FB

FB


Ads

Selasa, 09 Desember 2014

Pendekar Super Sakti Jilid 047

“Sam-wi locianpwe, inilah Adik iparku yang gagah perkasa dan yang telah mempersiapkan tenaganya untuk membantu kerajaan. Inilah pendekar muda Sie Han.” Giam-ciangkun memperkenalkan, kemudian berkata kepada Han Han, “Adikku, locianpwe itu adalah Sin-tiauw-kwi Ciam Tek yang amat lihai dari Khitan. Adapun kedua orang locianpwe ini adalah kedua Saudara Bhong yang berjuluk Sepasang Tikus Kuburan, juga memiliki ilmu kepandaian yang lihai sekali.”

Han Han memandang mereka, terutama sekali Si Burung Hantu yang amat aneh keadaannya itu. Burung Hantu memandang Han Han dengan mata disipitkan, jelas sekali memandang rendah, kemudian berkata.

“Ehemmm, Adik iparmu ini lumayan juga, Giam-ciangkun!”

Mungkin karena ketika bicara mulutnya terbuka dan mengeluarkan bau yang seperti sampah, dua ekor lalat terbang menyambar ke arah mulutnya.

“Heh, segala macam lalat mengganggu saja!”

Kata Si Burung Hantu dan dua kali tampak sinar berkelebat-kelebat ketika manusia aneh ini menggerakkan senjatanya yang seperti sabit dan.... tubuh dua ekor lalat kecil itu jatuh ke lantai, terbelah menjadi dua!

Han Han yang melihat ini diam-diam merasa ngeri dan kaget sekali, maklum bahwa manusia yang seperti burung itu benar-benar amat sakti. Akan tetapi dia tidak mau peduli, lalu berkata kepada Giam-ciangkun,

“Cihu, aku tidak ingin berkenalan dengan para locianpwe ini, melainkan ingin segera berhadapan dengan musuh-musuhku. Suruh mereka keluar, atau terpaksa aku akan mencari mereka sendiri di dalam rumah ini!”

“Heh-heh, bocah yang menjadi iparmu ini sungguh tidak memandang mata kepada kami, Ciangkun. Siapakah yang menjadi musuh-musuh mereka yang dicarinya di sini?” tanya Bhong Poa Sik yang kepalanya botak dan ubun-ubunnya ada “telur”nya.

Giam-ciangkun menarik napas panjang.
“Hemmm, inilah yang menyusahkan hatiku, Sam-wi Locianpwe. Adik iparku ini mempunyai dendam pribadi terhadap rekan kita Giam Kok Ma dan lima orang panglima lain dan berkeras hendak membunuh mereka. Bagaimana aku harus berbuat? Dia ini adalah Adik iparku sendiri, sedangkan membunuh enam orang rekan panglima sama saja dengan pemberontakan. Adikku Han Han, pikirlah baik-baik. Sebaiknya engkau menghapus semua dendam pribadi yang tidak ada gunanya itu dan marilah menikmati kemuliaan di kerajaan bersama para locianpwe ini. Percayalah, Kaisar amat bijaksana dan dapat menghargai seorang pandai.”

Han Han mengerutkan keningnya dan menggeleng kepala.
“Tidak bisa, Cihu. Dari pada menjadi seorang anak yang puthauw (durhaka), yang tidak mau membalas kematian keluarga orang tuaku, lebih baik aku menempuh segala bahaya sampai mati!”

“Hem, bocah sombong. Engkau hendak membunuhi enam orang panglima kerajaan? Wah-wah, nanti dulu! Apa kau kira hadirnya orang macam aku di sini tiada gunanya? Lawan dulu sabitku, baru boleh kau coba-coba melanjutkan niatmu yang jahat!”

Sin-tiauw-kwi mengejek dan kakinya yang hanya sebelah yang berdiri itu meloncat-loncat seperti burung, maju mendekati Han Han.

“Orang muda, dengan adanya kami di sini, mana mungkin engkau akan membunuh panglima kerajaan? Jangan mimpi di siang hari!” bentak Bhong Lek yang sudah maju pula bersama adiknya.

Han Han mengerutkan keningnya dan memandang kakak iparnya, lalu berkata, suaranya dingin sekali.

“Hemmm, beginikah kehendakmu, Cihu?”

Bertemu pandang dengan adik iparnya, Giam-ciangkun merasa bulu tengkuknya berdiri. Pandang mata Han Han seolah-olah menembus dan dapat menjenguk isi hatinya, maka sambil menggerakkan pundaknya dan mengalihkan pandang ia menjawab,

“Engkaulah yang menyusahkan aku, Han Han. Tentu saja tidak seorang pun di sini yang akan membiarkan engkau membunuh orang, apalagi hendak membunuh enam orang panglima. Bahkan aku sendiri mau tidak mau harus mencegahmu, karena kalau aku membiarkanmu, berarti aku seorang pemberontak pula. Mengapa kau tidak mau sadar?”

Han Han memutar otaknya dan teringatlah ia akan semua kejadian semenjak malam tadi. Ia ingat akan percakapan antara cihunya dan cicinya, kemudian teringat akan perbuatan Giam Kok Ma sehingga perwira itu pergi ke tempat ini. Ternyata cihunya sudah berada di sini pula bersama tokoh-tokoh ini. Bukankah semua ini sudah diatur lebih dulu? Dugaan ini menimbulkan amarah di hatinya, maka ia mengangkat muka membusungkan dada.

“Keputusanku sudah jelas! Aku akan mencari Si Keparat Panglima Muka Kuning yang bernama Giam Kok Ma itu dan lima orang sekutunya yang dulu menghancurkan keluarga orang tuaku. Kalau ada yang hendak menghalang, dia itu pun harus kuenyahkan!”

“Heh-heh, orang muda yang sombong!” Dua orang Tikus Kuburan sudah menubruk maju untuk menangkap Han Han.

Mereka memandang rendah sekali. Pemuda itu masih bocah, biarpun keadaannya aneh dan sikapnya luar biasa dingin dan beraninya, namun mempunyai kepandaian apakah?

Han Han yang sudah marah itu membalikkan tubuh dan menggerakkan kedua tangannya mendorong. Karena maklum akan kelihaian dua orang kakek ini, sekaligus ia telah mengerahkan Hwi-yang Sin-ciang pada kedua lengannya.

“Hayaaaaa....!”

Dua orang itu terkejut setengah mati ketika ada hawa panas menyambar dan menyesakkan dada mereka, membuyarkan semua tenaga sin-kang mereka yang mereka pergunakan untuk menahan pukulan, akhirnya mereka tidak kuat dan terpaksa melempar tubuh ke belakang, terus bergulingan menjauhkan diri! Mereka meloncat bangun dengan wajah pucat dan mata terbelalak.

“Ehemmm, kiranya engkau mempunyai sedikit kepandaian!” Si Burung Hantu membentak, akan tetapi sebelum ia turun tangan, terdengar suara ketawa.

“Hi-hi-hi, burung yang jelek, jangan rampas korbanku! Serahkan bocah ini kepadaku!” Tubuh Toat-beng Ciu-sian-li melayang turun dan tahu-tahu ia telah berhadapan dengan Han Han.

Karena merasa pernah menjadi murid wanita ini, Han Han terkejut sekali dan otomatis ia menjura dengan hormat sambil berkata,

“Subo, harap jangan mencampuri urusan pribadiku!”






“Heh-heh-hi-hik, kalian semua telah mendengarnya, kan? Dia adalah muridku dan karena dia telah melakukan dosa melanggar peraturan-peraturan perguruan, maka dia sepenuhnya menjadi hakku.”

Sin-tiauw-kwi tertawa.
“Heh-heh, aku bukanlah orang yang suka mencampuri urusan guru dan murid. Toat-beng Ciu-sian-li, muridmu ini sombong dan tidak benar, memang perlu sekali akan pengajaranmu!”

Toat-beng Ciu-sian-li menghadapi Han Han sambil menyeringai.
“Bocah iblis murid durhaka. Apakah engkau tidak lekas berlutut minta ampun kepada gurumu?”

Han Han mengerutkan alisnya. Ia melihat cihunya sudah duduk dengan tenang di atas kursi menghadapi meja, juga sepasang Tikus Kuburan sudah mengambil tempat duduk sedangkan Sin-tiauw-kwi sudah berdiri dengan satu kaki, sikap mereka semua seperti orang-orang yang hendak menonton pertunjukan menarik.

Han Han menduga bahwa memang dia hendak diadu dengan bekas gurunya ini, atau memang mereka hendak mencelakakannya dalam usaha mereka melindungi enam orang musuh-musuhnya yang hendak ia basmi. Ia menjadi penasaran akan tetapi sedikit pun tidak gentar. Ia menghadapi Ciu-sian-li dan berkata lantang.

“Locianpwe, aku menghormatimu sebagai bekas guru, akan tetapi sekarang aku bukanlah muridmu lagi. Tentang kesalahanku dahulu telah melarikan diri darimu karena aku memang tidak suka menjadi muridmu. Sekarang, karena sedang menghadapi urusan pribadi hendak membasmi musuh-musuh keluargaku, harap kau orang tua suka mengalah dan membiarkan aku membereskan urusan pribadiku. Kalau sudah selesai aku membasmi musuh-musuhku barulah kita bicara tentang urusan kita.”

“Eh, Si keparat bocah tak mengenal budi! Tak usah banyak bicara hayo lekas berlutut di depanku!”

Akan tetapi bentakan ini malah mendatangkan rasa penasaran di hati Han Han. Selama ia keluar dari Pulau Es, dia selalu dimusuhi orang, baik oleh tokoh-tokoh kang-ouw yang disebut golongan putih maupun oleh tokoh-tokoh golongan hitam. Rasa penasaran ini membuat ia marah dan nekat.

“Toat-beng Ciu-sian-li, engkau mempunyai pendirian, aku pun punya! Aku akan membasmi musuh-musuhku dan siapa pun yang menghalangiku, biar engkau sekalipun, akan kulawan!”

“Wah-wah, baru sekarang aku melihat murid lebih galak dari gurunya!” kata Sin-tiauw-kwi sambil tertawa.

“Tutup mulutmu, Burung Buruk!” Ciu-sian-li membentak. “Kau kira aku tidak dapat menguasai muridku? Han Han, sekali lagi, engkau tidak mau taat?”

“Terserah kepadamu, aku tidak menganggapmu sebagai guru lagi.”

Toat-beng Ciu-sian-li mengeluarkan suara teriakan melengking dan tiba-tiba rantai gelang yang dijadikan anting-anting telinganya itu menyambar dari kanan kiri, yang kiri menyambar kepala Han Han, yang kanan menyambar ke arah dada. Sambaran kedua benda itu cepat dan kuat sekali, mengeluarkan bunyi berdesing dan Han Han yang tidak keburu mengelak, mengerahkan tenaganya dan menghantam ke arah dua ujung rantai gelang itu dengan kedua telapak tangannya.

“Plak-plak!”

“Bukkk!”

Tanpa disangka-sangka oleh Han Han, pukulan nenek itu sudah menyusul pada saat ia menggerakkan tangan menangkis sehingga dadanya kena didorong oleh tangan kiri nenek itu.

Tubuh Han Han roboh bergulingan, dadanya ampek dan napasnya sesak. Akan tetapi ia menahan napas dan meloncat bangun. Juga nenek itu terkejut bukan main karena tangkisan kedua tangan pemuda itu membuat rantai gelangnya kehilangan dua buah mata gelang yang pecah terkena hantaman tangan Han Han.

“Bocah keparat, berani engkau melawan Toat-beng Ciu-sian-li!”

Nenek itu memekik dan tubuhnya sudah melayang naik dan meluncur kearah Han Han dengan terjangan dahsyat sekali. Kedua tangan nenek itu mengirim pukulan-pukulan Toat-beng Tok-ciang (Tangan Beracun Pencabut Nyawa). Hawa pukulan kedua tangannya bercuitan bunyinya dan tercium bau amis sebelum pukulan itu datang.

Melihat ini, Han Han maklum bahwa ia menghadapi lawan yang lebih lihai daripada Gak Liat atau Ma-bin Lo-mo, maka ia cepat mengerahkan tenaganya dan menyambut pukulan itu dengan tangkisan dan menggunakan tenaga sakti Swat-im Sin-ciang.

“Wusssss.... plak-plak....!”

Dua pasang telapak tangan bertemu dan akibatnya kembali Han Han terjengkang dan bergulingan. Akan tetapi nenek itu berdiri menggigil dan mulutnya berseru berkali-kali,

“Luar biasa.... luar biasa....!”

Memang ia merasa heran setengah mati mendapat kenyataan betapa kekuatan Im-kang bocah itu lebih hebat daripada Swat-im Sin-ciang Ma-bin Lo-mo sendiri!

“Heh-heh-heh, Dewi Pemabuk! Apakah engkau kewalahan menghadapi muridmu sendiri?” Si Burung Hantu mengejek sambil tertawa.

Nenek itu melengking tinggi karena marahnya, tubuhnya berkelebat cepat ke depan dan segera Han Han dihujani serangan dengan kedua tangan yang bergantian memukul, kedua kaki yang bergantian menendang, dan sepasang anting-anting raksasa yang menyambar-nyambar dari kiri kanan!

Hebat bukan main sepak terjang nenek ini sehingga secara berturut-turut Han Han terdesak, beberapa kali menerima pukulan dan hantaman senjata rantai gelang sehingga ia terguling-guling dan merasa tubuhnya sakit-sakit semua.

Sepasang Tikus Kuburan bertepuk-tepuk tangan saking gembira dan memang mereka kagum bukan main. Sudah lama mereka mendengar nama besar Toat-beng Ciu-sian-li, akan tetapi baru sekarang mereka menyaksikan kelihaian nenek itu.

Tadi mereka sudah mengenal kehebatan tenaga bocah itu, kini melihat betapa nenek itu mendesak dan menghimpit, sedikit pun tidak memberi kesempatan kepada Han Han, tentu saja mereka menjadi kagum sekali. Adapun Giam-ciangkun yang menyaksikan betapa adik isterinya terancam bahaya maut hanya tenang-tenang saja karena sesungguhnya ia menganggap Han Han sebagai ancaman bagi dirinya sendiri.

Seperti yang pernah dilakukan oleh Ma-bin Lo-mo dan Gak Liat, nenek ini pun tidak ingin membunuh Han Han karena dia sudah mendengar dari tiga orang muridnya tentang keadaan diri Han Han yang memiliki ilmu kepandaian luar biasa. Dia pun diam-diam menduga bahwa Han Han tentu telah mewarisi ilmu-ilmu dari Pulau Es, maka ia ingin memaksa anak muda itu untuk membuka rahasia tentang Pulau Es, ingin menangkapnya dan membawanya pergi.

Di samping ini, juga ia ingin memamerkan kepandaiannya kepada para jagoan kerajaan, maka ia sengaja mempermainkan Han Han dan mengeluarkan kepandaiannya yang memang mengagumkan sekali. Kalau ia kehendaki, tentu ia telah dapat membunuh Han Han dengan pukulan-pukulan Toat-beng-tok-ciang yang dikerahkan dengan tenaga sepenuhnya.

Untuk ke sekian kalinya, ketika dengan nekat Han Han menubruk, menggunakan pukulan Hwi-yang Sin-ciang dengan tangan kanan dan pukulan Swat-im Sin-ciang dengan tangan kiri, yang amat mengagumkan hati nenek itu, Toat-beng Ciu-sian-li mencelat ke atas sehingga kedua pukulan itu luput, kemudian dari atas kakinya menendang, mengenai dada Han Han sehingga tubuh pemuda ini terlempar sampai di sudut ruangan itu.

Han Han terbanting pada dinding, tangannya meraba kaki meja hiasan tinggi yang menjadi tempat pot bunga. Ia meloncat bangun dan mematahkan kaki meja itu. Seperti juga kursi yang diduduki Giam-ciangkun, kaki meja itu terbuat daripada akar pohon yang bengkak-bengkok dan nyeni, begitu ia patahkan menjadi sebatang tongkat dan dengan senjata sederhana ini Han Han maju lagi menghadapi Si Nenek sakti dengan kemarahan meluap-luap. Ia maklum bahwa kepandaiannya kalah jauh, akan tetapi kemauannya yang keras membuat ia nekat dan pantang menyerah, kalau perlu ia akan mempertaruhkan nyawanya di tangan bekas gurunya ini.

“Ha-ha-ha-ha, biar engkau berubah menjadi tiga orang, tak mungkin engkau dapat menangkap Toat-beng Ciu-sian-li, bocah sombong!” Bhong Lek yang mukanya kaya tikus mengejek.

“Heh-heh, biar dia berkepala tiga dan berlengan enam, takkan mampu menang!” Bhong Poa Sik mengejek pula.

Mendengar ini, nenek itu terkekeh.
“Jangankan hanya menjadi tiga, biar menjadi tiga puluh sekalipun aku masih sanggup mempermainkannya!”

Han Han makin marah, merasa dianggap rendah sekali. Ia teringat akan kemampuannya yang luar biasa, yang hampir berhasil ketika ia pergunakan dalam menghadapi Setan Botak dan Si Muka Kuda tempo hari. Mendengar itu, ia pun lalu berkata dengan suara lantang, sinar matanya menyambar-nyambar seperti kilatan halilintar dan suaranya yang mengandung khi-kang kuat itu didasari kekuatan kemauan mujijat yang amat berpengaruh.

“Nenek sombong! Lihat, aku sudah menjadi tiga orang! Engkau mau bisa apa?”

Sambil berkata demikian ia menyerang dengan pukulan tongkat kaki meja ke depan dan terbelalaklah semua orang ketika melihat betapa Han Han benar-benar telah menjadi tiga orang! Tiga orang muda berambut riap-riapan, ketiganya memegang tongkat dan menyerang Toat¬beng Ciu-sian-li dari tiga jurusan!

“Hehhh....! Mimpikah aku?” Si Burung Hantu berkata gagap dengan mata makin menjuling.

“Demi segala iblis di neraka!” Si Muka Tikus Bhok Lek berseru dengan mata terbelalak.

“Ajaib.... se.... se.... setan....!” Adiknya juga berseru.

“Ilmu hitam apakah ini....?” Giam-ciangkun juga berseru, jantungnya seperti berhenti berdetik.

“Ayaaaaa....!” Toat-beng Ciu-sian-li menjadi bingung dan menjerit, punggungnya terkena hantaman tongkat.

Akan tetapi tubuhnya kebal dan sungguhpun ia merasa punggungnya nyeri, namun ia tidak terluka dan kembali ia melengking nyaring, tubuhnya mencelat ke atas dan ia menghindarkan pukulan tangan kanan kedua orang “Han Han” yang berada di belakangnya sambil menggerakkan rantai gelang telinga kanannya menyerang ke arah dada Han Han yang bergerak ke depannya.

“Pranggg....!”

Dengan telapak tangan kanannya Han Han menampar ujung rantai itu sehingga dua buah gelang pecah-¬pecah sambil memegang tongkat dengan tangan kiri. Dalam pandang mata empat orang yang menjadi penonton, dua orang “Han Han” yang lain juga memindahkan tongkat ke tangan kiri dan mereka menerjang berbareng.

“Eh.... hiiihhhhh....!”

Toat-beng Ciu-sian-li selama hidupnya belum pernah mengalami hal seperti itu. Ia kembali meloncat ke atas untuk menghindarkan diri dan tiba-tiba ia menggerakkan tangan. Kiranya ia sudah melolos tiga buah gelang rantainya dan melontarkannya ke arah tiga orang lawannya.

Memang anting-anting luar biasa itu selain menjadi “perhiasan” dan senjata ampuh, juga dapat ia pergunakan sebagai senjata rahasia, yaitu dengan cara melolos gelang-gelangan rantainya. Han Han cepat mengelak sambil menangkis dengan tongkatnya.

“Trakkk!”

Tongkatnya patah dan remuk dan ternyata bahwa tongkat kedua orang “bayangannya” juga patah dan remuk. Kini dia dan bayangan-bayangannya itu mengeroyok dengan tangan kosong. Melihat ini Giam-ciangkun segera berseru,

“Ilmu sihir! Dia hanya seorang, yang dua hanyalah bayangan!”

Toat-beng Ciu-sian-li bukan seorang bodoh. Dia seorang datuk golongan hitam yang sakti. Maka ia segera sadar bahwa tidak mungkin ada manusia yang dapat mengubah diri menjadi tiga orang, maka ia mengerahkan kekuatan batinnya dan seketika pandangannya menjadi terang. Lawannya hanya seorang saja, bekas muridnya yang telah memperoleh kemajuan luar biasa sekali, terutama telah memiliki tenaga sin-kang yang mentakjubkan.

Akan tetapi rasa gentar dan bingung tadi dipergunakan baik-baik oleh Han Han. Selagi lawannya bingung, ia mengerahkan tenaganya di kedua tangan dan begitu tubuh nenek itu turun, ia menubruk ke depan, memukul dengan dorongan dahsyat. Kini ia menggunakan inti tenaga Im-kang yang ia latih selama bertahun-tahun di Pulau Es, menurut petunjuk kitab-kitab Ma-bin Lo-mo dan kitab-kitab Sepasang Pedang Iblis dan dengan pukulan seperti itu Han Han mampu memukul air menjadi beku dan menjadi sebongkah salju sebesar kerbau!

“Ihhhhh....!”

Toat-beng Ciu-sian-li merasa betapa hebatnya hawa pukulan yang amat dingin itu. Baru terkena hawanya saja, ia merasa semua darah di tubuhnya seperti membeku, maka maklumlah nenek ini bahwa kalau ia terkena pukulan itu, tentu ia tidak akan kuat menahan dan akan tewas! Maka ia mengerahkan tenaganya dan tiba-tiba tubuhnya lenyap.

Pukulan Han Han mengenai lantai di belakang tempat nenek itu tadi berdiri, membuat lantai itu bergetar dan semua perabot yang berada di belakangnya hancur semua. Kiranya nenek itu mempergunakan tenaganya yang mujijat dan tubuhnya telah amblas ke lantai! Dia selamat, akan tetapi ketika ia meloncat keluar dari lantai yang mencetak tubuhnya merupakan lubang sedalam satu kaki, ia kelihatan pucat dan dari ujung bibirnya menetes darah. Ia hanya kena serempet saja, namun cukup membuat nenek ini terluka!

“Ha-ha-ha, nenek setan arak, biar kubantu engkau!”

Tiba-tiba terdengar seruan keras dan tahu-tahu Gak Liat Si Setan Botak telah berada di belakang Han Han, lalu secepat kilat ia memukul punggung Han Han dengan pukulan Hwi-yang Sin-ciang.

Han Han merasa betapa hawa panas menyambarnya dari belakang. Ia mengerahkan sin-kang melindungi tubuhnya sambil membalik, namun terlambat. Pukulan ampuh mengenai punggungnya dan biarpun tubuhnya dilindungi sin-kang yang kuat, tidak urung ia terlempar juga dan roboh pingsan di depan kaki Toat-beng Ciu-sian-li.

“Ha-ha-ha! Aku sudah membantumu. Engkau pun harus membantu kami, membantu kerajaan, Toat-beng Ciu-sian-li!” kata pula Gak Liat.

Nenek itu memandang tubuh yang tergolek pingsan di depan kakinya, mengusap darah dari ujung bibirnya dan menarik napas panjang.

“Sebetulnya aku tidak membutuhkan bantuanmu, Setan Botak. Akan tetapi aku memang sudah berjanji untuk membantu kalian asal Kaisar dapat menghargai tenaga orang. Sekarang aku ada urusan pribadi dengan bocah ini. Sampai jumpa! Lain kali aku datang lagi!” Ia mengempit tubuh Han Han yang lemas dan hendak pergi.

“Ha-ha-ha, takkan ada gunanya kau membujuk dia untuk bicara tentang Pulau Es, Ciu-sian-li. Dia keras kepala, engkau takkan berhasil!” kata pula Gak Liat.

Toat-beng Ciu-sian-li menengok dan berkata, suaranya dingin,
“Siapa hendak bicara tentang Pulau Es? Dia bekas muridku yang durhaka, harus diberi hukuman untuk memberi contoh kepada murid-murid lain!” Setelah berkata demikian, tubuhnya berkelebat dan lenyap.

Giam-ciangkun bernapas lega, merasa seolah-olah sebuah batu berat yang selalu menekan di dalam dadanya telah ikut terbawa pergi oleh nenek sakti itu.

“Aaahhhhh, sungguh berbahaya....” katanya sambil menyapu peluh yang membasahi lehernya.

Pintu terbuka dan muncullah Giam Kok Ma, mukanya yang kuning kini berubah putih dan ia bertanya terengah-engah,

“Be.... betulkah apa yang kulihat tadi? Dia.... iblis cilik itu.... berubah menjadi tiga? Celaka.... jangan-jangan hanya satu yang dibawa pergi, yang dua lagi....”

Panglima muka kuning ini memandang ke seluruh ruangan dengan mata jelilatan, takut kalau-kalau ia akan menemukan dua orang Han Han lagi ditempat itu, yang pasti akan membunuhnya.

Kang-thouw-kwi Gak Liat tertawa, lalu duduk di atas kursi dan berkata.
“Ciangkun, tidak usah khawatir. Dia memang memiliki sedikit ilmu sihir. Bukan tubuhnya berubah menjadi tiga, hanya dia mempengaruhi pandangan dan kemauan kita sehingga kita melihatnya seperti tiga orang. Setan cilik itu betul-betul amat berbahaya kalau dibiarkan hidup. Dia memiliki banyak ilmu yang aneh-aneh. Untung dia telah tertawan oleh Toat-beng Ciu-sian-li dan aku mengenal betul siapa Ciu-sian-li. Iblis cilik itu pasti tidak akan hidup lagi. Ha-ha-ha!”

“Syukurlah kalau begitu,” kata Giam Cu dan Giam Kok Ma dengan hati lega.

“Tenaga sin-kangnya tidak lumrah manusia,” kata kedua orang Saudara Bhong.

Gak Liat hanya tertawa, tidak mau bicara banyak karena dia sendiri masih ngeri kalau mengingat betapa dia dengan Ma-bin Lo-mo sampai terluka ketika melawan bocah itu, dan lebih-lebih lagi, ketika hendak membunuhnya tiba-tiba muncul tokoh yang paling disegani, paling dihormati, juga paling ditakuti didunia ini. Koai-lojin!

“Ehmmm.... sayang sekali aku tidak mendapat kesempatan untuk menghajar bocah sombong itu!” tiba-tiba Sin-tiauw-kwi berkata sambil menggoyang senjata sabit di tangannya.

“Ha-ha-ha, Sin-tiauw-kwi burung jelek. Percuma menyesal, dia tentu akan mampus di tangan Ciu-sian-li. Kalau kau ingin memperlihatkan kepandaianmu, boleh kau coba-coba dengan aku.”

“Boleh! Sekarang pun boleh!”

Kata Si Burung Hantu dan ia menggerakkan tangan kirinya ke arah seekor lalat yang selalu banyak beterbangan di sekitar tubuhnya yang mungkin karena tertarik baunya yang apek dan penguk.

Begitu ia memutar-mutar tangannya, ada angin berpusingan keras dan betapapun lalat itu hendak terbang, ia tidak mampu keluar dari pusingan angin itu dan hanya terbang bingung berputar-putar di depannya!

Demonstrasi sin-kang yang seperti main-main ini sesungguhnya hebat, memperlihatkan betapa Si Burung Hantu sudah menguasai sin-kang sampai cukup tinggi sehingga mampu menggunakan tenaga yang dibikin halus seperti itu!

“Ha-ha-ha! Beraninya hanya sama lalat!”

Setan Botak tertawa dan menggerakkan tangannya mendorong ke arah lalat yang beterbangan berputaran itu. Lalat itu jatuh dan.... hangus!

“Huh!” Si Burung Hantu mendengus. “Hwi-yang Sin-ciang boleh jadi dapat menghanguskan seekor lalat, akan tetapi aku tidak takut!” katanya menantang.

Melihat ini, Giam-ciangkun lalu bangkit berdiri dan menengahi mereka, hatinya kesal menyaksikan ulah kedua orang sakti yang aneh, seperti kanak-kanak yang saling tidak mau mengalah.

“Sudahlah, harap ji-wi locianpwe suka menghentikan main-main yang berbahaya ini. Gak-locianpwe, bagaimanakah dengan hasil perjalanan locianpwe?”

“Seperti ciangkun telah melihat sendiri, Toat-beng Ciu-sian-li sudah menyanggupi untuk membantu kita. Biarpun omongan nenek tua bangka itu belum tentu dapat dipegang, akan tetapi saya yakin, bahwa dia tidak akan sudi membantu kaum pemberontak. Tentang Ma-bin Lo-mo, memang Si Muka Kuda yang menjemukan itu sukar sekali diurus. Akan tetapi saya mempunyai daya upaya untuk membubarkan murid-muridnya yang selalu dia tanamkan bibit kebencian kepada pemerintah baru dalam hati mereka. Hemmm, Si Muka Kuda itu mengira bahwa tidak ada orang mengetahui rahasianya. Dia lupa bahwa tidak mudah orang menyembunyikan rahasia dari Kang-thouw-kwi, heh-heh!”

“Bagus! Rahasia apakah itu locianpwe? Murid-murid Ma-bin Lo-mo sudah banyak mendatangkan banyak kepusingan pada para penjaga di perbatasan. Kalau kita dapat menundukkan mereka, berarti semua tenaga anti pemberontakan dapat dikerahkan menghadapi Se-cuan saja.”

“Rahasia besar Ma-bin Lo-mo, rahasia busuk, ha-ha-ha!”

Gak Liat tertawa, menyambar guci arak di atas meja lalu minum arak sampai terdengar bunyi menggelogok di tenggorokannya.

“Setiap orang muridnya adalah putera-puteri keluarga yang terbasmi habis. Semua muridnya percaya dan mengira bahwa keluarga mereka terbasmi oleh pasukan Mancu. Padahal tidak seorang pun keluarga mereka terbasmi oleh pasukan Mancu. Yang membunuh keluarga mereka adalah Ma-bin Lo-mo sendiri. Ha-ha-ha!”

Sepasang Tikus Kuburan terkejut. Mereka juga mengenal siapa adanya Ma-bin Lo-mo, seorang bekas menteri Kerajaan Beng-tiauw yang tentu saja anti Kerajaan Mancu. Mereka mendengar betapa di In-kok-san, di puncak Pegunungan Tai-hang-san, kakek itu melatih puluhan orang murid yang kini telah menjadi orang-orang muda berilmu yang di mana-mana memusingkan petugas kerajaan karena mereka itu selalu melakukan kekacauan.

Mereka ini mendengar bahwa para murid In-kok-san memusuhi Kerajaan Mancu karena mereka adalah keturunan para keluarga yang terbasmi oleh pasukan Mancu dalam perang.

“Eh, Gak-locianpwe. Benarkah itu?”

Kang-thouw-kwi melototkan matanya kepada kedua orang saudara Bhong ini.
“Mengapa tidak benar? Orang lain boleh ditipu, akan tetapi aku tidak! Aku mengetahui rahasia Ma-bin Lo-mo. Dia memilih calon murid, laki-laki atau perempuan yang memiliki tulang dan bakat baik, kemudian ia membasmi keluarga calon murid itu, mengatakan bahwa yang membasmi adalah orang-orang Mancu dan ia membawa murid itu ke In-kok-san dan selain memberi kepandaian, juga menanamkan kebencian terhadap pemerintah Ceng. Dalam usahanya membentuk barisan orang-orang muda yang membenci pemerintah baru itu ia dibantu oleh Si Muka Tengkorak Swi Coan, Si Muka Bopeng Ouw Kian dan Kek Bu Hwesio. Kalau murid-murid itu tahu akan tipu muslihat guru mereka, ha-ha-ha, hendak kulihat apa yang akan dapat dilakukan Si Muka Kuda. Ha-ha-ha!”

“Akan tetapi, betapa mungkin dapat menginsafkan para muridnya, locianpwe?”

“Hal itu memang sukar, akan tetapi saya rasa Puteri Nirahai akan dapat mencari akalnya. Tentang siasat, sebaiknya kita serahkan kepada Sang Puteri yang seratus kali lebih cerdik daripada saya si tua bangka. Dan tentang gadis Mancu yang menjadi adik angkat Han Han, agaknya Ciangkun tentu sudah mendengar dari murid saya Ouwyang-kongcu.”

“Ouwyang-kongcu memang sudah pulang bersama Lulu, akan tetapi gadis itu hanya menimbulkan keributan saja. Dia telah diterima di istana, bahkan telah diangkat menjadi siuli, akan tetapi baru beberapa hari saja dia sudah minggat entah ke mana. Kini Ouwyang-kongcu sedang berusaha mencarinya dan belum pulang.”

“Wah, sungguh merepotkan. Dan Puteri Nirahai, apakah sudah pulang?”

“Belum,” jawab Giam-ciangkun. “Marilah kita kembali ke kota raja. Kita harus memberi laporan kepada Pangeran Ouw-yang Cin Kok, dan aku sendiri masih menghadapi kesukaran. Hemmm.... tak tahu aku bagaimana harus menyampaikan kepada isteriku tentang adiknya.”

Giam Kok Ma berkata,
“Sebaiknya kalau dikatakan bahwa Adik iparmu itu pergi tanpa pamit mencari Lulu. Bukankah alasan itu yang paling baik?”

Giam Cu mengangguk-angguk.
“Hemm, agaknya benar begitu. Memang tidak ada alasan lain.”

Kembalilah mereka beramai ke kota raja. Giam Kok Ma menjadi girang bukan main dan baru pada malam hari itu ia dapat tidur setelah beberapa malam semenjak diberi tahu Giam Cu bahwa dia dan rekan-rekannya diancam oleh Han Han ia sama sekali tidak dapat tidur nyenyak tidak dapat makan enak!

**** 47 ****





Tidak ada komentar:

Posting Komentar