FB

FB


Ads

Selasa, 09 Desember 2014

Pendekar Super Sakti Jilid 050

Kita tinggalkan dulu Han Han dan Kim Cu yang terancam bahaya maut di tangan Toat-beng Ciu-sian-li, bagaikan dua ekor domba yang dituntun ke penjagalan oleh nenek itu, dan mari kita ikuti perjalanan Lulu.

Seperti telah diceritakan di bagian depan, Lulu diculik oleh Ouwyang Seng dan dibawa ke kota raja. Terhadap pemuda bangsawan yang lihai ini, Lulu tidak berdaya dan setibanya di kota raja, Ouwyang Seng berkata kepadanya.

“Dengarlah, bocah yang binal! Aku Ouwyang Seng atau Ouwyang-kongcu, putera Pangeran Ouwyang Cin Kok dan aku tidak mempunyai niat buruk kepadamu.” Ia masih belum membebaskan gadis itu dari totokan.

“Beginikah orang yang tidak berniat buruk? Kenapa kau culik aku dan menotokku sampai tidak mampu bergerak?”

Ouwyang Seng tertawa. Gadis ini berani dan penuh semangat. Kalau saja bukan gadis Mancu, kalau saja tidak diketahui keadaannya oleh Puteri Nirahai, tentu ia akan dapat menikmati wanita selincah ini.

“Kalau kau berjanji tidak akan melawan, aku akan membebaskanmu. Akan tetapi engkau harus berjanji untuk ikut denganku ke kota raja, dan tidak membikin ribut. Ketahuilah, aku sudah tahu bahwa engkau seorang gadis Mancu dan engkau akan kuhadapkan ke istana kaisar.”

Lulu mengangguk dan berkata.
“Baiklah. Bebaskan aku.”

Dia cerdik sekali dan dia akan mencari kesempatan baik untuk membebaskan diri, tentu saja dia tidak akan nekat menggunakan kekerasan karena ia tahu bahwa dia tidak akan menang melawan pemuda yang tampan akan tetapi jahat ini.

Ouwyang Seng membebaskan totokannya dan Lulu mengomel,
“Engkau kejam sekali. Sampai kaku-kaku tubuhku, dan kau apakan Kokoku Han Han?”

“Dia bukan Kakakmu, engkau gadis Mancu dan puteri perwira, bukan?”

“Bagaimana engkau bisa tahu?”

“Pendeknya aku tahu, dan eh, siapa namamu?”

“Katanya sudah tahu. Kenapa tanya nama?”

Ouwyang Seng gemas. Kalau bukan gadis Mancu, tentu sudah ditubruknya dan digigitnya bibir manis yang lincah itu.

“Dengarlah. Kami telah mencari-carimu dan engkau berhak untuk hidup mulia di kota raja. Sudah lama kami mencarimu dan aku membawamu ke sini dengan niat baik. Katakan siapa namamu.”

“Namaku Lulu. Sie Lulu!”

Kembali Ouwyang Seng tertawa.
“Mana bisa kau memakai nama keturunan Sie? Apakah orang tuamu she Sie? Tak bisa kau mengambil she (nama keturunan) seperti orang memungut batu dipinggir jalan!”

“Kokoku she Sie, tentu saja aku pun she Sie,” bantah Lulu merengut.

“Sudahlah, baik kau she Sie. Lulu, engkau harus menghadap Ayahku dulu, kemudian baru kau akan kami bawa ke istana.”

Lulu tidak membantah dan mengikuti Ouwyang Seng ke gedung Ouwyang Cin Kok. Ketika pangeran ini melihat puteranya berhasil membawa Lulu, ia menjadi girang sekali. Pangeran ini sendiri lalu membawa Lulu menghadap kaisar dan menceritakan keadaan gadis itu.

Ketika Lulu menghadap kaisar, dia merasa takut sekali dan menundukkan muka tidak berani memandang. Keadaan di istana yang begitu megah dan mewah membuat ia merasa dirinya kecil. Kaisar menegurnya dalam bahasa Mancu dan biarpun agak kaku, Lulu dapat menjawab dan dia menceritakan tentang orang tuanya yang dibunuh para pemberontak, betapa kemudian ia terlantar dan akhirnya diambil adik angkat oleh Han Han. Dia tidak bercerita tentang Pulau Es karena seperti juga Han Han, dia mengerti bahwa pulau itu harus dirahasiakan kepada orang lain.

Kaisar merasa suka dan kasihan kepada Lulu, maka gadis itu lalu diangkat menjadi siuli dan untuk ini ia harus belajar tata susila dan peraturan-peraturan dari seorang petatih. Sejak hari itu, Lulu tinggal di istana.

Akan tetapi hati dara ini selalu berduka, sungguhpun hal itu ia sembunyikan. Karena itu, ketika ia mendapat kesempatan, pada suatu malam ia berhasil minggat dari istana. Bagaimana mungkin ia dapat hidup senang, biar di dalam istana indah sekalipun kalau ia jauh dari kakaknya?

Lulu memang cerdik. Ia maklum bahwa larinya tentu akan menimbulkan geger dan ia tentu akan dicari dan dikejar oleh para pengawal istana. Maka ia berlari terus malam itu dan pada keesokan harinya, ia melepaskan semua perhiasan emas permata yang harus ia pakai ketika dia dilatih menjadi siuli, kemudian ia menjual sebagian perhiasan itu, membeli pakaian pria dan ia berganti pakaian pria.

Biarpun telah menyamar sebagai seorang pemuda remaja yang terlalu tampan, ia masih tidak mau menghentikan larinya dan ia pun melarikan diri ke jurusan selatan. Ia hendak pergi mencari kakaknya dan di dalam hatinya ia khawatir sekali. Kakaknya diserang oleh orang-orang seperti Ma-bin Lo-mo dan Kang-thouw-kwi yang lihai. Masih hidupkah kakaknya?

Ia memasuki kota Tiong-bun pada suatu sore dan melihat banyak orang berduyun-duyun menuju ke selatan kota, ia mendekati seorang kakek dan bertanya mengapa banyak orang pergi ke jurusan itu. Si kakek menjawab bahwa mereka hendak menonton pertunjukan silat yang dibuka oleh rombongan ahli silat perantauan.

Lulu tertarik sekali dan ikut menuju ke tempat itu. Di ujung selatan kota, di pinggir jalan yang sunyi, ia melihat sebuah panggung yang tingginya hanya satu setengah meter dan dari jauh sudah terdengar suara tambur dipukul dan tampak olehnya seorang gadis kecil berusia kira-kira dua belas tahun bermain silat pedang.

Ilmu silat memang merupakan seni budaya yang amat indah. Keindahannya terletak pada gerak tari yang terdapat dalam setiap gerakan kaki tangan, gerak tarian yang indah namun menyembunyikan unsur-unsur bela diri yang kokoh kuat dan daya serang yang lihai dan praktis.

Gadis cilik itu tentu saja belum matang gerakan-gerakannya, lebih memberatkan kepada gerak tariannya sehingga tampak indah gemulai ketika ia bermain pedang. Ilmu pedang yang dimainkan gadis itu adalah ilmu pedang yang bersumber pada ilmu pedang Hoa-san-pai, indah gemulai dan memang gadis itu memiliki bakat menari yang baik,

Lulu sampai melongo menonton pertunjukan itu. Dia tidak pernah mimpi bahwa ilmu pedang dapat dimainkan seindah itu. Dia pun tidak tahu bahwa kalau ia bermain ilmu silat, gerakannya lebih indah daripada gadis itu sehingga dahulu kakaknya sering kali menggodanya dan mengatakan bahwa dia bukan bersilat melainkan menari.

Yang menabuh tambur adalah seorang kakek berusia lima puluh tahun, wajahnya membayangkan kedukaan besar, sungguhpun kedukaan itu ditutupi dengan senyum-senyum melihat betapa banyak orang yang menonton kelihatan tertarik sekali kepada permainan silat pedang anak perempuan itu.

Selain kakek itu, ada pula seorang laki-laki berusia kurang lebih tiga puluh tahun, bertubuh tinggi kurus dan laki-laki ini berdiri bertolak pinggang memandang gerakan anak perempuan itu dengan pandang mata penuh penilaian. Ada seorang lagi yang duduk di dekat kakek itu, dia ini adalah seorang wanita berusia tiga puluh tahun kurang, memegang gembreng kecil yang ditabuhnya perlahan-lahan mengikuti irama tambur. Tambur dan gembreng ini menambah keindahan tarian pedang gadis itu.

Gadis cilik itu mengakhiri permainan pedangnya dengan gerakan indah, pedangnya berkelebat dari kanan ke kiri, berhenti di depan dada dan diacungkan ke atas, tangan kiri dirangkapkan kepada tangan kanan merupakan penghormatan, tubuhnya membungkuk ke empat penjuru dan senyum manis menghias bibirnya yang mungil.






Tepuk tangan dan sorak-sorai meledak menyambut permainan pedang gadis cilik itu yang tersenyum-senyum dan membungkuk-bungkuk lagi sebagai tanda terima kasih. Lulu ikut pula bertepuk tangan dan bersorak memuji, karena dia benar-benar kagum sekali.

Kini kakek itu maju dengan tersenyum-senyum, tidak mempedulikan hujan uang kepingan yang dilemparkan ke atas panggung. Juga Lulu mengambil seraup uang kepingan dan melemparkannya ke atas panggung.

“Cu-wi sekalian, terima kasih banyak atas perhatian cu-wi terhadap permainan pedang yang masih buruk dari cucuku. Hendaknya cu-wi sekalian ketahui bahwa kami sekeluarga mengadakan pertunjukan silat di kota ini, bukan semata-mata untuk mencari dana sungguhpun tidak sekali-kali kami kurang menghargai kebaikan hati cu-wi sekalian yang telah sudi menyumbang. Tujuan kami yang terutama adalah mencari sahabat dan kenalan dari satu golongan, yaitu para penggemar ilmu silat.

Oleh karena itu, kami harap sudilah kiranya di antara cu-wi yang mempunyai ilmu kepandaian tinggi suka naik ke panggung dan melebarkan pandang mata, meluaskan pengalaman, dan menambah pengertian kami dengan ilmu silat. Kini saya hendak menyuruh anak perempuan saya, kemudian mantu laki-laki saya, dan terakhir saya sendiri akan mainkan beberapa macam pukulan tangan kosong dan juga dengan senjata. Kami mohon sudilah suka menemani kami sehingga kami dapat berkenalan dengan cuwi sekalian. Terima kasih.”

Pidato singkat kakek itu disambut dengan suara riuh dan tepuk tangan, tanda setuju. Bahkan ada yang saling towel, saling menyuruh teman untuk naik ke panggung memenuhi permintaan kakek itu. Mereka dorong-mendorong, dan yang merasa memiliki sedikit ilmu silat tidak berani naik ke panggung, mereka hendak melihat-lihat dulu bagaimana macamnya dan tingginya tingkat kepandaian mereka, yaitu keluarga tukang silat itu.

Atas isyarat kakek itu, wanita yang tadi memukul gembreng menyerahkan gembrengnya kepada suaminya, dan dia sendiri lalu mempererat ikat pinggangnya, kemudian ia maju beberapa langkah sampai di tengah panggung, mengangkat kedua tangan ke dada sebagai penghormatan ke empat penjuru, kemudian mulailah ia bersilat.

Seperti juga puterinya, wanita ini bersilat tangan kosong, gerakannya halus gemulai namun kini berbeda dengan gerakan puterinya, gerakannya penuh dengan sambaran tenaga yang cukup kuat. Gerakan tangan kakinya teratur baik dan jelas bahwa dia telah menguasai ilmunya dengan mahir sekali. Wanita itu menghabiskan gerakannya sampai lima belas jurus, kemudian berhenti dan menghadapi para penonton, berkata dengan suara manis dan sopan.

“Di antara cu-wi sekalian yang sudi memberi pelajaran kepadaku, dipersilakan naik.”

Sampai lama tidak ada yang naik karena memang mereka yang mengerti ilmu silat melihat dasar gerakan wanita itu, menjadi gentar. Benar bahwa naik berarti hanya menguji kepandaian, akan tetapi kalau kalah, apalagi oleh seorang wanita, tentu akan menjatuhkan namanya. Maka kembali saling dorong dan saling membujuk teman yang mengerti ilmu silat.

Setelah wanita itu mengulangi sampai tiga empat kali ajakannya tadi, tiba-tiba melayanglah tubuh seorang laki-laki yang bermuka hitam dan gerakannya kasar. Ia berusia kurang lebih tiga puluh tahun. Ketika kakinya turun ke panggung, panggung itu tergetar, tanda bahwa tubuhnya berat dan tenaganya besar. Ia menyeringai dan berkata kepada wanita yang menyambutnya dengan kedua tangan dirangkapkan ke dadanya.

“Aku bernama Louw Cang, penduduk kota Ciang-kwi-an di sebelah utara kota ini. Aku hanya mengerti sedikit ilmu silat, akan tetapi di kotaku aku berjuluk Hek-bin-liong (Naga Muka Hitam). Sekarang mendengar kesempatan untuk menguji kepandaian silat, dan tertarik akan ilmu silat yang lihai dari Hujin (Nyonya), saya ingin belajar kenal!”

Ketika mengucapkan kata-kata “belajar kenal” matanya bermain dan sikapnya ini memancing suara ketawa banyak orang.

“Terima kasih atas perhatian Louw-enghiong yang saya percaya tentu memiliki kepandaian yang lihai sekali. Silakan!”

Nyonya itu sudah memasang kuda-kuda dan menghadapi calon lawannya dengan sikap tenang sekali.

“Nyonya, lihat seranganku!”

Louw Cang menerjang maju dan sekali bergerak saja Lulu tahu bahwa orang kasar ini hanya memiliki tenaga besar, akan tetapi tidak memiliki kepandaian yang berarti. Agaknya hal ini dapat diketahui oleh kakek dan mantunya, maka mereka menonton dengan acuh tak acuh.

Nyonya muda itu pun tahu bahwa lawannya tidak begitu hebat kepandaiannya, maka cepat ia mengelak ke kiri. Cara ia mengelak sengaja diperlambat sehingga Si Muka Hitam yang tadinya sudah mengira bahwa pukulan pertamanya tentu akan mengenai pundak, ketika tiba-tiba dielakkan, tubuhnya terdorong kedepan sampai terhuyung.

Kalau nyonya itu menghendaki, selagi tubuh lawan terhuyung tentu dengan mudah ia akan dapat mengirim pukulan atau tendengan dari belakang. Akan tetapi mereka itu tidak akan mencari musuh, maka ia juga menanti saja.

Si Muka Hitam membalikkan tubuhnya lagi, dan kembali ia menerjang dengan pukulan yang lebih keras, kini mengarah dada! Kembali nyonya itu mengelak. Penasaranlah hati laki-laki itu. Ia cepat membalikkan tubuh lagi dan menerjang seperti kerbau gila, pukulannya bertubi-tubi dan ia mengerahkan tenaganya sehingga ketika sampai sepuluh kali dielakkan, tubuhnya penuh keringat, napasnya megap-megap.

Nyonya itu merasa sudah cukup mengelak terus, apalagi kini tubuh lawannya yang berkeringat itu mengeluarkan bau yang tidak enak, maka ia mengambil keputusan untuk menyudahi saja pertempuran itu. Apalagi, dari bunyi tambur yang dipukul ayahnya, ia tahu bahwa ayahnya pun memberi tanda kepadanya untuk mengakhiri pertandingan.

Maka ketika laki-laki lawannya itu kembali memukul dengan keras, ia miringkan tubuhnya, menangkap pergelangan tangan yang memukulnya dari samping, memutarnya dengan gerakan pergelangan tangannya sehingga tubuh laki-laki itu terpaksa berputar, kaki Si Wanita menendang perlahan ke arah belakang lutut sambil mendorong tangan yang menangkap pergelangan tangan. Tak dapat dicegah lagi tubuh Si Naga Muka Hitam itu terdorong ke depan dan robohlah ia, robohnya miring di atas panggung!

Tepuk sorak para penonton menyambut kemenangan nyonya yang lihai itu. Akan tetapi Si Muka Hitam sudah meloncat bangun kembali. Dia adalah seorang kasar yang tak tahu diri, dan karena ia menjadi jagoan di kotanya maka ia merasa bahwa kepandaiannya sudah amat tinggi. Kini dengan mudah dirobohkan oleh seorang wanita, hatinya menjadi penasaran, apalagi karena robohnya tidak mengakibatkan luka atau rasa nyeri. Ia sama sekali tidak mau mengerti bahwa nyonya itu telah menjaga mukanya dan tidak merobohkannya secara hebat.

“Aku belum kalah!” bentaknya seolah-olah hendak membantah sorak-sorai para penonton yang menganggap nyonya itu sudah menang. “Jagalah seranganku!”

Ia menerjang lagi dan sorakan penonton berhenti karena mereka maklum bahwa kini pertandingan tentu akan berlangsung lebih hebat melihat betapa Si Muka Hitam itu agaknya sudah marah sekali. Dugaan mereka itu memang benar karena kini Si Muka Hitam menerjang dengan nekat, mengeluarkan jurus-jurus mematikan dan mengerahkan seluruh tenaganya.

Seperti tadi, nyonya itu mengandalkan kelincahan gerakan tubuhnya untuk mengelak dengan meloncat ke kanan kiri. Akan tetapi berbeda dengan tadi, dia tidak mau mengulur waktu untuk menyudahi pertandingan dan diam-diam ia merasa gemas melihat laki-laki yang tak tahu diri ini. Ia pun maklum bahwa kalau tidak diberi sedikit hajaran, Si Muka Hitam ini tentu akan nekat terus.

“Hyaaatt!”

Si Muka Hitam menendang dengan kaki kanan, ketika dielakkan, ia menurunkan kaki kanan itu jauh ke depan sehingga tubuhnya mendoyong ke depan, kepalan tangan kanannya yang besar itu menonjok dari bawah mengarah pusar lawannya. Wanita cantik itu maklum akan datangnya pukulan maut, cepat tubuhnya mengelak ke kiri dan melihat kaki kanan Si Muka Hitam, ia mendapat kesempatan, sambil mengelak kakinya menyambar, ujung sepatunya menendang dengan pengerahan lwee-kang ke arah lutut Si Muka Hitam.

“Krekkk!”

Tak dapat dihindarkan lagi, sambungan lutut Si Muka Hitam tercium ujung sepatu nyonya yang lihai itu.

“Ayaaa.... hwaduhhh.... uggghhh....!”

Si Muka Hitam itu mengaduh-aduh, menyeringai dan mengangkat kaki kanannya ke atas, memegangi kaki itu dengan kedua tangan sambil berloncatan dengan kaki kiri terputar-putar. Rasa nyeri yang amat hebat membuat ia lupa diri dan merintih-rintih, rasa nyeri menusuk-nusuk dari lutut sampai kejantung.

Karena para penonton yang menyaksikan sikapnya tadi sudah merasa tidak senang kepadanya, kini menyaksikan penderitaan Si Muka Hitam mereka tidak merasa kasihan bahkan menjadi geli dan terdengar suara ketawa riuh-rendah. Akhirnya Si Muka Hitam sadar bahwa dia menjadi bahan tertawaan.

“Maafkan saya, Louw-enghiong.”

Nyonya itu berkata kepadanya setelah mendapat teguran pandang dari ayahnya. Kakek itu cepat menghampiri Louw Cang dan menotok kaki yang terluka itu di betis dan paha, kemudian menyerahkan sebungkus obat kepada Si Muka Hitam sambil berkata.

“Harap Louw-enghiong memaafkan kami dan obat ini akan menyembuhkan sambungan lututmu.”

Akan tetapi Si Muka Hitam yang kini tidak lagi menderita terlalu nyeri setelah kakinya ditotok, memandang dengan mata melotot, kemudian membalikkan tubuh tanpa mau menerima obat itu, dan tanpa pamit ia melangkah ke pinggir panggung.

Akan tetapi mukanya menyeringai lagi ketika ia melangkahkan kaki karena begitu digerakkan untuk berjalan, lututnya terasa sakit lagi. Ia menggigit bibir dan tidak berani meloncat turun, kemudian menuruni panggung dengan memanjat tiangnya yang tidak tinggi, setelah tiba di atas tanah ia lalu pergi dengan kaki pengkor, terpincang-pincang sehingga dari belakang tampak pantatnya berjungkat-jungkit dan tubuhnya miring-miring amat lucu bagi para penonton yang makin tidak suka akan sikapnya.

Setelah nyonya itu mundur, kakek itu menghadapi para penonton dan menjura dengan sikap tenang.

“Kami merasa amat menyesal atas kejadian tadi, akan tetapi para sahabat yang lihai dalam ilmu silat tentu mengerti bahwa kejadian itu bukan karena kesalahan anak saya yang didesak-desak. Kami mengharap munculnya para sahabat yang benar-benar ingin berkenalan dan mengisi kekurangan dalam pengetahuan ilmu silat, Kami persilakan!” Ia menjura dan mundur kembali, menabuh tamburnya perlahan-lahan dan lambat-lambat.

Tiba-tiba terjadi kegaduhan di antara para penonton sebelah kiri, dan tampak para penonton bergerak mundur dan minggir untuk memberi jalan kepada beberapa orang perwira Mancu dan para pengikutnya yang melihat pakaiannya adalah perajurit-perajurit yang berpangkat, sedikitnya kepala regu.

Ada tiga orang perwira dan sepuluh orang anak buahnya mendekati panggung itu. Setelah saling bicara dalam bahasa Mancu yang dimengerti oleh Lulu, murid di antara para perwira itu, yang hidungnya melengkung seperti hidung burung kakatua, dengan gerakan ringan meloncat ke atas panggung.

Lulu memandang penuh perhatian, hatinya merasa tidak senang mendengar percakapan mereka tadi sebelum naik ke panggung, karena mereka itu membicarakan kecantikan nyonya tadi dan mengandung niat hati tidak baik, menganggap para rombongan silat itu sebagai “pelanggar hukum”.

Melihat majunya seorang perwira Mancu, kakek penabuh tambur itu kelihatan tenang saja, malah memberi isyarat mata kepada mantunya untuk menggantikannya menabuh tambur. Kemudian ia sendiri melangkah maju menyambut perwira hidung bengkok itu sambil menjura penuh hormat dan berkata.

“Maaf, Tai-ciangkun. Apakah ciangkun juga begitu baik hati untuk berkenalan dengan kami dan memberi petunjuk dalam ilmu silat kepada kami?”

Perwira itu mengangkat dadanya yang bidang dan dengan muka angkuh ia berkata, suaranya nyaring,

“Kakek, apakah engkau tidak tahu akan peraturan dan tidak tahu bahwa kalian telah melanggar hukum?”

Para penonton mendengar suara keras ini menjadi tegang dan gelisah. Juga mantu, anak perempuan dan cucu Si Kakek itu memandang gelisah. Akan tetapi kakek itu tetap tenang saja ketika menjawab.

“Maaf, ciangkun. Sepanjang pengetahuan saya, tidak ada peraturan yang melarang rombongan silat seperti kami membuka pertunjukan silat untuk berkenalan dengan para ahli silat dan untuk meluaskan pengalaman.”

“Hemmm, semua orang tahu bahwa telah dikeluarkan larangan bagi rakyat untuk membawa senjata tajam. Apakah engkau tidak tahu atau barangkali berpura-pura tidak tahu?”

Kembali kakek itu menjura. Keadaan di situ sunyi, tidak ada suara terdengar di antara para penonton yang menjadi gelisah, bahkan sebagian dari para penonton diam-diam telah meninggalkan tempat itu, karena khawatir kalau terbawa-bawa. Apalagi mereka yang merasa telah “melanggar hukum”.

Pada waktu itu, pemerintah Mancu mengeluarkan larangan dan peraturan-peraturan yang menghina penduduk pribumi. Pertama, pribumi dilarang membawa senjata, rambut diharuskan bertumbuh panjang dan dikuncir ke belakang seperti buntut, dan pakaian para pribumi harus “mencontoh” pakaian Mancu!

Tentu saja peraturan ini tidak dapat ditaati secara serentak, dan pemerintah Mancu pun cukup bijaksana dan cerdik untuk tidak terlalu menekan, melainkan perlahan-lahan rakyat pribumi dipaksa ke arah pelaksanaan perintah-perintah itu. Yang terpenting adalah pelarangan membawa senjata tajam yang tentu saja dimaksudkan agar pribumi tidak dapat mengadakan pemberontakan. Maka di antara para penonton yang belum menyesuaikan pakaian dan rambutnya, diam-diam pergi meninggalkan tempat itu ketika Si Perwira Hidung Bengkok mempersoalkan hukum ini.

“Maaf, Tai-ciangkun,” Si Kakek menjawab dengan sikap penuh hormat sungguhpun tidak menjilat, “kami mengerti akan peraturan itu dan tidak ada niat kami untuk melanggarnya. Kami membawa senjata hanya sebagai perlengkapan dalam permainan silat yang kami pertunjukkan. Tanpa senjata, bagaimana kami dapat mempertunjukkan ilmu silat? Cucu saya itu hanya bisa menari pedang, kalau tidak membawa pedang tentu tidak akan dapat menari. Adapun mengenai rambut dan pakaian, hal ini pun terpaksa kami sesuaikan dengan pertunjukan kami. Bagi kami, pertunjukan silat kami selain untuk menarik sahabat-sahabat untuk berkenalan, juga merupakan rombongan kesenian dan tentu saja dibutuhkan pakaian dan tata rambut yang sesuai dan ringkas. Harap ciangkun sudi memaafkan. Kalau tidak sedang mengadakan pertunjukan silat, tentu kami akan mengubah cara kami berpakaian, dan akan kami tinggalkan semua senjata di rumah.”

Perwira itu tertawa dan melirik ke arah nyonya cantik yang berdiri di sudut sambil memandang penuh perhatian.

“Ha-ha¬ha, engkau pandai bicara, Kakek! Aku pun hanya mengingatkan kalian saja, kalau berniat buruk, tentu sudah tadi-tadi kusuruh tangkap kalian! Kalian mencari kenalan ahli silat? Hemmm, kebetulan sekali, aku pun pernah belajar ilmu silat. Tadi kulihat puterimu itu amat lihai ilmu silatnya sehingga mudah saja mengalahkan Si Muka Hitam. Biarlah aku mencoba-coba kelihaiannya. Bagaimana?”

Kakek itu mengerutkan keningnya,
“Ah, anak perempuan saya hanya memiliki ilmu silat pasaran saja, mana ada harganya menandingi Tai-ciangkun? Harap ciangkun jangan main-main.” Kakek itu tersenyum.

“Siapa main-main? Hayo suruh dia maju, hendak kulihat bagaimana kelihaiannya!”

Kakek itu menjadi serba salah. Dia tidak khawatir kalau-kalau anaknya akan kalah, akan tetapi bertanding menghadapi seorang perwira berbeda dengan orang biasa. Kalau lawannya orang biasa, kalah atau menang bukanlah merupakan hal aneh lagi. Akan tetapi kalau melayani perwira ini, kalau anaknya menang si perwira tentu akan merasa tersinggung kehormatannya dan tentu akan mengandalkan kekuasaannya mencelakakan mereka. Akan tetapi kalau anaknya mengalah, tentu saja berbahaya bagi keselamatan anaknya.

“Biarlah saya yang akan maju melayani Tai-ciangkun beberapa jurus,” katanya.

Kalau dia yang maju, tentu saja dia akan mengalah dan tidak mengapa menerima satu dua pukulan dari ciangkun ini, asal keluarganya tidak terganggu.

Akan tetapi, perwira hidung bengkok itu malah menjadi marah. Ia bertolak pinggang dan alisnya diangkat, matanya melotot.

“Heh, kalau orang lain boleh bertanding melawan perempuan itu, mengapa aku tidak? Apakah kau anggap aku tidak cukup berharga untuk bertanding melawan anakmu? Kakek, hati-hatilah engkau dengan sikapmu.”

Wanita itu melangkah maju dan berkata,
“Ayah, biarkan saya melayani Tai-ciangkun ini beberapa jurus.”

Kakek itu menghela napas dan mundur, kembali kepada tamburnya, sedangkan mantunya yang memandang dengan wajah tidak berubah akan tetapi sinar matanya mengandung kekhawatiran, lalu mainkan gembreng.

Wanita itu melangkah perlahan ke tengah panggung, dipandang oleh si perwira yang menelan ludah melihat langkah-langkah lemah gemulai dan pinggang ramping yang meliuk-liuk ketika wanita itu mendekat. Wanita itu benar-benar cantik, amat menarik karena wajahnya yang berkulit halus itu tanpa dihias bedak sama sekali. Bentuk tubuhnya masih ramping padat dan matang seperti biasa tubuh wanita yang sudah tiga puluh kurang lebih usianya dan sudah mempunyai seorang anak.

Wanita itu menjura dengan hormat dan berkata dengan suara halus,
“Tai-ciangkun hendak memberi pelajaran silat kepada saya? Silakan.”

Sejenak perwira itu memandang kagum, terpesona oleh kecantikan asli wanita itu, kemudian tertawa menyeringai. Orang yang ketawa atau senyumnya dibuat-buat, tidak sewajarnya dengan niat agar menarik dan wajahnya berubah tampan, akan kecelik karena senyum atau tawa yang tidak sewajarnya dan dibuat-buat itu akan membuat mukanya makin buruk dan senyumnya seperti monyet menyeringai.

“Heh-heh, Nona terlalu merendah. Akulah yang minta diberi pelajaran silat Nona yang lihai itu.”

Ia sengaja menyebut nona bukan dengan niat tidak menghormat, sebaliknya malah ingin menyenangkan hati orang karena perwira ini maklum bahwa murid wanita akan gembira kalau disebut nona, sebaliknya seorang nona akan cemberut kalau disebut nyonya. Akan tetapi wanita itu adalah seorang ibu yang baik, seorang isteri yang setia, maka mendengar sebutan yang ia tahu disengaja ini, ia menjawab.

“Saya bukan gadis, ciangkun, melainkan seorang ibu. Di sana itu suami saya dan anak perempuan itu adalah anak saya.”

Terdengar suara ketawa ditahan di sana-sini dan perwira itu menyeringai makin lebar, wajahnya agak merah.

“Ah, baiklah, Nyonya. Marilah kita main-main sebentar!”

Ia lalu melangkah maju dan menampar dengan tangan kirinya. Gerakannya seperti orang main-main, akan tetapi nyonya itu terkejut ketika merasa betapa tamparan ini membawa angin pukulan yang amat kuat. Ia tidak berani memandang rendah dan cepat menggerakkan kakinya mundur mengelak, kemudian tubuhnya meliuk ke kiri dan dari samping kakinya mencuat ke arah lambung perwira itu dengan sebuah tendangan kilat.

“Aihhhhh, cepat sekali!”

Si perwira berseru, akan tetapi tidak mengelak, melainkan menggerakkan tangan kanan yang dimiringkan untuk membabat kaki yang menendang.

Wanita itu cepat menarik kembali kakinya dan kini menggunakan kesempatan selagi perwira itu membabatkan tangannya, ia telah mendoyongkan tubuh ke depan dan mengirim pukulan kearah muka siperwira yang terbuka.

Perwira itu sengaja berlaku lambat dan membiarkan tangan lawan meluncur ke arah mukanya. Setelah dekat sekali sehingga kiranya tidak mungkin bagi lawan untuk menarik kembali tangannya seperti yang dilakukannya dengan tendangan tadi, tiba-tiba tangan kirinya bergerak cepat dari bawah, menyambar ke atas dan tahu-tahu pergelangan tangan kanan wanita yang memukul itu telah ditangkapnya!

Terdengar seruan kaget dari suami nyonya itu, juga para penonton menahan seruan mereka. Si wanita sendiri menjadi terkejut karena tidak disangkanya perwira itu memiliki kecepatan seperti itu. Tangan kanannya telah ditangkap dan ia tidak mampu melepaskannya, maka cepat ia memukul ke arah pelipis lawan dengan tangan kiri, dengan pukulan yang melengkung dari luar.

Seperti tadi, perwira itu seperti tidak mengelak, dan setelah pukulan tangan kiri dekat, kembali tangan kanannya menyambar dan menangkap pergelangan tangan kiri lawan yang terus ia bawa ke tangan kiri. Jari-jari tangan kirinya yang panjang kini mencengkeram kedua pergelangan tangan nyonya itu menjadi satu!

“Ohhh.... le.... lepaskan tanganku....!”

Nyonya itu berseru dan meronta, berusaha melepaskan tangannya yang keduanya telah terbelenggu oleh jari-jari tangan yang kuat itu. Namun usahanya sia-sia dan si perwira tertawa-tawa bahkan mengulur tangan kanannya mencengkeram ke arah dada!

Kakek itu terkejut, maklum bahwa nyawa puterinya terancam maut. Akan tetapi ternyata perwira itu tidak mencengkeram untuk membunuh, melainkan mencengkeram dengan halus dan meremas-remas dada wanita itu secara kurang ajar sekali sambil tertawa-tawa!

“Lepaskan isteriku!”

Tiba-tiba laki-laki yang sejak tadi memandang penuh kemarahan, meloncat maju. Ia masih ingat bahwa ia tidak boleh menyerang perwira itu, karena hal ini akan membahayakan keluarganya, maka ia mengulur tangan untuk menarik tubuh isterinya yang sedang mengalami penghinaan dari perwira tak tahu malu itu. Akan tetapi perwira itu membentak.

“Pergilah!”

Tangan kiri yang membelenggu kedua tangan nyonya itu mendorong sehingga tubuh si wanita terhuyung ke belakang, sedangkan tangan kanan yang tadi meremas-remas buah dada kini menghantam ke arah kepala laki-laki suami wanita itu.

“Ahhhh....!”

Laki-laki yang diserang secara tiba-tiba itu cepat menangkis, akan tetapi dengan cepat sekali tangan si perwira itu menyambar pundaknya.

“Krekkk!” Patahlah tulang pundak suami nyonya itu dan tubuhnya terpelanting roboh.

Kakek itu meninggalkan tamburnya, mengangkat bangun mantunya dan kemudian menghadapi si perwira yang bertolak pinggang, menjura dan berkata.

“Kepandaian Tai-ciangkun sungguh hebat sekali dan kami merasa beruntung dan berterima kasih telah mendapat pelajaran dari Ciangkun. Kekalahan ini merupakan pengalaman dan pelajaran bagi kami dan sekarang kami mohon untuk mengundurkan diri meninggalkan kota ini.”

“Ha-ha-ha, nanti dulu, Kakek Tua. Kita telah bertanding dan bukankah kau tadi mengatakan bahwa niat kalian untuk menarik persahabatan? Aku telah bertanding dengan puterimu, berarti aku telah menjadi sahabat pula, bukan? Nah, kulihat ilmu silat puterimu hebat. Malam nanti kami serombongan perwira hendak mengadakan malam gembira, maka sebagai sahabat, aku minta supaya puterimu sekarang juga ikut dengan aku untuk bantu meramaikan malam gembira itu.”

Wajah kakek itu menjadi pucat.
“Maaf, Tai-ciangkun.... hal itu mana bisa dilakukan....?”

“Tentu saja bisa kalau mau!” jawab Si Perwira.

“Aku tidak mau, Tai-ciangkun. Harap ingat bahwa aku adalah seorang isteri, seorang ibu....”

“Ha-ha-ha, beginikah harganya persahabatan kalian?” Perwira itu mengejek dan dua orang perwira lain yang berada di bawah tertawa.

“Kami sudah bosan dengan gadis-gadis, sekali waktu diselingi seorang ibu muda tentu menggembirakan, ha-ha-ha!”

Melihat sikap mereka, kakek itu maklum bahwa bahaya tak dapat dihindarkan lagi. Maka ia lalu berkata, nadanya tegas,

“Maaf, Tai-ciangkun. Kami sekeluarga tidak dapat memenuhi permintaanmu itu.”

Perwira itu menggerakkan alisnya dan memandang kakek itu dengan mata disipitkan.
“Apakah ini berarti bahwa aku harus mengalahkan engkau dulu?”

Kakek itu maklum bahwa perwira berhidung bengkok ini lihai sekali. Melihat caranya mengalahkan puterinya dan merobohkan mantunya dengan sekali pukul ia tahu bahwa dia sendiri bukan tandingan si perwira. Akan tetapi, demi menjaga kehormatan puterinya dan nama baik keluarganya, ia memandang tajam dan berkata.

“Terserah penilaian Ciang-kun!”

“Hemmm, engkau orang tua tidak memilih hidup enak, malah memilih kematian. Kalau begitu, bersiaplah kau untuk mampus!”

Perwira itu melangkah maju dan pada saat itu berkelebat bayangan orang dan terdengar bentakan halus.

“Tunggu dulu....!”

Perwira hidung bengkok itu menahan serangannya dan melangkah mundur, kemudian berdiri dan terpesona ketika melihat seorang pemuda remaja yang amat tampan telah berdiri di depannya sambil bertolak pinggang, sikapnya angkuh sekali seperti seorang jenderal, akan tetapi wajah yang tampan itu agaknya tidak bisa membayangkan kemarahan maka kelihatannya cerah dan berseri.

Sepasang mata yang lebar dan bercahaya terang seperti sepasang bintang itu seolah-olah menembus dada menjenguk jantung. “Pemuda” ini bukan lain adalah Lulu yang tak dapat menahan kemarahannya lagi menyaksikan lagak dan perbuatan perwira itu.

“Eh, engkau ini siapakah dan mengapa menahan aku menghajar Kakek tak tahu diri ini?”

Si Perwira akhirnya berkata setelah pandang matanya puas meneliti seluruh tubuh pemuda yang berdiri angkuh didepannya itu.

“Engkau yang tak tahu diri!”

Lulu membentak, mengejutkan hati semua orang termasuk kakek yang berdiri di belakangnya itu. Akan tetapi mereka semua makin terkejut dan khawatir lagi ketika pemuda tampan itu melanjutkan kata-katanya sambil menudingkan telunjuknya seperti hendak menusuk hidung yang bengkok itu,

“Engkau ini perwira macam apa, heh? Mengandalkan kepandaian untuk menghina wanita dan memukul rakyat, mengandalkan kedudukan untuk menindas rakyat! Dumeh (mentang-mentang) menjadi perwira, apakah engkau lantas boleh menggunakan kekuasaanmu untuk bertindak sewenang-wenang? Apakah engkau dijadikan perwira untuk menginjak-injak rakyat? Seharusnya prajurit menjadi penjaga keamanan, akan tetapi engkau malah menjadi pengacau keamanan! Seharusnya perajurit menjadi pelindung rakyat! Akan tetapi engkau malah menjadi pengganggu rakyat! Kalau rekan-rekanmu di bawah itu tahu diri dan mengenal kewajiban, tentu engkau sudah diseret turun dari panggung ini dan menerima hukuman dari atasanmu!”

Tidak hanya para penonton dan rombongan silat itu yang tercengang keheranan, juga Si Perwira sendiri berikut teman-temannya memandang dengan melongo. Sikap pemuda ini seperti seorang jenderal memarahi anak buahnya yang menyeleweng saja! Perwira hidung bengkok menjadi curiga dan wajahnya berubah pucat. Ia menduga-duga akan tetapi tidak mengenal pemuda ini, maka ia lalu bertanya.

“Eh, pemuda yang lancang mulut. Siapakah engkau sebetulnya?”

“Aku rakyat biasa yang tidak sudi melihat adanya perwira macam engkau ini menghina rakyat yang tidak berdosa!”

Sejenak perwira itu memandang, kemudian tertawa bergelak.
“Ha-ha-ha-ha, pemuda liar macam engkau ini sungguh menggemaskan! Hemmm, ingin kupukul bibirmu sampai berdarah!”

Ia menoleh kepada teman-teman di bawah panggung.
“Bagaimana kalau aku tangkap pemuda liar ini agar malam nanti dia menjadi badut meramaikan malam gembira kita?”

“Akur! Akur!”

Teriak dua orang perwira dan para anak buahnya. Perwira hidung bengkok itu kembali menghadapi Lulu dan berkata mengejek.

“Kalian orang-orang Han memang sombong! Kalau aku menghina orang-orang Han, engkau mau apa?”

Kemarahan Lulu membuat mukanya menjadi merah. Dia muak menyaksikan sikap perwira bangsanya sendiri! Ayahnya dahulu juga seorang perwira Mancu, akan tetapi ia merasa yakin bahwa ayahnya tidak jahat seperti orang ini.

“Mau apa? Mau apa kau tanya? Mau apa lagi kalau tidak menghancurkan hidungmu yang bengkok itu!”

Bentaknya dan tiba-tiba tubuhnya menerjang maju, kedua tangannya bergerak cepat, yang kiri menyodok perut yang kanan mencengkeram leher!

“Wah-wah, ganas....!”

Perwira yang memandang rendah gadis itu mengejek. Tangan kanan gadis itu datang lebih dulu ke lehernya, cepat ia tangkis dan tangan kiri gadis yang menyodok perutnya, hendak ditangkapnya seperti yang ia lakukan pada nyonya tadi. Akan tetapi, tiba-tiba ia mengeluarkan jerit mengerikan karena tangan kanan Lulu yang ditangkis itu tidak membalik, melainkan meluncur ke atas dan pada detik berikutnya, tangan gadis itu sudah menampar hidungnya yang bengkok!

“Dessss!”

Perwira itu menjerit dan darah muncrat-muncrat dari hidungnya yang benar-benar telah hancur, bukit hidungnya lenyap dan remuk bersama tulang mudanya, dan kini hanya tinggal dua buah lubang yang penuh darah! Lulu mengayun kakinya dan tubuh perwira yang besar itu tertendang, terguling dari atas panggung, menimpa teman-temannya dalam keadaan pingsan!

“Pembunuh! Pemberontak! Tangkap!”

Bentak dua orang perwira lainnya dan bersama sepuluh orang anak buah mereka, dengan marah mereka meloncat ke atas panggung dengan golok terhunus.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar