FB

FB


Ads

Jumat, 19 Desember 2014

Pendekar Super Sakti Jilid 059

“Apakah namamu Nirahai?”

Nirahai membelalakkan matanya dan hampir saja ia tertawa bergelak. Pertanyaan itu begitu tiba-tiba, begitu sederhana dan diajukan tanpa dibuat-buat, pertanyaan dengan sikap paling kurang ajar yang pernah ia alami selama hidupnya. Ia tidak marah, bahkan tersenyum memandang gadis yang bermata lebar itu. Ia mengangguk, ingin mendengar lebih banyak. Suara gadis itu merdu dan nyaring, dan setiap gerakannya membayangkan kejujuran dan kepolosan yang mengharukan.

“Jadi engkaukah yang bernama Nirahai puteri kaisar, gadis yang mengadu domba tokoh-tokoh Siauw-lim-pai dan Hoa-san-pai? Tentu engkau pula yang telah membunuh dua orang diantara Siauw-limChit-kiam, bukan?”

Kalau ia menghadapi pertanyaan seperti itu dari seorang tokoh kang-ouw, tentu Nirahai akan menjadi terkejut dan berhati-hati, akan tetapi menerima pertanyaan begitu langsung dari mulut yang manis dan mata yang lebar itu, sukar bagi Nirahai untuk membohong lagi.

“Bagaimanna engkau bisa tahu?”

“Hemmm, payungmu itu adalah senjatamu yang ampuh, bukan? Kau jahat sekali.... jahat sekali dan aku harus membunuhmu!”

Kembali hati Nirahai merasa geli sekali. Ucapan seperti itu agaknya hanya patut diucapkan oleh seorang tokoh besar, seperti gurunya. Enak saja gadis ini mengatakan hendak membunuhnya.

“Eh, sabar dulu. Engkau siapakah?”

“Aku Lulu. Perbuatanmu yang curang itu telah membuat Kakakku Han Han banyak menderita. Engkau cantik sekali, sayang.... akan tetapi aku harus membunuhmu karena engkau jahat!”

“Nirahai, siapakah bocah ini?”

Nenek itu telah berdiri di luar joli, padahal kedua pemikul joli masih menggotongnya dan kini kedua orang itu terkejut dan berdiri seperti patung. Mereka tidak merasa joli menjadi ringan, tidak melihat nenek itu turun, akan tetapi mengapa tahu-tahu telah berada di luar joli? Seorang di antara mereka menyingkap tirai joli dan memang benar, joli itu kosong. Terpaksa mereka menurunkan joli dan keduanya berjongkok di dekat joli.




Lulu menengok, memandang nenek itu dan ia terkejut. Cepat ia membalikkan tubuh pula memandang Nirahai yang kini telah meloncat turun dari kuda.

“Ah, aku pernah bertemu denganmu....! Engkau penghuni Pulau Es.... ya benar....!” Lulu menudingkan telunjuknya ke arah Nirahai.

“Apa? Pulau Es....? Kau gila agaknya....!”

Nirahai menjawab, akan tetapi tiba-tiba terdengar suara angin dan Lulu berteriak kaget karena pundaknya sudah dicengkeram oleh nenek itu yang membalikkan tubuh Lulu menghadapinya sambil membentak.

“Apa maksudmu? Penghuni Pulau Es? Hayo katakan apa yang kau maksudkan!”

“Lepaskan tanganmu! Jangan cengkeram pundakku! Nenek jahat engkau....!”

Lulu berteriak meronta-ronta, akan tetapi percuma saja, jari tangan nenek itu seolah-olah telah melekat di pundaknya!

“Lepaskan....! Kalau tidak....”

“Hem, bocah liar. Kalau tidak engkau mau apa?” Nenek itu berkata.

“Kupukul mampus kau!”

Diam-diam nenek itu kagum sekali melihat keberanian Lulu, maka ia menjawab,
“Mau pukul? Boleh, pukullah!”

Karena Lulu dapat menduga bahwa nenek ini tentulah kaki tangan Puteri Nirahai dan jahat, terpaksa harus ia lenyapkan dulu sebelum ia menghadapi Nirahai yang ia tahu amat lihai. Ia lalu menggerakkan kedua tangannya, memukul secara bertubi ke arah perut dan dada nenek itu. Ia menggunakan jurus pukulan ilmu silatnya yang sudah ia latih dan sempurnakan di lembah Huang-ho, dan mengerahkan sin-kangnya yang ia dapat ketika berlatih di Pulau Es.

“Desss! Desssss!”

Lulu menjerit kesakitan karena kedua tangannya yang memukul itu seperti memukul air, akan tetapi akibatnya kedua tangan itu terasa nyeri seperti ditusuk-tusuk dengan seribu batang jarum! Nenek itu pun kaget dan melepaskan pundak Lulu, matanya terbelalak memandang Lulu dan mulutnya berkata dengan suara menggetar.

“Itulah Hong-in-bun-hoat....! Dari mana engkau mempelajarinya? Dan sin-kangmu itu.... apakah Swat-im Sin-ciang?”

Lulu masih meringis kesakitan, akan tetapi ia cemberut menghadapi pertanyaan itu.
“Ternyata engkau memiliki ilmu siluman dan pertanyaanmu ngawur tidak karuan. Apa itu Hong-in-bun-hoat? Apa itu Swat-im Sin-ciang? Kalau Kakakku mungkin tahu ilmu-ilmu itu. Aku hanya belajar sedikit di Pulau Es. Eh, yang manakah di antara kalian ini yang kulihat patungnya di Pulau Es? Seperti dia....” Ia menuding Nirahai. “Akan tetapi matanya seperti matamu!” Ia melihat nenek itu. “Akan tetapi yang mana pun juga di antara kalian, semuanya jahat, memang di antara mereka bertiga di Pulau Es itu, yang satu itu paling jahat....!”

“Apa kau bilang....? Apa kau bilang....?” Nenek itu berkata dengan suara gemetar, tubuhnya terhuyung.

“Subo....!”

Nirahai meloncat, mendekati nenek itu. Akan tetapi dengan tangannya nenek itu menolak Nirahai yang hendak menolongnya, kemudian setelah menghela napas tiga kali ia dapat menguasai hatinya. Sekali melangkah ia telah menggerakkan tangan menangkap tangan Lulu tanpa gadis ini dapat mengelak sedikit pun. Gerakan nenek itu cepat luar biasa dan tidak dapat ia ikuti dengan pandangan matanya.

Ia hendak meronta, akan tetapi membatalkan niatnya ketika nenek itu memijat-mijat kedua tangannya yang membengkak merah. Lulu juga seorang yang cerdik dan ia mengerti bahwa nenek inilah sebetulnya orang yang patungnya ia lihat di Pulau Es.

Ketika ia tadi melihat wajah dan mata nenek ini, teringatlah ia akan patung itu, hanya karena patung itu cantik dan muda seperti Nirahai, maka ia mengira bahwa Nirahailah orangnya yang patungnya ia lihat di sana. Kini ia mengerti bahwa biarpun ada persamaan dengan patung itu dan Nirahai, akan tetapi sebetulnya patung itu adalah patung Si Nenek lihai ini di waktu muda.

Dan ia pun dapat menduga bahwa disebutnya patung itu di Pulau Es mendatangkan keharuan besar di hati nenek ini. Tentu nenek ini ingin mendengar banyak-banyak tentang Pulau Es dari dia, maka kini nenek itu bersikap baik, mengobati kedua tangannya yang membengkak karena memukul tubuh Si Nenek.

Kalau tidak mempunyai maksud demikian, kiranya nenek yang seperti iblis ini akan membunuhnya! Ia harus bersikap cerdik, pikirnya. Lulu membiarkan kedua tangannya ditekan dan ditotok dan memang hebat sekali, dalam sekejap mata saja sudah sembuh, akan tetapi dia sudah memutar otak mencari akal.

“Siapakah namamu?” Nenek itu bertanya sambil melangkah mundur dua langkah dan memandang tajam.

“Namaku Lulu.”

“Engkau gadis Mancu?” Kini nenek itu bertanya dalam bahasa Mancu.

Lulu menjawab dalam bahasa Han,
“Aku memang gadis Mancu, akan tetapi lebih suka berbahasa Han.”

Nenek itu mengerutkan alisnya,
“Hemmm, sesukamulah. Sekarang ceritakan bagaimana kau bisa bicara tentang Pulau Es.”

“Aku tidak mau bicara!”

Nenek itu membelalakkan matanya dan dari mata yang lebar itu memancar kebengisan yang membuat bulu tengkuk Lulu bangun satu-satu. Akan tetapi dia seorang gadis yang memiliki keberanian luar biasa, maka ia menentang pandang mata itu tanpa berkedip. Matanya jauh lebih lebar dari mata nenek itu dan sinar matanya pun tajam, bening dan polos.

“Kalau aku paksa padamu, kupatahkan satu-satu tangan kakimu, apakah engkau juga tidak mau bercerita?”

Tiba-tiba Lulu tertawa, suara ketawanya yang dimaksudkan agar berbunyi mengejek itu malah terdengar merdu nyaring dan menular sehingga Si Nenek terpaksa ikut tersenyum, bahkan Nirahai juga tersenyum lebar.

“Heh-heh, kiranya engkau adalah Lulu bocah Mancu yang diambil Adik angkat oleh tokoh muda aneh bernama Han Han itu. Sudah lama kau kami cari-cari, siapa sangka akan bertemu di sini.”

“Hemmm, jadi Ouwyang Seng manusia tak bermalu itu engkau yang suruh? Pantas, engkau jahat, kaki tanganmu pun jahat. Tentu iblis-iblis tua yang mengeroyok kakakku, Si Setan Botak dan Si Iblis Muka Kuda itu pun kaki tanganmu, bukan? Hemmm.... cocok sekali!”

Nirahai terkejut.
“Aihhh, engkau tahu....?”

“Tentu tahu! Malah aku telah ditawan dan dibawa ke istana, oleh Kaisar sendiri aku dijadikan pelayan istana. Akan tetapi aku lari dari istana....”

Nirahai tertawa lagi. Tak dapat ia menahan geli hatinya. Anak ini polos dan nakal, akan tetapi wajahnya begitu manis dan cerah sehingga sukarlah untuk marah kepadanya.

“Engkau aneh. Bukankah senang sekali menjadi pelayan istana? Engkau gadis Mancu, menjadi pelayan di istana Kaisar sendiri bukankah amat terhormat? Mengapa engkau melarikan diri?”

“Aku tidak kerasan! Aku akan mencari kakakku, kalau ia belum dibunuh oleh kaki tanganmu yang jahat!”

Nirahai mengerutkan keningnya. Diam-diam timbul rasa ingin sekali bertemu dengan kakak gadis ini, yang bernama Han Han. Kalau adiknya begini aneh, tentu kakaknya lebih aneh lagi.

“Lulu, lekas kau bercerita tentang Pulau Es, kalau engkau tidak mau, kupatah-patahkan seluruh tulang di tubuhmu!” Kembali Nenek Maya menghardik.

Nirahai maklum akan kebengisan seorang berwatak aneh seperti gurunya. Kalau gurunya mau, sekali turun tangan tentu ancamannya itu akan dilaksanakan tanpa ada yang mampu menghalanginya.

“Lulu, anak baik, engkau mengakulah saja.”

Akan tetapi Lulu yang sudah mengatur siasat itu menjawab,
“Aku tidak peduli apakah tulang-tulangku akan dipatahkan ataukah tubuhku akan dihancurkan oleh dia itu. Aku tidak takut mati. Memang aku tahu bahwa di antara ketiga patung itu, wanita cantik bengis itu yang berhati jahat! Aku baru mau bercerita kalau syaratku dipenuhi.”

Nirahai memang tidak ingin mencelakai bangsa sendiri. Dan begitu bertemu dengan Lulu, ia sudah merasa suka dan sayang kepada anak yang keras hati dan berwatak kukoai (ganjil) ini.

“Apakah syaratnya?”

“Pertama, kalau aku dibawa ke istana, kau harus menjamin agar aku tidak dihukum karena melarikan diri.”

Nirahai tersenyum.
“Baiklah. Kaisar adalah Ayahku sendiri, aku dapat mintakan ampun untukmu.”

“Ke dua, kalau kakakku tidak terbunuh, kau harus menyuruh kaki tanganmu mencarikan dia untukku. Akan tetapi kalau sudah terbunuh, engkau harus membiarkan aku membalas dendam kepada pembunuhnya!” Lulu mengepal kedua tinjunya, matanya memancarkan kemarahan.

Nirahai mengangguk.
“Baik-baik, itu pun sudah adil.”

Diam-diam ia merasa bahwa kalau benar Han Han sudah terbunuh, tentu pembunuhnya itu amat lihai dan bagaimana gadis ini akan dapat membalas dendam?

“Lekas ceritakan tentang Pulau Es!”

Nenek itu kini membentak, kehilangan sabar dan sudah melangkah maju setindak ke dekat Lulu. Melihat ini, Nirahai yang merasa sayang kepada Lulu cepat berkata.

“Lulu, syarat-syaratmu telah dipenuhi, lekas engkau bercerita.”

“Masih ada lagi syaratku, yaitu karena aku sudah tinggal di Pulau Es sampai bertahun-tahun dan locianpwe ini adalah seorang di antara penghuni Pulau Es, maka kalau locianpwe suka mengambil aku sebagai murid, baru aku mau menceritakannya!”

“Wirrr....!”

Tangan nenek itu bergerak dan biarpun Lulu hendak mengelak, percuma lagi karena rambutnya sudah disambar dan sekali nenek itu mengangkat tangan, tubuh Lulu tergantung pada rambutnya yang dicengkeram! Lulu merasa nyeri, akan tetapi ia tidak mengeluh dan hanya membelalakkan mata dan dia sungguh-sungguh kelihatan seperti seekor kelinci dipegang kedua telinganya dengan matanya yang lebar itu.

“Bocah setan! Mengapa harus mengambilmu sebagai murid?” bentak nenek itu.

Diam-diam Lulu ngeri juga. Di tangan nenek ini ia seperti sebuah boneka yang tidak berdaya. Otaknya bekerja cepat. Tadi ia sengaja minta menjadi murid karena kini ia telah cukup tahu betapa pentingnya memiliki ilmu kepandalan tinggi. Dengan ilmu kepandaian tinggi dia tidak akan mudah dihina orang seperti berkali-kali ia dan kakaknya mengalaminya dan ia mengenal orang sakti maka kalau ia bisa menjadi murid nenek ini tentu ia akan menjadi amat lihai.

Ia pun tahu bahwa ia boleh agak “menjual mahal” karena tahu akan kegairahan hati nenek ini ingin mendengar tentang Pulau Es, akan tetapi kalau ia agak keterlaluan menjual mahal dan menahan harga, sekali nenek itu turun tangan ia takkan bemyawa lagi. Cepat ia menjawab.

“Locianpwe yang baik, peristiwa di Pulau Es merupakan rahasia pribadi, dan keadaan Pulau Es pun tidak boleh diceritakan pada lain orang, demikian pesan kakakku yang mentaati pesan tertulis para locianpwe penghuni pulau itu. Kami berdua telah bersumpah takkan membuka rahasia Pulau Es. Kalau saya tidak menjadi murid locianpwe, berarti locianpwe saya anggap orang luar. Bagaimana saya akan dapat menceritakan tentang pulau rahasia itu? Biar dibunuh sekalipun, kalau locianpwe tidak menjadi guru saya, mana saya berani membuka rahasia?”

Cekalan rambutnya mengendur dan tubuh Lulu dilepaskan kembali. Nenek itu mengangguk.

“Engkau sudah sampai di sana, berarti engkau telah menjadi murid kami bertiga. Baiklah, engkau menjadi muridku bersama Nirahai.”

“Terima kasih, subo!” Lulu dengan girang menjatuhkan diri berlutut di depan nenek itu.

Nirahai juga girang sekali, berlutut pula di samping Lulu, merangkul pundaknya dan berkata,

“Sumoi yang baik!”

Akan tetapi Lulu melotot kepadanya.
“Suci, awas kalau sampai Han-koko kau bunuh, biar engkau menjadi suciku, engkau akan kubunuh pula!”

“Bocah kurang ajar, lekas ceritakan!” kembali nenek itu membentak.

“Subo, urusan rahasia yang sedemikian gawatnya masa boleh diceritakan di tengah jalan seperti ini? Lebih baik di dalam kamar, di istana.... kalau Subo hendak ke sana.”

Saking inginnya segera mendengar cerita itu, Nenek Maya menyambar tubuh Lulu dan sekali berkelebat ia lenyap. Hanya terdengar suaranya,

“Nirahai, kami menantimu di dalam istana!”

Nirahai memandang bengong dan menghela napas panjang. Ia kagum sekali akan keberanian Lulu dan diam-diam ia menduga bahwa kelak Lulu akan menjadi seorang yang hebat. Dia tidak akan heran kalau subonya akan lebih sayang kepada bocah itu. Maka ia lalu memasuki joli dan memerintahkan dua orang pemanggulnya yang berjongkok dan bengong menyaksikan tingkah orang-orang aneh itu untuk memanggul joli melanjutkan perjalanan ke kota raja.

**** 59 ****





Tidak ada komentar:

Posting Komentar