Di dalam kempitan seorang sakti seperti Toat-beng Ciu-sian-li, apalagi dua jalan darahnya telah ditotok, biarpun sudah sadar Han Han tidak mampu berbuat apa-apa. Melihat dirinya dikempit dan dibawa lari cepat sekali, Han Han berkata.
“Toat-beng Ciu-sian-li, setelah aku kalah, mengapa susah payah membawa aku pergi? Lebih baik kau bunuh sajalah aku, habis perkara!”
Mendengar ini, Toat-beng Ciu-sian-li melemparkan tubuh Han Han ke atas tanah lalu berkata.
“Enak saja membunuhmu! Engkau telah berdosa, telah melanggar peraturan di In-kok-san. Engkau harus dihukum! Ataukah engkau dapat bicara sesuatu untuk meringankan hukumanmu?”
Han Han tersenyum pahit.
“Aku tahu isi hatimu, Ciu-sian-li. Engkau telah menyaksikan kelihaianku dan engkau menghendaki agar supaya aku bicara tentang Pulau Es, bukan?”
“Benar, benar....!” Ciu-sian-li berkata penuh gairah. “Bicaralah, dan aku akan memperingan hukuman, bahkan mungkin saja aku mengampunimu, tergantung dari berharga atau tidaknya bicaramu.”
Han Han berpikir dan hatinya kecewa bukan main. Beginikah wataknya orang-orang pandai di dunia ini? Gak Liat, Siangkoan Lee dan nenek ini adalah orang-orang sakti yang berkepandaian tinggi, sukar dicari bandingnya namun toh mereka masih belum puas akan apa yang mereka miliki, masih amat rakus akan ilmu orang lain! Tidak salah ucapan orang pandai di jaman dahulu bahwa kalau menurutkan nafsu, manusia ini ingin memeluk dunia, ingin menyamai kekuasaan Tuhan!
Kalau ia bicara tentang Pulau Es, nyawanya akan diampuni, tidak akan dibunuh! Benarkah ini? Andaikata benar dan ia menunjukkan Pulau Es kepada nenek ini, padahal dia sendiri sangsi apakah dia akan sanggup mencari pulau itu, berarti dia mengkhianati penghuni Pulau Es! Padahal dia dan Lulu telah menerima budi yang bukan main besarnya dari penghuni Pulau Es!
Apakah artinya hidup menjadi pengkhianat? Dia sudah menjadi anak puthauw, belum mampu membalas kematian orang tuanya, apakah kini mau ditambah menjadi pengkhianat lagi? Biarpun kakeknya seorang jahat, dia akan berusaha agar tidak menjadi orang yang tidak berharga! Lebih baik mati sebagai seorang yang mempertahankan kebenaran daripada hidup sebagai seorang manusia yang rendah budi!
“Tidak ada yang dapat kubicarakan tentang Pulau Es,” katanya tegas.
“Hemmm, bocah keras kepala. Apakah engkau ingin kusiksa?”
“Sesukamulah. Sehebat-hebatnya siksaan hanya akan berakhir dengan kematian, dan aku tidak takut mati, Ciu-sian-li. Ma-bin Lo-mo dan Kang-thouw-kwi sudah menyiksaku habis-habisan, mereka pun hanya melelahkan diri sendiri. Sia-sia. Lebih baik kau bunuh saja aku, habis perkara. Engkau tidak pusing, aku pun tidak jemu!”
Memang luar biasa sekali ketabahan yang tidak lumrah manusia ini dan memang dia tidak hanya menggertak atau pura-pura saja. Ia akan mampu menghadapi maut dengan mata terbuka.
“Hemmm, enaknya. Engkau akan kubawa ke In-kok-san, akan kuberi hukuman agar menjadi contoh bagi semua murid yang murtad!”
Han Han tidak mau menjawab lagi, hanya memandang nenek itu dengan sinar mata tidak acuh sama sekali. Nenek itu mendengus marah, menyambar lagi tubuh Han Han dan mengempitnya lalu membawanya lari cepat sekali seperti terbang.
Para murid di In-kok-san kini telah menjadi pejuang-pejuang muda yang gagah berani dan biarpun mereka itu tidak bekerja sama, juga jumlah mereka hanya beberapa puluh orang saja, namun sudah cukup mendatangkan kepusingan bagi pemerintah Mancu.
In-kok-san kini hanya merupakan tempat di mana kadang-kadang para murid itu pulang, karena memang tidak mempunyai tempat tinggal lagi. Setelah mereka tamat belajar dan mulai membantu perjuangan menentang pemerintah penjajah, In-kok-san menjadi sunyi.
Bahkan Ma-bin Lo-mo jarang sekali berada di puncak itu. Hanya Toat-beng Ciu-sian-li dan tiga orang muridnya yang selalu berada di situ, karena berbeda dengan Ma-bin Lo-mo yang mendidik murid-muridnya untuk memusuhi pemerintah Mancu, Toat-beng Ciu-sian-li tidak mementingkan soal politik, dan tekun melatih tiga orang muridnya, yaitu Kim Cu, Phoa Ciok Lin dan Gu Lai Kwan.
Biarpun demikian, tiga orang muridnya yang semenjak dibawa ke In-kok-san oleh Ma-bin Lo-mo memang sudah membenci bangsa Mancu karena keluarga mereka terbasmi oleh bangsa Mancu, apalagi karena semua murid Ma-bin Lo-mo yang berada di situ juga saudara-saudara seperguruan mereka, maka tiga orang muda ini tentu saja tidak mau tinggal diam melihat perjuangan para murid Ma-bin Lo-mo.
Sering kali mereka bertiga meninggalkan In-kok-san untuk mengganggu pembesar-pembesar Mancu, membunuhi mereka, terutama sekali kepala kampung-kepala kampung atau pembesar-pembesar baru di dusun-dusun. Toat-beng Ciu-sian-li yang melihat betapa tiga orang muridnya juga ikut-ikut berjuang, tidak ambil peduli dan menganggap itu sebagai latihan yang baik bagi mereka.
Akan tetapi betapa kaget, penasaran dan marah hati nenek ini ketika hari itu ketiga orang muridnya melaporkan bahwa mereka bertemu dengan Han Han yang melindungi seorang Panglima Mancu yang hendak pulang ke kota raja dan betapa mereka bertiga telah kalah melawan Han Han!
Tiga orang muridnya yang ia banggakan itu, yang tentu saja ketiganya memiliki tingkat kepandaian lebih tinggi daripada semua murid Ma-bin Lo-mo, kalah oleh murid durhaka yang melarikan diri itu? Nenek itu marah, penasaran, dan juga di sudut hatinya timbul keheranan dan dugaan bahwa Han Han telah mewarisi ilmu-ilmu kesaktian yang terdapat di Pulau Es.
Maka ia lalu turun dari In-kok-san menuju ke kota raja. Di tengah perjalanan ia bertemu dengan Kang-thouw-kwi Gak Liat yang membujuk-bujuknya untuk membantu istana dengan menjanjikan kemuliaan kepada nenek itu. Toat-beng Ciu-sian-li tertarik, maka ia dianjurkan oleh Gak Liat untuk langsung menghadap Pangeran Ouwyang Cin Kok seperti telah direncanakan.
Karena memang dia hendak mencari muridnya yang murtad di kota raja, maka nenek itu menyanggupi dan seperti telah diceritakan, dia bertemu dengan Pangeran Ouwyang Cin Kok dan betapa girang hatinya ketika ia mendengar pula, bahwa Han Han berada di kota raja.
Maka ia lalu ikut menjalankan siasat memancing Han Han keluar kota raja kemudian menangkap pemuda itu dan membawanya ke In-kok-san. Mula-mula memang ia hendak membujuk Han Han untuk bicara tentang Pulau Es, akan tetapi setelah hatinya yakin bahwa ia takkan berhasil membujuk pemuda aneh yang memiliki kekerasan hati luar biasa itu, ia mengambil keputusan untuk mengancam Han Han dengan hukuman-hukuman dan kalau pemuda itu tetap menolak, ia akan menghukum mati di depan murid-muridnya agar para muridnya tunduk kepadanya.
Ketika Toat-beng Ciu-san-li tiba di In-kok-san mengempit tubuh Han Han, tiga orang muridnya menyambutnya dengan berbagai macam perasaan. Gu Lai Kwan menjadi girang sekali bahwa orang yang pernah mengalahkannya dan membuatnya penasaran kini telah ditawan gurunya.
Phoa Ciok Lin juga tersenyum puas karena gadis bermata tajam ini menganggap Han Han sebagai musuh, pembela seorang Panglima Marcu. Adapun Kim Cu memandang Han Han dengan mata terbelalak dan hatinya seperti ditusuk pedang karena ia merasa kasihan sekali dan merasa ngeri betapa bekas sahabatnya yang paling baik ini akan mengalami hukuman yang mengerikan!
Akan tetapi karena ia tak mungkin dapat menolongnya, ia hanya memandang dengan mata terbelalak dan muka pucat. Juga belasan orang murid Ma-bin Lo-mo yang kebetulan berada di In-kok-san memandang dan saling berbisik membicarakan Han Han yang tentu saja mereka kenal sebagai seorang murid yang murtad dan menyeleweng, minggat dari In-kok-san.
“Toat-beng Ciu-sian-li, setelah aku kalah, mengapa susah payah membawa aku pergi? Lebih baik kau bunuh sajalah aku, habis perkara!”
Mendengar ini, Toat-beng Ciu-sian-li melemparkan tubuh Han Han ke atas tanah lalu berkata.
“Enak saja membunuhmu! Engkau telah berdosa, telah melanggar peraturan di In-kok-san. Engkau harus dihukum! Ataukah engkau dapat bicara sesuatu untuk meringankan hukumanmu?”
Han Han tersenyum pahit.
“Aku tahu isi hatimu, Ciu-sian-li. Engkau telah menyaksikan kelihaianku dan engkau menghendaki agar supaya aku bicara tentang Pulau Es, bukan?”
“Benar, benar....!” Ciu-sian-li berkata penuh gairah. “Bicaralah, dan aku akan memperingan hukuman, bahkan mungkin saja aku mengampunimu, tergantung dari berharga atau tidaknya bicaramu.”
Han Han berpikir dan hatinya kecewa bukan main. Beginikah wataknya orang-orang pandai di dunia ini? Gak Liat, Siangkoan Lee dan nenek ini adalah orang-orang sakti yang berkepandaian tinggi, sukar dicari bandingnya namun toh mereka masih belum puas akan apa yang mereka miliki, masih amat rakus akan ilmu orang lain! Tidak salah ucapan orang pandai di jaman dahulu bahwa kalau menurutkan nafsu, manusia ini ingin memeluk dunia, ingin menyamai kekuasaan Tuhan!
Kalau ia bicara tentang Pulau Es, nyawanya akan diampuni, tidak akan dibunuh! Benarkah ini? Andaikata benar dan ia menunjukkan Pulau Es kepada nenek ini, padahal dia sendiri sangsi apakah dia akan sanggup mencari pulau itu, berarti dia mengkhianati penghuni Pulau Es! Padahal dia dan Lulu telah menerima budi yang bukan main besarnya dari penghuni Pulau Es!
Apakah artinya hidup menjadi pengkhianat? Dia sudah menjadi anak puthauw, belum mampu membalas kematian orang tuanya, apakah kini mau ditambah menjadi pengkhianat lagi? Biarpun kakeknya seorang jahat, dia akan berusaha agar tidak menjadi orang yang tidak berharga! Lebih baik mati sebagai seorang yang mempertahankan kebenaran daripada hidup sebagai seorang manusia yang rendah budi!
“Tidak ada yang dapat kubicarakan tentang Pulau Es,” katanya tegas.
“Hemmm, bocah keras kepala. Apakah engkau ingin kusiksa?”
“Sesukamulah. Sehebat-hebatnya siksaan hanya akan berakhir dengan kematian, dan aku tidak takut mati, Ciu-sian-li. Ma-bin Lo-mo dan Kang-thouw-kwi sudah menyiksaku habis-habisan, mereka pun hanya melelahkan diri sendiri. Sia-sia. Lebih baik kau bunuh saja aku, habis perkara. Engkau tidak pusing, aku pun tidak jemu!”
Memang luar biasa sekali ketabahan yang tidak lumrah manusia ini dan memang dia tidak hanya menggertak atau pura-pura saja. Ia akan mampu menghadapi maut dengan mata terbuka.
“Hemmm, enaknya. Engkau akan kubawa ke In-kok-san, akan kuberi hukuman agar menjadi contoh bagi semua murid yang murtad!”
Han Han tidak mau menjawab lagi, hanya memandang nenek itu dengan sinar mata tidak acuh sama sekali. Nenek itu mendengus marah, menyambar lagi tubuh Han Han dan mengempitnya lalu membawanya lari cepat sekali seperti terbang.
Para murid di In-kok-san kini telah menjadi pejuang-pejuang muda yang gagah berani dan biarpun mereka itu tidak bekerja sama, juga jumlah mereka hanya beberapa puluh orang saja, namun sudah cukup mendatangkan kepusingan bagi pemerintah Mancu.
In-kok-san kini hanya merupakan tempat di mana kadang-kadang para murid itu pulang, karena memang tidak mempunyai tempat tinggal lagi. Setelah mereka tamat belajar dan mulai membantu perjuangan menentang pemerintah penjajah, In-kok-san menjadi sunyi.
Bahkan Ma-bin Lo-mo jarang sekali berada di puncak itu. Hanya Toat-beng Ciu-sian-li dan tiga orang muridnya yang selalu berada di situ, karena berbeda dengan Ma-bin Lo-mo yang mendidik murid-muridnya untuk memusuhi pemerintah Mancu, Toat-beng Ciu-sian-li tidak mementingkan soal politik, dan tekun melatih tiga orang muridnya, yaitu Kim Cu, Phoa Ciok Lin dan Gu Lai Kwan.
Biarpun demikian, tiga orang muridnya yang semenjak dibawa ke In-kok-san oleh Ma-bin Lo-mo memang sudah membenci bangsa Mancu karena keluarga mereka terbasmi oleh bangsa Mancu, apalagi karena semua murid Ma-bin Lo-mo yang berada di situ juga saudara-saudara seperguruan mereka, maka tiga orang muda ini tentu saja tidak mau tinggal diam melihat perjuangan para murid Ma-bin Lo-mo.
Sering kali mereka bertiga meninggalkan In-kok-san untuk mengganggu pembesar-pembesar Mancu, membunuhi mereka, terutama sekali kepala kampung-kepala kampung atau pembesar-pembesar baru di dusun-dusun. Toat-beng Ciu-sian-li yang melihat betapa tiga orang muridnya juga ikut-ikut berjuang, tidak ambil peduli dan menganggap itu sebagai latihan yang baik bagi mereka.
Akan tetapi betapa kaget, penasaran dan marah hati nenek ini ketika hari itu ketiga orang muridnya melaporkan bahwa mereka bertemu dengan Han Han yang melindungi seorang Panglima Mancu yang hendak pulang ke kota raja dan betapa mereka bertiga telah kalah melawan Han Han!
Tiga orang muridnya yang ia banggakan itu, yang tentu saja ketiganya memiliki tingkat kepandaian lebih tinggi daripada semua murid Ma-bin Lo-mo, kalah oleh murid durhaka yang melarikan diri itu? Nenek itu marah, penasaran, dan juga di sudut hatinya timbul keheranan dan dugaan bahwa Han Han telah mewarisi ilmu-ilmu kesaktian yang terdapat di Pulau Es.
Maka ia lalu turun dari In-kok-san menuju ke kota raja. Di tengah perjalanan ia bertemu dengan Kang-thouw-kwi Gak Liat yang membujuk-bujuknya untuk membantu istana dengan menjanjikan kemuliaan kepada nenek itu. Toat-beng Ciu-sian-li tertarik, maka ia dianjurkan oleh Gak Liat untuk langsung menghadap Pangeran Ouwyang Cin Kok seperti telah direncanakan.
Karena memang dia hendak mencari muridnya yang murtad di kota raja, maka nenek itu menyanggupi dan seperti telah diceritakan, dia bertemu dengan Pangeran Ouwyang Cin Kok dan betapa girang hatinya ketika ia mendengar pula, bahwa Han Han berada di kota raja.
Maka ia lalu ikut menjalankan siasat memancing Han Han keluar kota raja kemudian menangkap pemuda itu dan membawanya ke In-kok-san. Mula-mula memang ia hendak membujuk Han Han untuk bicara tentang Pulau Es, akan tetapi setelah hatinya yakin bahwa ia takkan berhasil membujuk pemuda aneh yang memiliki kekerasan hati luar biasa itu, ia mengambil keputusan untuk mengancam Han Han dengan hukuman-hukuman dan kalau pemuda itu tetap menolak, ia akan menghukum mati di depan murid-muridnya agar para muridnya tunduk kepadanya.
Ketika Toat-beng Ciu-san-li tiba di In-kok-san mengempit tubuh Han Han, tiga orang muridnya menyambutnya dengan berbagai macam perasaan. Gu Lai Kwan menjadi girang sekali bahwa orang yang pernah mengalahkannya dan membuatnya penasaran kini telah ditawan gurunya.
Phoa Ciok Lin juga tersenyum puas karena gadis bermata tajam ini menganggap Han Han sebagai musuh, pembela seorang Panglima Marcu. Adapun Kim Cu memandang Han Han dengan mata terbelalak dan hatinya seperti ditusuk pedang karena ia merasa kasihan sekali dan merasa ngeri betapa bekas sahabatnya yang paling baik ini akan mengalami hukuman yang mengerikan!
Akan tetapi karena ia tak mungkin dapat menolongnya, ia hanya memandang dengan mata terbelalak dan muka pucat. Juga belasan orang murid Ma-bin Lo-mo yang kebetulan berada di In-kok-san memandang dan saling berbisik membicarakan Han Han yang tentu saja mereka kenal sebagai seorang murid yang murtad dan menyeleweng, minggat dari In-kok-san.
Nenek itu menoleh kepada para murid yang bergerombol memandang itu dan berkata,
“Murid murtad sudah tertangkap, mari kalian saksikan dia dihukum!”
Nenek itu langsung membawa Han Han ke sebuah kamar yang kosong dan buruk, yaitu kamar penyiksaan atau kamar tempat hukuman bagi para murid murtad. Di situ hanya terdapat sebuah dipan bambu kecil di tengah kamar. Toat-beng Ciu-sian-li melempar tubuh Han Han ke atas dipan.
“Ikat kedua tangannya!”
Nenek itu memerintah dan Gu Lai Kwan cepat maju, mengambil tambang yang terbuat dari serat yang ulet dan kuat, menelikung kedua lengan Han Han ke belakang dan membelenggunya, melibat-libat kedua lengan dan tubuhnya dengan erat sekali.
Han Han tidak dapat berdaya karena ia berada dalam keadaan tertotok. Ia hanya sekilas saja melayangkan pandang matanya kepada para murid itu dan mengenal mereka. Akan tetapi ketika bertemu pandang dengan Kim Cu, sejenak pandang mata mereka melekat, dan Han Han menjadi terharu ketika dapat melihat betapa gadis itu memandangnya dengan muka pucat dan sinar mata penuh kekhawatiran dan iba. Ia menarik napas panjang dan mengharap supaya hukuman segera dilaksanakan karena dalam keadaan tertotok seperti itu ia tidak akan terlalu menderita rasa nyeri.
Akan tetapi harapannya ini buyar ketika nenek itu menotoknya dua kali untuk membebaskan jalan darahnya. Maka mulailah ia merasa nyeri-nyeri tubuhnya dan ketika ia berusaha menggerakkan kedua tangan, ia mendapat kenyataan bahwa tambang yang mengikatnya itu kuat sekali. Pula, apa artinya memberontak? Dia tidak akan dapat melawan Toat-beng Ciu-sian-li, apalagi di situ terdapat belasan orang murid nenek itu dan murid-murid Ma-bin Lo-mo yang rata-rata memiliki kepandaian tinggi dan yang tentu akan mengeroyoknya.
Karena ia tidak mau menjadi tontonan, ia lalu miringkan tubuhnya ke kanan, membelakangi para murid In-kok-san dan menyerahkan nasibnya kepada Thian. Bermacam pikiran memasuki benaknya. Dia menghadapi maut yang sekali ini tak mungkin akan dapat ia hindarkan lagi. Dia akan mati! Apakah artinya mati? Apakah bedanya antara mati dan hidup? Dari mana ia datang sebelum hidup? Dalam pengertian manusia yang amat terbatas, setelah lahir dan hidup baru ada, dan sebelum dilahirkan sebagai manusia, dia tidak ada.
Betapa akal budi dapat menyelami keadaan sebelum lahir? Dan betapa pula dapat menyelami keadaan sesudah mati? Betapapun juga, sebelum lahir dia mesti ada, karena tidak mungkin ada terlahir dari tidak ada. Kalau sebelum terlahir itu dia ada tentu sesudah mati juga ada, yaitu keadaan yang menjadi rahasia bagi manusia, yang tak terselami akal manusia selagi hidup.
Jadi, kematian hanya akan mengantarkannya menembus pintu rahasia itu, kembali kepada KEADAAN sebelum dia terlahir. Kalau demikian, sama halnya dengan kembali ke asalnya, yaitu asal sebelum terlahir, mengapa mati takut? Han Han tersenyum, hatinya besar, sedikit pun tidak ada rasa khawatir di hatinya dan ia memejamkan matanya, seperti tidur, atau lebih tepat lagi seperti dalam keadaan samadhi karena memang dia bersamadhi untuk menyambut uluran tangan maut yang sudah berada di ambang pintu.
Keadaan di dalam ruangan itu sunyi senyap, semua murid memandang dengan jantung berdebar. Mereka adalah orang-orang gagah yang sudah banyak menghadapi pertempuran, sudah banyak membunuh musuh tanpa berkedip. Akan tetapi selalu, apabila ada seorang murid In-kok-san menjalani hukuman, jantung mereka berdebar tegang, karena nasib seperti yang dialami si murid terhukum sewaktu-waktu dapat menimpa pula diri mereka sendiri.
“Kim Cu, kau isi guci arakku yang kosong ini!”
Toat-beng Ciu-sian-li berkata sambil melontarkan guci araknya yang kosong kepada si murid. Lontaran ini sengaja ia lakukan dengan tenaga sin-kang sehingga bagi orang yang tidak memiliki sin-kang kuat dan tidak terlatih, menerima lontaran guci ini saja cukup untuk membuatnya roboh dengan nyawa melayang meninggalkan badan!
Akan tetapi dengan tubuh miring, Kim Cu dapat menerima guci itu dengan baik, lalu lari pergi untuk mengisi guci arak itu dengan arak simpanan gurunya. Setelah mengisi guci arak, ia berlari kembali dan menyerahkan guci arak kepada gurunya.
Toat-beng Ciu-sian-li menenggak guci araknya. Beberapa tetes arak mengalir keluar dari mulutnya karena agaknya sudah ketagihan sekali dan tergesa-gesa minum araknya. Kemudian ia menurunkan guci dari mulut dan berkata, suaranya bengis menyeramkan.
“Murid-muridku, juga murid Ma-bin Lo-mo, semua muri-dmurid In-kok-san. Lihat baik-baik, Sie Han ini adalah seorang murid yang murtad, yang telah minggat dan melakukan banyak hal yang melanggar peraturan Perguruan In-kok-san. Oleh karena itu, hari ini kalian akan menyaksikan dia dihukum. Akan tetapi sebelum hukuman dilakukan, aku masih memberi kesempatan kepadanya untuk membuka suatu rahasia. Apabila dia suka bicara, mungkin sekali aku akan mengampuninya. Heh, Han Han, sekarang tibalah saat terakhir bagimu! Masihkah engkau berkeras kepala dan tidak mau bicara tentang rahasia itu kepadaku?”
Hening sejenak di situ. Keheningan yang mencekam perasaan. Semua murid ingin mendengarkan jawaban Han Han. Kim Cu yang makin pucat mukanya itu terdengar berkata, seperti orang mimpi, sehingga dapat diketahui bahwa dia bicara di luar kesadarannya, suara yang keluar dari hatinya yang terguncang, suara yang gemetar.
“Han Han.... kau bicaralah....!”
Gadis itu terkejut sendiri mendengar suara hatinya keluar dari mulutnya, memecah kesunyian. Ketika ia sadar bahwa semua mata kini ditujukan kepadanya, wajahnya menjadi merah dan ia menundukkan mukanya.
Han Han yang berada dalam keadaan samadhi itu seperti mimpi. Ia melihat bayangan ibunya. Ibunya menghampirinya, mengulurkan kedua tangan dengan pandang mata penuh kasih sayang.
Tiba-tiba terdengar suara Toat-beng Ciu-sian-li tadi yang disusul suara Kim Cu. Bayangan ibunya melangkah mundur, kemudian membalikkan tubuh dan berdiri membelakanginya seperti orang berduka, menundukkan muka.
Karena Han Han ingin agar kematian segera menjemputnya, agar ia dapat mengikuti ibunya yang memiliki sinar mata demikian penuh kasih sayang, yang tak pernah ia temui dalam pandang mata siapa pun di dunia ini, melebihi kemesraan pandang mata Lulu, ia lalu menggelengkan kepala untuk menjawab pertanyaan Toat-beng Ciu-sian-li dan anjuran Kim Cu. Ia masih memejamkan matanya dan menujukan perhatiannya kepada tubuh ibunya yang berdiri membelakanginya dan pundak ibunya bergerak-gerak seperti orang menangis.
Toat-beng Ciu-sian-li marah sekali. Pemuda itu sungguh menggemaskan. Menjawab dengan mulut pun tidak mau, hanya menggeleng kepala.
“Gu Lai Kwan, ambil golok alat menghukum!” bentaknya.
Gu Lai Kwan meloncat ke sudut di mana terdapat sebatang golok. Golok ini memang dipersiapkan di tempat itu bersama alat-alat lain untuk menghukum murid murtad. Semua orang murid di situ tahu belaka bahwa murid-murid yang melarikan diri akan dihukum dengan pembuntungan kaki! Mereka memandang dan makin tegang ketika Gu Lai Kwan berdiri di dekat gurunya, membawa golok yang diminta.
“Lai Kwan, aku menunjuk engkau sebagai pelaksana hukuman. Kau pergunakan golok itu untuk memenggal leher Sie Han!”
Suara nenek ini bagaikan halilintar menyambar, membuat wajah para murid menjadi pucat. Gu Lai Kwan sendiri yang tadinya berseri wajahnya karena dia diberi kehormatan sebagai pelaksana hukuman, terbelalak mendengar ucapan gurunya itu. Dia memang penasaran dan marah kepada Han Han. Akan tetapi tadinya dia tidak mengira bahwa dia akan diperintahkan memenggal leher Han Han.
“Le.... lehernya, subo....?” tanyanya, seolah-olah ia khawatir kalau ia salah mendengar perintah gurunya.
Toat-beng Ciu-sian-li memandang muridnya ini dengan mata mendelik.
“Lehernya, kau dengar? Lehernya! Penggal lehernya! Bocah keparat ini harus mati!”
Setelah berkata demikian, nenek itu mengangkat guci araknya dan minum arak menggelogok dengan mata mengerling ke arah dipan untuk menyaksikan pelaksanaan hukuman dan menikmatinya sambil minum araknya!
Gu Lai Kwan mengangkat golok itu ke atas mukanya sungguh-sungguh dan kini sinar matanya mengandung kekejaman. Ia hanya pelaksana dan ia harus mentaati perintah gurunya.
Semua murid yang menyaksikan itu mengikuti setiap gerakan tangan Gu Lai Kwan yang mengangkat golok ke atas dengan hati berdebar-debar. Kemudian Lai Kwan mengerahkan tenaga pada lengannya, berseru keras,
“Haiiittttt!”
Golok itu berubah menjadi sinar putih menyilaukan mata yang menyambar dari atas ke bawah, menuju leher Han Han yang rebah miring ke kanan membelakanginya.
“Ohhhhh, jangan....!”
Jeritan ini keluar dari mulut Kim Cu dan gadis ini sudah menyambitkan sebuah senjata rahasia berbentuk bola baja berduri yang menyambar cepat sekali ke arah golok yang sedang melayang menuju ke leher Han Han.
“Tranggggg....!”
Golok yang tadinya melayang turun ke arah leher Han Han itu terpukul senjata rahasia, menyeleweng ke kiri, menyambar kaki kiri Han Han.
“Crokkkkk!”
“Ibuuuuu....!”
Kaki kiri Han Han terbabat golok, buntung di atas lututnya dan darah mengucur deras, kaki yang buntung terlempar ke bawah dipan.
“Ibuuuuu....! Jangan tinggalkan anakmu, Ibu....!”
Han Han menjerit, dengan mata masih terpejam karena ia melihat bayangan ibunya melangkah pergi, makin lama makin jauh dan makin kecil, sehingga akhirnya lenyap.
“Ibuuuuu....!” Sekali lagi Han Han menjerit dan ia roboh pingsan.
Ketika ia siuman kembali, ia melihat Kim Cu berlutut di dekat dipan dan gadis itu menotok punggung dan pangkal pahanya untuk menghentikan darah yang mengucur keluar dari pahanya yang buntung. Han Han merasa betapa kaki kirinya perih dan nyeri sekali, akan tetapi ia tidak mengeluh dan maklumlah ia bahwa dia tidak dibunuh, melainkan dibuntungi sebelah kaki kirinya!
Ruangan itu sudah tidak terlalu penuh orang lagi. Semua murid Ma-bin Lo-mo telah disuruh pergi oleh Toat-beng Ciu-sian-li yang marah sekali menyaksikan betapa muridnya yang paling ia sayang, Kim Cu, telah melakukan hal yang amat memalukan dan memarahkan hatinya.
Kini yang berada di situ hanya Toat-beng Ciu-sian-li dan tiga orang muridnya. Lai Kwan berdiri di sudut ruangan dengan kening berkerut, hatinya mendongkol terhadap Kim Cu yang telah membuat pelaksanaan tugasnya tidak sempurna. Juga ia mendongkol karena Kim Cu yang diam-diam dicintanya itu membela Han Han.
Phoa Ciok Lin berdiri di sudut lain, memandang ke arah Kim Cu dan gurunya berganti-ganti. Hatinya gelisah karena ia maklum bahwa sucinya itu tentu tidak akan dapat terbebas dari hukuman atas perbuatannya tadi. Nenek itu masih menenggak araknya, matanya mengeluarkan sinar berapi memandang Kim Cu yang agaknya tidak mempedulikan semua itu dan berusaha menghentikan darah yang mengucur dari paha Han Han.
Suasana yang amat sunyi itu menimbulkan kegelisahan di hati Han Han. Pertama, dia tidak jadi mati! Ke dua, kakinya buntung dan apa yang dapat ia lakukan dengan kaki yang hanya tinggal sebelah itu? Ke tiga, ia amat cemas memikirkan nasib Kim Cu, gadis yang telah menolongnya dan di depan gurunya berani menolong menghentikan darahnya dan berusaha pula membebat luka di pahanya dengan robekan ujung baju!
“Kim Cu, mengapa engkau berani menangkis golok Lai Kwan? Mengapa engkau berani menggagalkan hukuman penggal kepala bocah itu?”
Tiba-tiba Nenek itu bertanya, suaranya dingin sekali, perlahan dan lambat, namun malah mendatangkan pengaruh yang menyeramkan, mengandung ancaman yang mengerikan.
Han Han tersentak kaget, memandang Kim Cu. Hatinya penuh haru dan tak terasa lagi dua butir air mata menitik dari kedua matanya. Jadi gadis ini tidak hanya menolongnya setelah kakinya buntung, bahkan gadis ini telah menolong nyawanya, menangkis golok Lai Kwan yang tadinya hendak memenggal lehernya!
“Duhai.... Kim Cu, mengapa kau lakukan itu....?”
Ia berbisik lirih sambil memandang gadis itu dengan mata basah. Kim Cu mendengar bisikan ini dan menoleh, memandang kepadanya. Mata gadis ini pun basah air mata, dan sejenak mereka berpandangan. Han Han merasa seolah-olah ada sesuatu yang aneh sekali memancar keluar dari pandang mata gadis itu, yang membuat jantungnya seperti ditusuk, yang membuatnya terharu sekali.
“Kim Cu! Jawablah!”
Toat-beng Ciu-sian-li membentak sambil menghentakkan kakinya ke atas lantai. Dia marah sekali sehingga bantingan kakinya pada lantai membuat ruangan itu tergetar. Setelah melepaskan pandang matanya dari wajah Han Han, Kim Cu bangkit berdiri dan berkata.
“Subo, teecu menangkis golok Gu-suheng karena teecu menjaga nama baik subo, dan nama kehormatan Perguruan In-kok-san. Semenjak dahulu, peraturan di In-kok-san amatlah adil, hukuman dijatuhkan sesuai dengan dosanya. Han Han memang bersalah, kesalahannya adalah melarikan diri dari In-kok-san. Dan semenjak dahulu, hukuman bagi murid yang melarikan diri adalah kakinya dibuntungkan! Akan tetapi subo hendak memenggal lehernya, maka terpaksa teecu turun tangan dan sekarang Han Han sudah buntung kaki kirinya, berarti bahwa Thian menyetujui pendapat teecu!”
Nenek itu mengerutkan kening.
“Hemmm.... engkau pandai bicara! Akan tetapi mengapa engkau menolongnya dan mengobatinya pula?”
“Subo, betapapun juga, Han Han adalah bekas suteku, bagaimana teecu dapat membiarkan dia menderita seperti ini? Teecu.... merasa kasihan....”
“Heh, bocah tak bermalu! Apa kau kira mudah saja membohongi aku? Apa kau kira mataku buta tak dapat melihat bahwa engkau mencinta pemuda ini?”
Wajah Lai Kwan merah, matanya beringas. Juga wajah Kim Cu menjadi merah sekali, ia menundukkan mukanya. Han Han memandang bengong, mengeluh dan bangkit duduk.
“Toat-beng Ciu-sian-li, harap jangan menyalahkan Kim Cu. Kalau engkau masih penasaran, bunuhlah aku, masih belum terlambat!”
“Han Han!” Kim Cu menjerit, membalikkan tubuh dan memandangnya. “Tidak boleh begitu. Murid yang sudah dihukum, tidak akan dihukum lagi!”
“Keparat! Engkau sudah bukan muridku lagi! Dengan kaki buntung, hendak kulihat apakah engkau akan bisa hidup lagi, dan kalau pun hidup, engkau akan bisa berbuat apa? Engkau telah menjadi seorang buntung, seorang penderita cacad yang tidak berguna lagi. Ha-ha-ha! Pergilah! Kim Cu, engkau masuk kamarmu dan sebelum kusuruh keluar, engkau tidak boleh meninggalkan kamarmu!”
Kim Cu memandang Han Han sejenak lalu membalikkan tubuh lari dari ruangan itu dengan isak tertahan. Han Han menghela napas, lalu bangkit berdiri dengan sebelah kaki. Seluruh tubuhnya menggigil oleh rasa nyeri yang kiut-miut rasanya, membuat ia pucat sekali menahan rasa nyeri.
Seluruh tubuhnya seperti ditusuk-tusuk dan kepalanya pening, pandang matanya berkunang. Terpaksa ia memejamkan mata untuk menghilangkan bintang-bintang yang menari-nari di depan matanya, ratusan bintang. Namun, ketika ia memejamkan mata, bintang-bintang itu makin bersinar dan makin cepat bergerak-gerak di depan matanya.
“Ha-ha-ha! Inikah pemuda yang telah mewarisi ilmu dari Pulau Es? Ha-ha-ha, Si Buntung yang tiada guna, lihat betapa lemahnya!”
Mendengar suara ejekan dan ketawa yang amat menusuk perasaan itu, bangkitlah amarah di hati Han Han. Ia segera mengerahkan tenaganya dan hawa yang hangat mengalir di tubuhnya.
Akan tetapi aneh sekali, dahulu kalau dia sudah marah dan mengerahkan sin-kang, selalu timbul sifat beringas dan buas yang membuat ia ingin melihat darah mengalir di tubuh lawan, ingin melihat lawan tergolek tak bernyawa di depan kakinya. Kini perasaan itu tidak ada, perasaan yang dahulu menyiksa hatinya setelah ia melihat akibat daripada kebuasannya. Kini ia merasa tenang dan setelah ia mengerahkan tenaga, kepeningan kepalanya berkurang. Ia membuka mata, lalu melangkah. Ia lupa bahwa kakinya tinggal sebuah, maka ia tersuruk ke depan dan roboh menelungkup!
Gu Lai Kwan hanya memandang dengan muka keruh. Ia membenci Han Han setelah mendengar pernyataan gurunya bahwa Kim Cu mencinta pemuda yang kini buntung kakinya itu. Adapun Phoa Ciok Lin memandang dengan mata tajam, tidak ada perasaan apa-apa terbayang di wajahnya.
Han Han kembali mendengar suara ketawa Toat-beng Ciu-sian-li. Ia mengerahkan tenaga dan bangkit lagi dengan kedua tangannya menekan lantai, lalu berdiri dan dengan hati-hati ia berloncatan dengan sebelah kaki menuju ke pintu, terus keluar dari rumah Perguruan In-kok-san itu. Akan tetapi dalam keadaan menderita nyeri yang hebat itu, ia tidak melihat jurusan dan kiranya ia keluar dari pintu belakang memasuki taman In-kok-san. Ia berloncatan terus dengan sebelah kakinya.
Hari sudah lewat senja. Taman itu mulai gelap. Akan tetapi Han Han berloncatan terus, kalau hendak roboh ia menangkap batang pohon, mengaso sebentar untuk melenyapkan rasa berdenyut-denyut di kaki yang naik ke dada dan kepala.
Dipatahkannya sebuah cabang pohon yang rendah, dibuangnya ranting dan daun, dan cabang itu ia pergunakan sebagai tongkat. Ia berloncatan, lambat sekali, terus ke depan. Akhirnya ia roboh juga, setengah pingsan setengah tidur di bawah pohon di luar taman dalam sebuah hutan siong, menggeletak terlentang dan tongkatnya melintang di atas dadanya.
Menjelang subuh, ia terbangun oleh suara kokok ayam hutan. Dilihatnya, cuaca masih amat gelap, hawanya dingin bukan main. Rasa nyeri pada kakinya sudah banyak berkurang, dapat ditahankan, akan tetapi perutnya terasa perih sekali karena lapar. Sudah empat hari empat malam dia tidak makan, semenjak ditangkap Toat-beng Ciu-sian-li. Dan kehilangan darah membuat tubuhnya lemas.
Ia bangkit duduk, bersandar batang pohon, menengadah memandang langit yang hitam penuh bintang. Amat indah pemandangan di angkasa itu. Adakah ibunya di sana, di antara bintang-bintang itu? Alangkah akan senangnya dapat berada di sana di samping ibunya. Jauh daripada penderitaan hidup.
Mati sudah pasti tidak seburuk hidup kalau menderita begini. Yang jelas, tidak akan ia rasakan lagi nyeri-nyeri di tubuh, lapar di perut dan kepusingan karena segala kegagalan yang dialaminya. Kini ia menjadi seorang tapadaksa, murid buntung yang tentu tidak akan ada gunanya, seperti yang dikatakan Toat-beng Ciu-sianli. Apalagi hendak membalas dendam orang tuanya, melangkah pun harus berloncatan dibantu tongkat, itu pun tidak tegak! Tugasnya belum selesai sama sekali. Ia meraba dadanya.
Kantung berisi surat-surat peninggalan penghuni Pulau Es masih disimpannya. Surat-surat itu belum dapat ia sampaikan kepada orang yang berhak menerimanya. Kewajiban ini belum dilaksanakan. Kemudian membalas dendam keluarganya juga sama sekali tidak dapat dilaksanakannya. Seorang di antara tujuh perwira musuhnya telah menjadi cihu-nya.
Biarpun kini ia menduga bahwa cihunya bersekongkol dengan tokoh-tokoh istana itu, menyerahkannya kepada Toat-beng Ciu-sian-li, tetap saja ia tidak mungkin akan dapat membunuh orang yang dicinta cicinya. Dan enam orang perwira lain pun tak mungkin dapat dibalas setelah ia kini menjadi buntung. Di waktu ia belum buntung pun ia tidak mampu membalas. Musuh-musuhnya itu dilindungi orang-orang sakti. Masih ada tugas lagi yang makin sulit dilaksanakan, yaitu mencari Lulu!
Ia mengingat-ingat jalan hidupnya. Teringat ia akan wejangan kakek di Siauw-lim-si. Perbuatan berguna apakah yang telah ia lakukan? Tidak ada! Bahkan ia hanya menjadi sebab timbulnya hal-hal yang menyedihkan, yang mengorbankan nyawa orang.
Yang terakhir ini pun ia telah menyebabkan celakanya Kim Cu. Ah, kasihan gadis itu, entah bagaimana nasibnya nanti. Dan gadis itu mencintanya? Tidak mungkin! Mana ada gadis yang mencinta seorang sial seperti dia, apalagi kini dia hanya seorang pemuda buntung! Buntung kakinya!
Tiba-tiba ia teringat lagi akan wejangan dan nasihat kakek di kuil Siauw-lim-si. Dia dinasihatkan untuk membuntungi kaki kirinya di samping harus belajar mengalah kepada orang lain. Membuntungi kaki kiri? Han Han tersenyum duka dan memandang kaki kirinya yang sudah tidak ada. Kini hanya tampak sepotong kaki celana menutupi pahanya yang buntung.
Tidak susah ia buntungkan, kini sudah ada yang membuntungi kakinya! Agaknya kakek tua di kuil itu sudah tahu bahwa kakinya akan buntung maka menasihatinya agar membuntungi kakinya sendiri, daripada dibuntungi orang lain. Ia tersenyum pahit. Nasihat yang tidak lucu!
Dia belum ditakdirkan mati, masih diharuskan hidup oleh Yang Maha Kuasa. Baik, dia akan hidup, dan apa pun jadinya, akan ia hadapi, sungguhpun dia tidak mungkin dapat mengharapkan untuk melaksanakan tugasnya yang pertama, yaitu membalas dendam. Timbul rasa rindunya kepada Lulu, adiknya. Kalau saja Lulu berada di sampingnya, tentu akan dapat menghiburnya. Akan tetapi wahai.... alangkah akan hancur hati adiknya itu kalau melihat kakinya buntung!
Berpikir demikian, timbul pula rasa iba terhadap dirinya sendiri dan tak kuasa bertahan lagi Han Han mengucurkan air mata. Sampai lama ia menangis seperti ini. Tiba-tiba ia tersentak kaget ketika teringat betapa ia telah menangis mengguguk. Selamanya belum pernah ia berhal seperti ini! Mengapa ia sampai menangis seperti ini? Ke mana kekerasan hatinya? Ia meloncat bangun, lupa akan buntungnya dan ia jatuh lagi, mengeluh. Ia merasa seolah-olah telah menjadi seorang manusia lain sekali. Dan ia menjadi gelisah. Ia termenung, air mata masih membasahi pipinya, matanya masih merah bekas banyak menangis.
Berjam-jam ia termenung, pikirannya kosong, hanyut terbawa pergi melayang-layang bersama embun pagi yang mulai terusir sinar matahari pagi. Telinganya tidak mendengar kicau burung yang riang gembira menyambut pagi. Matanya tidak menyaksikan keindahan sinar surya yang cemerlang menembus celah-celah daun, menciptakan mutiara-mutiara dari titik-titik embun yang bergantungan pada daun pohon.
Sambaran seekor burung yang mungkin mengira pemuda ini hanya sebatang tonggak, hampir hinggap di atas rambutnya, menyadarkan Han Han. Ia bergerak dan berdongak. Matanya tertawan oleh berkilaunya setetes air embun yang disinari matahari pagi, menjadi sebutir mutiara yang bercahaya.
Ia terpesona. Sesaat ia lupa akan nyeri tubuhnya, lupa akan lapar perutnya. Pandang matanya lekat pada sebutir air yang berubah menjadi mutiara itu, lekat dan seolah-olah ia pun bergantung pada ujung daun itu, bergantung dengan butiran air embun berkilauan, jauh dari derita, jauh dari kepahitan, hanya aman damai dan bahagia.
Tiba-tiba butiran mutiara itu runtuh dan lenyap, sebutir pecah menimpa bumi, lenyap tak berbekas. Ujung daun itu kosong, tidak ada apa-apa lagi, tidak ada mutiara-mutiara berkilau.
Han Han tersentak kaget, penuh kecewa. Hemmm, seperti itulah hidup. Hanya setetes air yang berkilauan untuk beberapa lama saja. Kemudian apabila saatnya tiba, akan gugur dan lenyap tanpa meninggalkan bekas!
Ia menghela napas panjang. Dia adalah ibarat mutiara air embun yang gugur sebelum waktunya. Lenyap sudah kilauannya, lenyap kebahagiaannya sebelum mati! Seperti air embun berkilau tiba-tiba kehilangan cahayanya karena matahari tertutup mendung. Hanya tinggal air yang bergantung di daun pohon, tidak ada indahnya, tidak ada cahayanya, hanya menanti saat gugur ke bumi. Seperti dia! Hidup tiada guna, buntung, sukar bergerak, hanya menanti datangnya maut menjemput!
“Han Han....!” Suara yang halus merdu penuh iba itu memanggilnya seperti berbisik.
Han Han menoleh dan melihat Kim Cu telah berdiri di situ, membawa sebuah buntalan. Gadis yang cantik manis, rambutnya yang hitam halus itu terurai kusut, matanya masih basah bekas tangis, pakaiannya juga kusut, wajahnya agak pucat, pandang matanya penuh iba ditujukan kepada wajah Han Han, kemudian perlahan-lahan menurun, ke arah paha yang buntung.
“Kim Cu.... engkau.... datang ke sini....?” Han Han menegur penuh kekhawatiran. “Tentu Gurumu akan marah....”
Kim CU berlutut dekat Han Han dan berkata,
“Jangan banyak bicara dulu, mari kau makanlah ini. Kubawakan makanan dan minuman, dan obat bubuk untuk menambah darah, obat untuk mengobati lukamu....”
Melihat gadis itu dengan jari-jari tangannya yang kecil-kecil meruncing membuka buntalan, mengeluarkan roti dan sedikit daging, sebotol minuman air hangat, menghidangkannya di depannya, Han Han mengikuti segala gerakannya dengan hati penuh keharuan.
“Han Han, makanlah dulu....” Gadis itu mengangkat muka. Mereka berpandangan. Kim Cu terisak, menggigit bibir menahan tangis. “Han Han.... kau.... kau menangis....?” Ia melihat dua butir air mata turun perlahan dari kedua mata pemuda yang terbuka lebar.
“Kim Cu....” Suara Han Han menggetar. “Mengapa....?”
Kim Cu memandang, juga air matanya berderai,
“Kau hendak berkata apa....?”
“Mengapa engkau sebaik ini kepadaku....?”
Dengan air mata masih berderai Kim Cu memandang, bibirnya yang dirapatkan itu bergerak-gerak menggigil, seperti hendak menangis, akan tetapi ia lalu memaksa senyum, senyum yang malah menggurat perasaan hati Han Han.
“Makanlah dulu, Han Han. Engkau pucat sekali, matamu merah.... makanlah dulu, baru nanti kita bicara....”
Han Han mengangguk, lalu mengambil roti dan memakannya. Ia lapar sekali, dan roti itu terasa lezat, akan tetapi ia makan perlahan sambil kadang-kadang memandang wajah Kim Cu yang berlutut di situ, berusaha untuk menjenguk isi hati gadis itu. Kim Cu kadang-kadang memandang, akan tetapi kalau pandang mata mereka bertaut, ia lalu menundukkan mukanya dan merangkapkan sepuluh jari tangannya.
Roti yang dibawa Kim Cu itu hampir habis.
“Engkau tidak makan? Marilah....”
Kim Cu menggeleng kepala perlahan.
“Makanlah, habiskan. Aku tidak lapar, engkau tentu lama tidak makan....”
Roti itu habis dan Han Han minum air hangat, menyapu bibirnya dengan ujung lengan baju.
“Kim Cu, banyak terima kasih kuucapkan padamu. Bukan hanya untuk roti dan minuman ini....”
“Sssttttt, nanti dulu. Minumlah obat ini. Obat ini manjur sekali, penambah darah dan peringan rasa nyeri, kemudian akan kugantikan obat ini pada lukamu.”
Han Han minum obat bubuk itu dengan air hangat, kemudian ia melihat betapa Kim Cu membuka balut pahanya. Ia merasa nyeri ketika balut yang melekat dengan darah kering pada lukanya itu diambil.
Akan tetapi ia tidak mengeluh. Hatinya penuh rasa haru dan terima kasih melihat betapa gadis itu membersihkan luka di pahanya tanpa rasa jijik sedikit pun, kemudian menaruhkan obat bubuk dan membalutnya kembali dengan kain bersih yang sengaja dibawanya untuk keperluan itu.
Setelah selesai membalut luka itu, Han Han berkata,
“Kim Cu, percayalah, aku selama hidupku takkan dapat melupakan kebaikan hatimu, karena engkau telah menolong nyawaku, telah melepas budi kepadaku dan terutama sekali, engkau telah mengorbankan dirimu....”
“Jangan katakan itu, Han Han. Mana mungkin aku membiarkan dirimu dibunuh hanya karena kesalahanmu yang kecil itu? Engkau masih muda, engkau masih banyak harapan dalam hidup, mengapa harus dibunuh secara sia-sia?”
“Murid murtad sudah tertangkap, mari kalian saksikan dia dihukum!”
Nenek itu langsung membawa Han Han ke sebuah kamar yang kosong dan buruk, yaitu kamar penyiksaan atau kamar tempat hukuman bagi para murid murtad. Di situ hanya terdapat sebuah dipan bambu kecil di tengah kamar. Toat-beng Ciu-sian-li melempar tubuh Han Han ke atas dipan.
“Ikat kedua tangannya!”
Nenek itu memerintah dan Gu Lai Kwan cepat maju, mengambil tambang yang terbuat dari serat yang ulet dan kuat, menelikung kedua lengan Han Han ke belakang dan membelenggunya, melibat-libat kedua lengan dan tubuhnya dengan erat sekali.
Han Han tidak dapat berdaya karena ia berada dalam keadaan tertotok. Ia hanya sekilas saja melayangkan pandang matanya kepada para murid itu dan mengenal mereka. Akan tetapi ketika bertemu pandang dengan Kim Cu, sejenak pandang mata mereka melekat, dan Han Han menjadi terharu ketika dapat melihat betapa gadis itu memandangnya dengan muka pucat dan sinar mata penuh kekhawatiran dan iba. Ia menarik napas panjang dan mengharap supaya hukuman segera dilaksanakan karena dalam keadaan tertotok seperti itu ia tidak akan terlalu menderita rasa nyeri.
Akan tetapi harapannya ini buyar ketika nenek itu menotoknya dua kali untuk membebaskan jalan darahnya. Maka mulailah ia merasa nyeri-nyeri tubuhnya dan ketika ia berusaha menggerakkan kedua tangan, ia mendapat kenyataan bahwa tambang yang mengikatnya itu kuat sekali. Pula, apa artinya memberontak? Dia tidak akan dapat melawan Toat-beng Ciu-sian-li, apalagi di situ terdapat belasan orang murid nenek itu dan murid-murid Ma-bin Lo-mo yang rata-rata memiliki kepandaian tinggi dan yang tentu akan mengeroyoknya.
Karena ia tidak mau menjadi tontonan, ia lalu miringkan tubuhnya ke kanan, membelakangi para murid In-kok-san dan menyerahkan nasibnya kepada Thian. Bermacam pikiran memasuki benaknya. Dia menghadapi maut yang sekali ini tak mungkin akan dapat ia hindarkan lagi. Dia akan mati! Apakah artinya mati? Apakah bedanya antara mati dan hidup? Dari mana ia datang sebelum hidup? Dalam pengertian manusia yang amat terbatas, setelah lahir dan hidup baru ada, dan sebelum dilahirkan sebagai manusia, dia tidak ada.
Betapa akal budi dapat menyelami keadaan sebelum lahir? Dan betapa pula dapat menyelami keadaan sesudah mati? Betapapun juga, sebelum lahir dia mesti ada, karena tidak mungkin ada terlahir dari tidak ada. Kalau sebelum terlahir itu dia ada tentu sesudah mati juga ada, yaitu keadaan yang menjadi rahasia bagi manusia, yang tak terselami akal manusia selagi hidup.
Jadi, kematian hanya akan mengantarkannya menembus pintu rahasia itu, kembali kepada KEADAAN sebelum dia terlahir. Kalau demikian, sama halnya dengan kembali ke asalnya, yaitu asal sebelum terlahir, mengapa mati takut? Han Han tersenyum, hatinya besar, sedikit pun tidak ada rasa khawatir di hatinya dan ia memejamkan matanya, seperti tidur, atau lebih tepat lagi seperti dalam keadaan samadhi karena memang dia bersamadhi untuk menyambut uluran tangan maut yang sudah berada di ambang pintu.
Keadaan di dalam ruangan itu sunyi senyap, semua murid memandang dengan jantung berdebar. Mereka adalah orang-orang gagah yang sudah banyak menghadapi pertempuran, sudah banyak membunuh musuh tanpa berkedip. Akan tetapi selalu, apabila ada seorang murid In-kok-san menjalani hukuman, jantung mereka berdebar tegang, karena nasib seperti yang dialami si murid terhukum sewaktu-waktu dapat menimpa pula diri mereka sendiri.
“Kim Cu, kau isi guci arakku yang kosong ini!”
Toat-beng Ciu-sian-li berkata sambil melontarkan guci araknya yang kosong kepada si murid. Lontaran ini sengaja ia lakukan dengan tenaga sin-kang sehingga bagi orang yang tidak memiliki sin-kang kuat dan tidak terlatih, menerima lontaran guci ini saja cukup untuk membuatnya roboh dengan nyawa melayang meninggalkan badan!
Akan tetapi dengan tubuh miring, Kim Cu dapat menerima guci itu dengan baik, lalu lari pergi untuk mengisi guci arak itu dengan arak simpanan gurunya. Setelah mengisi guci arak, ia berlari kembali dan menyerahkan guci arak kepada gurunya.
Toat-beng Ciu-sian-li menenggak guci araknya. Beberapa tetes arak mengalir keluar dari mulutnya karena agaknya sudah ketagihan sekali dan tergesa-gesa minum araknya. Kemudian ia menurunkan guci dari mulut dan berkata, suaranya bengis menyeramkan.
“Murid-muridku, juga murid Ma-bin Lo-mo, semua muri-dmurid In-kok-san. Lihat baik-baik, Sie Han ini adalah seorang murid yang murtad, yang telah minggat dan melakukan banyak hal yang melanggar peraturan Perguruan In-kok-san. Oleh karena itu, hari ini kalian akan menyaksikan dia dihukum. Akan tetapi sebelum hukuman dilakukan, aku masih memberi kesempatan kepadanya untuk membuka suatu rahasia. Apabila dia suka bicara, mungkin sekali aku akan mengampuninya. Heh, Han Han, sekarang tibalah saat terakhir bagimu! Masihkah engkau berkeras kepala dan tidak mau bicara tentang rahasia itu kepadaku?”
Hening sejenak di situ. Keheningan yang mencekam perasaan. Semua murid ingin mendengarkan jawaban Han Han. Kim Cu yang makin pucat mukanya itu terdengar berkata, seperti orang mimpi, sehingga dapat diketahui bahwa dia bicara di luar kesadarannya, suara yang keluar dari hatinya yang terguncang, suara yang gemetar.
“Han Han.... kau bicaralah....!”
Gadis itu terkejut sendiri mendengar suara hatinya keluar dari mulutnya, memecah kesunyian. Ketika ia sadar bahwa semua mata kini ditujukan kepadanya, wajahnya menjadi merah dan ia menundukkan mukanya.
Han Han yang berada dalam keadaan samadhi itu seperti mimpi. Ia melihat bayangan ibunya. Ibunya menghampirinya, mengulurkan kedua tangan dengan pandang mata penuh kasih sayang.
Tiba-tiba terdengar suara Toat-beng Ciu-sian-li tadi yang disusul suara Kim Cu. Bayangan ibunya melangkah mundur, kemudian membalikkan tubuh dan berdiri membelakanginya seperti orang berduka, menundukkan muka.
Karena Han Han ingin agar kematian segera menjemputnya, agar ia dapat mengikuti ibunya yang memiliki sinar mata demikian penuh kasih sayang, yang tak pernah ia temui dalam pandang mata siapa pun di dunia ini, melebihi kemesraan pandang mata Lulu, ia lalu menggelengkan kepala untuk menjawab pertanyaan Toat-beng Ciu-sian-li dan anjuran Kim Cu. Ia masih memejamkan matanya dan menujukan perhatiannya kepada tubuh ibunya yang berdiri membelakanginya dan pundak ibunya bergerak-gerak seperti orang menangis.
Toat-beng Ciu-sian-li marah sekali. Pemuda itu sungguh menggemaskan. Menjawab dengan mulut pun tidak mau, hanya menggeleng kepala.
“Gu Lai Kwan, ambil golok alat menghukum!” bentaknya.
Gu Lai Kwan meloncat ke sudut di mana terdapat sebatang golok. Golok ini memang dipersiapkan di tempat itu bersama alat-alat lain untuk menghukum murid murtad. Semua orang murid di situ tahu belaka bahwa murid-murid yang melarikan diri akan dihukum dengan pembuntungan kaki! Mereka memandang dan makin tegang ketika Gu Lai Kwan berdiri di dekat gurunya, membawa golok yang diminta.
“Lai Kwan, aku menunjuk engkau sebagai pelaksana hukuman. Kau pergunakan golok itu untuk memenggal leher Sie Han!”
Suara nenek ini bagaikan halilintar menyambar, membuat wajah para murid menjadi pucat. Gu Lai Kwan sendiri yang tadinya berseri wajahnya karena dia diberi kehormatan sebagai pelaksana hukuman, terbelalak mendengar ucapan gurunya itu. Dia memang penasaran dan marah kepada Han Han. Akan tetapi tadinya dia tidak mengira bahwa dia akan diperintahkan memenggal leher Han Han.
“Le.... lehernya, subo....?” tanyanya, seolah-olah ia khawatir kalau ia salah mendengar perintah gurunya.
Toat-beng Ciu-sian-li memandang muridnya ini dengan mata mendelik.
“Lehernya, kau dengar? Lehernya! Penggal lehernya! Bocah keparat ini harus mati!”
Setelah berkata demikian, nenek itu mengangkat guci araknya dan minum arak menggelogok dengan mata mengerling ke arah dipan untuk menyaksikan pelaksanaan hukuman dan menikmatinya sambil minum araknya!
Gu Lai Kwan mengangkat golok itu ke atas mukanya sungguh-sungguh dan kini sinar matanya mengandung kekejaman. Ia hanya pelaksana dan ia harus mentaati perintah gurunya.
Semua murid yang menyaksikan itu mengikuti setiap gerakan tangan Gu Lai Kwan yang mengangkat golok ke atas dengan hati berdebar-debar. Kemudian Lai Kwan mengerahkan tenaga pada lengannya, berseru keras,
“Haiiittttt!”
Golok itu berubah menjadi sinar putih menyilaukan mata yang menyambar dari atas ke bawah, menuju leher Han Han yang rebah miring ke kanan membelakanginya.
“Ohhhhh, jangan....!”
Jeritan ini keluar dari mulut Kim Cu dan gadis ini sudah menyambitkan sebuah senjata rahasia berbentuk bola baja berduri yang menyambar cepat sekali ke arah golok yang sedang melayang menuju ke leher Han Han.
“Tranggggg....!”
Golok yang tadinya melayang turun ke arah leher Han Han itu terpukul senjata rahasia, menyeleweng ke kiri, menyambar kaki kiri Han Han.
“Crokkkkk!”
“Ibuuuuu....!”
Kaki kiri Han Han terbabat golok, buntung di atas lututnya dan darah mengucur deras, kaki yang buntung terlempar ke bawah dipan.
“Ibuuuuu....! Jangan tinggalkan anakmu, Ibu....!”
Han Han menjerit, dengan mata masih terpejam karena ia melihat bayangan ibunya melangkah pergi, makin lama makin jauh dan makin kecil, sehingga akhirnya lenyap.
“Ibuuuuu....!” Sekali lagi Han Han menjerit dan ia roboh pingsan.
Ketika ia siuman kembali, ia melihat Kim Cu berlutut di dekat dipan dan gadis itu menotok punggung dan pangkal pahanya untuk menghentikan darah yang mengucur keluar dari pahanya yang buntung. Han Han merasa betapa kaki kirinya perih dan nyeri sekali, akan tetapi ia tidak mengeluh dan maklumlah ia bahwa dia tidak dibunuh, melainkan dibuntungi sebelah kaki kirinya!
Ruangan itu sudah tidak terlalu penuh orang lagi. Semua murid Ma-bin Lo-mo telah disuruh pergi oleh Toat-beng Ciu-sian-li yang marah sekali menyaksikan betapa muridnya yang paling ia sayang, Kim Cu, telah melakukan hal yang amat memalukan dan memarahkan hatinya.
Kini yang berada di situ hanya Toat-beng Ciu-sian-li dan tiga orang muridnya. Lai Kwan berdiri di sudut ruangan dengan kening berkerut, hatinya mendongkol terhadap Kim Cu yang telah membuat pelaksanaan tugasnya tidak sempurna. Juga ia mendongkol karena Kim Cu yang diam-diam dicintanya itu membela Han Han.
Phoa Ciok Lin berdiri di sudut lain, memandang ke arah Kim Cu dan gurunya berganti-ganti. Hatinya gelisah karena ia maklum bahwa sucinya itu tentu tidak akan dapat terbebas dari hukuman atas perbuatannya tadi. Nenek itu masih menenggak araknya, matanya mengeluarkan sinar berapi memandang Kim Cu yang agaknya tidak mempedulikan semua itu dan berusaha menghentikan darah yang mengucur dari paha Han Han.
Suasana yang amat sunyi itu menimbulkan kegelisahan di hati Han Han. Pertama, dia tidak jadi mati! Ke dua, kakinya buntung dan apa yang dapat ia lakukan dengan kaki yang hanya tinggal sebelah itu? Ke tiga, ia amat cemas memikirkan nasib Kim Cu, gadis yang telah menolongnya dan di depan gurunya berani menolong menghentikan darahnya dan berusaha pula membebat luka di pahanya dengan robekan ujung baju!
“Kim Cu, mengapa engkau berani menangkis golok Lai Kwan? Mengapa engkau berani menggagalkan hukuman penggal kepala bocah itu?”
Tiba-tiba Nenek itu bertanya, suaranya dingin sekali, perlahan dan lambat, namun malah mendatangkan pengaruh yang menyeramkan, mengandung ancaman yang mengerikan.
Han Han tersentak kaget, memandang Kim Cu. Hatinya penuh haru dan tak terasa lagi dua butir air mata menitik dari kedua matanya. Jadi gadis ini tidak hanya menolongnya setelah kakinya buntung, bahkan gadis ini telah menolong nyawanya, menangkis golok Lai Kwan yang tadinya hendak memenggal lehernya!
“Duhai.... Kim Cu, mengapa kau lakukan itu....?”
Ia berbisik lirih sambil memandang gadis itu dengan mata basah. Kim Cu mendengar bisikan ini dan menoleh, memandang kepadanya. Mata gadis ini pun basah air mata, dan sejenak mereka berpandangan. Han Han merasa seolah-olah ada sesuatu yang aneh sekali memancar keluar dari pandang mata gadis itu, yang membuat jantungnya seperti ditusuk, yang membuatnya terharu sekali.
“Kim Cu! Jawablah!”
Toat-beng Ciu-sian-li membentak sambil menghentakkan kakinya ke atas lantai. Dia marah sekali sehingga bantingan kakinya pada lantai membuat ruangan itu tergetar. Setelah melepaskan pandang matanya dari wajah Han Han, Kim Cu bangkit berdiri dan berkata.
“Subo, teecu menangkis golok Gu-suheng karena teecu menjaga nama baik subo, dan nama kehormatan Perguruan In-kok-san. Semenjak dahulu, peraturan di In-kok-san amatlah adil, hukuman dijatuhkan sesuai dengan dosanya. Han Han memang bersalah, kesalahannya adalah melarikan diri dari In-kok-san. Dan semenjak dahulu, hukuman bagi murid yang melarikan diri adalah kakinya dibuntungkan! Akan tetapi subo hendak memenggal lehernya, maka terpaksa teecu turun tangan dan sekarang Han Han sudah buntung kaki kirinya, berarti bahwa Thian menyetujui pendapat teecu!”
Nenek itu mengerutkan kening.
“Hemmm.... engkau pandai bicara! Akan tetapi mengapa engkau menolongnya dan mengobatinya pula?”
“Subo, betapapun juga, Han Han adalah bekas suteku, bagaimana teecu dapat membiarkan dia menderita seperti ini? Teecu.... merasa kasihan....”
“Heh, bocah tak bermalu! Apa kau kira mudah saja membohongi aku? Apa kau kira mataku buta tak dapat melihat bahwa engkau mencinta pemuda ini?”
Wajah Lai Kwan merah, matanya beringas. Juga wajah Kim Cu menjadi merah sekali, ia menundukkan mukanya. Han Han memandang bengong, mengeluh dan bangkit duduk.
“Toat-beng Ciu-sian-li, harap jangan menyalahkan Kim Cu. Kalau engkau masih penasaran, bunuhlah aku, masih belum terlambat!”
“Han Han!” Kim Cu menjerit, membalikkan tubuh dan memandangnya. “Tidak boleh begitu. Murid yang sudah dihukum, tidak akan dihukum lagi!”
“Keparat! Engkau sudah bukan muridku lagi! Dengan kaki buntung, hendak kulihat apakah engkau akan bisa hidup lagi, dan kalau pun hidup, engkau akan bisa berbuat apa? Engkau telah menjadi seorang buntung, seorang penderita cacad yang tidak berguna lagi. Ha-ha-ha! Pergilah! Kim Cu, engkau masuk kamarmu dan sebelum kusuruh keluar, engkau tidak boleh meninggalkan kamarmu!”
Kim Cu memandang Han Han sejenak lalu membalikkan tubuh lari dari ruangan itu dengan isak tertahan. Han Han menghela napas, lalu bangkit berdiri dengan sebelah kaki. Seluruh tubuhnya menggigil oleh rasa nyeri yang kiut-miut rasanya, membuat ia pucat sekali menahan rasa nyeri.
Seluruh tubuhnya seperti ditusuk-tusuk dan kepalanya pening, pandang matanya berkunang. Terpaksa ia memejamkan mata untuk menghilangkan bintang-bintang yang menari-nari di depan matanya, ratusan bintang. Namun, ketika ia memejamkan mata, bintang-bintang itu makin bersinar dan makin cepat bergerak-gerak di depan matanya.
“Ha-ha-ha! Inikah pemuda yang telah mewarisi ilmu dari Pulau Es? Ha-ha-ha, Si Buntung yang tiada guna, lihat betapa lemahnya!”
Mendengar suara ejekan dan ketawa yang amat menusuk perasaan itu, bangkitlah amarah di hati Han Han. Ia segera mengerahkan tenaganya dan hawa yang hangat mengalir di tubuhnya.
Akan tetapi aneh sekali, dahulu kalau dia sudah marah dan mengerahkan sin-kang, selalu timbul sifat beringas dan buas yang membuat ia ingin melihat darah mengalir di tubuh lawan, ingin melihat lawan tergolek tak bernyawa di depan kakinya. Kini perasaan itu tidak ada, perasaan yang dahulu menyiksa hatinya setelah ia melihat akibat daripada kebuasannya. Kini ia merasa tenang dan setelah ia mengerahkan tenaga, kepeningan kepalanya berkurang. Ia membuka mata, lalu melangkah. Ia lupa bahwa kakinya tinggal sebuah, maka ia tersuruk ke depan dan roboh menelungkup!
Gu Lai Kwan hanya memandang dengan muka keruh. Ia membenci Han Han setelah mendengar pernyataan gurunya bahwa Kim Cu mencinta pemuda yang kini buntung kakinya itu. Adapun Phoa Ciok Lin memandang dengan mata tajam, tidak ada perasaan apa-apa terbayang di wajahnya.
Han Han kembali mendengar suara ketawa Toat-beng Ciu-sian-li. Ia mengerahkan tenaga dan bangkit lagi dengan kedua tangannya menekan lantai, lalu berdiri dan dengan hati-hati ia berloncatan dengan sebelah kaki menuju ke pintu, terus keluar dari rumah Perguruan In-kok-san itu. Akan tetapi dalam keadaan menderita nyeri yang hebat itu, ia tidak melihat jurusan dan kiranya ia keluar dari pintu belakang memasuki taman In-kok-san. Ia berloncatan terus dengan sebelah kakinya.
Hari sudah lewat senja. Taman itu mulai gelap. Akan tetapi Han Han berloncatan terus, kalau hendak roboh ia menangkap batang pohon, mengaso sebentar untuk melenyapkan rasa berdenyut-denyut di kaki yang naik ke dada dan kepala.
Dipatahkannya sebuah cabang pohon yang rendah, dibuangnya ranting dan daun, dan cabang itu ia pergunakan sebagai tongkat. Ia berloncatan, lambat sekali, terus ke depan. Akhirnya ia roboh juga, setengah pingsan setengah tidur di bawah pohon di luar taman dalam sebuah hutan siong, menggeletak terlentang dan tongkatnya melintang di atas dadanya.
Menjelang subuh, ia terbangun oleh suara kokok ayam hutan. Dilihatnya, cuaca masih amat gelap, hawanya dingin bukan main. Rasa nyeri pada kakinya sudah banyak berkurang, dapat ditahankan, akan tetapi perutnya terasa perih sekali karena lapar. Sudah empat hari empat malam dia tidak makan, semenjak ditangkap Toat-beng Ciu-sian-li. Dan kehilangan darah membuat tubuhnya lemas.
Ia bangkit duduk, bersandar batang pohon, menengadah memandang langit yang hitam penuh bintang. Amat indah pemandangan di angkasa itu. Adakah ibunya di sana, di antara bintang-bintang itu? Alangkah akan senangnya dapat berada di sana di samping ibunya. Jauh daripada penderitaan hidup.
Mati sudah pasti tidak seburuk hidup kalau menderita begini. Yang jelas, tidak akan ia rasakan lagi nyeri-nyeri di tubuh, lapar di perut dan kepusingan karena segala kegagalan yang dialaminya. Kini ia menjadi seorang tapadaksa, murid buntung yang tentu tidak akan ada gunanya, seperti yang dikatakan Toat-beng Ciu-sianli. Apalagi hendak membalas dendam orang tuanya, melangkah pun harus berloncatan dibantu tongkat, itu pun tidak tegak! Tugasnya belum selesai sama sekali. Ia meraba dadanya.
Kantung berisi surat-surat peninggalan penghuni Pulau Es masih disimpannya. Surat-surat itu belum dapat ia sampaikan kepada orang yang berhak menerimanya. Kewajiban ini belum dilaksanakan. Kemudian membalas dendam keluarganya juga sama sekali tidak dapat dilaksanakannya. Seorang di antara tujuh perwira musuhnya telah menjadi cihu-nya.
Biarpun kini ia menduga bahwa cihunya bersekongkol dengan tokoh-tokoh istana itu, menyerahkannya kepada Toat-beng Ciu-sian-li, tetap saja ia tidak mungkin akan dapat membunuh orang yang dicinta cicinya. Dan enam orang perwira lain pun tak mungkin dapat dibalas setelah ia kini menjadi buntung. Di waktu ia belum buntung pun ia tidak mampu membalas. Musuh-musuhnya itu dilindungi orang-orang sakti. Masih ada tugas lagi yang makin sulit dilaksanakan, yaitu mencari Lulu!
Ia mengingat-ingat jalan hidupnya. Teringat ia akan wejangan kakek di Siauw-lim-si. Perbuatan berguna apakah yang telah ia lakukan? Tidak ada! Bahkan ia hanya menjadi sebab timbulnya hal-hal yang menyedihkan, yang mengorbankan nyawa orang.
Yang terakhir ini pun ia telah menyebabkan celakanya Kim Cu. Ah, kasihan gadis itu, entah bagaimana nasibnya nanti. Dan gadis itu mencintanya? Tidak mungkin! Mana ada gadis yang mencinta seorang sial seperti dia, apalagi kini dia hanya seorang pemuda buntung! Buntung kakinya!
Tiba-tiba ia teringat lagi akan wejangan dan nasihat kakek di kuil Siauw-lim-si. Dia dinasihatkan untuk membuntungi kaki kirinya di samping harus belajar mengalah kepada orang lain. Membuntungi kaki kiri? Han Han tersenyum duka dan memandang kaki kirinya yang sudah tidak ada. Kini hanya tampak sepotong kaki celana menutupi pahanya yang buntung.
Tidak susah ia buntungkan, kini sudah ada yang membuntungi kakinya! Agaknya kakek tua di kuil itu sudah tahu bahwa kakinya akan buntung maka menasihatinya agar membuntungi kakinya sendiri, daripada dibuntungi orang lain. Ia tersenyum pahit. Nasihat yang tidak lucu!
Dia belum ditakdirkan mati, masih diharuskan hidup oleh Yang Maha Kuasa. Baik, dia akan hidup, dan apa pun jadinya, akan ia hadapi, sungguhpun dia tidak mungkin dapat mengharapkan untuk melaksanakan tugasnya yang pertama, yaitu membalas dendam. Timbul rasa rindunya kepada Lulu, adiknya. Kalau saja Lulu berada di sampingnya, tentu akan dapat menghiburnya. Akan tetapi wahai.... alangkah akan hancur hati adiknya itu kalau melihat kakinya buntung!
Berpikir demikian, timbul pula rasa iba terhadap dirinya sendiri dan tak kuasa bertahan lagi Han Han mengucurkan air mata. Sampai lama ia menangis seperti ini. Tiba-tiba ia tersentak kaget ketika teringat betapa ia telah menangis mengguguk. Selamanya belum pernah ia berhal seperti ini! Mengapa ia sampai menangis seperti ini? Ke mana kekerasan hatinya? Ia meloncat bangun, lupa akan buntungnya dan ia jatuh lagi, mengeluh. Ia merasa seolah-olah telah menjadi seorang manusia lain sekali. Dan ia menjadi gelisah. Ia termenung, air mata masih membasahi pipinya, matanya masih merah bekas banyak menangis.
Berjam-jam ia termenung, pikirannya kosong, hanyut terbawa pergi melayang-layang bersama embun pagi yang mulai terusir sinar matahari pagi. Telinganya tidak mendengar kicau burung yang riang gembira menyambut pagi. Matanya tidak menyaksikan keindahan sinar surya yang cemerlang menembus celah-celah daun, menciptakan mutiara-mutiara dari titik-titik embun yang bergantungan pada daun pohon.
Sambaran seekor burung yang mungkin mengira pemuda ini hanya sebatang tonggak, hampir hinggap di atas rambutnya, menyadarkan Han Han. Ia bergerak dan berdongak. Matanya tertawan oleh berkilaunya setetes air embun yang disinari matahari pagi, menjadi sebutir mutiara yang bercahaya.
Ia terpesona. Sesaat ia lupa akan nyeri tubuhnya, lupa akan lapar perutnya. Pandang matanya lekat pada sebutir air yang berubah menjadi mutiara itu, lekat dan seolah-olah ia pun bergantung pada ujung daun itu, bergantung dengan butiran air embun berkilauan, jauh dari derita, jauh dari kepahitan, hanya aman damai dan bahagia.
Tiba-tiba butiran mutiara itu runtuh dan lenyap, sebutir pecah menimpa bumi, lenyap tak berbekas. Ujung daun itu kosong, tidak ada apa-apa lagi, tidak ada mutiara-mutiara berkilau.
Han Han tersentak kaget, penuh kecewa. Hemmm, seperti itulah hidup. Hanya setetes air yang berkilauan untuk beberapa lama saja. Kemudian apabila saatnya tiba, akan gugur dan lenyap tanpa meninggalkan bekas!
Ia menghela napas panjang. Dia adalah ibarat mutiara air embun yang gugur sebelum waktunya. Lenyap sudah kilauannya, lenyap kebahagiaannya sebelum mati! Seperti air embun berkilau tiba-tiba kehilangan cahayanya karena matahari tertutup mendung. Hanya tinggal air yang bergantung di daun pohon, tidak ada indahnya, tidak ada cahayanya, hanya menanti saat gugur ke bumi. Seperti dia! Hidup tiada guna, buntung, sukar bergerak, hanya menanti datangnya maut menjemput!
“Han Han....!” Suara yang halus merdu penuh iba itu memanggilnya seperti berbisik.
Han Han menoleh dan melihat Kim Cu telah berdiri di situ, membawa sebuah buntalan. Gadis yang cantik manis, rambutnya yang hitam halus itu terurai kusut, matanya masih basah bekas tangis, pakaiannya juga kusut, wajahnya agak pucat, pandang matanya penuh iba ditujukan kepada wajah Han Han, kemudian perlahan-lahan menurun, ke arah paha yang buntung.
“Kim Cu.... engkau.... datang ke sini....?” Han Han menegur penuh kekhawatiran. “Tentu Gurumu akan marah....”
Kim CU berlutut dekat Han Han dan berkata,
“Jangan banyak bicara dulu, mari kau makanlah ini. Kubawakan makanan dan minuman, dan obat bubuk untuk menambah darah, obat untuk mengobati lukamu....”
Melihat gadis itu dengan jari-jari tangannya yang kecil-kecil meruncing membuka buntalan, mengeluarkan roti dan sedikit daging, sebotol minuman air hangat, menghidangkannya di depannya, Han Han mengikuti segala gerakannya dengan hati penuh keharuan.
“Han Han, makanlah dulu....” Gadis itu mengangkat muka. Mereka berpandangan. Kim Cu terisak, menggigit bibir menahan tangis. “Han Han.... kau.... kau menangis....?” Ia melihat dua butir air mata turun perlahan dari kedua mata pemuda yang terbuka lebar.
“Kim Cu....” Suara Han Han menggetar. “Mengapa....?”
Kim Cu memandang, juga air matanya berderai,
“Kau hendak berkata apa....?”
“Mengapa engkau sebaik ini kepadaku....?”
Dengan air mata masih berderai Kim Cu memandang, bibirnya yang dirapatkan itu bergerak-gerak menggigil, seperti hendak menangis, akan tetapi ia lalu memaksa senyum, senyum yang malah menggurat perasaan hati Han Han.
“Makanlah dulu, Han Han. Engkau pucat sekali, matamu merah.... makanlah dulu, baru nanti kita bicara....”
Han Han mengangguk, lalu mengambil roti dan memakannya. Ia lapar sekali, dan roti itu terasa lezat, akan tetapi ia makan perlahan sambil kadang-kadang memandang wajah Kim Cu yang berlutut di situ, berusaha untuk menjenguk isi hati gadis itu. Kim Cu kadang-kadang memandang, akan tetapi kalau pandang mata mereka bertaut, ia lalu menundukkan mukanya dan merangkapkan sepuluh jari tangannya.
Roti yang dibawa Kim Cu itu hampir habis.
“Engkau tidak makan? Marilah....”
Kim Cu menggeleng kepala perlahan.
“Makanlah, habiskan. Aku tidak lapar, engkau tentu lama tidak makan....”
Roti itu habis dan Han Han minum air hangat, menyapu bibirnya dengan ujung lengan baju.
“Kim Cu, banyak terima kasih kuucapkan padamu. Bukan hanya untuk roti dan minuman ini....”
“Sssttttt, nanti dulu. Minumlah obat ini. Obat ini manjur sekali, penambah darah dan peringan rasa nyeri, kemudian akan kugantikan obat ini pada lukamu.”
Han Han minum obat bubuk itu dengan air hangat, kemudian ia melihat betapa Kim Cu membuka balut pahanya. Ia merasa nyeri ketika balut yang melekat dengan darah kering pada lukanya itu diambil.
Akan tetapi ia tidak mengeluh. Hatinya penuh rasa haru dan terima kasih melihat betapa gadis itu membersihkan luka di pahanya tanpa rasa jijik sedikit pun, kemudian menaruhkan obat bubuk dan membalutnya kembali dengan kain bersih yang sengaja dibawanya untuk keperluan itu.
Setelah selesai membalut luka itu, Han Han berkata,
“Kim Cu, percayalah, aku selama hidupku takkan dapat melupakan kebaikan hatimu, karena engkau telah menolong nyawaku, telah melepas budi kepadaku dan terutama sekali, engkau telah mengorbankan dirimu....”
“Jangan katakan itu, Han Han. Mana mungkin aku membiarkan dirimu dibunuh hanya karena kesalahanmu yang kecil itu? Engkau masih muda, engkau masih banyak harapan dalam hidup, mengapa harus dibunuh secara sia-sia?”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar