Gegerlah tempat itu. Para penonton lari berserabutan saling tabrak, di antara mereka yang tidak keburu lari menjadi korban hantaman golok anak buah perwira yang seperti biasa dalam keadaan seperti itu memperlihatkan “kegagahannya” menyerang orang-orang yang tidak mampu membalas.
Kini dua belas orang perajurit itu telah menerjang ke panggung. Melihat betapa “pemuda” yang perkasa itu terancam, kakek bersama puterinya cepat maju dengan pedang di tangan membantu. Bahkan kakek itu berseru,
“Siauwhiap (Pendekar Muda), pakailah pedang ini!”
“Untuk melawan penjahat-penjahat keji berkedok tentara ini, perlu apa menggunakan pedang, Lopek?”
Lulu menyambut mereka dengan tendangan-tendangan kilat dan dua orang perajurit pengawal roboh kembali kebawah panggung. Karena maklum bahwa pemuda itu lihai, dua orang perwira segera memutar golok dan menyerang Lulu yang menggunakan kegesitan tubuhnya untuk berkelebat menghindarkan serangan-serangan golok mereka.
Kakek dan puterinya menghadapi pengeroyokan anak buah mereka, sedangkan anak perempuan kecil, cucu kakek itu, berdiri di sudut panggung dengan muka pucat.
Biarpun dalam hal ilmu silat Lulu belum dapat dikatakan seorang ahli, namun dia memiliki sin-kang yang amat kuat sehingga gerakannya cepat luar biasa dan tenaga dalamnya juga sukar dicari tandingannya.
Hujan bacokan dua buah golok di tangan dua orang perwira itu selalu dapat ia elakkan dengan mudah. Dua orang perwira ini sebetulnya memiliki tingkat kepandaian yang tinggi, seperti juga Si Perwira Hidung Bengkok tadi. Kalau saja Si Hidung Bengkok itu tadi tidak memandang rendah Lulu, kiranya dia tidak akan begitu mudah dan cepat dirobohkan oleh Lulu, dan kehilangan hidungnya.
Kakek dan puterinya bersilat dengan ilmu pedang Hoa-san-pai, gerakan mereka cepat dan indah. Dalam waktu beberapa menit saja mereka telah merobohkan dua orang pengeroyok. Lulu akhirnya berhasil pula menendang perut seorang perwira yang segera berjongkok menekan-nekan perutnya yang tiba-tiba menjadi mulas itu. Karena kini ia hanya menghadapi seorang lawan, Lulu dapat mempermainkannya. Sambil mengelak, tangannya menampar dan sudah empat kali ia membuat perwira itu terhuyung-huyung.
Ketika kelima kalinya ia mengelak sambil menyodok, jari tangan kirinya berhasil menyodok tulang iga. Terdengar tulang patah dan tubuh perwira itu terguling, mulutnya berteriak-teriak kesakitan. Lulu kini menyerbu para pengeroyok kakek dan puterinya.
Akan tetapi pada saat itu terdengar teriakan-teriakan ramai dan datanglah sepasukan perajurit Mancu yang jumlahnya tiga puluh orang lebih. Kiranya seorang di antara anak buah perwira-perwira itu tadi cepat lari melapor ke markas ketika menyaksikan betapa fihaknya kewalahan menghadapi pemuda liar dan rombongan tukang silat itu. Melihat datangnya bala bantuan lawan yang besar jumlahnya, kakek itu berkata.
“Siauwhiap, harap melarikan diri saja. Tidak perlu engkau mengorbankan keselamatanmu untuk kami....”
“Eh, omongan apa itu? Apa kau kira aku takut mati, Lopek?”
Kakek itu melongo. Pemuda itu lihai sekali, omongannya kasar dan wataknya ganas. Terpaksa ia tidak membujuk lagi dan kini ia menyambar tubuh cucunya, dikempit dengan lengan kiri sedangkan tangan kanan yang memegang pedang menyambut datangnya para pengeroyok yang lebih banyak itu.
Mereka terkurung dan panggung yang mereka injak bergoyang-goyang, hampir tidak kuat menahan demikian banyaknya orang yang bergerak-gerak dalam pertandingan keroyokan kacau-balau itu.
Tiba-tiba terdengar derap kaki kuda dan belasan orang berpakaian pengemis menyerbu para perajurit dari luar sehingga keadaan pasukan pengeroyok menjadi kacau. Para pengemis ini rata-rata memiliki kepandaian tinggi sehingga ketika menyerbu, banyak fihak tentara Mancu yang roboh.
“Lekas kalian meloncat dan memegang kuda ini!”
Seorang di antara para pengemis itu berseru kepada rombongan tukang silat dan Lulu. Pada saat itu, puteri kakek itu terluka oleh sebuah bacokan di pundaknya dan terhuyung-huyung. Lulu cepat menyambarnya dan membawanya meloncat ke atas punggung seekor kuda yang sudah disiapkan oleh para pengemis.
Kakek itu memondong cucunya, sedangkan mantunya yang patah tulang pundaknya sudah pula membonceng kuda bersama seorang pengemis. Sambil memutar-mutar golok dan pedang, rombongan pengemis ini membuka jalan dan membalapkan kuda meninggalkan kota Tiong-bun ke arah timur dan tak lama kemudian mereka sudah memasuki sebuah hutan.
Atas isyarat pimpinan rombongan pengemis itu, mereka berhenti dan si kepala rombongan yang bertubuh tinggi kurus itu berkata,
“Pasukan besar tentu akan mengejar kita. Sebaiknya rombongan dibagi menjadi tiga untuk menyesatkan mereka. Aku sendiri bersama sahabat-sahabat yang perlu ditolong ini akan menemui pangcu!”
Singkat saja ia bicara dan teman-temannya sudah mengerti semua. Mereka membagi kuda, Lulu duduk di atas seekor kuda bersama anak perempuan kakek itu, kakek itu duduk bersama pengemis tinggi kurus sedangkan anaknya bersama mantunya sekuda. Para pengemis lainnya dipecah menjadi dua rombongan, yang serombongan membelok ke kiri, yang serombongan ke kanan, sedangkan pengemis tinggi kurus bersama keluarga tukang silat dan Lulu melanjutkan perjalanan memasuki hutan.
Belum lama mereka melanjutkan perjalanan, malam telah tiba dan di dalam hutan itu gelap sekali.
“Terpaksa kita harus berhenti dan bermalam di sini. Aku mengetahui sebuah gua yang tersembunyi dan aman di depan. Mari!” kata pengemis kurus itu yang sejak tadi tidak pernah membuka mulut.
Gua itu tersembunyi di balik rumpun alang-alang yang tebal dan tinggi. Mereka lalu turun dari kuda, dan pengemis itu menyembunyikan tiga ekor kuda itu dan agak jauh dari gua, kemudian mereka semua memasuki gua dan tanpa banyak cakap pengemis kurus itu membuat api unggun di dalam gua, mengeluarkan roti kering dan air, mengajak semua orang makan dan minum hidangan yang bersahaja itu.
Setelah makan minum sekedarnya dan melihat betapa suami isteri itu pucat menahan sakit, pengemis tinggi kurus itu bertanya,
“Ji-wi terluka?”
Tukang penjual silat, kakek itu menjawab,
“Mantuku patah tulang pundaknya dan anakku perempuan terluka bacokan, tidak berbahaya akan tetapi tentu saja nyeri.”
“Jangan khawatir, Lopek. Aku membawa obat minum untuk tulang patah. Akan tetapi untuk menyambungnya dengan baik, harus menanti sampai kita bertemu dengan pangcu besok, dia adalah seorang ahli menyambung tulang patah.”
Pengemis kurus itu mengeluarkan bungkusan obat, sebungkus diberikan kepada nyonya itu dan sebungkus lagi kepada suaminya. Suami isteri yang sudah berpengalaman itu menghaturkan terima kasih dan merawat sendiri luka-luka mereka.
Melihat sikap pengemis yang pakaiannya compang-camping, tidak banyak bicara akan tetapi yang menolong rombongan kakek itu dengan sungguh-sungguh, diam-diam Lulu menjadi kagum sekali dan timbul rasa suka di hatinya. Akan tetapi karena dia belum mengenal pengemis itu, tidak tahu dari partai apa, juga sesungguhnya ia sama sekali belum mengenal rombongan kakek yang mengadakan pertunjukan silat, ia diam saja dan hanya mendengarkan.
Kini dua belas orang perajurit itu telah menerjang ke panggung. Melihat betapa “pemuda” yang perkasa itu terancam, kakek bersama puterinya cepat maju dengan pedang di tangan membantu. Bahkan kakek itu berseru,
“Siauwhiap (Pendekar Muda), pakailah pedang ini!”
“Untuk melawan penjahat-penjahat keji berkedok tentara ini, perlu apa menggunakan pedang, Lopek?”
Lulu menyambut mereka dengan tendangan-tendangan kilat dan dua orang perajurit pengawal roboh kembali kebawah panggung. Karena maklum bahwa pemuda itu lihai, dua orang perwira segera memutar golok dan menyerang Lulu yang menggunakan kegesitan tubuhnya untuk berkelebat menghindarkan serangan-serangan golok mereka.
Kakek dan puterinya menghadapi pengeroyokan anak buah mereka, sedangkan anak perempuan kecil, cucu kakek itu, berdiri di sudut panggung dengan muka pucat.
Biarpun dalam hal ilmu silat Lulu belum dapat dikatakan seorang ahli, namun dia memiliki sin-kang yang amat kuat sehingga gerakannya cepat luar biasa dan tenaga dalamnya juga sukar dicari tandingannya.
Hujan bacokan dua buah golok di tangan dua orang perwira itu selalu dapat ia elakkan dengan mudah. Dua orang perwira ini sebetulnya memiliki tingkat kepandaian yang tinggi, seperti juga Si Perwira Hidung Bengkok tadi. Kalau saja Si Hidung Bengkok itu tadi tidak memandang rendah Lulu, kiranya dia tidak akan begitu mudah dan cepat dirobohkan oleh Lulu, dan kehilangan hidungnya.
Kakek dan puterinya bersilat dengan ilmu pedang Hoa-san-pai, gerakan mereka cepat dan indah. Dalam waktu beberapa menit saja mereka telah merobohkan dua orang pengeroyok. Lulu akhirnya berhasil pula menendang perut seorang perwira yang segera berjongkok menekan-nekan perutnya yang tiba-tiba menjadi mulas itu. Karena kini ia hanya menghadapi seorang lawan, Lulu dapat mempermainkannya. Sambil mengelak, tangannya menampar dan sudah empat kali ia membuat perwira itu terhuyung-huyung.
Ketika kelima kalinya ia mengelak sambil menyodok, jari tangan kirinya berhasil menyodok tulang iga. Terdengar tulang patah dan tubuh perwira itu terguling, mulutnya berteriak-teriak kesakitan. Lulu kini menyerbu para pengeroyok kakek dan puterinya.
Akan tetapi pada saat itu terdengar teriakan-teriakan ramai dan datanglah sepasukan perajurit Mancu yang jumlahnya tiga puluh orang lebih. Kiranya seorang di antara anak buah perwira-perwira itu tadi cepat lari melapor ke markas ketika menyaksikan betapa fihaknya kewalahan menghadapi pemuda liar dan rombongan tukang silat itu. Melihat datangnya bala bantuan lawan yang besar jumlahnya, kakek itu berkata.
“Siauwhiap, harap melarikan diri saja. Tidak perlu engkau mengorbankan keselamatanmu untuk kami....”
“Eh, omongan apa itu? Apa kau kira aku takut mati, Lopek?”
Kakek itu melongo. Pemuda itu lihai sekali, omongannya kasar dan wataknya ganas. Terpaksa ia tidak membujuk lagi dan kini ia menyambar tubuh cucunya, dikempit dengan lengan kiri sedangkan tangan kanan yang memegang pedang menyambut datangnya para pengeroyok yang lebih banyak itu.
Mereka terkurung dan panggung yang mereka injak bergoyang-goyang, hampir tidak kuat menahan demikian banyaknya orang yang bergerak-gerak dalam pertandingan keroyokan kacau-balau itu.
Tiba-tiba terdengar derap kaki kuda dan belasan orang berpakaian pengemis menyerbu para perajurit dari luar sehingga keadaan pasukan pengeroyok menjadi kacau. Para pengemis ini rata-rata memiliki kepandaian tinggi sehingga ketika menyerbu, banyak fihak tentara Mancu yang roboh.
“Lekas kalian meloncat dan memegang kuda ini!”
Seorang di antara para pengemis itu berseru kepada rombongan tukang silat dan Lulu. Pada saat itu, puteri kakek itu terluka oleh sebuah bacokan di pundaknya dan terhuyung-huyung. Lulu cepat menyambarnya dan membawanya meloncat ke atas punggung seekor kuda yang sudah disiapkan oleh para pengemis.
Kakek itu memondong cucunya, sedangkan mantunya yang patah tulang pundaknya sudah pula membonceng kuda bersama seorang pengemis. Sambil memutar-mutar golok dan pedang, rombongan pengemis ini membuka jalan dan membalapkan kuda meninggalkan kota Tiong-bun ke arah timur dan tak lama kemudian mereka sudah memasuki sebuah hutan.
Atas isyarat pimpinan rombongan pengemis itu, mereka berhenti dan si kepala rombongan yang bertubuh tinggi kurus itu berkata,
“Pasukan besar tentu akan mengejar kita. Sebaiknya rombongan dibagi menjadi tiga untuk menyesatkan mereka. Aku sendiri bersama sahabat-sahabat yang perlu ditolong ini akan menemui pangcu!”
Singkat saja ia bicara dan teman-temannya sudah mengerti semua. Mereka membagi kuda, Lulu duduk di atas seekor kuda bersama anak perempuan kakek itu, kakek itu duduk bersama pengemis tinggi kurus sedangkan anaknya bersama mantunya sekuda. Para pengemis lainnya dipecah menjadi dua rombongan, yang serombongan membelok ke kiri, yang serombongan ke kanan, sedangkan pengemis tinggi kurus bersama keluarga tukang silat dan Lulu melanjutkan perjalanan memasuki hutan.
Belum lama mereka melanjutkan perjalanan, malam telah tiba dan di dalam hutan itu gelap sekali.
“Terpaksa kita harus berhenti dan bermalam di sini. Aku mengetahui sebuah gua yang tersembunyi dan aman di depan. Mari!” kata pengemis kurus itu yang sejak tadi tidak pernah membuka mulut.
Gua itu tersembunyi di balik rumpun alang-alang yang tebal dan tinggi. Mereka lalu turun dari kuda, dan pengemis itu menyembunyikan tiga ekor kuda itu dan agak jauh dari gua, kemudian mereka semua memasuki gua dan tanpa banyak cakap pengemis kurus itu membuat api unggun di dalam gua, mengeluarkan roti kering dan air, mengajak semua orang makan dan minum hidangan yang bersahaja itu.
Setelah makan minum sekedarnya dan melihat betapa suami isteri itu pucat menahan sakit, pengemis tinggi kurus itu bertanya,
“Ji-wi terluka?”
Tukang penjual silat, kakek itu menjawab,
“Mantuku patah tulang pundaknya dan anakku perempuan terluka bacokan, tidak berbahaya akan tetapi tentu saja nyeri.”
“Jangan khawatir, Lopek. Aku membawa obat minum untuk tulang patah. Akan tetapi untuk menyambungnya dengan baik, harus menanti sampai kita bertemu dengan pangcu besok, dia adalah seorang ahli menyambung tulang patah.”
Pengemis kurus itu mengeluarkan bungkusan obat, sebungkus diberikan kepada nyonya itu dan sebungkus lagi kepada suaminya. Suami isteri yang sudah berpengalaman itu menghaturkan terima kasih dan merawat sendiri luka-luka mereka.
Melihat sikap pengemis yang pakaiannya compang-camping, tidak banyak bicara akan tetapi yang menolong rombongan kakek itu dengan sungguh-sungguh, diam-diam Lulu menjadi kagum sekali dan timbul rasa suka di hatinya. Akan tetapi karena dia belum mengenal pengemis itu, tidak tahu dari partai apa, juga sesungguhnya ia sama sekali belum mengenal rombongan kakek yang mengadakan pertunjukan silat, ia diam saja dan hanya mendengarkan.
“Bagaimana Lopek sampai diserbu gerombolan anjing-anjing Mancu itu?”
Tiba-tiba pengemis itu bertanya tanpa memandang si kakek, dan menambah kayu api unggunnya. Lulu memandang tajam, melihat betapa wajah pengemis itu keruh dan suaranya penuh kebencian ketika menyebut “anjing-anjing Mancu.”
Kakek itu menghela napas panjang dan memangku kepala cucunya, yang kelihatan lelah dan mengantuk itu.
“Ahhh, kami dari keluarga yang amat malang. Kami sedang melakukan perjalanan menyelidik, mencari anakku perempuan ke dua yang dilarikan orang. Karena ada larangan membawa senjata tajam, kami sengaja menyamar sebagai rombongan pertunjukan silat agar leluasa membawa senjata. Siapa kira di kota Tiong-bun hampir saja kami celaka kalau tidak ditolong oleh Siauwhiap ini.”
“Lopek salah sangka. Dia ini adalah seorang Lihiap yang mengagumkan,” kata Si Pengemis dengan tenang tanpa memandang Lulu.
Tentu saja Lulu terkejut sekali dan makin kagum. Pengemis ini benar-benar memiliki mata yang awas! Kakek itu sendiri juga terkejut.
“Lihiap? Seorang dara remaja? Ahhh, hebat.... ah, maafkan mataku yang sudah lamur, Lihiap.”
Tiba-tiba terdengar bisikan nyonya cantik itu kepada suaminya,
“Apa kataku? Dan engkau masih cemburu melihat aku boncengan dengan dia sekuda! Apa kau kira semua laki-laki sejahat perwira Mancu itu?”
“Sssttttt....!”
Suaminya menegur dan mukanya menjadi merah sekali. Lulu menahan hatinya yang geli dan ingin tertawa. Kiranya suami itu menjadi cemburu ketika ia menolong isterinya dan berboncengan diatas kuda! Betapa lucunya!
“Lokai (Pengemis Tua), pandangan matamu awas sekali, sungguh aku kagum!” kata Lulu yang melepas penutup kepalanya.
Rambutnya yang hitam panjang kini terurai dan ia biarkan saja karena ia merasa tidak perlu lagi menyamar setelah rahasianya terbuka.
“Tidak percuma aku merantau di dunia kang-ouw sampai puluhan tahun, Nona. Lopek, harap suka melanjutkan ceritamu. Siapakah yang melarikan puterimu?”
“Siapa lagi kalau bukan anjing Mancu!”
Kembali Lulu terkejut. Hatinya terpukul berkali-kali. Hari ini ia telah menyaksikan kejahatan perwira-perwira Mancu dan anak buahnya, dan kini ia lagi-lagi mendengar akan kejahatan bangsanya. Hatinya tidak enak dan ia memandang api unggun, menutup mulut membuka telinga mendengarkan penuturan kakek itu.
Kakek itu bernama Gak Mong, seorang duda yang tinggal di kota Bwee-hian dekat kota besar Cin-an bersama dua orang puterinya dan seorang mantu serta seorang cucu. Puterinya yang bungsu bernama Gak Siok Ci, seorang dara remaja berusia delapan belas tahun. Pekerjaan kakek ini adalah piauwsu yaitu pengawal barang-barang berharga yang dikirim jauh. Dalam pekerjaan ini, ia dibantu oleh kedua orang puterinya dan seorang mantunya yang kesemuanya memiliki ilmu silat yang lumayan.
Gak Kiong adalah seorang murid luar dari Hoa-san-pai dan karena pergaulannya yang luas ditambah ilmu pedangnya yang lihai, maka sampai bertahun-tahun ia bekerja dengan lancar dan selalu dapat mengawal barang-barang kiriman dengan selamat.
Akan tetapi, malapetakia terjadi ketika pada suatu hari ia mengawal sekereta penuh bahan pakaian menuju ke utara. Ia ditemani oleh seluruh keluarganya karena selain mengawal barang berharga yang membutuhkan pengawalan yang kuat, juga sekalian mengajak keluarganya pesiar ke utara, apalagi pada waktu itu perang telah selesai di bagian ini dan perjalanan cukup aman.
Sekali ini perjalanannya mendapat gangguan, bukan oleh perampok melainkan oleh sepasukan tentara Mancu yang dipimpin seorang perwira bermata satu (mata kirinya buta). Kereta bahan pakaian itu dijadikan rebutan oleh anggauta pasukan.
Tentu saja keluarga Gak ini melakukan perlawanan, namun perwira itu ternyata merupakan perwira kelas satu yang memiliki ilmu golok yang hebat, apalagi dibantu oleh puluhan orang anak buahnya, maka keluarga Gak itu dikalahkan dan terluka, kecuali Gak Siok Ci dara remaja yang cantik jelita itu, yang ditawan dan dibawa pergi oleh si perwira mata satu!
Terpaksa keluarga itu pulang dengan hati penuh kedukaan. Untuk mengganti barang kawalan yang habis itu terpaksa pula Kakek Gak menjual semua rumah, tanah dan barang miliknya, kemudian mereka semua lalu meninggalkan tempat tinggal mereka dan merantau ke utara dengan maksud mencari anak perempuannya yang hilang.
“Sampai berbulan-bulan kami merantau, namun tidak dapat menemukan jejak anakku. Perwira mata satu itu lihai sekali, maka kurasa dia tentu berada di dekat kota raja. Apapun yang terjadi, kami bertekad untuk mencari anakku dan membalas dendam kepada perwira keparat itu!” Kakek Gak mengakhiri penuturunannya sambil mengepal tinju.
“Perwira mata satu? Tinggi besar dan senjatanya golok besar?” Tiba-tiba pengemis itu menepuk pahanya dan berseru, “Jangan-jangan dia itu Twa-to-kwi (Setan golok Besar) Liok Bu Tang....!”
“Serrrrr....!”
Sebatang anak panah menyambar dari luar gua dan Lulu yang bermata tajam cepat menggerakkan tangan menangkap anak panah itu. Pengemis kurus itu memadamkan api unggun dan berbisik,
“Bersembunyi mepet dinding gua....!”
Dari luar gua terdengar suara ketawa bergelak,
“Ha-ha-ha! Jembel busuk Kwat Lee, benar sekali ucapanmu. Twa-to-kwi Liok Bu Tang telah berada di sini. Engkau boleh berjuluk Bueng Sin-kai (Pengemis Sakti Tanpa Bayangan) akan tetapi sekali ini bukan saja bayanganmu juga orangnya, akan menjadi tawananku atau menjadi setan penasaran. Ha-ha-ha! Pemberontak-pemberontak keji, menyerahlah. Gua telah dikepung puluhan orang bala tentaraku!”
Pengemis tinggi kurus yang bernama Kwat Lee itu berbisik,
“Tidak ada pilihan lain. Tinggal di sini berarti mati konyol. Kalau menyerbu keluar, dikeroyok, akan tetapi belum tentu kita mati semua. Masing-masing mencari jalan keluar sendiri, lebih baik seorang dua orang ada yang selamat dan bebas daripada semua mati. Lihiap, kau mengambil jalan kiri. Gak lopek, engkau dan puteri serta mantumu mengambil jalan kanan, kau pondong cucumu. Aku akan mengambil jalan depan!”
Kembali Lulu kagum bukan main. Pengemis ini memilih jalan yang paling berbahaya bagi diri sendiri! Dari luar gua terdengar suara ketawa yang tadi.
“Ha-ha-ha! Engkau ketakutan, jembel busuk? Aku tahu bahwa engkau berada di dalam gua bersama Keluarga Gak. Eh, Gak-piauwsu, engkau dan keluargamu hendak mencari si manis Siok Ci anakmu? Boleh, kalian boleh berjumpa dengan dia di neraka. Dan pemuda hijau yang ikut bersama kalian juga akan mampus. Ha-ha-ha!”
“Aahhhhh, adikku Siok Ci.... engkau.... sudah mati....” Nyonya itu menangis. Ayahnya membentak.
“Dia sudah mati lebih baik! Mengapa engkau menangis? Kita pun menghadapi kematian! Orang gagah tidak menangis menghadapi kematian di tangan musuh!”
Seketika nyonya itu menghentikan tangisnya, mengepal tinju dan berseru,
“Anjing-anjing Mancu, rasakan pembalasanku!”
Lulu kagum sekali. Orang-orang Mancu itu.... ah, ia malu sekali. Mendengar bahwa ia disebut “pemuda hijau”, cepat Lulu menutupi rambut yang digelungnya dengan kain kepalanya, kemudian ia berkata,
“Bu-eng Sin-kai, biarlah aku yang mengambil jalan depan!”
Ucapannya tegas dan sedikit pun tidak membayangkan kegentaran. Pengemis itu di dalam gelap memandang ke arahnya dengan kagum.
“Lihiap, engkau tidak bersenjata?”
“Aku bisa merampas senjata dari mereka.”
“Baiklah, engkau mengambil jalan depan. Aku mengambil jalan kiri bersama mantu Gak-piauwsu yang patah tulang pundaknya. Gak-piauwsu, engkau bersama puterimu dan cucumu mengambil jalan kanan.”
Tiba-tiba keadaan menjadi terang ketika pasukan yang mengepung itu menyalakan banyak sekali obor dan memegang obor di tangan kiri, diangkat tinggi-tinggi sedangkan tangan kanan memegang senjata tajam. Di antara sinar obor, tampaklah perwira tinggi besar yang memegang golok besar pula, matanya yang tinggal sebelah bercahaya mengerikan.
Mereka yang berada di dalam gua sudah siap, Bu-eng Sin-kai sudah memegang senjatanya, yaitu sebatang tongkat bambu kuning yang kedua ujungnya dipasangi baja runcing.
Gak Kiong kakek itu memegang pedangnya di tangan kanan dan cucunya dipondong di lengan kiri. Puterinya juga sudah memegang pedang. Mantunya, yang lumpuh lengan kanannya karena tulang pundaknya patah, memegang pedang dengan tangan kiri, berjongkok dekat dengan Kwat Lee, Si Pengemis Kurus yang berjuluk Bu-eng Sin-kai itu.
“Siap! Kita menyerbu keluar. Satu, dua, tiga....!”
Meloncatlah mereka keluar, Lulu yang memiliki gin-kang istimewa itu melompat paling dulu menerjang ke depan, di tengah-tengah. Sedangkan Bu-eng Sin-kai didampingi mantu Gak-piauwsu menerjang ke kiri. Kakek Gak bersama puterinya menerjang ke kanan.
“Tangkap pemberontak! Bunuh....!”
Terdengar teriakan riuh-rendah dan sinar obor bergerak-gerak menyilaukan mata ketika pasukan itu mengepung dan bergerak ke depan. Karena mendengar cerita Kakek Gak, dan mendengar pula ucapan perwira mata satu, timbul kebencian di hati Lulu terhadap perwira ini.
Maka begitu ia menerjang ke luar dan disambut oleh dua orang tentara Mancu, dengan mudah ia merobohkan mereka dengan pukulan dan tendangan, berhasil merampas sebatang pedang kemudian ia meloncat ke depan perwira yang memegang golok besar itu dan terus menusuk dengan pedang rampasannya ke arah perut yang gendut itu.
“Ha-ha-ha, pemuda hijau berani bertingkah?”
Perwira mata satu itu menggerakkan goloknya dengan pengerahan tenaga dan ia yakin bahwa sekali tangkis, kalau tidak mematahkan pedang lawan sedikitnya ia tentu akan mampu membuat pedang itu terlepas.
“Heh....? Ahhhhh....!”
Ia meloncat ke belakang sambil mengelebatkan goloknya saking kaget karena pedang yang tadi menusuk dan ditangkisnya itu tiba-tiba menyeleweng, mengelakkan tangkisannya dan terus membacok lehernya! Tahulah perwira ini bahwa “pemuda” itu tak boleh dipandang ringan.
“Hemmm, Twa-to-kwi Liok Bu Tang, dumeh matamu cuma satu engkau berani memandang sebelah mata kepadaku?” ejek Lulu yang menerjang terus dengan hebatnya.
Gerakannya memang gesit sekali dan ilmu pedangnya amat indah. Di bawah sinar api obor, pedang rampasannya berubah menjadi gundukan sinar bundar seperti payung yang melayang maju ke arah Liok Bu Tang.
“Setan alas! Kau kira aku takut padamu?”
Biarpun mulutnya berkata demikian dan goloknya diputar cepat untuk menangkis dan balas menyerang, namun kenyataannya perwira ini merasa lega ketika empat orang tangan kanannya, yaitu perwira-perwira rendahan yang menyaksikan pula kelihaian Lulu, maju mengeroyok gadis itu dan membantunya.
Adapun Bu-eng Sin-kai Kwat Lee yang menerjang ke kiri bersama mantu Kakek Gak, juga menghadapi pengeroyokan belasan orang tentara. Kwat Lee dengan tongkat bambunya mengamuk hebat, sebentar saja sudah berhasil merobohkan empat orang pengeroyok.
Adapun mantu Kakek Gak itu biarpun hanya dapat menggunakan tangan kiri, namun ia masih dapat mempertahankan setiap serangan yang dapat ia elakkan atau tangkis. Namun hatinya gelisah dan beberapa kali ia menoleh ke kanan di mana ia melihat isterinya dan ayah mertuanya, yang menggendong puterinya juga dikeroyok banyak orang.
Lulu marah bukan main menghadapi pengeroyokan para perwira Mancu ini. Lenyap sama sekali perasaan tidak enak bahwa ia memusuhi bangsa sendiri dan kini yang terasa di hatinya hanyalah bahwa ia menentang orang-orang yang jahat, membela orang-orang yang benar.
Berkat latihan-latihannya di Pulau Es, gin-kangnya jauh melebihi para pengeroyoknya dan ketika ia mendapat kesempatan, ketika tubuhnya melayang tinggi, dari atas ia menukik ke bawah, pedangnya berbentuk gulungan sinar seperti payung melindungi tubuhnya dan tangan kirinya memukul ke arah seorang pengeroyok dengan pengerahan tenaga sin-kangnya.
“Plakkkkk!”
Orang itu roboh dengan kepala retak dan tewas di saat itu juga. Lulu merasa kecewa bahwa yang tewas itu ternyata bukan Si Mata Satu, karena dari atas tadi ia hanya menyerang pengeroyok terdekat.
“Keparat! Kepung, bunuh!” teriak perwira mata satu dengan marah ketika melihat seorang pembantunya tewas.
Diam-diam ia pun merasa gentar karena tidak menyangka bahwa “pemuda hijau” itu ternyata demikian lihainya. Atas teriakannya ini, dua orang perwira rendahan maju menggantikan seorang yang roboh.
Kini Lulu dikeroyok oleh enam orang termasuk Si Mata Satu! Ia menggertak gigi, memutar pedang dan bergerak seperti halilintar cepatnya dan kembali dua orang telah kena sabetan pedangnya sehingga yang seorang putus lengannya, yang seorang lagi pecah perutnya. Begitu roboh dua orang, pengganti mereka sudah cepat muncul dan kembali Lulu dikeroyok dengan kepungan ketat.
Pengemis kurus Kwat Lee juga mengamuk secara hebat. Empat orang korbannya kini bertambah menjadi delapan orang, kesemuanya perajurit-perajurit Mancu yang sungguhpun tidak selihai para perwira yang mengeroyok Lulu kepandaiannya, namun karena jumlahnya amat banyak, maka ia tidak dapat maju dan akhirnya terhalang oleh tumpukan mayat-mayat lawan yang dirobohkannya.
Pertandingan sudah berjalan hampir dua jam. Mantu Kakek Gak yang menengok lagi ke kanan mengeluarkan teriakan ngeri ketika ia melihat isterinya roboh oleh tusukan tombak dari belakang. Ia tidak mempedulikan lagi larangan Kwat Lee lalu meloncat dan lari menuju ke kanan. Ia melihat isterinya roboh mandi darah dan pada saat ia hendak menubruk isterinya, Kakek Gak berteriak keras dan ketika mantunya menengok, ternyata ayah mertuanya itu roboh bersama-sama puterinya, keduanya menjadi sasaran bacokan banyak golok dan pedang!
Dengan buas laki-laki ini meloncat dan mengamuk dengan pedang di tangan kirinya. Kemarahannya, kesedihan, dan dendam yang meluap-luap membuat gerakan pedangnya berlipat ganda kekuatannya dan berhasil merobohkan tiga orang pengeroyok sebelum ia sendiri roboh dengan tubuh penuh luka. Habislah riwayat keluarga Gak yang gagah perkasa itu!
Kini tinggal Lulu dan Kwat Lee yang melanjutkan perlawanan. Pengemis ini mengerti bahwa keluarga Gak tak dapat ditolong lagi, maka ia cepat menggeser kedudukannya dan akhirnya berhasil mendekati Lulu. Setelah dekat ia berteriak.
“Lihiap! Kita mengadu punggung, saling melindungi!”
Lulu mengerti maksud pengemis itu dan ia pun lalu berdiri membelakangi Kwat Lee dan biarpun punggung mereka tidak sampai bersentuhan, masih terpisah kira-kira satu meter, namun dengan kedudukan mereka itu, tidak ada pengeroyok yang akan dapat menyerang mereka dari belakang sehingga bagi mereka akan lebih dapat melakukan pertahanan yang kuat.
Liok Bu Tang si Mata Satu sudah menjadi marah bukan main. Terlalu banyak ia kehilangan anak buah, dan hasilnya hanya dapat membunuh keluarga Gak yang empat orang jumlahnya, empat orang itu pun yang seorang anak kecil dan seorang lagi sudah patah tulang pundaknya. Sungguh memalukan! Tidak kurang dari lima belas orang anak buahnya tewas.
Si Mata Satu dan perwira rendahan yang tinggal empat lagi, dibantu oleh dua puluh lebih anak buahnya, kini mengurung Lulu dan Kwat Lee. Lebih marah lagi hati Si Mata Satu ketika mendengar pengemis itu menyebut lihiap kepada “pemuda” itu. Hanya seorang gadis remaja! Para pengepung mengangkat senjata, mengurung dan mencari kesempatan baik, atau menunggu komando.
Lulu dan Kwat Lee melintangkan senjata di depan dada, siap melawan mati-matian. Keadaan amat menegangkan. Mata kedua orang yang dikeroyok ini tidak berkedip, memandang para pengurung di bawah sinar obor yang kini dipegang oleh puluhan orang tentara yang tidak ikut mengeroyok, karena tidak kebagian tempat dan hanya berdiri di lingkungan luar dengan obor di tangan kiri dan senjata di tangan kanan.
“Serbu....!”
Si Mata Satu memberi aba-aba seperti kalau biasanya ia memberi komando pasukannya menyerbu barisan musuh.
“Trang-trang-trang-cring-cring....!”
Suara bertemunya senjata nyaring memekakkan telinga dan tampak bunga api muncrat-muncrat disusul teriakan-teriakan orang dan robohnya beberapa orang pengeroyok. Kenbali kedua orang yang gerakannya amat cepat tadi berdiri diam karena para pengeroyok juga diam dan agak menjauh, namun pengurungan tetap ketat. Kembali mereka seperti patung, saling pandang dan menanti kesempatan. Keadaan lebih menegangkan daripada tadi.
“Lihiap, berapa ekor kau robohkan?”
Lulu hampir tertawa. Benar-benar luar biasa sekali pengemis ini. Dikepung seperti itu, terancam maut, masih sempat bertanya yang merupakan kelakar yang menyegarkan untuk mengusir ketegangan.
“Lima.... ekor!” jawabnya, lupa bahwa yang disebut lima ekor itu adalah lima orang perajurit bangsanya.
“Aku hanya empat ekor, kalah satu ekor. Wah, engkau hebat, Lihiap.”
Melihat sikap tenang dan mendengar percakapan mereka, seperti hampir meledak saking marahnya dada Liok Bu Tang. Ia marah sekali dan menganggap anak buahnya tidak becus. Mengeroyok dua orang saja sampai sekali gebrakan roboh sembilan orang!
“Serbu dan serang terus sampai hancur tubuh mereka!” teriaknya sambil memutar golok.
Kembali terdengar suara nyaring bertemunya senjata dan sekali ini pertandingan benar-benar amat hebat. Fihak pengeroyok terlalu banyak dan biarpun sewaktu-waktu si pengemis kurus masih sempat bertanya berapa ekor yang dijatuhkan Lulu, namun jumlah korban mereka makin berkurang dan mereka menjadi lelah sekali.
Berjam-jam mereka dikeroyok dan jumlah lawan tidak pernah berkurang karena begitu ada yang roboh, tentu ada pula yang menggantikannya. Mereka berdua tidak hanya mandi keringat, juga mandi darah, sebagian besar darah lawan, sebagian kecil darah mereka sendiri yang keluar dari luka-luka bekas bacokan senjata para pengeroyok.
Paha kiri Bu-eng Sin-kai Kwat Lee telah terbacok golok Si Matu Satu, hampir mengenai tulangnya, juga dada kanannya somplak dagingnya terkena bacokan pedang. Darah membasahi seluruh dada dan kaki kiri. Akan tetapi pengemis ini tak pernah mengeluh, terus mengamuk dengan tongkat bambunya.
Lulu juga terluka, pundaknya tertusuk mengeluarkan darah dan pangkal pahanya di belakang, di bawah pinggul, kena diserempet pedang sehingga kulitnya terkupas dan mengeluarkan darah pula. Seperti pengemis yang sikapnya amat gagah dan membangkitkan semangat itu, Lulu tidak mau mengeluh dan terus mengamuk.
“Jangan khawatir, Lihiap. Biarpun mati, kita sudah mempunyai banyak pengawal! Kita sudah untung besar!” demikian pengemis itu berkata gembira.
Lulu kagum bukan main.
“Sin-kai, aku akan bangga mati di samping seorang gagah perkasa seperti engkau!” kata Lulu sambil menusukkan pedangnya sampai tembus di dada seorang perajurit.
Akan tetapi ketika ia mencabut podangnya, terdengar suara “krekk” dan pedangnya patah! Ternyata pedangnya itu terselip di tulang iga lawan dan ketika ia cabut, tertekuk dan patah.
Pada saat itu, golok Liok Bu Tang menyambar ganas. Lulu terkejut mendengar desing angin golok dari samping ini. Cepat ia menjatuhkan diri ke atas tanah dan bergulingan sampai jauh, ketika meloncat bangun tangan kanannya menghantam kepala seorang lawan sampai pecah dan tangan kirinya merampas pedang orang itu. Dia telah bersenjata lagi!
“Bukan main! Gerakammu luar biasa indah dan lihainya, Lihiap!”
Bu-eng Sin-kai Kwat Lee memuji akan tetapi ia tidak dapat melanjutkan kata-katanya karena kini ia sudah dihujani serangan dari para pengeroyok yang mengepungnya. Biarpun napasnya sudah terengah-engah, terpaksa ia mengerahkan tenaga dan memutar tongkatnya untuk melindungi dirinya.
Kini keadaan kedua orang gagah ini menjadi lemah karena gerakan Lulu yang menggelundung tadi memisahkan dia dengan Kwat Lee sehingga kini para pengeroyok membuat gerakan mengurung menjadi dua rombongan. Dikurung seperti itu tentu saja lebih berbahaya dan lebih sukar melindungi tubuh, juga membutuhkan pengerahan tenaga lebih banyak untuk memutar senjata ke belakang dan untuk berloncatan.
Saking lelahnya ditambah kehilangan darah, Lulu dan Kwat Lee sudah hampir tidak kuat menggerakkan senjata mereka lagi. Mereka hanya mengandalkan kelincahan mereka yang otomatis, berloncatan ke sana ke sini untuk menghindarkan diri dari senjata lawan yang datang bagaikan hujan.
Melihat keadaan dua orang yang dikeroyok itu, Liok Bu Tang si Mata Satu yang merasa sakit hati dan penasaran, ingin menawan dua orang itu. Ia lalu menerjang dengan golok besarnya, menghantam tongkat di tangan Kwat Lee. Terdengar suara keras dan tongkat pengemis itu mencelat entah ke mana. Tangannya yang sudah kehabisan tenaga tidak mampu lagi mempertahankan hantaman golok yang amat kuat itu.
Liok Bu Tang kini menyerang Lulu dan seperti juga pengemis itu, dalam pertemuan tenaga, sungguhpun kekuatan sin-kang gadis ini sebetulnya lebih hebat, namun karena tenaganya habis, pedangnya patah dan terpaksa ia membuang pedang buntung dari tangannya.
“Jangan bunuh mereka. Tangkap hidup-hidup!”
Liok Bu Tang berseru girang. Dia amat marah dan membenci kedua orang itu dan kalau membunuh mereka, ia anggap terlalu enak bagi mereka. Tidak, mereka harus disiksa dulu dan gadis remaja yang cantik itu.... ah, dia sendiri yang akan “menanganinya”.
Perintah Si Mata Satu itu menyelamatkan nyawa Lulu dan Kwat Lee. Andaikata tidak ada perintah itu, dalam keadaan bertangan kosong, dikeroyok begitu banyak tentara bersenjata, dalam keadaan sudah amat lelah, tentu mereka takkan dapat bertahan lama.
Kini para pengeroyok itu menyimpan senjata mereka dan menyerbu dengan tangan kosong. Tentu saja Lulu dan Kwat Lee tidak mau menyerah begitu saja dan menyambut mereka dengan hantaman-hantaman. Kembali mereka merobohkan beberapa orang sebelum Kwat Lee terkulai roboh saking lelahnya, sedangkan Lulu sudah merasa pening kepalanya, pandang matanya berkunang akan tetapi ia masih bertahan terus.
Pada saat itu terdengar suitan keras sekali dan para pengeroyok tiba-tiba menjadi kacau-balau oleh serbuan delapan orang berpakaian pengemis. Namun delapan orang itu ternyata lihai bukan main, apalagi seorang di antara mereka, seorang kakek jembel yang sudah tua sekali dan tubuhnya kurus kering tinggi, rambut dan jenggotnya yang sudah putih itu riap-riapan dan kakinya telanjang. Dengan senjata sebatang tongkat butut pengemis tua ini di samping tujuh orang temannya mengamuk dan setiap orang yang dekat dengannya tentu roboh.
Ketika Twa-to-kwi Liok Bu Tang melihat kakek tua ini, dia terkejut dan cepat meloncat mendekati Lulu, menggerakkan goloknya membacok. Lulu yang sudah lelah sekali, mengelak ke kiri, akan tetapi sebuah pukulan dari belakang mengenai punggungnya dan ia roboh menelungkup. Ketika ia menggerakkan kepala menoleh, ia melihat Si Mata Satu mengangkat golok disabetkan ke arah lehernya. Lulu tidak berdaya lagi, dan ia membelalakkan mata menanti datangnya maut yang tak terhindarkan lagi itu.
“Tranggggg....!”
Golok itu terpental dan Si Mata Satu cepat melompat tinggi dan terus kabur. Kakek tua renta yang menangkis golok dengan tongkat bututnya itu mengamuk dan menyambar tubuh Lulu yang sudah pingsan.
Gadis ini begitu kaget dan juga bersyukur bahwa pada detik terakhir ia tertolong, maka tekanan batin karena kaget dan girang ini membuat tubuhnya yang sudah lelah dan lemah kehilangan banyak darah tak kuat bertahan dan ia pingsan.
Lulu tidak tahu bahwa dia dan Kwat Lee tertolong, dan akhirnya dibawa lari delapan orang pengemis lihai itu ke dalam hutan-hutan di kaki Gunung Lu-liang-san. Dalam keadaan pingsan ia bermimpi bertanding dikeroyok banyak orang di samping kakaknya, dan hatinya girang bukan main karena amukan kakaknya membuat semua pengeroyok lari tunggang-langgang!
Tiba-tiba pengemis itu bertanya tanpa memandang si kakek, dan menambah kayu api unggunnya. Lulu memandang tajam, melihat betapa wajah pengemis itu keruh dan suaranya penuh kebencian ketika menyebut “anjing-anjing Mancu.”
Kakek itu menghela napas panjang dan memangku kepala cucunya, yang kelihatan lelah dan mengantuk itu.
“Ahhh, kami dari keluarga yang amat malang. Kami sedang melakukan perjalanan menyelidik, mencari anakku perempuan ke dua yang dilarikan orang. Karena ada larangan membawa senjata tajam, kami sengaja menyamar sebagai rombongan pertunjukan silat agar leluasa membawa senjata. Siapa kira di kota Tiong-bun hampir saja kami celaka kalau tidak ditolong oleh Siauwhiap ini.”
“Lopek salah sangka. Dia ini adalah seorang Lihiap yang mengagumkan,” kata Si Pengemis dengan tenang tanpa memandang Lulu.
Tentu saja Lulu terkejut sekali dan makin kagum. Pengemis ini benar-benar memiliki mata yang awas! Kakek itu sendiri juga terkejut.
“Lihiap? Seorang dara remaja? Ahhh, hebat.... ah, maafkan mataku yang sudah lamur, Lihiap.”
Tiba-tiba terdengar bisikan nyonya cantik itu kepada suaminya,
“Apa kataku? Dan engkau masih cemburu melihat aku boncengan dengan dia sekuda! Apa kau kira semua laki-laki sejahat perwira Mancu itu?”
“Sssttttt....!”
Suaminya menegur dan mukanya menjadi merah sekali. Lulu menahan hatinya yang geli dan ingin tertawa. Kiranya suami itu menjadi cemburu ketika ia menolong isterinya dan berboncengan diatas kuda! Betapa lucunya!
“Lokai (Pengemis Tua), pandangan matamu awas sekali, sungguh aku kagum!” kata Lulu yang melepas penutup kepalanya.
Rambutnya yang hitam panjang kini terurai dan ia biarkan saja karena ia merasa tidak perlu lagi menyamar setelah rahasianya terbuka.
“Tidak percuma aku merantau di dunia kang-ouw sampai puluhan tahun, Nona. Lopek, harap suka melanjutkan ceritamu. Siapakah yang melarikan puterimu?”
“Siapa lagi kalau bukan anjing Mancu!”
Kembali Lulu terkejut. Hatinya terpukul berkali-kali. Hari ini ia telah menyaksikan kejahatan perwira-perwira Mancu dan anak buahnya, dan kini ia lagi-lagi mendengar akan kejahatan bangsanya. Hatinya tidak enak dan ia memandang api unggun, menutup mulut membuka telinga mendengarkan penuturan kakek itu.
Kakek itu bernama Gak Mong, seorang duda yang tinggal di kota Bwee-hian dekat kota besar Cin-an bersama dua orang puterinya dan seorang mantu serta seorang cucu. Puterinya yang bungsu bernama Gak Siok Ci, seorang dara remaja berusia delapan belas tahun. Pekerjaan kakek ini adalah piauwsu yaitu pengawal barang-barang berharga yang dikirim jauh. Dalam pekerjaan ini, ia dibantu oleh kedua orang puterinya dan seorang mantunya yang kesemuanya memiliki ilmu silat yang lumayan.
Gak Kiong adalah seorang murid luar dari Hoa-san-pai dan karena pergaulannya yang luas ditambah ilmu pedangnya yang lihai, maka sampai bertahun-tahun ia bekerja dengan lancar dan selalu dapat mengawal barang-barang kiriman dengan selamat.
Akan tetapi, malapetakia terjadi ketika pada suatu hari ia mengawal sekereta penuh bahan pakaian menuju ke utara. Ia ditemani oleh seluruh keluarganya karena selain mengawal barang berharga yang membutuhkan pengawalan yang kuat, juga sekalian mengajak keluarganya pesiar ke utara, apalagi pada waktu itu perang telah selesai di bagian ini dan perjalanan cukup aman.
Sekali ini perjalanannya mendapat gangguan, bukan oleh perampok melainkan oleh sepasukan tentara Mancu yang dipimpin seorang perwira bermata satu (mata kirinya buta). Kereta bahan pakaian itu dijadikan rebutan oleh anggauta pasukan.
Tentu saja keluarga Gak ini melakukan perlawanan, namun perwira itu ternyata merupakan perwira kelas satu yang memiliki ilmu golok yang hebat, apalagi dibantu oleh puluhan orang anak buahnya, maka keluarga Gak itu dikalahkan dan terluka, kecuali Gak Siok Ci dara remaja yang cantik jelita itu, yang ditawan dan dibawa pergi oleh si perwira mata satu!
Terpaksa keluarga itu pulang dengan hati penuh kedukaan. Untuk mengganti barang kawalan yang habis itu terpaksa pula Kakek Gak menjual semua rumah, tanah dan barang miliknya, kemudian mereka semua lalu meninggalkan tempat tinggal mereka dan merantau ke utara dengan maksud mencari anak perempuannya yang hilang.
“Sampai berbulan-bulan kami merantau, namun tidak dapat menemukan jejak anakku. Perwira mata satu itu lihai sekali, maka kurasa dia tentu berada di dekat kota raja. Apapun yang terjadi, kami bertekad untuk mencari anakku dan membalas dendam kepada perwira keparat itu!” Kakek Gak mengakhiri penuturunannya sambil mengepal tinju.
“Perwira mata satu? Tinggi besar dan senjatanya golok besar?” Tiba-tiba pengemis itu menepuk pahanya dan berseru, “Jangan-jangan dia itu Twa-to-kwi (Setan golok Besar) Liok Bu Tang....!”
“Serrrrr....!”
Sebatang anak panah menyambar dari luar gua dan Lulu yang bermata tajam cepat menggerakkan tangan menangkap anak panah itu. Pengemis kurus itu memadamkan api unggun dan berbisik,
“Bersembunyi mepet dinding gua....!”
Dari luar gua terdengar suara ketawa bergelak,
“Ha-ha-ha! Jembel busuk Kwat Lee, benar sekali ucapanmu. Twa-to-kwi Liok Bu Tang telah berada di sini. Engkau boleh berjuluk Bueng Sin-kai (Pengemis Sakti Tanpa Bayangan) akan tetapi sekali ini bukan saja bayanganmu juga orangnya, akan menjadi tawananku atau menjadi setan penasaran. Ha-ha-ha! Pemberontak-pemberontak keji, menyerahlah. Gua telah dikepung puluhan orang bala tentaraku!”
Pengemis tinggi kurus yang bernama Kwat Lee itu berbisik,
“Tidak ada pilihan lain. Tinggal di sini berarti mati konyol. Kalau menyerbu keluar, dikeroyok, akan tetapi belum tentu kita mati semua. Masing-masing mencari jalan keluar sendiri, lebih baik seorang dua orang ada yang selamat dan bebas daripada semua mati. Lihiap, kau mengambil jalan kiri. Gak lopek, engkau dan puteri serta mantumu mengambil jalan kanan, kau pondong cucumu. Aku akan mengambil jalan depan!”
Kembali Lulu kagum bukan main. Pengemis ini memilih jalan yang paling berbahaya bagi diri sendiri! Dari luar gua terdengar suara ketawa yang tadi.
“Ha-ha-ha! Engkau ketakutan, jembel busuk? Aku tahu bahwa engkau berada di dalam gua bersama Keluarga Gak. Eh, Gak-piauwsu, engkau dan keluargamu hendak mencari si manis Siok Ci anakmu? Boleh, kalian boleh berjumpa dengan dia di neraka. Dan pemuda hijau yang ikut bersama kalian juga akan mampus. Ha-ha-ha!”
“Aahhhhh, adikku Siok Ci.... engkau.... sudah mati....” Nyonya itu menangis. Ayahnya membentak.
“Dia sudah mati lebih baik! Mengapa engkau menangis? Kita pun menghadapi kematian! Orang gagah tidak menangis menghadapi kematian di tangan musuh!”
Seketika nyonya itu menghentikan tangisnya, mengepal tinju dan berseru,
“Anjing-anjing Mancu, rasakan pembalasanku!”
Lulu kagum sekali. Orang-orang Mancu itu.... ah, ia malu sekali. Mendengar bahwa ia disebut “pemuda hijau”, cepat Lulu menutupi rambut yang digelungnya dengan kain kepalanya, kemudian ia berkata,
“Bu-eng Sin-kai, biarlah aku yang mengambil jalan depan!”
Ucapannya tegas dan sedikit pun tidak membayangkan kegentaran. Pengemis itu di dalam gelap memandang ke arahnya dengan kagum.
“Lihiap, engkau tidak bersenjata?”
“Aku bisa merampas senjata dari mereka.”
“Baiklah, engkau mengambil jalan depan. Aku mengambil jalan kiri bersama mantu Gak-piauwsu yang patah tulang pundaknya. Gak-piauwsu, engkau bersama puterimu dan cucumu mengambil jalan kanan.”
Tiba-tiba keadaan menjadi terang ketika pasukan yang mengepung itu menyalakan banyak sekali obor dan memegang obor di tangan kiri, diangkat tinggi-tinggi sedangkan tangan kanan memegang senjata tajam. Di antara sinar obor, tampaklah perwira tinggi besar yang memegang golok besar pula, matanya yang tinggal sebelah bercahaya mengerikan.
Mereka yang berada di dalam gua sudah siap, Bu-eng Sin-kai sudah memegang senjatanya, yaitu sebatang tongkat bambu kuning yang kedua ujungnya dipasangi baja runcing.
Gak Kiong kakek itu memegang pedangnya di tangan kanan dan cucunya dipondong di lengan kiri. Puterinya juga sudah memegang pedang. Mantunya, yang lumpuh lengan kanannya karena tulang pundaknya patah, memegang pedang dengan tangan kiri, berjongkok dekat dengan Kwat Lee, Si Pengemis Kurus yang berjuluk Bu-eng Sin-kai itu.
“Siap! Kita menyerbu keluar. Satu, dua, tiga....!”
Meloncatlah mereka keluar, Lulu yang memiliki gin-kang istimewa itu melompat paling dulu menerjang ke depan, di tengah-tengah. Sedangkan Bu-eng Sin-kai didampingi mantu Gak-piauwsu menerjang ke kiri. Kakek Gak bersama puterinya menerjang ke kanan.
“Tangkap pemberontak! Bunuh....!”
Terdengar teriakan riuh-rendah dan sinar obor bergerak-gerak menyilaukan mata ketika pasukan itu mengepung dan bergerak ke depan. Karena mendengar cerita Kakek Gak, dan mendengar pula ucapan perwira mata satu, timbul kebencian di hati Lulu terhadap perwira ini.
Maka begitu ia menerjang ke luar dan disambut oleh dua orang tentara Mancu, dengan mudah ia merobohkan mereka dengan pukulan dan tendangan, berhasil merampas sebatang pedang kemudian ia meloncat ke depan perwira yang memegang golok besar itu dan terus menusuk dengan pedang rampasannya ke arah perut yang gendut itu.
“Ha-ha-ha, pemuda hijau berani bertingkah?”
Perwira mata satu itu menggerakkan goloknya dengan pengerahan tenaga dan ia yakin bahwa sekali tangkis, kalau tidak mematahkan pedang lawan sedikitnya ia tentu akan mampu membuat pedang itu terlepas.
“Heh....? Ahhhhh....!”
Ia meloncat ke belakang sambil mengelebatkan goloknya saking kaget karena pedang yang tadi menusuk dan ditangkisnya itu tiba-tiba menyeleweng, mengelakkan tangkisannya dan terus membacok lehernya! Tahulah perwira ini bahwa “pemuda” itu tak boleh dipandang ringan.
“Hemmm, Twa-to-kwi Liok Bu Tang, dumeh matamu cuma satu engkau berani memandang sebelah mata kepadaku?” ejek Lulu yang menerjang terus dengan hebatnya.
Gerakannya memang gesit sekali dan ilmu pedangnya amat indah. Di bawah sinar api obor, pedang rampasannya berubah menjadi gundukan sinar bundar seperti payung yang melayang maju ke arah Liok Bu Tang.
“Setan alas! Kau kira aku takut padamu?”
Biarpun mulutnya berkata demikian dan goloknya diputar cepat untuk menangkis dan balas menyerang, namun kenyataannya perwira ini merasa lega ketika empat orang tangan kanannya, yaitu perwira-perwira rendahan yang menyaksikan pula kelihaian Lulu, maju mengeroyok gadis itu dan membantunya.
Adapun Bu-eng Sin-kai Kwat Lee yang menerjang ke kiri bersama mantu Kakek Gak, juga menghadapi pengeroyokan belasan orang tentara. Kwat Lee dengan tongkat bambunya mengamuk hebat, sebentar saja sudah berhasil merobohkan empat orang pengeroyok.
Adapun mantu Kakek Gak itu biarpun hanya dapat menggunakan tangan kiri, namun ia masih dapat mempertahankan setiap serangan yang dapat ia elakkan atau tangkis. Namun hatinya gelisah dan beberapa kali ia menoleh ke kanan di mana ia melihat isterinya dan ayah mertuanya, yang menggendong puterinya juga dikeroyok banyak orang.
Lulu marah bukan main menghadapi pengeroyokan para perwira Mancu ini. Lenyap sama sekali perasaan tidak enak bahwa ia memusuhi bangsa sendiri dan kini yang terasa di hatinya hanyalah bahwa ia menentang orang-orang yang jahat, membela orang-orang yang benar.
Berkat latihan-latihannya di Pulau Es, gin-kangnya jauh melebihi para pengeroyoknya dan ketika ia mendapat kesempatan, ketika tubuhnya melayang tinggi, dari atas ia menukik ke bawah, pedangnya berbentuk gulungan sinar seperti payung melindungi tubuhnya dan tangan kirinya memukul ke arah seorang pengeroyok dengan pengerahan tenaga sin-kangnya.
“Plakkkkk!”
Orang itu roboh dengan kepala retak dan tewas di saat itu juga. Lulu merasa kecewa bahwa yang tewas itu ternyata bukan Si Mata Satu, karena dari atas tadi ia hanya menyerang pengeroyok terdekat.
“Keparat! Kepung, bunuh!” teriak perwira mata satu dengan marah ketika melihat seorang pembantunya tewas.
Diam-diam ia pun merasa gentar karena tidak menyangka bahwa “pemuda hijau” itu ternyata demikian lihainya. Atas teriakannya ini, dua orang perwira rendahan maju menggantikan seorang yang roboh.
Kini Lulu dikeroyok oleh enam orang termasuk Si Mata Satu! Ia menggertak gigi, memutar pedang dan bergerak seperti halilintar cepatnya dan kembali dua orang telah kena sabetan pedangnya sehingga yang seorang putus lengannya, yang seorang lagi pecah perutnya. Begitu roboh dua orang, pengganti mereka sudah cepat muncul dan kembali Lulu dikeroyok dengan kepungan ketat.
Pengemis kurus Kwat Lee juga mengamuk secara hebat. Empat orang korbannya kini bertambah menjadi delapan orang, kesemuanya perajurit-perajurit Mancu yang sungguhpun tidak selihai para perwira yang mengeroyok Lulu kepandaiannya, namun karena jumlahnya amat banyak, maka ia tidak dapat maju dan akhirnya terhalang oleh tumpukan mayat-mayat lawan yang dirobohkannya.
Pertandingan sudah berjalan hampir dua jam. Mantu Kakek Gak yang menengok lagi ke kanan mengeluarkan teriakan ngeri ketika ia melihat isterinya roboh oleh tusukan tombak dari belakang. Ia tidak mempedulikan lagi larangan Kwat Lee lalu meloncat dan lari menuju ke kanan. Ia melihat isterinya roboh mandi darah dan pada saat ia hendak menubruk isterinya, Kakek Gak berteriak keras dan ketika mantunya menengok, ternyata ayah mertuanya itu roboh bersama-sama puterinya, keduanya menjadi sasaran bacokan banyak golok dan pedang!
Dengan buas laki-laki ini meloncat dan mengamuk dengan pedang di tangan kirinya. Kemarahannya, kesedihan, dan dendam yang meluap-luap membuat gerakan pedangnya berlipat ganda kekuatannya dan berhasil merobohkan tiga orang pengeroyok sebelum ia sendiri roboh dengan tubuh penuh luka. Habislah riwayat keluarga Gak yang gagah perkasa itu!
Kini tinggal Lulu dan Kwat Lee yang melanjutkan perlawanan. Pengemis ini mengerti bahwa keluarga Gak tak dapat ditolong lagi, maka ia cepat menggeser kedudukannya dan akhirnya berhasil mendekati Lulu. Setelah dekat ia berteriak.
“Lihiap! Kita mengadu punggung, saling melindungi!”
Lulu mengerti maksud pengemis itu dan ia pun lalu berdiri membelakangi Kwat Lee dan biarpun punggung mereka tidak sampai bersentuhan, masih terpisah kira-kira satu meter, namun dengan kedudukan mereka itu, tidak ada pengeroyok yang akan dapat menyerang mereka dari belakang sehingga bagi mereka akan lebih dapat melakukan pertahanan yang kuat.
Liok Bu Tang si Mata Satu sudah menjadi marah bukan main. Terlalu banyak ia kehilangan anak buah, dan hasilnya hanya dapat membunuh keluarga Gak yang empat orang jumlahnya, empat orang itu pun yang seorang anak kecil dan seorang lagi sudah patah tulang pundaknya. Sungguh memalukan! Tidak kurang dari lima belas orang anak buahnya tewas.
Si Mata Satu dan perwira rendahan yang tinggal empat lagi, dibantu oleh dua puluh lebih anak buahnya, kini mengurung Lulu dan Kwat Lee. Lebih marah lagi hati Si Mata Satu ketika mendengar pengemis itu menyebut lihiap kepada “pemuda” itu. Hanya seorang gadis remaja! Para pengepung mengangkat senjata, mengurung dan mencari kesempatan baik, atau menunggu komando.
Lulu dan Kwat Lee melintangkan senjata di depan dada, siap melawan mati-matian. Keadaan amat menegangkan. Mata kedua orang yang dikeroyok ini tidak berkedip, memandang para pengurung di bawah sinar obor yang kini dipegang oleh puluhan orang tentara yang tidak ikut mengeroyok, karena tidak kebagian tempat dan hanya berdiri di lingkungan luar dengan obor di tangan kiri dan senjata di tangan kanan.
“Serbu....!”
Si Mata Satu memberi aba-aba seperti kalau biasanya ia memberi komando pasukannya menyerbu barisan musuh.
“Trang-trang-trang-cring-cring....!”
Suara bertemunya senjata nyaring memekakkan telinga dan tampak bunga api muncrat-muncrat disusul teriakan-teriakan orang dan robohnya beberapa orang pengeroyok. Kenbali kedua orang yang gerakannya amat cepat tadi berdiri diam karena para pengeroyok juga diam dan agak menjauh, namun pengurungan tetap ketat. Kembali mereka seperti patung, saling pandang dan menanti kesempatan. Keadaan lebih menegangkan daripada tadi.
“Lihiap, berapa ekor kau robohkan?”
Lulu hampir tertawa. Benar-benar luar biasa sekali pengemis ini. Dikepung seperti itu, terancam maut, masih sempat bertanya yang merupakan kelakar yang menyegarkan untuk mengusir ketegangan.
“Lima.... ekor!” jawabnya, lupa bahwa yang disebut lima ekor itu adalah lima orang perajurit bangsanya.
“Aku hanya empat ekor, kalah satu ekor. Wah, engkau hebat, Lihiap.”
Melihat sikap tenang dan mendengar percakapan mereka, seperti hampir meledak saking marahnya dada Liok Bu Tang. Ia marah sekali dan menganggap anak buahnya tidak becus. Mengeroyok dua orang saja sampai sekali gebrakan roboh sembilan orang!
“Serbu dan serang terus sampai hancur tubuh mereka!” teriaknya sambil memutar golok.
Kembali terdengar suara nyaring bertemunya senjata dan sekali ini pertandingan benar-benar amat hebat. Fihak pengeroyok terlalu banyak dan biarpun sewaktu-waktu si pengemis kurus masih sempat bertanya berapa ekor yang dijatuhkan Lulu, namun jumlah korban mereka makin berkurang dan mereka menjadi lelah sekali.
Berjam-jam mereka dikeroyok dan jumlah lawan tidak pernah berkurang karena begitu ada yang roboh, tentu ada pula yang menggantikannya. Mereka berdua tidak hanya mandi keringat, juga mandi darah, sebagian besar darah lawan, sebagian kecil darah mereka sendiri yang keluar dari luka-luka bekas bacokan senjata para pengeroyok.
Paha kiri Bu-eng Sin-kai Kwat Lee telah terbacok golok Si Matu Satu, hampir mengenai tulangnya, juga dada kanannya somplak dagingnya terkena bacokan pedang. Darah membasahi seluruh dada dan kaki kiri. Akan tetapi pengemis ini tak pernah mengeluh, terus mengamuk dengan tongkat bambunya.
Lulu juga terluka, pundaknya tertusuk mengeluarkan darah dan pangkal pahanya di belakang, di bawah pinggul, kena diserempet pedang sehingga kulitnya terkupas dan mengeluarkan darah pula. Seperti pengemis yang sikapnya amat gagah dan membangkitkan semangat itu, Lulu tidak mau mengeluh dan terus mengamuk.
“Jangan khawatir, Lihiap. Biarpun mati, kita sudah mempunyai banyak pengawal! Kita sudah untung besar!” demikian pengemis itu berkata gembira.
Lulu kagum bukan main.
“Sin-kai, aku akan bangga mati di samping seorang gagah perkasa seperti engkau!” kata Lulu sambil menusukkan pedangnya sampai tembus di dada seorang perajurit.
Akan tetapi ketika ia mencabut podangnya, terdengar suara “krekk” dan pedangnya patah! Ternyata pedangnya itu terselip di tulang iga lawan dan ketika ia cabut, tertekuk dan patah.
Pada saat itu, golok Liok Bu Tang menyambar ganas. Lulu terkejut mendengar desing angin golok dari samping ini. Cepat ia menjatuhkan diri ke atas tanah dan bergulingan sampai jauh, ketika meloncat bangun tangan kanannya menghantam kepala seorang lawan sampai pecah dan tangan kirinya merampas pedang orang itu. Dia telah bersenjata lagi!
“Bukan main! Gerakammu luar biasa indah dan lihainya, Lihiap!”
Bu-eng Sin-kai Kwat Lee memuji akan tetapi ia tidak dapat melanjutkan kata-katanya karena kini ia sudah dihujani serangan dari para pengeroyok yang mengepungnya. Biarpun napasnya sudah terengah-engah, terpaksa ia mengerahkan tenaga dan memutar tongkatnya untuk melindungi dirinya.
Kini keadaan kedua orang gagah ini menjadi lemah karena gerakan Lulu yang menggelundung tadi memisahkan dia dengan Kwat Lee sehingga kini para pengeroyok membuat gerakan mengurung menjadi dua rombongan. Dikurung seperti itu tentu saja lebih berbahaya dan lebih sukar melindungi tubuh, juga membutuhkan pengerahan tenaga lebih banyak untuk memutar senjata ke belakang dan untuk berloncatan.
Saking lelahnya ditambah kehilangan darah, Lulu dan Kwat Lee sudah hampir tidak kuat menggerakkan senjata mereka lagi. Mereka hanya mengandalkan kelincahan mereka yang otomatis, berloncatan ke sana ke sini untuk menghindarkan diri dari senjata lawan yang datang bagaikan hujan.
Melihat keadaan dua orang yang dikeroyok itu, Liok Bu Tang si Mata Satu yang merasa sakit hati dan penasaran, ingin menawan dua orang itu. Ia lalu menerjang dengan golok besarnya, menghantam tongkat di tangan Kwat Lee. Terdengar suara keras dan tongkat pengemis itu mencelat entah ke mana. Tangannya yang sudah kehabisan tenaga tidak mampu lagi mempertahankan hantaman golok yang amat kuat itu.
Liok Bu Tang kini menyerang Lulu dan seperti juga pengemis itu, dalam pertemuan tenaga, sungguhpun kekuatan sin-kang gadis ini sebetulnya lebih hebat, namun karena tenaganya habis, pedangnya patah dan terpaksa ia membuang pedang buntung dari tangannya.
“Jangan bunuh mereka. Tangkap hidup-hidup!”
Liok Bu Tang berseru girang. Dia amat marah dan membenci kedua orang itu dan kalau membunuh mereka, ia anggap terlalu enak bagi mereka. Tidak, mereka harus disiksa dulu dan gadis remaja yang cantik itu.... ah, dia sendiri yang akan “menanganinya”.
Perintah Si Mata Satu itu menyelamatkan nyawa Lulu dan Kwat Lee. Andaikata tidak ada perintah itu, dalam keadaan bertangan kosong, dikeroyok begitu banyak tentara bersenjata, dalam keadaan sudah amat lelah, tentu mereka takkan dapat bertahan lama.
Kini para pengeroyok itu menyimpan senjata mereka dan menyerbu dengan tangan kosong. Tentu saja Lulu dan Kwat Lee tidak mau menyerah begitu saja dan menyambut mereka dengan hantaman-hantaman. Kembali mereka merobohkan beberapa orang sebelum Kwat Lee terkulai roboh saking lelahnya, sedangkan Lulu sudah merasa pening kepalanya, pandang matanya berkunang akan tetapi ia masih bertahan terus.
Pada saat itu terdengar suitan keras sekali dan para pengeroyok tiba-tiba menjadi kacau-balau oleh serbuan delapan orang berpakaian pengemis. Namun delapan orang itu ternyata lihai bukan main, apalagi seorang di antara mereka, seorang kakek jembel yang sudah tua sekali dan tubuhnya kurus kering tinggi, rambut dan jenggotnya yang sudah putih itu riap-riapan dan kakinya telanjang. Dengan senjata sebatang tongkat butut pengemis tua ini di samping tujuh orang temannya mengamuk dan setiap orang yang dekat dengannya tentu roboh.
Ketika Twa-to-kwi Liok Bu Tang melihat kakek tua ini, dia terkejut dan cepat meloncat mendekati Lulu, menggerakkan goloknya membacok. Lulu yang sudah lelah sekali, mengelak ke kiri, akan tetapi sebuah pukulan dari belakang mengenai punggungnya dan ia roboh menelungkup. Ketika ia menggerakkan kepala menoleh, ia melihat Si Mata Satu mengangkat golok disabetkan ke arah lehernya. Lulu tidak berdaya lagi, dan ia membelalakkan mata menanti datangnya maut yang tak terhindarkan lagi itu.
“Tranggggg....!”
Golok itu terpental dan Si Mata Satu cepat melompat tinggi dan terus kabur. Kakek tua renta yang menangkis golok dengan tongkat bututnya itu mengamuk dan menyambar tubuh Lulu yang sudah pingsan.
Gadis ini begitu kaget dan juga bersyukur bahwa pada detik terakhir ia tertolong, maka tekanan batin karena kaget dan girang ini membuat tubuhnya yang sudah lelah dan lemah kehilangan banyak darah tak kuat bertahan dan ia pingsan.
Lulu tidak tahu bahwa dia dan Kwat Lee tertolong, dan akhirnya dibawa lari delapan orang pengemis lihai itu ke dalam hutan-hutan di kaki Gunung Lu-liang-san. Dalam keadaan pingsan ia bermimpi bertanding dikeroyok banyak orang di samping kakaknya, dan hatinya girang bukan main karena amukan kakaknya membuat semua pengeroyok lari tunggang-langgang!
**** 51 ****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar