FB

FB


Ads

Senin, 22 Desember 2014

Pendekar Super Sakti Jilid 066

Lauw-pangcu dan Sin Lian hendak membantah pendapat yang memuja hukum rimba seperti kebiasaan watak kaum sesat itu, akan tetapi sambil tertawa Ouw Kian si Muka Bopeng sudah meloncat maju menghadapi Sin Lian dan berkata.

“Ha-ha-ha, memang seharusnya begitu! Dan.... eh, Lauw-pangcu, maafkan pertanyaanku. Apakah puterimu ini sudah bertunangan?”

Lauw-pangcu sendiri adalah seorang tokoh kang-ouw yang tidak begitu peduli akan segala sopan santun kosong, maka pertanyaan ini diterima sewajarnya olehnya, tidak dianggap kurang ajar.

“Belum, Ouw-sicu.”

“Bagus! Kalau begitu, kebetulan selagi Lauw-pangcu mengadakan perayaan ulang tahun, mengapa tidak sekalian mencarikan jodoh untuk puterimu? Kulihat puterimu sudah lebih dari cukup dewasa. Bagaimana kalau sekarang ditentukan bahwa siapa yang dapat menandinginya berhak meminangnya? Heh-heh, aku pun belum menikah, eh.... maksudku sudah duda dan sedang mencari jodoh....”

“Mulut busuk!”

Sin Lian membentak marah sekali. Tadinya, gadis yang sudah menerima gemblengan Siauw-lim Chit-kiam ini, yang sudah matang pula pengalamannya dan luas pandangannya, mengambil sikap tidak memusuhi Ma-bin Lo-mo yang betapapun juga adalah seorang kawakan. Akan tetapi, kini sikap Ouw Kian, sebagai seorang wanita muda yang masih panas darahnya, ia menjadi marah sekali dan telunjuknya menuding ke arah hidung yang kulitnya kasar itu.

“Apakah engkau tidak pernah melihat bayangan mukamu yang buruk dan lebih menjijikkan daripada muka tikus selokan itu? Cih, tak bermalu! Kalau engkau hendak mencoba kepandaian untuk mempertahankan pendirian masing-masing, majulah dan jangan terlalu lebar membuka mulut yang berbau busuk!”

Sin Lian memang pada dasarnya galak dan pandai sekali bicara, maka sekali terbangkitkan kemarahannya, ucapannya amat pedas menusuk jantung, membuat Si Muka Bopeng sebentar merah sebentar pucat. Ia pun marah sekali, apalagi melihat betapa para tamu banyak yang menahan tawa dengan menyembunyikan mulut dibalik lengan baju.

“Bocah sombong! Kau mau mengenal kelihaian tuanmu?” Ia membentak.

“Majulah dan cabut pedangmu!”

Sin Lian sudah melolos pedangnya karena gadis ini tidak sudi beradu lengan dengan Si Muka Bopeng dan kalau dia melayani orang itu bertanding tangan kosong, mau tidak mau ia harus membiarkan lengannya beradu dengan lengan lawan. Ia pun dapat menduga bahwa sebagai kaki tangan Ma-bin Lo-mo, Si Muka Bopeng ini tentulah lihai ilmu silatnya.

Diam-diam Ouw Kian menjadi girang. Memang dia sendiri adalah seorang jago pedang yang menganggap bahwa ilmu pedangnya adalah yang paling tinggi di dunia. Entah sudah berapa ratus kepala orang terpenggal oleh pedangnya itu, selama ia merantau sebagai perampok tunggal. sebelum ia ditundukkan Ma-bin Lo-mo dan menjadi pembantu Iblis Muka Kuda.

Cepat ia menggerakkan tangan dan dengan aksi yang boleh juga, tubuh tegak kaki kanan diangkat menempel lutut kiri, tangan kiri menjulang ke atas dengan telunjuk menunjuk langit, tangan kanan mencabut pedang di pinggangnya. Aksinya memang hebat, sayang dia pakai senyum-senyum segala sehingga mukanya yang memang tak dapat dikatakan tampan itu menjadi makin buruk!

“Lihatlah kiam-sutku yang tiada tandingan!”

Ouw Kian membentak lalu pedangnya berkelebatan menyilaukan mata. Dia sudah bersilat pedang, tidak langsung menyerang karena pada pendapatnya, kalau melihat ilmu pedangnya gadis puteri ketua Pek-lian Kai-pang itu tentu akan menguncup hatinya dan akan menyerah tanpa bertanding lagi.

“Hemmm....!” Sin Lian mendengus sebal dan membentak, “Sambutlah!”

Pedangnya sudah menusuk dengan kecepatan kilat. Dara ini adalah murid dari Siauw-lim Chit-kiam, tujuh orang pendekar Siauw-lim-pai yang sudah terkenal sebagai ahli pedang kenamaan dan Sin Lian sudah mewarisi Ilmu Pedang Chit-seng-sin-kiam (Ilmu Pedang Sakti Tujuh Bintang).

Kini, menghadapi Si Muka Bopeng yang sombong, gadis itu sudah menusuk, ujung pedang tergetar dan pecah menjadi tujuh sinar, akan tetapi dara itu hanya mempergunakan tiga sinar untuk menusuk ke tiga bagian tubuh lawan yaitu tenggorokan, ulu hati dan pusar. Gerakannya cepat sekali sehingga seolah-olah ada tiga batang pedang yang melakukan penyerangan.

“Trang-trang-cringgg....! Ehhhhh....!”

Ouw Kian kebingungan dan ilmu pedangnya yang dipamerkan tadi menjadi kacau-balau karena secara bertubi-tubi ia harus menangkis tiga sinar itu! Tangkisannya ngawur, akan tetapi karena memang dia seorang yang sudah memiliki ilmu silat tinggi, ia berhasil juga menangkis sambil berloncatan ke belakang, tangannya tergetar setiap kali pedangnya bertemu dengan ujung pedang lawan!

Barulah ia terkejut bukan main, sama sekali tidak mengira bahwa gadis muda yang cantik itu memiliki gerakan sedemikian cepat dan kuatnya, tanda bahwa ilmu pedang gadis itu hebat bukan main.

Ouw Kian maklum akan kelihaian lawannya, maka ia tidak lagi berani banyak aksi dan cepat ia menggerakkan pedang, bertanding dengan sungguh-sungguh dan melakukan serangan balasan. Namun, tusukan dan bacokan pedangnya mengenai angin dan di detik berikutnya, kembali ujung pedang Sin Lian seperti berubah menjadi lebih banyak lagi, kemudian lima sinar menyambar ke arahnya dengan suara mencicit!

“Aahhh.... ayaaaaa.... trang-trang-trang....!”

Ouw Kian berhasil menangkis tiga kali, akan tetapi tangkisan yang ke tiga membuat tubuhnya terdesak dan posisinya rusak sehingga susulan dua kali serangan agaknya takkan dapat ia tangkis lagi.

“Hemmm.... mundurlah!”

Tiba-tiba terdengar seruan Ma-bin Lo-mo dan ujung pedang Sin Lian hanya dapat merobek sedikit kain baju di bagian dada Ouw Kian karena mendadak tubuh Ouw Kian seperti ditiup angin, terlempar ke belakang.

Ma-bin Lo-mo setelah menggunakan sin-kang mendorong tubuh Ouw Kian dan menyelamatkannya dari pedang Sin Lian, kini berdiri menghadapi gadis itu dengan pandang mata penuh selidik.

“Nona, bukankah itu Chit-seng-sin-kiam yang kau mainkan? Apakah engkau anak murid Siauw-lim-pai?”






“Tidak salah, locianpwe. Aku adalah murid Siauw-lim Chit-kiam!” jawab Sin Lian tenang.

Ma-bin Lo-mo mengangguk-angguk.
“Pantas, kiam-hoatmu lihai. Dua orang di antara Siauw-lim Chit-kiam tewas, kabarnya di tangan puteri Mancu, sudah sepatutnya engkau menentang pemerintah penjajah Mancu. Akan tetapi sungguh sayang sekali kalau murid Siauw-lim-pai sampai menjadi kaki tangan pengkhianat seperti Bu Sam Kwi. Nona Lauw, kurasa guru-gurumu akan marah kalau mendengar engkau akan membantu pengkhianat Bu Sam Kwi.”

“Siangkoan-locianpwe, guru-guruku pun kini berjuang bersama kekuatan di Se-cuan bersama-sama menentang Mancu!”

Tiba-tiba Siangkoan Lee tertawa, suara ketawa yang tidak lumrah manusia, lebih mirip suara ringkik kuda marah,

“Hiiyeeeeeh-heh-heh-heh! Sungguh memalukan! Sungguh tersesat dan menyeleweng jauh! Seorang pemberontak dan pengkhianat malah dibantu, apakah dunianya tokoh-tokoh kang-ouw yang menyebut diri kaum bersih dan golongan putih sudah terbalik?”

Sin Lian menjadi marah mendengar guru-gurunya diajek.
“Locianpwe, kalau locianpwe tidak setuju dengan pendirian kami, sudah saja. Locianpwe boleh berjuang sendiri. Apa artinya perjuangan yang liar tanpa pimpinan? Tidak peduli apa yang dilakukan oleh Bu-ongya dahulu, namun sekarang kenyataan Bu-ongya adalah satu-satunya tokoh yeng gigih melakukan perlawanan terhadap penjajah dan di sanalah berkumpul seluruh orang gagah yang hendak mempertahankan tanah air. Kalau tidak berjuang di bawah benderanya, habis siapa yang akan menjadi pemimpin kami?”

Tiba-tiba terdengar suara ketawa dan tahu-tahu di situ berkelebat bayangan dua orang dan di dekat Sin Lian sudah berdiri dua muda yang memiliki gerakan cepat sekali, juga mengagumkan karena mereka adalan seorang pemuda tampan gagah dan seorang dara cantik jelita. Suara ketawa tadi adalah suara mereka berdua yang meloncat dari kumpulan para tamu dan kini yang wanita berkata.

“Ma-bin Lo-mo, mengapa engkau memaksa orang lain untuk berjuang demi mencapai cita-cita pribadimu?”

Ma-bin Lo-mo melotot dan membentak.
“Bocah lancang mulut! Apa maksudmu?”

Gadis muda yang bersikap lincah dan masih muda sekali, tidak lebih tua dari Sin Lian, tersenyum mengejek, lalu menjura ke arah Lauw-pangcu dan Sin Lian, dan berkata lantang.

“Cu-wi sekalian tidak perlu heran mengapa dia ini menentang Se-cuan. Siapakah yang tidak tahu bahwa Ma-bin Lo-mo adalah bekas menteri Kerajaan Beng, bernama Siangkoan Lee? Siapa yang tidak tahu bahwa dia melatih murid-muridnya di In-kok-san untuk membentuk barisan yang kuat? Berbeda sekali dengan kita yang berjuang tanpa pamrih pribadi, Ma-bin Lo-mo Siangkoan Lee berjuang untuk dapat mengangkat diri sendiri menjadi kaisar menggantikan Kerajaan Mancu. Tentu saja dia menentang Bu Sam Kwi raja muda di Se-cuan!”

Diam-diam Ma-bin Lo-mo terkejut, akan tetapi dia adalah seorang yang angkuh dan percaya kepada diri sendiri, maka dengan mata melotot ia membentak,

“Memang benar! Dan mengapa tidak? Aku jauh lebih berharga daripada si pengkhianat Bu itu! Dan siapa yang menentang pendapat ini, boleh maju membuktikan sendiri bahwa aku lebih patut kalian jadikan pemimpin dalam perjuangan menentang penjajah dari pada sipengkhianat bangsa Bu Sam Kwi!”

Melihat kakek yang menjadi amat marah dan mengambil sikap menantang-nantang itu, Lauw-pangcu cepat menghadapinya dan menjura penuh hormat.

“Harap Siangkoan locianpwe sudi menghabiskan saja urusan ini. Marilah, silakan duduk sebagai tamu terhormat dan dalam kesempatan ini kiranya tidak perlu kita melanjutkan pembicaraan yang hanya menimbulkan pertentangan itu. Yang penting, garis besar kita semua sama, ialah menentang penjajah Mancu. Silakan!”

“Tidak bisa!”

Ma-bin Lo-mo membentak, pandang matanya masih marah membayangkan ketidak puasan dan kemarahan ditujukan kepada dua orang muda yang baru tiba itu.

“Kalau kalian semua masih melanjutkan keinginan hendak mengabdi kepada pengkhianat Bu, tak mungkin aku tinggal diam saja! Dengan demikian kalian berarti menjerumuskan diri ke dalam penyelewengan dan menjadi pengkhianat-pengkhianat bangsa pula! Bagaimana aku, Siangkoan Lee, boleh tinggal diam saja melihat orang-orang mengkhianati Kerajaan Beng?”

Kakek yang menjadi datuk golongan sesat ini lalu melangkah maju menghadapi Lauw-pangcu dan berkata,

“Lauw-pangcu, percuma bagiku bicara dengan segala macam bocah lancang. Lauw-pangcu adalah seorang yang sudah tua dan sudah banyak pengalaman, maka kuminta agar mulai sekarang juga insyaf dan membelokkan kembali perjuangan ke arah jalan benar. Jangan lagi membantu pengkhianat Bu Sam Kwi dan marilah kita bekerja sama. Kalau memang ada pahala di kemudian hari setelah perjuangan berhasil, kitalah yang patut menerimanya, bukan pengkhianat Bu itu. Nah, harap putuskan sekarang juga, Lauw-pangcu. Bagaimana pendirianmu?”

Lauw-pangcu menghela napas panjang.
“Siangkoan locianpwe terlalu mendesak, apa boleh buat. Kalau menurut saya pribadi, saya tetap akan membantu Se-cuan, karena berhasil tidaknya perjuangan kita sesungguhnya tergantung kepada kekuatan Se-cuan sebagai tempat pertahanan terakhir.” Ketua Pek-lian Kai-pang itu berhenti sebentar lalu menoleh ke arah para tamu yang memandang tegang. “Tentu saja pendirian saya ini merupakan pendirian Pek-lian Kai-pang pula dan kami tidak akan mempengaruhi pendapat para sahabat pejuang yang saat ini menjadi tamu kami.”

Para tamu berteriak-teriak menyatakan persetujuan mereka dengan pendirian Lauw-pangcu. Mereka bersorak riuh-rendah dan hal ini membuat wajah Ma-bin Lo-mo menjadi merah. Jelaslah bahwa tidak banyak yang mendukungnya.

“Lauw-pangcu! Kalau begitu engkau ini bukan lain adalah pemimpin pengkhianat! Pantas.... pantas....! Memang semenjak dahulu, jauh sebelum penjajah Mancu datang, Pek-lian Kai-pang (Partai Teratai Putih) memang terdiri dari orang-orang pemberontak dan pengkhianat! Sekarang, sudah menjadi pengemis jembel gelandangan pun masih menjadi pengkhianat! Sungguh tak tahu malu!”

“Ma-bin Lo-mo, siapa yang tak tahu malu?” Lauw Sin Lian membentak marah mendengar ayahnya dimaki-maki. “Eng-kaulah yang tidak tahu malu! Sebagai tamu, seharusnya menghormati dan mentaati peraturan tuan rumah, kalau tidak cocok boleh pergi karena engkau bukanlah tamu yang diundang!”

“Hi-yeh-heh-heh! Lauw-pangcu, kalau engkau memang gagah, marilah kita mencoba-coba kepandaian agar semua tamu terbuka matanya dan melihat siapa di antara kita yang lebih pantas menjadi pemimpin!”

“Siangkoan Lee! Biarpun sudah tua dan lemah, kalau ditantang aku tidak akan mundur....!” Lauw-pangcu menjadi marah.

“Tahan, Ayah! Biarlah aku yang menghajar anjing tua ini!” bentak Sin Lian dan dia sudah menerjang maju dengan pedangnya.

Karena ia maklum akan kelihaian datuk kaum sesat ini, tentu saja ia tidak memandang rendah seperti ketika menghadapi Ouw Kian si Muka Bopeng tadi, melainkan mengerahkan tenaga dan menggerakkan pedang sehingga ujungnya menimbulkan tujuh sinar yang berturut-turut meluncur ke arah tujuh bagian berbahaya dari tubuh Ma-bin Lo-mo.

Di antara tokoh-tokoh kang-ouw, agaknya tingkat kepandaian Sin Lian sudah amat hebat dan sebagai murid Siauw-lim Chit-kiam, agaknya sukar dicari tandingannya di kalangan orang muda. Akan tetapi sekali ini yang diserang adalah Ma-bin Lo-mo, seorang di atara tokoh-tokoh yang sudah mendapat sebutan datuk, yaitu datuk golongan hitam atau golongan sesat.

Ilmu kepandaian Ma-bin Lo-mo jauh lebih tinggi daripada tingkat Sin Lian. Apalagi hanya dara remaja ini, biar Siauw-lim Chit-kiam sekalipun maju bersama, belum tentu akan dapat mengatasi kepandaian Ma-bin Lo-mo yang tingkatnya dapat disejajarkan dengan ketua Siauw-lim-pai yaitu guru Siauw-lim Chit-kiam!

Melihat sinar pedang gadis itu yang memecah menjadi tujuh sinar, diam-diam Ma-bin Lo-mo terkejut dan kagum, memuji ilmu pedang ciptaan Ceng San Hwesio ketua Siauw-lim-pai yang telah dikuasai dengan baik oleh gadis ini. Kalau dia menghendaki, tentu saja dengan mudah Ma-bin Lo-mo akan dapat merobohkan Sin Lian dengan ilmu pukulan Swat-im Sin-ciang yang dahsyat.

Akan tetapi dia mempunyai cita-cita lain. Kedatangannya sebetulnya bukan hendak memusuhi Pek-lian Kai-pang, melainkan hendak menarik mereka menjadi sekutu dan membantunya. Kini menghadapi puteri Lauw-pangcu, dia tidak mau sembrono menurunkan tangan keji, dan hanya ingin membuktikan bahwa dia patut menjadi pemimpin dengan kepandaiannya yang paling lihai di antara mereka semua.

“Hi-yeh-heh.... kiam-sut yang bagus, akan tetapi tidak ada artinya kalau kau pergunakan untuk menyerangku, Nona Cilik!”

Ia mengejek, kedua tangannya bergerak ke depan membuat gerakan melingkar-lingkar dan tujuh sinar pedang itu seperti diseret angin puyuh yang amat kuat. Betapapun Sin Lian mengerahkan tenaganya untuk menahan, tetap saja pedang dan tangannya terseret oleh gelombang hawa yang amat dahsyat dan dingin sehingga gerakan pedangnya kacau dan semua serangannya gagal dengan sendirinya.

“Ma-bin Lo-mo, sungguh tak patut menghina nona rumah!”

Tiba-tiba pemuda yang datang bersama gadis jelita tadi menerjang maju. Mereka berdua sudah menerjang dengan pedang mereka dan yang amat hebat adalah gin-kang mereka karena gerakan kedua orang muda ini cepat seperti kilat!

Pedang di tangan pemuda dan gadis ini telah menolong Sin Lian karena puteri Lauw-pangcu yang tadinya terancam untuk terputar tubuhnya oleh hantaman angin pukulan Swat-im Sin-ciang yang amat dahsyat, kini berhasil meloncat ke pinggir ketika Ma-bin Lo-mo terpaksa menghentikan gerakan tangannya untuk menghadapi serangan kedua orang muda itu.

Ia pun terkejut menyaksikan kecepatan gerakan mereka. Matanya silau menyaksikan sinar dua pedang yang amat cepat datangnya. Kakek ini mengeluarkan suara meringkik dan tubuhnya sudah mencelat ke atas menghindarkan diri daripada sambaran dua pedang.

Akan tetapi, kini Sin Lian sudah maju lagi dengan pedang diputar cepat. Kini murid Siauw-lim Chit-kiam ini bersikap hati-hati karena maklum betapa lihainya kakek bermuka kuda itu. Pedangnya membentuk segulung sinar yang mencuat ke depan amat terangnya menusuk dada kakek itu yang baru melayang turun. Dua orang muda yang lihai itupun menyambut turunnya tubuh Ma-bin Lo-mo dengan tusukan dan bacokan pedang.

Ma-bin Lo-mo kembali mengeluarkan suara terkekeh seperti bunyi ringkik kuda. Ujung kakinya tiba-tiba menangkis atau menotol ujung pedang tiga orang muda itu dengan “meminjam” tenaga mereka, tubuhnya sudah melesat ke belakang tiga orang lawan. Tiga orang muda itu cepat membalikkan tubuhnya. Mereka kaget sekali karena tidak mengira kakek itu sedemikian lihainya. Juga para tamu terkejut dan menjadi jerih.

Pada saat itu, tiba-tiba terdengar suara keras,
“Harap hentikan pertandingan! Saya datang membawa berita penting!”

Semua orang menoleh, dan tiba-tiba Ma-bin Lo-mo mengeluarkan suara meringkik aneh, wajahnya berubah pucat ketika memandang kepada pemuda berkaki buntung yang jalan terpincang-pincang maju dibantu tongkatnya. Ma-bin Lomo meloncat dan menghadang Han Han sambil berkata.

“Kau.... kau masih hidup....?”

Tentu saja Ma-bin Lo-mo sudah mendengar berita di In-kok-san bahwa Han Han dan Kim Cu telah menjalani hukuman yang dijatuhkan oleh Toat-beng Ciu-sian-li kepada dua orang murid itu, dan dia mendengar bahwa selain dibuntungi, juga kemudian Han Han dan Kim Cu dilempar ke dalam jurang maut yang tak berdasar! Tentu saja ia menjadi kaget sekali melihat bekas murid ini tahu-tahu muncul di situ!

Karena menyangka bahwa seperti juga dahulu, bocah aneh tentu hanya akan menimbulkan keonaran dan akan menghalangi cita-citanya, Ma-bin Lo-mo tidak mau banyak cakap lagi, setelah menegurnya lalu mengulur tangan kanannya yang menuding tadi, mengerahkan Swat-im Sin-ciang menyerang ke arah jantung Han Han di balik dadanya.

“Siangkoan-locianpwe, engkau banyak baikkah?”

Han Han menyoja (mengangkat tangan ke depan dada) untuk memberi hormat. Tidak ada seorang pun yang menduga bahwa pada detik itu, dua buah tenaga tak tampak yang amat dahsyat bertemu di antara mereka dan akibatnya, wajah Ma-bin Lo-mo menjadi pucat seperti kertas dan ia menahan darah yang sudah naik ke kerongkongannya agar tidak muntah!

Tenaga Swat-im Sin-ciang yang ia lancarkan untuk menyerang Han Han tadi membalik dengan cepat dan tidak terduga-duga olehnya sehingga melukai rongga dadanya sendiri! Memang ia tahu bahwa bocah bekas muridnya yang telah menggembleng diri di Pulau Es ini memiliki kepandaian aneh dan tenaga dahsyat, akan tetapi dia telah buntung dan betapa dalam waktu tak lama saja telah mampu menangkis Swat-im Sin-ciang tanpa gerakan memukul melainkan hanya bersoja sudah mampu mengembalikan pukulannya? Hal yang tidak diduga-duga oleh Ma-bin Lo-mo ini membuat ia terluka dan jerih. Dengan mulut tertutup rapat ia menggapai Ouw Kian dan pergi dari tempat itu diikuti Si Muka Bopeng yang terheran-heran, juga para tamu menjadi lega ketika melihat bahwa kakek yang ditakuti itu pergi tanpa pamit.

==============================================
“Han Han....!” Suara ini keluar dari mulut Sin Lian dan pemuda tampan itu secara berbareng.

“Han-twako....!” gadis yang datang bersama pemuda itupun berseru, wajahnya menjadi merah, akan tetapi, seperti juga Sin Lian dan pemuda yang datang bersamanya tadi, gadis ini pun memandang ke arah kaki buntung Han Han dengan heran.

Han Han tersenyum lalu menjura ke arah Sin Lian dan dua orang muda itu yang bukan lain adalah dua orang murid Im-yang Seng-cu, Wan Sin Kiat dan sumoinya, Lu Soan Li.

“Lauw-siocia, Lu-siocia, Saudara Sin Kiat, bagaimana keadaanmu bertiga? Kuharap baik-baik saja.”

Tiga orang muda itu tetap memandang ke arah kakinya dan tak dapat mengeluarkan kata-kata. Melihat betapa orang yang mereka kagumi itu kini mendadak muncul dengan kaki buntung, mereka bertiga begitu heran dan kaget sehingga sukar mengeluarkan kata-kata. Leher serasa dicekik keharuan dan kasihan.

“Ah, engkau Sie Han....? Akan tetapi, kenapa kakimu....?” Lauw-pangcu sudah melangkah maju dan memegang pundak Han Han. “Benar, engkau bocah aneh yang dahulu itu, akan tetapi mengapa kakimu itu, Han Han?”

Han Han menjura kepada Lauw-pangcu dan berkata tenang,
“Karena kecelakaan kaki saya menjadi buntung, Lauw-locianpwe. Saya merasa girang dapat bertemu dengan locianpwe dalam keadaan sehat dan biarlah saya menggunakan kesempatan ini untuk ikut pula mengucapkan selamat ulang tahun ke tujuh puluh tahun, semoga locianpwe diberkahi panjang usia dan kesehatan!”

Lauw-pangcu tersenyum dan memandang wajah pemuda itu dengan kagum. Ia melihat betapa pemuda ini telah menjadi seorang yang selain tampan dan gagah, juga matang bahkan ada sesuatu yang amat aneh terpancar dari pandang mata pemuda itu. Akan tetapi sebelum ia sempat bicara lagi, Wan Sin Kiat sudah memegang lengan tangan Han Han dan berkata.

“Kebetulan sekali engkau datang, Han Han. Dan di mana.... di mana Nona Lulu?”

Ditanya tentang Lulu, wajah Han Han menjadi muram, dan ia menggeleng kepalanya.
“Entahlah, aku sedang mencari dia.”

“Mencari Lulu? Ahhh, tadinya kusangka bahwa engkau datang bersama Lu-moi!”

Kata Sin Lian dan Han Han menjadi terheran-heran mendengar gadis itu menyebut Lulu dengan suara demikian akrab.

Melihat ini, Lauw-pangcu tertawa dan berkata,
“Marilah kita bicara di dalam!”

Ia memberi perintah kepada seorang anak buah Pek-lian Kai-pang untuk melayani para tamu, kemudian ia mengajak Han Han, Sin Lian, Sin Kiat dan Soan Li memasuki pondoknya. Setelah mereka duduk di dalam pondok mengelilingi meja dan disuguhi makanan dan arak oleh anak buah kai-pang yang cepat keluar kembali, Lauw-pangcu lalu berkata.

“Agaknya banyak sekali urusan yang harus kita bicarakan, Han Han. Akan tetapi lebih dulu perkenalkanlah dua orang muda perkasa yang membantu kami menghadapi Ma-bin Lo-mo ini.”

“Kiranya Lauw-locianpwe dan Lauw-siocia....”

“Iiihhh, kenapa engkau sekarang berubah seperti ini, Han Han? Masa menyebut aku nona-nonaan segala, apakah aku harus menyebut tuan muda kepadamu?”

Tiba-tiba Sin Lian menegur dengan mulut cemberut. Hati Soan Li yang melirik dan melihat ini menjadi berdebar dan terasa tidak enak. Akan tetapi Sin Kiat dan Lauw-pangcu tertawa menyaksikan sikap Sin Lian ini.

Merah wajah Han Han ditegur gadis itu.
“Eh.... baiklah. Kuulangi lagi, agaknya Lauw-pangcu dan Sin Lian belum mengenal dua saudara ini. Dia adalah Hoa-san Gi-hiap Wan Sin Kiat dan Nona ini adalah Hoa-san Kiam-li Lu Soan Li!”

“Ah, kiranya murid-murid dari Im-yang Seng-cu? Maaf kalau saya yang tua tidak mengenal dan bersikap kurang hormat.”

Akan tetapi Sin Lian tidak bersikap seperti ayahnya, bahkan memandang kepada dua orang muda itu dengan alis berdiri. Betapapun juga, di dalam hati gadis ini masih ada bekas luka akibat siasat adu domba antara Siauw-lim-pai dan Hoa-san-pai.

Soan Li yang cerdik tentu saja dapat mengerti akan sikap Sin Lian ini dan ia cepat berkata.

“Nama besar Enci Sin Lian sebagai murid tokoh-tokoh Siauw-lim Chit-kiam telah lama saya mendengarnya. Enci Sin Lian, kedatangan kami berdua ini adalah hendak menghapus segala peristiwa hitam yang timbul di antara Hoa-san-pai dan Siauw-lim-pai, yang sesungguhnya ditimbulkan oleh siasat buruk adu domba oleh Pemerintah Mancu. Kiranya Enci sudah pula mendengar akan hal itu, peristiwa yang patut disesalkan sehingga menyeret pula Han-twako yang sama sekali tidak berdosa. Han-twako yang terseret oleh siasat adu domba di antara kedua partai, sampai-sampai mendatangi Pek-eng-piauwkiok dan bertemu dengan tokoh-tokoh Hoa-san-pai, bahkan mengalami penghinaan pula. Sungguh kami merasa menyesal sekali....”

Wajah keruh di muka Sin Lian segera menghilang. Memang pada dasarnya, watak Sin Lian adalah lincah dan peramah, kalau tadi ia berwajah keruh melihat munculnya dua orang tokoh Hoa-san-pai adalah karena ia teringat akan kematian dua orang di antara ketujuh orang gurunya. Ia cepat tersenyum dan berkata.

“Adik Soan Li, aku telah tahu akan hal itu semua. Aku telah mengetahui betapa kalian berdua sampai bentrok dengan orang-orang Hoa-san-pai sendiri. Aku telah diceritakan oleh adikku Lulu yang pandai bercerita sehingga peristiwa di piauw-kiok itu seolah-olah dapat kubayangkan dengan mata sendiri!”

“Eh, Non eh, Sin Lian, apa artinya semua ini? Adikmu Lulu.... bagaimana ini?”

Kembali Lauw-pangcu tertawa, agaknya kakek ini merasa girang sekali dapat bertemu dengan Han Han yang sudah banyak ia dengar dari Lulu. Ia memandang pemuda ini dan diam-diam kakek yang sudah berpengalaman ini dapat mempercayai omongan Lulu yang pernah mengatakan bahwa di dunia ini kakaknya adalah yang paling sakti! Sungguhpun ia maklum bahwa Lulu melebih-lebihkan akan tetapi ia dapat menangkap wibawa yang amat luar biasa dan sinar aneh terpancar keluar dari sepasang mata pemuda itu.

“Ha-ha-ha-ha, agaknya telah terjadi banyak sekali hal yang amat kebetulan dan yang perlu kita saling tuturkan, Han Han. Akan tetapi biarlah kita mulai satu-satu dan lebih dulu kiranya lebih baik kalau kita persilakan dua orang murid Im-yang Seng-cu untuk menuturkan maksud kunjungannya yang terhormat.”

Kini Wan Sin Kiat bicara, suaranya halus dan tegas,
“Tadi telah disinggung oleh sumoi akan maksud kedatangan kami berdua. Tidak lain hanya untuk menemui Nona Lauw sebagai murid Siauw-lim Chit-kiam untuk menjelaskan persoalan salah faham akibat adu domba fihak Mancu antara Siauw-lim-pai dan Hoa-san-pai. Kami tidak berani lancang menghadap ke Siauw-lim-si, maka mendengar bahwa locianpwe dan Nona Lauw berada di sini dan kebetulan sekali mengadakan pesta ulang tahun, kami sengaja datang menyampaikan selamat ulang tahun dan ingin penjelasan untuk menghapus permusuhan. Siapa mengira bahwa Nona Lauw telah mendengar persoalannya. Kami merasa girang sekali kalau Nona Lauw sudah mengerti bahwa yang melakukan pembunuhan terhadap kedua orang locianpwe dari Siauw-lim Chit-kiam bukanlah orang Hoa-san-pai.”

Sin Lian mengangguk-angguk.
“Saya telah menghadap para pimpinan Siauw-lim-pai dan ternyata beliau semua telah mendengar dari keterangan Han Han sendiri yang datang ke sana. Apalagi setelah saya mendengar penuturan sumoi, semua permusuhan antara Siauw-lim-pai dan Hoa-san-pai telah terhapus dengan sendirinya dan kini kami hanya ingin membalas kematian kedua orang suhu saya itu kepada fihak Mancu.”

Lauw-pangcu menghela napas.
“Memang perang adalah peristiwa yang menjijikkan dan menyedihkan. Dan orang-orang Mancu telah menggunakan siasat yang amat busuk! Nah, sekarang biarlah aku menuturkan tentang adikmu, Han Han. Ketahuilah bahwa adikmu Lulu telah menjadi anak angkatku, dan menjadi adik angkat Sin Lian.”

“Aaahhh....!”

Han Han membelalakkan matanya dan menjadi bengong. Mana mungkin bisa terjadi hal ini? Bukankah Lauw-pangcu adalah musuh besar Lulu? Bukankah keluarga perwira Mancu, ayah Lulu, telah terbasmi oleh Lauw-pangcu dan anak buahnya? Dia sejak dahulu mengkhawatirkan pertemuan antara Lulu dengan Lauw-pangcu, akan tetapi ternyata kini adiknya itu malah menjadi anak angkat musuh besarnya!





1 komentar:

  1. Wow, marvelous blog layout! How long have you been blogging for?
    you made blogging look easy. The overall look of
    your website is wonderful, let alone the content!

    BalasHapus