FB

FB


Ads

Senin, 22 Desember 2014

Pendekar Super Sakti Jilid 068

Sembilan orang itu saling pandang, kemudian seorang di antara mereka yang agaknya menjadi pemimpin menjawab,

“Kami hanya melaksanakan perintah So-ciangkun yang bertanggung jawab dan kalau memang engkau benar-benar utusan Sang Puteri, tentu tidak akan gentar menghadapi kami!”

Han Han tertawa dengan hati lega karena yakinlah ia sekarang bahwa perwira tinggi besar itu benar-benar hanya mengujinya.

“Ha-ha-ha! Kalian kira begitu mudah akan merampas surat yang dipercayakan kepadaku? Surat ini sama dengan nyawaku, kalau kalian akan merampasnya, jangan harap sebelum dapat membunuhku!”

Tiba-tiba pemimpin itu berseru dan serentak sembilan orang itu maju menyerang Han Han. Pemuda ini maklum bahwa ia harus mengalahkan sembilan orang pengeroyoknya, akan tetapi ia tidak boleh terlalu menonjolkan kepandaiannya agar jangan mengejutkan hati perwira itu yang ia sangka tentulah mengintai dari tempat rahasia. Maka ia pun lalu mengerakkan tongkatnya sambil mengerahkan tenaga, tidak mempergunakan ilmunya gerak kilat. Ia memutar tongkat menghadapi golok mereka, berpusing pada satu kakinya.

Tongkatnya berubah menjadi segulung sinar yang bagaikan seekor naga melingkar menangkis sembilan batang golok yang menyerangnya. Terdengar suara nyaring sekali, sembilan kali berturut-turut, disusul golok-golok itu beterbangan cepat dan robohlah sembilan orang itu seorang demi seorang karena sambungan lutut kanan mereka telah terlepas dicium ujung tongkatnya yang bergerak amat cepat sehingga tak dapat diikuti pandang mata para pengeroyoknya!

Sembilan orang itu saking heran dan kagetnya tidak sempat berteriak dan hanya roboh memegangi lutut dan memandang Han Han dengan mata terbelalak.

Pintu terbuka dari luar dan muncullah Su-ciangkun sambil tertawa bergelak dan mengangkat ibu jari kanannya tinggi-tinggi.

“Ha-ha-ha, bukan main! Para pembantu pribadi Sang Puteri benar-benar hebat dan sicu merupakan seorang di antara yang paling hebat! Merobohkan sembilan orang pengawalku dalam segebrakan saja! Bagaimana mungkin dapat kupercaya kalau tidak menyaksikan dengan mata sendiri? Hebat.... hebat....!”

Menurut keinginan hatinya, Han Han bernafsu sekali untuk bergerak membunuh musuh besarnya ini. Akan tetapi dia tidak mau sembrono. Pertama, ia tidak mau kesalahan tangan. Setelah banyak peristiwa hebat terjadi karena kesalahan sangka sehingga akibatnya ia membunuhi orang-orang Hoa-san-pai dan Siauw-lim-pai, kini ia tidak mau bertindak sembrono lagi. Ke dua, tempat itu merupakan tempat yang amat berbahaya karena kalau ia dikurung oleh ribuan orang tentara, sangatlah sukar untuk menyelamatkan diri. Maka ia lalu menjura dan berkata sambil tersenyum.

“Ciangkun terlalu memuji. Apakah kini ciangkun percaya bahwa saya adalah utusan pribadi Puteri Nirahai?”

“Percaya.... percaya....! Hanya kepandaianmu yang membikin aku percaya, sicu. Kalau bukan pribadi, tentu membawa tanda-tanda dari pasukannya. Akan tetapi aku sudah tahu akan pembantu-pembantu pribadi Sang Puteri yang terdiri dari orang-orang aneh. Hanya di antara mereka itu belum pernah aku mendengar akan seorang pembantu yang..... eh, maaf, yang kakinya buntung seperti sicu. Aku mengenal Gak-locianpwe....”

“Maksudmu Kang-thouw-kwi, ciangkun?”

“Benar, dan masih ada lagi tiga orang murid beliau....”

Perwira itu berhenti sambil memandang muka Han Han. Pemuda ini tahu bahwa perwira itu lagi-lagi mengujinya, maka tanpa ragu-ragu lagi ia berkata.

“Tentu ciangkun maksudkan Hek-giam-ong, Pek-giam-ong, dan Hiat-ciang Sian-li Ma Su Nio?”

“Aha, kiranya sicu telah mengenal pula mereka. Tentu saja, sebagai pembantu kepercayaan Sang Puteri, sicu tentu mengenal mereka semua. Kini aku tidak ragu-ragu lagi, marilah kita bicara di dalam, sicu.”

Perwira itu lalu menggandeng tangan Han Han dan diajaknya pemuda itu memasuki sebuah kamar di dalam gedung itu. Han Han melihat bahwa di depan tiap pintu dan jendela kamar inipun dijaga oleh belasan orang pengawal, maka ia menjadi makin berhati-hati lagi.

Kamar itu besar dan megah, di dalamnya terdapat tiga orang wanita muda yang pakaian suteranya membayangkan tubuh-tubuh mulus tanpa pakaian dalam. Mereka itu cantik-cantik dan begitu memasuki kamar, Su-ciangkiin lalu menyuruh mereka pergi. Tiga orang wanita itu tadinya melempar pandang mata mesra kepada wajah Han Han yang tampan, akan tetapi ketika melihat ke bawah, ke arah kaki Han Han yang buntung, mereka membuang muka dan segera berjalan pergi dengan langkah-langkah lemah gemulai seperti menari, tubuh mereka yang membayang dari balik sutera tipis itu bergerak menggairahkan, lenyap memasuki kamar lain melalui sebuah pintu yang tertutup tirai sutera merah.

“Silakan duduk, sicu. Siapakah nama sicu?”

“Saya she Suma, ciangkun.”

Han Han sengaja menggunakan nama Suma, nama keturunannya yang asli malah, karena ia khawatir kalau-kalau perwira ini telah mendengar nama Sie Han.

Agaknya perwira itu tergesa-gesa ingin membaca surat yang dibawanya, maka tidak menanyakan namanya sehingga legalah hati Han Han yang tidak perlu membohong dan mencari nama palsu lagi. Ia lalu mengeluarkan surat bersampul itu dari sakunya, menyerahkan kepada perwira itu.

Perwira itu menerima surat, mengamati tulisan dan capnya, kemudian membuka sampul dan mengeluarkan suratnya. Setelah membaca surat itu, wajah perwira itu berseri dan ia menepuk pahanya sendiri.

“Bagus! Kiranya di sana tempat persembunyian kakek jembel yang telah lama kucari-cari itu? Hemmm, benar-benar Sang Puteri amat hebat dan cerdik, sudah dapat mengetahui tempat persembunyiannya. Sekarang ini akan dapat kuhancurkan sisa-sisa Pek-lian Kai-pang yang sudah banyak membikin pusing para petugas keamanan! Silakan Suma-sicu kembali ke kota raja dan melaporkan bahwa kami akan melaksanakan perintah Sang Puteri sebaik-baiknya. Dan sebaiknya sicu menunggang kuda, akan kuperintahkan menyediakan kuda terbaik dan bekal secukupnya!”

Akan tetapi Han Han mengangkat tangan kanannya dan berkata,
“Tidak, ciangkun. Saya menerima tugas dari Sang Puteri untuk menyaksikan sendiri sampai perintah itu dilakukan dengan hasil baik, bahkan saya diperintahkan membantu. Setelah berhasil, baru saya akan kembali ke kota raja dan menyampaikan pelaporan kepada Sang Puteri.”






“Begitukah? Bagus sekali!” Perwira itu menjadi girang dan wajahnya berseri. “Dengan bantuan sicu yang gagah perkasa, akan lebih cepat para pemberontak itu dihancurkan!”

Perwira itu lalu bertepuk tangan dua kali. Masuklah lima orang pelayan wanita yang cantik-cantik. Dengan suara keras dan singkat Su-ciangkun memberi perintah untuk mengeluarkan hidangan.

Han Han merasa sungkan sekali, karena ketika perwira itu mengajaknya makan minum telah memanggil tiga orang wanita cantik setengah telanjang tadi dan menyuruh mereka melayani!

“Ha-ha-ha, jangan sungkan-sungkan, Suma-sicu. Mereka ini adalah selir-selirku yang bertugas mengawani dan melayaniku di sini. Jangan sungkan, kalau sicu menginginkan seorang di antara mereka, tunjuk saja! Ha-ha-ha, aku akan merasa bangga kalau ada selirku yang memenuhi selera seorang seperti sicu.”

“Terima kasih, ciangkun. Ti.... tidak.... saya.... saya amat lelah dan setelah makan akan beristirahat. Perjalanan jauh yang saya lakukan amat melelahkan. Pula, saya rasa ciangkun akan melakukan persiapan secepatnya untuk segera menyerbu para pemberontak itu.”

“Ha-ha-ha-ha! Suma-sicu benar mengagumkan, begini penuh semangat! Baiklah, kalau sicu ingin beristirahat.” Ia memberi tanda dengan tangan kepada seorang di antara tiga orang wanita itu. “Kau antarkan Suma-sicu ke kamar tamu sebelah kanan!”

Han Han menjura kepada perwira itu, menyambar tongkatnya dan terpincang-pincang mengikuti wanita yang berjalan dengan pinggul menari-nari. Wanita itu membawanya ke sebuah kamar yang indah dan terlalu bersih bagi Han Han yang semenjak meninggalkan Istana Pulau Es belum pernah memasuki kamar seindah ini.

“Saya akan menemani taihiap semalam di sini....”

Wanita itu tersenyum dan membanting tubuhnya ke atas tempat tidur. Karena ia menjatuhkan diri terlentang, sutera penutup tubuhnya yang memang tidak rapat itu tersingkap dan tampaklah oleh Han Han kulit paha dan perut yang putih kuning. Matanya menjadi “silau” dan ia memejamkan kedua matanya.

“Hi-hi-hik.... marilah taihiap.... apakah seorang gagah perkasa seperti taihiap takut kepadaku? Hi-hik....!”

Han Han merasa betapa kedua lengan wanita itu yang telah bangkit seperti dua ekor ular merayap melingkari lehernya, tubuh wanita itu menggeser-geser tubuhnya dan bau harum memasuki hidungnya. Han Han mengeraskan hati dan sekali renggut dan mendorong, tubuh wanita itu terhuyung ke belakang dan wanita itu menjerit kecil.

“Maaf....!” Han Han membuka matanya. “Aku.... aku mau tidur sendiri.”

Wanita itu tertawa.
“Hi-hik, taihiap masih.... masih jejaka tulen?”

Han Han memandang tajam dan berkata agak ketus,
“Pergilah, aku mau mengaso!”

Ketika bertemu pandang dengan sinar mata pemuda itu, si wanita kaget dan seperti seekor anjing dipukul dia tergesa-gesa pergi dari kamar itu melalui pintu, lupa untuk menggoyang kibulnya seperti biasa!

Hari itu juga Su-ciangkun mengadakan persiapan, memanggil semua perwira pembantunya dan mengatur rencana untuk mengirim seribu orang pasukan menyerbu tempat persembunyian Pek-lian Kai-pang di lembah Huang-ho.

Han Han yang diberi kebebasan pura-pura ikut pula melakukan pemeriksaan, bahkan ia lalu membantu untuk melakukan penjagaan dengan dalih kalau-kalau ada mata-mata musuh yang menyelundup dan mengetahui persiapan mereka.

Su-ciangkun yang sudah mempercayainya tidak menjadi curiga dan Han Han lalu keluar dari benteng untuk “melakukan pemeriksaan” di luar daerah benteng. Padahal ia hendak mengenal tempat itu sehingga kalau sewaktu-waktu ia turun tangan membunuh musuhnya, ia akan mengenal jalan untuk menyelamatkan diri. Ia mengambil keputusan untuk membiarkan Su-ciangkun mengirim pasukannya untuk dibasmi oleh Lauw-pangcu yang memasang jebakan, kemudian dengan alasan ikut pula menyerbu, ia akan mempunyai banyak kesempatan “membereskan” musuh besarnya itu.

Hari telah menjadi malam ketika Han Han berjalan-jalan di luar benteng tanpa dicurigai para penjaga yang kini menganggapnya sebagai seorang utusan kota raja yang menjadi tamu Su-ciangkun, dan bahkan pemuda yang kabarnya amat lihai itu akan membantu pula penyerbuan sarang pemberontak.

Tiba-tiba Han Han melihat berkelebatnya bayangan orang di antara pohon-pohon di luar benteng. Pandang matanya yang tajam dapat melihat bahwa bayangan itu adalah orang yang tidak ingin dilihat penjaga.

Cepat ia menengok ke kanan kiri dan setelah merasa yakin tidak ada penjaga yang melihatnya, ia menggunakan kepandaiannya mencelat ke tempat itu, menyelinap di antara gerombolan pohon, mencelat ke atas dan tampaklah olehnya bayangan hitam berindap-indap di antara batang-batang pohon. Bagaikan seekor burung garuda menyambar, tubuhnya menukik ke bawah, ke arah bayangan itu.

Sebatang pedang yang berkilauan sinarnya menyambut tubuhnya. Han Han cepat mengelak dan menangkap pergelangan tangan yang memegang pedang sambil berbisik,

“Sssttttt, aku Han Han, Nona Lu....!”

Lu Soan Li, bayangan itu, kaget bukan main. Kaget karena hampir saja pedangnya melukai atau membunuh orang yang hendak dilindunginya! Juga ia amat kagum, bahkan tidak mengerti bagaimana pergelangan tangannya sampai dapat ditangkap oleh orang yang diserangnya itu. Kagum betapa setelah kakinya buntung, agaknya Han Han kini malah memiliki kelihaian yang amat luar biasa!

“Han-twako.... kau.... ahhh, betapa gelisah hatiku setengah hari lamanya, aku berkeliaran di sini, tidak tahu harus berbuat bagaimana untuk mendengarkan hasil kunjunganmu ke sarang harimau itu!”

Kata Soan Li sambil menyimpan pedangnya, setelah menarik napas lega melihat bahwa orang yang dijadikan kenangan ternyata selamat.

“Nona, kenapa engkau bisa berada di sini? Mengapa engkau.... eh, agaknya menyusulku....?”

“Aku.... mengkhawatirkan keadaanmu, twako. Dan aku ingin.... ingin membantumu....”

Han Han memandang muka yang ditundukkan itu. Cuaca sudah gelap, akan tetapi ia masih dapat melihat muka tunduk itu di bawah sinar bintang-bintang yang memenuhi langit biru. Heran dia mengapa nona ini susah payah hendak melindunginya? Ingin ia menegur, akan tetapi melihat gadis itu menundukkan muka dan bersikap seperti seorang anak kecil takut dimarahi, ia tidak tega untuk menegur, hanya berkata.

“Ah, kenapa Sin Kiat membiarkan engkau menempuh bahaya ini? Kedatanganmu ini amat berbahaya, Nona.”

“Apakah kunjunganmu ke benteng itu tidak kurang berbahaya?”

Han Han menghela napas.
“Nona, aku telah berhasil bertemu dengan Su-ciangkun. Besok pagi-pagi pasukan terdiri dari seribu orang akan diberangkatkan ke sana untuk menyerbu. Lebih baik malam ini juga Nona kembali ke sana memberi kabar kepada Lauw-pangcu. Aku akan pura-pura ikut menyerbu. Kembalilah....”

“Akan tetapi.... apakah.... apakah amat yakin hatimu bahwa engkau tidak.... tidak akan terancam bahaya di sana....?”

Bertanya demikian, saking khawatirnya, Soan Li sampai lupa diri dan kedua tangannya memegang lengan Han Han.

Han Han merasa betapa dari jari-jari tangan itu tersalur getaran-getaran aneh. Jantungnya berdebar. Apa pula ini? Mengapa gadis ini begini mengkhawatirkan keselamatannya sehingga melupakan keselamatan diri sendiri? Apakah yang terjadi dalam hati nona ini? Seperti mimpi, tanpa ia sadari, mulutnya mengeluarkan bisikan hatinya yang penuh dugaan dan pertanyaan.

“Lu-siocia, mengapa tanganmu gemetar....?”

Soan Li yang mendengar ini seperti didongkel isi hatinya, jari-jari tangannya malah mencengkeram lengan Han Han dan suaranya terdengar penuh perasaan dan gemetar!

“Twako.... Han-twako, aku.... amat khawatir kalau-kalau engkau akan celaka....”

Han Han tertawa. Teringat ia akan adiknya, Lulu. Dalam keadaan gelap, ia merasa seolah-olah gadis ini adalah Lulu. Bentuk tubuhnya hampir sama, dan harum rambutnya sama dengan harum rambut Lulu, suaranya juga hampir sama menggetarkan kekhawatiran dengan perhatian sepenuhnya atas keselamatan dirinya. Karena teringat kepada Lulu, Han Han merasa terharu sekali dan mengangkat kedua tangan, ditaruhnya kedua tangan ke atas pundak Soan Li dan berkata dengan suara halus.

“Adikku yang baik, jangan engkau mengkhawatirkan aku....!”

Han Han terkejut sekali karena tiba-tiba gadis itu terisak dan ia merasa betapa muka itu menimpa dadanya, dan bajunya menjadi basah oleh air mata yang menembus ke kulit dadanya! Sejenak ia tertegun, terharu dan tangannya mengusap rambut yang halus itu. Kemudian ia teringat bahwa bukan Lulu yang dielus rambutnya, melainkan Lu Soan Li, Hoa-san Kiam-li! Ia menurunkan tangannya dan bertanya.

“Nona Lu.... mengapa kau....?”

Soan Li menahan napas, menahan tangis, kemudian merenggangkan tubuhnya.
“Twako.... aku.... aku.... akan merasa sengsara sekali kalau kau sampai celaka.... hati-hatilah, twako....!”

Tubuhnya lalu berkelebat dalam gelap dan ia lenyap dari depan Han Han ditelan kegelapan malam. Sampai lama Han Han berdiri termenung di tempat itu, mengerutkan keningnya dan tiada habisnya mengherankan sikap gadis itu.

Karena ia benar-benar tidak mengerti dan tidak dapat menduga apa yang menyebabkan Soan Li berhal seperti itu, menangis di dadanya dan mengucapkan kata-kata seperti itu, ia menggaruk-garuk rambut kepalanya. Mimpikah dia? Dirabanya bajunya. Masih basah oleh air mata gadis itu. Soan Li telah menangis karena mengkhawatirkan keselamatannya! Betapa mungkin ini? Terbayanglah ia akan wajah Sin Lian. Tak salah lagi, Sin Lian mencintanya, Seperti Kim Cu.

Ahhh, Kim Cu, Sin Lian, dan Soan Li! Tiga wajah gadis jelita itu berganti-ganti terbayang di depan matanya, membuat Han Han menjadi bingung dan pandang matanya kabur, kepalanya pening. Ia cepat-cepat membalikkan tubuhnya kembali ke benteng. Lebih baik menghilangkan kebingungan ini dengan tidur nyenyak, untuk menghadapi peristiwa besok pagi. Besok ia akan membunuh Su-ciangkun, akan tetapi ia harus mendapat kepastian lebih dulu bahwa perwira tinggi besar itu benar-benar seorang di antara tujuh orang perwira yang menjadi musuh besarnya.

Soan Li berlari di malam gelap sambil masih terisak-isak. Hatinya penuh dengan dua macam perasaan, bahagia dan juga berduka. Han Han mencintanya! Terasa oleh hatinya, ketika tangan pemuda itu terletak di atas kedua pundaknya, ketika jari-jari tangan itu mengelus rambutnya. Dan dia, biarpun tanpa kata-kata, telah memperlihatkan rasa cintanya terhadap pemuda itu. Matanya terasa panas ketika ia teringat akan hal ini. Ia merasa malu sekali. Ah, malu apa? Biarlah! Memang demikian kenyataan hatinya. Dia mencinta Han Han! Biarpun takkan mungkin dia menyambung cinta kasihnya dengan perjodohan, biarpun dia akan menjadi isteri orang lain, hanya tubuhnya saja yang terpaksa ia serahkan kepada suami pilihan gurunya. Akan tetapi hati dan kasih sayangnya telah ia serahkan kepada Han Han!

SoanLi menjatuhkan diri dibawah pohon. Duduk bersandar pohon, mengenangkan semua peristiwa tadi. Peristiwa yang takkan ia lupakan selama hidupnya. Biarlah, selagi masih jelas terukir di lubuk hatinya, selagi sentuhan tangan Han Han pada pundak dan rambutnya masih terasa hangat, selagi air matanya yang tadi membasahi dada pemuda itu kini masih ada sisanya, biarlah ia mengenangkan saat-saat bahagia itu. Gadis itu tersenyum penuh kebahagiaan, akan tetapi air matanya terus mengalir.

Tak lama kemudian ia meloncat bangun dan melanjutkan perjalanannya. Ia teringat akan tugasnya. Dia harus segera melapor kepada Lauw-pangcu agar dapat melakukan persiapan sebaiknya. Musuh akan menyerbu, berangkat besok pagi. Seribu orang banyaknya!

Karena malam gelap dan perjalanan itu melalui hutan-hutan di sepanjang tepi Sungai Huang-ho, Soan Li tidak dapat mempergunakan lari cepatnya. Ia berjalan dengan cepat menyusuri sungai. Baru nanti menjelang pagi ia akan tiba di sarang Pek-lian Kai-pang. Namun belum terlambat. Pasukan musuh baru akan berangkat besok pagi, tentu akan menyerbu besok sore.

Lewat tengah malam, selagi gadis ini berjalan dekat sungai, tiba-tiba ia melihat dua buah perahu mendarat. Ia menjadi curiga, apalagi ketika melihat betapa orang-orang yang berloncatan keluar dari dua buah perahu itu amat gesit dan ringan tubuhnya. Cepat ia menyelinap di antara pohon dan mendekati mereka.

Dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika ia melihat orang terakhir yang keluar dari perahu adalah Ma-bin Lo-mo! Ouw Kian si Muka Bopeng juga berada di situ, bersama seorang yang mukanya seperti tengkorak dan seorang hwesio bertubuh gemuk. Dia menduga-duga. Apakah Ma-bin Lo-mo dan pembantu-pembantunya itu akan menyerbu pula ke benteng?

Biarpun Ma-bin Lo-mo terkenal seorang pejuang pula, akan tetapi teringat akan sikapnya ketika menghadiri perayaan ulang tahun Lauw-pangcu, Soan Li menganggapnya sebagai musuh dan ia merasa lega bahwa kakek lihai itu muncul terakhir sehingga kehadirannya di situ tidak diketahui orang.

Kalau Ma-bin Lo-mo yang meloncat ke darat lebih dulu, besar bahayanya kedatangannya mendekat akan diketahui oleh tokoh In-kok-san itu. Dari perahu ke dua muncul belasan orang berpakaian.... pengawal Mancu! Soan Li memandang dengan jantung berdebar. Apa artinya ini? Ma-bin Lo-mo datang bersama belasan pengawal Mancu? Sungguh aneh dan mencurigakan.

“Siangkoan-locianpwe, ada keperluan apakah locianpwe memanggil saya dan Kek Bu Hwesio di tengah malam begini dan ke mana kita hendak pergi?” Si Muka Tengkorak bertanya kepada Ma-bin Lo-mo.

“Dan mereka itu.... kenapa berada di sini bersama locianpwe?” tanya pula hwesio gemuk.

“Hemmm.... kalian belum mengerti. Telah terjadi perubahan hebat sekali di kalangan para pejuang. Mereka itu telah menyeleweng dan malah membantu si pengkhianat Bu Sam Kwi! Aku melihat perubahan besar. Kekuasaan Mancu seperti munculnya matahari yang tak terkalahkan, dan sebaliknya pertahanan Bu Sam Kwi memperpanjang perang dan menyusahkan banyak rakyat. Sudah tiba waktunya kita berganti haluan dan berlaku cerdik. Aku menerima tawaran Kang-thouw-kwi dan Toat-beng Ciu-sian-li untuk membantu pemerintah menghancurkan Se-cuan.”

“Omitohud....!” Hwesio itu berkata lirih.

“Apa!? Siapa tidak setuju dan siapa tidak suka membantuku?”

“Ohhh, tidak.... tidak.... pinceng setuju dan suka membantu.”

“Saya pun akan membantu dan selalu siap mengikuti jejak locianpwe,” kata Si Muka Tengkorak.

“Nah, dengarlah baik-baik. Pasukan ini membawa pesan dari Su-ciangkun, yaitu komandan yang bertugas di daerah ini, untuk memanggil aku karena di markas itu muncul seorang mata-mata musuh.”

“Siapa....?” Tanya Si Hwesio Gemuk.

“Bocah buntung terkutuk itu. Han Han!”

“Eh, bukankah dia dahulu yang kita bakar di kapal....?” Si Muka Tengkorak bertanya.

“Tidak ada waktu untuk bercerita panjang. Bocah itu telah menyelundup ke dalam benteng dan mengingat bahwa dia kini lihai bukan main, kita harus menyergapnya, dan menurut perintah Su-ciangkun, harus dapat kita tangkap hidup-hidup untuk memaksa fihak pemberontak agar suka menakluk. Hayo kita berangkat!”

Dapat dibayangkan betapa kaget hati Soan Li yang mendengarkan semua ini. Tanpa berpikir panjang lagi gadis itu lalu melesat pergi untuk cepat-cepat kembali ke benteng. Dia harus memberi tahu Han Han. Dengan cara apa pun juga. Ternyata, entah bagaimana caranya, rahasia Han Han telah diketahui musuh! Betapa lihainya musuh!

“Heiii.... siapa itu? Kejar!”

Ma-bin Lo-mo yang berpendengaran tajam dan bermata jauh lebih awas daripada yang lain, sudah melihat berkelebatnya bayangan Soan Li dan langkah kaki gadis itu. Dia cepat mengejar, diikuti oleh tiga orang pembantunya dan para pengawal pasukan yang sudah mendaratkan kuda mereka. Empat ekor kuda disediakan untuk Ma-bin Lo-mo dan para pembantunya. Terdengarlah derap kaki belasan ekor kuda yang melakukan pengejaran.

Soan Li juga mendengar derap kaki kuda yang makin lama makin jelas. Dia mengerahkan seluruh tenaganya dan berlari secepat mungkin. Dia harus mendahului mereka tiba di benteng! Dia akan mengamuk sehingga Han Han yang mendengar amukannya akan keluar dan akan mendengar peringatannya.

Han Han harus diselamatkan. Kalau ia terlambat, celakalah pemuda itu! Betapapun lihainya Han Han, tidak mungkin dapat melawan Ma-bin Lo-mo, apalagi masih ada empat orang pembantunya dan para pengawal, ditambah ribuan orang tentara di dalam benteng. Dia harus berlari cepat. Nyawa pemuda yang dicintanya itu tergantung pada kekuatan kedua kakinya berlari!

Di dalam tubuh setiap orang manusia memang terdapat kekuatan yang maha dahsyat, yang gaib dan sukar diukur oleh akal manusia. Kekuatan maha dahsyat ini kadang-kadang timbul di luar kesadaran, agaknya selalu bersembunyi di bawah sadar. Timbul apabila si manusia berada dalam keadaan tak sadar oleh perasaan yang menghimpitnya. Orang yang berduka hebat kadang-kadang dapat bertahan untuk berpuasa sampai berbulan-bulan yang takkan mungkin dapat tertahan tubuh seorang manusia dalam keadaan biasa.

Seorang yang sedang ketakutan hebat kadang-kadang dapat melakukan hal-hal yang ajaib seperti mengangkat benda yang beberapa kali lipat lebih daripada daya kekuatan tubuhnya, dapat melompat jauh lebih tinggi daripada kemampuannya dalam keadaan biasa.

Demikian pula dengan Soan Li. Gadis ini sebagai murid Im-yang Seng-cu, memang telah memiliki ilmu kepandaian tinggi, memiliki sin-kang kuat dan gin-kang yang hebat sehingga memungkinkan dia lari cepat sekali. Akan tetapi, dalam keadaan penuh kekhawatiran, ketegangan seperti saat itu, kekuatan maha dahsyat yang mujijat itu timbul di luar kesadarannya sehingga membuat kecepatan larinya menjadi berlipat ganda apabila dibandingkan dengan kemampuannya yang biasa. Bahkan kejaran kuda yang dibalapkan itu masih tidak mampu menyusulnya!

Setelah malam terganti pagi, sinar matahari mulai muncul mendahului mataharinya sendiri, Soan Li telah lari mendekati benteng. Peluhnya membasahi seluruh pakaiannya, napasnya terengah-engah dan kini Ma-bin Lo-mo bersama tiga orang pembantunya yang sudah meninggalkan kuda, sudah amat dekat dibelakangnya.

“Berhenti....!” Ma-bin Lo-mo berteriak. “Bukankah engkau gadis yang kemarin dulu berada dirumah Lauw-pangcu?”

Soan Li maklum bahwa kalau ia sampai tersusul, ia akan celaka. Akan tetapi hal ini sama sekali tidak menggelisahkan hatinya. Yang amat menggelisahkan hatinya adalah bahwa kalau dia terpegang oleh Ma-bin Lo-mo, berarti Han Han akan celaka! Maka ia lalu mengerahkan tenaganya dan melompat jauh ke depan. Biarpun Ma-bin Lo-mo suaranya terdengar dekat, namun sebenarnya masih agak jauh.

“Berhenti, kalau tidak pinceng terpaksa merobohkanmu!”

Terdengar pula bentakan dari belakang. Akan tetapi Soan Li berlari terus, tidak mempedulikan teriakan-teriakan di belakangnya.

Pada saat itu, pintu benteng terbuka dan muncullah sepasukan tentara Mancu didahului oleh dua ekor kuda yang ditunggangi oleh Su-ciangkun sendiri dan Han Han, disamping tentara yang memegang bendera kebesaran Su-ciangkun.

“Han Han....!”

Jerit suara Soan Li melengking amat nyaringnya. Akan tetapi terdengar bentakan dari belakangnya.

“Robohlah, bocah keras kepala!”

Serangkum tenaga yang amat dahsyat menyambar dari belakang. Soan Li yang memiliki ilmu kepandaian cukup tinggi, maklum bahwa Ma-bin Lo-mo menyerangnya dengan pukulan sin-kang, pukulan jarak jauh yang amat kuat. Cepat ia mengelak dengan meloncat ke samping, akan tetapi tetap saja hawa pukulan Swat-im Sin-ciang menyerempetnya dan ia terhuyung-huyung, merasa betapa tiba-tiba seluruh tubuhnya menjadi dingin sekali. Pada saat tubuhnya terhuyung itu, terdengar teriakan Han Han.

“Soan Li....!”

“Han Han.... awas.... tertipu....!”

“Syut-syut-syut-ser-ser-ser....!”

Ketika tangan Kek Bu Hwesio, yaitu hwesio gemuk yang menjadi pembantu Ma-bin Lo-mo bergerak, belasan batang panah tangan telah beterbangan menyambar ke arah tubuh Soan Li dari belakang. Memang hwesio yang menjadi pelarian Kong-thong-pai ini memiliki keahlian mempergunakan panah tangan.

Soan Li sedang terhuyung dan perhatiannya tertarik kepada Han Han, maka biarpun ia berusaha melempar tubuh mengelak, tetap saja ada enam batang anak panah mengenai tubuhnya, menancap di pundak, punggung dan lengan.

“Aduhhhhh....! Han Han.... Han-twako.... awas....!”

“Soan Li....!”

Han Han sudah sejak tadi mencelat dari atas kudanya dan dengan kecepatan luar biasa sekali tubuhnya berloncatan ke depan sehingga dalam beberapa detik saja ia sudah tiba di tempat itu. Namun terlambat. Dengan mata terbelalak pemuda ini melihat betapa tubuh Soan Li penuh dengan anak panah dan dara ini merangkak ke arahnya dengan tangan terulur ke depan dan bibir mengeluarkan kata-kata.

“Han Han.... mereka akan membunuhmu.... kau terjebak....!”





Tidak ada komentar:

Posting Komentar