FB

FB


Ads

Jumat, 19 Desember 2014

Pendekar Super Sakti Jilid 052

Kita tinggalkan dulu Lulu yang ditolong oleh para pengemis dan dibawa pergi untuk dirawat luka-lukanya dan mari kita mengikuti pengalaman Han Han bersama Kim Cu. Telah diceritakan di bagian depan betapa kedua orang muda itu diajak pergi oleh Toat-beng Ciu-sian-li menuruni Puncak In-kok-san.

Agaknya nenek yang memiliki watak sadis ini sengaja membawa Han Han dan Kim Cu melalui lereng-lereng gunung yang terjal dan sukar. Tentu saja Han Han yang baru saja buntung kakinya dan masih lemah, menderita kurang darah dan nyeri, sengsara sekali harus mengikuti nenek itu melalui jalan yang sukar. Ia terpincang-pincang dibantu tongkatnya dan untung di sampingnya ada Kim Cu yang selalu menggandeng dan membantunya apabila melalui jalan yang amat sukar.

Cinta kasih gadis ini yang jelas tampak dalam sikap dan pembelaannya, benar-benar amat mengharukan hati Han Han. Ketika mereka tiba di sebelah hutan, tiba-tiba nenek itu berhenti, menenggak araknya dan menarik napas panjang.

“Aaahhhhh, tidak sangka engkau mati disini....!”

Han Han dan Kim Cu yang juga berhenti, memandang nenek itu dan mengira bahwa tentu nenek itu akan turun tangan membunuh mereka di tempat sunyi itu. Mereka hanya menanti nasib, karena maklum bahwa melawan pun tidak akan ada gunanya.

Akan tetapi di dalam hati dua orang muda itu terkandung tekad yang sama. Han Han mengambil keputusan untuk menggunakan sisa hidupnya ini untuk membela Kim Cu dan kalau nenek itu turun tangan hendak membunuh Kim Cu, ia akan melawannya, biarpun kakinya tinggal satu.

Demikian pula Kim Cu, dia akan membela Han Han kalau hendak dibunuh gurunya dan ia akan melawan gurunya! Tiba-tiba terdengar suara orang bernyanyi! Suara itu halus dan terdengar seperti amat jauh, akan tetapi kata-katanya jelas terdengar oleh mereka bertiga.

“Cinta....!
Betapa besar kekuasaanmu
Menyelimuti seluruh alam mayapada
menunggang angin menyelam air
terkandung dalam api tanah dan kayu
engkaulah penggerak perputaran ngo-heng
engkaulah imbangan Im-yang!
Cinta bertahta dilangit
langit hanya memberi tanpa meminta
nafsu bertahta dibumi
memberi-sedikit akhirnya
minta kembali seluruhnya!”

Mendengar kata-kata dalam nyanyian itu, diam-diam Han Han terkejut. Kata-kata yang luar biasa, dan tidak merupakan pelajaran apa pun juga. Seorang tosukah orang itu? Ataukah seorang hwesio? Agaknya bukan. Kim Cu yang mendengar suara itu pun terheran dan memandang gurunya, jelas bahwa gadis inipun tidak mengenal suara siapa yang bernyanyi itu.

Toat-beng Ciu-sian-li menghentikan langkahnya, memandang ke depan dengan kening berkerut. Sepasang mata nenek ini berkilat dan ia menenggak arak dari gucinya sebelum berkata dengan suara melengking tinggi.

“Bukankah Im-yang Seng-cu di depan itu? Kalau benar, lekas keluar jika ada urusan dengan aku, jangan sembunyi-sembunyi seperti tikus!”

Terdengar suara ketawa dan tiba-tiba muncullah seorang kakek yang wajahnya kelihatan berseri dan bersih karena tidak ada kumis jenggotnya, pakaiannya kuning sederhana namun bersih, kakinya telanjang dan tangan kirinya memegang sebatang tongkat yang gagangnya berbentuk kepala naga.

Han Han terkejut dan girang ketika mendengar disebutnya nama kakek ini, karena ia teringat kepada sahabat-sahabat baik yang dijumpainya di rumah Pek-eng-piauwkiok di kota Kwan-teng, yaitu Wan Sin Kiat dan Lu Soan Li. Maka tanpa disadarinya ia berseru.

“Ah, jadi locianpwe inikah Guru Sin Kiat dan Soan Li?”

Mendengar seruan ini, kakek itu memandang Han Han, kelihatan tercengang dan meneliti Han Han dari atas sampai ke bawah, pandang matanya berhenti pada kaki buntung itu. Akan tetapi mulutnya tidak berkata sesuatu kepada Han Han, bahkan dia lalu menghadapiToat-beng Ciu-sian-li dan berkata.

“Sian-li, apakah selama belasan tahun ini Sian-li baik-baik saja?”

Nenek itu mendengus dan mengerutkan kening, kemudian memandang tajam dan bertanya,

“Im-yang Seng-cu, mau apa engkau berkeliaran di sini?” Nadanya penuh teguran dan jelas bahwa pertemuan ini tidak menyenangkan hatinya.

Im-yang Seng-cu tertawa dan merogoh bajunya, mengeluarkan sebungkus hioswa sambil berkata,

“Kebetulan saja aku bertemu dengan Sian-li di sini dalam perjalananku hendak menjenguk dan menyembahyangi kuburan sahabatku Jai-hwa-sian.”

“Jai-hwa-sian...? Dia.... dia.... Kong-kongku....!”

Han Han berseru, terheran-heran. Benarkah kongkongnya yang berjuluk Jai-hwa-sian telah mati dan kuburannya berada di tempat ini? Ucapan Han Han ini sungguhpun tidak ada artinya bagi Kim Cu, namun ternyata mengejutkan Toat-beng Ciu-sian-li dan Im-yang Seng-cu. Kakek itu kini memandang Toat-beng Ciu-sian-li dan suaranya tidak ramah lagi ketika bertanya.

“Sian-li, apa artinya ini? Kulihat pemuda ini baru saja menderita buntung kakinya dan kalau dia cucu Jai-hwa-siang engkau hendak apakan dia?”

“Im-yang Seng-cu, berani engkau mencampuri urusanku?”

Toat-beng Ciu-sian-li membentak, suara dan pandang matanya mengancam, rantai panjang di kedua telinganya bergerak-gerak seperti hidup.

“Mana berani aku lancang mencampuri urusanmu, Sian-li? Akan tetapi urusan yang menyangkut diri cucu sahabatku Jai-hwa-sian, tidak bisa tidak harus kucampuri. Kalau aku diam saja, aku malu bertemu dengan kuburannya!”

“Im-yang Seng-cu, dengar baik-baik. Aku sama sekali tidak tahu bahwa bocah ini adalah cucunya, dan dia ini adalah muridku yang murtad, melarikan diri dari perguruan maka telah menerima hukuman. Adapun gadis ini juga muridku yang membelanya, maka kini keduanya harus dihukum mati.”

Im-yang Seng-cu memandang Kim Cu dan Han Han bergantian. Pantas saja begitu bertemu dengan Han Han tadi ia tercengang menyaksikan persamaan pemuda itu dengan sahabatnya yang telah tewas. Kiranya bocah ini adalah cucu Jai-hwa-sian! Dan mata kakek ini yang awas dapat pula melihat kenekatan di dalam sikap dua orang muda itu, melihat pula pandang mata penuh cinta kasih. Ia tersenyum dan menjawab.

“Toat-beng Ciu-sian-li, engkau tahu bahwa aku cukup menghormatimu sebagai golongan lebih tua, akan tetapi engkau pun cukup maklum bahwa tak mungkin aku membiarkanmu mengulangi perbuatanmu dahulu terhadap cucu sahabatku Jai-hwa-sian. Eh, bocah berkaki buntung! Siapakah namamu?”

Han Han tidak mengharapkan pertolongan siapapun juga, dia mengaku cucu Jai-hwa-sian tadi pun karena tanpa disadari dan saking kagetnya mendengar disebutnya nama itu. Kini mendengar pertanyaan itu, diam-diam ia tersenyum. Ia dapat mengenal orang dan biarpun kakek ini bertanya secara kasar, namun ia dapat menangkap maksudnya yang baik, maka dengan tenang ia menjawab,

“Namaku Sie Han, locianpwe.”

Toat-beng Ciu-sian-li terkekeh mengejek.
“Dia she Sie dan mengaku cucu Jai-hwa-sian, hi-hi-hik! Im-yang Seng-cu, setua ini engkau mudah tertipu seorang bocah!”






Akan tetapi kakek itu tidak mempedulikan ejekan Toat-beng Ciu-sian-li, dan sambil menatap tajam wajah Han Han, ia bertanya lagi,

“Siapakah nama Jai-hwa-sian yang kau sebut Kong-kongmu itu?”

“Namanya Sie Hoat.”

“Hi-hi-hi, heh-heh! Kebohongan yang dipaksakan, sungguh menggelikan!” kembali nenek itu mengejek, lalu menenggak arak dari gucinya.

“Dan siapa nama Ayahmu?” Im-yang Seng-cu bertanya lagi.

Han Han mengerutkan keningnya. Ia merasa seolah-olah seorang pesakitan yang diperiksa untuk kemudian dijatuhi hukuman, dan seolah-olah ia hendak menggunakan nama Jai-hwa-sian untuk menyelamatkan diri. Biarpun Jai-hwa-sian itu kakeknya seperti yang diceritakan Sie Leng kepadanya, namun ia tidak suka kepada kakeknya yang amat jahat itu. Dia tidak sudi mencoba untuk menolong nyawanya dengan menggunakan nama kakeknya.

“Dengarlah, locianpwe dan juga engkau, Toat-beng Ciu-sian-li. Jangan sekali-kali mengira bahwa aku hendak menggunakan nama Jai-hwa-sian untuk menyelamatkan diri dengan mengaku sebagai cucunya! Aku hanya menceritakan keadaan yang sebenarnya yang juga belum lama kudengar dari Enciku. Ayahku bernama Sie Bun An yang dulu tinggal di kota Kam-chi dan menurut Enciku, Kakekku bernama Sie Hoat berjuluk Jai-hwa-sian. Dan biarpun dia itu Kakekku, aku tidak sudi menyelamatkan diri dengan berlindung dibelakang namanya.”

Im-yang Seng-cu memandang dengan wajah berseri dan mata bersinar, diam-diam ia kagum sekali melihat sikap dan mendengar ucapan Han Han. Teringatlah ia akan sahabatnya itu dan ia menarik napas panjang.

“Tak salah lagi.... tak salah lagi, ia mewarisi kenekatan dan keganasan Keluarga Suma.... akan tetapi mewarisi kekerasan hati dan kegagahan Keluarga Kam....! Sian-li, terpaksa aku menentang kalau engkau hendak membunuh mereka!”

Toat-beng Ciu-sian-li mendengus.
“Hemmm, Im-yang Seng-cu, engkau tidak tahu diri! Andaikata benar Han Han ini cucu Jai-hwa-sian dan ada alasanmu melindunginya, akan tetapi Kim Cu adalah muridku dan kalau aku hendak membunuhnya sebagai muridku sendiri, setan manakah yang berhak mencampuri?”

“Bukan setan, melainkan akulah yang akan menentangmu, Ciu-sian-li!” Tiba-tiba Han Han berkata. “Engkau tidak boleh membunuh Kim Cu. Dia tidak berdosa. Kalau mau bunuh, kau bunuhlah aku dan bebaskan Kim Cu!”

“Kalau subo hendak membunuh Han Han, terpaksa teecu akan menentang dan melawan subo untuk membelanya!” Tiba-tiba Kim Cu juga berseru sambil menggandeng pemuda itu.

Toat-beng Ciu-sian-li kelihatan kaget, mukanya merah sekali dan matanya terbelalak. Sejenak keadaan sunyi dan tegang, kemudian terpecah oleh suara ketawa Im-yang Seng-cu,

“Ha-ha-ha-ha. Cinta, betapa besar kekuasaanmu....!” Tubuhnya bergerak dan ia sudah meloncat di dekat Han Han menghadapi nenek itu, lalu berkata, “Sian-li, apakah engkau masih berkeras dan hendak mencoba-coba melawan kami bertiga?”

Kemarahan Toat-beng Ciu-sian-li memuncak, matanya berkilat menyambar-nyambar ke arah tiga orang itu berganti-ganti. Akan tetapi dia bukanlah seorang bodoh yang hanya menuruti nafsu amarahnya. Tidak, Toat-beng Ciu-sian-li amat cerdik dan otaknya yang sudah masak itu penuh dengan perhitungan.

Ia mengenal siapa adanya Im-yang Seng-cu yang biarpun merupakan tokoh murtad dari Hoa-san-pai, namun memiliki ilmu kepandaian hebat karena tokoh ini memetik banyak sekali ilmu-ilmu silat tinggi dari luar yang ia gabung dengan ilmu silat Hoa-san-pai, sehingga mungkin tingkat kepandaiannya sekarang tidak berada di bawah tingkat supeknya sendiri yaitu Thian Cu Cinjin ketua Hoa-san-pai.

Andaikata ia masih dapat mengatasi Im-yang Seng-cu dan tingkatnya masih menang sedikit, akan tetapi di situ masih ada Kim Cu yang telah mewarisi sebagian besar kepandaiannya, belum dihitung lagi Han Han yang biarpun buntung namun sesungguhnya memiliki kepandaian yang aneh dan luar biasa.

Masih bergidik nenek ini kalau mengingat betapa ketika ia bertanding melawan Han Han di kota raja, pemuda itu dapat “memecah diri” menjadi tiga orang, kepandaian yang hanya ia dengar dalam dongeng saja, seperti yang dimiliki Sun Go Kong, atau Kauw Cee Thian Si Raja Monyet tokoh dalam dongeng See-yu!

Kalau mereka ini maju dan sampai kalah, hal ini benar-benar akan amat memalukan. Kemarahannya dapat ia tekan dengan pertimbangan yang cerdik, dan wajah yang keruh itu tiba-tiba berseri-seri, kemudian terdengar ia menarik napas panjang dan berkata.

“Im-yang Seng-cu, engkau yang penuh dengan muslihat dan akal bulus! Engkau tahu bahwa aku tidak akan pernah mau membunuhmu, mengingat betapa engkau dahulu adalah seorang bocah yang dikasihi mendiang suamiku. Biarlah mengingat akan suamiku, aku memaafkanmu. Tentang bocah yang dua orang ini, hi-hi-hik, aku khawatir apakah? Han Han telah buntung, tiada gunanya dan kalau Kim Cu lebih senang hidup sengsara di sampingnya daripada mati sebagai murid yang berbakti, terserah. Kalau aku menghendaki, kelak mereka akan dapat lari ke manakah? Engkau pun tidak mungkin melindungi mereka selamanya. Hi-hi-hik!”

Setelah berkata demikian, Toat-beng Ciu-sian-li melangkah pergi, rantai panjang di kedua telinganya mengeluarkan bunyi berkerincingan.

Setelah nenek itu pergi, Han Han tidak dapat menahan lagi keinginan tahunya dan ia bertanya,

“Locianpwe, apakah artinya ucapan locianpwe tentang Keluarga Suma dan Keluarga Kam tadi? Dan apakah benar kuburan Kakekku berada disini?”

“Engkau mau tahu? Mari ikut bersamaku.”

Setelah berkata demikian, Kakek itu membalikkan tubuh melangkah pergi menuju ke selatan. Han Han terpincang-pincang dibantu tongkatnya mengikuti dan Kim Cu cepat menggandeng lengan pemuda itu untuk membantunya. Han Han yang merasa sentuhan tangan Kim Cu menoleh.

Mereka berpandangan sejenak dan Han Han melihat betapa sepasang mata gadis itu basah dengan air mata, air mata kebahagiaan bahwa mereka telah bebas daripada bencana! Betapa dengan kasih sayang yang mesra pandang mata gadis itu kepadanya.

Han Han terharu dan sejenak jari tangannya menggenggam tangan gadis itu. Akan tetapi mereka segera melanjutkan langkah agar tidak tertinggal oleh kakek yang berjalan terus tanpa pernah menengok kepada mereka.

Kakek itu keluar dari hutan, melalui pantai sebuah telaga kecil dan memasuki hutan di sebelah telaga. Hutan ini amat sunyi dan kecil, pohon-pohon di situ jarang sekali. Tak lama kemudian tibalah kakek itu di depan sebuah gundukan tanah kuburan, mengeluarkan hio (dupa), menyalakannya dan bersembahyang.

Bungkusan itu hanya terisi tiga batang dupa. Kakek itu mengacungkan dupa menyala di atas tadi, mulutnya berkemak-kemik seolah-olah ia sedang bercakap-cakap dengan bayangan orang yang dikubur di situ, kemudian menancapkan tiga batang dupa berasap itu di atas tanah, di depan batu nisan yang sederhana.

“Inilah kuburan Jai-hwa-sian,”

Katanya sambil melangkah mundur dan berdiri sambil termenung seolah-olah ia hendak merenungkan masa lalu ketika orang yang kini tinggal kuburannya saja itu masih hidup.

Semenjak ia mendengar cerita encinya betapa jahatnya orang yang menjadi kakeknya dan berjuluk Jai-hwa-sian itu sehingga encinya sendiri mengakui bahwa di dalam tubuh mereka mengalir darah orang jahat, Han Han merasa tidak suka kepada kakeknya.

Kini, melihat kuburannya, ia maju menghadapi batu nisan dan karena ia melihat ukiran-ukiran huruf yang sudah hampir tak terbaca pada batu itu, ia lalu duduk di atas tanah depan kuburan. Dengan teliti ia memandang ukiran huruf-huruf itu dan membaca: MAKAM JAI-HWA-SIAN SUMA HOAT.

Berdebar jantung Han Han membaca nama itu. Suma Hoat? Mengapa she-nya Suma, bukan Sie? Teringat ia akan arca di In-kok-san yang harus disembah-sembah para murid In-kok-san, arca guru Ma-bin Lo-mo Siangkoan Lee yang bernama Suma Kiat! Dan teringat pula ia akan dongeng yang dituturkan Kim Cu bahwa sukong mereka itu mempunyai seorang putera yang bernama Suma Hoat dan yang menghilang entah kemana!

Melihat wajah pemuda itu, Kim Cu cepat menghampiri dan ikut membaca tulisan itu. Tiba-tiba gadis itu meloncat mundur dan menoleh kepada Im-yang Seng-cu sambil berkata.

“Ahhh.... ini kuburan supek yang menjadi putera sukong Suma Kiat! Kiranya sudah meninggal dan dikubur disini!”

“Ini bukan kuburan Kakekku. Kakekku she Sie, bukan she Suma!” kata Han Han, penasaran.

Im-yang Seng-cu yang berdiri dengan tongkat di tangan kiri tersenyum, lalu menudingkan telunjuk kanannya kepada Han Han sambil berkata,

“Dan memang sesungguhnya engkau bukan she Sie, melainkan Suma. Engkau bukan Sie Han, akan tetapi Suma Han!”

Wajah Han Han menjadi pucat. Dengan limbung ia bangkit berdiri, dibantu tongkatnya dan memandang kakek itu dengan mata tajam penuh selidik. Diam-diam Im-yang Seng-cu menaruh hati iba kepada pemuda ini.

“Marilah kita duduk dan dengarkan penuturanku, Suma Han.”

Han Han dapat menekan gelora batinnya dan dengan muka masih pucat ia duduk di depan kuburan itu. Kim Cu yang memegang lengan Han Han duduk di sebelahnya sedangkan Im-yang Seng-cu duduk pula di atas batu, menghadapi mereka. Ia menarik napas panjang, mengangguk-angguk dan berkata.

“Benar, engkau adalah Suma Han. Ini adalah kuburan Kakekmu yang bernama Suma Hoat, putera tunggal Suma Kiat yang menjadi Guru Ma-bin Lo-mo Siangkoan Lee. Jadi Suma Kiat adalah Kakek Buyutmu, sedangkan Toat-beng Ciu-sian-li tadi, yang menjadi selir Suma Kiat, adalah Nenek Buyutmu.” Han Han mendengar kata-kata ini seperti dalam mimpi.

“Akan tetapi, locianpwe. Kalau benar aku keturunan Suma, mengapa Ayahku bernama keturunan Sie?” ia membantah, ragu-ragu.

“Hal itu tidak mengherankan dan mudah saja diduga. Suma Hoat, Jai-hwa-sian itu, semoga Tuhan mengampuni sahabatku itu, sungguhpun seorang jantan gagah perkasa, ditakuti lawan, memiliki kelemahan. Ia tidak dapat menahan nafsunya apabila bertemu wanita sehingga banyaklah ia mengganggu wanita, perbuatan sesat yang dilakukannya karena kesadarannya menjadi buta oleh nafsu berahi, sehingga ia dijuluki Jai-hwa-sian. Jangankan wanita biasa penduduk desa, biarpun puteri dalam istana kaisar tentu akan didatanginya kalau hatinya sudah tertarik!

Mungkin sekali, dan hal ini aku tidak meragukan, Ayahmu terlahir dari seorang di antara wanita-wanita yang diganggunya. Karena Kakekmu yang bershe Suma itu banyak dimusuhi orang, dan mungkin karena keluarga Nenekmu tidak suka menggunakan she Suma, maka Ayahmu, putera Suma Hoat, diberi she Sie. Aku yakin akan kebenaran dugaanku ini, melihat betapa wajahmu mirip sekali dengan sahabatku, terutama pandang matamu. Dia tampan, banyak wanita jatuh hati kepadanya, akan tetapi dia hanya mengejar wanita yang menarik hatinya.”

Kakek itu lalu bercerita tentang Jai-hwa-sian Suma Hoat. Menurut Im-yang Seng-cu, Suma Hoat adalah seorang laki-laki yang gagah perkasa dan berilmu tinggi, karena seperti juga Im-yang Seng-cu sendiri, Suma Hoat merupakan seorang petualang dan perantau yang selalu memperdalam ilmu-ilmunya dan tidak segan-segan untuk mencangkok ilmu dari lain cabang.

Mereka bersahabat ketika keduanya berusaha mencari kakek sakti Koai-lojin. Keduanya berhasil bertemu kakek sakti seperti dewa itu dan diberi petunjuk sehingga mereka menjadi makin lihai. Juga mereka berdua sering kali berjuang bahu-membahu menentang kejahatan-kejahatan. Sayang sekali, Suma Hoat tidak dapat mengendalikan nafsu berahinya seperti nafsu-nafsu lain yang sudah dapat ia kendalikan, bahkan ia menjadi hamba nafsu berahi ini yang sering kali menggelapkan pikirannya, membuat ia nekat mendapatkan wanita yang disukanya, baik wanita itu gadis, janda maupun isteri orang!

“Darah Suma yang mewariskan watak seperti itu,” kata pula Im-yang Seng-cu. “Semenjak nenek moyangnya dahulu, Keluarga Suma ini selalu dimusuhi orang-orang gagah di dunia kang-ouw karena watak mereka yang tidak baik, semenjak Pangeran Suma Kong nenek moyangmu. Akan tetapi, di tubuh Kakekmu ini mengalir pula darah keluarga pendekar yang turun-temurun menggemparkan dunia, yaitu Keluarga Kam, keturunan dari Kam Si Ek, seorang Jenderal Kerajaan Hou-han yang gagah perkasa lahir batin dan yang menurunkan pendekar sakti Suling Emas. Engkau masih mempunyai darah Keluarga Kam ini pula, Han Han. Mudah-mudahan saja kalau terjadi pertempuran dalam sanubarimu antara kedua darah keturunan ini, watak Keluarga Kam yang akan menang.”

Han Han tertegun, wajahnya pucat. Cerita ini terlalu hebat baginya. Kini dia tidak merasa heran lagi mengapa kadang-kadang ada dorongan dan rangsangan liar dalam hatinya, apalagi kalau dia mengerahkan sin-kang, seolah-olah ia menjadi buas kalau belum melihat musuh menggeletak tak bernyawa di depan kakinya. Agaknya itulah dorongan watak Suma. Terkutuk!

“Kalau dia begitu jahat, kenapa locianpwe bisa menjadi sahabatnya?”

“Kelemahannya hanya menghadapi wanita, kalau tidak sedang dikuasai nafsu berahinya, dia seorang pendekar yang gagah. Karena itu, sungguhpun banyak pendekar di dunia kang-ouw yang memusuhi, tidak sedikit pula yang menjadi sahabatnya, termasuk aku sendiri.”

Han Han penasaran.
“Kalau begitu banyak sahabat baiknya seperti locianpwe sendiri, mengapa tidak ada yang menasihatinya seperti locianpwe sekarang menasihati saya?”

Im-yang Seng-cu mengerutkan alisnya, tergetar jantungnya ketika ia bertemu pandang dengan pemuda itu. Pandang mata itu! Mata setan! Mata iblis! Belum pernah ia melihat mata orang seperti mata pemuda ini. Celaka, pikirnya, kalau sampai pemuda ini menyeleweng, tentu akan menjadi tokoh dunia yang terjahat di antara semua keturunan Suma yang pernah hidup, pikirnya.

“Siapa berani menasehatinya setelah apa yang ia lakukan terhadap Kian Ti Hosiang yang di waktu itu menjadi tokoh Siauw-lim-pai?”

Han Han teringat akan hwesio tua di Siauw-lim-pai yang amat mengesankan hatinya itu dan segera bertanya,

“Apakah yang telah dilakukannya terhadap hwesio Siauw-lim-pai itu?”

Im-yang Seng-cu menghela napas.
“Waktu itu sungguh ia sedang gelap mata. Kian Ti Hosiang adalah seorang berilmu tinggi, tidak hanya memiliki ilmu silat yang sukar dicari bandingnya, juga memiliki ilmu batin yang amat tinggi. Hwesio itu menemui Jai-hwa-sian yang hendak mengganggu puteri seorang pembesar yang terkenal bijaksana, memberinya wejangan-wejangan. Jai-hwa-sian marah dan menantang hwesio itu. Kian Ti Hosiang mempersilakan ia menyerang asal Jai-hwa-sian berjanji untuk menghentikan perbuatannya yang sesat. Dan Jai-hwa-sian menyerangnya, tanpa ada perlawanan sama sekali dari orang berilmu itu! Kian Ti Hosiang mengorbankan dirinya untuk menyadarkan Jai-hwa-sian dan hwesio itu dipukul sampai lumpuh kedua kakinya!”

“Ahhh....! Keparat! Jahat benar dia!”

Han Han memaki dan mengepal tinjunya. Kiranya, hwesio tua yang mengesankan hatinya itu lumpuh kedua kakinya karena dipukul kakeknya sendiri, sengaja mengorbankan diri untuk menyadarkan kesesatan kakeknya yang jahat!

“Hemmm, dia adalah Kakekmu sendiri!” Im-yang Seng-cu memperingatkan sambil mengerutkan keningnya.

“Dia boleh seribu kali Kakekku, akan tetapi kalau dia melakukan perbuatan-perbuatan sesat seperti itu, aku tetap akan mengutuknya!” kata Han Han yang marah sekali. Kemudian ia menggerakkan tongkat di tangannya, memukul ke arah batu nisan.

“Bresssss....!”

Batu nisan itu hancur berkeping-keping terkena pukulan tongkat Han Han. Im-yang Seng-cu terbelalak menyaksikan betapa pemuda itu dengan senjata hanya sebatang ranting dapat menghancurkan batu nisan, padahal ia melihat sendiri bahwa ranting itu hampir tidak menyentuh batu nisan. Jelas bahwa pemuda itu telah menghancurkan batu nisan dengan tenaga sin-kang yang amat luar biasa kuatnya.

“Kenapa engkau merusak nisan Kakekmu sendiri yang kubuat dengan sengaja agar namanya tidak lenyap?” Im-yang Seng-cu bertanya dengan suara dingin. Jelas terdengar dari suaranya bahwa ia marah.

Dengan bersandar pada tongkatnya, Han Han menoleh kepadanya.
“Saya menghaturkan banyak terima kasih atas segala kebaikan locianpwe, juga terhadap kuburan Kakek saya. Akan tetapi nama seperti yang dimiliki Kakek saya perlukah dipertahankan? Hanya akan mendatangkan aib dan noda saja pada keturunannya!”

Suara Han Han terdengar penuh kepahitan ketika ia mengucapkan kata-kata terakhir “keturunannya” itu, ketika ia teringat betapa sesungguhnya ia adalah keturunan seorang yang begitu bejat akhlaknya!

Im-yang Seng-cu juga kelihatan marah.
“Orang muda, engkau sombong! Biarpun Kakekmu tersesat dalam hal kelemahannya terhadap wanita, namun aku sebagai sahabat baiknya maklum betapa dengan susah payah ia melawan pengaruh jahat yang mengalir dalam tubuhnya sebagai darah nenek moyang Suma! Engkaupun hanya seorang manusia yang tentu memiliki kelemahan-kelemahan. Kalau engkau tak dapat memaafkan Kakekmu sendiri, bagaimana engkau akan dapat memaafkan orang lain? Hemmm, hendak kulihat engkau kelak apakah lebih baik daripada Suma Hoat!”

Setelah berkata demikian, Im-yang Seng-cu melesat pergi dan lenyap dari situ. Han Han menghela mapas panjang dan merasa menyesal bahwa guru Sin Kiat itu pun marah kepadanya.

Melihat Han Han termenung dengan wajah keruh, Kim Cu mendekatinya dan menyentuh lengannya.

“Han Han, biar semua orang marah dan tidak suka kepadamu, ingatlah bahwa di sini masih ada aku yang selamanya takkan dapat membencimu....”

Hati Han Han seperti dibetot-betot dan ia memeluk gadis itu yang membenamkan mukanya di dadanya yang masih panas karena kemarahannya tadi. Sampai lama mereka berada dalam keadaan seperti itu, kemudian Kim Cu dapat menguasai hatinya, melepaskan pelukan Han Han dan berkata.

“Marilah kita cepat pergi dari tempat ini.” Bisikannya mengandung perasaan takut.

“Jangan takut, Kim Cu. Kalau sampai gurumu muncul dan hendak mengganggu kita, kita lawan mati-matian.”

“Aku tidak takut, Han Han, hanya aku merasa ngeri kalau harus berpisah denganmu. Marilah kita pergi.”

Dua orang muda itu melanjutkan perjalanan. Biarpun keduanya tidak takut lagi menghadapi ancaman Toat-beng Ciu-sian-li, namun mereka juga bukan orang-orang nekat yang ingin mencari mati. Mereka mengambil jalan melalui hutan-hutan dan mendaki lereng yang tersembunyi agar jangan sampai bertemu dengan nenek itu.

“Han Han, kesehatanmu belum pulih kembali. Kalau kita melanjutkan perjalanan terlalu lama, tentu engkau akan jatuh sakit. Maka, kurasa lebih baik kita mencari tempat persembunyian dan tinggal dulu di tempat itu sampai kesehatanmu pulih. Bagaimana?”

Han Han mengangguk.
“Terserah kepadamu, Kim Cu. Akan tetapi di mana kita mencari tempat yang baik?”

Kim Cu tersenyum. Manis sekali wajahnya setelah kini mereka terlepas dari bahaya dan ia dapat tersenyum dengan hati lapang.

“Kau tahu, dahulu ketika kita mendapat waktu libur dan diperbolehkan pergi untuk beberapa hari, setelah bertemu dengan engkau yang tidak mau kembali, aku lalu pergi mendaki sebuah puncak di antara puncak-puncak pegunungan ini dan bersembunyi di sebuah goa yang amat tersembunyi. Tempat itu indah sekali, goa itu merupakan terowongann yang menjurus ke tepi jurang yang tak berdasar saking tingginya! Tak seorang pun akan datang ke tempat itu.”

“Hemmm, mau apa engkau dahulu bersembunyi di tempat itu?”

Wajah Kim Cu menjadi merah.
“Mau.... menangis....”

Han Han memandang wajah cantik itu dengan mata terbelalak heran.
“Menangis? Menangis saja mengapa mencari tempat yang tersembunyi?”

Kim Cu mengangguk.
“Ya, biar tidak ketahuan orang. Aku kecewa sekali melihat engkau pergi tidak mau kembali, dan aku menangis di sana sampai kedua mataku bengkak-bengkak!”

“Ah.... Kim Cu.... Kim Cu....”

Han Han makin terharu menyaksikan betapa gadis ini sejak dahulu telah jatuh cinta kepadanya. Dan ia pun merasa heran bukan main melihat perubahan dirinya. Mengapa kini ia mudah terharu, mudah berduka? Padahal dahulu ia tidak pernah selemah ini.

Dan ketika ia marah-marah tadi, menghancurkan batu nisan kakeknya tidak timbul kebuasan untuk membinasakan orang. Kemarahannya tadi masih terkendali dan ia menghancurkan batu nisan dengan sadar. Ia menunduk, memandang kakinya yang buntung. Karena kebuntungan kakinya itulah maka terjadi perubahan pada dirinya? Dia tidak tahu.

Melihat pemuda itu memandang kakinya yang buntung, Kim Cu salah menduga dan berkata,

“Jangan khawatir, Han Han. Jalan ke puncak yang kumaksudkan itu memang sukar. Akan tetapi di bagian yang paling sukar, aku bisa menggendongmu!”

Han Han tersenyum.
“Apa kau kira aku anak kecil? Betapapun sukarnya, dengan bantuan tongkatku ini dan dengan bantuanmu, tentu akan dapat kulalui.”

Kim Cu tiba-tiba menari kegirangan mengelilingi Han Han, membuat pemuda itu makin heran.

“Eh, eh, apa-apaan engkau ini? Apa kau sudah gila?”

“Hi-hik, memang aku gila. Gila karena girang melihat perubahanmu. Engkau tidak putus asa lagi dan semangatmu telah bangkit kembali. Bagus! Bukankah hal itu amat menggirangkan hati?”

Han Han memegang kedua tangan gadis itu, tongkatnya ia kempit.
“Kim Cu....” katanya penuh keharuan. “Engkau seorang gadis yang baik sekali. Dengan engkau di sampingku, aku merasa seolah-olah mendapatkan Adikku Lulu yang hilang itu kembali. Memang, aku tidak akan putus asa, Kim Cu. Aku akan membuktikan kepada dunia, kepada Im-yang Seng-cu, dan tokoh-tokoh kang-ouw lainnya bahwa biarpun aku keturunan Keluarga Suma yang terkutuk, akan tetapi aku tidak jahat seperti mereka, dan aku akan membuktikan bahwa seorang buntung, seperti katamu, masih dapat melakukan hal yang berguna bagi manusia dan dunia!”

“Bagus! Dan aku yakin bahwa engkau kelak tentu akan menjadi orang yang amat berguna, jauh melebihi mereka yang kakinya utuh, dan akan dapat membersihkan nama keturunan Suma yang berlepotan noda yang diperbuat oleh nenek moyangmu.”

Han Han mengangguk-angguk.
“Mudah-mudahan, Kim Cu.”

Berangkatlah kedua orang muda itu mendaki puncak yang dimaksudkan Kim Cu. Menjelang malam mereka tiba di goa yang dimaksudkan, sebuah goa yang berada di puncak. Kim Cu membuat obor dari kayu kering dan mereka memasuki goa yang merupakan mulut terowongan itu. Perjalanan itu amat melelahkan, terutama sekali bagi Han Han yang kesehatannya belum pulih sama sekali.

“Sebelum gelap, aku akan keluar mencari daun-daun obat untuk lukamu. Lukamu perlu dicuci, diobati dan diganti kain pembalutnya.”

Han Han mengerutkan kening.
“Eh, aku membuatmu repot sekali, Kim Cu. Daun obat dan air pencuci bisa dicari di puncak, akan tetapi kain pembalut....?”

Kim Cu memandang pakaiannya.
“Pakaianku masih utuh, diambil sedikit-sedikit untuk pembalut masih lebih daripada cukup!”

Han Han hanya menggeleng kepala dan menghela napas melihat gadis itu sambil tertawa sudah berlari keluar goa. Dia duduk bersandar pada dinding goa, diam-diam ia merasa gelisah memikirkan Kim Cu. Gadis itu dengan jelas membuktikan cinta kasihnya yang amat mendalam kepadanya. Ia berhutang budi, dan ia suka sekali kepada Kim Cu. Akan tetapi cinta? Ah, bagaimana kalau dia tidak dapat membalas cintanya?

Dia merasa gelisah kalau-kalau harus membuat gadis itu berduka kelak karena tidak mampu membalas cinta kasihnya yang demikian murni. Pula, dia seorang pemuda buntung, keturunan keluarga jahat. Dia terlalu kotor dan tidak berharga bagi seorang gadis semulia Kim-Cu.

Malam itu Kim Cu datang membawa daun obat, air dan buah-buahan. Dengan tekun di bawah penerangan api unggun, gadis ini membuka balut kaki buntung Han Han, sedikit pun tidak kelihatan jijik, mencuci paha yang buntung, menaruh obat, dan membalutnya lagi menggunakan sabuk suteranya. Setelah selesai, mereka makan buah-buahan lalu mengaso dan tertidur di dekat api unggun.

Sampai jauh malam Han Han tidak dapat tidur. Terlalu banyak hal-hal memenuhi otaknya, dari memikirkan Lulu sampai pengalamannya di Pulau Es, memikirkan keadaan nenek moyangnya, dan akhirnya memikirkan Kim Cu.

Gadis itu tertidur nyenyak sekali di dekat api unggun, tidur miring dengan muka menghadap ke arahnya. Wajah yang cantik itu tampak pucat di bawah sinar api unggun, rambutnya kusut karena tidak disisir. Bibirnya agak terbuka memperlihatkan deretan ujung gigi yang putih.

Han Han mendekati api unggun, menambah kayu kering yang tadi dikumpulkan gadis itu. Sampai hampir pagi barulah Han Han dapat tidur, sambil bersandar pada dinding goa setelah tadi ia duduk bersila dengan kaki yang tinggal satu untuk memulihkan tenaga dan mengatur pernapasannya. Han Han terkejut dan bangun dari tidurnya ketika lengannya diguncang-guncang Kim Cu.

“Han Han....! Han Han.... bangunlah....!”

Han Han memandang gadis itu yang mukanya pucat sekali. Segera kewaspadaannya timbul.

“Ada apakah, Kim Cu?”

“Ada orang di luar.... kulihat bayangannya berkelebat....”

“Hemmm, mengapa bingung. Biarkan saja.”

“Tidak, siapa tahu dia subo! Bayangannya berkelebat cepat sekali. Mari kita sembunyi!”

Gadis itu menarik-narik tangan Han Han. Pemuda ini menurut, bangkit dan jalan terpincang-pincang dengan tongkatnya, tangannya ditarik Kim Cu yang memasuki terowongan. Kiranya matahari telah naik tinggi dan sinarnya menerobos memasuki terowongan itu sehingga keadaan dalam goa tidak terlalu gelap.

Tiba-tiba terdengar suara yang amat mereka kenal, datangnya dari luar goa,
“Hi-hi-hik! Kalian hendak lari kemana? Biar ada Im-yang Seng-cu aku harus mengambil nyawamu, murid murtad!”

“Celaka.... dia subo....!”

Kim Cu berbisik dan menarik tangan Han Han sambil melangkah maju lebih cepat lagi. Tak lama kemudian mereka tiba di ujung terowongan dan Han Han melihat bahwa mereka berada di pinggir sebuah jurang yang amat luas. Ketika ia menjenguk ke bawah, matanya berkunang. Demikian tinggi dan curamnya jurang ini sehingga dasarnya tidak tampak, terhalang oleh embun pagi dan awan!

Mereka berhenti dan membalikkan tubuh memandang ke arah terowongan, menanti munculnya Toat-beng Ciu-sian-li yang tadi mereka dengar suaranya dengan hati berdebar-debar.

Melihat betapa tubuh gadis itu menggigil dan wajahnya pucat sekali, Han Han berkata halus,

“Jangan takut, Kim Cu. Aku akan selalu mendampingimu.”

“Jangan.... jangan mencampuri.... biar aku menghadapi subo,” bisik Kim Cu sambil menjauhkan diri dari pemuda itu.

Dalam terowongan itu sunyi dan secara tiba-tiba, seperti munculnya iblis sendiri tampak tubuh Toat-beng Ciu-sian-li yang tersenyum-senyum mengerikan. Melihat gurunya ini, Kim Cu maklum bahwa biarpun Han Han membantunya, mereka tidak akan menang, dan akhirnya mereka berdua tentu akan tewas. Maka ia cepat berkata.

“Subo, teecu merasa berdosa kepada subo. Kalau teecu mau dihukum, hukumlah. Mau bunuh, bunuhlah. Akan tetapi..... teecu mohon, jangan subo mengganggu Han Han, dia sudah cukup menderita..... bunuhlah teecu saja....”

“Kim Cu....!” Han Han membentak.

“Heh-heh-hi-hik, muridku yang paling kusayang, yang paling banyak kuberi ilmu-ilmuku, kini hendak menentangku sendiri? Murid murtad engkau!”

Toat-beng Ciu-sian-li yang masih tersenyum-senyum menyeramkan itu memandang kepada Kim Cu dengan sinar mata beringas. Kim Cu merasa ngeri hatinya, bulu tengkuknya berdiri dan maklum bahwa tangan maut telah menjangkaunya.

“Toat-beng Ciu-sian-li! Tahan dulu! Jangan kau membunuh Kim Cu!” Han Han membentak marah sambil maju terpincang-pincang.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar