FB

FB


Ads

Senin, 22 Desember 2014

Pendekar Super Sakti Jilid 065

Han Han mengerutkan alisnya. Benar-benar amat sukar membalas dendam keluarganya, pikirnya murung. Yang seorang adalah suami encinya sendiri. Yang ke dua sedang pergi ke Se-cuan, yang ke tiga bernama Su-ciangkun tidak diketahui ke mana perginya. Bahkan empat orang yang lain tidak dikenal, tidak diketahui namanya. Akan tetapi ia merasa yakin bahwa sekali bertemu dengan mereka, dia tentu akan mengenal mereka, musuh besarnya itu!

Tidak ada jalan lain. Satu-satunya cara adalah menangkap dulu seorang di antara mereka dan memaksanya mengaku dan menunjukkan siapa adanya teman-temannya yang dahulu melakukan pembasmian terhadap keluarganya. Kalau dia tidak berhasil menangkap seorang di antara mereka, apa boleh buat, ia akan menangkap dan memaksa Giam Cu, kakak iparnya sendiri dan memaksa keterangan tentang enam orang musuh besarnya dari mulut suami encinya itu.

“Leng-cici, jagalah dirimu dan anakmu baik-baik. Aku pergi....”

“Han Han....!”

Sie Leng mengeluh perlahan, akan tetapi ia hanya melihat bayangan berkelebat dan tahu-tahu adik kandungnya yang buntung itu telah lenyap dari kamar itu. Sie Leng lari ke jendela, melongok keluar, akan tetapi sunyi saja di luar jendela dan tidak ada suara sedikit pun. Mimpikah dia? Atau benarkah Han Han tadi yang datang? Adiknya yang sudah buntung kakinya? Adik kandungnya yang demikian sengsara dan berkeras hendak menuntut balas atas kehancuran keluarga mereka? Sie Leng merintih dan menjatuhkan diri di atas pembaringan, merangkul Kwi Hong dan menangis terisak-isak.

Han Han keluar dari gedung encinya dan cepat berkelebat keluar melalui atap-atap rumah di kota raja, menuju ke luar kota raja. Di atas atap rumah yang tinggi ia berhenti sebentar, termenung dan bingung. Rumah-rumah di kota raja demikian indah-indah dan tinggi, namun dalam waktu tengah malam itu amat sunyi seolah-olah kosong. Ke mana ia harus pergi? Dia tidak berhasil menemukan musuh-musuhnya, juga tidak mendengar tentang Lulu, hanya tahu bahwa Lulu telah pergi dari istana seperti yang diceritakan encinya. Ke manakah adiknya pergi?

Kalau saja Han Han tahu bahwa pada saat itu, Lulu sedang tidur nyenyak di sebuah kamar di istana, bersama Puteri Nirahai! Ternyata kehadiran Lulu di istana dirahasiakan benar oleh Nirahai sehingga Nyonya Giam Cu atau Sie Leng itu sendiri tidak mengetahuinya.

Setelah menghela napas berulang kali, Han Han melanjutkan perjalanannya, dengan ilmu kepandaiannya yang hebat ia berhasil keluar dari kota raja melalui temboknya yang tinggi itu tanpa terlihat oleh para penjaga. Setelah tiba di luar kota raja sebelah barat, ia berlari terus dan akhirnya ia mengaso di sebuah kuil tua yang tidak dipergunakan lagi, yang berada di pinggir jalan dekat hutan yang sunyi. Saking lelah dan kecewa hatinya, sebentar saja Han Han tidur nyenyak.

Menjelang pagi, telinganya yang tajam mendengar suara derap kaki kuda yang membuatnya terbangun. Derap kaki kuda yang datang dari arah kota raja ini berhenti di depan kuil dan terdengar suara dua orang bicara.

“Kenapa berhenti disini?”

“Aku lelah sekali, kita mengaso sebentar. Celaka, malam tadi semalam aku tidak dapat tidur dan kalau tidak mengaso dan tidur sebentar di sini, aku akan mati kelelahan....”

“Ha-ha-ha, agaknya engkau tidak tidur semalam suntuk di rumah selirmu!”

“Tidak salah. Karena menerima tugas berat, aku berpamit dan dia.... ha-ha, dia minta ditemani semalam suntuk. Mana aku tega meninggalkannya?”

“Ha-ha-ha, engkau terlalu. Menghadapi tugas berat masih sempat bersenang-senang. Baiklah, Loheng, akan tetapi jangan terlalu lama berhenti di sini. Kalau kita diketahui, leher kita akan putus!”

Agaknya mereka mengikat kendali kuda di depan dan tak lama kemudian Han Han yang sudah meloncat ke atas dan bersembunyi mendengar suara kaki orang itu memasuki kuil. Cuaca masih gelap sekali, akan tetapi dua orang itu tidak peduli, terus saja masuk dan duduk di ruangan dalam yang merupakan satu-satunya ruangan yang terlindung dari angin dan debu. Seorang di antara mereka terus saja merebahkan diri dan tidur mendengkur, sedangkan yang seorang lagi duduk bersandar dinding.

Kira-kira dua jam kemudian, orang yang duduk itu mengguncang-guncang tubuh temannya.

“Loheng, bangunlah. Matahari telah naik tinggi! Ingat, tugas kita amat penting dan kalau kita ketahuan berhenti terlalu lama, benar-benar kita akan dihukum berat!”

Temannya bangun, menguap dan menggosok-gosok kedua matanya yang merah.
“Aaaaahhh.... sedang enak-enak mimpi dengan dia kau bangunkan, Sam-te!”

“Wah, engkau benar tidak ada puas-puasnya! Sudah bersenang-senang semalam suntuk masih dilanjutkan dengan mimpi lagi! Hayo!”

Mereka berdua segera keluar dari kuil tua, melepaskan kendali kuda, meloncat dan membedal kuda mereka ke selatan. Han Han yang menjadi tertarik melihat bahwa mereka adalah dua orang yang berpakaian pengawal istana, diam-diam membayangi mereka.

Dia tidak tahu mengapa ia membayangi mereka, dan apa perlunya. Akan tetapi karena dia sendiri pun bingung ke mana harus mencari musuh-musuhnya dan adiknya, maka ia membayangi dua orang pengawal itu untuk melihat apakah tugas mereka yang begitu penting dan ke mana mereka hendak pergi.

Ternyata kemudian olehnya bahwa dua orang pengawal itu membalapkan kuda melalui sepanjang Terusan Besar yang menghubungkan kota raja dengan kota Thian-cin, kemudian terus ke selatan.

Di kota Thian-cin, dua orang pengawal itu hanya berganti kuda, setelah makan mereka melanjutkan perjalanan ke selatan. Han Han yang tidak mempunyai pegangan, terus membayangi mereka tanpa kesulitan. Biarpun kakinya buntung sebelah, namun kalau hanya membayangi larinya kuda, amatlah mudah bagi pemuda sakti ini.

Hujan lebat membuat dua orang itu terpaksa menghentikan perjalanan mereka di sebuah hutan. Sebuah pondok butut yang dibangun secara darurat oleh kaum pemburu, kini mereka pakai untuk berlindung dari air hujan yang turun seperti dituangkan dari langit.

Sambil berlindung mereka bercakap-cakap,
“Eh, Loheng, yakin benarkah kau bahwa Su-ciangkun bermarkas di tepi Huang-ho, di pinggir terusan?”

“Tidak salah lagi. Keterangan yang kudapat di Thian-cin meyakinkan. Memang tadinya Su-ciangkun melakukan operasi di perbatasan Propinsi Shan-tung selatan, akan tetapi kini mulai kembali ke utara dan melakukan pembersihan di sepanjang terusan yang sering mengalami gangguan para pemberontak.”

“Heran benar itu pemberontak, mengapa tiada habis-habisnya? Mereka berpusat di Se-cuan dan Se-cuan sendiri selalu dikurung dan digempur pasukan-pasukan kita. Kenapa masih ada didaerah ini? Sungguh memusingkan!”






“Mereka itu tentulah dikemudikan dari Se-cuan, mereka bertugas sebagai mata-mata dan juga untuk melakukan kekacauan. Kalau Se-cuan sudah dihancurkan, tentu yang bergerak di luar Se-cuan otomatis akan berhenti. Dan aku yakin, kalau Puteri Nirahai sendiri yang turun tangan memimpin pasukan menyerbu Se-cuan, menaklukkan daerah pemberontak itu akan sama mudahnya dengan makan bakpauw!”

“Wah, kau terlalu, Loheng! Sudah terkenal sekali betapa Bu Sam Kwi mempunyai banyak tokoh pandai sehingga beberapa kali pasukan-pasukan kita yang pilihan mengalami kegagalan dan jatuh banyak korban. Masa kalau Sang Puteri yang memimpin lalu begitu gampang seperti makan bakpauw?”

“Sam-te, kau tidak tahu. Puteri Nirahai amatlah sakti, selain memiliki ilmu kepandaian tinggi, juga cerdik sekali. Tentu dia melakukan siasat, entah siasat apa pula maka beliau secara rahasia mengutus kita menyerahkan sepucuk surat kepada Su-ciangkun. Hemmm, aku mau membayar dengan tiga bulan gajiku kalau diperbolehkan membaca isi surat ini!”

Orang yang dipanggil Loheng itu, yang bertubuh tinggi kurus dengan mata lebar, menepuk-nepuk saku bajunya.

“Ihhh, hati-hati, Loheng,” kata kawannya yang lebih muda dan berhidung bengkok. “Siapa tahu di sini terdapat mata-mata pemberontak!”

“Ah, andaikata ada, berani apa terhadap kita? Dia tidak tahu kita membawa surat yang penting, kedua kalinya, dengan golokku ini sepuluh orang pemberontak akan termakan olehku. Belum engkau yang tentu akan mampu makan sepuluh orang lagi.”

“Betapapun juga, kita harus hati-hati dan hatiku takkan lega sebelum berjumpa dengan Su-ciangkun dan menyerahkan surat itu kepadanya!” kata yang muda. “Hujan sudah mereda, hayo kita berangkat lagi, Loheng.”

Akan tetapi alangkah kaget hati kedua orang perajurit pengawal itu ketika mereka melihat seorang pemuda buntung berdiri di antara kuda mereka. Hanya sebentar mereka kaget karena mereka memandang rendah ketika melihat kaki buntung itu dan menganggap Han Han seorang pengemis.

“Heh, kau mau apa disini?” bentak Si Tinggi Kurus.

“Bukankah kalian hendak menghadap Su-ciangkun? Aku adalah kepercayaan Su-ciangkun yang ditugaskan menyambut kalian. Bukankah kalian membawa sebuah surat dari Puteri Nirahai untuk beliau? Nah, aku yang disuruh menjemput dan menerima surat itu, karena tempat beliau tidak boleh diketahui orang!”

Dua orang itu terbelalak dan memandang tidak percaya.
“Ah, apa tandanya bahwa engkau orang kepercayaan Su-ciangkun?”

Han Han tersenyum, diam-diam merasa geli karena ia sengaja memancing.
“Bukankah Su-ciangkun itu orangnya kecil pendek?”

Dua orang itu kembali saling pandang, kemudian Si Tinggi Kurus membentak,
“Dia tinggi besar seperti raksasa! Engkau palsu!”

Sambil berkata demikian, ia mencabut goloknya dan membacok. Akan tetapi, ujung tongkat Han Han dua kali meluncur dan Si Tinggi Kurus berdiri kaku dengan golok diangkat ke atas sedangkan temannya juga berdiri kaku karena totokan ujung tongkat Han Han. Pemuda itu memang sudah amat tertarik mendengar percakapan dua orang utusan Puteri Nirahai itu, apalagi ketika mendengar disebutnya nama Su-ciangkun.

Maka ia sengaja menghadang dan sengaja memancing sehingga ia akhirnya mendapat kepastian ketika Si Tinggi Kurus menyatakan bahwa Su-ciangkun tinggi besar seperti raksasa. Tidak salah lagi, itulah orangnya yang dicari-cari. Seorang di antara tujuh orang perwira yang membasmi keluarganya!

Cepat ia merenggut ke dalam saku baju Si Tinggi Besar yang memandang dengan mata melotot, mengeluarkan surat dari kota raja dan membaca tulisan pada sampulnya. Di atas ditulis dengan huruf-huruf kecil: Perintah Rahasia. Dan di depan sampul itu tercantum nama si penerima: Su Long Tek ciangkun.

Dengan sikap tenang namun hati gembira Han Han membuka sampul surat itu, mengeluarkan suratnya dan membaca isinya. Ia terkejut ketika mendapat kenyataan bahwa surat dari Puteri Nirahai itu memerintahkan kepada Su-ciangkun untuk mengerahkan pasukan dan menyerbu tempat persembunyian kepala pemberontak Lauw-pangcu, ketua Pek-lian Kai-pang yang bersarang di lembah Sungai Huang-ho, yaitu di seberang kota Cin-an. Demikian jelas surat perintah itu, bahkan diberi gambar pula yang menunjukkan di mana adanya sarang Lauw-pangcu!

Diam-diam Han Han amat kagum akan ketegasan dan ketelitian surat itu. Lauw-pangcu hendak diserbu! Terbayang ia akan wajah kakek yang budiman itu, kakek yang pertama kali mengambilnya sebagai murid. Dan otomatis terbayang pula wajah Lauw Sin Lian, gadis yang dahulu merupakan seorang kawan bermain yang gembira dan lincah, akan tetapi yang pada pertemuan terakhir ini telah menjadi seorang tokoh Siauw-lim-pai yang berkepandaian tinggi dan yang marah-marah kepadanya.

Girang hati Han Han. Ada kesempatan baik baginya, pertama untuk membalas dendam kepada Perwira Su Long Tek yang ia duga tentulah seorang di antara tujuh perwira pembasmi keluarganya, ke dua ia akan dapat menyelamatkan Lauw-pangcu untuk membalas budinya, dan ke tiga ia akan dapat menjelaskan persoalan yang dahulu, kesalah fahaman yang terjadi antara dia dan Siauw-lim-pai dan Hoa-san-pai yang diatur oleh Puteri Nirahai yang amat cerdik.

Han Han sudah mengangkat tongkatnya untuk membunuh dua orang itu. Dia harus membunuh mereka ini kalau hendak melakukan siasatnya, akan tetapi ia menahan tangannya, tidak membunuh mereka melainkan membebaskan totokan mereka. Tak mungkin ia dapat membunuh dua orang lawan yang tak berdaya.

Begitu terbebas dari totokan, dua orang pengawal yang melihat betapa surat perintah rahasia itu dirampas, berteriak marah dan golok mereka berkelebat menerjang Han Han. Pemuda ini menjadi girang. Kalau sekarang ia melawan dan membunuh kedua lawan ini, hatinya tidak akan menyesal kelak, tidak seperti kalau dia membunuh mereka dengan darah dingin selagi mereka tak mampu bergerak.

Dia teringat akan sepak terjang para perajurit Mancu yang banyak menimbulkan kesengsaraan rakyat yang tidak berdosa, dan begitu melihat golok kedua orang itu menyambar ganas, ia meloncat ke belakang tongkatnya bergerak menangkis, menempel kedua golok dan sekali ia menyontekkan tongkatnya, kedua buah golok itu membalik dan membacok kepada pemiliknya sendiri.

Terdengar jerit dua kali dan dua orang pengawal itu roboh dengan golok masing-masing menancap dada menembus punggung. Karena tangan mereka masih menggenggam gagang golok, tampaknya mereka itu mati karena membunuh diri!

Sejenak Han Han memandang dan menghela napas. Itulah resiko orang-orang yang menjadi utusan rahasia. Andaikata mereka tidak tewas sekarang, kalau kemudian diketahui bahwa surat perintah rahasia itu hilang, tentu mereka berdua akan dihukum mati juga.

Han Han lalu berkelebat pergi, melanjutkan perjalanan ke selatan sambil membawa surat perintah itu yang dikantonginya. Memang dua orang pengawal itu mempunyai kuda yang baik, akan tetapi bagi Han Han, jauh lebih leluasa berjalan dengan kaki buntungnya daripada menunggang kuda.

Dia mengambil keputusan untuk mencari dulu tempat persembunyian Lauw-pangcu di lembah Huang-ho seperti tersebut dalam surat perintah rahasia itu, maka dengan amat cepat Han Han melanjutkan perjalanan menuju ke kota Cin-an. Menurut surat itu, sarang dari perkumpulan Pek-lian Kai-pang berada di lembah Huang-ho, di seberang kota Cin-an.

Ketika Han Han tiba di lembah Huang-ho dan berjalan menyusuri sungai besar itu di pantai utara, masuk keluar hutan seorang diri sambil menduga-duga di mana kiranya tempat yang dijadikan markas itu, tiba-tiba ia melihat beberapa orang menuju ke sebuah hutan yang besar dan penuh dengan gunung-gunung karang kecil.

Melihat cara mereka berjalan cepat, pakaian mereka, dan keadaan mereka, ada yang menunggang kuda, dan sebagian besar berjalan kaki, Han Han dapat menduga bahwa mereka itu tentulah orang-orang kang-ouw. Tempat yang begini liar dan sunyi, bukan tempat bagi kaum pelancong.

Diam-diam ia membayangi beberapa orang yang bicara sambil bercakap-cakap. Karena gerakan Han Han amat luar biasa, dia dapat membayangi mereka tanpa ada yang melihat dan hatinya girang bukan main ketika mendengar percakapan di antara mereka bahwa mereka itu adalah tamu-tamu yang datang berkunjung untuk memberi selamat kepada Lauw-pangcu yang merayakan hari ulang tahunnya yang ke tujuh puluh!

Tak lama kemudian Han Han yang mengikuti orang-orang itu tiba di tengah hutan lebat. Diam-diam ia kagum menyaksikan penjagaan-penjagaan yang dilakukan oleh orang-orang berpakaian pengemis, yang boleh dikata menjaga setiap sudut hutan. Untung bahwa dia datang pada saat lembah Huang-ho itu dikunjungi banyak tamu sehingga kedatangannya itu tidak dicurigai.

Memang, nama besar Lauw-pangcu terkenal sampai di mana-mana, terutama sekali di antara para tokoh kang-ouw yang menentang penjajahan bangsa Mancu. Kakek ketua Pek-lian Kai-pang ini selain terkenal sebagai seorang ketua berpengaruh dari perkumpulan pengemis itu, sebagai seorang pendekar budiman, juga akhir-akhir ini namanya menjulang tinggi sebagai seorang patriot yang menentang kaum penjajah dengan mengorbankan banyak sekali anggauta Pek-lian Kai-pang.

Ketika mereka semua itu tiba di markas kaum Pek-lian Kai-pang, Han Han menjadi kagum dan juga terharu. Ia kagum menyaksikan kehadiran tamu para tokoh kang-ouw yang ratusan orang jumlahnya, tidak kurang dari dua ratus orang. Dan ia terharu, ketika melihat Lauw-pangcu yang sudah amat tua itu menerima para tamu di tempat terbuka dalam hutan, hanya duduk di atas rumput saja!

Keadaan kakek yang berpakaian butut itu amatlah miskinnya. Di situ pun hanya terdapat beberapa buah gubuk kecil sederhana. Namun wajah kakek tua ini tampak berseri gembira menyambut para tamu yang terpaksa juga duduk di atas rumput, ada yang duduk di akar pohon, ada pula yang berjongkok, tidak kurang pula yang berdiri saja. Sungguh sebuah pertemuan yang amat sederhana dan kalau pertemuan ini diadakan untuk merayakan hari ulang tahun, sungguh merupakan sebuah perayaan yang luar biasa sederhananya!

Amatlah mengharukan menyaksikan betapa kakek itu bangkit dan berkali-kali menyambut para tamu dengan membungkuk dan mengangkat kedua tangan di depan dada, menghaturkan terima kasih dan minta maaf bahwa dia tidak dapat menyambut para tamu sebagaimana mestinya, bahkan bangku pun tidak ada!

Akan tetapi lebih mengharukan lagi adanya barang-barang sumbangan yang ditumpuk begitu saja di atas rumput, padahal di antara barang-barang itu terdapat benda-benda yang amat berharga dan mahal harganya.

Juga Han Han mengenal Lauw Sin Lian yang cantik jelita dan gagah perkasa, berdiri di samping ayahnya ikut menyambut dan memberi hormat kepada para tamu. Biarpun pakaian Sin Lian juga sederhana, akan tetapi cukup bersih dan tidak penuh tambalan seperti pakaian ayahnya. Pakaian gadis ini ringkas dan ketat, membayangkan tubuh yang ramping padat sehingga para tamu pria yang muda-muda memandangnya penuh kagum.

“Terima kasih.... terima kasih, cu-wi sekalian. Cu-wi yang sudi datang dan masih mengingat akan ulang tahun seorang kakek seperti saya, sungguh budi cu-wi sekalian itu bertumpuk setinggi gunung, lebih tinggi daripada tumpukan barang sumbangan yang saya terima. Cu-wi sekalian, barang-barang sumbangan cu-wi ini tidak akan sia-sia, bukan untuk saya pribadi melainkan akan saya kirimkan ke Se-cuan sebagai penambah biaya perlawanan menentang pemerintah penjajah! Saya sudah tua dan sejak dahulu, seorang pengemis seperti saya tidak membutuhkan apa-apa, yang saya butuhkan hanyalah kebebasan tanah air dari cengkeraman penjajah.”

“Hidup Lauw-pangcu yang gagah perkasa!”

Teriakan-teriakan ini menggegap-gempita dan banyak di antara para tamu merogoh saku dan menguras isi saku untuk ditumpukkan pula di tumpukan barang sumbangan setelah mereka mendengar bahwa semua sumbangan akan dikirim ke Se-cuan untuk biaya perlawanan terhadap penjajah. Melihat ini, Lauw-pangcu memandang terharu sampai basah kedua matanya.

Han Han juga terharu. Ketika ia memandang, di antara para tamu terdapat seorang yang mukanya bopeng, penuh bekas cacar burik-burik. Jantungnya berdebar. Ia pernah melihat orang ini. Tak mudah melupakan muka bopeng seperti itu. Akan tetapi ia lupa lagi di mana.

Selagi ia mengingat-ingat, Si Muka Bopeng yang membawa pedang di punggungnya itu tiba-tiba melompat ke tengah lapangan, berhadapan dengan Lauw-pangcu, mengangkat tangan kanan ke atas dan berteriak.

“Saudara-saudara seperjuangan, kalian telah tersesat jauh!”

Mendengar seruan yang nyaring sekali ini, semua orang tertegun dan tidak ada yang mengeluarkan suara. Semua mata ditujukan kepada Si Muka Bopeng ini. Juga Lauw-pangcu dan Lauw Sin Lian memandang. Dengan sikap tenang dan sabar, berbeda dengan sikap Sin Lian yang marah, Lauw-pangcu menjura kepada orang itu dan berkata.

“Mohon maaf jika saya tidak mengenal sicu, akan tetapi saya tidak meragukan bahwa sicu tentulah seorang saudara sepaham dan seperjuangan yang menentang penjajah, maka sicu sudi datang di tempat kami ini. Akan tetapi, apakah maksud sicu dengan ucapan tadi?”

“Kita semua adalah kaum pejuang yang gagah perkasa, yang siap mengorbankan apapun juga demi nusa bangsa, dan akan berjuang terus sampai penjajah dipukul hancur! Bagaimana mungkin kita harus bekerja sama dengan Bu Sam Kwi, seorang pengkhianat bangsa?”

Ucapan itu hebat sekali. Pada waktu itu, satu-satunya kekuasaan yang mati-matian menentang pemerintah Mancu adalah Bu Sam Kwi yang mempertahankan daerah Se-cuan secara mati-matian dan gagah berani, menimbulkan rasa simpati dan kagum di hati semua pejuang. Sekarang, Si Muka Bopeng ini memakinya sebagai pengkhianat bangsa, hati siapa tidak akan kaget?

“Aihhhhh, apa yang kau ucapkan ini, sicu? Bu-ongya adalah seorang raja muda yang merupakan satu-satunya pemimpin kita menentang Mancu! Dan Se-cuan adalah satu-satunya tempat yang dapat menampung kekuatan pejuang.”

“Heh-heh-heh, sungguh picik sekali pendapatmu, Lauw-pangcu! Apa yang dikatakan Ouw Kian itu tepat sekali!”

Suara ini amat nyaring dan berwibawa, dan tiba-tiba, setelah menyambar angin besar, di tengah lapangan itu muncul seorang kakek yang mukanya seperti muka kuda! Dapat dibayangkan betapa kagetnya hati Lauw-pangcu dan Sin Lian ketika mengenal kakek itu yang bukan lain adalah Ma-bin Lo-mo!

Lauw-pangcu pernah melihat tokoh ini satu kali sedangkan Sin Lian sudah sering kali mendengar nama besar datuk kaum sesat ini yang menjadi majikan atau kepala dari In-kok-san (Lembah Mega) di Gunung Tai-hang-san dan kini dapat menduganya.

Tentu saja Han Han segera mengenal Iblis Muka Kuda ini dan sekarang teringatlah ia akan Si Muka Bopeng yang bernama Ouw Kian itu, seorang di antara pembantu Ma-bin Lo-mo ketika ia bersama Lulu ditawan di atas perahu dahulu itu.

Beberapa orang di antara para tamu juga mengenal kakek ini karena biarpun kakek ini termasuk tokoh kaum sesat, namun harus diakui bahwa kakek ini selalu menentang bangsa Mancu sehingga dianggap sebagai teman seperjuangan.

“Kiranya Siangkoan Lee locianpwe yang berkenan datang berkunjung! Sungguh merupakan kehormatan besar sekali bagi kami dan merupakan kebahagiaan besar bahwa kini sekeluarga pejuang dapat bertemu dan berkumpul di sini.”

Mendengar ucapan Lauw-pangcu ini, yang menjura dengan penuh kehormatan kepada kakek muka kuda, semua tamu menjadi terkejut sekali, terutama sekali mereka yang baru tahu bahwa kakek bermuka lucu ini adalah tokoh hitam yang sudah amat terkenal itu.

“Memang aku sengaja datang untuk meluruskan yang bengkok, membersihkan yang kotor. Perjuangan kita tidak boleh diselewengkan, dan pendapatmu tadi benar-benar merupakan penyelewengan besar, Lauw-pangcu. Kuulangi lagi bahwa pendapat Ouw Kian tadi tepat sekali. Merupakan penyelewengan besar kalau kita membantu si pengkhianat Bu Sam Kwi yang seharusnya malah kita musuhi! Lauw-pangcu, apakah engkau pura-pura lupa bahwa Bu Sam Kwi merupakan seorang di antara pemberontak-pemberontak dan pengkhianat besar yang menjadi sebab utama jatuhnya Kerajaan Beng? Apakah engkau lupa akan riwayat hitam yang menyelimuti diri Bu Sam Kwi?”

================================================
Wajah Lauw-pangcu berubah merah. Dia maklum bahwa yang kini menyerangnya dengan kata-kata adalah seorang di antara datuk-datuk hitam yang memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali, dan maklum pula bahwa Ma-bin Lo-mo adalah seorang penentang penjajah yang gigih. Akan tetapi, ia pun mengenal siapa kakek ini, dan ia cukup mengenal pula siapa Bu Sam Kwi. Maka dengan suara tenang ia menjawab.

“Tentu saja saya tahu, locianpwe. Bu-ongya, yaitu Bu Sam Kwi yang kini merupakan satu-satunya kekuasaan yang masih sanggup bertahan terhadap penjajah, dahulu adalah seorang panglima bala tentara Beng yang bertugas menjaga dan mempertahankan tapal batas utara. Jasanya untuk Kerajaan Beng sudah amat besar, jauh lebih besar daripada jasa para menteri dan pembesar di kota raja yang hanya membesarkan kesenangan diri sendiri.”

“Akan tetapi apa kau pura-pura menutupi pengkhianatannya? Jauh sebelum bangsa Mancu datang, dia telah memberontak! Bu Sam Kwi telah memberontak terhadap Kerajaan Beng dan bergerak dari utara bersama dengan pemberontak Lie Cu Seng yang mengangkat diri sendiri menjadi raja di Shen-si, dan pemberontak Thio Han Tiong yang bersarang di barat. Apakah engkau hendak menyangkal sejarah?”

“Maaf, locianpwe. Saya mengerti akan semua itu, akan tetapi saya pun mengerti mengapa mereka itu memberontak, karena pada masa itu, pemerintahan Kerajaan Beng amat buruk dan lemah karena kaisar dan para menterinya mengubur diri dalam kesenangan dan pemuasan nafsu-nafsu duniawi, tidak mempedulikan keadaan rakyat yang hidup sengsara, dari luar ditindas para perampok dan bajak-bajak, dari dalam ditindas oleh para pembesar yang lalim. Kerajaan Beng makin suram dan bobrok, bagaikan sebuah bangunan yang makin lama makin lemah dan rusak karena digerogoti tikus-tikus dan rayap dari dalam! Sebagai orang-orang gagah yang mengingat akan nasib rakyat jelata, mereka bangkit menentang kaisar, akan tetapi malah dimusuhi dan terpaksa mereka memberontak terhadap pemerintah yang bobrok!”

“Huh! Omongan orang yang berjiwa pemberontak! Betapapun juga alasannya, Bu Sam Kwi sudah terang seorang pemberontak, seorang panglima yang tidak setia kepada rajanya. Dan orang macam itu sekarang hendak kalian bantu? Penyelewengan besar! Tidak ingatkah engkau bahwa selain dia itu pemberontak, dia juga seorang pengkhianat bangsa? Lupakah engkau bahwa Bu Sam Kwi si pengkhianat itulah yang bersekutu dengan bangsa Mancu? Bu Sam Kwi bersekutu dengan Pangeran Dorgan yang waktu itu memimpin barisan Mancu, kemudian bersama-sama menyerang ke selatan, menduduki kota raja yang telah dirampas pemberontak Lie Cu Seng!”

“Maaf, locianpwe. Saya kira hal itu terpaksa dilakukan untuk menundukkan Lie Cu Seng. Hal itu termasuk siasat perang....”

“Ha-ha-ha-ha! Siasat kotor, dan siasat goblok yang sama sekali tidak berhasil! Setelah bersekutu, dia berani memasukkan srigala ke dalam kandang! Kemudian dia sendiri dimusuhi oleh bangsa Mancu dan dikejar-kejar sampai lari terbirit-birit ke barat! Ha-ha-ha, dan orang macam itukah yang hendak kalian bantu?”

“Habis, kalau menurut pendapat locianpwe, bagaimana baiknya?” Lauw-pangcu yang terpaksa mengalah karena terdesak, bertanya.

“Kita berjuang sendiri! Kita menghancurkan penjajah Mancu, kalau sudah berhasil, kita membasmi pemberontak-pemberontak macam Bu Sam Kwi. Kita harus menegakkan kembali Kerajaan Beng yang tercinta!”

“Hemmm.... kaisar terakhir Kerajaan Beng telah membunuh diri, dan saya tidak melihat adanya keturunan kaisar yang lolos dari maut ketika bangsa Mancu menduduki istana.”

“Masih banyak tokoh-tokoh Beng yang hidup di saat ini! Termasuk aku! Apa sukarnya kelak menentukan pilihan baru untuk kaisar Kerajaan Beng?”

Lauw-pangcu tidak dapat menjawab lagi. Keadaan menjadi sunyi, suasana menjadi tegang. Semua orang menjadi bingung setelah mendengar perdebatan kecil itu, karena sebagian besar dari mereka berjuang mati-matian hanya karena tidak suka melihat tanah air dijajah bangsa asing. Adapun mengenai urusan Kerajaan Beng yang sudah runtuh, mengenai urusan pemberontakan-pemberontakan yang lalu, mereka sama sekali tidak tahu dan tidak pula memperhatikan.

Mereka berjuang dengan dasar mengusir penjajah dari tanah air. Kini muncul urusan berbelit-belit mengenai negara, mereka tidak mengerti dan menjadi bingung. Apalagi karena yang berdebat ini adalah Lauw-pangcu yang selama dalam perjuangan ini merupakan pemimpin pejuang yang gigih dan pandai, berhadapan dengan seorang tokoh besar pula, bukan hanya tokoh perjuangan yang selalu melakukan perlawanan terhadap penjajah secara menyendiri sehingga nama pejuang-pejuang In-kok-san amat terkenal, akan tetapi juga tersohor sebagai seorang tokoh kang-ouw yang dianggap manusia iblis!

Melihat ayahnya tak dapat menjawab, agaknya terdesak oleh alasan-alasan yang dikemukakan Iblis Muka Kuda itu, Sin Lian cepat melangkah maju, berkata dengan suara tenang namun nyaring berwibawa kepada kakek itu.

“Siangkoan Locianpwe, sudah lama saya mendengar nama besar locianpwe yang terkenal sebagai Ma-bin Lo-mo. Kalau ada perbedaan pendapat antara locianpwe dengan kami, itu tidak perlu dipersoalkan. Kami adalah golongan pejuang yang tidak mempunyai pamrih untuk diri pribadi, kami satu-satunya hanyalah untuk menentang kaum penjajah. Soal siapa yang kelak akan memimpin rakyat setelah penjajah berhasil diusir dari tanah air, itu soal nanti, terserah kepada kaum cerdik pandai yang ahli mengenai hal itu.

Sudah jelas bahwa Se-cuan merupakan satu-satunya daerah yang menjadi pusat kegiatan menentang penjajah, maka ke sanalah kita menoleh untuk bersama-sama memperjuangkan kemerdekaan tanah air. Kalau locianpwe suka bekerja sama dengan kami, syukurlah. Kalau tidak pun tidak mengapa. Kita mengambil jalan sendiri dan cara sendiri untuk menghancurkan penjajah!”

Semua tamu mengangguk-angguk mendengar ucapan tegas dari Sin Lian ini. Ma-bin Lo-mo memandang tajam dan mengerutkan keningnya.

“Nona muda, engkau siapakah?”

“Dia adalah Lauw Sin Lian, puteriku,” kata Lauw-pangcu.

Ma-bin Lo-mo mengangguk-angguk, akan tetapi matanya tidak pernah melepaskan wajah gadis itu. Kemudian ia berkata,

“Di antara orang-orang yang menjunjung kegagahan, segala pertentangan faham dan perbedaan pikiran hanya dapat diselesaikan melalui pertandingan kekuatan. Siapa kuat dia menang dan benar!”





Tidak ada komentar:

Posting Komentar