FB

FB


Ads

Jumat, 19 Desember 2014

Pendekar Super Sakti Jilid 055

Telah lama kita meninggalkan Han Han. Apakah yang telah terjadi dengan Han Han setelah dalam usahanya menyelamatkan Kim Cu dia sendiri terpelanting dan terjerumus ke dalam jurang yang seolah-olah tak berdasar saking curamnya? Benarkah kekhawatiran para nikouw, Kim Cu, dan para nelayan bahwa pemuda itu tentu tewas dan hancur sehingga mayatnya pun tak dapat ditemukan?

Memang, kalau menurut pengertian dan perhitungan manusia, selamatnya Kim Cu setelah terjatuh dari tempat tinggi itu merupakan hal yang ajaib dan kiranya tidak mungkin ada orang lain yang sebaik itu nasibnya. Han Han pasti hancur lebur tubuhnya!

Akan tetapi pengertian manusia sesungguhnya amat tidak berarti, amat kecil dan jauh daripada cukup untuk dapat menjangkau dan menjenguk untuk mengukur kekuasaan Tuhan yang terlampau besar untuk dapat dipertimbangkan dan diukur oleh pengertian manusia. Logika atau nalar manusia amatlah kecil. Apalagi tentang hidup dan mati. Jika Tuhan menghendaki kematian seseorang, ke mana pun dia pergi, biarpun dia bersembunyi ke lubang semut, tidak urung maut akan datang menjemput! Jika menghendaki sebaliknya, biar selaksa macam malapetaka mengancam, dia akan lolos dari bencana!

Demikianlah pula dengan Han Han. Agaknya Tuhan memang belum menghendaki pemuda ini tamat riwayat hidupnya, sungguhpun nyawanya sudah berada di ujung rambut, nyaris ia tewas.

Ketika ia meluncur turun, lebih cepat daripada tubuh Kim Cu yang ringan, ia menimpa air lebih keras daripada gadis itu. Hal ini adalah karena selama melayang turun ini, pikiran Han Han penuh dengan kekhawatiran akan diri gadis itu. Dia selalu ingat akan menyelamatkan Kim Cu, maka tubuhnya melakukan gerakan melawan sehingga tubuh itu terbanting keras ke permukaan air.

Hebat sekali akibatnya, membuat matanya gelap dan ia tenggelam dalam keadaan setengah pinpsan. Kebetulan sekali ia jatuh di bagian yang dalam dan airnya amat deras sehingga begitu ia jatuh dan tenggelam, tubuhnya disambar dan dihanyutkan air amat cepatnya. Dalam keadaan pening dan setengah pingsan itu, Han Han menggerakkan kaki tangannya, akan tetapi kakinya yang buntung terasa nyeri sekali, hampir tak tertahankan.

Untung baginya bahwa dia memang telah memiliki sin-kang yang tinggi dan selama enam tahun menggembleng diri secara tekun sehingga ia telah memiliki kekuatan menahan napas. Ia membiarkan dirinya hanyut, menahan napas dan perlahan-lahan menggerakkan kedua lengan sehingga akhirnya ia dapat juga mengambang setelah terbawa hanyut amat jauh.

Aliran sungai itu makin berbelak-belok dan arusnya kuat sekali. Tubuh Han Han terbanting-banting batu karang menonjol sehingga pakaiannya robek-robek, berikut kulit tubuhnya. Kakinya terasa makin nyeri, sampai menusuk ke jantung, membuat napasnya terengah dan pandang matanya gelap.

Kalau saja Tuhan tidak menolongnya, tentu Han Han tewas dalam keadaan seperti itu. Sungguh amat kebetulan bahwa pada saat itu ia tidak sadarkan diri, pingsan benar-benar, tangannya meraih dan kebetulan lengannya dapat merangkul sebatang pohon yang hanyut. Kedua tangannya mencengkeram ranting-ranting dan daun, dan pingsanlah dia setengah bergantung pada cabang pohon, dibawa hanyut arus air yang makin kuat.

Han Han sama sekali tidak tahu karena dia tidak sadar ketika cabang pohon itu dihanyutkan air yang makin kuat arusnya dan tiba di tempat yang sempit dan menurun. Kalau saja ia tidak memeluk kuat-kuat cabang itu di waktu hampir pingsan sehingga tubuhnya kini terbelit-belit ranting, tentu ia sudah terlepas dan tewas ditelan air.

Arus air makin kuat dan tibalah di sebuah tikungan. Cabang pohon itu terhalang batu dan karena cepatnya cabang itu dihanyutkan, ketika menghantam batu karang terdorong minggir, ditangkap pusaran air dan dihanyutkan ke pinggir di mana air terpecah memasuki sebuah terowongan.

Kiranya sungai di bagian ini mempunyai banyak cabang-cabang, yaitu lubang-lubang di antara batu gunung yang merupakan gua-gua atau terowongan. Cabang pohon yang membawa tubuh Han Han hanyut memasuki terowongan yang amat panjang dan gelap. Lebih dari dua kilometer panjang terowongan ini, di mana air yang masih deras mengalir dibawah gunung karang!

Sampai setengah hari lamanya Han Han dibawa hanyut air sungai. Ketika siuman dari pingsannya, ia telah menggeletak di antara batu-batu kali yang halus dan berwarna hitam. Cabang pohon tadi hanyut oleh air terdampar ke pinggir dan terjepit di antara batu-batu.

Untung bagi Han Han bahwa ia rebah terlentang sehingga hanya tubuhnya saja terendam air dangkal, mukanya terapung di permukaan air. Ia membuka mata, mengeluh perlahan karena merasa betapa seluruh tubuhnya nyeri. Akan tetapi pikirannya masih sadar dan segera ia dapat mengingat kembali keadaannya. Tahulah dia bahwa secara gaib sekali Tuhan telah menolongnya sehingga dia tidak tewas ketika terjatuh dari atas tebing yang curam itu. Sejenak ia teringat akan nasib Kim Cu dan cepat ia menggerakkan tubuh, menekankan kedua tangan pada batu hitam.

“Kim Cu....” Ia berseru perlahan. Matanya memandang ke arah air sungai yang masih deras mengalir di tengah, mencari-cari penuh harapan. Kalau dia selamat, kemungkinan besar Kim Cu selamat pula. “Kim Cu....!” Makin keras ia memanggil. “Aku selamat, tentu engkau pun selamat....!”

“Orang muda yang lancang! Boleh jadi engkau bebas dari cengkeraman air, akan tetapi jangan harap dapat terbebas dari tanganku!”

Han Han yang kuat menahan dinginnya air karena sin-kangnya, kini menggigil mendengar suara itu. Suara yang merdu dan halus sekali, akan tetapi mengandung hawa dingin yang membeku. Cepat ia memutar tubuh, berpegang kepada batu dan melihat seorang nenek berdiri tidak jauh di depannya dan ia bengong.

Nenek itu hanya berkaki satu! Namun, biar kakinya hanya tinggal satu, nenek itu dapat berdiri tegak di atas batu. Kaki tunggalnya itu berada di tengah-tengah bawah tubuhnya, sukar dikatakan kaki kanan ataukah kaki kiri. Berdiri tegak tak bergerak seperti sebuah arca, tangan kiri memegang tongkat sehingga lengan bajunya tersingkap dan tampak sebuah tangan yang kecil dan berkulit halus putih.

Wajah yang keriputan kurus itu masih membayangkan kecantikan masa muda dan tubuhnya masih kecil ramping. Akan tetapi pandang mata nenek itu membuat Han Han mengkirik. Pandang mata yang dingin sekali. Setelah kini ia membalikkan tubuh memandang ke darat, tampak olehnya jauh di belakang wanita tua itu sebuah pondok butut

Penglihatan mata Han Han amat tajam. Dia dapat mengenal orang pandai, akan tetapi pada saat itu ia bengong dan memeras otak untuk mengingat-ingat karena ia merasa yakin bahwa ia pernah bertemu dengan wanita ini! Akan tetapi mendengar ucapan wanita tua itu, ia terkejut dan berkata.

“Maaf, locianpwe. Mengapa locianpwe mengatakan saya lancang?”

“Hemmm, aku sudah bersumpah untuk membunuh setiap orang yang berani mendatangi tempat pertapaanku ini dan engkau telah lancang berani datang ke sini!”

“Tapi.... saya.... tidak sengaja datang ke tempat ini!” Han Han memprotes.

“Tidak peduli. Engkau telah mengotori tempat ini dan engkau harus mati!”

Tiba-tiba, sukar diketahui oleh Han Han bagaimana wanita itu bergerak, tahu-tahu tubuh wanita itu telah menyambar ke arahnya dan tongkat di tangan kiri itu menyambar ke arah kepalanya. Han Han masih berdiri di dalam air, sebatas paha. Melihat sambaran yang dahsyat luar biasa ini, Han Han cepat melempar tubuh ke belakang.

“Byurrr....!”

Ia terluput dari maut, akan tetapi ia gelagapan dan cepat memegang batu karang, bangun berdiri lagi. Wanita itu telah berdiri di atas batu seperti tadi, pandang matanya yang dingin bersinar marah, keningnya yang tipis berkerut.

“Hemmm, agaknya engkau memiliki sedikit kepandaian? Bagus, coba kau hadapi pukulan ini!”






Sebelum Han Han dapat mencegah atau membantah, Nenek itu telah mendorong dengan tangan kanannya ke depan. Serangkum hawa yang amat dingin menyambar ke arah Han Han. Cepat pemuda itu membuang diri ke kanan.

“Pyarrrrr!”

Batu hitam besar yang berada di sebelah kiri pemuda itu pecah berantakan terkena hawa pukulan yang amat dahsyat itu.

“Locianpwe, tahan....!”

Han Han berseru, akan tetapi pukulan ke dua sudah datang pula, lebih hebat dari tadi. Han Han kembali mengelak ke kiri.

“Byurrrr!”

Han Han menengok dengan kaget menyaksikan betapa hawa pukulan itu membuat air di belakangnya menjadi bongkahan-bongkahan salju membeku! Maklumlah ia bahwa nenek itu memiliki Im-kang yang amat dahsyat dan kini teringatlah ia di mana ia telah “bertemu” dengan nenek itu.

“Locianpwe....!”

Nenek itu sudah memukul lagi, tidak ada kesempatan lagi bagi Han Han untuk mengelak. Terpaksa ia menggerakkan tangan menangkis dengan cara mendorongkan tangan kanan ke depan sambil mengerahkan tenaga sin-kang. Gerakan ini tentu saja meniru gerakan yang pernah dia pelajari dari kitab-kitab Ma-bin Lo-mo, yaitu Swat-im Sin-ciang.

“Desssss....! Aihhhhh....!”

Tubuh nerek itu bergoyang-goyang dan ia mengeluarkan seruan kaget, sedangkan tubuh Han Han terbanting ke belakang, mulutnya mengeluarkan darah segar! Keadaan pemuda ini masih belum pulih, belum sembuh benar dari penderitaan luka di kaki yang buntung, apalagi baru saja dia dipermainkan arus air sehingga dia amat lelah dan tenaga yang ia keluarkan tadi hanyalah sisa tenaga yang tinggal separuh.

Pertemuan tenaga Im-kang dahsyat itu membuat Han Han terluka di sebelah dalam tubuhnya dan ia terhuyung, memegang batu dan jatuh diatas batu hitam.

“Keparat! Engkau pandai Swat-im Sin-ciang? Ada hubungan apa engkau dengan Si Setan Muka Kuda Siangkoan Lee?”

Akan teitapi pertanyaan yang terdengar merdu dan terlalu dingin itu seperti tidak terdengar oleh Han Han yang kepalanya terasa pening.

“Locianpwe.... saya pernah bertemu dengan locianpwe.... di Istana Pulau Es....”

Terdengar wanita tua itu mengeluarkan suara melengking dan tahu-tahu tubuhnya telah berada di atas batu depan Han Han, tongkatnya sudah diangkat ke atas, siap ditusukkan ke ubun-ubuh kepala Han Han.

“Apa kau bilang....? Pulau Es....? Orang muda, sekarang ada tiga alasan bagiku untuk membunuhmu. Pertama, engkau lancang masuk ke sini, ke dua, engkau ada hubungan dengan Siangkoan Lee dan Swat-im Sin-ciang, ke tiga, engkau tahu akan Pulau Es....!”

Tongkat diangkat ke atas, ujungnya hendak ditusukkan ke kepala Han Han. Pemuda ini melihat datangnya bahaya maut, akan tetapi kepalanya terlalu pening dan pikirannya tidak karuan. Entah bagaimana, ia merasa pasti akan mati dan ia terbayang akan biruang es yang mati di Pulau Es, maka bibirnya mengeluh,

“Biruang Es itu telah mati.... mati digigit ular merah....” Dan dia pun roboh pingsan, terkulai lemas.

“Biruang.... biruang es....? Mati....?”

Tongkat yang sudah siap menghabiskan nyawa Han Han itu perlahan-lahan turun. Nenek itu tertegun dan termenung memandang tubuh Han Han yang terkulai, kemudian tongkatnya bergerak, mencokel tubuh Han Han dan sekali digerakkan tubuh Han Han terlontar ke atas, disambut dengan lengan kanan, dikempit kemudian nenek itu meloncat-loncat dengan satu kakinya, cepat bukan main dari batu ke batu, menuju kepondok kecil.

“Luar biasa....! Kakinya juga buntung sebelah....!” gumamnya ketika tadi melihat betapa kaki pemuda itu juga buntung sebelah.

Keadaan pemuda itu menarik perhatiannya, begitu tertarik sehingga ia tidak ingin lagi membunuhnya. Pertama, pemuda ini, yang keadaannya sudah lemah, sanggup menangkis pukulan Im-kangnya. Hal ini saja sudah mengejutkannya karena tadi ia merasa betapa tangkisan itu amat kuatnya. Si Muka Kuda sendiri belum tentu dapat bertahan dan menangkis sekuat itu. Ke dua, pemuda itu mengatakan pernah bertemu dengannya. Ke tiga, pemuda itu menyebut-nyebut biruang es yang mati digigit ular merah, hal ini menguatkan bukti bahwa pemuda ini berar-benar pernah berada di Pulau Es. Dan kini ke empat, kenyataan bahwa pemuda ini seorang yang berkaki satu menambah keinginan tahunya.

Ketika Han Han membuka matanya, pertama yang terasa olehnya adalah rasa pahit di mulut dan bau harum di hidung. Ia mengecap mulutnya dan tahulah ia bahwa dia telah dicekoki obat selagi pingsan dan teringatlah ia akan semua pengalamannya tadi.

Cepat ia bangkit duduk di atas pembaringan itu dan melihat nenek tadi sedang duduk di atas kursi di sudut bilik, memandangnya penuh perhatian. Melihat nenek itu, Han Han maklum bahwa biarpun tadi ia diserang sampai roboh pingsan, namun akhirnya nenek itu telah menolongnya. Ia lalu meloncat turun dari atas pembaringan, lupa akan kakinya yang buntung sehingga akibatnya ia roboh terguling.

“Aduhhh....!”

Kakinya terasa nyeri sekali, namun ia memaksa diri merangkak dan berlutut dengan sebelah kaki di depan nenek itu.

“Huh, canggung benar!” Si Nenek mencela. “Sudah berapa lama kakimu buntung?”

“Baru.... baru beberapa hari, locianpwe.”

Nenek itu mengangguk-angguk. Kiranya pemuda ini malah masih menderita luka pada kakinya yang buntung! Ia makin heran dan kagum betapa pemuda yang terluka hebat masih memiliki tenaga sedemikian kuatnya.

“Sekarang lekas ceritakan semua, bagaimana engkau tahu tentang biruang es dan kapan pernah bertemu denganku. Kalau ada yang kau sembunyikan, aku tidak akan mengampuni nyawamu lagi!”

“Locianpwe, saya bernama Sie Han dan bukanlah seorang yang suka membohong atau menipu, apalagi lancang memasuki tempat kediaman orang-orang suci. Saya tiba di tempat ini tanpa saya sengaja, juga saya dahulu tiba di Pulau ES secara kebetulan, terbawa badai dalam perahu rusak. Sampai enam tahun lamanya, saya bersama Adik angkat saya berdiam di Pulau Es, melatih diri dengan ilmu yang terdapat di kitab-kitab milik penghuni istana di Pulau Es.

Setelah biruang es mati tergigit ular merah beracun dan melihat betapa pulau itu sesungguhnya tedapat ular merah yang amat berbahaya, akhirnya saya dan Adik saya berhasil melarikan diri keluar dari pulau itu. Ketika tadi.... ataukah kemarin.... saya melihat locianpwe di pinggir sungai, segera saya mengenal locianpwe. Bukankah locianpwe ini adalah orang yang patungnya berada di Pulau Es? Saya ada melihat tiga buah patung di sana, patung seorang pria tampan gagah yang ada bekas tusukan pada dahinya, patung seorang wanita cantik yang pandang matanya menyeramkan, dan ke tiga adalah patung wanita cantik yang.... eh, seperti locianpwe....”

“Buntung kakinya?” Nenek itu bertanya dan suaranya agak menggetar.

Han Han mengangguk sambil menatap wajah nenek itu. Setelah kini sikap dingin nenek itu lenyap oleh perasaan terharu, tampaklah olehnya sifat lemah lembut seperti yang terdapat pada muka patung. Kiranya wanita yang pada dasarnya berwatak lembut ini sengaja menutup watak aslinya dengan muka dingin, dan hal ini hanya terjadi pada orang yang mengalami penderitaan batin yang amat hebat.

Tiba-tiba nenek itu mengangkat muka dan ternyata ia telah dapat menguasai getaran perasaannya, matanya bersinar dingin kembali dan ia berkata,

“Benar, akulah patung wanita kaki buntung itu! Dan karena engkau telah mengetahui rahasia ini, telah pula menemukan tempat persembunyianku, lebih kuat lagi alasanku untuk membunuhmu! Bersiaplah, engkau untuk mati!” Wanita kaki buntung itu menggerakkan tangan hendak menyerang.

Han Han maklum bahwa dia bukanlah lawan wanita ini, namun telah menjadi wataknya untuk tidak menyerah begitu saja kepada siapapun juga, apalagi kalau dia hendak dibunuh. Timbul rasa penasaran di hatinya dan biarpun tubuhnya lemah dan rasa nyeri di kakinya belum lenyap, ia bersikap nekat hendak melawan dan membela diri.

Timbul pula rasa marah. Telah dengan susah payah ia membawa surat-surat peninggalan pria penghuni Pulau Es, dan sekarang secara kebetulan ia bertemu dengan seorang di antara tiga patung di Istana Pulau Es, akan tetapi tanpa dosa apa-apa ia akan dibunuh!

“Nanti dulu, Locianpwe!” Ia berseru, suaranya nyaring sekali karena ia mengerahkan khi-kang sehingga nenek itu terkejut dan menahan pukulannya. “Saya tidak merasa mempunyai kesalahan apa-apa, mengapa locianpwe hendak membunuh saya? Bukankah perbuatan itu kejam dan ganas sekali? Kalau locianpwe memaksa diri hendak membunuh saya, sebagai seorang manusia terpaksa saya akan melawan locianpwe! Akan tetapi, karena saya pasti akan tewas di tangan locianpwe biarlah saya menyerahkan surat-surat peninggalan penghuni Pulau Es kepada locianpwe agar tugas saya ini ada yang melanjutkan. Apalagi karena locianpwe adalah seorang anggauta keluarga penghuni Pulau Es, tentu lebih tahu kepada siapa surat-surat itu harus diserahkan!”

Sambil berkata dengan nada keras, Han Han mengeluarkan kantung yang berisi surat-surat yang ia temukan dalam laci meja di kamar pria penghuni Istana Pulau Es, kemudian dilemparkannya kantung itu kepada Si Nenek yang cepat menyambar dengan tangannya.

“Plakkk....! Aihhhhh....!”

Tubuh nenek itu tiba-tiba lenyap dan Han Han memandang dengan mata terbelalak. Tadi ketika melontarkan kantung surat-surat itu ia sengaja mengerahkan seluruh tenaga sin-kangnya. Nenek itu menerima lontaran kantung dengan mudah dan tubuh Si Nenek seperti sehelai daun kering tertiup angin badai, melayang terbang keluar pintu dan beberapa detik kemudian sudah meluncur lagi memasuki pondok, berdiri di atas kaki tunggalnya dan memandangnya dengan terbelalak.

Mereka sama-sama terheran karena peristiwa ini menunjukkan bahwa Si Nenek mengagumi kehebatan tenaga sin-kang Han Han, sebaliknya selama hidupnya baru sekali ini Han Han menyaksikan gin-kang yang sedemikian tingginya sehingga gerakan nenek itu seperti orang menghilang saja!

Akan tetapi betapa herannya hati Han Han ketika melihat nenek itu berdiri dengan muka pucat memandang surat-surat dalam kantung yang telah dibukanya, bibir nenek itu gemetar, air mata mengalir turun dari kedua matanya, tangannya dengan jari-jari menggigil mengambil surat satu demi satu, lalu tiba-tiba ia menciumi surat-surat itu, mendekap di dadanya dan terdengar jeritnya lirih.

“Aduh.... Suheng Han Ki Koko.... (Kanda Han Ki)....!”

Nenek itu menekuk lutut kaki tunggalnya dan mendeprok lalu menangis tersedu-sedu, amat mengenaskan.

Han Han melongo, apalagi dalam tangisnya, nenek itu berkali-kali menyebut nama Han-koko (Kakak Han), mengingatkan ia akan suara tangisan dan panggilan adiknya, Lulu!

“Kakanda Han.... kalau memang mencinta mengapa tidak dari dahulu berterus terang....? Kalau benar engkau mencinta aku seorang.... ah, kalau aku tahu.... masa aku akan mengalah begitu saja, membiarkan suci membuntungi kakiku....? Aduh, Han-koko.... Han-suheng.... betapa kejamnya engkau....!”

Han Han tetap berdiri seperti patung memandang nenek itu, jantungnya berdebar penuh ketegangan, juga penuh keharuan. Nenek itu seperti seorang anak kecil, menangis terisak-isak dan bicara sendiri seperti orang gila.

Satu demi satu surat yang ditulis dengan huruf-huruf indah itu dibacanya, dan tiap kali membaca sebuah surat ia menangis makin sedih. Akhirnya semua surat habis dibaca nenek itu, surat-surat itu berserakan di atas tanah lantai pondok dan Han Han melihat betapa air mata nenek itu membuat beberapa huruf hitam menjadi luntur dan kotor.

Nenek itu sendiri masih terisak-isak, seolah-olah dia telah lupa kepada Han Han dan tenggelam dalam kedukaan yang amat hebat. Wajah yang kurus itu sepucat mayat, kosong tak ada gairah hidup. Sepuluh jari tangannya mencengkeram dan membuka, seperti orang sekarat, tanda bahwa jantungnya seperti diremas-remas oleh penderitaan batin.

Han Han merasa kasihan sekali. Setelah menanti lebih dari dua jam dan nenek itu masih saja belum dapat menguasai kesedihannya, ia lalu menjatuhkan diri berlutut lagi sambil berkata.

“Locianpwe, ampunkanlah saya kalau penyerahan surat-surat itu mendukakan hati locianpwe.... kalau saya tahu.... ah, lebih baik saya buang saja surat-surat itu. Saya tidak ingin melihat locianpwe berduka seperti ini....”

Nenek itu menoleh dan memandang Han Han seperti orang bingung, seperti heran mengapa ada seorang pemuda di situ. Akan tetapi ia segera teringat kembali dan kini pandang matanya menyapu surat-surat yang berserakan di atas lantai.

“Mengapa aku tidak berduka? Delapan puluh tahun lamanya aku berada di sini, menyiksa diri dan hati, menanam kebencian yang menjangkau langit, menyimpan sakit hati sedalam laut dan kini, surat-surat itu membuka rahasia, menyatakan bahwa semua penderitaanku selama puluhan tahun ini sesungguhnya sia-sia belaka, hanya muncul sebagai akibat salah faham! Dia mencintaku seorang....! Ha-ha-heh-heh-hi-hik! Ingin aku melihat wajah Maya Suci kalau dia membaca surat ini. Sebuah saja! Hi-hi-hik!”

Nenek itu kini tertawa-tawa dan Han Han merasa amat terharu, seperti ditusuk jantungnya karena nenek itu tertawa seperti setan menangis!

“Ahhhhh! Apa artinya semua ini?”

Tiba-tiba Si Nenek mencelat dan seketika Han Han bingung karena kembali nenek itu lenyap dari pandang matanya. Ketika ia mencari-cari dengan pandang matanya, bayangan putih berkelebat seperti kilat menyambar dan tahu-tahu nenek itu sudah berada kembali di tempat itu, tangannya memegang obor dan dibakarnyalah semua surat-surat yang berserakan di atas lantai. Ia kini tersenyum-senyum, tertawa-tawa melihat api yang membakar surat-surat itu menyala-nyala di sekelilingnya, kemudian ia melempar obor itu keluar pondok dan berkata.

“Han-koko, biarlah rahasia ini tetap tersimpan dalam hati kita. Biarlah kelak kita bicarakan cinta kasih antara kita kalau kita saling berjumpa di akhirat!”

Dalam ucapan ini terkandung kasih sayang yang amat besar, suara nenek itu terdengar merdu dan penuh getaran kasih, membuat Han Han menjadi makin terharu hatinya. Setelah surat-surat yang terbakar itu habis menjadi abu, nenek itu mengibaskan tangannya dan abu surat itu melayang keluar pondok, sehingga lantai itu kini bersih, sedikit pun tidak ada bekas-bekas surat yang dibakar. Nenek itu lalu memandang Han Han yang masih berlutut, suaranya kembali terdengar dingin.

“Siapa tadi namamu?”

Han Han masih merasa tegang dan heran mendengar betapa nenek itu menyebut nama si penulis surat sebagai “Kanda Han”, nama yang sama benar dengan namanya sungguhpun kemudian sebutan-sebutan lain membuat ia tahu bahwa laki-laki penulis surat itu tentulah suheng dari nenek ini yang bernama Han Ki. Maka ia lalu menjawab.

“Nama saya Sie Han, locianpwe.”

“Hemmm, benar namamu itu yang tadi mendatangkan rasa benci di hatiku dan membuat aku ingin membunuhmu. Akan tetapi sekarang tidak lagi, aku tidak membenci nama Han. Tidak! Eh, orang muda, sungguh keadaanmu mengherankan hatiku. Engkau sudah menemukan Pulau Es, mempelajari ilmu di sana sehingga tenaga sin-kangmu luar biasa sekali. Kemudian engkau membawa surat-surat itu yang memang ditujukan kepadaku dan.... dan kakimu juga buntung. Siapa yang membuntungi kakimu?”

“Yang membuntungi adalah Toat-beng Ciu-sian-li....”

“Wah-wah! Bu Ci Goat perempuan tak tahu malu itu? Hemmm, mengapa?”

Karena maklum bahwa wanita tua yang menjadi seorang di antara penghuni Pulau Es ini adalah seorang yang amat sakti, maka Han Han tidak berani berbohong!

“Dahulu, di waktu masih kecil, saya pernah menjadi muridnya dan karena saya tidak senang, melarikan diri darinya, setelah berjumpa kembali saya lalu dihukum potong kaki.”

“Bu Ci Goat sungguh tak tahu diri! Tidakkah dia tahu bahwa engkau telah menjadi ahli waris Pulau Es?”

Han Han yang tidak mengerti, apa hubungannya nenek ini dengan Toat-beng Ciu-sian-li yang disebut Bu Ci Goat itu, mengangguk.

“Sudah tahu bahwa engkau telah menjadi murid kami bertiga, masih dia berani mengganggu? Apakah engkau kalah olehnya?” Nenek itu membentak, agaknya penasaran dan marah.

Mendengar itu, giranglah hati Han Han. Kiranya nenek yang aneh ini telah menganggapnya sebagai murid! Jelas bahwa nenek itu tidak mempunyai niat buruk terhadap dirinya, maka ia cepat berkata.

“Teecu (Murid) melawan sekuatnya, akan tetapi selain Toat-beng Ciu-sian-li amat lihai, juga Kang-thouw-kwi Gak Liat membantunya sehingga teecu tertawan dan kaki teecu dibuntungi oleh Toat-beng Ciu-sian-li.”

“Biar dikeroyok dengan Si Setan Botak sekalipun, sebagai murid Istana Pulau Es, amat memalukan kalau engkau sampai kalah!” Nenek itu berkata penasaran.

“Maafkan atas kebodohan teecu, locianpwe. Teecu telah beruntung sekali menemukan kitab-kitab rahasia Pulau Es dan mempelajarinya, akan tetapi karena teecu tidak menerima petunjuk langsung dari locianpwe bertiga, bagaimana teecu dapat mewarisi ilmu kepandaian tinggi? Mohon petunjuk locianpwe.”

Sejenak nenek itu memandang Han Han, kemudian menghela napas panjang.
“Hemmm, setelah menemukan Pulau Es dan mempelajari kitab-kitab di sana, berarti engkau telah menjadi murid kami bertiga. Kemudian engkau dengan setia membawa surat-surat peninggalan suhengku dan menyampaikannya kepadaku, berarti engkau adalah orang sendiri yang patut mendengar riwayat kami. Sekarang kakimu buntung, sama dengan kakiku, padahal selama delapan puluh tahun aku menciptakan ilmu silat yang khusus untuk seorang yang sebelah kakinya buntung, kalau tidak kuajarkan kepadamu, habis kepada siapa lagi?

Akan tetapi sebelum itu engkau sebagai murid tunggal harus mengenal siapakah sebetulnya guru-gurumu, siapakah penghuni-penghuni Pulau Es yang selama ini menjadi rahasia dan tidak dikenal, sungguhpun setiap orang kang-ouw mengharapkan kemurahan penghuni-penghuni Pulau Es untuk mengulurkan tangan memberi satu dua ilmu pukulan kepada mereka. Dari manakah tokoh-tokoh macam Setan Botak mendapatkan Hwi-yang Sin-ciang, Si Muka Kuda mendapatkan Swat-im Sin-ciang kalau tidak dari Pulau Es!”

Han Han terkejut.
“Teecu mendengar mereka itu menerima petunjuk dari seorang manusia dewa bernama Koai-lojin....”

“Dialah suhumu yang pertama, Sie Han. Koai-lojin adalah suhengku, adalah penulis surat-surat yang kau sampaikan kepadaku.”

“Ahhhhh....!” Han Han makin terkejut dan terheran-heran.

“Dengarlah baik-baik, muridku. Akan kuceritakan secara singkat kepadamu rahasia besar itu. Guru kami, manusia dewa Bu Kek Siansu pada akhir kali muncul sebagai manusia, menggembleng kami bertiga di Pulau Es. Hanya tiga orang murid beliau, pertama adalah Kam Han Ki yang menjadi keponakan pendekar sakti Suling Emas. Ke dua adalah seorang puteri suku bangsa Khitan yang cantik jelita bernama Maya, masih keturunan dari Ratu Khitan sendiri. Adapun orang ke tiga yang menjadi murid manusia dewa itu adalah aku sendiri, Khu Siauw Bwee.”

Sampai di sini nenek itu menghela napas dan pandang matanya merenung jauh. Han Han merasa betapa jantungnya berdebar-debar. Nama-nama yang disebutkan itu membuat ia kaget, heran, kagum dan mengkirik karena nama-nama itu pernah ia dengar dari murid-murid Ma-bin Lo-mo, dan dianggap sebagai nama tokoh-tokoh dalam dongeng!

“Kami bertiga menerima gemblengan Bu Kek Siansu guru kami, tidak hanya dalam ilmu silat, melainkan juga ilmu sastra dan ilmu batin. Tentu saja aku tidak dapat menandingi kelihaian suciku Maya, apalagi suhengku Kam Han Ki. Akhirnya tiba saatnya guru kami meninggalkan kami dengan pesan agar kami bertiga meninggalkan Pulau Es dan hidup berpencar, berpisahan karena kalau kami bertiga berkumpul, akan timbul bencana di antara kami, bencana yang ditimbulkan oleh nafsu!”

“Ahhhhh, teecu ingat akan bunyi syair yang diukir pada dinding istana Pulau Es....!”

Tanpa disadarinya Han Han berseru karena memang ia teringat akan syair itu, ditimbulkan oleh ucapan nenek buntung tentang malapetaka yang ditimbulkan nafsu.

“Syair apa? Ketika aku pergi, tidak ada terdapat syair di dinding! Bagaimana bunyinya?”





Tidak ada komentar:

Posting Komentar