FB

FB


Ads

Senin, 22 Desember 2014

Pendekar Super Sakti Jilid 067

“Aku mengerti, tentu engkau bingung dan heran. Semestinya Lulu datang dan membunuh aku untuk membalas dendam atas kematian keluarganya, bukan? Akan tetapi, ah.... adikmu itu adalah seorang manusia yang benar-benar memiliki watak murni dan bersih, dan aku merasa bahagia sekali bisa menjadi ayah angkatnya.”

Lauw-pangcu lalu menuturkan semua pengalaman Lulu semenjak bertemu dengannya sampai menjadi anak angkatnya dan betapa sampai setahun Lulu memperdalam ilmu silatnya di lembah Huang-ho itu.

“Enam bulan yang lalu dia berangkat meninggalkan tempat ini untuk mencarimu, bahkan telah berjanji untuk datang pada saat perayaan ulang tahun Ayah, berjanji untuk datang bersamamu. Akan tetapi mengapa engkau datang sendiri? Mana Lulu?”

Sin Lian menutup cerita ayahnya yang didengar oleh Han Han dengan muka terheran-heran dan hati terharu, juga girang. Akan tetapi pertanyaan Sin Lian membuat wajahnya muram kembali dan ia menghela napas panjang.

“Aku mencarinya ke kota raja tanpa hasil....”

Melihat kesedihan Han Han dan karena tertarik dan kagum mendengar penuturan Lauw-pangcu sehingga hatinya yang dahulu sudah terpikat oleh Lulu itu kini menjadi makin kagum, Sin Kiat segera berkata.

“Han Han, jangan khawatir. Aku akan membantumu mencari Nona Lulu sampai dapat!”

Han Han tersenyum mendengar janji yang dikeluarkan dengan suara sungguh-sungguh ini. Dia memandang wajah Sin Kiat, dapat melihat sinar penuh kasih dari mata pemuda gagah itu. Diam-diam ia merasa senang sekali kalau adiknya yang nakal itu kelak dapat berjodoh dengan pemuda ini!

“Terima kasih, Sin Kiat. Aku hanya khawatir kalau sampai terjadi sesuatu yang tidak menyenangkan menimpa diri adikku. Dia itu terlalu berani dan sembrono....”

“Han Han, engkau tidak tahu bahwa semenjak berlatih di sini selama satu tahun, Lulu bukanlah Lulu yang dahulu lagi. Ilmu kepandaiannya melonjak secara hebat sehingga Ayah sendiri dan aku, kiranya bukan tandingannya lagi!” kata Sin Lian tentu saja ia melebihkan, karena dalam hal kematangan ilmu silat, tentu saja Lulu tidak dapat menandinginya.

“Sekarang tiba giliranmu, Han Han. Ketika engkau muncul tadi, kau katakan bahwa engkau datang membawa berita penting. Akan tetapi sebelum kau ceritakan itu, aku ingin sekali mendengar mengapa.... kakimu sampai buntung, Han Han.”

Han Han tersenyum pahit dan memandang ke arah kakinya yang buntung, menghela napas panjang dan kemudian berkata,

“Urusan kecil.... salahku sendiri dan sudah semestinya buntung. Kakiku buntung akibat hukuman yang dijatuhkan oleh Toat-beng Ciu-sian-li....”

“Iblis betina yang kejam....!” Sin Lian berteriak marah, seperti mengeluarkan api. “Dan.... Lulu-moi belum tahu akan hal itu?”

Han Han menggeleng kepala dan memandang. Alangkah kaget dan herannya ketika ia melihat mata Sin Lian merah seperti hendak menahan tangis!

“Hemmm, aku sudah mendengar dari suhu akan kekejaman iblis betina itu! Sungguh keji sekali! Han-twako, kenapa dia melakukan hal sekejam itu?”

Han Han menoleh kepada Soan Li yang wajahnya menjadi pucat. Ia tersenyum.
“Tidak kejam, melainkan sudah menjadi peraturan di In-kok-san begitu. Murid yang melarikan diri akan dihukum buntung kakinya. Dan aku pernah menjadi muridnya, kemudian aku melarikan diri. Ketika akhir-akhir ini tertawan olehnya, kakiku dibuntungi sebelah. Sudahlah, hal ini sudah terjadi, tidak ada gunanya dibicarakan lagi,”

Ia terpaksa mengeluarkan ucapan hiburan ini karena melihat betapa Sin Lian dan Soan Li kelihatan marah dan kebencian hebat terpancar keluar dari mata mereka terhadap Toat-beng Ciu-sian-li.

“Yang penting adalah keperluan yang membawaku datang ke sini. Lauw-pangcu, saya merampas sebuah surat dari tangan utusan-utusan Mancu yang ditujukan kepada Su-ciangkun komandan pasukan Mancu yang bertugas melakukan pembersihan. Inilah suratnya, harap Lauw-pangcu dan cu-wi sekalian membaca agar dapat diatur bagaimana baiknya.”

Mata Lauw-pangcu terbelalak ketika ia membaca surat perintah rahasia dari Puteri Nirahai itu dan ketika ia memberikan surat itu kepada Sin Lian, kemudian dibaca pula oleh Sin Kiat dan Soan Li, Sin Kiat berseru,

“Ahhh! Puteri Nirahai inilah orangnya yang menjadi biang keladi permusuhan antara Siauw-lim-pai dan Hoa-san-pai! Dia kabarnya amat lihai dan amat cerdik mengatur siasat-siasat licik! Lauw-pangcu, kalau begitu, keadaan pangcu di sini berbahaya, harus cepat-cepat pindah....!”

Lauw-pangcu tetap tenang dan menggeleng kepala.
“Wan-sicu lupa bahwa pasukan Mancu belum menerima surat perintah ini.”

Tiba-tiba kakek itu memukul telapak tangan kirinya dengan kepalan kanannya, wajahnya berseri dan pandang matanya penuh semangat. Biarpun sudah lama sekali ia tidak lagi aktip dalam perjuangan karena selain merasa tua juga setelah menjadi ayah angkat Lulu hatinya menjadi hambar terhadap perjuangan, kini agaknya timbul kembali jiwa kepahlawanannya.

“Ah, ini kesempatan bagus sekali untuk menghancurkan mereka! Surat ini harus disampaikan kepada Su-ciangkun, biarkan mereka melakukan penyerangan ke sini. Kita mengatur barisan pendam, menjebak mereka dan dengan mudah kita akan dapat membasmi mereka! Akan tetapi surat perintah ini harus disampaikan kepada mereka!”

Han Han menerima kembali surat itu dan menyimpannya dalam sampul lalu mengantonginya.

“Tepat seperti dugaan saya bahwa pangcu akan mengambil keputusan seperti itu, karena itulah maka saya lebih dahulu datang ke sini. Biarlah saya menyerahkan urusan memasang barisan pendam itu kepada pangcu, dan saya akan melanjutkan perjalanan saya mengunjungi Su-ciangkun untuk menyerahkan surat ini.”

“Heeiii....! Ah, itu berbahaya sekali! Han Han, biarlah surat itu diserahkan oleh anak buah Pek-lian Kai-pang!”

“Lauw-pangcu, apakah kalau yang menyerahkan anak buahmu tidak berbahaya?”

“Memang tetap berbahaya, akan tetapi andaikata anak buahku sampai mati sekalipun dia akan mati dengan rela, mati sebagai gugurnya seorang pejuang.”






“Hemmm, pangcu. Apakah saya takut mati? Tidak, saya sendiri yang harus menyerahkan surat ini, bukan sekali-kali untuk membantu perjuangan karena saya masih belum bisa mengikatkan diri dengan perang, melainkan karena alasanku pribadi. Nah, selamat tinggal, aku harus pergi sekarang. Kalau terlalu lama, khawatir kalau-kalau fihak Mancu tahu bahwa utusan mereka telah kubunuh dan pembawa surat ini bukan utusan mereka, melainkan palsu!”

Setelah berkata demikian, Han Han menjura dan cepat ia terpincang-pincang keluar dari pondok itu. Setibanya di ruangan depan, para tamu memandangnya dengan penuh perhatian, akan tetapi Han Han tidak mengacuhkan mereka dan terus keluar dari tempat itu, menuruni puncak.

Setelah tiba di lereng puncak itu di mana tidak ada orang lain lagi yang akan melihatnya, Han Han lalu meloncat dan mengerahkan ilmu kepandaiannya yang mujijat, yaitu gerakan-gerakan kilat yang membuat ia dapat bergerak secara luar biasa, berloncatan seperti terbang.

“Han Han....!”

Teriakan ini membuat Han Han cepat membuang ilmunya, mematahkan daya dorongan hebat yang membuat tubuhnya seperti dapat terbang, cepat ia melayang turun ke atas tanah. Kiranya di situ berdiri Sin Lian yang memandang kepadanya dengan mata terbelalak penuh kekaguman.

“Han Han.... kau.... kau ah, betapa hebat gerakanmu tadi....!”

Wajah Han Han menjadi merah. Ia merasa jengah karena ilmunya terlihat oleh Sin Lian.
“Ah, kau terlalu memuji, Si Lian. Ada urusan apakah engkau menyusulku?”

Sin Lian menundukkan muka untuk menghindarkan pertemuan pandang, akan tetapi justeru karena menunduk, ia melihat kaki buntung itu dan seperti diingatkan ia merasa kasihan dan terharu sekali. Kini, di luar tahunya orang lain, ia tidak memaksa diri mempertahankan air matanya dan dua butir air mata menitik turun ke atas sepasang pipinya.

“Eh, Sin Lian.... kau menangis? Kenapa?”

Sin Lian menggigit bibir. Sukar sekali untuk bicara. Akhirnya setelah menghapus dua butir air mata dari pipinya tanpa disadarinya bahwa ada dua butir lagi menggantikan yang ia hapus, ia dapat berkata lirih.

“Aku.... aku kasihan melihatmu.... ngeri hatiku membayangkan betapa kakimu dipotong....”

Han Han tersenyum.
“Ah, semenjak kecil engkau adalah seorang gadis yang amat baik hati, Sin Lian. Berkali-kali engkau membelaku dan sampai sekarang pun engkau masih menaruh kasihan kepadaku. Terima kasih, Sin Lian, engkau benar-benar seorang gadis yang amat berbudi. Aku girang bahwa Lulu telah menjadi adik angkatmu.”

“Han Han, harap kau maafkan aku....”

“Ehhh? Maafkan? Kenapa?”

“Dahulu, aku telah salah sangka, mengira engkau membantu orang-orang Hoa-san-pai untuk memusuhi Siauw-lim-pai sehingga aku menghinamu, menyerangmu.”

Han Han menarik nafas panjang.
“Akulah yang harus minta maaf kepadamu, Sin Lian. Aku menganggap saudara-saudaramu orang-orang Siauw-lim-pai sebagai perampok. Ahhhhh, sudahlah, semua adalah akibat siasat busuk Puteri Nirahai. Percayalah kalau aku dapat bertemu dengan dia, akan kuberi hajaran puteri yang jahat itu! Nah, sekarang aku harap kau suka pulang, aku hendak melanjutkan perjalananku.”

Pemuda buntung itu sudah membalikkan tubuh ketika ia mendengar suara Sin Lian memanggil,

“Han Han....!”

Ia memutar tubuh. Dua pasang mata bertemu pandang, melekat, terpesona dan Han Han terkejut bukan main melihat betapa sepasang mata Sin Lian itu mengeluarkan sinar yang sama benar dengan sepasang mata Kim Cu! Salahkah penglihatannya? Ataukah.... ah, mungkinkah seorang dara seperti Sin Lian ini mempunyai rasa kasih sayang kepada dia seorang buntung? Tentu ia salah menyangka.

Hemmm, tak tahu diri, celanya kepada hatinya sendiri sambil cepat mengalihkan pandang, menunduk. Tak tahu diri, seorang pemuda buntung macammu ini mana mungkin menarik kasih sayang seorang dara seperti Sin Lian? Kalau Kim Cu memang benar mencintanya, akan tetapi cinta kasih Kim Cu terhadapnya timbul sebelum kakinya buntung. Hanya Kim Culah satu-satunya gadis di dunia ini yang dapat mencintanya, tentu saja di samping Lulu, adiknya yang ia tahu merupakan satu-satunya manusia yang ia cinta dan yang mencintanya sepenuh jiwa! Sin Lian mencintanya? Tak mungkin! Hanya dugaan yang timbul dari rasa iba diri.

“Ada apakah, Sin Lian?” tanyanya dan ia berani lagi mengangkat muka memandang setelah berhasil menguasai hatinya.

Kini ia tidak melihat lagi sinar aneh dari mata Sin Lian dan diam-diam ia mentertawakan dirinya sendiri yang ternyata telah salah menduga.

“Han Han, biarkan aku pergi menemanimu mengantar surat itu ke markas pasukan Mancu. Aku sudah bilang kepada Ayah.”

Han Han terkejut.
“Ahhh, tidak mungkin! Semua orang tentu mengenal engkau sebagai puteri Lauw-pangcu dan hal itu amat berbahaya!”

“Apakah kalau engkau yang pergi ke sana tidak berbahaya? Kalau memang akan menghadapi bahaya, biarlah kita hadapi bersama. Aku tidak takut!”

Han Han tersenyum didalam hatinya. Kalau sudah berkeras kepala begini, Sin Lian seperti masih kanak-kanak, tidak ada perubahan sama sekali sejak dahulu! Akan tetapi ia segera berkata dengan halus.

“Sin Lian, bukan demikian maksudku. Tentu saja engkau pun tidak takut akan bahaya, dan tentu saja kalau ada engkau, kita berdua akan dapat menghadapi musuh lebih kuat lagi. Akan tetapi, kalau engkau ikut, tentu rusak rencana kita semua. Mana mungkin orang-orang Mancu itu percaya akan surat yang kubawa ini? Mereka tentu akan curiga dan semua siasat yang diatur Ayahmu akan gagal. Percayalah, kalau aku sendiri yang ke sana dan mengaku sebagai kepercayaan Puteri Nirahai, tentu mereka akan percaya dan akan dapat terjebak oleh barisan pendam Ayahmu. Selain itu, ada lagi alasan pribadi mengapa aku sendiri harus menghadap perwira she Su itu, Sin Lian.”

“Akan tetapi....”

“Tidak ada tapi, Sin Lian. Engkau tinggallah di sini, dan Ayahmu amat memerlukan bantuanmu untuk menghadapi para penyerbu nanti.” Ketika melihat betapa sinar mata gadis itu masih berkeras, Han Han cepat menyambung, “Sudahlah, Sin Lian, kalau sudah selesai tugas kita, kelak kita bicara lagi sepuasnya. Selamat berpisah!”

Setelah berkata demikian, Han Han berkelebat dan terkejutlah Sin Lian karena tiba-tiba pemuda buntung itu sudah lenyap dari depannya. Ia mengangkat muka, melihat bayangan pemuda itu mencelat ke atas dan terus berloncatan amat cepatnya seperti terbang saja. Sebentar saja bayangan pemuda itu hanya tampak seperti sebuah titik hitam yang bergerak-gerak seperti seekor belalang berloncatan.

“Han Han....!”

Ia mengeluh, penuh kagum, penuh iba melihat kaki buntungnya dan penuh.... perasaan aneh di hatinya. Sejenak Sin Lian memandang sampai bayangan itu lenyap, lalu ia termenung, dan menundukkan mukanya, teringat ia akan ucapan Lulu tentang Han Han itu. Betapa secara berkelakar Lulu ingin menjodohkan dia dengan Han Han, betapa Lulu itu secara tepat mengatakan bahwa dia mencinta Han Han.

Sin Lian yang berdiri seorang diri itu tersenyum-senyum malu dengan kedua pipi berubah merah sekali, matanya berseri dan sampai lama ia berdiri melamun lupa akan segala. Dia menjadi amat heran akan sikapnya sendiri, heran akan isi hatinya. Betapapun tampannya, betapapun gagahnya, Han Han adalah seorang pemuda cacad, seorang buntung! Mengapa hatinya begini tertarik, lebih tertarik dan suka daripada dahulu ketika mereka berdua masih kanak-kanak, bahkan lebih tertarik ketika ia mendengar cerita Lulu, padahal ketika itu ia membayangkan Han Han seorang pemuda tanpa cacad? Mengapa tidak ada sedikit pun perasaan kecewa atau terhina melihat pemuda buntung itu, membayangkannya berada di sampingnya sebagai teman hidup?

Bahkan ada rasa bangga di hatinya, bangga bahwa biarpun kakinya buntung sebelah, namun Han Han memiliki kepandaian yang amat luar biasa, dan hal itu terbukti dari gerakan pemuda itu yang benar-benar belum pernah ia lihat pada orang lain! Bangga bahwa sebagai seorang buntung kakinya, seorang penderita cacad, Han Han memiliki kelebihan yang banyak sekali kalau dibandingkan dengan orang yang utuh badannya.

Sin Lian sama sekali tidak tahu bahwa bukan hanya dia seorang yang mengenang dan memikirkan pemuda buntung itu. Juga Lu Soan Li, gadis tokoh Hoa-san itu, yang semenjak pertemuan pertamanya dengan Han Han ketika masih belum buntung kakinya dahulu telah jatuh hati, kini setelah bertemu lagi dengan Han Han yang telah buntung kakinya, merasa betapa hatinya seperti ditusuk-tusuk penuh rasa iba dan haru melihat pemuda itu. Dia merasa heran mengapa hatinya seperti itu, ingin ia menghibur pemuda buntung itu, ingin membela, ingin membahagiakan hidupnya dan mengusir awan kesengsaraan yang seolah-olah menyelimuti wajah tampan yang berambut panjang itu.

“Suheng, aku merasa khawatir sekali kalau-kalau dia akan menemui bencana di markas pasukan Mancu. Dia seorang diri saja dan.... kakinya sudah buntung. Ah, suheng, mengapa kau tadi tidak mencegahnya pergi? Bukankah lebih baik suheng atau aku yang pergi mewakilinya? Sungguh kita keterlaluan sekali, membiarkan seorang buntung menempuh bahaya di sarang harimau!”

“Engkau maksudkan Han Han?” Sin Kiat bertanya, kemudian ia mengangguk. “Memang berbahaya sekali. Habis, kalau menurut pendapatmu, bagaimana baiknya, sumoi?”

“Suheng, biarlah secara diam-diam aku membayanginya. Dia berjuang untuk perjuangan bersama, kalau sampai gagal, bukan hanya dia akan celaka, akan tetapi kita di sini semua pun akan mengalami malapetaka. Akan tetapi hal ini lebih baik dirahasiakan, suheng. Suheng membantu persiapan di sini, membantu Lauw-pangcu yang akan mengatur barisan pendam untuk menjebak pasukan Mancu, sedangkan aku membantu Han-twako....”

Sin Kiat memandang wajah sumoinya dengan tajam, kemudian menghela napas dan berkata, suaranya tegas mengandung pertanyaan yang menuntut jawaban sejujurnya.

“Sumoi, engkau jatuh cinta kepada Han Han, bukan?”

Sunyi sejenak. Soan Li menundukkan mukanya dengan kedua pipi merah sekali, tak berani menentang pandang mata suhengnya yang penuh selidik, kemudian sambil menunduk ia menjawab, suaranya juga penuh tuntutan yang membela diri.

“Suheng, agaknya tidak banyak bedanya dengan perasaan hati suheng terhadap Lulu.”

Sin Kiat menarik napas panjang, lalu memegang pundak sumoinya, memaksa tubuh sumoinya menjadi tegak untuk memandang wajah sumoinya.

================================================
“Soan Li, sumoiku yang manis. Engkau tahu bahwa aku adalah sebagai kakakmu sendiri. Aku tidak akan menyalahkan perasaan hatimu, tidak pula hendak menekan kebebasan hatimu. Bahkan aku tidak akan mencela kalau engkau jatuh cinta kepada Han Han, karena memang dia seorang pemuda yang hebat! Aku sendiri amat kagum kepadanya. Dan aku tidak akan menyangkal lagi bahwa aku jatuh cinta kepada Lulu, maka akan amat picik dan liciklah kalau aku mencela sumoi jatuh cinta kepada Han Han.

Akan tetapi, keadaanmu berbeda dengan keadaanku, sumoi. Engkau telah ditunangkan dengan Tan-siucai (Sastrawan Tan) oleh suhu. Engkau tidak bebas lagi, menjadi calon isteri orang lain! Karena itu, sebagai wakil suhu, aku peringatkan kepadamu, sumoi, agar engkau selalu ingat akan kenyataan itu dan jangan menurutkan perasaan hati yang akan menyeretmu ke jalan sesat.”

Tiba-tiba Soan Li bangkit berdiri dan memandang suhengnya dengan mata penuh kemarahan.

“Suheng, apakah suheng menilai saya serendah itu?”

“Eh, sumoi, apa maksudmu?” Sin Kiat juga bangkit berdiri, alisnya berkerut.

“Suheng sendiri mengerti bahwa saya ditunangkan oleh suhu dan sebagai murid yang tidak mempunyai orang tua lagi, saya harus mentaati kehendak suhu. Saya belum pernah melihat wajah tunanganku, dan tentu saja saya tidak mencintanya. Kalau sekarang saya mencinta orang lain, adakah itu merupakan pelanggaran? Adakah itu merupakan perbuatan atau perasaan sesat? Aku mencinta Han Han, akan tetapi hal ini hanya merupakan perasaan hati saja. Jangan suheng mengira bahwa saya akan melupakan kesusilaan, akan melakukan hal-hal yang rendah dan hina, akan mengkhianati ikatan jodoh yang sudah dilakukan suhu! Jangan sekali-kali suheng mengira bahwa dengan cinta kasihku ini aku lalu akan melakukan hal-hal yang sesat!”

Melihat sumoinya berdiri dengan muka mangar-mangar (kemerahan) saking marah dan penasaran, akan tetapi sepasang matanya mengeluarkan dua butir air mata seperti dua butir mutiara yang perlahan-lahan menetes turun ke atas kedua pipinya yang kemerahan menandakan bahwa hatinya terluka dan berduka, Sin Kiat lalu memegang kedua lengan sumoinya dan berkata.

“Maafkan aku.... maafkan aku.... sumoi. Sungguh tidak patut aku mencurigai sumoiku yang bijaksana. Ahh, sumoi, kalau memang sedemikian kuat pendirianmu, aku pun tidak akan ragu-ragu lagi. Memang sebaiknya kalau Han Han dibantu, karena tugasnya amat penting. Silahkan, akan tetapi, hati-hatilah, sumoi.”

Soan Li terisak, saking girangnya dan saking terharu hatinya. Ia menghapus air matanya dan mencengkeram lengan suhengnya.

“Suheng,” katanya gemetar, “terima kasih, suheng. Akan tetapi berjanjilah jangan sampai rahasia hatiku ini terdengar oleh siapa pun juga.... akan kusimpan sebagai rahasia.... kubawa mati....”

Melihat sumoinya berkelebat hendak pergi, Sin Kiat memanggil.
“Sumoi!” Sumoinya menahan kakinya, menengok.

“Sumoi, hati-hatilah, sumoi....!”

Soan Li tersenyum manis kepada kakaknya, senyum mulutnya akan tetapi berlinangan air matanya. Setelah sumoinya pergi, Sin Kiat termenung. Takkan terlupakan selamanya bayangan wajah sumoinya ketika menengok tadi, wajah yang tersenyum manis akan tetapi yang diliputi kedukaan besar, kedukaan yang timbul karena kekecewaan hati, cinta kasih yang takkan dapat tersampaikan karena gadis itu telah terikat oleh jodoh yang ditentukan oleh suhu mereka. Wajah yang manis, akan tetapi betapa menyedihkan senyum di antara linangan air mata!

Berulang kali Sin Kiat menarik napas panjang dan diam-diam ia menyesal mengapa suhunya menentukan jodoh bagi sumoinya. Ia merasa yakin bahwa calon suami yang dipilihkan suhunya itu tentulah seorang yang benar-benar baik, akan tetapi apakah artinya kebaikan seseorang sebagai calon suami tanpa disertai rasa cinta dari fihak calon isteri?

Sin Kiat mencoba melupakan rasa duka di hatinya itu dengan menyibukkan dirinya membantu Lauw-pangcu yang mulai mengumpulkan anak buahnya bahkan dibantu oleh para tamu mengatur jebakan untuk menyambut serbuan pasukan Mancu.

Tidaklah terlalu sukar bagi Han Han untuk mendapatkan markas pasukan Mancu yang dicarinya. Markas itu berada di tepi sungai, sebuah dusun yang penduduknya telah diusir dan kini dusun itu diubah menjadi sebuah markas yang terjaga kuat.

Ketika ia berjalan terpincang-pincang dan berhadapan dengan puluhan orang tentara penjaga yang segera mengurungnya dengan todongan golok dan tombak, diam-diam Han Han merasa beruntung bahwa dia membawa surat perintah rahasia itu untuk dapat bertemu dengan Su-ciangkun. Tanpa surat itu, biarpun ia sanggup menerobos memasuki markas, namun hal itu tentu saja akan amat berbahaya mengingat betapa ketatnya penjagaan dan bahwa markas itu tentu dihuni oleh ribuan orang tentara yang tak mungkin akan dapat dilawannya sendirian saja.

“Berhenti! Siapa engkau dan mau apa mendekati benteng penjagaan?”

Bentak seorang pemimpin regu yang mengurungnya sambil menodongkan ujung goloknya di leher Han han.

Han Han bersikap angkuh dan ia menjawab,
“Jangan bersikap kurang ajar kalau kalian tidak ingin dihukum oleh Su-ciangkun! Aku adalah utusan pribadi Puteri Nirahai dari kota raja, membawa surat pribadi beliau untuk disampaikan kepada Su-ciangkun!”

Ujung golok itu agak menjauhi lehernya, namun pengurungan masih ketat. Suara kepala regu itupun tidaklah galak lagi ketika bertanya.

“Hemmm, bagaimana kami dapat tahu bahwa engkau adalah utusan dari kota raja? Masa kota raja mengutus seorang.... eh, pincang.... dan apa tandanya bahwa engkau adalah utusan kota raja?”

Han Han tersenyum di dalam hatinya. Biarpun masih memperlihatkan keraguan, setidaknya kepala regu ini sudah berhati-hati sehingga tidak berani menyebutnya buntung, melainkan pincang sungguhpun ia tidak dapat membedakan mana yang lebih merendahkan antara sebutan pincang dan buntung,

“Hemmm, beranikah engkau meragukan utusan Sang Puteri Nirahai? Tidak tahukah engkau, apa pura-pura tidak tahu bahwa Puteri Nirahai terkenal mempunyai banyak pembantu orang-orang kang-ouw sebagai pengawal-pengawal pribadi dan pengawal-pengawal rahasia? Karena sekali ini Puteri Nirahai mengirim perintah rahasia dan pribadi kepada Su-ciangkun, tentu saja mengutus seorang di antara pembantu-pembantu pribadinya, dan tidak mengutus utusan resmi. Mengertikah?”

Tentu saja para penjaga itu mengenal atau setidaknya sudah mendengar akan kekuasaan Puteri Nirahai, karena pemimpin pasukan-pasukan yang bermarkas di situ, Su-ciangkun, adalah anak buah puteri yang amat mereka kagumi dan hormati itu. Akan tetapi karena Han Han hanya seorang pemuda buntung yang sama sekali tidak mengesankan, tentu saja mereka pun ragu-ragu apakah benar orang muda macam ini menjadi utusan pribadi Puteri Nirahai.

“Maafkan kami kalau engkau betul utusan dari kota raja, orang muda. Akan tetapi, betapapun juga, kami sebagai petugas-petugas yang melakukan penjagan, tidak akan berani memperbolehkan orang luar lewat tanpa lebih dulu yakin bahwa engkau benar-benar utusan dari kota raja.”

“Hemmm, kalian boleh juga, tahu akan kewajiban sebagai penjaga-penjaga yang tertib. Nah, sekarang lihatlah ini, apakah engkau masih ragu-ragu melihat cap dari Sang Puteri?”

Ia mengeluarkan surat bersampul dan memang di bagian depan sampul itu, di atas kiri terdapat cap dari puteri yang berwarna merah. Tentu saja sebagian tentara biasa, para penjaga itu selamanya belum pernah melihat cap sang puteri, hanya mereka merasa malu untuk mengakui kebodohan mereka. Kepala regu mengangguk-angguk dengan hati bingung, lalu berkata.

“Baiklah, mari kuajak menghadap Su-ciangkun!”

Dengan hati berdebar Han Han lalu dikawal kepala regu itu memasuki benteng dan diam-diam ia terkejut melihat banyaknya tentara dengan perlengkapan yang hebat. Tidak mengherankan kalau pasukan-pasukan Mancu selalu mendapat kemenangan, kiranya selain bala tentaranya banyak, juga perlengkapan mereka cukup, dipimpin pula oleh orang-orang pandai. Dia dibawa memauki sebuah gedung besar di tengah markas dan juga di sini terdapat penjagaan yang ketat.

Setelah melalui lima lapisan penjagaan yang makin lama makin kuat, akhirnya Han Han dibadapkan pada seorang perwira Mancu yang bertubuh tinggi besar, bermata lebar dan alisnya tebal sekali. Seorang laki-laki berusia lima puluh tahun lebih yang benar-benar patut menjadi seorang pembesar tentara.

Melihat wajah perwira ini, jantung Han Han berdebar dan terbayanglah segala peristiwa yang ia lihat belasan tahun yang lalu. Tidak salah lagi, inilah wajah seorang di antara tujuh perwira, wajah yang dulu ikut tertawa-tawa ketika berpesta di dalam rumahnya, dilayani oleh ayahnya yang membongkok-bongkok dan merendahkan diri!

Sungguhpun yang memperkosa encinya dan ibunya hanya dua orang perwira yang ia kenal sebagai Giam Cu yang kini menjadi cihunya, dan Giam Kok Ma yang kini ia anggap sebagai musuh nomor satu, namun lima orang perwira lain takkan pernah terlupa olehnya.

Lima orang perwira lainnya itupun ikut bertanggung-jawab atas terbasminya keluarga orang tuanya! Ia menekan perasaan hatinya yang menegang penuh dendam ketika tiba-tiba perwira tinggi besar itu menegurnya dengan suara parau dan penuh wibawa.

“Heh, orang muda yang buntung! Engkau mengaku sebagai utusan Puteri Nirahai di kota raja! Kalau benar demikian, apa yang ditugaskan padamu?”

Han Han sadar dari lamunannya dan mendengar pertanyaan ini, maklumlah ia bahwa kepala regu yang mengawalnya sudah melaporkan kepada atasannya tanpa ia ketahui karena ia tadi termenung seperti orang mimpi. Segera ia membungkuk dan menjawab.

“Benarkah saya berhadapan dengan Su-ciangkun yang memimpin pasukan untuk melakukan pembersihan di sekitar lembah Huang-ho? Karena saya membawa perintah pribadi Sang Puteri untuk menghadap Su-ciangkun sendiri, maka saya tidak mau kalau sampai salah alamat!”

“Ha-ha-ha-ha! Bukan aku yang mencurigai engkau apakah betul-betul utusan Sang Puteri, malah engkau yang mencurigai apakah aku betul-betul Su-ciangkun. Ha-ha-ha, sungguh lucu!”

Perwira tinggi besar itu menepuk-epuk meja dan tiba-tiba mejanya amblas ke dalam lantai bersama kursi yang didudukinya dan sebelum ia lenyap ke bawah melalui lantai rahasia, terdengar suaranya,

“Tangkap dia dan rampas suratnya!”

Han Han terkejut sekali dan ketika ia memandang, ternyata ia telah dikurung oleh sembilan orang tinggi besar yang memegang golok dan bersikap mengancam. Diam-diam ia merasa heran. Apakah perwira itu mengenalnya sebagai utusan palsu? Kalau benar demikian, mengapa tidak sejak tadi ia ditangkap? Dan kalau memang benar demikiang, mengapa dia dipancing ke sini lebih dulu kemudian hanya dikurung oleh sembilan orang ini? Mengapa tidak dikerahkan pasukan besar untuk menangkap atau membunuhnya?

Ah, tak mungkin kalau Su-ciangkun mengetahui bahwa dia adalah seorang utusan palsu. Tentu perwira yang cerdik ini hendak mengujinya karena memang sudah terkenal bahwa para pembantu Puteri Nirahai adalah orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Teringat ia akan Setan Botak dan tokoh-tokoh aneh lain yang hadir ketika ia hendak ditangkap oleh Toat-beng Ciu-sian-li dahulu. Ia lalu tersenyum dan memandang ke sekeliling, kemudian berkata tenang.

“Apakah kalian begini tak tahu diri hendak mengganggu utusan Puteri Nirahai? Apakah kalian ini masing-masing memiliki nyawa rangkap?”





Tidak ada komentar:

Posting Komentar