Han Han mengerutkan alisnya. Biarpun mengaku sebagai orang-orang gagah, sikap empat orang ini benar-benar seperti perampok-perampok kasar. Akan tetapi untuk mencegah terjadinya keributan, ia yang sudah pandai mengendalikan perasaan sendiri, lalu menekuk lutut kakinya yang tinggal sebelah dan menggunakan lap yang dibawanya untuk mengelap sepatu Si Hidung Besar.
“Bagus! Lain kali kalau engkau bicara manis lagi dan membela pemberontak, akan kupatahkan kakimu yang tinggal sebelah. Pergilah!” Si Hidung Besar menggerakkan kaki menendang.
“Dukkk.... auggghhhhh....!”
Ia menyeringai dan memegangi tulang keringnya yang bertemu dengan kaki bangku! Ternyata tendangannya yang tidak keras ke arah Han Han untuk membikin malu pelayan buntung itu bertemu dengan bangku, tepat pada tulang keringnya. Karena ia menendang tanpa pengerahan sin-kang, hanya untuk mendorong si pelayan terlentang. Maka begitu tulang kering kakinya bertemu kaki bangku, tentu saja terasa nyeri sekali.
Saking nyerinya, Si Hidung Besar menggebrak meja dan beberapa mangkok masakan tertumpah di atas meja dan ia lupa untuk menyelidiki bagaimana tiba-tiba ada bangku yang menghalang di antara dia dan pelayan itu.
Han Han sudah melangkah mundur terpincang-pincang. Ia mengambil keputusan untuk pergi dari restoran itu. Biarpun ia tidak minta, akan tetapi dua orang gagah tadi telah membayar makanannya, dan setelah makanannya dibayar, untuk apa dia lebih lama di tempat itu? Hanya akan mendatangkan penghinaan saja. Akan tetapi selagi ia hendak pergi, tiba-tiba Si Brewok bertahi lalat di hidung berseru.
“He, buntung! Pelayan macam apa engkau ini? Apakah matamu tidak melihat bahwa meja kami kotor? Hayo lekas bersihkan!”
Han Han tersenyum, Tadinya ia hendak pergi begitu saja agar tidak menimbulkan banyak keributan. Akan tetapi menyaksikan sikap empat orang itu makin lama makin kasar dan kurang ajar, ia pikir lebih baik memberi peringatan mereka untuk membuka mata mereka bahwa memandang rendah orang lain dan menyombongkan kepandaian sendiri bukanlah watak orang gagah dan hanya akan mendatangkan aib kepada diri sendiri.
“Baikiah, taihiap!”
Kata Han Han sambil menghampiri meja itu, berdiri dengan satu kaki, mengempit tongkatnya, kemudian tangan kirinya menekan meja sambil mengerahkan tenaga sin-kang menggetarkan meja.
Di atas meja terdapat delapan buah mangkok makanan, panci-panci dan guci besar arak, cawan-cawan dan sumpit. Tiba-tiba semua benda yang berada di atas meia itu mencelat seperti bernyawa, terbang ke atas! Han Han dengan tenang mengangkat tangan kirinya dengan telapak menghadap ke atas, kemudian menggunakan tangan kanan yang memegang lap untuk mengelap meja yang kotor karena tumpahan masakan dan arak!
Empat orang brewok yang masih duduk itu tiba-tiba melongo, matanya terbelalak lebar dengan muka menengadah memandang mangkok piring sumpit panci yang terputar-putar di atas tidak dapat turun itu! Muka mereka pucat, mulut mereka ternganga sehingga Si Hidung Besar tidak merasa betapa ada dua ekor lalat hinggap di giginya yang kuning.
Setelah meja itu bersih disapunya dengan lap, Han Han lalu menggerakkan tangan kirinya. Benda-benda yang terbang berputaran di atas itu lalu turun dan tanpa menerbitkan suara berisik berjatuhan di atas meja kernbali, persis di tempat semula seperti tadi seolah-olah tidak pernah meninggalkan permukaan meja yang kini telah menjadi bersih!
Han Han menggantungkan lap di pundaknya, menurunkan tongkatnya dan terpincang mundur dua langkah, membungkuk dan bertanya,
“Su-wi taihiap, masih ada perintah lainkah?”
Empat orang brewok itu tertegun, memandang kepada Han Han, menelan ludah dan Si Hidung Besar tersedak karena ketika menutup mulutnya tiba-tiba, seekor lalat kurang cepat terbang keluar sehingga terpaksa mencari jalan ke dalam dan kesasar memasuki terowongan gelap berupa kerongkongan orang itu.
“Ti.... tidak....” Si Mata Sipit berhasil mengeluarkan suara dengan mata kedap-kedip.
Han Han lalu meninggalkan meja itu, diikuti pandang mata, bukan hanya pandang mata empat orang melainkan pandang mata semua orang yang berada di tempat itu dan yang tadi menonton peristiwa yang bagi mereka amat ajaib.
Keadaan sunyi sekali, seolah-olah semua orang masih belum mendapatkan napas mereka kembali, dan Han Han menyampirkan lap di atas bangku dekat koki gemuk, lalu menjura kepada koki gemuk sambil berkata.
“Lopek, terima kasih atas kebaikanmu. Karena makananku telah dibayar oleh dua orang Enghiong tadi, maafkan aku tidak dapat membantu lebih lama lagi.” Ia lalu memutar tubuhnya keluar dari restoran itu.
Empat orang brewok itu dengan muka kini merah sekali karena malu, cepat-cepat membayar harga makanan mereka dan juga keluar tergesa-gesa. Setelah Han Han dan empat orang brewok itu pergi, gegerlah di restoran. Semua orang bicara seperti sarang tawon diganggu, semua membicarakan peristiwa luar biasa itu. Di tempat inilah pertama kali lahir julukan
“Pendekar Buntung”, ada pula yang menyebutnya “Pendekar Siluman”, dan ada yang menyebutnya “Pendekar Super Sakti”.
Memang sudah menjadi kelajiman bahwa orang paling suka melebih-lebihkan dalam menceritakan pengalaman mereka sehingga perbuatan Han Han yang bagi para ahli silat tinggi yang memiliki tenaga sin-kang kuat bukanlah hal yang mengherankan, makin jauh dibawa angin makin dilebihkan dan makin aneh sehingga sebentar saja dunia kang-ouw juga mendengar berita angin tentang munculnya seorang Pendekar Super Sakti yang masih muda akan tetapi yang memiliki kepandaian setinggi langit!
Han Han melanjutkan perjalanan menuju ke utara, berjalan menyusuri pantai Sungai Fen-ho yang ia tahu akan membawanya sampai ke Tai-goan. Karena keadaan di sepanjang sungai ini ramai dan banyak orang, maka Han Han berjalan seenaknya, tidak mau menggunakan kepandaiannya karena hal ini akan menarik perhatian orang.
Setelah ia keluar dari dusun Leng-chun, ia pun merasa menyesal mengapa di rumah makan tadi dalam usahanya memberi peringatan kepada keempat orang brewok ia telah memperlihatkan kepandaiannya sehingga mengagetkan dan mengherankan banyak orang.
“Ah, betapa mudahnya mengerti pesan subo bahwa senjata ampuh yang terutama adalah menguasai nafsu dan perasaan sendiri, akan tetapi betapa sukarnya melaksanakan pelajaran ini,” kata Han Han di dalam hati sambil melanjutkan perjalanannya di sepanjang pantai sungai yang indah pemandangannya.
Kurang lebih sepuluh li dari dusun yang ditinggalkannya itu, Sungai Fen-ho memasuki hutan dan keadaan disini sunyi. Han Han dapat melanjutkan perjalanannya dengan ilmunya yang hebat setelah digembleng Nenek Khu Siauw Bwee, akan tetapi tiba-tiba ia mengurungkan niatnya karena melihat serombongan orang berdiri menghadang jalan di depannya.
“Bagus! Lain kali kalau engkau bicara manis lagi dan membela pemberontak, akan kupatahkan kakimu yang tinggal sebelah. Pergilah!” Si Hidung Besar menggerakkan kaki menendang.
“Dukkk.... auggghhhhh....!”
Ia menyeringai dan memegangi tulang keringnya yang bertemu dengan kaki bangku! Ternyata tendangannya yang tidak keras ke arah Han Han untuk membikin malu pelayan buntung itu bertemu dengan bangku, tepat pada tulang keringnya. Karena ia menendang tanpa pengerahan sin-kang, hanya untuk mendorong si pelayan terlentang. Maka begitu tulang kering kakinya bertemu kaki bangku, tentu saja terasa nyeri sekali.
Saking nyerinya, Si Hidung Besar menggebrak meja dan beberapa mangkok masakan tertumpah di atas meja dan ia lupa untuk menyelidiki bagaimana tiba-tiba ada bangku yang menghalang di antara dia dan pelayan itu.
Han Han sudah melangkah mundur terpincang-pincang. Ia mengambil keputusan untuk pergi dari restoran itu. Biarpun ia tidak minta, akan tetapi dua orang gagah tadi telah membayar makanannya, dan setelah makanannya dibayar, untuk apa dia lebih lama di tempat itu? Hanya akan mendatangkan penghinaan saja. Akan tetapi selagi ia hendak pergi, tiba-tiba Si Brewok bertahi lalat di hidung berseru.
“He, buntung! Pelayan macam apa engkau ini? Apakah matamu tidak melihat bahwa meja kami kotor? Hayo lekas bersihkan!”
Han Han tersenyum, Tadinya ia hendak pergi begitu saja agar tidak menimbulkan banyak keributan. Akan tetapi menyaksikan sikap empat orang itu makin lama makin kasar dan kurang ajar, ia pikir lebih baik memberi peringatan mereka untuk membuka mata mereka bahwa memandang rendah orang lain dan menyombongkan kepandaian sendiri bukanlah watak orang gagah dan hanya akan mendatangkan aib kepada diri sendiri.
“Baikiah, taihiap!”
Kata Han Han sambil menghampiri meja itu, berdiri dengan satu kaki, mengempit tongkatnya, kemudian tangan kirinya menekan meja sambil mengerahkan tenaga sin-kang menggetarkan meja.
Di atas meja terdapat delapan buah mangkok makanan, panci-panci dan guci besar arak, cawan-cawan dan sumpit. Tiba-tiba semua benda yang berada di atas meia itu mencelat seperti bernyawa, terbang ke atas! Han Han dengan tenang mengangkat tangan kirinya dengan telapak menghadap ke atas, kemudian menggunakan tangan kanan yang memegang lap untuk mengelap meja yang kotor karena tumpahan masakan dan arak!
Empat orang brewok yang masih duduk itu tiba-tiba melongo, matanya terbelalak lebar dengan muka menengadah memandang mangkok piring sumpit panci yang terputar-putar di atas tidak dapat turun itu! Muka mereka pucat, mulut mereka ternganga sehingga Si Hidung Besar tidak merasa betapa ada dua ekor lalat hinggap di giginya yang kuning.
Setelah meja itu bersih disapunya dengan lap, Han Han lalu menggerakkan tangan kirinya. Benda-benda yang terbang berputaran di atas itu lalu turun dan tanpa menerbitkan suara berisik berjatuhan di atas meja kernbali, persis di tempat semula seperti tadi seolah-olah tidak pernah meninggalkan permukaan meja yang kini telah menjadi bersih!
Han Han menggantungkan lap di pundaknya, menurunkan tongkatnya dan terpincang mundur dua langkah, membungkuk dan bertanya,
“Su-wi taihiap, masih ada perintah lainkah?”
Empat orang brewok itu tertegun, memandang kepada Han Han, menelan ludah dan Si Hidung Besar tersedak karena ketika menutup mulutnya tiba-tiba, seekor lalat kurang cepat terbang keluar sehingga terpaksa mencari jalan ke dalam dan kesasar memasuki terowongan gelap berupa kerongkongan orang itu.
“Ti.... tidak....” Si Mata Sipit berhasil mengeluarkan suara dengan mata kedap-kedip.
Han Han lalu meninggalkan meja itu, diikuti pandang mata, bukan hanya pandang mata empat orang melainkan pandang mata semua orang yang berada di tempat itu dan yang tadi menonton peristiwa yang bagi mereka amat ajaib.
Keadaan sunyi sekali, seolah-olah semua orang masih belum mendapatkan napas mereka kembali, dan Han Han menyampirkan lap di atas bangku dekat koki gemuk, lalu menjura kepada koki gemuk sambil berkata.
“Lopek, terima kasih atas kebaikanmu. Karena makananku telah dibayar oleh dua orang Enghiong tadi, maafkan aku tidak dapat membantu lebih lama lagi.” Ia lalu memutar tubuhnya keluar dari restoran itu.
Empat orang brewok itu dengan muka kini merah sekali karena malu, cepat-cepat membayar harga makanan mereka dan juga keluar tergesa-gesa. Setelah Han Han dan empat orang brewok itu pergi, gegerlah di restoran. Semua orang bicara seperti sarang tawon diganggu, semua membicarakan peristiwa luar biasa itu. Di tempat inilah pertama kali lahir julukan
“Pendekar Buntung”, ada pula yang menyebutnya “Pendekar Siluman”, dan ada yang menyebutnya “Pendekar Super Sakti”.
Memang sudah menjadi kelajiman bahwa orang paling suka melebih-lebihkan dalam menceritakan pengalaman mereka sehingga perbuatan Han Han yang bagi para ahli silat tinggi yang memiliki tenaga sin-kang kuat bukanlah hal yang mengherankan, makin jauh dibawa angin makin dilebihkan dan makin aneh sehingga sebentar saja dunia kang-ouw juga mendengar berita angin tentang munculnya seorang Pendekar Super Sakti yang masih muda akan tetapi yang memiliki kepandaian setinggi langit!
Han Han melanjutkan perjalanan menuju ke utara, berjalan menyusuri pantai Sungai Fen-ho yang ia tahu akan membawanya sampai ke Tai-goan. Karena keadaan di sepanjang sungai ini ramai dan banyak orang, maka Han Han berjalan seenaknya, tidak mau menggunakan kepandaiannya karena hal ini akan menarik perhatian orang.
Setelah ia keluar dari dusun Leng-chun, ia pun merasa menyesal mengapa di rumah makan tadi dalam usahanya memberi peringatan kepada keempat orang brewok ia telah memperlihatkan kepandaiannya sehingga mengagetkan dan mengherankan banyak orang.
“Ah, betapa mudahnya mengerti pesan subo bahwa senjata ampuh yang terutama adalah menguasai nafsu dan perasaan sendiri, akan tetapi betapa sukarnya melaksanakan pelajaran ini,” kata Han Han di dalam hati sambil melanjutkan perjalanannya di sepanjang pantai sungai yang indah pemandangannya.
Kurang lebih sepuluh li dari dusun yang ditinggalkannya itu, Sungai Fen-ho memasuki hutan dan keadaan disini sunyi. Han Han dapat melanjutkan perjalanannya dengan ilmunya yang hebat setelah digembleng Nenek Khu Siauw Bwee, akan tetapi tiba-tiba ia mengurungkan niatnya karena melihat serombongan orang berdiri menghadang jalan di depannya.
Ketika ia memandang, ternyata mereka itu adalah sepasukan perajurit Mancu terdiri dari dua puluh orang lebih, dan di depan pasukan berdiri empat orang brewok tadi bersama seorang wanita cantik berusia tiga puluh lima sampai empat puluh tahun.
Dari sikap mereka apalagi melihat empat orang brewokan itu, mengertilah Han Han bahwa mereka itu telah mendahuluinya dengan menunggang kuda dan sengaja mencegatnya di tempat sunyi itu. Pasukan itu mempunyai rombongan kuda yang ditambatkan di bawah pohon-pohon tak jauh dari situ.
Han Han menarik napas panjang. Sebetulnya dia segan terlibat permusuhan dengan fihak mana pun juga. Dia hendak mencari Lulu, dan dia tidak ingin usahanya mencari Lulu terhambat oleh segala macam gangguan dan permusuhan yang tidak ada manfaatnya.
Akan tetapi dia juga ingin sekali mengetahui apa yang akan dilakukan oleh mereka, terutama sekali oleh empat orang brewok yang telah ia beri peringatan di rumah makan tadi. Ia bersikap tenang dan melanjutkan perjalanannya terpincang-pincang dibantu tongkatnya sehingga ia tiba di depan wanita dan empat orang brewok tadi yang memandang dengan mata terbelalak, masih tampak jerih.
Akan tetapi wanita itu memandangnya dengan sikap angkuh memandang rendah. Han Han hanya melihat ini semua dari sudut matanya dan hendak melanjutkan perjalanan dengan mengambil jalan dekat sungai agar tidak menerjang jalan yang sudah terpenuhi oleh rombongan pasukan itu.
“Pemuda buntung, berhenti dulu!”
Bentakan halus nyaring dari mulut wanita itu membuat Han Han terpaksa menghentikan langkahnya, berdiri tegak tanpa menoleh.
Sunyi sejenak, dan terdengar wanita itu bertanya lirih,
“Dia itukah orangnya?”
“Benar, Sianli. Hati-hati, dia lihai bukan main,” jawaban Si Brewok Berhidung Besar ini terdengar jelas oleh Han Han yang masih tidak bergerak, juga tidak menoleh.
“Heh, orang muda pincang! Siapa namamu?”
Han Han yang mendengar betapa wanita itu disebut Sianli (Dewi), dapat menduga bahwa wanita itu tentulah seorang tokoh kang-ouw dan tentu memiliki kepandaian tinggi. Kalau tidak, mana berani memakai julukan Dewi? Baru satu orang yang ia tahu memakai Dewi, yaitu Toat-beng Ciu-sian-li, bekas gurunya. Ia dapat menduga bahwa karena empat orang brewok itu adalah orang-orang yang berfihak kepada pemerintah Mancu, maka wanita cantik yang angkuh ini tentulah juga seorang tokoh yang membantu Kerajaan Ceng.
Tanpa menoleh Han Han menjawab,
“Aku adalah seorang perantau miskin yang tidak ingin bermusuh dengan siapapun juga, tidak mempunyai hubungan pula dengan perang, harap kalian membiarkan aku lewat.”
“Aihhh, orang muda sombong! Agaknya engkau memiliki sedikit kepandaian maka sikapmu sesombong ini. Ketahuilah, kami tidak berniat jahat terhadapmu, sebaliknya, kalau benar engkau memiliki kepandaian, kami akan membawamu menghadap atasan kami karena pemerintah yang bijaksana membutuhkan bantuan orang-orang yang memiliki kepandaian. Kalau engkau berkepandaian, percayalah, hidupmu akan terjamin dan engkau tidak usah berkeliaran merantau, menderita kekurangan dan kelaparan!”
Diam-diam Han Han tersenyum. Pemerintah Kerajaan Ceng dan bangsa Mancu memang cerdik sekali. Kalau bangsa Mancu menggunakan kekerasan untuk membasmi orang-orang pribumi yang berkepandaian, tentu perlawanan rakyat takkan kunjung berhenti karena rakyat akan menjadi makin benci kepada pemerintah penjajah itu.
Akan tetapi, dengan jalan membujuk orang-orang pandai membantu pemerintah, memberi mereka kedudukan yang takkan mereka peroleh pada waktu pemerintah dipegang oleh bangsa sendiri, maka kedudukan Pemerintah Ceng akan menjadi makin kuat, mendapatkan simpati orang-orang kang-ouw dan dapat menarik hati rakyat.
“Terima kasih, aku tidak mungkin dapat menerimanya karena aku seorang yang tidak memiliki kepandaian apa-apa.”
Sambil berkata demikian, tanpa menoleh Han Han lalu melanjutkan langkahnya. Wanita itu memperhatikan langkah Han Han yang terpincang-pincang, sejenak ragu-ragu akan kebenaran laporan empat orang brewok. Tiba-tiba tangan kirinya bergerak dan terdengar bunyi “Cuiiittttt!” ketika sinar hitam menyambar ke arah punggung Han Han.
Han Han tentu saja maklum bahwa ada senjata rahasia menyambar ke arahnya dari belakang dan maklum pula bahwa senjata rahasia itu dilemparkan oleh seorang yang memiliki sin-kang kuat bukan main.
Diam-diam ia kaget dan tahu bahwa wanita itu sungguh tak dapat disamakan dengan empat orang Kang-thouw Su-liong (Empat Naga Berkepala Baja) yang brewokan itu. Tidak, wanita ini jauh lebih lihai, belum tentu kalah lihai oleh murid-murid Ma-bin Lo-mo, melihat dari hebatnya sambaran angin senjata rahasianya.
Namun Han Han yang kini telah memiliki tingkat kepandaian yang luar biasa dan sukar diukur tingginya, masih belum menoleh dan belum berhenti melangkah, hanya kini tongkatnya bergerak sedikit ke belakang, kemudian sambil masih meloncat-loncat dengan sebelah kaki, ia mencabut tiga batang senjata rahasia piauw hitam dari tongkat di mana piauw-piauw itu menancap dan membuangnya ke atas tanah.
Wanita itu menahan seruan kaget. Pemuda pincang itu sama sekali tidak mengelak, bahkan menengok pun tidak, masih melangkah, akan tetapi dengan amat mudahnya sudah menyambut piauw-piauwnya dan membuang begitu saja seolah-olah tidak ada kejadian apa-apa!
“Berhenti dulu....!”
Han Han melihat bayangan berkelebat dan wanita yang dapat bergerak cepat sekali membayangkan gin-kang yang tinggi kini telah berdiri di depannya. Terpaksa Han Han menahan langkahnya dan memandang tak acuh. Sebaliknya wanita itu memandang kepadanya penuh selidik, agaknya mengingat-ingat di mana ia pernah melihat pemuda ini dan kapan ia mendengar akan seorang jago muda yang buntung kakinya. Setelah merasa yakin bahwa dia belum pernah mendengar tentang seorang tokoh kang-ouw muda yang buntung kakinya, ia lalu berkata.
“Ternyata engkau memiliki kepandaian. Orang muda, marilah engkau ikut bersamaku menghadap atasanku. Guruku adalah seorang pembesar di istana, seorang panglima pengawal. Kalau engkau setelah diuji ternyata memiliki ilmu kepandaian yang tinggi, engkau tentu akan mendapat kedudukan yang tinggi pula.”
Han Han mengerutkan alisnya dan wanita itu diam-diam amat tertarik. Wajah pemuda buntung ini tampan dan gagah sekali. Jantung wanita ini mulai tergetar.
“Toanio, harap kau jangan menggangguku. Aku tidak mempunyai urusan dengan toanio, dengan guru toanio atau dengan siapa pun juga. Harap membiarkan aku mengambil jalanku sendiri dan kita tidak saling mengganggu.”
“Orang muda, agaknya karena engkau belum tahu siapa aku, dan belum tahu pula siapa guruku maka engkau memandang rendah dan tidak menaruh perhatian. Ketahuilah bahwa aku adalah Hiat-ciang Sian-li Ma Su Nio, dan kalau engkau masih belum mengenalku, guruku adalah Hwi-yang Sin-ciang Gak-locianpwe!”
Sebagai murid Gak Liat tentu saja Ma Su Nio tidak mau menyebut nama poyokan gurunya, yaitu Kang-thouw-kwi atau Setan Botak!
Mendengar disebutnya Gak Liat, Han Han tercengang dan tanpa disadari ia mengangkat muka memandang wanita itu. Tentu saja ia sudah tahu bahwa Gak Liat Si Setan Botak itu menjadi seorang panglima pengawal Kerajaan Mancu, akan tetapi ia tidak menyangka bahwa wanita yang agaknya dipanggil oleh empat orang brewok ini adalah murid Si Setan Botak.
Melihat pemuda buntung itu akhirnya mengangkat muka memandangnya penuh perhatian, Ma Su Nio tersenyum dengan bangga, akan tetapi senyumnya membeku di mulut ketika pandang matanya bertemu dengan pandang mata Han Han yang demikian aneh dan tajam menusuk menembus ke jantung menjenguk hati! Pandang mata itu begitu aneh dan seperti bukan pandang mata manusia!
Dan tiba-tiba Ma Su Nio menjerit karena entah bagaimana caranya ia tidak dapat mengikuti dengan pandang mata saking cepatnya, tahu-tahu pundaknya sudah dicengkeram oleh pemuda buntung itu yang bertanya dengan suara yang membuat bulu tengkuknya berdiri.
“Hayo katakan apa yang terjadi dengan seorang gadis bernama Lulu yang diculik oleh Ouwyang Seng!”
Ma Su Nio berusaha meronta untuk meloloskan diri dari cengkeraman, akan tetapi betapa kagetnya ketika ia merasa bahwa tenaganya lenyap dan sama sekali ia tidak mampu melepaskan pundaknya. Ia menjadi marah dan tangan kanannya menghantam ke depan. Tangan itu telah berubah merah karena wanita ini telah menyalurkan sin-kangnya sehingga tangannya berubah menjadi tangan beracun Hiat¬ciang (Tangan Berdarah)!
Pukulan Hiat-ciang dari Ma Su Nio amat berbahaya dan jarang ada orang mampu melawannya. Juga amat cepat seperti kilat menyambar, padahal tubuh Han Han begitu dekat di depannya.
Akan tetapi, mata Ma Su Nio berkunang ketika tubuh pemuda buntung itu berkelebat dan pukulannya mengenai angin, sedangkan tubuh pemuda itu telah berpindah ke belakangnya, akan tetapi tangan yang mencengkeram pundaknya masih berada di pundak.
Sebelum Ma Su Nio dapat bergerak, tiba-tiba tubuhnya terjungkal dan ia jatuh miring karena didorong oleh Han Han dengan tenaga yang tak tertahankan lagi! Ma Su Nio baru saja berkedip, tahu-tahu dadanya telah ditodong oleh ujung tongkat sehingga ia tidak berani bergerak, maklum bahwa nyawanya berada di ujung tongkat itu.
“Hayo katakan, di mana Lulu?”
Ma Su Nio sudah mendengar akan gadis Mancu yang ditawan Ouwyang Seng dan yang kemudian melarikan dari istana di mana ia dijadikan pelayan istana. Kini seperti terbuka matanya. Pemuda inilah yang disebut Sie Han, pemuda aneh yang pernah menggegerkan istana! Akan tetapi menurut pendengarannya, pemuda ini tidaklah buntung kakinya. Dalam keheranan dan kebingungannya, Ma Su Nio menjawab gagap.
“Aku.... aku tidak.... tidak tahu....!”
Han Han menghela napas, mengeraskan hati dan menyentuh kulit dada wanita itu dengan ujung tongkat. Pada saat itu, empat orang brewok sudah datang menyerang dengan golok mereka dari belakang.
Han Han masih menodong Ma Su Nio dan tanpa menoleh ia menggerakkan tangan kirinya ke belakang. Terdengar suara hiruk-pikuk, empat buah golok terlepas dari tangan mereka dan tubuh empat orang itu terjengkang roboh. Kiranya tangan kiri yang lihai dari Han Han telah menyambut terjangan mereka dengan totokan-totokan pada pergelangan tangan mereka dan sekaligus mendorong mereka dengan hawa sin-kang yang amat dahsyat!
“Lekas katakan!” Han Han mengancam lagi.
Ma Su Nio tak dapat mempercayai matanya sendiri. Dalam segebrakan saja pemuda buntung ini sudah merobohkannya dan membuatnya tidak berdaya, bahkan tanpa menoleh, entah dengan ilmu apa, telah merobohkan empat orang pembantunya yang tak dapat digolongkan orang lemah! Ia bergidik dan tengkuknya terasa dingin saking ngeri dan takutnya. Baru pertama kali ini selama hidupnya Ma Su Nio merasa ngeri dan takut. Pemuda buntung yang menodongnya ini bukan manusia, melainkan iblis sendiri!
“Dia.... dia menjadi pelayan istana....”
Tongkat itu ditarik kembali dan Han Han tertawa. Kembali Ma Su Nio bergidik. Pemuda itu tertawa terbahak seperti orang yang merasa lucu. Dan memang Han Han merasa amat geli hatinya. Tadi ia merasa yakin bahwa sebagai murid Gak Liat, tentu wanita ini tahu apa yang terjadi dengan Lulu. Keyakinannya terbukti dengan pengakuan wanita itu, akan tetapi mendengar betapa Lulu, adiknya itu, menjadi pelayan istana, ia dapat membayangkan betapa akan lucunya, betapa akan gegernya istana kalau mempunyai seorang pelayan seperti adiknya. Tentu kaisar sendiri akan menjadi pening kepalanya! Maka ia tertawa saking geli hatinya, kemudian membalikkan tubuhnya dan pergi dari situ.
“Tangkap dia! Bunuh....!”
Hiat-ciang Sian-li Ma Su Nio sudah mendapatkan kembali keberaniannya. Terdorong oleh rasa malu, penasaran dan marah ia lalu memerintahkan pasukan terdiri dari dua puluh empat orang itu, dibantu oleh empat orang brewok yang sudah bangun kembali, untuk mengejar dan menyerang Han Han.
Akan tetapi, tiba-tiba Hiat-ciang Sian-li Ma Su Nio yang mengejar paling depan karena gerakannya jauh lebih cepat daripada para pembantunya terbelalak, mukanya pucat lalu seperti orang bingung memandang ke kanan kiri, mencari-cari. Dia tadi melihat tubuh pemuda buntung itu mencelat tinggi ke atas puncak pohon, lalu kelihatan bayangan putih itu mencelat-celat ke sana-sini dan lenyap!
“Kemana dia, Sian-li? Di mana....?” Empat orang brewok itu telah datang dan mencari-cari.
Dengan hati sebal Ma Su Nio mengibaskan tangannya dan menghela napas.
“Sudahlah, mari kita kembali!”
Pasukan Mancu saling berbisik dan mereka ini setibanya di markas lalu menceritakan pertemuan mereka dengan Pendekar Buntung Super Sakti! Makin terkenallah sebutan Pendekar Super Sakti yang juga disebut Pendekar Siluman karena mereka menganggap pemuda buntung itu seperti siluman.
Sementara itu, Han Han yang sudah berhasil melarikan diri dari pasukan itu karena ia pun hanya menghendaki keterangan tentang Lulu, melanjutkan perjalanannya, seperti biasa, menyusuri Sungai Fen-ho menuju ke utara. Ketika ia tiba di luar kota Tai-goan, tiba-tiba ia mendengar suara orang.
“Taihiap, harap suka menunggu....!”
Han Han mengerutkan alisnya dan menengok. Ketika melihat dua orang berlari-lari cepat, ia membalikkan tubuhnya karena ia mengenal dua orang gagah yang ia lihat di restoran tadi. Mereka itu agaknya berlari cepat dan napas mereka agak terengah-engah namun wajah mereka berseri gembira.
“Untung kami dapat menyusul taihiap....” kata yang tua dan mereka berdua serta-merta menjatuhkan diri berlutut di depan Han Han.
Pemuda buntung ini mengerutkan alisnya makin dalam dan berkata, suaranya penuh wibawa.
“Tidak baik begini, harap ji-wi suka bangun!”
Dua orang itu lalu bangkit berdiri dan memandang kepada Han Han penuh kekaguman dan penghormatan.
“Mohon maaf dari taihiap bahwa kami berdua mempunyai mata akan tetapi seperti buta saja tidak melihat Gunung Thai-san menjulang di depan mata! Semenjak taihiap keluar dari restoran, kami berdua melihat betapa anjing-anjing penjilat itu memberi tahu kepada pasukan musuh. Kami berusaha memberi tahu taihiap akan dihadang, akan tetapi.... ah, sungguh kami harus merasa malu. Bagaimana kami akan memperingatkan taihiap, kiranya mereka itu sekawanan tikus menghadapi kucing ketika bertemu taihiap. Hebat sekali....! Padahal iblis betina itu adalah Hiat-ciang Sian-li yang lihainya luar biasa....!”
“Dalam segebrakan saja roboh....!” Yang muda berseru, memandang Han Han dengan kagum.
Han Han mengerti dua orang ini tadi telah menyaksikan pertemuannya dengan pasukan Mancu, maka ia lalu berkata,
“Hendaknya ji-wi tidak melebih-lebihkan hal itu. Kini ji-wi mengejar saya ada keperluan apakah?”
“Taihiap, saya bernama Ciang Boan dan dia ini adalah So Pek Kun. Kami adalah dua orang utusan dari Bu-ongya untuk menyelidiki daerah ini. Melihat kesaktian taihiap, kami segera melakukan pengejaran. Kini kami mohon sudilah kiranya taihiap membantu perjuangan Bu-ongya melawan penjajah....”
“Hemmm, ji-wi Enghiong. Terima kasih atas kepercayaan ji-wi, akan tetapi sesungguhnya saya tidak mau terlibat dalam perang yang tiada habisnya itu. Saya mempunyai banyak sekali urusan pribadi yang harus saya selesaikan.”
“Taihiap, urusan apakah yang taihiap hadapi? Kami mempunyai banyak sekali sahabat kaum pejuang di semua daerah, dan kalau kami dapat membantu....”
“Apakah ji-wi pernah mendengar akan seorang wanita bernama Lulu? Dia adalah Adikku dan saya ingin mencarinya. Dia dulu diculik oleh Ouwyang Seng dan kabarnya Adikku itu berada di istana....”
“Ouwyang Seng putera Pangeran Ouwyang Cin Kok? Wah, ini hebat! Akan tetapi, sungguhpun kami tidak pernah mendengar tentang Adik taihiap, yang bergerak di daerah kota raja adalah sahabat-sahabat yang dipimpin oleh Lauw-pangcu. Kalau taihiap bertanya kepadanya tentu akan ada yang tahu. Taihiap, saat ini, seluruh orang gagah telah berkumpul di Secuan dan kami siap untuk sewaktu-waktu menghadapi penyerangan orang Mancu. Kami harap sudilah taihiap ikut mencurahkan tenaga taihiap yang amat lihai untuk membela nusa bangsa, dan kami percaya bahwa taihiap memiliki jiwa patriot.”
Han Han tidak mau berbantah lebih banyak lagi tentang hal itu, maka ia menghela napas dan berkata,
“Saya tidak berani berjanji terlalu banyak, ji-wi Enghiong. Akan tetapi saya hendak mencari Adikku, kalau sudah bertemu barulah saya akan memikirkan tawaran ji-wi. Kalau memang kelak aku setuju, agaknya tidak akan sukar untuk pergi ke Se-cuan. Nah, selamat tinggal!”
Han Han tidak menanti bantahan mereka. Tubuhnya mencelat ke belakang, kemudian dua orang gagah itu melihat bayangan putih berkali-kali mencelat makin jauh dan lenyap dari pandangan mata mereka.
Kedua orang itu menjadi pucat wajahnya, saling pandang kemudian menarik napas panjang.
“Manusiakah dia?” Yang muda mengguman.
“Entahlah, akan tetapi seorang buntung bisa bergerak seperti itu, sungguh sukar dipercaya!”
Keduanya pergi dan makin banyaklah orang yang bercerita tentang kehebatan sepak terjang Pendekar Super Sakti!
Han Han tidak singgah di kota Tai-goan, melainkan terus keluar dari kota itu melalui pintu kota sebelah timur untuk melanjutkan perjalanannya ke kota raja melalui Pegunungan Tai-hang-san. Ketika beberapa hari kemudian ia tiba di lereng Pegunungan Tai-hang-san, ia merasa kagum akan keindahan pemandangan alam di pegunungan ini, akan penghidupan para petani pegunungan yang aman, damai dan tenteram.
Melihat para petani yang biarpun pakaiannya sederhana, robek-robek dan kotor terkena lumpur, bekerja di sawah sambil menyanyi-nyanyi, wajah mereka berseri gembira, tubuh mereka sehat kuat, Han Han ikut menjadi gembira. Ia kagum sekali dan terkenanglah ia akan filsafat yang pernah dibacanya bahwa “kemajuan duniawi” bahkan menjauhkan manusia daripada kebahagiaan hidup. Lihat saja di kota-kota besar.
Di kota manusia mengadakan pelbagai kesenangan, makanan enak, pakaian indah, perhiasan, tontonan dan sebagainya yang dianggap sebagai kemajuan yang akan menyenangkan hidup manusia. Akan tetapi makin banyak diciptakan hiburan-hiburan dan kemewahan, bukan kebahagiaan yang didapat, bahkan sebaliknya.
Manusia yang bisa mendapatkan segala kemewahan itu, hanya akan menikmatinya sebentar saja lalu menjadi bosan, sebaliknya betapa banyaknya yang karena tidak bisa mendapatkannya, merasa berduka dan menganggap hidupnya sengsara. Yang tidak bisa membeli pakaian indah dan perhiasan mewah melihat mereka yang memakai segala kemewahan itu menjadi iri hati dan kepingin sekali, maka timbullah perbuatan-perbuatan maksiat, didorong oleh keinginan hendak memiliki benda-benda yang diinginkan.
Akan tetapi, di dusun yang sunyi ini, tidak nampak kemajuan duniawi, tidak nampak kesenangan-kesenangan yang aneh-aneh dan karenanya tidak ada seorang pun yang kepingin dan tidak ada seorang pun yang merasa sengsara. Mereka tidak mabuk pengejaran kesenangan dan kemewahan, mereka tidak butuh akan itu, dan karenanya mereka pun tidak kekurangan sesuatu!
Boleh jadi para petani pegunungan ini miskin akan harta benda dan kesenangan duniawi yang sekelumit itu, namun tanpa disadari telah menemukan kebahagiaan sejati yang memang akan menonjol apabila manusia menipis keinginannya untuk mengejar kesenangan.
Kesenangan adalah bayangan yang menyesatkan, makin dikejar makin membuat pengejarnya tersesat jauh sehingga tidak dapat menemukan kebahagiaan yang sudah ada pada dirinya sendiri. Lupa bahwa kesenangan itu bergandengan tangan dengan kesusahan. Bahkan merupakan satu badan dengan dua muka, yaitu yang sebelah kesenangan yang sebelah lagi kesusahan. Maka sudah menjadi kepastian bahwa siapa mencari kesenangan, dia berarti mencari pula kesusahan, karena yang merangkul kesenangan berarti menggandeng kesusahan pula.
Karena tertarik dan kagum, Han Han beristirahat di bawah pohon dekat sawah, melihat seorang petani tua yang sedang mencangkul sawahnya. Petani tua itu memandang ke arah Han Han, menggeleng-geleng kepala penuh kasihan melihat pemuda yang berkaki buntung, lalu melanjukan pekerjaannya.
“Lopek, maaf kalau aku mengganggu pekerjaanmu. Penduduk di sini kelihatan sehat dan gembira sekali, alangkah jauh bedanya dengan penduduk kota Tai-goan yang saya lalui beberapa hari yang lalu.”
Kakek itu menunda cangkulnya, menoleh dan tersenyum.
“Habis, kalau tidak gembira, apa yang disusahkan? Bekerja setiap hari mendatangkan kesehatan. Dan berkat kesucian para nikouw yang bersembahyang untuk kami di Kwan-im-bio di dusun kami, Kwan Im Pouwsat memberi berkah sehingga hasil sawah kami selalu baik. Memang benar, semenjak Thian Sim Nikouw dan para muridnya membangun kuil Kwan-im-bio di dusun kami, penghidupan kami lebih tenteram. Sawah ladang subur, kalau ada yang sakit para nikouw cepat turun tangan mengobati, dan petuah-petuah yang berharga dari para nikouw mengusir semua kemaksiatan didusun-dusun.”
Han Han tertarik dan makin kagum. Di mana ada penghidupan yang demikian tenang dan damai?
“Selain itu, juga tidak ada orang jahat berani mengganggu pedusunan di sekitar Tai-hang-san, berkat perlindungan para nikouw Kwan-im-bio yang sakti!”
Dari sikap mereka apalagi melihat empat orang brewokan itu, mengertilah Han Han bahwa mereka itu telah mendahuluinya dengan menunggang kuda dan sengaja mencegatnya di tempat sunyi itu. Pasukan itu mempunyai rombongan kuda yang ditambatkan di bawah pohon-pohon tak jauh dari situ.
Han Han menarik napas panjang. Sebetulnya dia segan terlibat permusuhan dengan fihak mana pun juga. Dia hendak mencari Lulu, dan dia tidak ingin usahanya mencari Lulu terhambat oleh segala macam gangguan dan permusuhan yang tidak ada manfaatnya.
Akan tetapi dia juga ingin sekali mengetahui apa yang akan dilakukan oleh mereka, terutama sekali oleh empat orang brewok yang telah ia beri peringatan di rumah makan tadi. Ia bersikap tenang dan melanjutkan perjalanannya terpincang-pincang dibantu tongkatnya sehingga ia tiba di depan wanita dan empat orang brewok tadi yang memandang dengan mata terbelalak, masih tampak jerih.
Akan tetapi wanita itu memandangnya dengan sikap angkuh memandang rendah. Han Han hanya melihat ini semua dari sudut matanya dan hendak melanjutkan perjalanan dengan mengambil jalan dekat sungai agar tidak menerjang jalan yang sudah terpenuhi oleh rombongan pasukan itu.
“Pemuda buntung, berhenti dulu!”
Bentakan halus nyaring dari mulut wanita itu membuat Han Han terpaksa menghentikan langkahnya, berdiri tegak tanpa menoleh.
Sunyi sejenak, dan terdengar wanita itu bertanya lirih,
“Dia itukah orangnya?”
“Benar, Sianli. Hati-hati, dia lihai bukan main,” jawaban Si Brewok Berhidung Besar ini terdengar jelas oleh Han Han yang masih tidak bergerak, juga tidak menoleh.
“Heh, orang muda pincang! Siapa namamu?”
Han Han yang mendengar betapa wanita itu disebut Sianli (Dewi), dapat menduga bahwa wanita itu tentulah seorang tokoh kang-ouw dan tentu memiliki kepandaian tinggi. Kalau tidak, mana berani memakai julukan Dewi? Baru satu orang yang ia tahu memakai Dewi, yaitu Toat-beng Ciu-sian-li, bekas gurunya. Ia dapat menduga bahwa karena empat orang brewok itu adalah orang-orang yang berfihak kepada pemerintah Mancu, maka wanita cantik yang angkuh ini tentulah juga seorang tokoh yang membantu Kerajaan Ceng.
Tanpa menoleh Han Han menjawab,
“Aku adalah seorang perantau miskin yang tidak ingin bermusuh dengan siapapun juga, tidak mempunyai hubungan pula dengan perang, harap kalian membiarkan aku lewat.”
“Aihhh, orang muda sombong! Agaknya engkau memiliki sedikit kepandaian maka sikapmu sesombong ini. Ketahuilah, kami tidak berniat jahat terhadapmu, sebaliknya, kalau benar engkau memiliki kepandaian, kami akan membawamu menghadap atasan kami karena pemerintah yang bijaksana membutuhkan bantuan orang-orang yang memiliki kepandaian. Kalau engkau berkepandaian, percayalah, hidupmu akan terjamin dan engkau tidak usah berkeliaran merantau, menderita kekurangan dan kelaparan!”
Diam-diam Han Han tersenyum. Pemerintah Kerajaan Ceng dan bangsa Mancu memang cerdik sekali. Kalau bangsa Mancu menggunakan kekerasan untuk membasmi orang-orang pribumi yang berkepandaian, tentu perlawanan rakyat takkan kunjung berhenti karena rakyat akan menjadi makin benci kepada pemerintah penjajah itu.
Akan tetapi, dengan jalan membujuk orang-orang pandai membantu pemerintah, memberi mereka kedudukan yang takkan mereka peroleh pada waktu pemerintah dipegang oleh bangsa sendiri, maka kedudukan Pemerintah Ceng akan menjadi makin kuat, mendapatkan simpati orang-orang kang-ouw dan dapat menarik hati rakyat.
“Terima kasih, aku tidak mungkin dapat menerimanya karena aku seorang yang tidak memiliki kepandaian apa-apa.”
Sambil berkata demikian, tanpa menoleh Han Han lalu melanjutkan langkahnya. Wanita itu memperhatikan langkah Han Han yang terpincang-pincang, sejenak ragu-ragu akan kebenaran laporan empat orang brewok. Tiba-tiba tangan kirinya bergerak dan terdengar bunyi “Cuiiittttt!” ketika sinar hitam menyambar ke arah punggung Han Han.
Han Han tentu saja maklum bahwa ada senjata rahasia menyambar ke arahnya dari belakang dan maklum pula bahwa senjata rahasia itu dilemparkan oleh seorang yang memiliki sin-kang kuat bukan main.
Diam-diam ia kaget dan tahu bahwa wanita itu sungguh tak dapat disamakan dengan empat orang Kang-thouw Su-liong (Empat Naga Berkepala Baja) yang brewokan itu. Tidak, wanita ini jauh lebih lihai, belum tentu kalah lihai oleh murid-murid Ma-bin Lo-mo, melihat dari hebatnya sambaran angin senjata rahasianya.
Namun Han Han yang kini telah memiliki tingkat kepandaian yang luar biasa dan sukar diukur tingginya, masih belum menoleh dan belum berhenti melangkah, hanya kini tongkatnya bergerak sedikit ke belakang, kemudian sambil masih meloncat-loncat dengan sebelah kaki, ia mencabut tiga batang senjata rahasia piauw hitam dari tongkat di mana piauw-piauw itu menancap dan membuangnya ke atas tanah.
Wanita itu menahan seruan kaget. Pemuda pincang itu sama sekali tidak mengelak, bahkan menengok pun tidak, masih melangkah, akan tetapi dengan amat mudahnya sudah menyambut piauw-piauwnya dan membuang begitu saja seolah-olah tidak ada kejadian apa-apa!
“Berhenti dulu....!”
Han Han melihat bayangan berkelebat dan wanita yang dapat bergerak cepat sekali membayangkan gin-kang yang tinggi kini telah berdiri di depannya. Terpaksa Han Han menahan langkahnya dan memandang tak acuh. Sebaliknya wanita itu memandang kepadanya penuh selidik, agaknya mengingat-ingat di mana ia pernah melihat pemuda ini dan kapan ia mendengar akan seorang jago muda yang buntung kakinya. Setelah merasa yakin bahwa dia belum pernah mendengar tentang seorang tokoh kang-ouw muda yang buntung kakinya, ia lalu berkata.
“Ternyata engkau memiliki kepandaian. Orang muda, marilah engkau ikut bersamaku menghadap atasanku. Guruku adalah seorang pembesar di istana, seorang panglima pengawal. Kalau engkau setelah diuji ternyata memiliki ilmu kepandaian yang tinggi, engkau tentu akan mendapat kedudukan yang tinggi pula.”
Han Han mengerutkan alisnya dan wanita itu diam-diam amat tertarik. Wajah pemuda buntung ini tampan dan gagah sekali. Jantung wanita ini mulai tergetar.
“Toanio, harap kau jangan menggangguku. Aku tidak mempunyai urusan dengan toanio, dengan guru toanio atau dengan siapa pun juga. Harap membiarkan aku mengambil jalanku sendiri dan kita tidak saling mengganggu.”
“Orang muda, agaknya karena engkau belum tahu siapa aku, dan belum tahu pula siapa guruku maka engkau memandang rendah dan tidak menaruh perhatian. Ketahuilah bahwa aku adalah Hiat-ciang Sian-li Ma Su Nio, dan kalau engkau masih belum mengenalku, guruku adalah Hwi-yang Sin-ciang Gak-locianpwe!”
Sebagai murid Gak Liat tentu saja Ma Su Nio tidak mau menyebut nama poyokan gurunya, yaitu Kang-thouw-kwi atau Setan Botak!
Mendengar disebutnya Gak Liat, Han Han tercengang dan tanpa disadari ia mengangkat muka memandang wanita itu. Tentu saja ia sudah tahu bahwa Gak Liat Si Setan Botak itu menjadi seorang panglima pengawal Kerajaan Mancu, akan tetapi ia tidak menyangka bahwa wanita yang agaknya dipanggil oleh empat orang brewok ini adalah murid Si Setan Botak.
Melihat pemuda buntung itu akhirnya mengangkat muka memandangnya penuh perhatian, Ma Su Nio tersenyum dengan bangga, akan tetapi senyumnya membeku di mulut ketika pandang matanya bertemu dengan pandang mata Han Han yang demikian aneh dan tajam menusuk menembus ke jantung menjenguk hati! Pandang mata itu begitu aneh dan seperti bukan pandang mata manusia!
Dan tiba-tiba Ma Su Nio menjerit karena entah bagaimana caranya ia tidak dapat mengikuti dengan pandang mata saking cepatnya, tahu-tahu pundaknya sudah dicengkeram oleh pemuda buntung itu yang bertanya dengan suara yang membuat bulu tengkuknya berdiri.
“Hayo katakan apa yang terjadi dengan seorang gadis bernama Lulu yang diculik oleh Ouwyang Seng!”
Ma Su Nio berusaha meronta untuk meloloskan diri dari cengkeraman, akan tetapi betapa kagetnya ketika ia merasa bahwa tenaganya lenyap dan sama sekali ia tidak mampu melepaskan pundaknya. Ia menjadi marah dan tangan kanannya menghantam ke depan. Tangan itu telah berubah merah karena wanita ini telah menyalurkan sin-kangnya sehingga tangannya berubah menjadi tangan beracun Hiat¬ciang (Tangan Berdarah)!
Pukulan Hiat-ciang dari Ma Su Nio amat berbahaya dan jarang ada orang mampu melawannya. Juga amat cepat seperti kilat menyambar, padahal tubuh Han Han begitu dekat di depannya.
Akan tetapi, mata Ma Su Nio berkunang ketika tubuh pemuda buntung itu berkelebat dan pukulannya mengenai angin, sedangkan tubuh pemuda itu telah berpindah ke belakangnya, akan tetapi tangan yang mencengkeram pundaknya masih berada di pundak.
Sebelum Ma Su Nio dapat bergerak, tiba-tiba tubuhnya terjungkal dan ia jatuh miring karena didorong oleh Han Han dengan tenaga yang tak tertahankan lagi! Ma Su Nio baru saja berkedip, tahu-tahu dadanya telah ditodong oleh ujung tongkat sehingga ia tidak berani bergerak, maklum bahwa nyawanya berada di ujung tongkat itu.
“Hayo katakan, di mana Lulu?”
Ma Su Nio sudah mendengar akan gadis Mancu yang ditawan Ouwyang Seng dan yang kemudian melarikan dari istana di mana ia dijadikan pelayan istana. Kini seperti terbuka matanya. Pemuda inilah yang disebut Sie Han, pemuda aneh yang pernah menggegerkan istana! Akan tetapi menurut pendengarannya, pemuda ini tidaklah buntung kakinya. Dalam keheranan dan kebingungannya, Ma Su Nio menjawab gagap.
“Aku.... aku tidak.... tidak tahu....!”
Han Han menghela napas, mengeraskan hati dan menyentuh kulit dada wanita itu dengan ujung tongkat. Pada saat itu, empat orang brewok sudah datang menyerang dengan golok mereka dari belakang.
Han Han masih menodong Ma Su Nio dan tanpa menoleh ia menggerakkan tangan kirinya ke belakang. Terdengar suara hiruk-pikuk, empat buah golok terlepas dari tangan mereka dan tubuh empat orang itu terjengkang roboh. Kiranya tangan kiri yang lihai dari Han Han telah menyambut terjangan mereka dengan totokan-totokan pada pergelangan tangan mereka dan sekaligus mendorong mereka dengan hawa sin-kang yang amat dahsyat!
“Lekas katakan!” Han Han mengancam lagi.
Ma Su Nio tak dapat mempercayai matanya sendiri. Dalam segebrakan saja pemuda buntung ini sudah merobohkannya dan membuatnya tidak berdaya, bahkan tanpa menoleh, entah dengan ilmu apa, telah merobohkan empat orang pembantunya yang tak dapat digolongkan orang lemah! Ia bergidik dan tengkuknya terasa dingin saking ngeri dan takutnya. Baru pertama kali ini selama hidupnya Ma Su Nio merasa ngeri dan takut. Pemuda buntung yang menodongnya ini bukan manusia, melainkan iblis sendiri!
“Dia.... dia menjadi pelayan istana....”
Tongkat itu ditarik kembali dan Han Han tertawa. Kembali Ma Su Nio bergidik. Pemuda itu tertawa terbahak seperti orang yang merasa lucu. Dan memang Han Han merasa amat geli hatinya. Tadi ia merasa yakin bahwa sebagai murid Gak Liat, tentu wanita ini tahu apa yang terjadi dengan Lulu. Keyakinannya terbukti dengan pengakuan wanita itu, akan tetapi mendengar betapa Lulu, adiknya itu, menjadi pelayan istana, ia dapat membayangkan betapa akan lucunya, betapa akan gegernya istana kalau mempunyai seorang pelayan seperti adiknya. Tentu kaisar sendiri akan menjadi pening kepalanya! Maka ia tertawa saking geli hatinya, kemudian membalikkan tubuhnya dan pergi dari situ.
“Tangkap dia! Bunuh....!”
Hiat-ciang Sian-li Ma Su Nio sudah mendapatkan kembali keberaniannya. Terdorong oleh rasa malu, penasaran dan marah ia lalu memerintahkan pasukan terdiri dari dua puluh empat orang itu, dibantu oleh empat orang brewok yang sudah bangun kembali, untuk mengejar dan menyerang Han Han.
Akan tetapi, tiba-tiba Hiat-ciang Sian-li Ma Su Nio yang mengejar paling depan karena gerakannya jauh lebih cepat daripada para pembantunya terbelalak, mukanya pucat lalu seperti orang bingung memandang ke kanan kiri, mencari-cari. Dia tadi melihat tubuh pemuda buntung itu mencelat tinggi ke atas puncak pohon, lalu kelihatan bayangan putih itu mencelat-celat ke sana-sini dan lenyap!
“Kemana dia, Sian-li? Di mana....?” Empat orang brewok itu telah datang dan mencari-cari.
Dengan hati sebal Ma Su Nio mengibaskan tangannya dan menghela napas.
“Sudahlah, mari kita kembali!”
Pasukan Mancu saling berbisik dan mereka ini setibanya di markas lalu menceritakan pertemuan mereka dengan Pendekar Buntung Super Sakti! Makin terkenallah sebutan Pendekar Super Sakti yang juga disebut Pendekar Siluman karena mereka menganggap pemuda buntung itu seperti siluman.
Sementara itu, Han Han yang sudah berhasil melarikan diri dari pasukan itu karena ia pun hanya menghendaki keterangan tentang Lulu, melanjutkan perjalanannya, seperti biasa, menyusuri Sungai Fen-ho menuju ke utara. Ketika ia tiba di luar kota Tai-goan, tiba-tiba ia mendengar suara orang.
“Taihiap, harap suka menunggu....!”
Han Han mengerutkan alisnya dan menengok. Ketika melihat dua orang berlari-lari cepat, ia membalikkan tubuhnya karena ia mengenal dua orang gagah yang ia lihat di restoran tadi. Mereka itu agaknya berlari cepat dan napas mereka agak terengah-engah namun wajah mereka berseri gembira.
“Untung kami dapat menyusul taihiap....” kata yang tua dan mereka berdua serta-merta menjatuhkan diri berlutut di depan Han Han.
Pemuda buntung ini mengerutkan alisnya makin dalam dan berkata, suaranya penuh wibawa.
“Tidak baik begini, harap ji-wi suka bangun!”
Dua orang itu lalu bangkit berdiri dan memandang kepada Han Han penuh kekaguman dan penghormatan.
“Mohon maaf dari taihiap bahwa kami berdua mempunyai mata akan tetapi seperti buta saja tidak melihat Gunung Thai-san menjulang di depan mata! Semenjak taihiap keluar dari restoran, kami berdua melihat betapa anjing-anjing penjilat itu memberi tahu kepada pasukan musuh. Kami berusaha memberi tahu taihiap akan dihadang, akan tetapi.... ah, sungguh kami harus merasa malu. Bagaimana kami akan memperingatkan taihiap, kiranya mereka itu sekawanan tikus menghadapi kucing ketika bertemu taihiap. Hebat sekali....! Padahal iblis betina itu adalah Hiat-ciang Sian-li yang lihainya luar biasa....!”
“Dalam segebrakan saja roboh....!” Yang muda berseru, memandang Han Han dengan kagum.
Han Han mengerti dua orang ini tadi telah menyaksikan pertemuannya dengan pasukan Mancu, maka ia lalu berkata,
“Hendaknya ji-wi tidak melebih-lebihkan hal itu. Kini ji-wi mengejar saya ada keperluan apakah?”
“Taihiap, saya bernama Ciang Boan dan dia ini adalah So Pek Kun. Kami adalah dua orang utusan dari Bu-ongya untuk menyelidiki daerah ini. Melihat kesaktian taihiap, kami segera melakukan pengejaran. Kini kami mohon sudilah kiranya taihiap membantu perjuangan Bu-ongya melawan penjajah....”
“Hemmm, ji-wi Enghiong. Terima kasih atas kepercayaan ji-wi, akan tetapi sesungguhnya saya tidak mau terlibat dalam perang yang tiada habisnya itu. Saya mempunyai banyak sekali urusan pribadi yang harus saya selesaikan.”
“Taihiap, urusan apakah yang taihiap hadapi? Kami mempunyai banyak sekali sahabat kaum pejuang di semua daerah, dan kalau kami dapat membantu....”
“Apakah ji-wi pernah mendengar akan seorang wanita bernama Lulu? Dia adalah Adikku dan saya ingin mencarinya. Dia dulu diculik oleh Ouwyang Seng dan kabarnya Adikku itu berada di istana....”
“Ouwyang Seng putera Pangeran Ouwyang Cin Kok? Wah, ini hebat! Akan tetapi, sungguhpun kami tidak pernah mendengar tentang Adik taihiap, yang bergerak di daerah kota raja adalah sahabat-sahabat yang dipimpin oleh Lauw-pangcu. Kalau taihiap bertanya kepadanya tentu akan ada yang tahu. Taihiap, saat ini, seluruh orang gagah telah berkumpul di Secuan dan kami siap untuk sewaktu-waktu menghadapi penyerangan orang Mancu. Kami harap sudilah taihiap ikut mencurahkan tenaga taihiap yang amat lihai untuk membela nusa bangsa, dan kami percaya bahwa taihiap memiliki jiwa patriot.”
Han Han tidak mau berbantah lebih banyak lagi tentang hal itu, maka ia menghela napas dan berkata,
“Saya tidak berani berjanji terlalu banyak, ji-wi Enghiong. Akan tetapi saya hendak mencari Adikku, kalau sudah bertemu barulah saya akan memikirkan tawaran ji-wi. Kalau memang kelak aku setuju, agaknya tidak akan sukar untuk pergi ke Se-cuan. Nah, selamat tinggal!”
Han Han tidak menanti bantahan mereka. Tubuhnya mencelat ke belakang, kemudian dua orang gagah itu melihat bayangan putih berkali-kali mencelat makin jauh dan lenyap dari pandangan mata mereka.
Kedua orang itu menjadi pucat wajahnya, saling pandang kemudian menarik napas panjang.
“Manusiakah dia?” Yang muda mengguman.
“Entahlah, akan tetapi seorang buntung bisa bergerak seperti itu, sungguh sukar dipercaya!”
Keduanya pergi dan makin banyaklah orang yang bercerita tentang kehebatan sepak terjang Pendekar Super Sakti!
Han Han tidak singgah di kota Tai-goan, melainkan terus keluar dari kota itu melalui pintu kota sebelah timur untuk melanjutkan perjalanannya ke kota raja melalui Pegunungan Tai-hang-san. Ketika beberapa hari kemudian ia tiba di lereng Pegunungan Tai-hang-san, ia merasa kagum akan keindahan pemandangan alam di pegunungan ini, akan penghidupan para petani pegunungan yang aman, damai dan tenteram.
Melihat para petani yang biarpun pakaiannya sederhana, robek-robek dan kotor terkena lumpur, bekerja di sawah sambil menyanyi-nyanyi, wajah mereka berseri gembira, tubuh mereka sehat kuat, Han Han ikut menjadi gembira. Ia kagum sekali dan terkenanglah ia akan filsafat yang pernah dibacanya bahwa “kemajuan duniawi” bahkan menjauhkan manusia daripada kebahagiaan hidup. Lihat saja di kota-kota besar.
Di kota manusia mengadakan pelbagai kesenangan, makanan enak, pakaian indah, perhiasan, tontonan dan sebagainya yang dianggap sebagai kemajuan yang akan menyenangkan hidup manusia. Akan tetapi makin banyak diciptakan hiburan-hiburan dan kemewahan, bukan kebahagiaan yang didapat, bahkan sebaliknya.
Manusia yang bisa mendapatkan segala kemewahan itu, hanya akan menikmatinya sebentar saja lalu menjadi bosan, sebaliknya betapa banyaknya yang karena tidak bisa mendapatkannya, merasa berduka dan menganggap hidupnya sengsara. Yang tidak bisa membeli pakaian indah dan perhiasan mewah melihat mereka yang memakai segala kemewahan itu menjadi iri hati dan kepingin sekali, maka timbullah perbuatan-perbuatan maksiat, didorong oleh keinginan hendak memiliki benda-benda yang diinginkan.
Akan tetapi, di dusun yang sunyi ini, tidak nampak kemajuan duniawi, tidak nampak kesenangan-kesenangan yang aneh-aneh dan karenanya tidak ada seorang pun yang kepingin dan tidak ada seorang pun yang merasa sengsara. Mereka tidak mabuk pengejaran kesenangan dan kemewahan, mereka tidak butuh akan itu, dan karenanya mereka pun tidak kekurangan sesuatu!
Boleh jadi para petani pegunungan ini miskin akan harta benda dan kesenangan duniawi yang sekelumit itu, namun tanpa disadari telah menemukan kebahagiaan sejati yang memang akan menonjol apabila manusia menipis keinginannya untuk mengejar kesenangan.
Kesenangan adalah bayangan yang menyesatkan, makin dikejar makin membuat pengejarnya tersesat jauh sehingga tidak dapat menemukan kebahagiaan yang sudah ada pada dirinya sendiri. Lupa bahwa kesenangan itu bergandengan tangan dengan kesusahan. Bahkan merupakan satu badan dengan dua muka, yaitu yang sebelah kesenangan yang sebelah lagi kesusahan. Maka sudah menjadi kepastian bahwa siapa mencari kesenangan, dia berarti mencari pula kesusahan, karena yang merangkul kesenangan berarti menggandeng kesusahan pula.
Karena tertarik dan kagum, Han Han beristirahat di bawah pohon dekat sawah, melihat seorang petani tua yang sedang mencangkul sawahnya. Petani tua itu memandang ke arah Han Han, menggeleng-geleng kepala penuh kasihan melihat pemuda yang berkaki buntung, lalu melanjukan pekerjaannya.
“Lopek, maaf kalau aku mengganggu pekerjaanmu. Penduduk di sini kelihatan sehat dan gembira sekali, alangkah jauh bedanya dengan penduduk kota Tai-goan yang saya lalui beberapa hari yang lalu.”
Kakek itu menunda cangkulnya, menoleh dan tersenyum.
“Habis, kalau tidak gembira, apa yang disusahkan? Bekerja setiap hari mendatangkan kesehatan. Dan berkat kesucian para nikouw yang bersembahyang untuk kami di Kwan-im-bio di dusun kami, Kwan Im Pouwsat memberi berkah sehingga hasil sawah kami selalu baik. Memang benar, semenjak Thian Sim Nikouw dan para muridnya membangun kuil Kwan-im-bio di dusun kami, penghidupan kami lebih tenteram. Sawah ladang subur, kalau ada yang sakit para nikouw cepat turun tangan mengobati, dan petuah-petuah yang berharga dari para nikouw mengusir semua kemaksiatan didusun-dusun.”
Han Han tertarik dan makin kagum. Di mana ada penghidupan yang demikian tenang dan damai?
“Selain itu, juga tidak ada orang jahat berani mengganggu pedusunan di sekitar Tai-hang-san, berkat perlindungan para nikouw Kwan-im-bio yang sakti!”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar