunuh-membunuh, tentang siasat-siasat curang, tentang taktik-taktik memalukan dan sebagainya. Prikemanusiaan akan dijunjung tinggi oleh setiap orang. Akan tetapi untuk mendapatkan perdamaian itu, kita semua harus sekarang mengerahkan tenaga untuk menumpas musuh sehingga perang pun terhenti.”

Lulu termenung. Ucapan sucinya itu meresap ke dalam hatinya dan diam-diam ia kagum sekali. Sucinya ini cantik, berkedudukan tinggi, berpengaruh dan berkuasa, juga memiliki pandangan yang luas seperti kakaknya. Han-koko! Ah, alangkah cocoknya kalau Han-koko dapat menjadi suami Nirahai! Pikiran yang tiba-tiba menyelinap di kepalanya yang kecil itu membuat ia serta-merta bertanya.

“Suci, kalau begitu engkau tidak mempunyai rasa benci perorangan kepada bangsa pribumi?”

Nirahai mengangkat alisnya.
“Eh? Tentu saja tidak!”

“Juga kepada para pejuang kau tidak benci?”

Nirahai tersenyum dan menggeleng kepalanya.
“Tidak sama sekali, sumoi. Bahkan aku merasa kagum akan kebudayaan mereka, akan kegagahan para pendekar. Bagaimana aku bisa membencinya kalau tokoh-tokoh perkasa yang kukagumi seperti Suling Emas, Mutiara Hitam dan lain-lain adalah bangsa Han juga? Malah aku adalah keturunan Khitan, dan karena Kerajaan Khitan memiliki darah campuran dengan bangsa Han, kaisar wanita Khitan adalah isteri Suling Emas, sedikit banyak ada pula darah Han di tubuhku.”

“Wah, kalau begitu, tentu engkau tidak akan keberatan kalau menikah dengan seorang bangsa Han, bukan?”

Kembali Puteri cantik itu membelalakkan matanya, lalu tertawa geli dan mencubit pipi Lulu.

“Huh, engkau menggemaskan dan genit, sumoi. Bertanya yang bukan-bukan!”

Akan tetapi Lulu mendesak,
“Aku tidak main-main, suci, melainkan benar-benar ingin mengetahui isi hatimu. Bagaimana, andaikata engkau menikah dengan seorang pribumi, apakah engkau akan merasa terlalu rendah?”

Nirahai menghela napas panjang.
“Ratu Khitan dahulu menikah dengan Suling Emas seorang pendekar Han. Aku tidak memandang rendah bangsa Han, apa alasanku untuk merasa rendah? Akan tetapi, adikku yang nakal. Pernikahan harus berdasarkan cinta kasih kedua fihak, tanpa cinta mana bisa hidup bahagia sebagai suami isteri? Pula, aku seujung rambut pun belum memikirkan hal itu. Perang belum berakhir, mana bisa berpikir tentang cinta dan pernikahan?”

Lulu memandang dengan wajah berseri.
“Wah, engkau tentu akan menjadi seorang isteri yang hebat, suci! Dan menurut pandanganku, engkau hanya patut menjadi isteri seorang yang paling mulia didunia ini!”

“Hi-hik, kau lucu! Siapa yang paling mulia di dunia ini? Raja kahyangan?”

“Bukan, suci. Bukan raja bukan pangeran. Orang biasa saja, seorang pria sederhana, yang budiman, gagah perkasa, tampan, seorang yang semulia-mulianya di dunia ini....” Pandang mata Lulu merenung jauh, matanya bersinar-sinar.

“Siapa dia?”

“Han-koko!”

“Aihhh...., kakak angkatmu itu? Pewaris pusaka Pulau Es? Hemmm, engkau berkelakar, sumoi.”

“Tidak, suci. Dia seorang yang semulia-mulianya, tiada keduanya di dunia ini. Dan hanya dialah yang paling patut menjadi suamimu!”

Nirahai tersenyum dan menarik napas panjang.
“Sumoi, enak dan mudah saja kau bicara. Aku belum melihat dia, dia pun belum pernah melihat aku. Andaikata kami saling bertemu, belum tentu pula dia dan aku akan saling jatuh cinta.”

“Pasti!” Lulu berteriak. “Pria mana yang takkan jatuh hati melihat engkau? Termasuk kakakku. Dan wanita mana yang tidak akan mencintanya? Sekali bertemu dengan dia, aku tanggung engkau akan terjungkir balik....!”

“Hahhh....? Kau anggap aku selemah itu mudah dijungkir balikkan?”

Nirahai menantang akan tetapi pandang matanya berseri tanda bahwa dia tidak merasa direndahkan oleh sumoinya yang nakal itu.

“Eiiit-eiit-eiiittttt, sabar, suci! Bukan orangnya yang dijungkir balikkan, akan tetapi hatimu! Engkau tentu akan jatuh bertekuk lutut....”

“Heiiiii....?”

“Yang bertekuk lutut hatimu, engkau akan jatuh cinta....”

“Sudah, sudah eh, sumoi, engkau mencinta betul kepada kakakmu itu, ya?”

Lulu mengerutkan keningnya dan menjawab sungguh-sungguh,
“Aku mencintanya dengan seluruh jiwa ragaku, suci. Tidak ada yang lebih kucinta daripada Han-koko.”

“Nah, nah.... kalau begitu engkaulah yang patut menjadi isterinya!”

Lulu meloncat bangun seperti diserang ular berbisa.
“Suci, engkau gila....?”

Nirahai menuding-nuding telunjuknya ke hidung Lulu.
“Eh, eh, beginikah sikap seorang sumoi? Bocah kurang ajar, engkau memaki sucimu gila?” Akan tetapi mata yang tajam bening itu masih berseri, tidak marah.

“Eh, eh maaf, suci. Maksudku, perkataan suci itu benar-benar tidak masuk akal. Dia itu kakakku, ingat? Jangan bicara begitu, aku marah, suci!”

“Sudahlah, maafkan aku. Kita lihat saja nanti, apakah kakakmu itu benar-benar sehebat yang kau banggakan dan pamerkan.”

“Aku tanggung engkau akan kagum! Bahkan wanita-wanita pendekar yang cantik jelita tergila-gila kepadanya. Seperti Hoa-san Kiam-li, seperti Enci Sin Lian....” tiba-tiba Lulu terhenti dan teringat, wajahnya menjadi seperti kaget, matanya merenung dan kedua pipinya merah.

Ia teringat betapa ia pernah bicara dengan Lu Soan Li tentang kakaknya bahkan ia telah menawarkan kakaknya itu menjadi suami Lauw Sin Lian. Kini dia menawarkan kakaknya menjadi suami Nirahai! Wah, tanpa disadarinya ia telah menjadi perantara dari tiga orang gadis!

“Ada apakah, sumoi?”

Nirahai bertanya ketika melihat perubahan pada wajah sumoinya yang termenung seperti orang bingung.

“Ti.... tidak apa-apa, suci.”

“Engkau memang aneh, mari kita berlatih saja agar kelak kalau kakakmu datang, tidak mudah bagi dia untuk menjungkir balikkan aku, hi-hik!”

Akan tetapi Lulu masih termenung.
“Suci, bagaimana kabarnya dengan usahamu menyelidiki tentang dia?”

Nirahai menarik napas panjang. Hampir setiap hari ia dibikin repot oleh pertanyaan Lulu. Tentu saja dia sudah menyelidiki dan malah sudah mendengar tentang keributan yang ditimbulkan oleh Han Han di rumah Pangeran Ouwyang Cin Kok, betapa kemudian Han Han ditangkap ketika dikeroyok oleh Toat-beng Ciu-sian-li dan Gak Liat, lalu dibawa pergi oleh nenek itu.

Dia sudah pula menyuruh orang menyelidiki ke In-kok-san, akan tetapi karena keadaan di situ dapat dikatakan menjadi sarang musuh, amatlah sukar menyelidik ke sana dan tidak ada penyelidik yang tahu apa yang terjadi dengan diri Han Han. Hanya diketahui bahwa pemuda itu lenyap, entah masih hidup entah sudah mati. Tentu saja ia tidak menceritakan semua itu kepada Lulu, hanya menceritakan bahwa ketika dikeroyok Oleh Ma-bin Lo-mo dan Gak Liat seperti yang diketahui Lulu ketika ditangkap Ouwyang Seng, pemuda itu dapat melarikan diri.

“Sampai sekarang belum ada beritanya, sumoi. Kakakmu itu orang aneh sekali, dan entah menghilang ke mana. Akan tetapi aku masih mengirim penyelidik kesemua jurusan.”

Demikianlah, Lulu berlatih terus bersama Nirahai dan ilmu kepandaiannya meningkat secara hebat sehingga diam-diam Nirahai sendiri menjadi kagum. Puteri yang sakti ini maklum bahwa kalau dia sendiri tidak digembleng oleh Maya, kiranya kepandaian Lulu sekarang sudah melampaui tingkatnya ketika ia belum menjadi murid nenek sakti itu.

Setahun mereka berlatih tekun. Pada suatu hari, Nirahai pulang dari pertemuannya dengan para pembantunya, langsung mengunjungi Lulu yang sedang berlatih di depan Nenek Maya di kebun bunga belakang tempat tinggal mereka di lingkungan istana. Wajah Nirahai tampak tegang dan datang-datang berkata.

“Wah, kembali pasukan-pasukan kita terpukul mundur di Se-cuan! Di sana berkumpul banyak sekali orang pandai sehingga kini Kang-thouw-kwi Gak Liat sendiri mengirim berita minta bantuan orang-orang pandai. Agaknya teecu sendiri harus berangkat ke sana, subo. Dan mengingat bahwa di fihak musuh banyak terdapat orang sakti, teecu mengharap subo dan sumoi suka pula membantu.”

Nenek Maya tersenyum.
“Aku sudah tua untuk berperang. Engkau berangkatlah bersama Lulu, dan aku sendiri akan keluar dari istana karena sudah bosan di sini. Kelak kalau ada waktu, aku akan menyusul ke sana, hanya untuk melihat-lihat.”

Nirahai tidak berani memaksa.
“Sumoi, sekali ini, sucimu benar-benar membutuhkan bantuanmu. Tentu engkau suka membela bangsa dan negara, bukan? Selain itu, hanya daerah barat yang belum diselidiki. Siapa tahu kita akan dapat mendengar tentang kakakmu di barat.”

Memang Nirahai pandai sekali. Dia mendengar akan munculnya seorang panglima musuh yang berkaki buntung, yang kabarnya memiliki ilmu kepandaian yang luar biasa. Dia menduga bahwa pemuda buntung itu agaknya Han Han, akan tetapi ia ragu-ragu karena kalau Han Han, mengapa kakinya buntung? Pula, kalau ia menceritakan hal ini kepada Lulu dan sumoinya itu kemudian menduga bahwa Han Han membela musuh, agaknya akan sukar mengajaknya untuk membantu.

Lulu mengangguk.
“Baiklah, suci. Biarpun aku juga seperti subo, tidak suka perang, akan tetapi biarlah aku hitung-hitung membalas budimu.”

Nenek Maya lalu meninggalkan istana dan mendapat kehormatan besar karena kaisar sendiri mengantar keberangkatannya dengan pesta perpisahan. Kemudian tiga hari berikutnya, Puteri Nirahai bersama Lulu berangkat ke Se-cuan, memimpin sebuah pasukan besar.

Puteri Nirahai nampak gagah sekali dengan pakaian perangnya, gagah dan cantik jelita. Adapun Lulu yang tidak mau memakai pakaian perang, tidak mau pula menerima pangkat panglima, berpakaian biasa yang ketat dan dia menunggang kuda di samping Nirahai.

Banyak orang di sepanjang jalan mengelu-elukan keberangkatan Puteri Nirahai yang telah banyak dikenal. Akan tetapi mereka kagum dan heran melihat seorang gadis cantik berpakaian biasa yang berkuda di samping puteri itu, karena memang selama berada di kota raja, Lulu tidak pernah keluar dari istana, juga Puteri Nirahai diam-diam mengatur agar kehadiran Lulu di kota raja tidak sampai diketahui orang. Hal ini untuk menjaga agar gadis itu tidak dicari oleh Han Han atau oleh para pejuang yang menganggap gadis itu sudah menjadi sekutu mereka.

Bagaimanakah ada berita bahwa pemuda buntung yang amat lihai menjadi panglima musuh di Se-cuan? Siapakah pemuda buntung ini? Dia itu bukan lain adalah Han Han!

Seperti kita ketahui, setelah membunuh jai-hwa-cat yang berusaha memperkosa nikouw di Kwan-im-bio, di mana Han Han hancur hatinya menghadapi pertemuannya dengan Kim Cu, pemuda ini lalu melanjutkan perjalanannya ke kota raja.

Mungkin karena kakinya yang buntung, juga karena ketika dahulu ia berada di kota raja, ia tidak menimbulkan kecurigaan kecuali hanya rasa kasihan yang timbul di hati orang yang melihat kakinya yang buntung.

Akan tetapi kebuntungan kakinya pun tidak menimbulkan keheranan karena di masa itu, perang telah menimbulkan banyak malapetaka sehingga banyak terdapat orang yang buntung kakinya, tangannya, atau cacad tubuhnya.

Pada malam harinya, Han Han mempergunakan kepandaiannya, tanpa terilhat oleh seorang pun penjaga, ia meloncat ke atas rumah encinya, yaitu rumah gedung Giam-ciangkun, perwira she Giam, kakak iparnya atau suami encinya.

Menjelang tengah malam itu keadaan sunyi sekali dan ketika ia mengintai kamar encinya yang ia sudah hafal karena ia pernah tinggal di rumah gedung ini, ia menjadi girang melihat encinya tidur berdua saja dengan Giam Kwi Hong, puteri encinya itu yang kini sudah berusia hampir lima tahun. Cepat ia menyelinap masuk dan dengan hati-hati ia membangunkan encinya dengan jalan memijit ibu jari kaki encinya.

Sie Leng terbangun, kaget ketika melihat wajah Han Han yang dikenalnya betul, cepat bangkit duduk dan membetulkan pakaiannya. Han Han menaruh telunjuk ke depan bibirnya dan berbisik.

“Leng-cici, aku datang....”

Sie Leng kini sudah sadar betul, melihat adiknya dan matanya terbelalak ketika melihat kaki Han Han.

“Adik Han.... kaki.... kakimu....!”

“Sssttttt.... tidak apa-apa, Enci. Aku hanya ingin bicara denganmu sebentar. Di mana dia.... eh.... suamimu?” Berat rasa lidah Han Han untuk menyebut Perwira Giam Cu sebagai cihu (kakak ipar).

“Dia.... dia sudah sebulan.... berangkat ke Se-cuan....” Sie Leng memandang khawatir sekali karena takut kalau-kalau adiknya masih mendendam.

Han Han bernapas lega, lalu duduk di atas bangku. Sie Leng duduk di ranjang, menengok puterinya. Melihat puterinya tidur nyenyak, ia lega dan menoleh kepada adiknya.

“Han Han, engkau pergi tanpa pamit, kata cihumu, engkau mencari adik angkatmu....”

“Cici, kedatanganku ini memang untuk bertanya kepadamu. Pertama, tahukah engkau tentang Lulu, adik angkatku itu?”

Sie Leng menggeleng kepala.
“Adikmu itu aneh seperti engkau. Dia menjadi pelayan istana lalu tiba-tiba lenyap, melarikan diri! Semenjak itu, tidak ada lagi yang tahu di mana dia berada, dicari oleh sepasukan pun tidak dapat ditemukan.”

Han Han tersenyum. Lega dadanya, bahwa adiknya tidak berada di istana. Memang ia sudah menduga akan hal ini.

“Sekarang pertanyaan ke dua, Enci, dan kuharap Enci benar-benar akan jujur dan memenuhi permintaanku, menjawab pertanyaanku secara jujur. Di manakah tempat tinggal Giam Kok Ma, bedebah yang dahulu memperkosa Ibu kita, perwira muka kuning itu?”

“Han-te....! Apa yang akan kau lakukan?”

“Apa yang akan kulakukan tak perlu kau ketahui, Enci, dan juga bukan urusanmu lagi. Aku bersumpah bahwa engkau tidak akan tersangkut. Katakanlah, di mana dia dan di mana pula lima orang perwira yang lain, yang dahulu ikut bersama suamimu membasmi keluarga kita?”

Pucat wajah Sie Leng. Ia merasa takut kalau-kalau adiknya itu akan mengamuk. Apa dayanya seorang yang buntung? Kalau adiknya tertangkap dan dihukum mati, ahhh.... ia merasa ngeri dan otomatis ia menggeleng-geleng kepalanya.

“Enci, dengarlah!” Han Han berkata tak sabar. “Aku sudah melupakan perbuatan suamimu terhadap engkau, aku sudah mengampunkan dia. Akan tetapi aku minta ganti! Enam orang perwira yang lain harus dapat kuketahui tempat tinggalnya, dan engkau harus memberi tahu aku. Harus, kau dengar? Kalau engkau tidak mau memberitahukan di mana adanya enam orang perwira terkutuk itu, demi Tuhan, terpaksa aku akan mencari dan membunuh suamimu!”

“Tidak....! Jangan....!”

Sie Leng berteriak, menjerit kecil dan anaknya terbangun. Bocah itu bangkit duduk dan melihat Han Han ia terbelalak memandang.

“Eh, Ibu? Siapakah dia ini? Apakah dia mengganggu Ibu? Awas, siapa yang mengganggu Ibu, akan kubunuh!”

Kwi Hong yang masih kecil itu sudah berdiri dan mengepal tinjunya. Han Han memandang dengan mata terbelalak penuh kekaguman.

“Lihat, Enci. Puterimu lebih berbakti dari padamu!”

=========================================
Encinya memangku Kwi Hong, menciumnya dan berbisik,
“Hussshhhhh, dia ini Pamanmu, tidak akan mengganggu Ibu. Tidurlah, Nak....!”

Setelah ditepuk-tepuk pahanya, anak yang masih mengantuk itu tertidur kembali dan dibaringkan oleh ibunya.

“Han Han, jangan kira bahwa aku tidak punya semangat. Aku tidak berdaya, akan tetapi kutanamkan sejak kecil di dalam hati Kwi Hong bahwa dia harus menjadi anak yang berbakti, yang akan membela ayah bundanya dengan taruhan nyawa, tidak seperti aku....!” Ia menangis pula.

“Syukurlah kalau begitu. Sekarang katakan, di mana adanya enam orang perwira musuh kita itu?”

“Han Han, apa dayamu menghadapi mereka? Apalagi kakimu sudah buntung....”

“Jangan khawatir, setelah kakiku buntung, aku malah lebih banyak harapan untuk membalas dendam. Dimana mereka?”

Setelah menarik napas panjang berulang kali, Sie Leng lalu berkata,
“Giam Kok Ma berada di kota raja. Gedungnya tidak jauh dari sini, di sebelah utara, gedung besar yang ada arca singa batu di depannya....” Ia berhenti sebentar. “Akan tetapi, engkau tidak akan menemukan dia di gedungnya, dia pun bersama cihu.... eh, dengan suamiku, telah berangkat sebulan yang lalu ke Se-cuan. Dia dan suamiku adalah perwira-perwira pasukan tempur yang kini berangkat untuk menggempur Se-cuan.”

Hati Han Han kecewa sekali akan tetapi ia percaya akan keterangan encinya.
“Dan siapakah perwira-perwira yang lain, yang lima orang itu? Di mana mereka?”

“Ohhh.... Han Han, mengapa engkau berkeras hendak membalas dendam? Mereka adalah orang-orang yang memiliki kekuasaan besar, banyak pengawalnya dan.... dan engkau sudah.... sudah buntung begini....”

“Sudahlah, Cici. Lekas katakan. Di mana mereka yang lima orang itu!”

“Ahhh, aku tidak tahu.... aku hanya berhasil tahu dari suamiku bahwa seorang di antara mereka itu adalah Su-ciangkun yang kini memimpin pasukan melakukan pembersihan terhadap para pemberontak, entah di mana. Han Han, sungguh.... biarpun aku tidak pernah mempunyai harapan untuk menuntut balas kehancuran keluarga kita, namun dengan susah payah aku dahulu selalu membujuk suamiku agar menerangkan nama mereka itu, dan agar suamiku suka membalaskan dendamku. Akan tetapi dia selalu mencelaku dan mengatakan bahwa peristiwa itu sudah jamak terjadi di dalam perang. Maka aku hanya berhasil mengenal Giam Kok Ma dan Su-ciangkun yang tak kuketahui nama lengkapnya itu, orangnya tinggi besar, jalannya agak pincang. Adapun empat orang lainnya aku sungguh tidak tahu.”





Tidak ada komentar:

Posting Komentar