FB

FB


Ads

Senin, 22 Desember 2014

Pendekar Super Sakti Jilid 062

Han Han makin kagum. Dia menoleh ke arah sebuah dusun yang ditunjuk oleh kakek itu, dan karena hari sudah menjelang senja, ia mengambil keputusan untuk singgah dan melewatkan malam di dusun itu. Ia lalu berpamit dan melanjutkan perjalanannya menuju ke dusun yang berada di sebuah lereng di kaki Pegunungan Tai-hang-san.

Ketika tiba di luar dusun, ia mendengar derap kaki kuda dan seekor kuda yang ditunggangi seorang laki-laki bertubuh tinggi besar, dengan sebatang golok tergantung di punggung, melewatinya dan meninggalkan debu yang mengotori pakaian Han Han.

Pemuda ini mengebut-ngebutkan pakaiannya dan mengerutkan alisnya. Jelas bahwa orang tadi yang kini bersama kudanya memasuki dusun di depan bukanlah petani dusun, dan melihat sinar kejam membayang di wajah itu, diam-diam Han Han merasa khawatir.

Akan tetapi dengan tenang ia melanjutkan perjalanannya, melangkah dengan satu kaki dengan ringan dan mudah, akan tetapi apabila bertemu orang ia lalu menggunakan tongkatnya membantu sehingga tidak menimbulkan curiga dan keheranan. Kalau ia menggunakan ilmunya, bergerak dengan langkah satu kaki seperti yang ia latih di bawah pimpinan gurunya, tentu ia akan mendatangkan keheranan kepada mereka yang melihatnya.

Di pinggir dusun itu tampak sebuah bangunan tembok yang dari jauh pun dapat diduga tentu sebuah kuil. Temboknya setinggi dua meter dan tebal, dan di pintu depan tampak tulisan tangan di atas papan, tulisan yang bergaya indah: KWAN IM BIO. Tentu saja Han Han tidak berani melihat-lihat karena maklum bahwa kuil itu adalah kuil yang dihuni para nikouw (pendeta wanita).

Akan tetapi ia melihat kuda ditambatkan di pohon tak jauh dari kuil itu dan penunggangnya tidak kelihatan batang hidungnya, Han Han menjadi curiga dan ia menyelinap di belakang pohon mengintai.

Tiba-tiba tampak berkelebat bayangan orang yang gerakannya cukup gesit dan tampaklah si penunggang kuda tadi, agaknya baru turun dari pagar tembok dan wajah yang kasar dan kejam itu menyeringai, matanya bersinar-sinar. Orang itu berlari menghampiri kudanya, melepaskan tambatan kuda, meloncat dengan sigap dan melarikan kudanya memasuki dusun yang kelihatannya cukup besar dengan rumah-rumah yang cukup baik keadaannya.

Sikap dan gerak-gerik penunggang kuda itu menjadi alasan yang cukup kuat bagi Han Han untuk memperhatikan keadaan kuil. Timbul kecurigaannya dan keinginannya untuk menyelidiki, maka setelah melihat bahwa di luar tidak ada orang, tubuhnya sudah mencelat naik dan di lain saat ia telah berada di sebelah dalam pagar tembok, menyelinap dan bersembunyi di balik semak-semak pohon kembang yang tumbuh di sudut kebun.

Kebun itu luas dan ternyata bahwa kuil itu sendiri tidaklah begitu besar. Agaknya para nikouw mengerjakan kebun itu, ditanami pohon-pohon buah dan bahan makanan lain.

Selagi Han Han hendak keluar dari tempat persembunyiannya dan mengintai ke dalam kuil melalui pintu atau jendela belakang karena kebun itu sunyi saja, tiba-tiba ia mendengar suara dan melihat empat orang nikouw keluar dari pintu belakang. Ia cepat menyelinap lagi, bersembunyi.

Di dalam cuaca yang mulai suram karena matahari sudah tenggelam di barat, Han Han melihat seorang nikouw tua yang berwajah alim memegang sebatang tongkat bersama tiga orang nikouw yang bersikap halus. Seorang di antara tiga nikouw ini sudah setengah tua, yang seorang lagi paling banyak berusia tiga puluh tahun, berwajah cantik dan berkulit putih.

Akan tetapi ketika Han Han melihat nikouw ke tiga, jantungnya berdebar. Nikouw ini masih amat muda dan wajahnya cantik jelita. Kepalanya yang gundul itu berkulit putih dan licin seolah-olah memang tidak pernah berambut, bibirnya segar merah seperti dicat ditengah kulit muka yang putih halus.

“Ah, agaknya engkau hanya melihat bayangan burung terbang,” kata nikouw tua dengan lemah lembut.

“Tidak, subo. Teecu yakin ada orang berkelebat meninggalkan kebun ini tadi. Biar teecu periksa sebentar!”

Suara itu! Wajah dan terutama mata dan bibir itu! Dan kini gerakan tubuh nikouw muda yang gesit dan ringan sekali, berloncatan ke sana ke mari dengan sinar mata tajam mencari-cari. Tidak salah lagi! Ia mengenal nikouw ini, nikouw yang ia duga sedang mencari bayangan si penunggang kuda yang agaknya mengintai ke kuil dari kebun ini!

“Kim Cu....!”

Han Han tak dapat menahan lagi hatinya, sambil melompat keluar dari balik semak-semak ia menghampiri Kim Cu yang berdiri dengan mata terbelalak dan muka pucat memandang kepadanya, seolah-olah nikouw muda ini melihat munculnya setan!

“Omitohud....!”

Nikouw tua berseru perlahan dan kedua orang nikouw lain juga mengeluarkan seruan kaget melihat munculnya seorang pemuda berkaki buntung yang berwajah tampan dan berambut riap-riapan.

“Kim Cu....!” Kembali Han Han berseru dengan suara menggetar. “Ini aku.... Han Han....!”

Nikouw muda ini mukanya menjadi seperti muka mayat, mulutnya yang tadinya merah itu menjadi pucat pula, terbuka sedikit dan matanya terbelalak memandang wajah Han Han, hidungnya kembang-kempis, dadanya turun naik.

“Kim Cu, lupakah engkau kepadaku....?”

Han Han melangkah mendekat dan memegang pundak nikouw itu, suaranya makin menggetar dan wajahnya juga agak pucat, matanya bersinar tajam penuh selidik.

“Tidak....!” Tiba-tiba bibir itu mengeluarkan suara yang menggetar bunyinya, dengan bibir menggigil. “Tidak.... jangan sentuh aku.... ah, aku.... bukan.... bukan dia.... aku.... seorang nikouw....!”

Nikouw muda itu membuang muka yang ditundukkan, tangannya dengan halus merenggut tangan Han Han dari pundaknya, tangan yang dingin menggigil seperti seekor burung ketakutan.

“Kim Cu....,”

Han Han menahan suaranya yang terisak ketika ia melihat wajah nikouw yang ditundukkan itu menitikkan dua butir air mata dari mata yang kini dipejamkan dan mulut yang kini berbisik-bisik membaca liam-keng!






“Orang muda, perbuatanmu ini tidak patut! Engkau hendak menodai kesucian seorang nikouw dan mengotorkan Kwan-im-bio?”

Suara itu halus, akan tetapi penuh teguran. Han Han sadar dan cepat memandang nikouw tua itu. Nikouw itu berdiri tegak, kening berkerut dan sepasang mata yang halus amat berwibawa. Dua orang nikouw lain berdiri menunduk, merangkap kedua tangan di dada dan mulutnya berkemak-kemik, seperti mulut nikouw muda itu, membaca doa!

“Maaf...., maaf....”

Han Han merasa seperti terpukul, meloncat ke belakang dan tubuhnya mencelat ke atas pagar tembok. Dari atas pagar itu menoleh lagi kepada nikouw muda yang masih menunduk dan meruntuhkan air mata sambil berkemak-kemik berdoa mohon kekuatan batin kepada Kwan Im Pouwsat.

“Ohhh.... Kim Cu....!” Suara Han Han mengandung isak dan tubuhnya berkelebat lenyap dari atas tembok.

Tubuh nikouw muda itu terhuyung kemudian terguling roboh! Pingsan! Sibuklah dua orang nikouw yang lain mengangkatnya dan nikouw tua berulang kali menghela napas dan menyuruh bawa tubuh nikouw muda yang pingsan itu ke dalam kamarnya, kemudian menyuruh dua orang muridnya itu keluar dari kamar.

Nikouw muda itu memang Kim Cu. Telah diketahui bahwa setelah kuil di mana nikouw tua itu tinggal kebanjiran, Thian Sim Nikouw mengajak murid-muridnya yang pada waktu itu telah menjadi sepuluh orang untuk mengungsi dan akhirnya menetap di lereng Pegunungan Tai-hang-san mendirikan sebuah kuil sederana.

Selama itu, Kim Cu yang telah memakai nama Kim Sim Nikouw, hidup tenteram dan damai, bahkan kalau tidak ada gangguan bayangan Han Han tentu dia telah mencapai kebahagiaan seperti yang telah dicapai Thian Sim Nikouw dan murid-muridnya.

Pertemuan tiba-tiba dengan Han Han yang dianggapnya sudah mati itu menimbulkan gelombang dahsyat dalam hati Kim Sim Nikouw, merupakan pukulan batin yang amat hebat sehingga ia roboh pingsan. Luka di hatinya yang tadinya sudah mulai sembuh dan mengering, kini seperti dirobek-robek dan mengucurkan darah.

“Han Han....”

Bisikan ini keluar dari bibir Kim Sim Nikouw yang bergerak perlahan, lalu bangkit duduk, pandang matanya kosong sehingga ia tidak melihat bahwa gurunya duduk di situ. Ia menoleh ke kanan kiri, kembali memanggil lirih,

“Han Han....”

“Omitohud, sadarlah dan kuatkan hatimu, Kim Sim....”

“Han Han....!” Kini panggilan itu merupakan jerit yang langsung keluar dari hatinya.

“Muridku, sadarlah!” Kembali nikouw tua itu berkata halus.

Kim Sim Nikouw menoleh dan.... sambil menjerit ia menubruk gurunya, berlutut dan menangis tersedu-sedu di pangkuan gurunya.

“Subo.... ampunkan teecu.... ah, teecu yang lemah berdosa besar....!”

“Menangislah, muridku, menangislah. Pouwsat akan selalu menaruh kasihan dan memaafkan orang lemah yang sadar akan kelemahannya....”

Nikouw itu memeluk muridnya dan membiarkan nikouw muda itu menangis di dadanya. Dia sendiri tergetar hatinya dan tersentuh perasaan harunya, namun bagaikan air telaga yang sudah tenang, keriput air yang sedikit itu sebentar saja lenyap. Ia sengaja membiarkan muridnya menangis, oleh karena ia tahu bahwa tekanan batin yang hebat itu akan amat berbahaya bagi kesehatannya kalau tidak diberi saluran keluar. Dan saluran terbaik pada saat itu hanyalah membiarkannya menangis sepuasnya.

Kim Cu menangis sesenggukan sampai tubuhnya berguncang-guncang, air matanya membanjir bagaikan air bah menjebol bendungannya, hatinya menjerit-jerit keluar dari tenggorokannya sebagai keluh dan rintih melengking. Setelah dadanya tidak terlalu terhimpit lagi ia berkata, suaranya serak dan terputus.

“Aduh, subo.... apakah yang harus teecu lakukan....? Bagaimana teecu.... ini...., subo.... tunjukkanlah jalan.... bagi teecu....”

Thian Sim Nikouw tersenyum.
“Omitohud.... puji syukur kepada Kwan Im Pouwsat yang penuh welas asih....! Tanyalah kepada hati sanubarimu sendiri, anakku. Pinni tidak akan memaksamu, tidak akan menghalangimu. Engkau ambillah keputusan sendiri, Kim Sim Nikouw!”

“Subo.... tolonglah teecu.... teecu bimbang.... teecu bingung. Munculnya Han Han bagaikan sambaran petir mengenai kepala teecu, gelap semua.... tolonglah subo memberi jalan, memberi petunjuk kepada teecu.”

“Baikiah, tenangkan dan sabarlah hatimu. Mari kita bersamadhi sebentar.... pinni akan membantumu memperoleh ketenangan dan kesabaran. Karena hanya hati yang tenang penuh kesabaran sajalah yang akan mampu menggunakan pikiran dan pertimbangan bersih dan tepat.”

Kim Sim Nikouw melepaskan pelukannya lalu duduk bersila di atas tanah. Sebagai seorang ahli silat tinggi, bekas murid orang-orang sakti seperti Ma-bin Lo-mo dan Toat-beng Cui-sian-li, tentu saja samadhi merupakan hal yang sudah biasa ia lakukan.

Akan tetapi dalam keadaan batin tertekan seperti itu, kalau tidak dibantu Thian Sim Nikouw, tak mungkin dia dapat mengheningkan ciptanya. Tak lama kemudian terasalah olehnya getaran yang halus memasuki dirinya dan ia tahu bahwa gurunya yang biarpun tidak pandai ilmu silat akan tetapi dalam soal kebatinan jauh lebih tinggi tingkatnya daripada Toat-beng Ciu-sian-li, telah membantunya.

Sebentar saja Kim Sim Nikouw dapat mengheningkan cipta dan setelah mereka menghentikan samadhi, Kim Sim Nikouw sudah dapat tenang, sungguhpun pikirannya masih tertekan dan bayangan Han Han masih belum mau lenyap dari depan matanya.

“Muridku, pinni akan berusaha membantumu memberi petunjuk. Akan tetapi, pinni tidak sekali-kali hendak mempengaruhimu, karena hal ini menyangkut jalan hidupmu sendiri. Kalau pinni memaksanya, yaitu memaksakan kehendak hati pinni, hal itu berarti pinni menyalahi hukum yang sudah ditentukan dalam hidup manusia. Nah, pinni mulai dengan pertanyaan yang hendaknya kau jawab sejujur-jujurnya.”

“Baiklah, subo.”

“Apakah engkau mencinta Han Han?”

“Teecu mencintanya, subo. Dahulu, Han Han adalah satu-satunya orang yang teecu cinta. Dan sekarang pun, hati teecu masih rindu kepadanya, rindu akan cintanya, sungguhpun perasaan itu hanya merupakan lamunan belaka karena sesungguhnya, setelah mempelajari dan melatih pelajaran dari subo untuk mengubah cinta kasih perorangan menjadi cinta kasih alam semesta, mencinta setiap manusia, bahkan setiap mahluk, dunia dan isinya, teecu menjadi ragu-ragu apakah cinta kasih teecu masih sekuat dulu terhadap Han Han.”

Nikouw tua itu mengangguk-angguk, kelihatannya lega mendengar ini. Akan tetapi ia masih belum yakin benar, maka tanyanya kembali,

“Apakah engkau masih mempunyai keinginan untuk menyerahkan tubuhmu kepadanya, ingin melakukan hubungan badani dengan dia? Apakah engkau masih ingin untuk menjadi isterinya dan kemudian melahirkan anak-anak keturunannya?”

Kim Sim Nikouw menundukkan mukanya yang menjadi merah, berpikir sampai lama menjenguk hati dan pikiran sendiri agar dapat memberi jawaban sejujurnya karena dia maklum bahwa gurunya berusaha keras untuk menolongnya dan hanya gurunya inilah yang akan dapat menunjukkan jalan yang tepat baginya. Kemudian ia mengangkat muka, memandang gurunya dengan sinar mata tulus dan berkata.

“Subo tentu maksudkan apakah teecu masih mengandung nafsu berahi terhadap dia? Kalau benar demikian pertanyaan subo, maka jawaban teecu adalah tidak! Berkat bimbingan subo, teecu telah dapat menguasai dan mengendalikan nafsu berahi. Tidak, subo, cinta teccu terhadap Han Han bukanlah cinta agar menjadi isterinya dan agar teecu menjadi ibu anak-anaknya.”

“Omitohud.... syukurlah, engkau telah dapat membebaskan diri dari ikatan yang amat kuat. Dan kalau begitu, maka sebaiknya, bagimu sendiri dan bagi dia pula, engkau harus memutuskan hubunganmu dengan dia. Akan tetapi, harus engkau sendiri yang mengatakan kepadanya, karena kalau demikian barulah ia akan yakin, dan hal ini pun merupakan ujian terakhir bagimu. Yang kau nyatakan tadi hanyalah ucapan yang dapat dipengaruhi oleh pertimbangan, akan tetapi kalau engkau berhadapan sendiri dengan dia dan perasaanmu pun menguasaimu, nah, dalam keadaan seperti itulah maka pernyataanmu akan merupakan keputusan.”

“Maaf, subo. Betapa beratnya kalau harus teecu sendiri yang mengatakannya. Tadinya pun teecu sudah menganggap dia mati. Begitu dia muncul dengan tiba-tiba, melihat raut wajahnya yang penuh bayangan duka, melihat kakinya yang buntung.... ah, rela rasanya teecu mengorbankan apa pun juga demi untuk membahagiakan dia!”

“Kemukakanlah kesemuanya ini kepadanya, muridku. Dan jika engkau berhadapan dengan dia, sebutlah nama Kwan Im Pouwsat di hatimu, mohon kekuatan. Pinni hanya dapat mengatakan bahwa kalau engkau berhasil memutuskan hubungan dengan dia, maka engkau akan dapat berbuat lebih banyak daripada kalau engkau melanjutkan ikatan itu. Engkau akan menderita karena setelah menjadi isterinya, engkau akan selalu teringat akan keadaanmu yang murni di sini, engkau akan disiksa oleh perasaan berdosa dan dengan demikian engkau akan menyeret pula dia ke dalam kesengsaraan. Pinni yakin akan hal ini karena engkau telah mencapai tingkat setinggi itu di mana kasih sayang alam semesta telah menyerap dan berakar di hati sanubarimu. Demikianlah, muridku. Kini beristirahatlah dan besok engkau boleh menjumpainya.”

Setelah berkata demikian, nikouw tua itu meninggalkan Kim Sim Nikouw dan memasuki kamarnya sendiri. Kim Sim Nikouw naik ke pembaringannya, berbaring dan berusaha untuk tidur. Akan tetapi ia gelisah, miring ke kanan, kembali ke kiri, terlentang, tertelungkup dan akhirnya ia bangun duduk bersila dan bersamadhi lagi! Setelah bersamadhi, barulah ia dapat tenang dan dalam keadaan hening ini ia dapat menenteramkan hati dan pikirannya, lalu ia terus melatih diri mengumpulkan hawa murni ditubuhnya.

Menjelang tengah malam, tiba-tiba dia terkejut. Ia mendengar suara kaki di genteng. Tentu Han Han, pikirnya dengan jantung berdebar. Biarlah ia bersamadhi terus, karena menghadapi Han Han, dalam keadaan seperti ini ia akan merasa lebih kuat batinnya. Ia harus memutuskan hubungan mereka, harus mematahkan ikatan di antara mereka. Ia harus menolaknya, betapapun hal ini menyakitkan!

Akan tetapi sampai lama, ia tidak mendengar gerakan lagi. Tiba-tiba ia mendengar suara rintihan perlahan di kamar seperti rintihan orang tercekik atau terbungkam mulutnya, kemudian diam!

Hatinya menjadi curiga dan kembalilah wataknya sebagai Kim Cu murid In-kok-san! Sekali mencelat, tubuhnya sudah melayang keluar dari jendela dan menerobos memasuki jendela Pui Sim Nikouw, yaitu sucinya yang berusia tiga puluh tahun, yang cantik dan berkulit putih.

Dan apa yang dilihatnya dalam kamar yang hanya diterangi sebatang lilin itu membuat ia hampir mengeluarkan makian saking marahnya! Ia melihat tubuh sucinya itu telanjang bulat, pakaian nikouw telah robek-robek semua di kanan kiri tubuhnya yang putih mulus. Sucinya dalam keadaan tertotok, air matanya bercucuran dan seorang laki-laki tinggi besar sambil menyeringai meraba-raba dada sucinya dan menciumi bibirnya.

“Manusia jahat!”

Kim Sim Nikouw masih dapat menahan makian yang lebih kotor, dan ia meloncat ke dekat pembaringan. Laki-laki itu meloncat turun dan menyeringai lebar.

“Ha-ha-ha, engkaulah yang kucari sebetulnya. Engkau paling muda dan paling cantik! Dan engkau.... heh-heh, engkau masih perawan. Siang tadi kulihat engkau, akan tetapi aku salah masuk. Betapapun juga, dia ini boleh juga!”

“Pergilah!”

Kim Sim Nikouw mengayun kakinya dan tubuh laki-laki itu terlempar ke belakang menabrak dinding. Ia kaget sekali dan cepat merangkak bangun sambil menyambar golok yang tadi ia letakkan diatas meja.

“Ehhh, kiranya engkau pandai silat? Bagus, engkau menyerah atau kupenggal lehermu, kubawa kepalamu yang gundul dan cantik itu untuk hiasan kamarku, ha-ha!”

Golok menyambar, akan tetapi sekali menggerakkan tangan, laki-laki itu berteriak dan goloknya terlepas, tangannya lumpuh karena pergelangan tangannya patah tercium jari tangan Kim Sim Ni-kouw yang amat kuat. Kim Sim Nikouw yang sudah marah sekali lalu menubruk maju, kedua tangannya dengan jari terbuka menghantam ke arah dada laki-laki itu.

Pukulan ini sepenuhnya mengandung pukulan Toat-beng-ciang dan sudah dapat dipastikan bahwa laki-laki itu tentu mati. Untung sekali baginya, pada detik terakhir, melihat wajah laki-laki yang ketakutan itu, Kim Sim Nikouw teringat akan sifat welas asih, dan ia menaikkan sasarannya.

“Kekkk-krekkkkk!” Bukan dada laki-laki itu yang pecah, melainkan kedua tulang pundaknya yang hancur.

“Aduh tobaaat.... aduhhh.... aduhhh.... ampunkan saya, Siankouw....!” laki-laki itu mengaduh-aduh sambil berkelojotan di atas lantai.

“Hemmm!”

Kim Sim Nikouw mendengus, lalu cepat menubruk sucinya, membebaskan totokannya dan menyelimuti tubuhnya yang telanjang bulat. Nikouw itu menangis, akan tetapi dihibur oleh Kim Sim Nikouw,

“Syukur kepada Pouwsat bahwa kedatanganku belum terlambat, suci.” Nikouw itu memeluk Kim Sim Nikouw sambil menangis.

Pintu kamar terbuka dan Thian Sim Nikouw masuk sambil memegang sebatang lilin, diikuti oleh para nikouw karena mendengar suara gaduh dalam kamar itu.

“Apakah yang terjadi disini?”

“Subo, manusia sesat ini hendak melakukan perbuatan terkutuk,” kata Kim Sim Nikouw.

Nikouw tua itu mengerling ke arah Pui Sim Nikouw yang berkerudung selimut dan memandang laki-laki yang patah pergelangan lengan kanan dan remuk kedua tulang pundaknya itu.

“Hemmm, ambilkan tempat obat penyambung tulang,” perintahnya kepada seorang murid yang segera memenuhi perintah gurunya.

Setelah keranjang obat itu datang, Thian Sim Nikouw lalu mengobati kedua pundak dan pergelangan tangan laki-laki itu yang terus merintih-rintih dan minta-minta ampun. Setelah selesai membalut, Thian Sim Nikouw lalu berkata.

“Kalau mau minta ampun, mintalah ampun kepada Thian dan jadikanlah pengalaman pahit ini sebagai obat untuk menyembuhkan penyakit yang menyerang jiwamu. Nah, pergilah!”

Laki-laki itu menjatuhkan diri berlutut di depan Thian Sim Nikouw, kemudian ia diperbolehkan keluar melalui pintu samping yang dibuka oleh seorang nikouw. Kemudian para nikouw itu kembali memasuki kamar masing-masing.

Akan tetapi Kim Sim Nikouw tidak kembali ke kamarnya, melainkan memasuki ruangan liam-keng dan berlutut di depan sebuah arca Buddha yang besar. Ia bersila, bersamadhi dan mulutnya berkemak-kemik membaca liam-keng. Hatinya gelisah sekali karena tadi ia dikuasai kemarahan, bukan karena melihat sucinya hendak diperkosa orang, melainkan karena tadinya ia mengira Han Han-lah yang akan berbuat jahat melakukan perkosaan.

Ia merasa makin berdosa dan kasihan kepada Han Han, juga merasa betapa sebetulnya ia masih amat lemah. Dia tadi telah dibakar api cemburu, dan cemburu ini hanyalah menjadi bukti bahwa nafsu berahinya terhadap pemuda itu, yang bergulung menjadi satu dengan cinta kasihnya, sebenarnya masih belum lenyap sama sekali seperti yang ia katakan di depan gurunya.

Ternyata Thian Sim Nikouw kembali betul! Dia harus menyatakan semua di depan Han Han dan ia bermohon kepada Buddha agar dia diberi kekuatan dan agar Han Han diberi penerangan suci sehingga pemuda itu akan memudahkan keputusan yang diambilnya ini.

“Kim Cu....!”

Nikouw muda itu terkejut, membuka matanya dan menoleh, ternyata Han Han telah berdiri di belakangnya. Sama sekali ia tidak mendengar gerakan pemuda buntung itu, dan diam-diam Kim Sim Nikouw kagum bukan main. Dahulu, sebelum buntung sekalipun, ia tentu akan dapat mendengar gerakannya, akan tetapi sekarang, ia sama sekali tidak mendengar apa-apa dan tahu-tahu pemuda itu telah berdiri di situ!

“Omitohud.... kenapa engkau berani mengotori tempat suci ini, dan mengapa engkau selalu mengejar-ngejarku?”

Kim Sim Nikouw berkata, suaranya halus penuh wibawa, akan tetapi mukanya menunduk karena ia tidak berani bertemu pandang dengan Han Han, yang ia tahu mempunyai sinar mata yang luar biasa tajamnya, dan yang akan mampu menjenguk isi hatinya!

“Aku akan terus mengejar dan mengikutimu, biar sampai dunia kiamat sekalipun, selama engkau belum mau berterus terang karena aku merasa yakin bahwa engkau adalah Kim Cu! Apa kau kira aku tidak dapat mengenal pukulan Toat-beng Sin-ciang yang kau lakukan untuk membikin remuk kedua tulang pundak jai-hwa-cat tadi?”

“Ohhh, jadi engkau tadi melihatnya....? Ya Thian Yang Maha Kasih....! Baiklah.... baiklah. Han Han.... aku memang Kim Cu.... akan tetapi sekarang aku telah menjadi Kim Sim Nikouw.... engkau tidak boleh mendekatiku, maka pergilah kau, Siang kong. Pergilah kau.... Han Han.... kasihani aku dan pergilah tinggalkan aku....”

“Hemmm.... kemanakah perginya kegagahanmu, Kim Cu? Manusia tidak boleh membohongi dirinya sendiri, tidak boleh mengingkari perasaan hatinya sendiri. Ceritakan dulu, mengapa engkau menjadi nikouw dan mengapa engkau mengusirku, baru aku akan mempertimbangkan permintaanmu itu. Setelah semua yang kita alami bersama”

“Ya, setelah apa yang kita alami bersama....!”

Kim Sim Nikouw berbisik dan ia membalikkan tubuh membelakangi Han Han, lalu jatuh berlutut karena kakinya menggigil, suaranya masih berbisik-bisik namun terdengar jelas oleh Han Han.

“.... engkau tidak tahu betapa aku telah menderita hebat.... betapa aku sekarang telah menemukan ketenteraman kembali.... ketika engkau menolongku, agar aku tidak terkena senjata rahasia Toat-beng Ciu-sian-li, engkau menolongku tanpa menghiraukan keselamatan sendiri.... kita berdua jatuh ke dalam jurang yang tak berdasar! Ahhh.... betapa senang dan bahagianya hatiku ketika melayang jatuh karena aku yakin bahwa kita akan mati bersama.... mati bersamamu di waktu itu merupakan kebahagiaan yang tak terhingga bagiku....! Akan tetapi, ohhh.... hancurlah hatiku ketika ada nelayan menolongku dan aku masih hidup! Aku hidup dan engkau mati! Aduhh, Han Han.... tidak ada penderitaan yang lebih hebat daripada itu, hatiku tersayat-sayat.... ohhh....” Nikouw itu menangis terisak-isak.

Han Han tak dapat berkata-kata, hanya memandang gadis itu dengan wajah pucat dan mata basah, perasaannya diserang keharuan yang membuat ia tak dapat bicara, melainkan membayangkan penderitaan batin gadis ini yang amat mencintanya. Dengan ujung lengan bajunya yang lebar nikouw muda itu menyusuti air mata yang mengalir deras di kedua pipinya, kemudian melanjutkan.

“Aku tidak kuat menahan derita batin itu, dan tentu sudah membunuh diri kalau tidak ada Thian Sim Nikouw ketua Kwan-im-bio yang menolongku, menyadarkan aku.... merupakan pelita yang menerangi kegelapan hatiku.... aku diberi wejangan, aku sadar lalu menjadi muridnya.... menjadi nikouw setelah bertahun-tahun aku sembahyang setiap hari untukmu.... untuk arwahmu yang kusangka sudah mati.... akhirnya hidupku tenang dan tenteram, sebagai nikouw....”

“Kim Cu....” Suara Han Han menggetar dan berbisik penuh perasaan haru, “apakah tidak ada jalan lain....?”

“Jalan lain yang mana? Aku.... aku murid seorang wanita jahat...., seorang datuk hitam yang penuh dosa.... dunia akan mengutuk aku.... manusia akan memandang rendah kepadaku.... hanya dengan menjadi nikouw aku dapat menebus dosa.... dan.... dan dapat melupakan engkau....”

Han Han tak dapat menahan lagi keharuan hatinya. Air matanya jatuh bertitik. Ia tahu betapa besar, betapa murni perasaan cinta kasih Kim Cu terhadap dirinya. Dan demi cinta kasihnya itu pula gadis ini melakukan pengorbanan yang paling besar yang dapat dilakukan seorang wanita. Menjadi nikouw!

Pengorbanan nyawa masih kalah besar, karena sekali kehilangan nyawa habislah sudah. Akan tetapi sedemikian muda dan cantiknya, berkepandaian tinggi, mempunyai harapan besar untuk menikmati hidup, sudah melempar dirinya menjadi patung hidup, menjadi nikouw! Betapa besar pengorbanan itu. Patutkah seorang gadis seperti Kim Cu berkorban sedemikian rupa untuknya?

“Kim Cu, tidak boleh! Engkau tidak boleh berkorban untukku seperti ini! Tidak, tidak....! Kalau memang engkau mencintaku.... setelah semua pengorbanan yang kau lakukan untukku.... wahai Kim Cu, budimu kepadaku bertumpuk-tumpuk, tak mungkin dapat kubalas selama hidupku.... mengapa setelah itu semua engkau lalu mengambil jalan terpendek ini? Kim Cu, engkau mungkin akan mendapatkan ketenangan dan kebahagiaan hidup dengan menjadi nikouw.... akan tetapi aku...., aku yang kau usir.... aku yang merasa terhimpit oleh budimu.... betapa aku akan dapat bersenang hati, mengenangkan engkau yang selalu bersamadhi dan bersembahyang di dalam kelenteng yang sunyi? Ah, Kim Cu.... jelas bahwa engkau masih mencintaku, mengapa.... mengapa engkau merenggutnya putus membiarkan hatimu terkoyak-koyak berdarah....?”

“Han Han....!”

Nikouw itu menjerit, mendekap mukanya dan menangis sesunggukan. Sampai lama ia menangis, berlutut dan air matanya yang bening seperti mutiara menetes-netes keluar melalui celah-celah jari tangannya yang kecil meruncing.

“Kalau begitu, kalau aku merusak hatimu, kalau aku mendatangkan sengsara kepada engkau orang yang kukasihi dengan seluruh jiwa ragaku dengan kelanjutan hidupku menjadi nikouw.... kalau begitu...., biarlah aku mati saja....!”

Cepat sekali nikouw muda yang sudah menurunkan kedua tangan dari depan mukanya dan memandang ke depan dengan muka beringas, meloncat ke depan, ke arah arca Sang Buddha yang tersenyum cerah, hendak membenturkan kepalanya yang gundul licin itu kepada kaki arca yang terbuat daripada batu hitam.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar