FB

FB


Ads

Senin, 22 Desember 2014

Pendekar Super Sakti Jilid 063

“Wuuuuuttttt....!”

Tubuh nikouw itu meluncur ke depan karena dalam kenekatannya nikouw ini sudah mengerahkan gin-kang ketika meloncat dan tidak menggunakan tenaga sinkang untuk melindungi kepalanya karena ia ingin agar sekali bentur, kepalanya akan pecah.

“Plakkk....!”

Kepala nikouw itu bertemu dengan telapak tangan Han Han yang lunak karena Han Han sama sekali tidak menggunakan tenaga pula ketika ia tadi cepat meloncat ke depan arca dan menaruh tangannya di depan kaki arca, telapak tangannya menyambut kepala nikouw itu sehingga tangannyalah yang terhimpit dengan keras ke kaki arca.

Nikouw itu terpental ke belakang, cepat meloncat berdiri dan memandang dengan mata terbelalak kepada Han Han. Ia melihat tangan kanan pemuda buntung itu bercucuran darah yang keluar dari luka di punggung tangannya, darah yang membasahi kaki arca sehingga menjadi merah.

“Kim Sin Nikouw, apa yang kau lakukan ini?”

Kini suara Han Han terdengar keras dan pandang matanya penuh daya pengaruh menundukkan. Nikouw muda itu seperti terpesona, seperti baru bangun dari mimpi dan ia mamandang wajah Han Han yang pucat, dahi berkerut, mulut yang membayangkan derita, akan tetapi sinar mata yang tajam berwibawa.

“Han Han....!” Kim-Sim-Nikouw mengeluh.

“Kim Sim Nikouw, sadarlah bahwa tidak ada dosa yang lebih besar, tidak ada sifat pengecut yang paling rendah daripada membunuh diri!” Suara Han Han kini tidak menggetar penuh keharuan seperti tadi, bahkan keras dan tegas. “Akulah yang salah dan engkau benar. Memang sebaiknya begini. Engkau menjadi nikouw dan menemukan kebahagiaan. Adapun aku.... hemmm.... terus terang saja, Kim Sim Nikouw, aku hanya kasihan dan ingin membalas budi, dan melihat engkau berbahagia di sini, aku pun akan merasa lega. Biarlah kita saling mendoakan saja. Selamat tinggal....!” Tubuh Han Han berkelebat dan lenyap dari ruangan itu.

Sejenak nikouw muda itu berdiri termangu, memandang ke arah lenyapnya bayangan Han Han, kemudian ia menjerit kecil yang merupakan rintihan dan menubruk depan arca Sang Buddha yang masih tersenyum penuh pengertian, seolah-olah memandang kelakuan dua orang anak manusia itu sebagai kelakuan dua orang anak-anak nakal. Kim Sim Nikouw merintih dan menangis, menciumi ujung kaki arca yang merah oleh darah Han Han, mulutnya berbisik-bisik menyebut nama Han Han dan air matanya mencuci noda darah di kaki arca itu. Darah Han Han!

Han Han sejenak memandang penglihatan yang meremas hatinya itu. Melihat betapa Kim Cu menangis dan menciumi bekas darahnya, ingin Han Han masuk kembali dan mendekapnya, memaksanya meninggalkan kuil dan memasuki dunia memeluk kebahagiaan bersama dia. Akan tetapi, kesadarannya membisikan bahwa perbuatannya itu tidaklah benar. Sudah pastikah bahwa kelak Kim Cu akan hidup bahagia di sampingnya? Apakah dia mencinta Kim Cu?

Memang, mengingat akan budi gadis yang cantik jelita dan amat murni cintanya itu, siapakah orangnya tidak akan menyatakan cinta kepadanya? Betapapun juga, Han Han ragu-ragu dan merasa yakin bahwa sebaiknya ia meninggalkan Kim Cu dalam usaha menemukan bahagia. Tadi ia sengaja keras, sengaja menyadarkan Kim Cu bahwa dia hanya kasihan dan ingin membalas budi, sama sekali bukan mencinta!

Sekali lagi Han Han memandang Kim Cu, seolah-olah hendak mengusir bayangan nikouw muda itu di lubuk hatinya, kemudian ia menghela napas dan berkelebat pergi menghilang di dalam gelap. Peristiwa pertemuannya dengan Kim Cu itu tanpa disadarinya sudah menambah sebuah guratan lagi di dahinya.






Penjahat yang tadi memasuki Kuil Kwan-im-bio dengan niat jahat memperkosa nikouw muda dan telah mendapat hajaran keras dari Kim Sim Nikouw, malam itu juga meninggalkan dusun menunggang kudanya perlahan-lahan. Tubuhnya masih lemah dan kedua pundaknya terasa nyeri apabila terguncang terlalu keras, maka ia tidak berani melarikan kudanya, ia menyumpahi nasibnya yang amat buruk.

Siapa kira di dalam kuil sunyi seperti itu terdapat seorang nikouw muda yang demikian lihai? Tadinya ia mendengar berita bahwa Kuil Kwan-im-bio mempunyai nikouw-nikouw muda yang amat cantik, sehingga tergeraklah hatinya. Dan sore tadi ia telah menyelidiki dan melihat bahwa memang desas-desus yang didengarnya itu ternyata benar. Ia melihat nikouw muda yang amat cantik jelita.

“Sialan....!” pikirnya.

Sudah banyak wanita yang ia renggut kehormatannya. Memang dia terkenal sebagai jai-hwa-cat di samping seorang pencuri ulung. Akan tetapi belum pernah ia memperkosa seorang nikouw. Tentu seorang nikouw sebagai wanita yang selalu menjaga kesucian tubuh dan hatinya, akan merupakan mangsa yang hebat, maka ia tidak peduli lagi apakah dia melakukan pelanggaran yang amat besar, dan malam itu hampir saja terlaksana apa yang ia sering kali mimpikan.

Akan tetapi, agaknya para dewa tidak mengijinkan perbuatannya sehingga ia bertemu dengan nikouw muda itu. Hemmm, masih untung, pikirnya. Justeru nikouw muda itu yang ia incar. Kalau ia tidak salah masuk ke kamar nikouw ke dua yang juga memiliki tubuh yang benar-benar tidak disangka-sangka, amat menggairahkan, kalau ia masuk ke kamar wanita muda yang lihai itu.... ihhh, ngeri ia membayangkan. Agaknya ia belum tentu akan keluar dari kuil itu dalam keadaan bernyawa!

Tiba-tiba ada bayangan berkelebat, kudanya meringkik dan mengangkat kedua kaki depan ke atas seperti ketakutan. Ketika penjahat itu berhasil menenangkan kudanya dan memandang dengan bantuan sinar bulan, ia terkejut melihat seorang pemuda buntung telah berdiri di depan kuda, memandangnya dengan sepasang mata seperti mata harimau. Karena dia sedang murung, penjahat itu yang memandang rendah sipemuda buntung, membentak.

“Heh, bocah buntung! Minggir! Apa kau ingin mampus diinjak-injak kuda?”

Pemuda yang bukan lain adalah Han Han ini, tersenyum dingin. Dia tadi melarikan diri dari kuil dan hatinya yang sedang dilanda perasaan duka itu membuat ia berloncatan seperti kilat cepatnya, mempergunakan ilmu kepandaiannya yang istimewa. Sebentar saja ia sudah dapat menyusul penjahat berkuda itu dan begitu melihat penjahat ini, Han Han timbul kesebalan hatinya dan ia sengaja menghadang.

“Hemmm, jai-hwa-cat, apakah yang kau lakukan di kuil tadi?”

Penjahat itu pucat wajahnya. Ia membesar-besarkan hatinya, akan tetapi karena kedua pundaknya tak dapat digerakkan sehingga kedua lengannya pun setengah lumpuh, pergelangan tangan kanannya pun tidak boleh dipakai bergerak, ia maklum akan keadaan dirinya yang sedang terluka dan lemah.

“Aku.... aku terluka.... dan aku sudah diampuni para nikouw....” katanya gagap.

Han Han memandang penuh selidik.
“Andaikata aku membantumu mendapatkan nikouw muda itu dalam keadaan tidak berdaya sehingga engkau akan dapat melakukan apa juga atas dirinya tanpa ia mampu melawan, engkau akan memberi hadiah apa kepadaku?”

“Wah, jangan main-main, orang muda. Nikouw yang cantik itu memiliki ilmu kepandaian lihai bukan main, sedangkan kau seorang buntung kakimu....”

“Hemmm, apakah dia selihai ini?” Han Han mengempit tongkatnya, kedua lengannya dikembangkan secara tiba-tiba ke kanan kiri.

“Kraaakkk.... kraaakkkkk.... bruukkk....!” Dan batang pohon di kiri kanannya ambruk dan terjebol akarnya.

Penjahat itu terbelalak, dan wajahnya berubah girang setengah ngeri ketika ia berkata,
“Hebat sekali! Orang muda perkasa, kalau engkau mampu menangkap nikouw itu dalam keadaan tak berdaya sehingga aku dapat.... eh, dapat membalas dendam kepadanya, aku.... aku akan memberimu kuda ini, dan sekantung uang perak!”

“Kau tentu hendak memperkosanya?”

Penjahat itu menyeringai.
“Akan dia rasakan, sepuasku, sampai dia mampus!”

“Keparat!”

Tongkat di tangan Han Han berkelebat, penjahat itu menjerit dan roboh dari atas kudanya dengan tubuh terlempar, kudanya meringkik dan melarikan diri. Sejenak Han Han berdiri tegak memandang tubuh yang tidak berkepala lagi itu, karena kepalanya sudah pecah berantakan tak berbentuk lagi, tercecer ke mana-mana.

Han Han yang tadinya tenggelam dalam kedukaan karena Kim Cu, ditelan keharuan, kemudian menjadi marah mendengar kata-kata jawaban penjahat yang sengaja dipancingnya, tiba-tiba terisak, air matanya mengucur turun dan bibirnya terdengar mengeluarkan rintihan, lututnya yang tinggal sebuah itu ditekuk, ia berlutut dan mengeluh.

“Kakekku seorang jai-hwa-sian! Ahhh, Kong-kong, kenapa engkau begitu sesat? Aku keturunan keluarga Suma yang jahat, yang sesat! Kalau kakekku masih hidup, akan kubunuh juga.... ahhh, Kong-kong, kenapa kau sejahat itu....?” Kemudian ia meloncat bangun, wajahnya keruh dan beringas, suaranya keras, “Karena darah terkutuk itu mengalir di tubuhku, aku dibenci sana-sini, dimusuhi, nasibku selalu buruk.... ya Tuhan, ampunilah hamba....”

Ia lalu mencelat jauh dan seperti gila melanjutkan perjalanan sambil mengerahkan kepandaiannya yang membuat tubuhnya makin lama mencelat makin jauh dan makin cepat sehingga seolah-olah kakinya tidak menginjak tanah lagi.

**** 63 ****





Tidak ada komentar:

Posting Komentar