FB

FB


Ads

Selasa, 09 Desember 2014

Pendekar Super Sakti Jilid 049

Han Han menarik napas panjang, lalu bangkit berdiri, bersandar pada batang pohon, tangan kiri menekan tongkat cabang pohon.

“Aaahhhhh, harapan apalagi yang ada padaku? Aku telah menjadi murid tapadaksa.... tiada gunanya....” Kembali ada dua titik air mata meloncat keluar ke atas pipi Han Han.

Kim Cu memandang penuh iba hati, kemudian ia mendekati Han Han, menggunakan ujung ikat pinggangnya dari sutera untuk menghapus air mata itu.

“Ah, Han Han, kasihan sekali engkau....” Sambil berkata demikian, Kim Cu memandang dengan mata basah.

Han Han makin terharu, air matanya deras mengucur dan ia segera memeluk dan mendekap muka Kim Cu ke dadanya. Gadis itu terisak-isak dan Han Han menengadah ke angkasa, mengejap-ngejapkan mata untuk menahan membanjirnya air matanya.

Sampai lama keduanya berdekapan, Kim Cu membasahi dada Han Han dengan air matanya, kedua lengannya melingkari pinggang Han Han, sedangkan pemuda itu mengusap-usap rambut yang hitam halus dan harum itu.

“Kim Cu....” Han Han berbisik dekat telinga gadis itu. “Benarkah dugaan gurumu bahwa engkau.... mencintaku?”

Gadis itu tidak menjawab, hanya gerakan mukanya yang mengangguk amat meyakinkan. Hati Han Han terasa perih dan dengan halus ia mendorong kedua pundak gadis itu sehingga menjauh. Gadis itu memandang kepadanya dan cinta kasihnya tersinar keluar dari pandang matanya. Han Han membuang muka, tubuhnya miring dan kini ia bersandar pada batang pohon dengan pundak kirinya, alisnya berkerut dan mukanya keruh.

“Kim Cu, ini tidak benar! Engkau tidak bisa mencintaku, tidak boleh! Aku kini telah menjadi seorang laki-laki yang buntung kakinya, murid laki-laki yang tidak berguna sama sekali. Engkau hanya akan menyesal kelak, dan akan malu berada disamping seorang pria yang menjijikkan....”

“Ohhh, Han Han, mengapa kau berkata demikian?”

Kim Cu mengusap air matanya dengan punggung tangan kemudian merangkapkan kedua tangannya dengan jari-jari saling cengkeram, suaranya sungguh-sungguh, menggetar dan penuh perasaan.

“Han Han, kenapa kau menjadi putus asa? Kemana perginya kekerasan hatimu yang dahulu? Kemana perginya kejantananmu yang menyinar semenjak kita masih kecil dahulu? Dahulu engkau begitu keras hati, begitu besar semangat, begitu mengagumkan? Setelah kakimu bun.... eh, hanya tinggal satu apakah engkau menjadi seorang yang tidak berguna lagi? Tidak sama sekali! Seharusnya peristiwa yang kau alami ini malah memperkuat dan memperkeras batinmu! Perlihatkanlah kepada dunia, kepada seluruh manusia bahwa engkau dapat berbuat lebih baik daripada manusia yang utuh tanpa cacad! Bangkitkan semangatmu, tunjukkan bahwa manusia cacad tidak boleh dihina! Jangan menjadi melempem, Han Han!”

Ucapan yang bersemangat dari Kim Cu ini merupakan cambuk yang mencambuki batin Han Han. Seketika matanya memancarkan api, kegairahan hidupnya timbul kembali. Dia bukanlah seperti mutiara embun yang tidak berdaya, yang akan mudah jatuh gugur hanya karena tiupan angin sedikit saja! Dia seorang manusia, yang berakal budi! Biarpun cacad, kalau kemauannya masih ada, mengapa tidak mungkin menjadi orang berguna?

“Aduh, Kim Cu...., terima kasih....!”

Saking gembiranya karena tiba-tiba semangatnya timbul kembali, Han Han merangkul gadis itu dan menciumnya. Dia belum pernah berciuman didasari cinta kasih, dan biasanya dia mencium Lulu secara main-main, dengan hidung pada pipi atau dahinya, hanya menyentuhkan ujung hidungnya sedikit saja pada kulit pipi atau kulit dahi adiknya. Betapa senangnya Lulu menggodanya, mengatakan ujung hidungnya dingin seperti es!






Akan tetapi entah bagaimana, ciumannya sekali ini, yang dibalas oleh Kim Cu dengan sepenuh hati dan kemesraan, menjadi kecupan cium mulut yang penuh gairah, ciuman yang seolah-olah melekat takkan terlepas lagi.

Mereka saling melepaskan ciuman dan rangkulan, saling memandang dengan mata terbelalak dan napas terengah-engah. Wajah Kim Cu menjadi merah sekali dan agaknya untuk menutupi rasa malu yang tiba-tiba timbul, ia berbisik tergagap,

“Han Han, aku.... aku mencintamu....”

Han Han memegang kedua tangan gadis itu.
“Percayalah kalau kau bisa percaya kepadaku, engkau seorang gadis yang kujunjung tinggi di dalam hatiku. Engkau murid gadis yang takkan pernah kulupakan! Engkau seorang gadis yang semulia-mulianya bagiku dan.... heiii, Kim Cu, celaka. Engkau harus lekas kembali! Ah, bagaimana engkau berani meninggalkan kamarmu? Bukankah.... bukankah gurumu mengatakan bahwa engkau tidak boleh keluar dari kamar? Ahhh, bagaimana ini? Tentu engkau akan dibunuh guru dan suhengmu kalau engkau pulang nanti....!”

Tiba-tiba Han Han yang teringat akan keselamatan gadis ini berkata dengan penuh kekhawatiran. Akan tetapi gadis itu menggeleng kepalanya dan berkata,

“Aku sudah lari dari kamarku. Aku.... aku tidak mau kembali. Aku akan ikut bersamamu, Han Han.”

Han Han terkejut sekali.
“Tidak....! Jangan, Kim Cu, jangan! Kalau sampai ketahuan gurumu, dan kakimu.... kakimu dibuntungi seperti aku....”

“Biarlah, dengan begitu keadaan kita akan sama, bukan?” Kim Cu menjawab, suaranya sungguh-sungguh.

Tiba-tiba berkelebat bayangan dan dua orang muda yang sudah memiliki pandangan mata awas dan pendengaran tajam itu cepat menengok. Kagetlah mereka ketika melihat Toat-beng Ciu-sian-li sudah berdiri di hadapan mereka!

“Hemmm.... Kim Cu! Engkau berani menentang perintahku? Engkau sudah begitu tergila-gila kepada bocah ini?”

“Subo, aku mencinta Han Han!” kata Kim Cu dengan berani.

“Toat-beng Ciu-sian-li, jangan salahkan dia. Hukumlah aku kalau pertemuan ini kau anggap suatu pelanggaran!” kata Han Han.

Toat-beng Ciu-sian-li memandang marah. Ia merasa kecewa sekali bahwa Han Han tetap berkeras tidak mau bicara tentang Pulau Es, dan ia lebih kecewa lagi melihat betapa murid yang paling disayangnya, Kim Cu, mencinta pemuda itu dan berani menentang perintahnya.

“Kalian saling mencinta, ya? Hem, baik. Kalian tidak akan terpisah lagi satu sama lain. Hayo ikut bersamaku!”

Nenek itu berkata dengan bengis. Kim Cu dan Han Han saling berpandangan, dan Kim Cu yang merasa tiada gunanya melawan gurunya, berkata kepada Han Han.

“Marilah, Han Han. Apapun yang akan terjadi, aku rela asal bersamamu.”

Ia memegang tangan Han Han, mengajaknya pergi mengikuti gurunya. Han Han yang merasa terharu dan tidak berdaya melindungi gadis itu, tidak berkata apa-apa dan berloncatan dengan sebuah kakinya, dibantu dengan tongkat dan dibimbing oleh Kim Cu.

Mereka berdua maklum bahwa mereka berada di tangan nerek itu, mungkin menghadapi bahaya maut, akan tetapi wajah Kim Cu berseri, sedikit pun tidak takut asal ia bersama orang yang dicintanya. Mati pun bukan apa-apa lagi bagi seorang yang sedang diamuk cinta.

Han Han tidak berani mengaku dalam hatinya bahwa ia mencinta Kim Cu, sungguhpun ia amat suka dan berterima kasih kepada gadis ini sehingga ia akan rela mengorbankan nyawa untuk melindungi gadis ini.

Ia hanya merasa cemas, bukan mengkhawatirkan dirinya sendiri, melainkan gelisah memikirkan keselamatan Kim Cu. Betapapun juga, aku akan menggunakan segala sisa tenaga dan kemampuanku untuk melindungi Kim Cu, demikian pikir dan tekadnya ketika ia berloncatan bersama Kim Cu yang menggandengnya di belakang tubuh nenek yang mengerikan itu.

**** 49 ****





Tidak ada komentar:

Posting Komentar