FB

FB


Ads

Jumat, 19 Desember 2014

Pendekar Super Sakti Jilid 053

“Bocah buntung, kau tunggulah giliranmu!”

Bentak Toat-beng Ciu-sian-li sambil terkekeh dan tiba-tiba tangan kirinya bergerak. Sinar berkilauan menyambar ke arah Kim Cu dan itu adalah sebuah gelang rantai anting-antingnya yang kini dipergunakan sebagai senjata rahasia yang menyambar dengan kecepatan kilat ke arah gadis itu. Kim Cu memang tidak ingin melawan, maka dia berdiri seperti arca menanti datangnya senjata rahasia yang menyambar ke arah dahinya untuk merenggut nyawanya.

“Kim Cu....!”

Han Han berteriak ketika melihat betapa gadis itu sama sekali tidak berusaha menghindarkan diri dari sambaran senjata itu. Han Han lupa diri dan lupa bahaya, melepaskan tongkatnya dan langsung meloncat ke depan menubruk Kim Cu pada kakinya dengan maksud menghindarkan gadis itu daripada ancaman maut.

“Han Han....!”

“Kim Cu....!”

“Heh-heh-heh, hi-hi-hik!”

Toat-beng Ciu-sian-li terkekeh ketika melihat tubuh kedua orang muda itu tergelincir ke bibir jurang! Han Han memang berhasil menyelamatkan Kim Cu dari sambaran senjata rahasia, akan tetapi ia membawa Kim Cu bersama-sama terjerumus ke dalam jurang yang tak tampak dasarnya!

Perlahan-lahan Toat-beng Ciu-sian-li melangkah ke pinggir jurang, menjenguk ke bawah lalu tertawa lagi, akan tetapi suara ketawanya kecewa.

“Sayang...., kalau dia bisa membawaku ke Pulau Es!”

Nenek ini lalu berjalan keluar dari terowongan itu, sedikit pun tidak memikirkan lagi keadaan Han Han dan Kim Cu yang dianggapnya tentu akan hancur lebur tubuhnya terbanting pada dasar jurang yang sedemikian curamnya.

Biarpun Toat-beng Ciu-sian-li seorang nenek yang amat lihai dan pengalaman hidupnya sudah seratus tahun, namun ia sungguh lancang kalau berani menentukan mati hidup manusia.

Hidup dan matinya manusia berada sepenuhnya di tangan Tuhan. Kalau Tuhan menentukan seseorang harus hidup, biar dia dihujani selaksa batang anak panah, ada saja sebabnya yang membuat ia lolos dari bahaya maut. Sebaliknya kalau Tuhan menghendaki seseorang harus mati, biar dia bersembunyi di lubang semut, tetap saja maut akan datang menjemput tanpa dapat dihindarkan lagi.

Kim Cu sudah hampir pingsan ketika tubuhnya meluncur ke bawah. Tenaga luncuran itu sedemikian kuatnya sehingga tidak mungkin mempergunakan gin-kang dan kepalanya menjadi pening, napasnya seperti terhenti. Masih dapat dilihatnya bayangan tubuh Han Han berkelebat mendahuluinya karena tubuh Han Han yang lebih berat itu lebih cepat lagi tenaga luncurannya, apalagi Han Han terdorong oleh tenaga loncatannya ketika menolongnya tadi. Teringat akan Han Han, Kim Cu menjadi sadar kembali dan ia menjerit panjang,

“Han Han....!”

Seakan-akan tidak akan ada akhirnya tubuhnya meluncur ke bawah dan Kim Cu yang sudah setengah pingsan itu terheran apakah dia tidak sudah mati dan kini yang melayang-layang turun itu adalah nyawanya? Terbayang dalam otaknya akan dongeng yang pernah didengarnya bahwa sorga letaknya di atas, sedangkan neraka di bawah. Kalau begitu, apakah nyawanya sedang melayang menuju ke neraka? Ia merasa ngeri, akan tetapi ia teringat akan Han Han. Kalau di neraka ia akan bertemu dan berkumpul dengan Han Han biarlah ia menuju ke neraka!

“Byurrrrr....!” Kim Cu merasa seolah-olah tubuhnya remuk dan ia tidak ingat apa-apa lagi!

Tiga hari tiga malam kemudian, pada pagi harinya, Kim Cu membuka mata. Tubuhnya masih terasa nyeri semua, akan tetapi ia dapat menggerakkan kaki tanganya dan membuka matanya.

“Omitohud...., Nona sudah sadar....? Omitohud, syukurlah,”

Terdengar suara halus. Kim Cu menoleh ke kiri dan melihat seorang nikouw yang kepalanya gundul kelimis, sikapnya halus, mukanya menyinarkan kebahagiaan batin, tersenyum memandangnya. Nikouw ini usianya tidak akan kurang dari enam puluh tahun, namun wajahnya halus dan merah penuh kesehatan dan ada sesuatu dalam gerak-gerik nikouw ini yang membuat ia tampak seperti seorang dewi.

“Siankouw.... seorang dewi penjaga hukuman di neraka?”

Tanya Kim Cu yang masih menduga bahwa dia kini telah berada dalam neraka, sungguhpun ia heran mengapa neraka begini bersih dan enak, dalam sebuah kamar yang bersih dan dia rebah diatas dipan yang bertilam putih bersih pula.

“Omitohud....! Memang dunia ini neraka bagi yang belum sadar, anakku, akan tetapi sorga bagi yang telah sadar. Engkau masih hidup, Nona. Thian belum menghendaki engkau mati.”

Serentak Kim Cu bangkit duduk dan tidak memperhatikan tubuhnya yang nyeri semua rasanya.
“Aku masih hidup? Han Han.... di mana dia....? Han Han....!” Ia menjerit, memanggil nama itu.






Nikouw itu bangkit berdiri mendekatinya dan menaruhkan tangannya yang halus di pundak Kim Cu.

“Tenangkan hatimu, Nona. Engkau belum sembuh benar, tidak baik banyak bergerak. Berbaringlah kembali.”

Suara itu halus sekali, namun mengandung wibawa yang tak mungkin dapat dibantah sehingga Kim Cu merebahkan tubuhnya lagi di atas dipan.

“Akan tetapi.... tolonglah beri tahu, subo. Di mana Han Han?”

“Han Han siapakah yang Nona maksudkan?”

“Han Han.... temanku. Kami berdua jatuh dari atas, dan kalau aku masih hidup dia tentu hidup pula. Ah, di mana dia?”

Nikouw itu menggeleng-geleng kepalanya.
“Sukar dipercaya ada orang yang jatuh dari atas tebing gunung itu masih dapat hidup seperti engkau, Nona. Engkau telah berada di sini tiga hari tiga malam, pingsan. Dan pinni (aku) tidak pernah mendengar tentang temanmu yang bernama Han Han itu....”

“Tiga hari tiga malam? Dan Han Han tidak ada? Ah, mana mungkin? Subo, tolong ceritakan, apakah yang sesungguhnya telah terjadi?”

“Nona, sebaiknya kau ceritakan dulu kepada pinni bagaimana engkau tiba-tiba saja jatuh dari atas, seperti dari langit saja.”

Kalau dia masih hidup, lebih baik dia tidak bercerita tentang dirinya, karena kalau hati ini terdengar oleh Toat-beng Ciu-sian-li, tentu nenek itu akan mencarinya, demikian pikirnya.

“Kami.... aku dan temanku ikut berjalan di atas tebing, dan aku tergelincir, dia berusaha menolongku dan kami terjerumus ke bawah. Aku tidak ingat apa-apa lagi. Subo, ceritakanlah bagaimana aku dapat berada disini.”

Dengan sabar nikouw itu mengambil sebuah mangkok dari atas meja.
“Kau minumlah obat ini dulu, Nona. Minumlah.”

Karena maklum bahwa ia ditolong oleh nikouw ini, maka tanpa membantah Kim Cu minum obat yang pahit rasanya itu sampai habis, kemudian ia rebah kembali, siap mendengarkan cerita nikouw tua yang ramah dan amat halus tutur sapanya itu.

“Menurut nalar orang yang jatuh dari tempat setinggi itu tentu mati. Akan tetapi agaknya Thian menghendaki lain. Engkau jatuh ke dalam Sungai Hek-ho yang mengalir tepat di bawah tebing itu menuju ke timur, masuk ke saluran besar. Sungai itu di bagian bawah tebing amat deras alirannya, dan banyak mengandung batu-batu karang menonjol di permukaan dan di bawah permukaan air.

Akan tetapi, omitohud.... engkau agaknya jatuh di bagian yang dalam sehingga tidak terluka. Dan lebih kebetulan sekali seperti telah diatur oleh tangan Thian sendiri ketika tubuhmu yang pingsan itu timbul ke permukaan air, dari jauh kelihatan oleh perahu nelayan yang sedang mencari ikan. Engkau mereka tolong dan melihat engkau seorang wanita, mereka lalu membawamu ke sini. Pinni adalah ketua dari Kwan-im-bio di sini bersama tujuh orang nikouw lain, dan karena pinni sedikit-sedikit mengerti ilmu pengobatan, maka pinni cepat mengobatimu. Syukurlah, atas kemurahan Thian, engkau selamat.”

“Akan tetapi temanku itu bagaimana dia? Di mana dia?”

Nikouw itu menghela napas.
“Kalau dia jatuh bersamamu dan masih hidup tentu telah ditolong pula oleh para nelayan. Akan tetapi tak seorang pun melihatnya dan seperti kukatakan tadi, tempat itu banyak mengandung batu karang. Kalau jatuhnya menimpa batu karang, atau seperti engkau pingsan lalu hanyut oleh air yang sedemikian derasnya.... hemmm.... agaknya tidak ada harapan lagi baginya.”

“Tidak.... Tidaaakkkk....!” Kim Cu menjerit dan bangkit duduk, matanya terbelalak memandang ke kanan kiri. “Tidak boleh dia mati aku masih hidup! Nikouw tua yang mulia, aku harus mencari dia!”

Dari pintu kamar yang terbuka itu muncul tujuh orang nikouw, yang lima sudah berusia lima puluhan tahun, yang dua masih muda, kurang lebih tiga puluh tahun. Sikap mereka juga halus-halus dan wajah mereka membayangkan ketenangan. Melihat Kim Cu hendak turun, para nikouw yang tadi mendengar jeritan gadis itu mendekati dipan dan hendak mencegahnya, mengira bahwa gadis ini menjadi bingung karena kecelakaan hebat itu.

Nikouw tua mengangkat tangan mencegah mereka, lalu memegang tangan Kim Cu dan berkata,

“Engkau hendak mencari temanmu itu, Nona? Baiklah, boleh saja dan mari pinni menemanimu ketepi sungai.”

Kim Cu berjalan dengan tubuh menggigil dan masih lemah sekali. Akan tetapi nikouw tua yang baik hati itu menggandengnya dan pergilah mereka berdua keluar dari kelenteng kecil itu, diikuti pandang mata tujuh orang nikouw yang menggerakkan pundak masing-masing, hati mereka penuh iba terhadap KimCu.

Dengan hati yang tidak karuan rasanya Kim Cu bersama nikouw tua itu menuju ke pinggir sungai. Ngeri hatinya melihat sungai yang benar-benar amat deras airnya, lebih ngeri menyaksikan batu-batu yang runcing tajam menonjol di seluruh permukaan sungai, akan tetapi ia benar-benar mengkirik (meremang bulu tengkuknya) ketika berdongak ke atas melihat tebing yang amat tinggi yang puncaknya tertutup mega. Dari tempat setinggi itu dia jatuh! Kim Cu mengeluarkan seruan tertahan dan kedua pundaknya menggigil.

“Percayakah engkau kini bahwa hanya tangan Tuhan saja yang mampu menyelamatkan engkau, Nona? Tentang nasib temanmu itu, benar-benar pinni meragukan keselamatannya.”

“Tidak, kalau aku selamat, dia harus selamat, suthai! Tolong panggil para nelayan.”

Nikouw itu bertepuk tangan, lalu menggapai ke arah seorang nelayan yang sedang menjemur jala di tepi sungai. Nelayan itu menengok dan cepat berlari menghampiri. Melihat Kim Cu, ia memandang dengan muka berseri.

“Ah, inikah Nona yang jatuh dari langit itu, Sian-kouw? Sungguh beruntung, dia dapat tertolong dan kembali terbukti kelihaian Sian-kouw mengobati orang.” Ia membungkuk-bungkuk, sikapnya kasar sederhana.

Kim Cu berkata,
“Lopek, aku berterima kasih sekali kepada para nelayan yang telah menolongku. Sekarang aku mohon kepada kalian untuk mencari temanku.”

“Temanmu, Nona? Temanmu yang mana?”

Kim Cu menahan mulutnya yang hendak menyebut nama Han Han ketika teringat bahwa nama itu takkan ada artinya bagi si nelayan.

“Temanku, seorang pemuda yang ikut pula terjerumus dari tebing atas bersamaku.”

“Heh....?” Nelayan itu terkejut. “Masih ada lagi yang jatuh dari langit?”

“A-liuk, harap kau panggil berkumpul para nelayan ke sini.”

“Baik, Sian-kouw!”

Nelayan itu lalu berlari menuju ke dusun di mana tinggal para nelayan, tidak jauh dari Kuil Kwan-im-bio yang terletak di ujung dusun. Tak lama kemudian di situ telah berkumpul dua puluh orang lebih nelayan-nelayan yang sederhana. Mereka semua, seperti A-liuk, merasa girang melihat Kim Cu selamat dan merasa kagum akan kepandaian nikouw yang mengobati Kim Cu.

“Paman sekalian, selain bersyukur dan amat berterima kasih kepada paman sekalian, saya minta tolong sukalah paman menceritakan teman saya yang pada hari dan saat itu jatuh pula dari atas.”

“Kami tidak melihat ada orang lain!” terdengar suara mereka riuh rendah bicara sendiri dan saling bertanya sendiri.

“Mungkin paman semua tidak ada yang melihatnya. Akan tetapi karena aku selamat, kiranya dia pun selamat. Harap paman suka menggunakan perahu dan mencari di sekeliling pantai dan di seberang kalau-kalau ia terdampar dan mendarat di suatu tempat dalam keadaan terluka.”

“Kalian penuhi permintaannya. Kasihan temannya itu kalau memang benar dia selamat.”

“Baik, Sian-kouw,”jawab mereka serempak.

“Tunggu dulu, paman-paman yang baik!”

Kim Cu berkata ketika melihat mereka hendak pergi melaksanakan permintaannya. Ia meloloskan delapan buah gelang emas, satu-satunya perhiasan yang berada di tubuhnya, dan menyerahkan gelang-gelang emas itu kepada mereka.

“Aku hanya mempunyai gelang-gelang ini, harap paman sekalian membaginya sebagai hadiah dariku atas pertolongan kalian mencarikan temanku.”

Akan tetapi tidak ada seorang pun diantara mereka yang menerima pemberian ini. Seorang nelayan tua lalu berkata,

“Nona, hadiah adalah pernyataan hati girang dan untuk membalas jasa. Teman Nona belum diketemukan, bahkan kami belum mencarinya, bagaimana kami dapat menerima hadiah darimu? Kalau kami begitu loba, tentu Sian-kouw takkan mendoakan rejeki kami dan tentu ikan-ikan pada lari bersembunyi dari jala dan kail kami.”

Setelah berkata demikian, semua nelayan itu bubar, meninggalkan Kim Cu yang masih memegangi gelang-gelangnya dengan melongo.

Nikouw tua itu tersenyum menyaksikan keheranan Kim Cu.
“Mereka adalah nelayan-nelayan desa yang polos, jujur dan bersih, Nona. Dan jangan sekali-kali menganggap mereka bodoh seperti pendapat orang kota. Orang kota menilai kepintaran berdasarkan akal, yang banyak akalnya dikatakan pintar, padahal akal itu hanya mereka gunakan untuk akal-akalan, saling mengakali dan menipu. Orang-orang yang tidak tahu akan akal-akal macam itu adalah sepintar-pintarnya orang.”

Selama seminggu lebih, setiap hari para nelayan mencari jejak atau tanda-tanda Han Han, namun mereka selalu kembali dengan tangan hampa, membuat hati Kim Cu yang menanti terus di tepi sungai menjadi makin hampa.

Dua minggu kemudian, para nelayan menyatakan keyakinannya bahwa kalau pemuda itu benar terjatuh dari atas seperti halnya Kim Cu, tentu tubuh pemuda itu menimpa batu dan hancur lebur, atau tenggelam dan mungkin juga hanyut oleh air sungai yang amat deras. Mereka tidak mencari lagi.

Kim Cu tidak mau kembali ke kuil. Selama menanti para nelayan yang mencari-cari, dia selalu ditemani oleh nikouw tua atau kadang-kadang ditemani seorang di antara para nikouw secara bergilir. Makan dan minum pun hampir dipaksa oleh para nikouw, baru Kim Cu mau makan dan minum. Akan tetapi ia tidak pernah kembali ke kuil, tidur pun di tepi sungai!

Ketika para nelayan menghentikan pencariannya, Kim Cu seperti gila. Tidak lagi ia mau makan atau minum, tidak tidur, hanya berdiri atau duduk ditepi sungai, wajahnya makin kurus dan pucat, rambutnya kusut dan matanya sipit dan bengkak karena terlalu banyak menangis sehingga air matanya kering!

Beberapa hari kemudian, para nikouw terpaksa menggotong tubuhnya yang menggeletak pingsan di tepi sungai, dibawa kembali ke kuil. Kembali nikouw tua itu yang sibuk mencekokkan obat ke mulutnya sampai ia siuman kembali dan dipaksa makan bubur atau obat.

“Mengapa engkau menyiksa hatimu sampai sedemikian rupa, Nona? Dicari lagi pun percuma, agaknya temanmu itu sudah tewas.”

“Kalau dia mati, aku pun akan mati!” kata Kim Cu dan ia menangis sesenggukan. “Suthai, biarkan aku mati....!” Ia terisak-isak.

“Engkau keliru, Nona. Andaikata temanmu itu mati, matinya adalah karena kehendak Tuhan. Kalau engkau memaksa ingin mati, matimu adalah mati paksaan dan amatlah tidak baik mati seperti itu, Nona.”

“Suthai, kalau Han Han mati, apa gunanya lagi aku hidup?”

Nikouw itu mengangguk-angguk dan mengelus-elus rambut gadis itu.
“Nona, engkau tentu amat mencinta pemuda itu, bukan?”

Mendengar suara yang masih tenang akan tetapi menggetar penuh rasa iba dan haru ini, Kim Cu memandang dengan mata basah.

“Benar, suthai. Aku mencintanya. Dia satu-satunya orang di dunia ini yang kumiliki.”

“Kalau begitu, engkau harus hidup, Nona. Kalau engkau mati, engkau takkan dapat berguna untuk dia. Akan tetapi kalau engkau hidup, tidak hanya engkau akan dapat berguna bagi orang yang kau cinta, akan tetapi engkau malah akan dapat berguna bagi semua orang dan dunia.”

Kim Cu memeluk nikouw itu dan berkata,
“Ah, suthai. Benarkah itu? Benarkah aku akan dapat berguna, berguna bagi Han Han biarpun dia sudah mati?”

Nikouw itu mengusap air mata dari kedua pipi Kim Cu dan di dalam hatinya ia pun mengusap air matanya sendiri yang mengucur di hatinya, matanya dikejap-kejapkan untuk menahan panasnya keharuan yang mendorong air mata, mulutnya tersenyum untuk menekan keharuan hati, dan kepalanya mengangguk-angguk untuk mengganti kegaguannya untuk sementara. Setelah keharuannya reda dan ia yakin suaranya tidak menggetar, nikouw itu berkata.

“Tentu saja, anakku yang baik. Kalau engkau menghambakan dirimu kepada kebajikan, menjadi murid Kwan Im Pouwsat, menjadi seperti pinni, engkau akan dapat berguna sekali bagi temanmu itu.”

“Menjadi.... nikouw....?”

Nikouw tua itu mengangguk-angguk.
“Tidak langsung sekarang, terserah kepadamu. Kau pelajarilah dahulu kebajikan-kebajikan dari Kwan Im Pouwsat, kelak engkau boleh menentukan sendiri apakah suka menjadi nikouw atau tidak. Akan tetapi, setidaknya engkau sudah akan lebih tahu akan arti hidup, dan engkau dapat berdoa setiap saat untuk temanmu itu sehingga andaikata dia sudah mati, semoga ia akan mendapatkan tempat yang layak dan damai, sebaliknya kalau masih hidup, semoga dia hidup bahagia. Bukankah dengan demikian engkau akan berguna baginya? Dan berguna pula bagi orang lain....”

Kim Cu kembali menubruk dam memeluk nikouw itu sambil menangis, kemudian ia melorot turun dan berlutut di depan nikouw itu.

“Teecu,KimCu, mohon petunjuk dari subo....”

Demikianlah, mulai hari itu Kim Cu menjadi murid Thian Sim Nikouw dan mempelajari pelajaran kebatinan yang berpusat pada penyembahan Kwan Im Pouwsat. Akan tetapi, nasib malang masih mengharuskan Kim Cu mengalami banyak penderitaan hidup. Enam bulan sejak ia tinggal di situ, pada musim hujan, air Sungai Hek-ho meluap dan terjadi banjir besar yang menghanyutkan dusun itu, termasuk Kwan-im-bio.

Para nikouw dan Kim Cu terpaksa mengungsi setelah mereka semua memberi pertolongan kepada para korban banjir. Dalam pekerjaan inilah, yang dipimpin Thian Sim Nikouw, Kim Cu merasa betapa hidupnya amat berguna bagi orang lain, yang nyata dan dapat dirasainya.

Ia makin tekun belajar dan makin lama ia mendapat ketenangan batin sehingga ketika semua pindah ke utara, ke sebuah lereng bukit dan mendirikan kuil kecil sederhana di sana, Kim Cu mengambil keputusan menggunduli rambutnya dan masuk menjadi nikouw!

Oleh gurunya ia diberi nama Kim-sim Nikouw (Pendeta Wanita Berhati Emas). Ia telah mendapat ketenangan dan kebahagiaan batin, dan rasa rindunya yang kadang-kadang muncul terhadap Han Han, ia tekan dengan doa-doa bagi keselamatan pemuda itu, baik di dunia maupun di akherat.

**** 52 ****





Tidak ada komentar:

Posting Komentar