Di luar kota Tai-goan terdapat sebuah dusun yang cukup ramai. Dusun itu bernama Leng-chun, letaknya di sebelah selatan kota Tai-goan dan ditepi Sungai Fen-hoyang mengalir ke selatan dari kota Tai-goan. Karena Sungai Fen-ho ini terus mengalir ke selatan sampai bergabung dengan Sungai Huang¬ho yang mengalir ke timur dan sampai ke Terusan Besar, maka sungai ini merupakan sungai yang “hidup”, yaitu dimanfaatkan oleh rakyat sebagai jalan umum untuk mengangkut barang dan penumpang. Selain lebih aman dan murah, juga tidak melelahkan daripada kalau melakukan perjalanan melalui daratan yang banyak diganggu rampok dan melalui gunung-gunung yang sukar dilewati.
Karena ramainya sungai ini, maka dusun Leng-chun merupakan dusun yang makmur pula, banyak dilewati kaum pedagang dan banyak pula barang-barang hasil bumi diangkut ke timur meialui dusun ini. Banyaknya kaum pedagang dan pelancong membuat dusun ini ramai dan banyak dibuka rumah-rumah makan dan rumah-rumah penginapan, yang sungguhpun kecil-kecil dan sederhana namun cukup memenuhi kebutuhan para saudagar dan pelancong. Dusun kecil ini dengan sendirinya menjadi pusat pertemuan orang-orang dari luar kota sehingga banyak terdapat orang asing yang bicara dengan bermacam dialek.
Pada suatu hari, seorang laki-laki yang aneh memasuki sebuah rumah makan di dusun Leng-chun. Laki-laki ini masih muda, wajahya tampan sekali, sinar matanya aneh dan tajam, namun di antara kedua alisnya banyak guratan yang menjadi tanda bahwa semenjak kecil pemuda ini sudah mengalami banyak penderitaan hidup. Pakaiannya sederhana, serba putih dengan garis-garis biru tua. Yang amat menarik perhatian orang bukanlah pakaiannya karena pakaian itu sederhana, bahkan orang-orang kang-ouw yang suka lewat di tempat ini dengan pakaian mereka yang aneh-aneh pun sudah dianggap biasa oleh penduduk di situ. Rambut itu hitam panjang dibiarkan terurai ke atas pundak dan punggung, sama sekali tidak diikat atau digelung seperti biasa.
Bahkan semenjak keluar peraturan dari pemerintah Kerajaan Ceng yang mengharuskan penduduk pribumi menguncir rambut mereka, banyak penduduk menguncir rambut lalu menyembunyikan kuncir di bawah topi agar tidak tampak. Akan tetapi pemuda ini membiarkan rambutnya terurai, dikuncir pun tidak! Juga kakinya amat menarik perhatian karena kaki itu tinggal sebuah. Kaki kirinya buntung. Pemuda itu berjalan dibantu tongkatnya, sebatang tongkat kayu yang butut, yang dipegang dengan tangan kiri dan dipergunakan sebagai pengganti kakinya. Pemuda itu berjalan perlahan-lahan dan agaknya dia sudah mahir menggunakan tongkat, buktinya ia tidak kelihatan pincang, biarpun ia hanya berjalan dengan sebelah kaki.
Pemuda tampan berkaki buntung dan berambut panjang terurai ini bukan lain adalah Han Han. Setelah gurunya yang baru, Nenek Khu Siauw Bwee yang buntung pula kakinya, menggemblengnya secara tekun dan sudah membolehkan dia keluar dari daerah tersembunyi itu, Han Han lalu muncul pula di dunia ramai dan pertama-tama yang ia kerjakan adalah mencari adiknya.
Karena ramainya sungai ini, maka dusun Leng-chun merupakan dusun yang makmur pula, banyak dilewati kaum pedagang dan banyak pula barang-barang hasil bumi diangkut ke timur meialui dusun ini. Banyaknya kaum pedagang dan pelancong membuat dusun ini ramai dan banyak dibuka rumah-rumah makan dan rumah-rumah penginapan, yang sungguhpun kecil-kecil dan sederhana namun cukup memenuhi kebutuhan para saudagar dan pelancong. Dusun kecil ini dengan sendirinya menjadi pusat pertemuan orang-orang dari luar kota sehingga banyak terdapat orang asing yang bicara dengan bermacam dialek.
Pada suatu hari, seorang laki-laki yang aneh memasuki sebuah rumah makan di dusun Leng-chun. Laki-laki ini masih muda, wajahya tampan sekali, sinar matanya aneh dan tajam, namun di antara kedua alisnya banyak guratan yang menjadi tanda bahwa semenjak kecil pemuda ini sudah mengalami banyak penderitaan hidup. Pakaiannya sederhana, serba putih dengan garis-garis biru tua. Yang amat menarik perhatian orang bukanlah pakaiannya karena pakaian itu sederhana, bahkan orang-orang kang-ouw yang suka lewat di tempat ini dengan pakaian mereka yang aneh-aneh pun sudah dianggap biasa oleh penduduk di situ. Rambut itu hitam panjang dibiarkan terurai ke atas pundak dan punggung, sama sekali tidak diikat atau digelung seperti biasa.
Bahkan semenjak keluar peraturan dari pemerintah Kerajaan Ceng yang mengharuskan penduduk pribumi menguncir rambut mereka, banyak penduduk menguncir rambut lalu menyembunyikan kuncir di bawah topi agar tidak tampak. Akan tetapi pemuda ini membiarkan rambutnya terurai, dikuncir pun tidak! Juga kakinya amat menarik perhatian karena kaki itu tinggal sebuah. Kaki kirinya buntung. Pemuda itu berjalan dibantu tongkatnya, sebatang tongkat kayu yang butut, yang dipegang dengan tangan kiri dan dipergunakan sebagai pengganti kakinya. Pemuda itu berjalan perlahan-lahan dan agaknya dia sudah mahir menggunakan tongkat, buktinya ia tidak kelihatan pincang, biarpun ia hanya berjalan dengan sebelah kaki.
Pemuda tampan berkaki buntung dan berambut panjang terurai ini bukan lain adalah Han Han. Setelah gurunya yang baru, Nenek Khu Siauw Bwee yang buntung pula kakinya, menggemblengnya secara tekun dan sudah membolehkan dia keluar dari daerah tersembunyi itu, Han Han lalu muncul pula di dunia ramai dan pertama-tama yang ia kerjakan adalah mencari adiknya.
Pada pagi hari itu ia tiba di Leng-chun, dalam perjalanannya mencari Lulu yang ia mulai dari tempat di mana Lulu diculik Ouwyang Seng, yaitu ke kota raja. Ia dapat menduga bahwa Lulu setelah ditawan oleh pemuda bangsawan itu tentu dibawa ke kota raja, maka ke sanalah ia menuju dan pagi hari itu selagi melewati Leng-chun, perutnya merasa lapar dan ia lalu memasuki sebuah rumah makan. Dia tidak mempunyai uang sekeping pun, akan tetapi perutnya amat lapar dan ia bersedia menukarkan tenaganya untuk beberapa potong bakpauw atau sepiring nasi, semangkok arak.
“Lopek, maukah lopek memberi aku beberapa potong bakpauw itu? Perutku lapar sekali!”
Ucapan Han Han ini nyaring, tidak malu-malu sungguhpun di situ banyak duduk para tamu menghadapi meja dan ada beberapa orang tamu sudah menoleh ke arahnya ketika mendengar ini. Beberapa orang sudah mengomel,
“Hemmm.... di mana-mana ada saja pengemis, seperti lalat saja!”
Han Han mendengar dengan jelas omelan ini, akan tetapi ia tidak peduli, tidak pula marah atau merasa terhina, bahkan menoleh pun tidak ke arah orang-orang yang mengomel itu. Ia hanya menghadapi koki rumah makan yang gendut, memakai topi bundar dengan kain lap di pundak dan yang sedang memanaskan bakpauw di sudut rumah makan. Tiap kali koki ini membuka penutup tumpukan bakpauw yang dimasak, bau sedap menyengat hidung, membuat Han Han menelan ludah. Sudah lama dia tidak makan masakan enak, apalagi bakpauw. Di sepanjang jalan ia hanya makan buah-¬buah, daun-daun muda, dan minum air gunung.
Koki gemuk itu menoleh dan mengernyitkan hidung ketika melihat Han Han. Akan tetapi ketika bertemu dengan pandang mata yang halus namun tajam menusuk itu ia menelan kembali makian yang sudah keluar ke ujung lidah. Sambil menggerakkan kedua tangan untuk menyatakan bahwa ia tidak berdaya dalam hal itu, ia berkata.
“Wah, mana bisa, orang muda? Aku bekerja di sini untuk menjualkan bakpauw ini, kalau diminta begitu saja dan kuberi, bisa-bisa gajiku akan dipotong habis oleh majikan. Bakpauw ini bukan untuk disedekahkan kepada orang yang minta.”
Dia tidak berani menyebut pengemis, karena koki ini maklum bahwa banyak orang kang-ouw berkeliaran di tempat itu dan melihat pandang mata pemuda ini, benar-benar menimbulkan rasa serem dihati.
Han Han tersenyum ramah. Koki itu makin heran dan curiga. Kalau pengemis mengapa begini tampan dan giginya begitu putih bersih dan berderet rapi, serta kelihatan kuat.
“Ucapanmu tepat sekali, Lopek. Aku pun bukan sembarangan mengemis atau minta dengan percuma. Tolong sampaikan kepada majikanmu bahwa karena perutku lapar, aku minta dan setelah kenyang, aku akan membayar makananku dengan tenaga, boleh disuruh bekerja apa saja untuk membayar makananku.”
Wah, pemuda ini ternyara benar-benar bukan pengemis, pikir si koki dengan hati lega. Ia merasa bangga akan wawasannya tadi sehingga ia tidak terburu nafsu memaki dan mengusir pemuda ini sebagai pengemis.
“Ah, kalau begitu, tunggulah sebentar!”
Dengan gerak langkah kaki lucu, pantatnya yang membusung kebanyakan daging itu megal¬-megol seperti larinya seekor bebek, koki itu lari masuk ke dalam dan bicara kepada seorang laki-laki setengah tua yang berpakaian sebagai majikan dan yang kepalanya botak. Si botak itu menghentikan pekerjaannya menghitung-hitung dengan swipoa, lalu miringkan kepala untuk memandang ke arah pemuda kaki buntung yang berdiri di depan pintu. Matanya agak lamur dan juling sehingga kalau melihat orang di tempat agak jauh ia harus miringkan kepalanya, baru kelihatan agak jelas. Kemudian ia bangkit berdiri malas-¬malasan, berjalan keluar diikuti koki yang megal-megol
Sejenak majikan restoran itu memandang Han Han dari kepala sampai ke kaki, terutama pada kaki buntung itu, lalu bertanya,
“Orang muda, engkau bisa bekerja apakah?”
“Apa saja, asal aku mendapat makan,” jawab Han Han sederhana sambil memandang ke arah tumpukan bakpauw yang ditutup.
“Hemmm.... dengan.... eh, maaf.... kakimu yang buntung sebelah, engkau dapat bekerja apakah?”
Majikan restoran itu mengurut-urut dagunya, berpikir-pikir. Dia mau menolong pemuda ini, akan tetapi dia pun tidak mau rugi. Segala sesuatu bagi majikan ini harus ia perhitungkan dengan swipoa, jangan sampai rugi!
“Loya, pagi ini kebetulan sekali A-ji mangkir, kabarnya sakit.Bagaimana kalau dia ini membantu melayani tamu?”
Pandang mata majikannya itu menimbang-nimbang. Biarpun kaki kirinya buntung, akan tetapi pemuda ini bersih dan menyenangkan, tidak menjijikkan. Apalagi kakinya yang buntung itu pun tertutup celana buntung sehingga tidak kelihatan. Juga berdirinya dengan kaki satu dibantu tongkat tegak.
“Baiklah, pagi ini engkau boleh makan bakpauw sekenyangmu, siang dan malam nanti makan nasi. Akan tetapi engkau harus membantu kami menjadi pelayan selama sehari semalam. Bagaimana?”
Sebetulnya Han Han merasa keberatan di dalam hatinya. Dia hanya ingin makan pagi itu kemudian melanjutkan perjalanannya ke kota raja. Akan tetapi ketika ia melirik ke arah para tamu, ia melihat seorang laki-laki muda bertubuh tegap berwajah gagah duduk bersama seorang temannya yang juga tegap dan gagah. Dan di meja lain tampak empat orang mengelilingi meja dan tertawa-tawa sambil mengobrol, akan tetapi sikap empat orang ini seperti mengejek dua orang itu.
Mereka mengobrol sambil memandang-mandang kedua orang itu, tertawa-tawa dan pandang mata mereka menantang sekali. Hatinya tertarik. Agaknya di tempat ini banyak orang kang-ouw bertemu dan agaknya ia akan melihat banyak dan mendengar banyak. Ia lalu mengangguk. Tidak mengapalah perjalanannya terlambat sehari ditempat ini.
“Baiklah, aku terima syarat itu.”
Setelah majikan itu kembali ke mejanya, melanjutkan pekerjaannya mainkan swipoa sehingga terdengar ketrokan swipoa ramai, koki itu tersenyum lebar dan berkata,
“Aku senang sekali mendapat bantuanmu. Nah, makanlah bakpauw ini!”
Koki itu mengambil dua butir bakpauw dengan sumpitnya yang panjang dan meletakkannya di atas piring. Han Han menyambar bakpauw itu dan makan dengan lahapnya. Ia makan sampai habis lima butir, barulah perutnya kenyang dan seleranya terpuaskan. Setelah minum air teh panas, tiba-tiba terdengar suara laki-laki muda bertubuh tegap memanggil.
“Bung pelayan!”
Koki itu memberi isyarat dengan gerakan dagunya kepada Han Han. Han Han lalu meletakkan mangkok tehnya dan berjalan cepat ke arah meja tamu yang dua orang itu. Si koki memandang langkahnya sejenak, lalu menggeleng-geleng kepala dan menggumam seorang diri,
“Kasihan....!”
“Ji-wi memanggil pelayan?” Han Han bertanya dengan sikap hormat kepada dua orang itu.
Si pemuda yang bertubuh tegap memandangnya sejenak, terutama kepada kakinya yang buntung, lalu bertanya,
“Engkau pelayan?”
“Benar, Kongcu, mulai saat ini sampai malam nanti. Kongcu hendak memesan apakah?”
“Tolong ambilkan tambahan sekati bakmi dan seguci arak!”
“Baik, Kongcu!”
Han Han memutar tubuh dan atas isyarat koki yang memanaskan bakpauw ia lalu pergi ke tempat yang ditunjuk, yaitu ke bagian dapur di belakang. Ternyata rumah makan yang terdiri dari dua ruangan itu penuh tamu. Ketika ia melewati meja di mana duduk empat orang kasar yang bercambang bauk, seorang di antara mereka melonjorkan kaki, seperti tidak disengaja akan tetapi sesungguhnya disengaja. Han Han tentu saja dengan mudah dapat melewati kaki itu, akan tetapi ia ingat akan kedudukannya sebagai pelayan dan berkata,
“Maaf, harap suka memberi jalan, saya hendak lewat.”
Orang itu brewok dan matanya bundar besar yang kini melotot kepada Han Han.
“Apa katamu? Kau tidak bisa menyebut taihiap? Kami adalah pendekar-pendekar besar, tahu?”
Han Han tersenyum.
“Maaf, taihiap, karena saya tidak tahu maka....”
Orang itu menarik kakinya.
“Sudah, pergilah. Memutari meja kami! Kakimu menjijikkan!”
Han Han membungkuk, lalu terpaksa mengambil jalan mengitari meja itu, berloncatan kecil dibantu tongkatnya, terus ke dapur melaporkan pesanan dua orang itu. Koki di dapur sudah tahu hahwa ada seorang pelayan baru yang menggantikan A-ji yang mangkir. Tanpa bertanya koki ini lalu menyediakan pesanan itu dan Han Han diberi sehelal kain lap yang ia sampirkan di pundak. Kemudian ia membawa baki dengan tangan kanan di atas pundak, menghampiri dua orang pemesannya sambil mengitari meja empat orang brewok. Sambil mengempit tongkatnya, dengan kedua tangan Han Han menghidangkan bakmi di meja dua orang itu.
“Kasihan!” kata pemuda tampan bertubuh tegap sambil memandang Han Han. “Kenapa untuk mendapat makan saja engkau yang buntung harus menjadi pelayan. Sobat, kalau kau perlu makan, makanlah, biar kami yang bayar. Dan ini sedikit uang untuk bekal....”
Han Han membelalakkan mata dan merasa berterima kasih sekali. Dia mengenal orang baik, akan tetapi dia juga tidak mengharapkan pertolongan orang. Ia menjura dan berkata.
“Terima kasih, Kongcu. Kongcu seorang yang baik sekali. Akan tetapi maaf, saya hanya menerima bantuan yang dapat saya balas. Majikan restoran ini memberi saya makan, tentu saja saya harus membalasnya sekuat kemampuan saya.”
Ia menjura lagi untuk mengambil seguci arak yang dipesan, lalu meletakkannya di atas meja dengan sikap hormat, dipandang oleh dua orang gagah itu dengan kagum. Tamu baru datang dan Han Han cepat menyambut dan melayani pesanan mereka. Ia mulai merasa senang juga dengan pekerjaan ini.
“Sungguh mengagumkan!” kata pemuda itu kepada temannya yang juga gagah dan usianya sudah ada empat puluhan tahun. “Biarpun dia pincang kakinya, akan tetapi tidak pincang batinnya, masih mengenal budi! Alangkah banyaknya orang sekarang yang lupa akan budi, lupa akan nenek moyang, lupa akan bangsa sehingga tidak segan menjual negara!” kata-kata pemuda itu penuh semangat.
“Memang, Hiantit. Orang yang pincang dan lemah masih mempunyai semangat dan kejujuran, seperti watak patriot. Sebaliknya, betapa banyaknya orang yang kuat dan gagah akan tetapi sebetulnya lemah dan mabuk oleh harta dan kedudukan, tidak segan membantu penjajah!” kata orang yang setengah tua.
“Omongan seperti kentut!”
Tiba-tiba seorang di antara empat orang kasar di meja sebelah, yang dahinya codet, menggebrak meja sehingga mangkok-mangkok tergetar dan sebagian isinya tumpah di meja.
“Omongan pemberontak! Di waktu kerajaan baru belum membahagiakan rakyat pura-pura menjadi patriot! Ha-ha-ha, betapa banyaknya manusia plin-plan seperti itu!”
Keadaan menjadi tegang. Biarpun tidak secara langsung saling memaki, namun omongan kedua fihak sudah saling mengejek.
“Ciang-lo-enghiong, banyak pendapat yang sesat seperti itu. Orang-orang bijaksana jaman dahulu berkata Wi-bin-wi-kok, hiap-ci-tai-cia (membela rakyat membela negara, adalah perbuatan paling mulia). Kalau membaliknya daripada membela negara dan memihak penjajah, itu namanya penjilat dan tidak berharga!”
Kata pemuda gagah tadi sambil menghirup araknya. Mukanya agak merah, mungkin karena terlalu banyak minum, mungkin juga karena marah.
“Memang demikianlah, So-hiantit. Akan tetapi bicara kepada orang yang berotak angin, apa artinya? Sama dengan berteriak di padang pasir, sayang ucapan baik-baik dihamburkan saja. Gentong kosong berbunyi nyaring akan tetapi tidak ada isinya. Huhhh!” kata yang tua.
“Mulut bau busuk! Asal terbuka saja mengeluarkan bau busuk! Eh, Sam-wi Suheng, akan percumalah kita dikenal sebagai Kang-thouw Su-liong (Empat Naga Berkepala Besi) kalau tidak membersihkan dusun ini yang agaknya terdapat banyak lalat hijau dari Se-cuan! Yang jelas di sini bau dua ekor lalat hijau yang agaknya baru keluar dari kakus. Baunya bukan main!”
Kata seorang di antara empat laki-laki brewok yang hidungnya besar. Si Codet dan dua orang temannya tertawa bergelak sambil menuding-nuding ke arah dua orang itu.
Keadaan makin tegang dan banyak tamu tergesa-gesa membayar makanan yang belum habis, bahkan yang baru masuk sudah keluar lagi tidak jadi memesan makanan. Majikan restoran berjalan ke sana ke mari membawa swipoanya, wajahnya pucat. Koki gemuk berdiri di dekat tumpukan bakpauw dengan kaki menggigil.
Melihat ini, Han Han segera menghampiri meja empat orang brewok itu dan menjura sambil berkata,
“Apakah Su-wi Taihiap hendak memesan makanan tambahan?”
Si Codet menoleh dan menepuk-nepuk pundak Han Han sambil tertawa.
“Inilah dia seorang patriot sejati, ha-ha-ha!” Tiga orang kawannya juga terbahak.
Orang ke Tiga yang ada tahi lalatnya di ujung hidung berkata mengejek,
“Eh, pelayan patriot, apakah engkau kehilangan kakimu di medan juang? Ha-ha-ha, agaknya engkau dahulu pelayan di Se-cuan dan karena kekurangan makan lalu lari ke sini!”
Orang ke empat yang matanya sipit sekali menekan perutnya saking menahan ketawa lalu berkata,
“Eh, pelayan patriot. Coba katakan, kami adalah Kang-thouw Su-liong, dan kami membenci para pemberontak di Se-cuan. Pemerintah baru amat bijaksana, dapat menggunakan orang pandai untuk membikin makmur hidup rakyat. Akan tetapi para pemberontak di Se-cuan memancing-mancing perang, mengadakan kekacauan dan membikin sengsara rakyat yang sudah terlalu banyak menderita akibat perang. Katakan, kalau kami memihak kerajaan baru yang bagaikan sinar matahari sehabis hujan memberi harapan baru, tidakkah pendapat kami benar?”
“Kalau berani menyalahkan, kupatahkan lagi kakimu yang tinggal sebelah!” kata Si Hidung Besar.
Han Han berkata dengan suara tenang,
“Menurut pendapat saya yang bodoh, manusia di dunia berhak memiliki pendapat masing-masing, asal ada dasar kebenarannya. Kalau Su-wi yang gagah perkasa membela pemerintah baru mengingat kepentingan rakyat, maka pendapat itu adalah benar sekali. Pendapat seseorang dapat dinilai dari dasarnya, atau pamrihnya. Kalau dasar dan pamrihnya baik, maka pendapat itu adalah baik.”
“Ha-ha-ha-ha! Bagus, bagus! Engkau pincang, akan tetapi pendirianmu jejek, untuk pendirian yang bagus itu engkau harus kami hadiahi secawan arak!”
Si Codet mengambil secawan arak, diberikan kepada Han Han. Terpaksa, untuk tidak menimbulkan keributan, Han Han minum arak itu.
“Terima kasih, taihiap.”
Ia lalu terpincang-pincang meninggalkan meja dan ketika lewat dekat meja dua orang gagah itu ia berhenti dan bertanya,
“Apakah ji-wi membutuhkan sesuatu?”
Dua orang itu bertukar pandang, dan yang tua menyentuh lengan Han Han sambil berkata,
“Orang muda, biarpun kakimu buntung, agaknya engkau bukanlah seorang yang bodoh dan suka bicara sembarangan. Juga sikapmu bukan seperti penjilat yang hanya bicara untuk menyenangkan orang karena takut.”
Ia berhenti sebentar, keadaan sunyi sekali. Empat orang di meja sebelah sama sekali tidak mengeluarkan suara, agaknya mendengarkan penuh perhatian dan siap untuk meledak marah kalau ada omongan yang terang-terangan mengenai mereka. Para tamu lain yang masih berada di situ sudah pindah meja, para koki dan pelayan bersembunyi di sudut terjauh.
“Agaknya engkau memiliki pandangan luas dan tidak berat sebelah. Katakanlah, orang muda. Seseorang yang rela berkorban jiwa demi rakyat dan negara, yang mempertaruhkan setiap jengkal tanah airnya dari kuku penjajahan, tanpa pamrih untuk keuntungan diri sendiri dan semata-mata berjuang karena merasa bahwa hal itu merupakan panggilan tanah air, merupakan tugas kewajiban seorang gagah, bagaimana pendapatmu akan pendirian orang ini? Salahkah dia? Atau gagah perkasa?”
Dengan suara tetap tenang Han Han yang ingin meredakan api yang mulai membakar di antara dua meja itu, menjawab,
“Pendirian itu pun benar dan tepat sekali, Lo-enghiong. Seorang yang berani membela negara, asal dengan dasar sebagaimana yang Lo-enghiong sebutkan tadi, bukan dasar mencari jasa dan keuntungan, dialah seorang patriot sejati yang patut dijadikan tauladan selagi hidup dan patut dipuji sebagai pahlawanan setelah gugur.”
“Bagus sekali! Tidak salah wawasanku bahwa engkau memang bukan pemuda sembarangan. Nah, minumlah arak bersama kami, orang muda!”
Orang gagah itu lalu memberi arak secawan penuh kepada Han Han yang terpaksa menerimanya dan meminumnya.
“Ciang-lo-enghiong, marilah kita pergi dari sini. Tempat ini amat tidak menyenangkan, karena terlalu banyak penjilat-penjilat dan terlalu banyak anjing. Gonggong anjing biasa masih enak didengarkan, akan tetapi gonggong empat ekor anjing penjilat sungguh memuakkan. Yang ada di sini hanyalah sahabat buntung ini, yang ternyata berjiwa patriot dan gagah!”
“Setan!” Si Laki-laki Brewok yang bermata sipit menampar meja di depannya sambil berdiri dan menuding ke arah pemuda gagah. “Siapa yang kau maki anjing?”
Pemuda gagah itu pun bangkit berdiri, dadanya yang bidang dikembangkan dan ia pun menuding.
“Siapa yang kau maki setan?”
“Aku memaki kalian setan-setan pemberontak!”
“Dan aku memaki kalian anjing-anjing penjilat!”
“Keparat!”
Empat orang laki-laki brewok itu menyambar sumpit mereka dan sekali menggerakkan tangan, delapan batang sumpit menyambar ke arah dua orang gagah itu yang juga sudah bangkit berdiri. Akan tetapi dengan lincah mereka itu dapat mengelak, bahkan masing-masing telah berhasil menyambar dua batang sumpit.
“Makanlah senjata kalian!” teriak yang tua dan mereka berdua mengembalikan empat batang sumpit itu dengan sambitan kuat ke arah empat orang penyerang mereka.
Akan tetapi empat orang yang berjuluk Empat Naga Berkepala Raja itu ternyata juga lihai karena dengan miringkan tubuh sedikit saja empat batang sumpit itu tidak mengenai tubuh mereka.
“Waduhhh.... aduhhh.... telingaku....!”
Majikan restoran menjerit-jerit dan memegangi telinga kirinya yang ternyata kena diserempet sebatang sumpit hingga daun telinga itu robek dan berdarah. Han Han sudah melangkah maju dan berdiri di antara dua meja, di mana enam orang itu sudah saling serang. Bahkan, empat orang brewok sudah menghunus golok mereka, sedangkan dua orang gagah itu masih tenang-tenang saja, namun sudah siap berdiri menyambut serangan lawan.
“Cu-wi sekalian harap sabar. Ingat, bukankah cu-wi berenam ini tergolong orang-orang gagah? Adakah di antara cu-wi yang suka disebut orang jahat dan pengecut?”
“Heh? Si Buntung lancang. Siapa yang kau katakan penjahat dan pengecut?” bentak Si Mata Sipit sambil mengamangkan goloknya.
Han Han menjura.
“Syukurlah kalau cu-wi taihiap tidak sudi disebut penjahat atau pengecut, dan memang saya pun yakin cu-wi adalah orang-orang gagah. Demikian pula dengan ji-wi Enghiong ini. Kalau cu-wi melanjutkan perkelahian di sini, amatlah disangsikan apakah hal itu merupakan perbuatan orang gagah, karena perkelahian itu akan merugikan banyak orang. Pertama, pemilik restoran rugi karena barang-barangnya rusak. Kedua, para tamu rugi karena tidak dapat makan. Ke tiga banyak bahayanya akan jatuh korban di antara orang-orang lain seperti terbukti majikan saya daun telinganya robek. Nah, cu-wi sebagai orang-orang gagah tentu saja tidak suka main kasar dan merugikan orang lain, bukan? Kalau memang hendak berkelahi, sebagai orang-orang gagah dapat saja berunding nanti di luar dan menentukan tempat yang sunyi.”
Dua orang itu sudah duduk kembali dan yang tua berkata, ke arah majikan restoran,
“Maafkan kami untuk luka itu, biarlah kami menanggung kerugian untuk biaya berobat!”
Majikan itu dengan kaki gemetar memaksa diri tersenyum.
“Tidak usah.... tidak usah.... asal jangan berkelahi di sini.... saya sudah berterima kasih sekali kepada cu-wi.... eh, tambahkan arak wangi, gratis dariku untuk terima kasihku kepada enam orang tamu agung!”
Empat orang kasar itu sejenak tercengang, kemudian tertawa bergelak dan duduk kembali di bangku masing-masing.
Han Han cepat mengambilkan arak wangi, dan ia menerima pandang mata kagum dari koki gemuk dan pelayan lain, dan pandang mata berterima kasih dari majikan restoran. Kalau tidak ada pelayan baru pincang ini, celakalah, tentu akan hancur restorannya! Ruginya jangan dibicarakan lagi, bisa bangkrut dia!
Ketika Han Han menaruh guci arak wangi di atas meja kedua orang gagah itu, ia berkata,
“Ji-wi Enghiong, saya pernah mendengar kata orang bahwa keberanian tanpa perhitungan bukanlah kegagahan melainkan ketololan. Benarkah itu? Silahkan minum arak!”
Dua orang gagah itu saling pandang dengan mata terbelalak, kemudian minum arak mereka dan bangkit berdiri. Tanpa banyak cakap mereka menghampiri meja majikan restoran, setelah berhitungan lalu melemparkan uang perak di atas meja sambil berkata,
“Kelebihannya harap perhitungkan untuk membayar makanan sahabat yang menjadi pelayan itu!”
Setelah berkata demikian, dua orang itu segera pergi meninggalkan restoran tanpa pamit dan tanpa menoleh lagi.
Han Han menjadi lega hatinya. Ketika lewat di bekas meja dua orang itu, tangannya sambil lalu meraba permukaan meja untuk menghapus huruf-huruf yang berbunyi:
“Berbahaya, harap pergi!” yaitu huruf-huruf yang ia buat dergan guratan jari tangan ketika ia menghidangkan arak tadi.
Memang ia melihat bahaya mengancam kedua orang itu karena ia tadi dengan pendengarannya yang tidak lumrah manusia, dari jauh mendengar bisik-bisik empat orang brewok yang mengatur siasat untuk melaporkan kepada pasukan penjaga di luar dusun untuk menangkap dua orang yang disangka pemberontak.
Dengan memperlihatkan sedikit tenaga sin-kang menggores huruf-huruf di atas meja, benar saja kedua orang gagah itu menjadi terkejut, mengerti bahwa pemuda buntung itu bukan sembarang pelayan, percaya kepadanya lalu pergi.
Semenjak dulu Han Han tidak pernah dipengaruhi persoalan pro atau kontra bangsa Mancu. Hal ini timbul karena keadaannya sendiri. Keluarganya terbasmi oleh perwira-perwira Mancu, akan tetapi dia mempunyai adik angkat tersayang seorang anak Mancu yang keluarganya terbasmi oleh para pejuang!
Keadaan yang amat berlawanan inilah yang membuat selama ini Han Han berada di tengah-tengah dan tidak terseret, hanya ia selalu memilih fihak yang benar. Karena itu pula, dalam pertikaian yang hampir terjadi di rumah makan itu di antara dua orang pejuang dan empat orang yang pro Kerajaan Mancu, ia tidak mau berfihak kepada satu fihak, melainkan berusaha untuk mencegah terjadinya bentrokan antara bangsa sendiri hanya karena perdebatan.
Dia sama sekali tidak tahu bahwa di balik perdebatan itu terdapat hal-hal yang lebih besar lagi. Memang pemuda ini masih belum mengerti dan belum dapat menyelami tentang persoalan kepatriotan.
Kini hatinya lega melihat dua orang pejuang itu telah meninggalkan restoran. Biarpun dia tidak berfihak dalam persoalan yang diperdebatkan, namun tentu saja hatinya condong kepada dua orang gagah tadi karena sikap mereka yang halus dan gagah, sebaliknya diam-diam ia mencela di hati sikap empat orang yang kasar dan jelas menyombongkan nama julukan dan kepandaian sendiri.
“Hiiiii, pelayan buntung....!”
Han Han menoleh dan melihat bahwa yang memanggilnya adalah Si Brewok Berhidung Besar, ia segera berloncatan menghampiri meja empat orang itu.
“Ada yang hendak dipesan lagi, taihiap?”
“Hemmm, jadi engkau hanya mencari upah agar makananmu dibayari maka engkau tadi bersikap manis dan membela dua orang pemberontak, ya? Kalau hanya uang yang kau cari, apakah kau kira kami tidak mampu memberimu sepuluh kali lipat daripada harga makananmu yang dibayar dua orang pemberontak tadi? Dan tidak perlu dengan membela, asal engkau suka melayani kami akan kami bayar lebih banyak lagi. Hayo kau bersihkan sepatuku yang penuh debu ini. Kalau engkau menolak, berarti memang kau lebih suka melayani Si Pemberontak. Dan berarti engkau diam-diam adalah pemberontak atau mungkin mata-mata pemberontak!”
“Lopek, maukah lopek memberi aku beberapa potong bakpauw itu? Perutku lapar sekali!”
Ucapan Han Han ini nyaring, tidak malu-malu sungguhpun di situ banyak duduk para tamu menghadapi meja dan ada beberapa orang tamu sudah menoleh ke arahnya ketika mendengar ini. Beberapa orang sudah mengomel,
“Hemmm.... di mana-mana ada saja pengemis, seperti lalat saja!”
Han Han mendengar dengan jelas omelan ini, akan tetapi ia tidak peduli, tidak pula marah atau merasa terhina, bahkan menoleh pun tidak ke arah orang-orang yang mengomel itu. Ia hanya menghadapi koki rumah makan yang gendut, memakai topi bundar dengan kain lap di pundak dan yang sedang memanaskan bakpauw di sudut rumah makan. Tiap kali koki ini membuka penutup tumpukan bakpauw yang dimasak, bau sedap menyengat hidung, membuat Han Han menelan ludah. Sudah lama dia tidak makan masakan enak, apalagi bakpauw. Di sepanjang jalan ia hanya makan buah-¬buah, daun-daun muda, dan minum air gunung.
Koki gemuk itu menoleh dan mengernyitkan hidung ketika melihat Han Han. Akan tetapi ketika bertemu dengan pandang mata yang halus namun tajam menusuk itu ia menelan kembali makian yang sudah keluar ke ujung lidah. Sambil menggerakkan kedua tangan untuk menyatakan bahwa ia tidak berdaya dalam hal itu, ia berkata.
“Wah, mana bisa, orang muda? Aku bekerja di sini untuk menjualkan bakpauw ini, kalau diminta begitu saja dan kuberi, bisa-bisa gajiku akan dipotong habis oleh majikan. Bakpauw ini bukan untuk disedekahkan kepada orang yang minta.”
Dia tidak berani menyebut pengemis, karena koki ini maklum bahwa banyak orang kang-ouw berkeliaran di tempat itu dan melihat pandang mata pemuda ini, benar-benar menimbulkan rasa serem dihati.
Han Han tersenyum ramah. Koki itu makin heran dan curiga. Kalau pengemis mengapa begini tampan dan giginya begitu putih bersih dan berderet rapi, serta kelihatan kuat.
“Ucapanmu tepat sekali, Lopek. Aku pun bukan sembarangan mengemis atau minta dengan percuma. Tolong sampaikan kepada majikanmu bahwa karena perutku lapar, aku minta dan setelah kenyang, aku akan membayar makananku dengan tenaga, boleh disuruh bekerja apa saja untuk membayar makananku.”
Wah, pemuda ini ternyara benar-benar bukan pengemis, pikir si koki dengan hati lega. Ia merasa bangga akan wawasannya tadi sehingga ia tidak terburu nafsu memaki dan mengusir pemuda ini sebagai pengemis.
“Ah, kalau begitu, tunggulah sebentar!”
Dengan gerak langkah kaki lucu, pantatnya yang membusung kebanyakan daging itu megal¬-megol seperti larinya seekor bebek, koki itu lari masuk ke dalam dan bicara kepada seorang laki-laki setengah tua yang berpakaian sebagai majikan dan yang kepalanya botak. Si botak itu menghentikan pekerjaannya menghitung-hitung dengan swipoa, lalu miringkan kepala untuk memandang ke arah pemuda kaki buntung yang berdiri di depan pintu. Matanya agak lamur dan juling sehingga kalau melihat orang di tempat agak jauh ia harus miringkan kepalanya, baru kelihatan agak jelas. Kemudian ia bangkit berdiri malas-¬malasan, berjalan keluar diikuti koki yang megal-megol
Sejenak majikan restoran itu memandang Han Han dari kepala sampai ke kaki, terutama pada kaki buntung itu, lalu bertanya,
“Orang muda, engkau bisa bekerja apakah?”
“Apa saja, asal aku mendapat makan,” jawab Han Han sederhana sambil memandang ke arah tumpukan bakpauw yang ditutup.
“Hemmm.... dengan.... eh, maaf.... kakimu yang buntung sebelah, engkau dapat bekerja apakah?”
Majikan restoran itu mengurut-urut dagunya, berpikir-pikir. Dia mau menolong pemuda ini, akan tetapi dia pun tidak mau rugi. Segala sesuatu bagi majikan ini harus ia perhitungkan dengan swipoa, jangan sampai rugi!
“Loya, pagi ini kebetulan sekali A-ji mangkir, kabarnya sakit.Bagaimana kalau dia ini membantu melayani tamu?”
Pandang mata majikannya itu menimbang-nimbang. Biarpun kaki kirinya buntung, akan tetapi pemuda ini bersih dan menyenangkan, tidak menjijikkan. Apalagi kakinya yang buntung itu pun tertutup celana buntung sehingga tidak kelihatan. Juga berdirinya dengan kaki satu dibantu tongkat tegak.
“Baiklah, pagi ini engkau boleh makan bakpauw sekenyangmu, siang dan malam nanti makan nasi. Akan tetapi engkau harus membantu kami menjadi pelayan selama sehari semalam. Bagaimana?”
Sebetulnya Han Han merasa keberatan di dalam hatinya. Dia hanya ingin makan pagi itu kemudian melanjutkan perjalanannya ke kota raja. Akan tetapi ketika ia melirik ke arah para tamu, ia melihat seorang laki-laki muda bertubuh tegap berwajah gagah duduk bersama seorang temannya yang juga tegap dan gagah. Dan di meja lain tampak empat orang mengelilingi meja dan tertawa-tawa sambil mengobrol, akan tetapi sikap empat orang ini seperti mengejek dua orang itu.
Mereka mengobrol sambil memandang-mandang kedua orang itu, tertawa-tawa dan pandang mata mereka menantang sekali. Hatinya tertarik. Agaknya di tempat ini banyak orang kang-ouw bertemu dan agaknya ia akan melihat banyak dan mendengar banyak. Ia lalu mengangguk. Tidak mengapalah perjalanannya terlambat sehari ditempat ini.
“Baiklah, aku terima syarat itu.”
Setelah majikan itu kembali ke mejanya, melanjutkan pekerjaannya mainkan swipoa sehingga terdengar ketrokan swipoa ramai, koki itu tersenyum lebar dan berkata,
“Aku senang sekali mendapat bantuanmu. Nah, makanlah bakpauw ini!”
Koki itu mengambil dua butir bakpauw dengan sumpitnya yang panjang dan meletakkannya di atas piring. Han Han menyambar bakpauw itu dan makan dengan lahapnya. Ia makan sampai habis lima butir, barulah perutnya kenyang dan seleranya terpuaskan. Setelah minum air teh panas, tiba-tiba terdengar suara laki-laki muda bertubuh tegap memanggil.
“Bung pelayan!”
Koki itu memberi isyarat dengan gerakan dagunya kepada Han Han. Han Han lalu meletakkan mangkok tehnya dan berjalan cepat ke arah meja tamu yang dua orang itu. Si koki memandang langkahnya sejenak, lalu menggeleng-geleng kepala dan menggumam seorang diri,
“Kasihan....!”
“Ji-wi memanggil pelayan?” Han Han bertanya dengan sikap hormat kepada dua orang itu.
Si pemuda yang bertubuh tegap memandangnya sejenak, terutama kepada kakinya yang buntung, lalu bertanya,
“Engkau pelayan?”
“Benar, Kongcu, mulai saat ini sampai malam nanti. Kongcu hendak memesan apakah?”
“Tolong ambilkan tambahan sekati bakmi dan seguci arak!”
“Baik, Kongcu!”
Han Han memutar tubuh dan atas isyarat koki yang memanaskan bakpauw ia lalu pergi ke tempat yang ditunjuk, yaitu ke bagian dapur di belakang. Ternyata rumah makan yang terdiri dari dua ruangan itu penuh tamu. Ketika ia melewati meja di mana duduk empat orang kasar yang bercambang bauk, seorang di antara mereka melonjorkan kaki, seperti tidak disengaja akan tetapi sesungguhnya disengaja. Han Han tentu saja dengan mudah dapat melewati kaki itu, akan tetapi ia ingat akan kedudukannya sebagai pelayan dan berkata,
“Maaf, harap suka memberi jalan, saya hendak lewat.”
Orang itu brewok dan matanya bundar besar yang kini melotot kepada Han Han.
“Apa katamu? Kau tidak bisa menyebut taihiap? Kami adalah pendekar-pendekar besar, tahu?”
Han Han tersenyum.
“Maaf, taihiap, karena saya tidak tahu maka....”
Orang itu menarik kakinya.
“Sudah, pergilah. Memutari meja kami! Kakimu menjijikkan!”
Han Han membungkuk, lalu terpaksa mengambil jalan mengitari meja itu, berloncatan kecil dibantu tongkatnya, terus ke dapur melaporkan pesanan dua orang itu. Koki di dapur sudah tahu hahwa ada seorang pelayan baru yang menggantikan A-ji yang mangkir. Tanpa bertanya koki ini lalu menyediakan pesanan itu dan Han Han diberi sehelal kain lap yang ia sampirkan di pundak. Kemudian ia membawa baki dengan tangan kanan di atas pundak, menghampiri dua orang pemesannya sambil mengitari meja empat orang brewok. Sambil mengempit tongkatnya, dengan kedua tangan Han Han menghidangkan bakmi di meja dua orang itu.
“Kasihan!” kata pemuda tampan bertubuh tegap sambil memandang Han Han. “Kenapa untuk mendapat makan saja engkau yang buntung harus menjadi pelayan. Sobat, kalau kau perlu makan, makanlah, biar kami yang bayar. Dan ini sedikit uang untuk bekal....”
Han Han membelalakkan mata dan merasa berterima kasih sekali. Dia mengenal orang baik, akan tetapi dia juga tidak mengharapkan pertolongan orang. Ia menjura dan berkata.
“Terima kasih, Kongcu. Kongcu seorang yang baik sekali. Akan tetapi maaf, saya hanya menerima bantuan yang dapat saya balas. Majikan restoran ini memberi saya makan, tentu saja saya harus membalasnya sekuat kemampuan saya.”
Ia menjura lagi untuk mengambil seguci arak yang dipesan, lalu meletakkannya di atas meja dengan sikap hormat, dipandang oleh dua orang gagah itu dengan kagum. Tamu baru datang dan Han Han cepat menyambut dan melayani pesanan mereka. Ia mulai merasa senang juga dengan pekerjaan ini.
“Sungguh mengagumkan!” kata pemuda itu kepada temannya yang juga gagah dan usianya sudah ada empat puluhan tahun. “Biarpun dia pincang kakinya, akan tetapi tidak pincang batinnya, masih mengenal budi! Alangkah banyaknya orang sekarang yang lupa akan budi, lupa akan nenek moyang, lupa akan bangsa sehingga tidak segan menjual negara!” kata-kata pemuda itu penuh semangat.
“Memang, Hiantit. Orang yang pincang dan lemah masih mempunyai semangat dan kejujuran, seperti watak patriot. Sebaliknya, betapa banyaknya orang yang kuat dan gagah akan tetapi sebetulnya lemah dan mabuk oleh harta dan kedudukan, tidak segan membantu penjajah!” kata orang yang setengah tua.
“Omongan seperti kentut!”
Tiba-tiba seorang di antara empat orang kasar di meja sebelah, yang dahinya codet, menggebrak meja sehingga mangkok-mangkok tergetar dan sebagian isinya tumpah di meja.
“Omongan pemberontak! Di waktu kerajaan baru belum membahagiakan rakyat pura-pura menjadi patriot! Ha-ha-ha, betapa banyaknya manusia plin-plan seperti itu!”
Keadaan menjadi tegang. Biarpun tidak secara langsung saling memaki, namun omongan kedua fihak sudah saling mengejek.
“Ciang-lo-enghiong, banyak pendapat yang sesat seperti itu. Orang-orang bijaksana jaman dahulu berkata Wi-bin-wi-kok, hiap-ci-tai-cia (membela rakyat membela negara, adalah perbuatan paling mulia). Kalau membaliknya daripada membela negara dan memihak penjajah, itu namanya penjilat dan tidak berharga!”
Kata pemuda gagah tadi sambil menghirup araknya. Mukanya agak merah, mungkin karena terlalu banyak minum, mungkin juga karena marah.
“Memang demikianlah, So-hiantit. Akan tetapi bicara kepada orang yang berotak angin, apa artinya? Sama dengan berteriak di padang pasir, sayang ucapan baik-baik dihamburkan saja. Gentong kosong berbunyi nyaring akan tetapi tidak ada isinya. Huhhh!” kata yang tua.
“Mulut bau busuk! Asal terbuka saja mengeluarkan bau busuk! Eh, Sam-wi Suheng, akan percumalah kita dikenal sebagai Kang-thouw Su-liong (Empat Naga Berkepala Besi) kalau tidak membersihkan dusun ini yang agaknya terdapat banyak lalat hijau dari Se-cuan! Yang jelas di sini bau dua ekor lalat hijau yang agaknya baru keluar dari kakus. Baunya bukan main!”
Kata seorang di antara empat laki-laki brewok yang hidungnya besar. Si Codet dan dua orang temannya tertawa bergelak sambil menuding-nuding ke arah dua orang itu.
Keadaan makin tegang dan banyak tamu tergesa-gesa membayar makanan yang belum habis, bahkan yang baru masuk sudah keluar lagi tidak jadi memesan makanan. Majikan restoran berjalan ke sana ke mari membawa swipoanya, wajahnya pucat. Koki gemuk berdiri di dekat tumpukan bakpauw dengan kaki menggigil.
Melihat ini, Han Han segera menghampiri meja empat orang brewok itu dan menjura sambil berkata,
“Apakah Su-wi Taihiap hendak memesan makanan tambahan?”
Si Codet menoleh dan menepuk-nepuk pundak Han Han sambil tertawa.
“Inilah dia seorang patriot sejati, ha-ha-ha!” Tiga orang kawannya juga terbahak.
Orang ke Tiga yang ada tahi lalatnya di ujung hidung berkata mengejek,
“Eh, pelayan patriot, apakah engkau kehilangan kakimu di medan juang? Ha-ha-ha, agaknya engkau dahulu pelayan di Se-cuan dan karena kekurangan makan lalu lari ke sini!”
Orang ke empat yang matanya sipit sekali menekan perutnya saking menahan ketawa lalu berkata,
“Eh, pelayan patriot. Coba katakan, kami adalah Kang-thouw Su-liong, dan kami membenci para pemberontak di Se-cuan. Pemerintah baru amat bijaksana, dapat menggunakan orang pandai untuk membikin makmur hidup rakyat. Akan tetapi para pemberontak di Se-cuan memancing-mancing perang, mengadakan kekacauan dan membikin sengsara rakyat yang sudah terlalu banyak menderita akibat perang. Katakan, kalau kami memihak kerajaan baru yang bagaikan sinar matahari sehabis hujan memberi harapan baru, tidakkah pendapat kami benar?”
“Kalau berani menyalahkan, kupatahkan lagi kakimu yang tinggal sebelah!” kata Si Hidung Besar.
Han Han berkata dengan suara tenang,
“Menurut pendapat saya yang bodoh, manusia di dunia berhak memiliki pendapat masing-masing, asal ada dasar kebenarannya. Kalau Su-wi yang gagah perkasa membela pemerintah baru mengingat kepentingan rakyat, maka pendapat itu adalah benar sekali. Pendapat seseorang dapat dinilai dari dasarnya, atau pamrihnya. Kalau dasar dan pamrihnya baik, maka pendapat itu adalah baik.”
“Ha-ha-ha-ha! Bagus, bagus! Engkau pincang, akan tetapi pendirianmu jejek, untuk pendirian yang bagus itu engkau harus kami hadiahi secawan arak!”
Si Codet mengambil secawan arak, diberikan kepada Han Han. Terpaksa, untuk tidak menimbulkan keributan, Han Han minum arak itu.
“Terima kasih, taihiap.”
Ia lalu terpincang-pincang meninggalkan meja dan ketika lewat dekat meja dua orang gagah itu ia berhenti dan bertanya,
“Apakah ji-wi membutuhkan sesuatu?”
Dua orang itu bertukar pandang, dan yang tua menyentuh lengan Han Han sambil berkata,
“Orang muda, biarpun kakimu buntung, agaknya engkau bukanlah seorang yang bodoh dan suka bicara sembarangan. Juga sikapmu bukan seperti penjilat yang hanya bicara untuk menyenangkan orang karena takut.”
Ia berhenti sebentar, keadaan sunyi sekali. Empat orang di meja sebelah sama sekali tidak mengeluarkan suara, agaknya mendengarkan penuh perhatian dan siap untuk meledak marah kalau ada omongan yang terang-terangan mengenai mereka. Para tamu lain yang masih berada di situ sudah pindah meja, para koki dan pelayan bersembunyi di sudut terjauh.
“Agaknya engkau memiliki pandangan luas dan tidak berat sebelah. Katakanlah, orang muda. Seseorang yang rela berkorban jiwa demi rakyat dan negara, yang mempertaruhkan setiap jengkal tanah airnya dari kuku penjajahan, tanpa pamrih untuk keuntungan diri sendiri dan semata-mata berjuang karena merasa bahwa hal itu merupakan panggilan tanah air, merupakan tugas kewajiban seorang gagah, bagaimana pendapatmu akan pendirian orang ini? Salahkah dia? Atau gagah perkasa?”
Dengan suara tetap tenang Han Han yang ingin meredakan api yang mulai membakar di antara dua meja itu, menjawab,
“Pendirian itu pun benar dan tepat sekali, Lo-enghiong. Seorang yang berani membela negara, asal dengan dasar sebagaimana yang Lo-enghiong sebutkan tadi, bukan dasar mencari jasa dan keuntungan, dialah seorang patriot sejati yang patut dijadikan tauladan selagi hidup dan patut dipuji sebagai pahlawanan setelah gugur.”
“Bagus sekali! Tidak salah wawasanku bahwa engkau memang bukan pemuda sembarangan. Nah, minumlah arak bersama kami, orang muda!”
Orang gagah itu lalu memberi arak secawan penuh kepada Han Han yang terpaksa menerimanya dan meminumnya.
“Ciang-lo-enghiong, marilah kita pergi dari sini. Tempat ini amat tidak menyenangkan, karena terlalu banyak penjilat-penjilat dan terlalu banyak anjing. Gonggong anjing biasa masih enak didengarkan, akan tetapi gonggong empat ekor anjing penjilat sungguh memuakkan. Yang ada di sini hanyalah sahabat buntung ini, yang ternyata berjiwa patriot dan gagah!”
“Setan!” Si Laki-laki Brewok yang bermata sipit menampar meja di depannya sambil berdiri dan menuding ke arah pemuda gagah. “Siapa yang kau maki anjing?”
Pemuda gagah itu pun bangkit berdiri, dadanya yang bidang dikembangkan dan ia pun menuding.
“Siapa yang kau maki setan?”
“Aku memaki kalian setan-setan pemberontak!”
“Dan aku memaki kalian anjing-anjing penjilat!”
“Keparat!”
Empat orang laki-laki brewok itu menyambar sumpit mereka dan sekali menggerakkan tangan, delapan batang sumpit menyambar ke arah dua orang gagah itu yang juga sudah bangkit berdiri. Akan tetapi dengan lincah mereka itu dapat mengelak, bahkan masing-masing telah berhasil menyambar dua batang sumpit.
“Makanlah senjata kalian!” teriak yang tua dan mereka berdua mengembalikan empat batang sumpit itu dengan sambitan kuat ke arah empat orang penyerang mereka.
Akan tetapi empat orang yang berjuluk Empat Naga Berkepala Raja itu ternyata juga lihai karena dengan miringkan tubuh sedikit saja empat batang sumpit itu tidak mengenai tubuh mereka.
“Waduhhh.... aduhhh.... telingaku....!”
Majikan restoran menjerit-jerit dan memegangi telinga kirinya yang ternyata kena diserempet sebatang sumpit hingga daun telinga itu robek dan berdarah. Han Han sudah melangkah maju dan berdiri di antara dua meja, di mana enam orang itu sudah saling serang. Bahkan, empat orang brewok sudah menghunus golok mereka, sedangkan dua orang gagah itu masih tenang-tenang saja, namun sudah siap berdiri menyambut serangan lawan.
“Cu-wi sekalian harap sabar. Ingat, bukankah cu-wi berenam ini tergolong orang-orang gagah? Adakah di antara cu-wi yang suka disebut orang jahat dan pengecut?”
“Heh? Si Buntung lancang. Siapa yang kau katakan penjahat dan pengecut?” bentak Si Mata Sipit sambil mengamangkan goloknya.
Han Han menjura.
“Syukurlah kalau cu-wi taihiap tidak sudi disebut penjahat atau pengecut, dan memang saya pun yakin cu-wi adalah orang-orang gagah. Demikian pula dengan ji-wi Enghiong ini. Kalau cu-wi melanjutkan perkelahian di sini, amatlah disangsikan apakah hal itu merupakan perbuatan orang gagah, karena perkelahian itu akan merugikan banyak orang. Pertama, pemilik restoran rugi karena barang-barangnya rusak. Kedua, para tamu rugi karena tidak dapat makan. Ke tiga banyak bahayanya akan jatuh korban di antara orang-orang lain seperti terbukti majikan saya daun telinganya robek. Nah, cu-wi sebagai orang-orang gagah tentu saja tidak suka main kasar dan merugikan orang lain, bukan? Kalau memang hendak berkelahi, sebagai orang-orang gagah dapat saja berunding nanti di luar dan menentukan tempat yang sunyi.”
Dua orang itu sudah duduk kembali dan yang tua berkata, ke arah majikan restoran,
“Maafkan kami untuk luka itu, biarlah kami menanggung kerugian untuk biaya berobat!”
Majikan itu dengan kaki gemetar memaksa diri tersenyum.
“Tidak usah.... tidak usah.... asal jangan berkelahi di sini.... saya sudah berterima kasih sekali kepada cu-wi.... eh, tambahkan arak wangi, gratis dariku untuk terima kasihku kepada enam orang tamu agung!”
Empat orang kasar itu sejenak tercengang, kemudian tertawa bergelak dan duduk kembali di bangku masing-masing.
Han Han cepat mengambilkan arak wangi, dan ia menerima pandang mata kagum dari koki gemuk dan pelayan lain, dan pandang mata berterima kasih dari majikan restoran. Kalau tidak ada pelayan baru pincang ini, celakalah, tentu akan hancur restorannya! Ruginya jangan dibicarakan lagi, bisa bangkrut dia!
Ketika Han Han menaruh guci arak wangi di atas meja kedua orang gagah itu, ia berkata,
“Ji-wi Enghiong, saya pernah mendengar kata orang bahwa keberanian tanpa perhitungan bukanlah kegagahan melainkan ketololan. Benarkah itu? Silahkan minum arak!”
Dua orang gagah itu saling pandang dengan mata terbelalak, kemudian minum arak mereka dan bangkit berdiri. Tanpa banyak cakap mereka menghampiri meja majikan restoran, setelah berhitungan lalu melemparkan uang perak di atas meja sambil berkata,
“Kelebihannya harap perhitungkan untuk membayar makanan sahabat yang menjadi pelayan itu!”
Setelah berkata demikian, dua orang itu segera pergi meninggalkan restoran tanpa pamit dan tanpa menoleh lagi.
Han Han menjadi lega hatinya. Ketika lewat di bekas meja dua orang itu, tangannya sambil lalu meraba permukaan meja untuk menghapus huruf-huruf yang berbunyi:
“Berbahaya, harap pergi!” yaitu huruf-huruf yang ia buat dergan guratan jari tangan ketika ia menghidangkan arak tadi.
Memang ia melihat bahaya mengancam kedua orang itu karena ia tadi dengan pendengarannya yang tidak lumrah manusia, dari jauh mendengar bisik-bisik empat orang brewok yang mengatur siasat untuk melaporkan kepada pasukan penjaga di luar dusun untuk menangkap dua orang yang disangka pemberontak.
Dengan memperlihatkan sedikit tenaga sin-kang menggores huruf-huruf di atas meja, benar saja kedua orang gagah itu menjadi terkejut, mengerti bahwa pemuda buntung itu bukan sembarang pelayan, percaya kepadanya lalu pergi.
Semenjak dulu Han Han tidak pernah dipengaruhi persoalan pro atau kontra bangsa Mancu. Hal ini timbul karena keadaannya sendiri. Keluarganya terbasmi oleh perwira-perwira Mancu, akan tetapi dia mempunyai adik angkat tersayang seorang anak Mancu yang keluarganya terbasmi oleh para pejuang!
Keadaan yang amat berlawanan inilah yang membuat selama ini Han Han berada di tengah-tengah dan tidak terseret, hanya ia selalu memilih fihak yang benar. Karena itu pula, dalam pertikaian yang hampir terjadi di rumah makan itu di antara dua orang pejuang dan empat orang yang pro Kerajaan Mancu, ia tidak mau berfihak kepada satu fihak, melainkan berusaha untuk mencegah terjadinya bentrokan antara bangsa sendiri hanya karena perdebatan.
Dia sama sekali tidak tahu bahwa di balik perdebatan itu terdapat hal-hal yang lebih besar lagi. Memang pemuda ini masih belum mengerti dan belum dapat menyelami tentang persoalan kepatriotan.
Kini hatinya lega melihat dua orang pejuang itu telah meninggalkan restoran. Biarpun dia tidak berfihak dalam persoalan yang diperdebatkan, namun tentu saja hatinya condong kepada dua orang gagah tadi karena sikap mereka yang halus dan gagah, sebaliknya diam-diam ia mencela di hati sikap empat orang yang kasar dan jelas menyombongkan nama julukan dan kepandaian sendiri.
“Hiiiii, pelayan buntung....!”
Han Han menoleh dan melihat bahwa yang memanggilnya adalah Si Brewok Berhidung Besar, ia segera berloncatan menghampiri meja empat orang itu.
“Ada yang hendak dipesan lagi, taihiap?”
“Hemmm, jadi engkau hanya mencari upah agar makananmu dibayari maka engkau tadi bersikap manis dan membela dua orang pemberontak, ya? Kalau hanya uang yang kau cari, apakah kau kira kami tidak mampu memberimu sepuluh kali lipat daripada harga makananmu yang dibayar dua orang pemberontak tadi? Dan tidak perlu dengan membela, asal engkau suka melayani kami akan kami bayar lebih banyak lagi. Hayo kau bersihkan sepatuku yang penuh debu ini. Kalau engkau menolak, berarti memang kau lebih suka melayani Si Pemberontak. Dan berarti engkau diam-diam adalah pemberontak atau mungkin mata-mata pemberontak!”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar