FB

FB


Ads

Jumat, 19 Desember 2014

Pendekar Super Sakti Jilid 054

Di dalam sebuah gubuk di kaki Gunung Lu-liang-san, Lulu sadar dari pingsannya dan mendapatkan dirinya sedang dirawat oleh kakek pengemis yang mengobati luka-lukanya. Melihat gadis itu bergerak, kakek itu berkata perlahan.

“Jangan bergerak dulu, Nona. Luka-lukamu bekas bacokan senjata tajam tidak berbahaya, akan tetapi pukulan di punggung membuat tulangmu ada yang retak. Kau rebahlah saja dan jangan banyak bergerak.”

Lulu tersenyum, hatinya girang bahwa dia belum mati. Dia mengenal kakek jembel ini yang telah menyelamatkan nyawanya ketika golok Twa-to-kwi Liok Bu Tang si Mata Satu menyambar lehernya, yaitu kakek yang telah menangkis golok itu dengan tongkatnya.

“Locianpwe, aku berhutang satu nyawa kepadamu.”

Kakek itu memandangnya dan tersenyum melihat gadis yang berpakaian pria itu tersenyum, kaget dan kagumlah dia.

“Wah, engkau memiliki daya tahan yang hebat. Hal ini membuktikan bahwa engkau telah mempelajari sin-kang yang luar biasa.”

“Eh, jangan pura-pura tidak mendengar omonganku dan mengeluarkan puji-pujian kosong, locianpwe. Aku telah hutang satu nyawa kepadamu karena aku tentu telah mati kalau locianpwe tidak datang menolong.”

Kakek itu menyelesaikan pekerjaannya membalut luka-luka di tubuh Lulu, kemudian berkata sungguh-sungguh,

“Nona, saling bantu di antara kita segolongan adalah wajar, bahkan saling menolong di antara manusia sudah semestinya, sama sekali tidak dapat dikatakan hutang-berhutang. Apalagi kalau kita bersama menghadapi orang-orang Mancu yang amat jahatnya. Ah, bukan semata-mata orangnya yang jahat, karena orang Mancu pun manusia seperti kita. Yang jahat adalah pimpinan mereka yang mengatur penjajahan dan menimbulkan perang. Perang adalah jahat dan kejam, membuat manusia-manusia seperti kita menjadi binatang-binatang buas! Aku sungguh amat membenci perang, akan tetapi lebih membenci orang-orang Mancu yang menimbulkan perang!”

Hati Lulu tertarik sekali. Ucapan kakek ini benar-benar memiliki arti yang dalam, apalagi terdengar oleh telinganya, telinga seorang gadis Mancu!

“Locianpwe, apakah engkau demikian membenci orang Mancu? Engkau sendiri mengatakan tadi bahwa orang Mancu juga manusia seperti kita, mengapa locianpwe amat membenci mereka?”

“Mengapa tidak? Karena merekalah maka orang-orang seperti aku menjadi binatang-binatang buas yang membunuhi manusia lain tanpa berkedip! Dahulu, sebelum ada perang, manusia mengenal prikemanusiaan dan aku akan merasa bangga kalau dapat menyelamatkan nyawa seorang manusia lain daripada ancaman bahaya maut. Dahulu, nyawa manusia amat dihargai sehingga sebuah pembunuhan akan menggegerkan dan pembunuhnya akan dikutuk manusia lain. Akan tetapi sekarang? Ah, dalam keadaan perang, manusia menjadi makhluk sejahat-jahatnya! Betapa banyaknya nyawa manusia melayang oleh perbuatanku, dan kedua tanganku yang berlumuran darah ini telah membunuh entah berapa banyak manusia lain!”

Lulu makin tertarik. Kakek itu mengucapan kata-kata penuh semangat dan kesungguhan, dan wajah yang keriputan itu tampak berduka sekali.

“Akan tetapi yang locianwe lakukan adalah demi perjuangan. Locianpwe berjuang demi negara dan bangsa, dan locianpwe membunuh musuh bangsa. Bukankah hal itu merupakan perbuatan mulia?”

Tiba-tiba kakek itu tertawa dan suara ketawanya membuat bulu tengkuk Lulu berdiri. Kelihatannya saja tertawa, akan tetapi nadanya seperti orang menangis!

“Ha-ha-ha! Inilah yang menyedihkan! Manusia menganggap penyembelihan sesama manusia ini sebagai perbuatan mulia! Makin banyak menyembelih manusia, makin banyak merenggut nyawa sesama manusia, akan gagah perkasa, makin mulia dan disebut pahlawan! Memang perjuangan membela nusa bangsa, membela tanah air adalah sebuah tugas yang mulia, akan tetapi penyembelihan sesama manusia, sungguhpun berlainan bangsa, yang dianggap mulia oleh manusia itu, apakah juga mulia dalam pandangan Thian? Apakah Thian akan bersenang hati menyaksikan manusia ciptaan-Nya saling bunuh hanya karena memperebutkan kebenaran palsu yang pada hakekatnya adalah memperebutkan kemenangan dan kemuliaan duniawi! Tidak, Nona. Aku yakin bahwa Thian tidak menghendaki manusia berbunuh-bunuhan, dan aku yakin bahwa penyembelihan antara manusia yang oleh masing-masing golongan manusia disebut mulia dan dipuji-puji ini dikutuk Thian!”

Lulu menjadi terharu. Ia dapat mengerti apa yang dimaksudkan oleh kakek itu, dan tentu saja bagi dia, seorang gadis Mancu, ucapan itu berkesan amat dalam.

“Kata-kata locianpwe benar-benar mengejutkan hatiku. Akan tetapi, aku ingin sekali mendengar maksud ucapan locianpwe tadi bahwa perang antara manusia hanya memperebutkan kebenaran palsu yang pada hakekatnya adalah memperebutkan kemenangan dan kemuliaan duniawi. Apakah yang locianpwe maksudkan?”

Kakek itu menarik napas panjang.
“Maksudku, tidak ada bangsa di dunia ini yang tidak menganggap bahwa perang yang dilakukannya berdasarkan kebenaran! Lihat contohnya perang yang dikobarkan oleh bangsa Mancu yang menjajah Tiongkok! Bangsa Mancu menyerbu ke selatan dan mereka merasa benar karena mereka menganggap bahwa mereka semenjak dahulu direndahkan, dan menganggap bahwa mereka itu datang untuk membebaskan rakyat Tiongkok daripada cengkeraman pemerintahan yang tidak baik.

Mereka berperang dengan dasar kebenaran mereka, karena hanya kalau mereka berkuasa di sinilah maka rakyat akan dapat hidup makmur, terbebas daripada penindasan kaisar dan pembesar-pembesar Kerajaan Beng yang lemah dan jahat dalam pandangan mereka. Jelaslah bahwa bangsa Mancu berperang dengan dasar kebenaran mereka, kebenaran palsu!

Di lain fihak, Kerajaan Beng berikut semua pejuang yang melawan mereka, termasuk aku, mendasarkan perjuangan dengan kebenaran kita sendiri, kebenaran orang mempertahankan tanah airnya, kebenaran negara mempertahankan hak dan kedaulatannya. Padahal, yang diperebutkan adalah kemenangan, dan sesungguhnyalah bahwa kemenangan yang akan mendatangkan kemuliaan duniawi kepada mereka yang menang!

Kalau perang hanya terbatas kepada mereka yang bercita-cita, baik para pembesar yang memperebutkan kedudukan, maupun para perajurit yang berperang karena menerima upah, atau pejuang yang berperang karena dorongan cita-cita, masih tidak mengapa. Mereka sudah sengaja ingin terjun ke dalam kancah perang yang isinya menang atau kalah, hidup atau mati. Celakanya, rakyat yang tidak tahu apa-apa menjadi korban keganasan perang.”

Kakek itu menarik napas panjang, kemudian memandang Lulu tajam-tajam dan melanjutkan kata-katanya.

“Jahat sekali perang ini akibatnya. Pertengkaran pribadi hanya menimbulkan kebencian, akan tetapi perang menimbulkan kebendaan antara bangsa! Tidak ada lagi pertimbangan antara baik dan buruk, bangsa yang dibencinya karena perang, dianggapnya semua jahat dan semua harus dibasmi!

Sungguh menyedihkan sekali karena baru dalam hal inilah ada persamaan pendapat antara orang baik dan orang jahat! Pendeta-pendeta dan perampok-perampok dapat bekerja sama menghadapi musuh! Dalam perang antar bangsa, biar dia perampok yang sekejam-kejamnya kalau sebangsa, dianggap sekutu. Biar sama-sama pendeta kalau menjadi bangsa yang dibenci dianggap lawan yang harus dibunuh!

Dan maut yang disebar tidak memandang bulu, tidak mengenal prikemanusiaan lagi. Kebencian melanda dan menguasai hati nurani manusia sehingga menimbulkan perbuatan-perbuatan yang kejamnya melebihi srigala. Membunuh dan menyiksa dianggap perbuatan yang baik dan gagah perkasa. Semua karena gara-gara perang dan andaikata bangsa Mancu tidak mengobarkan perang lebih dulu, tidak akan terjadi segala kekejaman itu. Karena itu, aku membenci orang-orang Mancu yang menimbulkan perang, membenci mereka yang telah membuat aku sekarang menjadi seorang pembunuh berdarah dingin!” Kembali kakek itu menarik napas panjang, kelihatan berduka sekali.

“Locianpwe, bukan hanya engkau yang menderita, bukan hanya rakyat Tiongkok yang menderita akibat perang. Juga bangsa Mancu sendiri banyak yang menderita akibat perang ini, perang yang dicetuskan oleh para pimpinan dengan mengorbankan banyak rakyat. Rakyat Mancu yang dipaksa menjadi perajurit, mati di sini tanpa diketahui keluarganya. Betapa banyaknya pula rumah tangga para perwira yang hancur akibat perang, terbasmi oleh musuh mereka yang oleh mereka disebut dan dianggap para pemberontak.”

Kakek itu mengangguk-angguk, kemudian mengangkat muka memandang.
“Eh, Nona, bagaimana Nona bisa tahu akan keadaan bangsa Mancu?”

Lulu memandang tajam dan menjawab tenang,
“Tentu saja aku tahu, locianpwe, karena aku sendiri adalah seorang Mancu.”






“Ahhh....!” Kakek itu benar-benar kaget mendengar ini dan ia memandang wajah Lulu dengan sikap tegang.

“Aku adalah seorang gadis Mancu yang menjadi korban perang ini, locianpwe. Ayahku seorang perwira yang terbunuh bersama seluruh keluarganya oleh segerombolan pemberon.... eh, pejuang yang dipimpin oleh seorang bernama Lauw-pangcu. Hanya aku yang dibiarkan hidup, dirampas pakaianku, diberi pakaian jembel dan aku dilepas sebagai seorang anak jembel yang hidup terlantar....!”

“Ya Tuhan....!”

Kakek itu meloncat ke belakang dan berdiri tegak memandang Lulu dengan mata terbelalak. Teringatlah ia peristiwa tujuh tahun yang lalu dan ia berkata lirih penuh getaran perasaan,

“Akulah Lauw-pangcu kini teringat olehku akulah yang memimpin teman-teman menyerbu perwira dan membunuh mereka sekeluarga. Karena engkau mengingatkan aku akan puteriku yang hampir sebaya, aku tidak membolehkan mereka membunuhmu.... ah, Nona, engkaukah kiranya anak itu? Akan tetapi mengapa engkau sekarang membantu kaum pejuang memusuhi bangsa Mancu sendiri?”

Berubah wajah Lulu. Hemmm, jadi kakek inikah musuh besarnya yang selama ini ia cari-cari? Sejenak seluruh tubuhnya menegang dan timbul keinginannya untuk menyerang kakek itu. Akan tetapi teringat akan pembicaraan mereka tadi Lulu menarik napas panjang dan.... menangis! Sejenak Lauw-pangcu hanya memandang gadis yang menangis itu penuh keheranan dan keharuan, kemudian ia berkata.

“Nona, aku mengerti bahwa di dalam hatimu mengandung sakit hati dan dendam yang besar kepadaku. Andaikata engkau kini menjadi pembantu pemerintah Mancu, tentu dendammu akan kau hadapi dengan kekerasan dan engkau akan kuanggap sebagai musuh. Akan tetapi karena terbukti bahwa engkau membantu fihak pejuang menentang kekejaman pasukan Mancu, hal ini membuat hatiku terasa berat dan penuh oleh dosa terhadap dirimu.

Nona, aku Lauw-pangcu bukan seorang yang tidak mengenal budi dan bukan seorang yang tidak berani menanggung segala akibat perbuatanku. Aku yang membuat keluarga Nona terbasmi, yang membuat keluarga Nona terlantar, dan menyaksikan sepak terjangmu, kini aku siap menerima pembalasanmu. Engkau boleh menbunuhku untuk membalas dendam keluargamu. Silakan, aku tidak akan melawan dan menyerahkan nyawaku sebagai tebusan dosaku kepadamu.”

Lulu mengangkat mukanya yang basah air mata memandang kakek itu, kemudian ia menangis lagi, menutupi muka dengan kedua tangan dan kepalanya digeleng-gelengkan.

“Tidak... Tidak... setelah aku menyaksikan sepak-terjangmu, setelah aku mendengar kata-katamu dan mengenal watakmu sebagai seorang gagah perkasa, seorang pendekar sejati, bagaimana aku dapat membunuhmu? Apalagi setelah menyaksikan keganasan perwira-perwira Mancu.... ah, biarlah kuanggap bahwa Ayah sekeluarga terbasmi oleh perang, bukan oleh tanganmu, Lauw-pangcu. Engkau membasmi mereka bukan karena benci pribadi, melainkan karena perjuanganmu, karena perang. Biarlah, aku akan melupakan semua itu....”

Lauw-pangcu terbelalak, menghela napas dan mengeluh,
“Aduh, baru sekali ini selama hidupku bertemu dengan seorang wanita semuda engkau, memiliki kebijaksanaan yang begini besar! Sikapmu merupakan tusukan pedang yang tiada bandingnya, menembus hatiku. Ah, Nona, tahukah engkau betapa sikapmu ini membuat aku jauh lebih menderita penuh penyesalan selama hidup daripada kalau engkau menusuk mati aku dengan pedangmu? Aku telah membasmi keluargamu.... dan engkau tidak mau membalas dendam. Satu-satunya jalan bagiku, biarlah aku menjadi pengganti keluargamu, menjadi Ayah Ibumu, biarlah aku mengambil engkau sebagai anakku, kalau engkau sudi....”

Mendengar ini, Lulu terisak, menurunkan kedua tangan, memandang kakek itu dengan sepasang matanya yang lebar, kakek yang telah menyelamatkan nyawanya, kakek yang telah membasmi keluarganya, kemudian ia mengeluarkan jerit lirih menubruk maju dan berlutut di depan kakek Lauw-pancu,

“Ayah....!”

Sepasang mata kakek tua itu menitikkan dua butir air mata dan dengan penuh keharuan ia mengangkat bangun gadis itu, memegang kedua pundaknya dan menatap wajah cantik jelita dengan sepasang mata lebar yang masih mengucurkan air mata.

“Anakku...., engkau anakku...., siapakah namamu?”

“Lulu....”

“Ah, nama yang bagus! Lulu, aku akan membimbingmu, melatihmu. Engkau memiliki sin-kang yang luar biasa dan gerakanmu cepat sekali, amat mentakjubkan, hanya ilmu silatmu yang belum masak. Aku akan menurunkan semua kepandaianku dan kelak engkau menjadi orang yang lebih lihai daripada aku sendiri. Akan tetapi aku heran sekali...., siapa yang mengajarimu berlatih sehinga memiliki sin-kang begitu hebat dan.... memiliki kebijaksanaan yang belum tentu dimiliki seorang pendeta sekalipun?”

Lulu yang merasa amat terharu dan juga berbahagia karena kini merasa mendapatkan seorang ayah, sambil bersandar di dada “ayah” ini menjawab manja, seperti kalau ia bersikap manja kepada Han Han!

“Ayah, yang mengajarku adalah Kakakku sendiri.”

Kembali Lauw-pangcu terkejut, memegang kedua pundak “anaknya” itu dan memandang wajahnya dengan tajam.

“Kakakmu? Engkau mempunyai Kakak? Bukankah kau katakan tadi bahwa.... bahwa yang hidup hanya tinggal engkau seorang?”

Kalimat terakhir ini diucapkannya dengan pahit, mengingatkan dia bahwa dia yang membunuh semua keluarga gadis yang kini menjadi anaknya itu.

“Kakak angkat, Ayah.”

“Ohhh.... jadi engkau mempunyai seorang kakak angkat dan kini mempunyai seorang ayah angkat, anakku? Agaknya engkau memang seorang yang amat baik budi sehingga banyak orang yang suka kepadamu. Kakakmu itu tentu lihai sekali.”

“Kakakku adalah orang yang paling hebat dan lihai di seluruh dunia ini....!”

“Ayah, bocah ini adalah teman si keparat Han Han!”

Tiba-tiba terdengar seruan nyaring disusul berkelebatnya bayangan orang dan tahu-tahu di situ telah berdiri seorang gadis cantik gagah yang dikenal Lulu karena gadis itu bukan lain adalah Lauw Sin Lian, murid Siauw-lim Chit-kiam yang amat lihai dan yang pernah bentrok dengan Han Han ketika mereka berdua baru keluar dari Pulau Es, ketika dia dan kakaknya membantu para piauwsu Hoa-san-pai yang diserang orang-orang Siauw-lim-pai yang mereka kira perampok.

Melihat Sin Lian yang bersikap kasar terhadap kakaknya namun yang ia duga mencinta kakaknya itu, Lulu tersenyum dan memandang dengan matanya yang lebar. Sebaliknya, Sin Lian memandang dengan mata penuh kebencian, bahkan lalu membentak dan melangkah maju,

“Dia dan Han Han membantu penjahat-penjahat Hoa-san-pai dan matinya dua orang suhuku mungkin karena mereka!”

Melihat puterinya maju hendak menerjang Lulu, Lauw-pangcu cepat melompat ke depan Sin Lian, menghadang dan berseru.

“Lian-ji (AnakLian), tahan dulu! Dia ini adalah Adikmu!”

Mendengar ini, Sin Lian begitu kaget dan heran sehingga ia tiba-tiba menghentikan gerakannya, berdiri seperti arca dalam keadaan masih memasang kuda-kuda siap menyerang. Matanya memandang kepada ayahnya penuh pertanyaan.

“Apa.... apa artinya ini, Ayah?”

“Aku telah mengangkat Lulu ini sebagai anakku, Sin Lian. Dia telah membantu para pejuang dan hampir mengorbankan nyawanya untuk perjuangan, selain itu.... dia adalah puteri keluarga Perwira Mancu yang terbasmi di tanganku.... dan.... satu-satunya jalan bagiku untuk menebus dosaku kepadanya...., yang sama sekali tidak mendendam kepadaku, mengambil dia sebagai anakku, dan aku melarang engkau mengganggu adikmu sendiri!”

Berubah wajah Sin Lian agak pucat dan ia membantah,
“Akan tetapi dia.... dia dan Han Han bersekutu dengan Hoa-san-pai memusuhi Siauw-lim-pai....!”

“Tidak sama sekali, Enci Lian,”

Lulu berkata dengan sikap tenang. Pandang matanya yang indah tajam, wajah cantik jelita yang tersenyum cerah, suara yang bening halus itu mengagumkan hati Sin Lian.

“Kami sama sekali tidak pernah bersekutu dengan Hoa-san-pai, dan tidak pernah pula memusuhi Siauw-lim-pai. Semua yang dilakukan Kakakku hanyalah karena salah faham belaka.”

“Kakakmu....?” Sin Lian bertanya, bingung.

Lulu tersenyum dan wajahnya berseri.
“Benar, dia adalah Kakakku, Kakak angkatku. Apakah engkau kira dia itu kekasihku, Enci Lian? Memang kekasihku, karena Han-koko adalah orang yang paling kukasihi di seluruh dunia ini, kemudian tentu saja Ayahku dan engkau Ciciku!”

Pandang mata penuh kebencian itu melunak dan Sin Lian tak dapat berkata-kata. Adapun Lauw-pangcu ketika mendengar bahwa anak angkatnya ini juga adik angkat Han Han, menjadi terkejut dan berseru,

“Ah, sungguh tak kusangka Kakak angkatmu adalah Han Han. Bocah itu! Ceritakanlah, Lulu anakku, tentu menarik ceritamu. Sin Lian, duduklah dan kita mendengarkan ceritanya agar semua persoalan menjadi terang.”

Setelah mereka bertiga duduk, Lulu menghela napas dan berkata,
“Kasihan sekali kakakku Han Han. Karena mengira murid-murid Siauw-lim-pai hendak merampok dan menghadang para piauwsu Pek-eng-piauwkiok yang menjadi murid-murid Hoa-san-pai. Kemudian melihat mayat dua orang di antara Siauw-lim Chit-kiam, dia mengira murid-murid Hoa-san-pai yang melakukannya sehingga dalam marahnya dia membunuh beberapa orang murid Hoa-san-pai. Akibatnya, dia dimusuhi oleh Hoa-san-pai dan Siauw-lim-pai!”

Sin Lian yang hatinya menjadi lega mendengar bahwa gadis cantik yang kini menjadi adik angkatnya itu ternyata bukan kekasih Han Han seperti yang tadinya ia sangka, menjadi tertarik sekali dan berkata,

“Ceritakanlah.... ceritakan apa yang telah terjadi sesungguhnya.”

Maka berceritalah Lulu tentang peristiwa yang ia alami bersama Han Han itu, mulai dari pertemuan mereka dengan para piauwsu Pek-eng-piauwkiok sampai terjadi pertempuran dengan para penghadang dan munculnya Sin Lian, kemudian betapa Han Han membunuh murid-murid Hoa-san-pai, kemudian betapa dia dan kakaknya bertemu dengan tokoh-tokoh Hoa-san-pai.

“Ahhh....!”

Lauw-pangcu menepuk pahanya setelah mendengar penuturan Lulu bahwa jelas sekali kedua fihak terpancing dan menjadi korban adu domba yang diatur oleh fihak Mancu.

“Han Han menjadi korban fitnah. Hal ini harus segera dilaporkan kepada para pimpinan Siauw-lim-pai, Lian-ji, agar permusuhan antara kedua partai dapat dihentikan dan juga fitnah atas diri Han Han dibersihkan.”

“Baik, Ayah. Memang semestinya begitu. Aku pun sedang menjalankan tugas yang diperintahkan ketua Siauw-lim-pai untuk pergi mencari lima orang guruku, akan tetapi sungguh heran, lima orang guruku itu tidak dapat kutemukan jejaknya. Sebaiknya aku pergi sekarang juga melaporkan hal penting itu kepada ketua Siauw-lim-pai.”

“Harap engkau tidak usah sibuk-sibuk dan capek-capek, Enciku yang baik. Para pimpinan Siauw-lim-pai sudah tahu akan hal itu karena aku dan Han-koko telah pula datang mengunjungi Siauw-lim-si untuk menghadap ketuanya.”

“Apa? Dia yang telah difitnah dan dianggap musuh oleh Siauw-lim-pai malah datang mengunjungi Siauw-lim-si? Begitu beraninya?”

Sin Lian terbelalak saking herannya. Sungguh gadis Mancu ini membawa cerita yang makin aneh saja. Juga Lauw-pangcu menjadi terkejut dan heran.

“Memang Han-ko adalah seorang laki-laki yang paling gagah perkasa dan paling berani di seluruh dunia ini!” kata Lulu dengan bangga. “Dia tidak akan mundur selangkah pun dalam membela kebenaran. Jangankan hanya mendatangi Siauw-lim-si menghadap ketua Siauw-lim-pai, biarpun harus mendatangi neraka menghadap Giam-lo-ong (Raja Maut), jika dia benar, akan dia lakukan tanpa mengenal takut!”

Berceritalah dara yang lincah dan yang amat mencinta kakaknya ini akan sepak terjang Han Han ketika mengunjungi Siauw-lim-pai. Diceritakannya pula betapa Han Han dikeroyok oleh para tokoh Siauw-lim-pai, betapa Han Han masuk bertemu dengan Kian Ti Hosiang.

Mendengar penurutan ini, makin lama Sin Lian menjadi makin terheran-heran dan diam-diam ia menjadi kagum sekali kepada Han Han yang memang amat menarik hatinya dan yang sudah ia buktikan sendiri kelihaiannya. Setelah Lulu berhenti bercerita, keadaan sunyi. Lauw-pangcu termangu penuh keheranan, sedangkan Sin Lian termenung mengenangkan keadaan pemuda itu.

“Wah, ceritamu sungguh hebat!” Akhirnya Lauw-pangcu berkata sambil menarik napas paniang. “Anakku Lulu, tahukah engkau bahwa dahulu Kakakmu itu adalah muridku? Sungguh tidak nyana dia dapat menjadi seorang yang berilmu tinggi, juga engkau dapat memiliki sin-kang dan gin-kang yang amat luar biasa. Siapakah guru kalian?”

Biarpun Han Han pernah memesan agar dia tidak bicara tentang Pulau Es dengan siapapun juga, akan tetapi karena Lauw-pangcu telah menjadi ayahnya sedang Sin Lian menjadi cicinya, Lulu merasa tidak perlu merahasiakan hal itu dari mereka. Ia lalu menjawab.

“Guru kami adalah pemilik Pulau Es....”

“Heiii! Pulau Es....?” Lauw-pangcu dan Sin Lian makin terkejut. Benar-benar makin banyak hal tak terduga-duga dan aneh-aneh mereka dengar dari mulut Lulu! “Pulau Es yang semenjak puluhan tahun dicari oleh semua tokoh kang-ouw?”

Lulu mengangguk.
“Secara kebetulan saja kami dapat sampai di pulau itu dalam keadaan hampir mati setelah mengalami ancaman maut berkali-kali.”

Ia lalu bercerita tentang pengalamannya bersama Han Han ketika menjadi tawanan Ma-bin Lo-mo sampai terbawa badai dalam perahu rusak sehingga mereka mendarat di Pulau Es, menemukan peninggalan kitab-kitab pelajaran penghuni Pulau Es dan belajar ilmu selama enam tahun di tempat itu. Betapa kemudian dengan susah payah mereka dapat meninggalkan tempat itu.

Lauw-pangcu dan Sin Llan mendengarkan penuturan itu dengan mata terbelalak dan mulut ternganga, merasa seperti mendengarkan dongeng saja. Cerita itu amat mempesona mereka, bukan hanya karena keanehan cerita itu sendiri, melainkan juga karena pandainya Lulu bercerita sehingga untuk waktu yang cukup lama kedua orang ini seperti menggantungkan pandang mata mereka kepada bibir tipis merah yang bergerak-gerak manis ketika bercerita.

“Yang berilmu tinggi-tinggi dan berusaha mati-matian mencari Pulau Es, tidak pernah berhasil, dua orang bocah yang tidak mencarinya malah mendapatkan. Ha-ha, inilah yang disebut jodoh yang terjadi atas kehendak Thian! Pantas saja engkau lihai sekali, anakku, kiranya engkau menjadi ahli waris pusaka-pusaka mujijat yang terdapat di Pulau Es. Sungguh engkau beruntung sekali, anakku.”

“Aah, ilmu yang berhasil kumiliki dengan latihan berat tidak ada artinya, Ayah. Aku memang bodoh dan kurang tekun seperti Han-ko. Dibandingkan dengan Han-koko, ilmuku sama sekali tidak ada artinya, dia sepuluh kali lebih lihai daripada aku!”

Sin Lian makin kagum kepada Han Han dan diam-diam jantungnya berdebar. Hatinya makin tertarik.

“Sekarang di manakah.... Han Han? Mengapa engkau berpisah darinya?”

Pertanyaan ini biasa saja, akan tetapi begitu menyebut Han Han, muka Sin Lian menjadi merah sekali. Hal ini tidak terlepas dari pandang mata Lulu yang tajam dan pandang mata Lauw-pangcu yang berpengalaman.

Akan tetapi karena Lulu diingatkan kepada kakaknya dan hatinya menjadi gelisah, dia tidak ingin menggoda enci angkatnya itu, bahkan lalu menghela napas dan mengerutkan alisnya yang hitam panjang,

“Ah, hal inilah yang menyusahkan hatiku. Ketika kami saling berpisah, aku tertawan oleh si keparat Ouwyang Seng murid Setan Botak, sedangkan kakakku ketika itu dikeroyok dua oleh Setan Botak dan Iblis Muka Kuda!”

“Apa? Kang-thouw-kwi Gak Liat dan Ma-bin Lo-mo Siangkoan Lee mengeroyok Han Han?”

Lauw-pangcu berteriak dan Sin Lian pun menjadi pucat mukanya. Mereka mengenal siapa dua orang datuk hitam ini, tahu pula akan kehebatan ilmu kepandaian mereka. Seorang saja di antara mereka sudah merupakan lawan yang amat hebat, bahkan ke tujuh orang sakti, Siauw-lim Chit-kiam ketika menghadapi Setan Botak seorang diri saja hampir kalah. Apalagi kini dua orang datuk hitam itu maju mengeroyok!

“Mana mungkin ia dapat menangkan dua orang datuk hitam itu!”

Suara Sin Lian ini terdengar lirih, penuh kengerian dan kekhawatiran karena sembilan bagian perasaannya mengatakan bahwa tentu Han Han tewas kalau dikeroyok dua orang datuk hitam itu, betapapun lihainya Han Han.

“Tidak, kakakku tidak akan kalah!” Lulu berkata. “Tidak mungkin Han-ko sampai kalah! Dia sakti dan cerdik, tentu dapat mengatasi dua orang kakek iblis itu! Akan tetapi, entah ke mana perginya. Aku sedang mencarinya sehingga tiba di sini dan bertemu dengan Ayah. Sekarang aku akan pergi mencarinya lagi sampai bertemu.”

“Lulu, anakku yang baik. Jangan engkau pergi dulu. Setelah aku mendapatkan seorang anak seperti engkau, mana boleh engkau lalu pergi lagi begitu saja? Engkau telah memiliki sinkang yang luar biasa, melebihi aku sendiri, bahkan mungkin sin-kangmu lebih hebat daripada Sin Lian. Akan tetapi ilmu silatmu belum matang, dan sementara ini engkau tinggallah di sini bersamaku agar dapat kau perdalam ilmu silatmu. Aku yang akan menggemblengmu sehingga kalau ilmu silatmu sudah matang, kiranya aku sendiri sama sekali tidak akan dapat melawanmu, engkau tidak membutuhkan waktu lama untuk mematangkan ilmu silatmu. Juga Encimu dapat membantumu. Adapun tentang Han Han, aku akan mengerahkan anak buahku untuk membantumu mencari kabar tentang Kakakmu itu. Kiranya akan lebih berhasil daripada kalau engkau pergi mencari sendiri.”

“Ucapan Ayah benar sekali, Adik Lulu. Sebagai murid Siauw-lim-pai, tentu saja aku tidak boleh mengajarkan ilmu silat Siauw-lim-pai kepada orang lain bukan murid Siauw-lim-pai. Akan tetapi agaknya sedikit banyak aku akan dapat membantumu untuk mematangkan ilmu silatmu sendiri yang hebat.”

Dibujuk oleh ayah dan enci angkat yang amat disukainya itu, akhirnya Lulu menurut dan demikianlah, mulai hari itu Lulu digembleng ilmu silat oleh Lauw-pangcu dan Sin Lian. Di bawah bimbingan Lauw-pangcu yang berpengalaman, benar saja Lulu dapat mematangkan ilmu silatnya dan Sin Lian sendiri terheran-heran menyaksikan kehebatan sin-kang adik angkatnya itu yang benar-benar lebih kuat dari dia sendiri, juga ilmu silat yang dimainkan Lulu selain aneh, juga indah dan amat kuat.

Benar pula seperti yang diramalkan Lauw-pangcu, setelah ilmu silatnya dimatangkan di bawah petunjuk Lauw-pangcu yang berpengalaman dan Sin Lian yang berilmu tinggi, Lulu memperoleh kemajuan hebat sekali sehingga kalau menghadapi lawan, kiranya dia lebih berbahaya daripada Lauw-pangcu, bahkan lebih sukar dilawan daripada Sin Lian sendiri. Hal ini adalah karena ilmu silatnya tidak dikenal orang, berbeda dengan ilmu silat Sin Lian yang merupakan ilmu asli dari Siauw-lim-pai.

Semenjak pertemuannya dengan Lulu dan mengangkat Lulu sebagai anak, semangat Lauw-pangcu dalam perjuangan menentang bangsa Mancu menurun secara menyolok sekali. Biarpun ia tidak pernah melarang anak buah Pek-lian Kai-pang melanjutkan perjuangan mereka menentang pemerintah Kerajaan Ceng (Mancu), namun ia sendiri tidak aktif bergerak, bahkan lalu mengundurkan diri kembali ke sarang Pek-lian Kai-pang di lembah Sungai Huang-ho sebelah selatan di mana ia bersama Sin Lian setiap hari berlatih silat dengan Lulu.

Hubungan antara Lulu dan Sin Lian makin akrab dan mereka saling mencinta seperti adik dan kakak kandung. Lulu memang memiliki sifat periang jenaka dan lincah sehingga mendatangkan rasa suka kepada siapa saja. Juga ia jujur, polos terbuka di samping memiliki kecerdikan dan wawasan yang tajam.

Pada suatu hari, beberapa bulan setelah mereka tinggal di lembah Huang-ho, Lulu ditanggap (dipancing dengan pertanyaan-pertanyaan) oleh Sin Lian tentang diri Han Han. Diam-diam Lulu mentertawakan encinya ini, akan tetapi secara cerdik dan nakal ia malah bercerita tentang Han Han secara berlebihan. Dipuji-pujinya kakaknya itu setinggi langit, dipuji kegagahannya, ketampanannya, kebaikan budinya dan kepandaiannya.

“Di waktu kecil dahulu, dia adalah sahabatku,” kata Sin Lian perlahan dengan pandang mata melamun, terkenang akan masa lalu

“Ya, dia pernah bercerita tentang dirimu, Enci Lian.”

“Betulkah? Apa yang ia katakan tentang aku?” tanya Sin Lian, wajahnya berseri.

Lulu tersenyum.
“Ia pernah mengatakan bahwa engkau adalah seorang yang amat baik budi.”

Wajah Sin Lian menjadi merah, akan tetapi matanya bersinar-sinar.
“Ah, dahulu aku bersikap galak kepadanya, mana bisa baik budi?”

“Akan tetapi, dia betul-betul memujimu, agaknya dia senang akan kegalakanmu, Enci Lian. Kakakku memang sabar dan suka mengalah, hal ini di samping segala kebaikannya membuat banyak gadis jatuh hati kepadanya. Di sepanjang perjalanan kami kulihat banyak wanita jatuh cinta kepadanya.”

Sin Lian menengok dan memandang dengan gerakan cepat.
“Hemmm, bagaimana engkau bisa tahu, Adikku?”

“Hi-hik! Bagaimana aku tidak tahu? Pandang mata mereka itu! Pandang mata yang mereka tujukan kepada Han-ko terlalu jelas, tampak sinar-sinar cinta kasih memancar dari mata mereka dan Dewi Asmara mengintai dari balik senyum mereka.”

“Ihhh, genit kau!” Sin Lian mencela dan mencubit lengan adiknya.

“Aduh!” Lulu menggosok-gosok kulit lengan yang dicubit encinya. “Tanganmu mencubit aku, akan tetapi pikiranmu mencubit Han-ko, bukankah begitu, Enci Lian?”

“Idiiih! Engkau benar-benar centil, Adik Lulu! Sudah, jangan menggoda orang, ceritakan yang betul.”

“Aku sudah bercerita sebenarnya, masa aku membohong? Bahkan murid Im-yang Seng-cu, Hoa-san Kiam-li Lu Soan Li yang cantik jelita dan gagah perkasa, juga jatuh cinta kepada Kakak Han Han. Baru berkenalan beberapa hari saja mereka sudah begitu akrab, pendekar wanita itu seperti menjadi bayangan tubuh Han-ko, tidak mau berpisah lagi, setiap gerak-geriknya jelas menunjukkan cinta kasih yang mendalam.”

Lulu menghentikan kata-katanya ketika melihat betapa wajah Sin Lian yang tadinya merah itu kini berubah agak pucat dan sinar mata yang tadinya berseri itu menjadi agak muram. Ia merasa kasihan dan cepat-cepat ia menyambung.

“Akan tetapi, Hoa-san Kiam-li itu akan kecelik kalau mengira bahwa Han-koko mudah saja terjebak panah asmara. Wah, sama sekali tidak! Han-koko terlalu murni dan bersih, tidak pernah mengingat tentang asmara, apalagi bicara tentang itu! Han-koko adalah seorang pemuda perkasa yang belum pernah diusik panah asmara, masih bersih dan mulus seperti mutiara belum digosok!”

Senang sekali hati Lulu melihat betapa kata-katanya mengembalikan warna merah di kedua pipi enci angkatnya.

“Dan lagi Han-koko tentu akan merundingkan soal jodohnya dengan aku, kalau sudah tiba saatnya, karena di dunia ini dia tidak punya siapa-siapa kecuali aku yang menjadi adiknya. Dan aku tentu tidak akan menyetujui dia berjodoh dengan Hoa-san Kiam-li atau gadis manapun juga, biar puteri kaisar sendiri!”

Dengan wajah heran akan tetapi tidak keruh lagi pandang matanya, Sin Lian memandang Lulu dan bertanya,

“Mengapa tidak setuju, Adikku?”

“Karena aku telah menemukan seorang gadis yang betul-betul mencintanya dengan seluruh jiwa raganya, yang betul-betul cantik jelita, betul-betul gagah perkasa, dan betul-betul berbudi mulia sehingga cocok sekali untuk menjadi teman hidup Han-koko selamanya.”

Kembali wajah cantik itu kehilangan sinarnya dan suara Sin Lian agak menggetar ketika bertanya,

“Siapa.... siapa dia, Adikku?”

Lulu menengadah, seolah-olah hendak minta nasehat dari awan dan perlahan-lahan ia menjawab,

“Gadis itu, yang kuanggap paling cocok untuk menjadi jodoh Han-koko, dikatakan dekat amatlah jauhnya karena dia sendiri tidak tahu bahwa dialah pilihanku, dikatakan jauh amatlah dekatnya karena saat ini ia duduk di depanku....”

“Aduuuhhhhh.... Aduuuhhhhh.... tobaaat, Enci....!”

Lulu menjerit dan meronta-ronta sehingga cubitan pada pahanya terlepas dan ia meloncat dan lari menjauhkan diri dari Sin Lian yang mukanya menjadi merah seperti udang direbus.

“Wah, engkau terlalu, Enci Lian! Mencubit paha orang sampai lecet! Awas kau, kelak kulaporkan kepada Han-koko, biar kau dicubit sampai habis! Hi-hik!”

“Lulu....!” Suara Sin Lian terdengar marah, “Engkau yang terlalu! Engkau sudah melampaui batas mempermainkan aku. Apakah engkau sengaja hendak menghina Encimu?”

Melihat Sin Lian marah, Lulu menghampiri dan merangkulnya, mencium pipinya dan merebahkan muka di dada yang membusung itu.

“Enci Lian, Enciku yang baik, masa engkau tega marah-marah kepada Adikmu? Aku sayang kepadamu, Enci, dan biarpun aku tadi main-main, akan tetapi main-main karena ada dasarnya. Main-main yang bisa menjadi sungguhan! Atau.... engkau hendak menyangkal dan membohongi hati sendiri bahwa.... bahwa engkau mencinta Han-koko?”

Terdengar isak tertahan di dada Sin Lian. Ia balas memeluk adiknya dan tidak menjawab. Ketika Lulu mengangkat muka memandang dan melihat Sin Lian menitikkan dua butir air mata, Lulu bertanya lirih.

“Salahkah dugaanku, Enci? Kelirukah aku bahwa engkau mencinta Han-ko?”

Sin Lian menggigit bibir, mengejapkan mata, kemudian.... mengangguk! Lulu tersenyum gembira lalu berloncatan menari-nari mengelilingi Sin Lian.

“Bagus.... bagus....! Wah, aku girang sekali! Engkau Enciku menjadi Sosoku (Kakak Iparku) sama saja! Wah, aku bahagia sekali, Enci.... eh, calon Soso yang baik!” Lulu merangkul dan menciumi kedua pipi Sin Lian.

Mau tidak mau Sin Lian tertawa juga, mengusap air matanya dan memegang kedua pundak Lulu.

“Lulu, adikku yang nakal! Hanya kepadamulah aku sudi membuka rahasia hatiku ini. Bahkan di depan Ayahku sekalipun aku tidak akan suka mengaku. Akan tetapi, hendaknya engkau menutup mulut dan memegang rahasia ini, Adikku. Biarpun aku mencinta orang, harus diselidiki lebih dahulu apakah orang itu akan membalas cintaku. Dan.... dan.... dia masih belum diketahui berada di mana. Karena itu, kuminta, mulai detik ini, jangan kau bicara lagi tentang dia.”

Lulu mengangguk.
“Tak mungkin aku tidak boleh bicara tentang dia, hanya aku tidak akan menyinggung perasaanmu, Enci Lian. Dan aku berjanji kelak akan mengusahakan dia membalas cinta kasihmu.”

“Sudahlah, lebih baik mari kita berlatih lagi. Kemajuanmu sudah hebat dan beberapa bulan lagi saja aku takkan kuat menandingimu.”

Kedua orang dara jelita itu lalu berlatih silat dengan tekun. Sampai setahun lebih Lulu berada di lembah Huang-ho, berlatih silat di bawah bimbingan ayah dan enci angkatnya sehingga dia memperoleh kemajuan hebat. Kemudian timbul lagi rasa rindu dan khawatirnya terhadap Han Han, maka ia minta diri dari ayah angkatnya untuk pergi mencari kakaknya.

Lauw-pangcu sebetulnya tidak rela melihat puteri angkatnya yang amat dikasihinya itu pergi, akan tetapi karena maklum bahwa hati Lulu tidak akan bahagia sebelum dapat menemukan kembali Han Han terpaksa ia berkata.

“Aku merasa menyesal sekali bahwa usahaku menyebar anak buahku untuk mencari Kakak angkatmu itu selama ini sama sekali tidak ada hasilnya, Lulu. Tidak ada seorang pun di dunia kang-ouw mendengar atau melihat adanya Han Han. Oleh karena itu, sungguhpun hatiku tidak akan tenteram melihat engkau pergi sendiri, namun aku tidak dapat mencegahmu. Engkau hati-hatilah di dalam perjalanan, Lulu, karena sungguhpun sekarang tingkat kepandaianmu sudah melampaui aku, namun di dunia ini banyak sekali terdapat orang sakti yang menyeleweng dari pada kebenaran.”

“Jangan khawatir, Ayah. Kalau aku telah bertemu dengan Han-ko, aku akan mengajak dia datang ke sini, terutama sekali untuk bertemu dengan Lian-ci....” Lulu melirik ke arah Sin Lian dengan pandang mata dan senyum menggoda.

Wajah Sin Lian berubah merah sungguhpun hatinya merasa senang mendengar janji Lulu. Cepat-cepat ia bekata,

“Lulu moi, kita dapat melakukan perjalanan bersama. Aku pun hendak pergi mencari lima orang suhuku dan mengajak mereka mencari Puteri Nirahai yang menurut dugaanmu menjadi biang keladi semua permusuhan antara Siauw-lim-pai dan Hoa-san-pai, dan yang tentu mengetahui siapa sebenarnya yang membunuh Liok-suhu dan Chit-suhu.”

Demikianlah, dua orang dara jelita itu pergi dari lembah Huang-ho yang tersembunyi, meninggalkan Lauw-pangcu yang bersunyi diri dan yang telah mengundurkan diri dari perjuangan, bahkan yang mulai menjauhkan diri dari urusan duniawi karena merasa sudah terlalu tua ditambah kesadaran bahwa ikut sertanya dalam perang sama sekali tidak akan mengubah keadaan menjadi baik, bahkan sebaliknya. Ia kini tekun bersamadhi semenjak kedua orang puterinya pergi, bahkan menyerahkan urusan Pek-lian Kai-pang kepada para pembantunya.

Adapun Sin Lian dan Lulu tidak lama melakukan perjalanan bersama. Sepekan kemudian mereka terpaksa harus berpisah karena Lulu hendak mencari kakaknya di kota raja, sedangkan Sin Lian hendak pergi ke Siauw-lim-si lebih dulu untuk mendengar apakah lima orang suhunya telah kembali ke sana. Kedua orang gadis remaja ini saling berangkulan ketika hendak berpisah dan berjanji akan segera saling bertemu kembali di lembah Huang-ho.

“Jangan lupa, Adikku. Bulan tiga tahun depan, jadi kurang enam tujuh bulan lagi adalah ulang tahun ke tujuh puluh dari Ayah kita, tepatnya jatuh pada pertengahan bulan. Aku bermaksud mengadakan sedikit pesta ulang tahun, dan engkau harus membantu dan hadir,”demikian pesan Sin Lian.

“Baik, Enci Lian. Aku pasti akan bersama kakakku!”

Sin Lian merasa betapa jantungnya berdebar dan pipinya panas, kemudian ia merangkul sekali lagi dan mencium pipi adik angkatnya, lalu berkata,

“Selamat jalan, selamat berpisah sampai jumpa kembali, Lulu.”

Maka berpisahlah kakak dan adik angkat ini. Lulu berdiri memandang encinya yang berlari cepat ke selatan itu sambil tersenyum. Gadis yang amat baik budi, pikirnya, lagi pula gagah perkasa dan cantik jelita. Tepat menjadi isteri Han-ko. Akan tetapi di mana kakaknya? Teringat akan ini, cepat ia membalikkan tubuhnya dan lari ke utara, arah yang berlawanan dengan larinya Sin Lian. Ia harus dapat bertemu dengan kakaknya yang sudah lama dirindukannya itu.

**** 54 ****





Tidak ada komentar:

Posting Komentar