FB

FB


Ads

Selasa, 09 Desember 2014

Pendekar Super Sakti Jilid 046

Akan tetapi seruan-seruannya tidak dipedulikan tiga orang itu yang menjadi makin penasaran, bahkan seruan Han Han itu dianggap oleh mereka sebagai tanda memandang rendah.

Mereka mempercepat gerakan pedang mereka dan kini Han Han menjadi sibuk. Memang, kalau tiga orang itu hanya mengandalkan tenaga sin-kang, kiranya mereka takkan dapat berbuat banyak terhadap Han Han yang jauh lebih kuat, juga dalam hal kecepatan gerakan, Han Han menang jauh.

Akan tetapi karena mereka menggunakan pedang dan ilmu pedang mereka merupakan ilmu pedang tingkat tinggi yang amat hebat gerakannya, Han Han yang belum matang ilmu silatnya itu menjadi bingung.

Biarpun ia dapat mengelak cepat, akan tetapi karena dikeroyok tiga dan tidak mengenal perubahan-perubahan gerakan tiga batang pedang yang menyambar-nyambar ganas, tidak dapat ia menghindarkan diri dari sambaran-sambaran pedang sehingga dalam belasan jurus berikutnya, pahanya tergores pedang dan pundaknya juga terluka oleh tusukan ujung pedang. Melihat pedang mereka berhasil, Lai Kwan dan Ciok Lin lebih bernafsu lagi, hanya Kim Cu yang berseru.

“Han Han, pergilah. Untuk apa melindungi anjing Mancu dan mengorbankan diri sendiri?”

Seruan ini berkesan di hati Han Han dan ia kembali mencatat sikap baik dari gadis itu terhadapnya. Akan tetapi mana mungkin ia membiarkan cici-nya, cihu-nya, dan keponakannya dibunuh? Dia menjadi bingung sendiri.

Semenjak dahulu ia bersumpah dan mengambil keputusan di hatinya untuk membunuh perwira-perwira Mancu yang telah membasmi keluarganya, tujuh orang jumlahnya dan terutama sekali perwira muka kuning dan perwira brewok yang ternyata adalah Giam-ciangkun ini.

Akan tetapi sekarang bagaimana? Ia malah melindungi nyawa perwira yang setiap saat dahulu tak pernah ia lupakan sebagai musuh nomor satu itu, melindunginya dari ancaman bekas suhengnya dan kedua sucinya! Bahkan ia terpaksa harus menentang dan bertanding melawan Kim Cu, gadis yang demikian berbudi terhadapnya! Ia menjadi bingung, akan tetapi apa yang harus ia lakukan?

“Mampuslah!”

Kembali pedang Lai Kwan berkelebat menusuk perutnya. Han Han kaget dan dengan hawa pukulan tangan menangkis sehingga pedang itu meleset, tidak jadi menusuk perut akan tetapi masih melukai pahanya dengan goresan pedang.

Mulailah ia marah sekali. Mereka ini tidak tahu betapa sejak tadi dia mengalah, hanya mengelak dan sama sekali tidak balas menyerang. Kebingungan hatinya, ditambah rasa nyeri dari luka-luka itu, menimbulkan kemarahannya dan tiba-tiba ia memekik keras, tubuhnya mundur tiga langkah kemudian ia mendorongkan kedua tangannya ke depan sambil mengerahkan tenaga Swat-imSin-ciang!

Tiga orang murid Toat-beng Ciu-sian-li yang sudah memiliki ilmu Swat-im Sin-ciang, mengenal gerakan ini dan cepat mereka pun melakukan gerakan serupa untuk meniaga diri. Akan tetapi, betapa kaget hati Ciok Lin dan Lai Kwan ketika mereka merasa hawa dingin yang luar biasa menyerang mereka, membuat mereka terhuyung ke belakang dengan muka pucat, kemudian roboh terguling dengan tubuh menggigil kedinginan!

“Swat-im Sin-ciang....!”

Kim Cu berseru kaget dan heran, juga khawatir melihat keadaan kedua orang saudara seperguruannya. Dia sendiri tidak dipukul oleh Han Han, maka dia tidak terluka.

Kini dengan cepat ia menerjang maju, pedangnya menusuk dada. Han Han menangkis dengan hawa pukulan Swat-im Sin¬ciang, dan hawa dingin yang menyambar dari samping, membuat Kim Cu menggigil dan terhuyung.

Han Han melangkah maju dan menyambar pedang dari tangan Kim Cu. Gadis itu berdiri terbelalak memandang dengan mulut melongo ketika melihat Han Han yang sudah marah sekali itu melampiaskan kemarahannya pada pedang itu yang dipatah-patahkannya dengan jari tangan seperti orang mematahkan sebatang lidi saja!

“Kim Cu, engkau tahu bahwa aku tidak ingin memusuhi kalian. Harap engkau mengerti dan suka membawa pergi kedua orang saudaramu.”

Sejenak Kim Cu memandang wajah Han Han penuh kekecewaan, mengingatkan Han Han akan pandang mata Kim Cu beberapa tahun yang lalu ketika Kim Cu melepasnya pergi bersama Lulu. Kemudian dengan gerakan lunglai Kim Cu membalikkan tubuh, memeriksa Ciok Lin dan Lai Kwan yang sudah bersila dan menghimpun tenaga menyembuhkan luka mereka.

Kim Cu membangunkan mereka, menggandeng mereka, sekali lagi memandang kepada Han Han, kemudian membawa kedua orang saudaranya pergi. Terdengar oleh Han Han isak tertahan keluar dari dada gadis itu!

Ia menghela napas dan setelah bayangan Kim Cu dan kedua saudaranya lenyap di antara pohon-pohon, ia membalikkan tubuh menghadapi Giam-ciangkun dan isterinya.

“Sungguh berbahaya....!” Giam-ciangkun berkata lirih. “Dan ilmu kepandaianmu hebat bukan main.... Sie-taihiap.”

Panglima yang baru saja terbebas dari maut untuk kedua kalinya, pertama di tangan Han Han dan yang kedua kalinya di tangan murid-murid Toat-beng Ciu-sian-li itu, amat cerdik dan masih belum berani menyebut Han Han sebagai adik iparnya, berkata penuh kagum.

“Ah, untung ada engkau, Adikku!” kata Sie Leng sambil memeluk adiknya dan mengucurkan air mata. “Kalau tidak, tentu kami sekeluarga telah terbunuh oleh mereka. Han Han, kepandaianmu luar biasa. Mari kau ikut bersama kami ke kota raja, dengan kepandaianmu seperti itu tentu engkau akan mudah mendapatkan kedudukan tinggi.”

“Betul sekali!” Giam-ciangkun berkata. “Aku yang menanggung bahwa engkau tentu akan diangkat menjadi panglima pengawal istana!”

Han Han termenung lalu berkata,
“Memang aku hendak pergi ke kota raja, untuk mencari seorang penjahat keji.”

“Siapakah dia, Han-te (Adik Han)? Aku akan dapat membantu mencarinya,” kata Giam-ciangkun penuh gairah.

“Tentu Cihu (Kakak Ipar) tahu siapa dia. Dia bernama Ouwyang Seng....”

“Ah....!” Giam-ciangkun teringat akan semua rencana yang diatur oleh Puteri Nirahai di dalam rapat di rumah Pangeran Ouwyang Cin Kok. Akan tetapi ia pura-pura bertanya, “Tentu saja aku mengenalnya. Dia putera Pangeran Ouwyang Cin Kok. Apakah yang telah ia lakukan terhadapmu, Adikku?”

Han Han tidak peduli akan sikap yang amat baik dan mesra dari kakak iparnya yang betapapun juga masih tidak disukainya itu.

“Aku mencarinya karena dia telah menculik Adikku!”

“Eh-eh, Han Han. Adikmu siapa? Engkau tidak mempunyai adik. Anak orang tua kita hanya aku dan engkau!” kata Sie Leng heran.

“Kumaksudkan Adik angkatku, namanya Lulu.”

“Lulu? Seperti nama seorang anak perempuan bangsa Mancu....”

“Memang, Leng-cici. Dia.... seorang puteri keluarga perwira Mancu yang tewas dalam perang. Dia diculik Ouw yang Seng.”

Giam-ciangkun tersenyum.
“Harap kau jangan khawatir, Adikku. Aku yang menanggung bahwa Adikmu itu tidak akan diganggu. Tidak mungkin ada orang berani mengganggu dia, apalagi dia puteri perwira Mancu. Kurasa Ouwyang-kongcu menculiknya justeru karena mendengar bahwa Adik angkatmu itu puteri Mancu, maka dia menculiknya untuk menyelamatkannya. Bisa jadi dianggap amat membahayakan keselamatan Lulu kalau berada di sampingmu. Biarlah, aku yang akan menemui Ouwyang-kongcu dan pasti Adikmu selamat di kota raja.”

Hati Han Han menjadi lega mendengar ini. Mungkin benar juga apa yang dikatakan iparnya ini. Lulu seorang puteri Mancu, mana mungkin Ouwyang Seng berani mengganggunya? Tentu ada sebab lain mengapa Ouwyang Seng menculik Lulu.

“Baiklah, aku akan ikut bersamamu ke kota raja, Leng-cici.”

Sie Leng girang bukan main dan berangkatlah mereka naik kereta yang dikemudikan oleh Giam-ciangkun sendiri sedangkan Han Han duduk di dalam kereta bersama Sie Leng yang menghujankan pertanyaan yang dijawab singkat saja oleh Han Han. Betapapun juga, hati Han Han masih belum terbiasa oleh kenyataan bahwa encinya menjadi isteri musuh besarnya.






Akan tetapi karena Sie Leng benar-benar merasa bahagia dapat bertemu dan berkumpul dengan adiknya, sikapnya jelas membayangkan kebahagiaan dan keharuan sehingga hati Han Han tidak tega untuk menyatakan ketidak puasan hatinya.

“Leng-cici, aku masih heran mendengar ceritamu tentang Kakek kita tadi.” Ia berkata kemudian. “Benarkah Kakek kita yang bernama Sie Hoat itu berjuluk Jai-hwa-sian dan menjadi tokoh jahat di dunia kang-ouw?”

Sie Leng mengangguk.
“Ibu pernah bercerita kepadaku dengan pesan agar hal itu jangan kuceritakan kepada siapapun juga, tidak pula kepadamu. Apalagi tidak boleh terdengar oleh Ayah. Justeru Ayah yang melarang keras cerita itu diketahui orang lain.”

“Akan tetapi aku masih merasa heran. Kalau Kakek merupakan seorang tokoh besar dunia kang-ouw yang dijuluki Dewa, tentu kepandaiannya hebat. Mengapa Ayah seorang begitu lemah? Kalau Ayah sepandai Kakek, tentu tidak sampai mengalami nasib demikian menyedihkan. Cici, apakah engkau mengetahui cerita selengkapnya?”

Sie Leng menghela napas panjang. Bicara tentang keluarganya merupakan pengalaman pahit yang menyakitkan hati, karena hal itu mengingatkan dia bahwa suaminya yang tercinta merupakan seorang di antara mereka yang membasmi keluarganya. Kemudian ia berkata,

“Aku pun hanya mendengar cerita dari Ibu. Akan tetapi engkau sekarang sudah dewasa, sebaiknya kalau kuceritakan kepadamu, sungguhpun cerita Ibu itu pun tidak lengkap dan tidak jelas karena urusan itu selalu dirahasiakan oleh Ayah.”

Sie Leng lalu bercerita seperti yang ia dengar dari ibunya. Puluhan tahun yang lalu, kakek mereka, yaitu ayah dari ayah mereka yang bernama Sie Hoat terkenal sebagai seorang tokoh dunia hitam yang amat ditakuti orang dan berjuluk Jai-hwa-sian (Dewa Pemetik Bunga), yaitu seorang penjahat besar yang biasanya suka menculik wanita-wanita, tidak peduli wanita itu masih gadis atau isteri orang, kemudian diperkosanya.

Kalau hatinya puas dengan wanita itu, maka wanita itu tidak akan dibunuh, bahkan diberi hadiah banyak benda berharga mahal hasil curian di istana-istana pangeran atau hartawan. Akan tetapi kalau wanita itu mengecewakan hatinya, apalagi melawan, lalu dibunuhnya secara keji, ditelanjangi dan disayat-sayat tubuhnya.

Karena banyak tokoh kang-ouw yang berusaha menentangnya tewas pula di tangan penjahat cabul yang amat lihai ini, maka namanya makin terkenal dan dia ditakuti oleh tokoh-tokoh kang-ouw. Wanita yang memuaskan hatinya pun hanya beberapa kali saja didatangi, kemudian ia tinggalkan begitu saja karena tokoh jahat ini tidak pernah mau mengikatkan diri kepada seorang wanita. Ada dikabarkan di antara para tokoh kang-ouw bahwa dia sesungguhnya mempunyai isteri dan anak, akan tetapi tidak ada seorang pun yang tahu betul akan hal ini.

Di antara para wanita yang memuaskan hatinya dan yang ia datangi sampai belasan kali hanya seorang gadis puteri seorang sastrawan she Phang. Orang tua gadis yang bernasib malang ini tahu dari puterinya bahwa puterinya menjadi korban Jai-hwa-sian, akan tetapi apakah yang dapat mereka lakukan?

Dengan hati perih mereka itu hanya dapat menutup rapat rahasia itu. Akan tetapi betapa sedih hati mereka ibu ayah dan anak itu ketika terdapat kenyataan bahwa gadis itu mengandung, sebagai akibat gangguan Jai-hwa-sian selama belasan kali itu. Jalan satu-satunya yang dapat mereka tempuh hanyalah pindah secara diam-diam dari dusun mereka ke tempat lain dan di tempat baru ini puteri mereka diperkenalkan sebagai seorang janda muda yang ditinggal mati suaminya dalam keadaan mengandung.

Demikianlah, gadis she Phang itu kemudian melahirkan seorang putera. Kakeknya, sastrawan Phang, yang khawatir kalau-kalau anak keturunan Jai-hwa-sian itu akan mewarisi watak ayahnya, lalu memberinya nama Sie Bun An dan semenjak kecil anak itu dididik kesusastraan oleh kakeknya, sama sekali tidak diperbolehkan belajar ilmu silat.

Ibu anak itu meninggal dunia tidak lama kemudian karena menanggung penderitaan batin yang hebat, karena sebenarnya gadis she Phang ini sudah jatuh cinta kepada Jai-hwa-sian yang memang tampan dan pandai merayu wanita.

Setelah dewasa, kakeknya menceritakan Sie Bun An tentang riwayat ibunya, maka tahulah Sie Bun An bahwa dia adalah putera penjahat besar Sie Hoat yang berjuluk Jai-hwa-sian! Hal ini membuat pemuda yang semenjak kecil dididik kesusastraan dan mempelajari filsafat itu membenci ayahnya dan sama sekali tidak pernah bercerita kepada lain orang. Ia amat maju dalam pelajarannya sehingga mendapat sebutan siucai setelah lulus ujian kota raja. Dia lalu dikawinkan dan hidup sebagai siucai di Kam-chiu.

“Demikianlah riwayat yang kudengar dari Ibu kita, Han Han. Siapa kira, biarpun Ayah kita tidak mewarisi kepandaian Kakek kita itu, sekarang engkau memiliki ilmu silat yang begitu tinggi. Kiranya engkau yang mewarisi kepandaiannya, akan tetapi kuharap engkau tidak akan mewarisi wataknya.”

Han Han menghela napas panjang. Teringat ia akan ucapan-ucapan Gak Liat Si Setan Botak yang tertawa bergelak ketika mendengar bahwa kakeknya bernama Sie Hoat dan menyebut kakeknya itu sebagai Jai-hwa-sian!

Pantas saja Gak Liat mentertawakannya karena kakek itu memperkosa Bhok Khim dan ia mencoba untuk menentangnya. Memang mentertawakan kalau cucu Jai-hwa-sian mencela perbuatan Gak Liat, karena perbuatan Gak Liat memperkosa Bhok Khim itu masih belum apa-apa kalau dibandingkan dengan perbuatan Jai-hwa-sian terhadap ratusan, bahkan ribuan orang wanita!

“Hemmm, aku merasa malu untuk mengaku menjadi cucu seorang jahanam keji seperti Jai-hwa-sian, Cici.”

Suara Han Han begitu dingin sehingga Sie Leng sendiri mengkirik mendengarnya. Ia teringat akan perbuatan Giam Cu kepadanya dan ia mulai merasa ragu-ragu apakah adiknya ini tidak amat membenci suaminya! Juga ia merasa ngeri kalau mengingat bahwa si pemerkosa ibu mereka adalah Giam Kok Ma, seorang panglima yang berada di kota raja pula!

Han Han kagum menyaksikan rumah encinya yang seperti istana, lengkap dengan perabot rumah yang serba mewah dan rumah itu sendiri amat besar, penuh dengan pelayan. Dia diperlakukan dengan sikap hormat sekali oleh cihunya dan karena pada dasarnya Han Han adalah seorang yang perasa dan mudah tunduk oleh sikap lunak, ia menjadi makin tidak enak hatinya.

Mau membalas kebaikan cihu-nya, ia selalu teringat akan terbasminya keluarganya, mau bersikap kasar, cihu-nya amat hormat kepadanya dan ia juga merasa kasihan kepada cicinya yang amat mencinta suaminya. Yang merupakan hiburan hatinya adalah Kwi Hong, keponakannya yang mungil dan pandai bicara. Ia sering kali bermain-main dengan keponakannya itu, akan tetapi kalau teringat kepada Lulu, hatinya menjadi murung lagi.

Seperti telah dijanjikannya, cihu-nya itu setiba di kota raja lalu mengunjungi rumah Pangeran Ouwyang Cin Kok dan dengan girang sekali ia menceritakan pengalamannya, tentang pertemuannya dengan Sie Han, pemuda perkasa yang aneh dan yang menjadi bahan percakapan dalam sidang tempo hari.

“Ah, kiranya dia adalah Adik isterimu sendiri? Ha-ha-ha, bagus sekali kalau begitu!” Pangeran Ouwyang Cin Kok bertepuk tangan saking gembiranya.

“Akan tetapi wataknya amat aneh dan sukar diselami, Ong-ya, bahkan isteri hamba yang menjadi kakaknya sendiri pun menyatakan bahwa perubahan amat aneh dan amat besar terjadi pada adiknya sehingga hampir ia tidak mengenal watak adiknya. Pula, ada sebuah hal yang amat membahayakan sehingga hamba khawatir kalau-kalau dia akan mengamuk. Kepandaiannya benar-benar menakjubkan sekali. Hamba khawatir....”

“Hemmm, tentang kepandaiannya, aku sudah mendengar dari puteraku. Betapapun pandainya, jago-jago sakti kita akan mampu menundukkannya.”

“Tentang Ouwyang-kongcu inilah yang mengkhawatirkan hati hamba. Menurut pernyataannya, Adik angkatnya yang bernama Lulu, puteri Mancu itu, diculik oleh Ouwyang-kongcu dan dia marah sekali, mengancam hendak membunuh Kongcu kalau Adiknya tidak dibebaskan dalam keadaan selamat.”

Pangeran Ouwyang Cin Kok mengerutkan alisnya dan menghela napas panjang.
“Aahhh, sungguh kedua orang bocah itu mendatangkan banyak kerepotan saja! Adik isterimu itu aneh dan sudah mendatangkan banyak pusing, kini Adik angkatnya itu pun tidak kalah anehnya. Memang Lulu itu anak perwira yang menjadi korban penyerbuan kaum pemberontak beberapa tahun yang lalu. Anak itu disangka mati, kiranya muncul sebagai Adik angkat iparmu! Ouwyang Seng sudah berhasil menculiknya dan karena Kaisar merasa kasihan akan nasib anak itu, mengingat pula akan jasa orang tuanya, Lulu diperbolehkan tinggal di dalam istana sebagai dayang istana. Akan tetapi celaka sekali, baru beberapa hari saja bocah itu telah menghilang, minggat entah ke mana! Kini Ouwyang Seng yang bingung pergi mencarinya, karena lenyapnya Lulu tadinya dianggap mengacaukan rencana memancing Han Han ke kota raja. Siapa tahu dia telah ikut bersamamu. Kini Han Han mencari Lulu, benar-benar memusingkan!”

Giam-ciangkun juga menjadi bingung.
“Wah, kalau begitu bagaimana baiknya? Han Han tentu tidak akan mempercayai keterangan itu dan hal ini bisa berbahaya.”

“Jangan khawatir. Katakan saja terus terang bahwa Lulu minggat dari istana. Kalau tidak percaya boleh suruh dia menyelidiki ke istana. Sementara itu, engkau harus dapat membujuknya dan memperkenalkannya kepada para tokoh pengawal dan pembantu. Sementara menanti kembalinya Gak -locianpwe dan keponakanku Puteri Nirahai, juga puteraku, kita harus dapat membujuknya. Kalau perlu, kita menggunakan akal untuk membuat dia tidak berdaya.”

Mereka berunding, bahkan Pangeran Ouwyang Cin Kok lalu memanggil tokoh-tokoh yang berada di kota raja, diantaranya adalah Sin-tiauw-kwi Ciam Tek, kakak beradik Tikus Kuburan Bhong Lek dan Bhong Poa Sik, Hek-giam-ong, Pek-giam-ong dan Hiat-ciang-sian-li Ma Su Nio yang ketiganya adalah murid-murid Setan Botak Gak Liat dan beberapa orang panglima pengawal, termasuk Giam Kok Ma Ciangkun, panglima bermuka kuning yang dahulu memperkosa dan membunuh ibu Han Han.

Kemudian diambil keputusan untuk memperkenalkan tokoh-tokoh ini kepada Han Han di rumah Giam-ciangkun karena di situ terdapat Sie Leng yang dianggap dapat menundukkan Han Han apabila pemuda itu bersikap menentang.

Sebelum pertemuan itu dibubarkan, diam-diam Giam Cu berbisik kepada Giam Kok Ma yang menjadi pucat sekali mukanya. Panglima muka kuning ini mendengar betapa Han Han mencarinya dan tentu akan membunuhnya kalau berjumpa, mengingat bahwa Giam Kok Ma inilah yang dahulu memperkosa dan membunuh ibu Han Han. Panglima muka kuning ini lalu pulang ke rumahnya dengan muka makin kuning dan jantung berdebar-debar gelisah.

Setelah tiba di rumahnya, Giam Cu disambut oleh isterinya dan Han Han yang ingin segera mendengar bagaimana kabarnya tentang diri adiknya. Giam-ciangkun menarik napas panjang dan berkata,

“Wah, Han-te. Adik angkatmu itu benar-benar membikin pusing kita semua.”

“Bagaimanakah? Di mana Lulu?”

“Tepat seperti dugaanku, karena Lulu adalah puteri perwira, Ouwyang-kongcu sama sekali tidak berani mengganggunya dan memang tidak berniat mengganggunya. Bahkan Lulu dihadapkan kepada Kaisar sendiri yang mengingat akan jasa-jasa Ayahnya lalu mengangkat Lulu menjadi dayang istana, yaitu para siuli yang meniadi pelayan dalam dan sebagai puteri-puteri yang terhormat. Akan tetapi, entah mengapa, setelah mendapat kemuliaan itu, baru beberapa hari saja tahu-tahu Lulu telah minggat dari istana. Entah kemana perginya tak seorangpun mengetahuinya!”

Wajah Han Han yang tadinya bergembira dan lega itu kini berubah menjadi suram. Ia memandang tajam kepada Gam-ciangkun dan berkata,

“Apakah Cihu menceritakan hal yang sebenarnya?”

“Han Han, Cihu-mu tidak pernah berbohong!” Sie Leng berkata menegur adiknya.

“Tidak mengherankan kalau Han-te kurang percaya. Akan tetapi aku berani bersumpah dan kalau hal itu pun masih kurang meyakinkan hatimu, boleh saja Han-te melakukan penyelidikan sendiri ke istana dan bertanya-tanya. Kurasa tidak semua petugas istana dapat melakukan kebohongan yang sama.”

Han Han duduk melamun. Ia percaya karena apa perlunya berbohong kepadanya? Pula, setelah tinggal di situ beberapa hari lamanya, ia mendapat kenyataan bahwa cihu-nya benar-benar mencinta cicinya dan bahwa benar-benar cicinya hidup bahagia di situ. Ia menghela napas panjang.

“Kalau begitu, aku pun tidak bisa lama tinggal di sini. Aku harus pergi mencari jejak Lulu. Tidak mungkin aku dapat membiarkan adikku itu merana seorang diri. Aku merasa yakin bahwa pasti dia minggat untuk mencariku.”

“Ah, mengapa terburu-buru, Adik Han Han! Istana sendiri telah berusaha mencarinya dan banyak penyelidik telah disebar untuk mencari Lulu, bahkan ada perintah dari Kaisar sendiri untuk memanggil gadis itu. Kurasa, sebagai seorang gadis Mancu, dia tidak akan berani membangkang terhadap perintah Kaisar. Lebih baik engkau menanti di sini, pasti akan dapat ditemukan.

Sementara itu, engkau yang memiliki ilmu kepandaian begitu tinggi apakah tidak ingin berkenalan dengan tokoh-tokoh besar di dunia kang-ouw yang berada di sini? Aku telah mengundang mereka dan mereka ingin benar berkenalan denganmu. Di antara mereka terdapat seorang tokoh sakti dan aneh berjuluk Sin-tiauw-kwi yang kabarnya murid keturunan tokoh sakti Hek-giam-lo dari Khitan. Ada lagi kakak beradik yang berjuluk Tikus Kuburan, juga mereka memiliki ilmu yang luar biasa lihainya. Di samping itu, lebih baik kau tunggu tokoh yang paling hebat di antara kita semua, yaitu Puteri Nirahai yang memiliki ilmu kepandaian mujijat biarpun dia hanya seorang gadis muda, dia memiliki ilmu keturunan dari pendekar wanita sakti Mutiara Hitam di Khitan!”

Hati Han Han tertarik juga mendengar ucapan itu, terutama sekali mendengar nama Puteri Nirahai. Bukankah itu puteri Mancu yang amat lihai, yang telah mengatur siasat mengadu domba antara Siauw-lim-pai dan Hoa-san-pai? Kalau Nirahai memiliki ilmu keturunan pendekar wanita sakti Mutiara Hitam, berarti gadis Mancu itu masih mempunyai hubungan perguruan dengan Siang-mo-kiam Can Ji Kun dan Ok Yan Hwa, dua orang sakti Sepasang Pedang Iblis yang saling bunuh sendiri itu karena mereka adalah murid-murid Mutiara Hitam.

Selain ingin ia bertemu dengan orang-orang sakti yang disebut cihu-nya itu, juga memang kalau dipikir, kemana ia harus mencari adiknya yang telah melarikan diri dari istana? Adiknya memang nakal, diberi kemuliaan di istana tidak betah dan malah minggat tanpa pamit. Ia tertawa di dalam hatinya. Kalau Lulu tidak menghendaki, biar kaisar sendiri tidak akan dapat menahannya!

Adiknya memang nakal dan lucu, tentu sekarang sedang bingung mencari-carinya, padahal dia sudah berada di kota raja! Kaisar mempunyai kaki tangan di mana-mana, tentu lebih mudah mencari adiknya itu.

Melihat pemuda aneh itu agaknya sudah dapat terbujuk, Giam-ciangkun menjadi girang dan mengatur rencana untuk mempertemukan Han Han dengan para tokoh lain, bahkan mulai membujuk-bujuk Han Han betapa senangnya kalau pemuda itu suka menjadi pengawal atau jagoan kerajaan.

“Engkau akan cepat mendapat kemajuan, namamu akan dikenal di seluruh negeri, akan mendapat kehormatan besar bahkan siapa tahu kelak akan mendapat kehormatan menjadi pengawal pribadi kaisar sendiri.” Demikian antara lain Giam-ciangkun membujuk adik iparnya.

Han Han menggelengkan kepalanya.
“Aku tidak mau menjadi panglima pengawal kalau pekerjaannya hanya membunuhi orang-orang, Cihu. Selain aku tidak mempunyai cita-cita menjadi pembesar, juga agaknya tidak mungkin aku menjadi pembesar Mancu karena aku masih harus membunuh enam orang perwira Mancu.”

Giam-ciangkun mengerutkan alisnya yang tebal.
“Apakah maksudmu, Han Han?”

Han Han memandang cihu-nya dengan tajam. Kini ia mendapatkan kesempatan untuk bicara berdua dengan cihunya.

“Cihu tentu mengerti bahwa aku telah bersumpah untuk membunuh tujuh orang perwira yang dahulu membasmi keluarga orang tuaku. Cihu sendiri karena sudah menjadi suami Ciciku dan kulihat memang Cihu saling mencinta dengan Cici, maka aku tidak akan mengganggumu. Akan tetapi enam orang perwira lainnya, terutama sekali perwira muka kuning yang telah memperkosa dan membunuh mendiang Ibuku, tak dapat aku mengampuninya begitu saja. Sebelum aku dapat membunuh enam orang perwira itu, tidak mungkin aku menjadi petugas kaisar.”

Wajah panglima tinggi besar yang penuh jenggot terpelihara baik-baik itu berubah pucat.

“Aihhhhh, Adik Han Han. Apakah engkau tidak dapat melupakan hal itu? Apakah engkau tidak dapat menerima kenyataan dan menganggap peristiwa itu sebagai peristiwa dalam perang yang lajim terjadi?”

Han Han menggeleng kepalanya.
“Perang atau tidak, perbuatan manusia dapat dibedakan bagaimana yang jahat dan bagaimana pula yang baik. Kalau orang tuaku tewas dalam pertempuran, aku pun tidak begitu bodoh untuk mencari pembunuh-pembunuhnya, akan tetapi orang tuaku tidak terbasmi selagi bertempur, melainkan dibasmi secara keji tanpa alasan. Tidak, Cihu. Tidak mungkin aku mengampuni enam orang perwira yang lain!”

Giam-ciangkuan tidak berkata apa-apa lagi, akan tetapi Han Han maklum bahwa perasaan cihunya tersinggung, akan tetapi dia tidak mempedulikannya. Bahkan pada malam harinya, karena ia telah menaruh curiga akan sikap cihunya yang ia tahu menaruh ganjelan hati terhadap dirinya, dengan mempergunakan kepandaiannya, Han Han dapat menyelinap mendekati jendela kamar cicinya dan mendengar percakapan lirih yang terjadi di dalam kamar itu.

Bagi orang yang tidak memiliki sin-kang tinggi sehingga daya tangkap telinganya amat tajam, tidak mungkin mendengarkan percakapan di dalam kamar yang dilakukan sambil berbisik-bisik itu.

“Sungguh celaka. Adikmu itu tentu akan menimbulkan malapetaka besar. Dia masih mendendam kepada Giam Kok Ma dan lima orang perwira lainnya yang dulu menyerbu rumahmu. Dia bersumpah untuk membunuh mereka.”

“Aih, anak itu memang keras hati sekali. Aku tidak peduli kalau mereka berenam itu dibunuh, akan tetapi kalau dia melakukan pembunuhan-pembunuhan itu, tentu dia akan dikejar-kejar dan ditangkap. Bagaimana baiknya, suamiku?”

“Satu-satunya jalan untuk menghindarkan pembunuhan adalah memberi tahu mereka agar cepat-cepat meninggalkan kota raja dan jangan menampakkan diri sebelum Han Han pergi dari kota raja. Kurasa, kalau terlalu lama anak itu berada di sini, akhirnya pasti akan timbut malapetaka. Wataknya aneh sekali.”

Cicinya menghela napas panjang.
“Betapa berat rasa hatiku harus berpisah kembali dengan saudara kandungku yang hanya satu-satunya itu. Akan tetapi agaknya ucapanmu itu benar sekali dan terserahlah apa yang hendak kau lakukan asal Han Han terbebas daripada bahaya.”

“Aku akan mengirim surat sekarang juga kepada Giam Kok Ma, agar dia bersama lima orang kawan lain itu melarikan diri.”

Han Han cepat menyelinap pergi, jantungnya berdebar keras. Ia agak terharu mendengar ucapan cicinya, juga ia percaya bahwa cihunya tidak akan mencelakainya, akan tetapi mendengar bahwa cihunya hendak mengirim surat kepada perwira yang bernama Giam Kok Ma, ia girang sekali. Kiranya enam orang musuh besarnya yang lain itu berada di kota raja pula! Tentu Giam Kok Ma itu pun seorang di antara enam orang perwira itu.

Perwira rendahan yang diutus Giam-ciangkun membawa surat itu sama sekali tidak tahu bahwa di belakangnya ada orang yang membayangi perjalanannya seperti setan. Ia tidak tahu sama sekali bahwa bayangan yang mengikutinya itu terus ikut memasuki halaman istana Panglima Giam Kok Ma dan bayangan yang bukan lain adalah Han Han itu menyelinap ke dalam gelap setelah tiba di istana itu.

Bahkan ketika perwira utusan itu menyampaikan surat kepada Panglima Giam Kok Ma yang membaca surat itu dengan muka berkerut-kerut, Han Han mengintai dari lubang di atas genteng dan sinar mata Han Han berapi-api ketika ia mengenal panglima yang mukanya kuning itu. Itulah dia si keparat yang dahulu memperkosa ibunya! Mukanya terasa panas dan kalau menurutkan nafsunya, ingin ia pada saat itu juga melompat ke dalam kamar dan membunuh musuh besarnya itu.

Akan tetapi Han Han menahan kemarahannya. Lebih baik menanti sampai mereka semua berkumpul, pikirnya. Kalau kubunuh dia sekarang, aku masih harus mencari yang lima orang lainnya dan hal itu tidak akan mudah. Apalagi cihunya sama sekali tidak suka membantunya dalam hal pembalasan dendam ini dan hal ini pun ia maklumi, bahkan cihunya tentu saja akan memberi kabar secara diam-diam kepada rekan-rekannya untuk melarikan diri.

Han Han memang telah mewarisi ilmu kepandaian yang luar biasa, akan tetapi betapapun juga dia hanya seorang pemuda yang kurang pengalaman. Mana mungkin ia dapat menandingi kecerdikan tokoh-tokoh istana? Dia sama sekali tidak tahu, bahkan menduga sedikit pun tidak, bahwa sesungguhnya semua ini telah diatur dan direncanakan oleh para tokoh itu, di bawah pimpinan Pangeran Ouwyang Cin Kok.

Tidak tahu bahwa semua itu adalah pelaksanaan siasat mereka. Karena Giam-ciangkun maklum bahwa di dalam hatinya Han Han tidak senang kepadanya dan bahwa pemuda ini merupakan ancaman baginya untuk selama hidupnya, maka ia telah mengatur rencana bersama Ouwyang Cin Kok dan para tokoh lainnya.

Kalau mereka menanti kembalinya Gak Liat, Puteri Nirahai dan Ouwyang Seng, tentu akan memakan waktu lama dan siapa tahu dalam waktu itu apa yang akan dilakukan pemuda aneh itu, dan apa pun yang dilakukannya, menimbulkan kengerian dalam hati mereka, mengingat betapa mudahnya Han Han membunuh puluhan orang pengawal.

Kebetulan sekali dua hari sebelum Han Han mendengarkan percakapan antara cihu dan cicinya, muncul seorang nenek yang luar biasa di waktu malam di dalam gedung istana Pangeran Ouwyang Cin Kok. Munculnya seperti iblis saja, tahu-tahu telah berada di ruangan dalam tanpa diketahui oleh para pengawal yang menjaga. Hanya setelah dia lewat di kamar yang dijadikan kamar tidur Sin-tiauw-kwi Ciam Tek saja maka kehadirannya diketahui.

“Rebahlah!”

Tiba-tiba terdengar suara kaku di belakangnya dan nenek itu merasa betapa ada angin pukulan yang hebat luar biasa mendorongnya dari belakang. Nenek ini bukan lain adalah Toat-beng Ciu-sian-li Bu Ci Goat. Maklum bahwa ada orang berkepandaian tinggi menyerangnya dari belakang, nenek ini memutar tubuhnya. Pemutaran tubuhnya ini didahului oleh menyambarnya anting-anting panjang berbentuk rantai gelang yang tergantung di kedua telinganya. Rantai gelang itu menyambar ke depan menangkis pukulan Sin-tiauw-kwi Ciam Tek.

“Tranggggg....!”

Pukulan yang dilakukan Sin-tiauw-kwi adalah pukulan Hek-in Sin-ciang, dari kedua telapak tangannya mengebul asap hitam, hebatnya bukan main. Ketika ujung rantai gelang bertemu dengan tangan Si Burung Hantu, sebuah gelang terlepas, akan tetapi bukan terlepas runtuh, melainkan terlepas dan meluncur ke arah tubuh Si Burung Hantu, menyambar jalan darah mematikan di tenggorokan!

Kedua orang tokoh sakti itu sama-sama terkejut, Toat-beng Ciu-sian-li terkejut ketika tangkisan senjatanya yang aneh itu mengakibatkan sebuah gelang putus, maka ia membuat gelang itu meluncur menyerang lawan sambil meloncat mundur.

Adapun Sin-tiauw-kwi Ciam Tek terkejut bukan main bahwa serangannya yang amat ampuh itu selain dapat dihindarkan lawan, juga lawan yang lihai itu malah berbalik menyerang dengan senjata rahasia yang aneh itu. Cepat ia miringkan kepalanya dan mulutnya yang runcing meniup gelang itu sehingga menyeleweng dan masuk ke dalam dinding!

Mendengar suara ribut-ribut, sebentar saja ruangan itu penuh dengan para pengawal yang mengepung nenek itu. Kakak beradik Tikus Kuburan yang mengenal nenek itu berseru dengan kaget,

“Ah, kiranya Toat-beng Ciu-sian-li yang datang?”

Nenek yang tadinya menyapu para pengawal yang mengurungnya dengan pandang mata mengejek, kini memandang kakak beradik itu dan berkata,

“Eh-eh, agaknya kedua Tikus Kuburan juga kesasar sampai di sini. Orang-orang she Bhong, aku memenuhi undangan Setan Botak yang menyatakan bahwa Pangeran Ouwyang Cin Kok membutuhkan bantuan orang pandai, akan tetapi beginikah penerimaan Pangeran Ouwyang Cin Kok terhadap tamunya? Siapa kira Pangeran Ouwyang memelihara anjing galak yang mukanya seperti burung sekarat!” Ia melirik kepada Sin-tiauw-kwi yang mendengus saja mendengar ucapan menghina itu.

Pangeran Ouwyang Cin Kok yang sudah bangun pula tadi bersembunyi dari tempat rahasia, ketika mendengar bahwa nenek yang mengerikan itu adalah Toat-beng Ciu-sian-li, dan melihat bahwa jagoan-jagoannya telah berada di situ, kini berani muncul dan ia segera berkata.

“Ah, harap locianpwe suka memaafkan orang-orangku. Karena kedatangan locianpwe tanpa memberi tahu dan pada tengah malam secara begini mengejutkan, maka orang-orangku tidak mengenal locianpwe. Silakan duduk.”

Toat-beng Ciu-sian-li sejenak memandang wajah pangeran itu, lalu tertawa dan minum araknya dari guci arak yang selalu diselipkan di pinggang, kemudian tertawa lagi sehingga kepalanya bergoyang-goyang dan anting-antingnya yang besar dan amat panjang itu mengeluarkan bunyi berkerincingan.

“He-he-he, Pangeran Ouwyang dapat menghargai orang pandai, itu bagus! Eh, Ouwyang Ong-ya, anjingmu ini selain galak juga lihai sekali. Siapakah dia?”

Ia menudingkan telunjuknya ke arah Sin-tiauw-kwi yang sudah berdiri dengan sebelah kaki.

“Apakah locianpwe belum mengenalnya? Dia berjuluk Sin-tiauw-kwi.”

Nenek itu membelalakkan kedua matanya.
“Wah-wah, kiranya inikah Si Burung Hantu? Luar biasa sekali, pantas dengan namanya, memang engkau buruk seperti burung hantu. Aku ingin sekali mencoba kepandaianmu!”

“Hemmm, nenek tua bangka. Bukankah engkau ini seorang di antara selir-selir Suma Kiat? Aku pun ingin mencoba gebukan-gebukanmu beberapa jurus! Kapan saja dan di mana saja!”

Mendengar ini, di dalam hatinya Pangeran Ouwyang Cin Kok mengomel. Celaka sekali orang-orang sakti yang wataknya aneh ini. Kalau dibiarkan tentu akan saling gebuk dan rumahnya menjadi arena perkelahian di antara pembantu-pembantunya sendiri. Bisa berabe! Cepat ia tertawa dan meloncat ke depan.

“Harap ji-wi suka menangguhkan pibu itu untuk lain kali saja. Sekarang ada urusan yang amat penting yang kuharapkan akan mendapat bantuan Ciu-sian-li. Marilah kita bicara di dalam ruangan belakang. Silakan, locianpwe.”

Demikianlah pangeran yang cerdik ini berunding dengan tokoh-tokoh itu dan hasil perundingan ini merupakan siasat yang dijalankan Giam-ciangkun terhadap Han Han. Di luar tahu pemuda itu sendiri, Toat-beng Ciu-sian-li yang lihai membayangi pemuda ini, terus membayanginya ketika Han Han mengikuti utusan yang membawa surat Giam-ciangkun kepada rekannya, si panglima muka kuning, Giam Kok Ma.

Ini sudah termasuk rencana mereka. Kalau Han Han langsung turun tangan terhadap Giam Kok Ma, tentu ia akan berhadapan dengan Toat-beng Ciu-sian-li. Kalau tidak dan pemuda ini mengikuti Giam Kok Ma seperti yang mereka duga, hal ini pun sudah mereka persiapkan untuk menyambut pemuda itu!

Ketika Han Han mengintai dari atas genteng di gedung Giam Kok Ma, ia mendengar musuh besarnya itu berkata.

“Baiklah, sampaikan kepada Giam-ciangkun bahwa aku sudah mengerti akan isi suratnya dan besok pagi-pagi aku akan menghubungi rekan-rekan yang terancam.”

Mendengar ini, Han Han lalu meninggalkan gedung dan bersembunyi di atas sebatang pohon sambil menjaga. Pada keesokan harinya, ia melihat Giam Kok Ma, musuh besarnya itu, meninggalkan gedung menunggang kuda dikawal oleh enam orang pengawal. Ia cepat meloncat turun dan mempergunakan gin-kangnya mengikuti dari jauh.

Larinya cepat sekali sehingga biarpun panglima bersama pengawal-pengawalnya itu membalapkan kuda, ia masih dapat mengikuti mereka. Jauh di luar kota, rombongan itu memasuki sebuah hutan dan ternyata di pinggir hutan itu terdapat sebuah bangunan yang indah, agaknya sebuah rumah peristirahatan pembesar Mancu. Ia melihat Giam Kok Ma memasuki rumah itu, sedangkan para pengawal lalu menuntun kuda ke kandang kuda dan masuk di bagian belakang gedung itu.

Han Han cepat melayang naik ke atas genteng. Dari atas ia mencari-cari namun tidak melihat bayangan musuhnya. Ia mencari terus dan akhirnya khawatir kalau-kalau kehilangan musuhnya, ia meloncat turun masuk ke dalam melalui jendela dan tiba di sebuah ruangan yang luas. Baru saja kakinya menginjak lantai, sebuah pintu terbuka dan yang muncul adalah. GiamCu cihunya.

“Eh, Adik Han Han! Mengapa engkau berada di sini?” Panglima brewok ini bertanya dengan wajah kaget dan heran.

“Cihu, ini rumah siapakah?” Han Han balas bertanya, suaranya juga heran akan tetapi keren dan dingin.

“Ini rumahku, rumah peristirahatan!” jawab cihunya. “Dan sungguh kebetulan sekali kedatanganmu, Adikku. Memang aku sedang memanggil berkumpul tokoh-tokoh pengawal istana di sini untuk memperkenalkannya kepadamu. Siapa tahu, engkau malah sudah datang ke sini! Bagaimana engkau bisa sampai ke sini?”

“Cihu, aku mengejar musuh besarku, perwira muka kuning! Ke mana dia? Harap Cihu jangan mencampuri, suruh dia keluar bersama musuh-musuhku yang lain!”

“Eh-eh, Adik Han Han. Mengapa engkau memaksa diri hendak menyebabkan kekacauan? Harap kau suka memandang mukaku, dan mengingat Encimu. Kalau engkau melakukan hal-hal yang mengacaukan di sini, dan membunuh panglima-panglima kerajaan, berarti engkau akan mendatangkan malapetaka kepadaku.”

“Mengapa mereka datang ke rumah Cihu di sini? Mau apa? Apa artinya ini semua?”

“Adikku, mereka adalah panglima-panglima kerajaan, tentu saja mereka pun sudah biasa mengadakan pertemuan dengan aku dan para tokoh pengawal. Ah, lebih baik kuperkenalkan kau dengan para pengawal.”

Pada saat itu, beberapa buah pintu terbuka dan muncullah tiga orang yang amat aneh keadaannya. Han Han memandang tajam dan ia pun siap dan waspada, maklum bahwa tiga orang yang muncul ini bukanlah orang-orang sembarangan dan ia mulai curiga terhadap cihunya.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar