FB

FB


Ads

Selasa, 09 Desember 2014

Pendekar Super Sakti Jilid 045

Isterinya menggerakkan tangan menyentuh lengannya.
“Jangan....! Sudah berkali-kali kuminta kepadamu agar engkau jangan membunuh orang. Kalau hal itu perlu sekali dilakukan, biarlah para pengawal yang melakukannya.”

Panglima itu tertawa, lalu membungkuk dan mencium pipi isterinya, kemudian berkata,
“Tentu.... tentu.... apa kau kira aku suka menjadi algojo setelah memiliki isteri seorang dewi seperti engkau ini?”

Akan tetapi biarpun mulutnya berkata demikian, hati panglima ini mulai merasa tidak enak dan dia lalu mengungkapkan tirai di jendela depan kereta dan mengintai ke depan.

Dapat dibayangkan betapa terkejut hatinya ketika melihat bahwa dua puluh orang pengawal dan dua orang perwira yang memimpin pengawal pasukan depan telah roboh semua, kuda-kuda tunggangan mereka lari cerai-berai dan kini ia melihat seorang laki-laki muda yang rambutnya riap-riapan berpakaian putih sederhana, berwajah beringas dan bermata menyeramkan, melangkah perlahan menghampiri kereta yang terjaga oleh dua losin pengawal, dua orang perwira dan dua orang pengendara kereta!

Han Han memang sudah marah sekali, ketika ia dikeroyok dua puluh orang pengawal tadi, kemarahannya memuncak. Hujan senjata ke arah tubuhnya tidak ia pedulikan karena ia sudah mengerahkan sin-kang melindungi tubuh dan pada saat para pengeroyok menerjangnya, ia menggunakan kedua tangannya memukul ke kanan kiri ke depan belakang menggunakan Swat-im Sin-ciang.

Setiap orang pengawal yang terkena hawa pukulan ini tentu roboh dengan darah membeku dan jantung mereka berhenti bekerja seketika. Tentu saja yang jatuh terus mati tak dapat hidup kembali!

Setelah semua pengeroyoknya roboh, Han Han memandang ke arah kereta yang terjaga oleh sepasukan pengawal lain. Pakaiannya robek di sana-sini terkena senjata tajam, dan dia melangkah maju menghampiri kereta. Para pengawal hanyalah anak buah, hanya alat, pikirnya. Yang duduk di kereta itu adalah pembesarnya dan dialah biang keladinya yang harus ditumpas, pikirnya.

Sejenak sunyi sekali ketika pemuda itu dengan langkah satu-satu dan lambat-lambat menghampiri kereta. Setelah dekat, meledaklah suara teriakan-teriakan para pengawal mengeroyok Han Han, didahului oleh dua orang perwira.

Kini rombongan pengawal ini mengeroyok Han Han setelah meloncat turun dari atas kuda dan segera terdengar suara hiruk-pikuk, suara teriakan marah bercampur aduk dengan suara senjata patah dan jatuh ke atas tanah, disusul pula jerit-jerit mengerikan ketika Han Han mulai dengan amukannya.

Giam-hujin (Nyonya Giam) mendekap puterinya dan mukanya menjadi pucat mendengar suara hiruk-pikuk di luar kereta. Giam-ciangkun kembali mengintai dan panglima tinggi besar brewokan ini mengeluarkan suara menggeram marah ketika menyaksikan betapa dua orang perwira pengawal itu sudah tewas pula, dan kini orang muda yang aneh itu sudah merobohkan para pengawal dengan setiap gerakan tangan seperti orang membabat rumput saja!

“Si keparat....!” .

Giam-ciangkun mencabut pedangnya dan hendak keluar dari kereta. Akan tetapi isterinya memegang lengannya dan menariknya kembali.

“Jangan.... jangan tinggalkan aku....”

“Hemmm, isteriku. Pemberontak itu lihai, para pengawal bukan lawannya. Aku sendiri yang harus melawannya.”

“Tidak.... jangan tinggalkan aku. Aku takut....” Giam-hujin menahan dan anaknya mulai menangis.

Giam-ciangkun duduk kembali, menghela napas dan memangku pedangnya.
“Baiklah, aku menjaga di sini dan kalau dia berani masuk, kupenggal lehernya!”

Suara hiruk-pikuk di luar makin gaduh dan tubuh Giam-hujin menggigil. Giam-ciangkun diam-diam juga merasa gelisah sekali, apalagi ketika ia mendengar jerit-jerit kematian para anak buahnya. Ia mengintai dan alangkah kagetnya ketika pemuda itu telah mengamuk dekat kereta dan para pengawal yang mengeroyoknya hanya tinggal enam orang lagi.

Mereka itu pun mengeroyok dari jarak jauh, menggunakan senjata tombak yang panjang, seperti enam orang pemburu yang menyerang seekor harimau dengan takut-takut terpaksa dan hanya menakut-nakuti dengan ujung tombak saja!

Han Han yang melihat tidak ada lagi pengeroyok yang mendesaknya, segera meloncat ke dekat kereta. Ia menggerakkan tangan mencengkeram daun pintu dan merenggut.

“Braaaakkkkk!”

Daun pintu itu terlepas dan pecah-pecah. Pada saat itulah Giam-ciangkun menerjang keluar dengan loncatan dan dengan tusukan pedangnya ke arah dada Han Han. Han Han yang mendengar bersuitnya angin tusukan pedang, maklum bahwa orang yang menyerangnya memiliki ilmu kepandaian yang cukup tinggi, maka ia cepat menggeser kaki ke kiri, tangannya menyampok pedang itu dan kakinya menendang.

“Bukkkkk!”

Tubuh Giam-ciangkun yang tinggi besar itu terlempar sampai empat meter jauhnya! Pada saat Han Han hendak mengejar, dari atas melompat dua orang pengendara dengan golok di tangan. Han Han menyambut mereka dengan kedua tangannya, tidak mempedulikan dua batang golok yang membacok leher dan pundak.

Tangannya herhasil mencengkeram baju mereka dan sekali kedua tangannya bergerak, terdengar suara keras dan pecahlah dua buah kepala yang diadukannya itu, darah muncrat bersama otak!

Han Han menghampiri panglima yang ditendangnya tadi. Giam-ciangkun bertubuh kuat dan ia sudah bangun kembali dengan pedang di tangan. Ketika Han Han melihat wajah Giam-ciangkun, terlepaslah pekik melengking dari mulutnya seperti teriakan seekor biruang marah, dan ia melangkah lagi sambil berkata.

“Engkau....? Engkaukah ini....? Si keparat jahanam.... kebetulan sekali, kubeset kulitmu.... kuminum darahmu....!”

Suara Han Han perlahan dan mendesis, wajahnya beringas seperti bukan wajah manusia. Dia mengenal perwira brewok yang dahulu memperkosa encinya!

Giam-ciangkun merasa ngeri melihat wajah Han Han yang sama sekali tidak dikenalnya. Ia berteriak,

“Serang....!”

Dan enam orang sisa pengawal itu dengan nekat menerjang maju, menggunakan tombak mereka yang datang seperti hujan ditusukkan ke arah tubuh Han Han.

Han Han yang menemukan musuh besarnya, sudah menjadi marah sekali. Ia menggereng, membiarkan tombak-tombak itu menusuknya, kedua tangannya bergerak, yang kanan memukul dengan ilmu sakti Hwi-yang Sin-ciang, yang kiri menggunakan Swat-im Sin-ciang dan.... enam orang pengawal itu roboh, yang tiga orang hangus seluruh tubuh mereka, yang tiga orang lagi kaku membeku, keenamnya tewas di saat itu juga.

“Kau.... iblis brewok.... tibalah saatnya aku membalas dendam. Ha-ha-ha-ha!”

Baru sekali ini selama hidupnya Han Han tertawa seperti itu, suara ketawa yang tidak sewajarnya, seperti bukan suaranya sendiri, seperti ketawa di luar kehendaknya dan memang suara ketawa ini terdorong oleh nafsu dendam yang menyesak di hati.

Giam-ciangkun merasa bulu tengkuknya berdiri, akan tetapi dia sudah menerjang maju lagi dengan pedangnya, membacok ke arah kepala pemuda yang menyeramkan itu.

“Siuuuuuttttt.... plak-kreeek!”

Pedang yang kena ditampar tangan Han Han itu patah menjadi dua! Giam-ciangkun kini melempar gagang pedangnya, memandang pemuda itu dengan mata terbelalak, dan otomatis kakinya mundur-mundur ke arah kereta. Han Han masih tertawa-tawa dan melangkah maju.

“Rebahlah!” bentaknya dan tangannya melakukan gerakan mendorong.






Biarpun Giam-ciangkun sudah mengerahkan tenaganya bertahan, namun tetap saja tubuhnya terjengkang oleh hawa dorongan yang luar biasa kuatnya. Ia jatuh terlentang dan pemuda itu melangkah maju perlahan-lahan!

Tiba-tiba terdengar jerit dari dalam kereta dan Giam-hujin sudah turun dari kereta memondong puterinya yang menangis keras sejak tadi.

“Jangan bunuh dia.... ah, jangan bunuh suamiku.... mohon taihiap sudi mengampuni nyawa suamiku....”

Han Han tertegun memandang wanita memondong anak yang berlutut di depan kakinya. Kemarahannya tak mungkin dapat dihapus oleh ratap tangis seorang wanita yang tidak dikenalnya.

“Dia jahat, aku harus membunuhnya....!” Ia menjawab, suaranya dingin.

“Ahhh.... ampunkan dia.... ampunkan kami.... taihiap, ampunkan suamiku....” wanita itu meratap-ratap sambil berlutut, kemudian menangis dan seolah-olah menciumi ujung kaki Han Han.

Tergeraklah hati Han Han dan ia menjadi marah kepada wanita ini yang telah menimbulkan keraguan di hatinya. Dia harus membunuh perwira brewok ini! Apapun yang terjadi, dia harus membunuhnya! Si Brewok ini telah memperkosa encinya, memperkosanya di depan matanya! Dialah orang ke dua di antara tujuh orang perwira Mancu yang harus dibunuhnya. Harus!

Yang pertama adalah perwira muka kuning yang telah memperkosa dan membunuh ibunya, yang ke dua perwira ini yang memperkosa encinya, kemudian yang lima orang lainnya, mereka yang telah menghina keluarganya, harus dia balas dan tumpas semua!

“Dia orang busuk, kau tahu?”

Han Han tiba-tiba membungkuk, memegang kedua pundak Nyonya Giam dan menariknya berdiri agar mereka dapat bertemu pandang.

“Dia manusia berhati iblis! Dia telah memperkosa....”

Tiba-tiba Han Han berhenti bicara, matanya terbelalak dan lehernya seperti dicekik rasanya. Mereka berpandangan, seorang wanita cantik dan pemuda perkasa itu, yang hampir sama bentuk mukanya, keduanya terbelalak dan Nyonya Giam seolah-olah tidak percaya kepada pandang matanya sendiri, berkedip-kedip, mukanya pucat, matanya terbelalak, tangisnya terhenti seketika.

“Han Han....!”

“Leng-cici....!”

Nyonya Giam itu memang encinya, Sie Leng, gadis yang dahulu diperkosa kemudian dilarikan oleh perwira brewok yang bukan lain adalah Giam Cu yang kini telah menjadi panglima. Sie Leng terkulai lemas, roboh pingsan di dalam pelukan adiknya!

Han Han juga lemas seketika. Getaran-getaran yang menguasai dirinya, yang membuat ia buas dan haus darah, seketika lenyap, meninggalkan tubuhnya yang terasa lemas dan lelah sekali. Ia duduk di atas sebuah akar menonjol, memangku encinya yang masih pingsan, memandang jauh ke depan dengan pandangan kosong. Ia tidak mendengar dan tidak melihat betapa anak perempuan kecil itu memeluki ibunya dan memanggil-manggil,

“Ibu.... Ibu.... Ibu....” sambil menangis.

Dia tidak sadar pula bahwa kini Giam Cu merangkak dan berlutut di depannya, sambil berusaha mendiamkan puterinya.

Sampai lama Han Han termangu dan melamun. Memangku tubuh encinya yang pingsan membuat ia teringat akan segala hal ketika ia masih kecil. Bagaikan tampak di depan matanya segala peristiwa di waktu ia masih kecil dan hampir ia tidak percaya bahwa encinya yang tadinya disangka mati itu kini berpakaian mewah dan indah, disebut ibu oleh seorang anak perempuan, dan agaknya menjadi isteri dari Si Brewok yang akan dibunuhnya tadi!

Sie Leng sadar dari pingsannya dan ia merasa seperti dalam mimpi ketika mendapatkan dirinya dipangku seorang pemuda tampan berambut riap-riapan. Han Han! Pemuda ini adalah Han Han, adiknya! Ia melihat Kwi Hong, puterinya masih menangis dan suaminya berlutut didepan Han Han!

“Han Han....!” Ia berseru dan merangkul adiknya. “Han Han, engkau tidak boleh membunuh suamiku. Dia iparmu....! Han Han, engkau ampunkanlah dia....!” katanya sambil berlutut pula disamping suaminya.

“Taihiap, saya mengaku berdosa, akan tetapi demi encimu dan keponakanmu ini, saya mohon ampun....” terdengar pula suara GiamCu yang besar.

Han Han menjadi bingung, akhirnya menarik napas panjang dan berkata, suaranya dingin dan sakit hatinya masih belum dapat ia hilangkan sama sekali,

“Enci Leng, apakah yang telah terjadi? Kenapa engkau malah mintakan ampun kepadaku untuk orang ini?”

“Han Han adikku, dengarlah penuturanku.” Sie Leng lalu menceritakan pengalamannya semenjak dia dibawa pergi oleh Giam Cu.

Mula-mula memang ia merasa sakit hati dan benci kepada Giam Cu yang memperkosanya. Berkali-kali ia hendak membunuh diri, akan tetapi digagalkan selalu oleh Giam Cu yang menjaganya dan ternyata bahwa perwira itu jatuh cinta kepada gadis ini. Dengan penuh kasih sayang Giam Cu membujuk, bahkan tidak lagi ia memperkosa gadis itu, diperlakukan dengan sikap halus dan dihujani kemewahan.

Mula-mula Sie Leng tidak mempedulikan sikap baik perwira itu, ia terlalu benci kepadanya dan lebih baik mati daripada menjadi isterinya. Akan tetapi, Giam Cu membujuk, bahkan mengenyahkan semua selirnya. Kemudian, setelah Sie Leng mendapatkan dirinya dalam keadaan mengandung akibat perkosaan itu, ia menyerah!

“Dan ternyata bahwa dia amat mencintaku, Han Han. Mencinta sungguh-sungguh dan sampai sekarang pun terbukti cinta kasihnya kepadaku. Setelah dia naik pangkat terus sampai menjadi panglima, dia tetap mencintaku, tidak mempunyai isteri lain dan akhirnya aku pun mencintanya sebagai suamiku yang baik.”

Sie Leng terisak, kemudian melanjutkan ceritanya,
“Kandunganku yang pertama gugur dan hal itu malah menggirangkan hati kami karena kalau anak itu terlahir, tentu hanya akan menimbulkan kenangan pahit dari peristiwa jahanam yang terjadi di rumah kita dahulu. Kemudian aku mengandung lagi dan terlahirlah keponakanmu ini, Kwi Hong. Dia anak kami yang syah, yang lahir dari cinta kasih antara kami. Han Han, setelah engkau mendengar penuturanku, maukah engkau mengampuni suamiku?”

Han Han meragu.
“Akan tetapi dia dan kawan-kawannya terlampau jahat, Enci. Lupakah engkau akan keadaan keluarga kita yang terbasmi habis?”

“Han Han, kalau engkau tidak bisa mengampuninya dan memaksa hendak membunuhnya, terserah. Akan tetapi engkau harus membunuh aku dan keponakanmu ini lebih dulu!” Sie Leng memondong anaknya dan menghadapi Han Han dengan sinar mata menantang.

Han Han terbelalak memandang encinya dan melihat bahwa ucapan dan tantangannya itu berhasil, Sie Leng lalu memegang tangan Han Han dan berkata,

“Jangan menilai orang lain secara sepintas lalu, Adikku. Apakah engkau tidak tahu bahwa kita pun bukan keturunan orang baik-baik? Kakek kita seribu kali lebih ganas dan jahat daripada suamiku. Dia ini hanya menjadi buas karena tugasnya yang diharuskan membasmi musuh. Sebaliknya Kakek kita.... hemmm, orang sedunia mengutuknya!”

“Apa.... apa maksudmu, Enci?”

“Ohhh, engkau tidak tahu, Han Han? Apakah dahulu, Ayah atau Ibu tidak pernah bercerita tentang Kakek kita yang bernama Sie Hoat?”

Han Han menelan ludah ketika mengangguk. Teringat ia betapa Setan Botak pernah mentertawakan kakeknya. Kalau Setan Botak mengenal kakeknya, tentulah kakeknya bukan sembarang orang!

“Kakek kita itu adalah seorang Jai-hwa-sian (Dewa Pemetik Bunga) yang terkenal di seluruh dunia kang-ouw karena jahatnya! Pekerjaannya hanyalah mengganggu anak isteri orang, entah telah mencemarkan berapa ribu orang wanita di dunia ini! Dan lebih banyak pula yang telah dibunuhnya! Nah, kau dengar sekarang? Apa yang dialami Ibu dan aku sendiri, boleh dikatakan hukum karma sebagai pembalasan atas dosa-dosa Kong-kong kita itu. Nasibku masih baik. Biarpun aku diperkosa, akan tetapi ternyata kemudian bahwa yang memperkosaku menjadi suamiku yang mencinta dan kucinta, menjadi Ayah puteriku. Nasibku masih jauh lebih baik daripada nasib ribuan orang wanita yang menjadi korban Kakek kita.”

Han Han mendengarkan dengan mata terbelatak.
“Ah, benarkah itu, Leng cici? Kalau begitu, Kakek kita itu memiliki kepandaian yang luar biasa?”

“Tentu saja! Dia ditakuti oleh seluruh tokoh di dunia pada jamannya.”

“Kalau begitu, mengapa Ayah kita begitu lemah....?”

“Ayah kita bukanlah anaknya yang sah, melainkan anak yang terlahir dari seorang di antara wanita-wanita yang diperkosanya....”

“Aihhhhh....!”

Han Han menutupi mukanya. Hukum karma? Kedosaan kakeknya mengakibatkan hancurnya keluarga ayahnya?

“Sudahlah, Adikku. Keturunan Ayah tinggal kita berdua, marilah engkau ikut bersamaku, Adikku. Kakak iparmu ini amat mencintaku, dia seorang yang baik. Kalau dia melakukan hal yang mengerikan terhadap keluarga Ayah, hal itu adalah tidak mengherankan karena hal-hal semacam itu selalu terjadi dalam perang. Engkau telah membunuhi semua pengawal kami, ah, mengapa, Adikku?”

Han Han mengangkat muka, memandang kepada cihu-nya (kakak iparnya) yang masih menundukkan muka.

“Mengapa? Tanya saja kepada suamimu ini, Leng-cici! Para pengawal itu membunuh-bunuhi rakyat yang tidak berdosa. Tentu saja aku tidak mau mendiamkannya saja melihat penyembelihan orang-orang tak berdosa, melihat para pengawal itu seperti serigala-serigala buas berburu manusia!”

“Hemmm, kau anggap begitukah, Han Han? Lihatlah ini!” Sie Leng menyingkap bajunya dan memperlihatkan pundaknya yang terluka, luka baru.

“Mengapa pundakmu, Cici?”

“Akibat serangan mendadak dari orang-orang tak berdosa itu! Mereka pura-pura menjadi rakyat jelata, menonton kereta pembesar lewat. Tiba-tiba menyerang dengan senjata rahasia, mengenai pundakku dan hampir membunuh keponakanmu kalau saja tidak cepat ditangkis Cihu-mu. Masih banyak hal terjadi, Han Han. Hal-hal mengerikan yang dilakukan oleh rakyat tak berdosa itu. Pembunuhan-pembunuhan mengerikan terhadap orang-orang yang bekerja kepada pemerintah baru. Akan tetapi semua itu sudah wajar terjadi dalam perang.”

Han Han termenung dan terbayanglah wajah Lulu. Adik angkatnya itu pun puteri seorang Mancu yang terbasmi sekeluarganya oleh “rakyat”, oleh Lauw-pangcu dan teman-teman yang menyebut diri mereka kaum pejuang. Bahkan oleh mereka yang menganggap diri sendiri orang-orang gagah itu,

Lulu disuruh berpakaian seperti jembel dan dibiarkan hidup seorang diri. Apakah dosa Lulu? Berdosakah kalau dia kebetulan oleh Thian dilahirkan sebagai anak keluarga Mancu? Salahkah sekarang kalau cicinya mencinta pembesar Mancu yang memperkosanya? Ia menjadi bingung memikirkan hal ini, lebih bingung lagi mendengar keterangan cicinya bahwa kakeknya, ayah dari ayahnya, adalah seorang pentolan kaum pemerkosa wanita sehingga berjuluk Dewa Pemetik Bunga!

Tiba-tiba Han Han berseru,
“Awas....!”

Tubuhnya bergerak mendorong cicinya ke samping dan empat buah senjata piauw runtuh ke bawah. Giam-ciangkun kaget sekali, cepat merangkul isteri dan anaknya, berlindung di dekat kereta, di belakang Han Han yang sudah berdiri tegak memandang ke depan.

“Pembesar Mancu keparat, bersiaplah untuk mampus!” terdengar seruan nyaring sekali sehingga Han Han diam-diam terkejut.

Yang datang adalah seorang wanita yang berkepandaian tinggi. Buktinya, dari jauh sudah dapat menyambit piauw yang ketika ia sampok tadi membayangkan tenaga besar, dan sebelum tampak orangnya sudah terdengar suaranya yang nyaring.

Tak lama kemudian muncullah tiga orang muda yang gerakannya tangkas dan gesit, berloncatan dengan gerakan ringan sekali membayangkan gin-kang yang tinggi tingkatnya.

Mereka itu adalah dua orang gadis dan seorang pemuda. Dua orang gadis yang amat cantik dan seorang pemuda yang tampan. Usia mereka sebaya dengan Han Han, dan pakaian mereka, dapat diduga bahwa mereka adalah orang muda dunia kang-ouw.

Han Han memandang mereka dengan sinar mata penuh selidik. Jantungnya berdebar dan ia mengingat-ingat karena merasa yakin bahwa dia mengenal tiga orang muda yang perkasa ini.

Tiga orang itu melihat seorang pemuda berpakaian putih robek-robek dan berambut panjang riap-riapan berdiri tegak melindungi pembesar Mancu dan anak isterinya segera meloncat ke depan Han Han, memandang dengan penuh kemarahan dan penuh selidik pula.

“Sute....!” Tiba-tiba seorang di antara dua gadis itu, yang cantik dan berpakaian kuning yang memiliki mata bening dan sikap jujur, berseru dan melangkah maju. “Benar, engkau Han Han! Engkau Han-sute....!”

Han Han tersenyum. Tentu saja! Mengapa ia hampir melupakan mereka ini, terutama sekali gadis berpakaian kuning ini? Mereka ini adalah sahabat-sahabatnya dahulu, bukan hanya sahabat, malah suci-sucinya dan suhengnya, karena dia bersama mereka inilah yang dipilih oleh Toat-beng Ciu-sian-li sebagai murid!

Gadis manis berpakaian kuning ini siapa lagi kalau bukan Kim Cu! Dan gadis ke dua yang pendiam dan bermata tajam berwajah serius itu adalah Phoa Ciok Lin, sedangkan pemuda tampan itu adalah Gu Lai Kwan!

“Wah, kiranya kedua suci dan suheng dari In-kok-san!”

Ia menatap wajah Kim Cu dan sampai agak lama mereka saling bertemu pandang. Betapa cantiknya Kim Cu sekarang, pikir Han Han dengan pandang mata mesra. Diantara semua murid Ma-bin Lo-mo tentu saja Kim Cu merupakan murid yang paling dekat dengannya. Bahkan, takkan pernah ia dapat melupakan kebaikan Kim Cu pada pertemuan terakhir mereka, Kim Cu yang semestinya menangkapnya, bahkan membebaskannya, dan menbiarkannya pergi bersama Lulu, bahkan memberi pakaian dan sepatu kepada Lulu!

“Kim Cu suci, bagaimanakah keadaanmu selama ini? Kuharap engkau baik-baik saja, dan sampai kini aku belum pernah melupakan budi kebaikanmu.”

Tiba-tiba kedua pipi gadis itu menjadi merah sekali dan terpaksa ia menundukkan mukanya. Untuk melenyapkan rasa jengah bahwa kenyataannya Han Han hanya memperhatikan dia seorang, Kim Cu segera bertanya.

“Sute, kenapa kau berada di sini? Dan siapakah yang membunuhi banyak pengawal anjing-anjing Mancu itu?” Kim Cu menudingkan telunjuknya yang kecil runcing ke arah mayat yang berserakan.

“Akulah yang membunuh mereka,” kata Han Han perlahan penuh keraguan akan benar tidaknya semua yang telah ia lakukan.

Ia teringat akan wejangan kakek di Siauw-lim-si itu dan kini ia kembali telah menyebabkan kematian banyak sekali manusia, sampai puluhan banyaknya. Puluhan orang manusia yang sama sekali tidak dikenalnya dan yang ia sungguh tidak tahu untuk apa ia bunuh!

“Engkau....?”

Seruan ini terdengar dari mulut tiga orang muda perkasa itu dan mata Kim Cu yang bening terbelalak memandang wajah Han Han. Seruan yang disertai perasaan tidak percaya.

Mereka sudah sering kali bentrok dengan para pengawal dan andaikata mereka bertiga. dikeroyok oleh empat puluh lebih orang pengawal itu, tentu saja mereka akan mampu membunuh mereka semua. Akan tetapi Han Han? Seorang diri pula? Betapa mungkin dapat dipercaya!

“Han-sute, kalau engkau yang telah membunuh semua pengawalnya, mengapa tidak lekas membunuh pembesar Mancu ini?” tanya Phoa Ciok Lin, mengerutkan alisnya dan memandang tajam penuh selidik.

“Bahkan engkau tadi telah menyampok piauw-piauw yang kulepaskan!” kata pula Gu Lai Kwan. “Apa artinya semua ini?”

Sedangkan Kim Cu tidak bertanya sesuatu, hanya memandang penuh kekhawatiran kepada pemuda yang sejak dahulu amat disukanya dan amat dikaguminya itu. Ia sudah mengenal watak Han Han yang aneh. Dahulu saja sudah mengambil seorang gadis Mancu sebagai adik! Siapa tahu setelah kini dewasa, apa saja yang akan dilakukannya!

Han Han menarik napas panjang lalu mengangguk perlahan.
“Sesungguhnya, akulah yang membunuh para pengawal itu dan aku pula yang menangkis sambaran piauw yang kau lepaskan tadi.”

“Han Han, engkau tentu melakukan tangkisan piauw karena salah faham, mengira kami menyerangmu. Dan tadi Gu-suheng juga salah sangka, dari jauh tidak mengenalmu maka mengirim serangan langsung!”

Han Han menggelengkan kepala dan berkata,
“Tidak demikian, Kim Cu suci, aku memang menangkis piauw-piauw itu untuk melindungi keluarga ini.”

“Apa....?”

Kembali seruan ini keluar dari tiga mulut dengan berbareng. Kalau mereka melihat Han Han menjadi pelindung pembesar Mancu, hal ini tidak akan mengherankan hati mereka. Akan tetapi setelah mendengar bahwa Han Han membunuh sekian banyaknya pengawal Mancu, mayat-mayat mereka pun masih belum dingin benar, bagaimana sekarang orang aneh ini malah melindungi pembesar Mancu yang dikawal oleh para pengawal yang dibunuhnya? Sungguh membingungkan!

“Han-sute, minggirlah dan biarkan aku membunuh anjing Mancu ini bersama anak isterinya!” Gu Lai Kwan membentak tidak sabar lagi.

Akan tetapi Han Han tetap berdiri tegak menghadang.
“Tidak boleh, Gu-suheng. Kalian tidak boleh membunuh mereka.”

“Han Han! Mengapa begini? Engkau sudah membunuhi pengawalnya, mengapa melindungi mereka ini?” Kim Cu bertanya dengan suara kecewa dan penasaran.

“Karena dia adalah Ciciku dan anaknya adalah keponakanku!” jawab Han Han tegas.

“Kalau begitu minggirlah dan biarkan kami membunuh Si Pembesar anjing....” Phoa Ciok Lin berseru.

“Tidak boleh. Dia itu adalah Cihu-ku, terpaksa aku harus melindunginya demi kebahagiaan Cici dan keponakanku.”

“Han Han!” Kim Cu berkata mendahului sumoi dan suhengnya. “Kalau engkau masih keluarga pembesar ini, mengapa kau membunuhi para pengawalnya?”

Han Han menghela napas panjang, kemudian menjawab,
“Karena kulihat mereka membunuh para pengungsi.”

“Nah, itu bagus sekali!” Kim Cu berkata girang. “Engkau menyaksikan sendiri betapa jahatnya penjajah Mancu, Han Han! Mereka membunuhi rakyat jelata, mereka membasmi keluargamu, bukan? Juga keluargaku, keluarga sumoi dan suheng ini! Mereka itu jahat, patut dibasmi dari tanah air kita! Minggirlah dan biarkan aku membunuh pembesar ini. Biar dia Cihu-mu, akan tetapi dia ini anjing Mancu. Tentu saja kami tidak akan mengganggu Cici dan keponakanmu.”

“Benar apa yang dikatakan Kim-sumoi, Han Han. Minggirlah. Engkau pun musuh bangsa Mancu. Mereka itu sudah terlampau banyak membunuh rakyat yang tidak berdosa, telah menginjak-injak tanah air dan rakyat kita. Jangan sampai seorang pemuda seperti engkau menjadi seorang pengkhianat dan penjilat anjing Mancu.”

Mata Han Han berkilat ketika ia menentang pandang mata Gu Lai Kwan.
“Aku bukan sute kalian dan hanya mengingat akan perhubungan di antara kita dahulu, terutama sekali mengingat akan budi kebaikan Nona Kim Cu, maka aku melayani kalian bicara. Bolehkah aku bertanya, sudah banyak pulakah kalian membasmi orang-orang Mancu termasuk mereka yang mau bekerja sama dengan pemerintah Mancu?”

Tiga orang ini mengira bahwa setelah membunuhi puluhan orang pengawal itu, Han Han lalu menjadi sombong.

“Ha-ha, sungguh pertanyaan lucu!” jawab Gu Lai Kwan. “Tentu saja sudah banyak! Sedikitnya seratus orang telah tewas di tanganku ini!”

“Demikian pula dengan Nona Kim Cu dan Nona Phoa Ciok Lin?”

Han Han melanjutkan pertanyaannya. Dua orang gadis itu mengangguk, pandang mata Kim Cu makin bingung dan khawatir. Ia merasa tidak senang kalau harus bermusuh dengan Han Han.

Han Han tersenyum, senyum yang mengandung penuh arti.
“Mungkin Cihu-ku ini sudah banyak membunuh orang. Akan tetapi aku pun sudah banyak membunuh orang dan kalian bertiga sudah mengaku telah membunuh ratusan orang! Entah siapa yang lebih jahat di antara kita pembunuh-pembunuh ini dan aku sangsi apakah ada yang baik di antara kita!”

Sejenak tiga orang muda itu bingung mendengar ucapan itu.
“Akan tetapi, yang kami bunuh adalah orang-orang Mancu yang jahat sedangkan yang dibunuh orang-orang Mancu adalah rakyat yang tidak berdosa!” bantah Gu Lai Kwan penasaran.

“Gu Lai Kwan, aku hendak melihat mana ada orang yang tidak berdosa....!”

Han Han menarik napas panjang, teringat akan cerita cicinya tentang kakeknya, yang menjadi pemerkosa wanita nomor satu di dunia!

“Han Han! Tak usah banyak cakap, mau tidak engkau minggir dan membiarkan aku membunuh anjing Mancu itu?”

Han Han menggeleng kepala.

“Engkau mau menjadi pengkhianat?”

Bentak Phoa Ciok Lin yang seperti suhengnya amat membenci orang-orang Mancu dan sudah bersumpah hendak membunuh semua orang Mancu untuk membalas dendam keluarganya yang habis terbasmi orang Mancu.

“Terserah bagaimana penilaian kalian. Aku tetap tidak membiarkan kalian membunuh Cihu-ku dan keluarganya. Sebaiknya kalian pergi saja.”

“Wah, agaknya engkau memiliki sedikit kepandaian dan menjadi sombong!” bentak Gu Lai Kwan. “Minggirlah, atau terpaksa aku akan merobohkanmu lebih dulu!”

“Han Han, minggirlah. Mengapa engkau berkeras?” Kim Cu berkata, suaranya setengah memohon. Akan tetapi Han Han memandang gadis itu dan berkata,

“Menyesal sekali, aku tidak dapat memenuhi permintaanmu, Nona Kim Cu.”

“Kalau begitu mampuslah!”

Gu Lai Kwan menerjang maju, mengirim pukulan keras sekali ke dada Han Han. Seperti telah diceritakan di bagian depan, Gu Lai Kwan ini merupakan seorang di antara empat murid yang diambil Toat-beng Ciu-sian-li sebagai murid, dioper dari tangan Ma-bin Lo-mo, di samping Han Han, Kim Cu dan Phoa Ciok Lin.

Murid-murid Ma-bin Lo-mo sudah hebat, menerima pelajaran ilmu kesaktian Swat-im Sin-ciang. Akan tetapi sebagai murid Toat-beng Ciu-sian-li, tentu saja tingkat kepandaian tiga orang itu lebih hebat daripada murid-murid Ma-bin Lo-mo. Mereka juga telah menguasai Swat-im Sin-ciang, akan tetapi ilmu yang mereka kuasai baru setengahnya ini seperti yang hanya dapat dicapai oleh semua murid Ma-bin Lo-mo, telah diperhebat oleh pelajaran yang mereka terima dari Toat-beng Ciu-sian-li.

Dari nenek ini mereka menerima ilmu silat-ilmu silat tinggi, juga telah menguasai ilmu pukulan yang disebut Toat-beng Tok-ciang (Tangan Beracun Pencabut Nyawa) yang telah digabung dengan Swat-im Sin-ciang sehingga pukulan yang didasari tenaga sin-kang dingin itu kini mengandung racun yang mematikan.

Ketika menyerang Han Han, Gu Lai Kwan yang belum mengenal kelihaian Han Han, tidak mengeluarkan pukulan ini, melainkan memukul dengan sin-kang yang kuat akan tetapi tidak mengandung hawa beracun.

Melihat datangnya pukulan yang amat kuat ini, Han Han dapat mengukur dari sambaran hawanya, maka dengan berani ia menerima pukulan itu dengan dadanya! Kim Cu menahan seruannya yang sudah terlanjur keluar dari mulutnya ketika melihat betapa Han Han menerima pukulan suhengnya begitu saja dengan dada.

Pukulan itu mengandung tenaga sin-kang yang kuat dan isi dada dapat remuk terguncang dan dapat menyebabkan kematian. Namun ia tidak keburu mencegah lagi, hanya memandang dengan mata terbelalak. Adapun Phoa Ciok Lin yang menyaksikan sikap sucinya ini mengerutkan kening dan diam-diam ia maklum bahwa Kim Cu menaruh hati kepada pemuda berambut panjang bersinar mata aneh itu.

“Bukkk!”

“Ayaaaaa....!”

Gu Lai Kwan berseru kaget dan tubuhnya terjengkang ke belakang. Tentu ia akan terbanting roboh kalau saja ia tidak cepat mempergunakan gin-kangnya berjungkir balik ke belakang sehingga ia dapat berdiri lagi dengan mata terbuka lebar. Pukulannya tadi keras sekali, akan tetapi Han Han telah menerima dengan dada terbuka dan sama sekali tidak bergeming, malah tenaga pukulannya membalik sehingga ia terjengkang!

“Lai Kwan, lebih baik engkau dan kedua orang Nona ini pergi saja dan jangan mengganggu aku,” kata Han Han yang tidak ingin bentrok dengan bekas saudara-saudara seperguruannya itu.

Akan tetapi ucapannya ini menambah kemarahan Lai Kwan yang menganggap Han Han memandang rendah kepadanya.

“Manusia sombong! Tidak tahu bahwa aku tadi telah berlaku lunak kepadamu. Kalau benar-benar ingin berkelahi, nah, kau terimalah pukulan ini!”

Setelah berkata demikian, Lai Kwan melompat ke depan sambil mengeluarkan pekik menyeramkan, kedua tangannya mendorong ke depan ketika tubuhnya masih melambung di udara. Itulah pukulan gabungan Swat-im Sin-ciang dan Toat-beng Tok-ciang yang amat hebat!

Pukulan yang mendatangkan suara berciutan itu amat hebatnya dan Han Han tentu saja mengenal pukulan lihai. Dia tidak berani menerima dengan tubuhnya seperti tadi, apalagi kini kedua tangan yang mendorong itu menuju ke arah pusarnya. Ia masih berdiri tegak dengan kedua kaki terpentang lebar. Cepat ia menggerakkan tangan kirinya, diayun dari kanan ke kiri dengan gerakan menangkis, diam-diam mengerahkan inti tenaga Im-kang yang lebih kuat daripada Swat-im Sin-ciang. Dua tenaga mujijat bertemu dan tentu saja Lai Kwan bukan lawan Han Han dalam hal tenaga sakti.

Sedangkan Ma-bin Lo-mo sendiri tidak sanggup menandingi Han Han, apalagi Lai Kwan. Pemuda murid Toat-beng Ciu-sian-li ini merasa seolah-olah tubuhnya dibawa angin puyuh, kedua lengannya yang mengirim dorongan tadi terbanting ke kanan, dan tubuhnya tak dapat ia cegah lagi ikut terbanting sehingga ia roboh terguling-guling sampai belasan kaki jauhnya!

“Aiiihhhhh....!”

Yang berseru ini adalah Kim Cu dan Phoa Ciok Lin, berseru saking heran dan kagetnya. Mereka tentu saja maklum dan mengenal pukulan suheng mereka, dan tahu betapa kuatnya pukulan itu. Akan tetapi Han Han dapat menangkis dengan pengerahan tenaga sin-kang dan akibatnya suheng mereka terpelanting sampai belasan kaki jauhnya!

“Singgggg....!” Ciok Lin sudah mencabut pedangnya.

“Singgggg....!” KimCu juga mencabut pedang.

Lai Kwan sudah meloncat bangun, terengah-engah dan bergidik, menggoyang pundaknya. Ia merasa betapa hawa dingin menyerang dadanya dan ia hanya mengira bahwa pukulannya yang mengandung Swat-im Sin-ciang tadi membalik oleh tangkisan Han Han yang memiliki sin-kang amat kuat. Ia masih tidak tahu bahwa Han Han telah memiliki inti sari Swat-im Sin-ciang yang luar biasa kuatnya. Melihat kedua orang sumoinya sudah mencabut pedang, Lai Kwan juga mencabut pedangnya dan melangkah maju.

“Ah, kiranya engkau telah memiliki kepandaian tinggi. Pantas menjadi begini sombong!” kata Lai Kwan. “Akan tetapi karena engkau seorang pengkhianat dan pembela anjing Mancu, engkau akan mati ditangan kami!”

Ucapan itu disusul oleh gerakan pedang yang amat cepat. Pedang di tangan Lai Kwan berubah menjadi sinar putih yang menyilaukan mata. Berturut-turut tampak sinar bergulung-gulung ketika Kim Cu dan Ciok Lin menggerakkan pedang mereka.

Memang tiga orang muda ini telah menerima ilmu pedang yang amat lihai dari guru mereka. Tiga sinar pedang bergulung-gulung seperti tiga ekor naga sakti, mengurung tubuh Han Han.

Pemuda ini melihat berkelebatnya gulungan sinar pedang yang amat cepat dan mengeluarkan suara berdesing, terkejut juga dan ia mempergunakan gin-kangnya untuk berkelebat dan mengelak ke sana ke sini.

Diam-diam Kim Cu kagum bukan main. Ternyata bahwa Han Han kini telah menjadi seorang sakti, tidak saja memiliki sin-kang yang lebih kuat daripada Lai Kwan, bahkan memiliki gin-kang yang istimewa sehingga serangan mereka bertiga selalu mengenai tempat kosong!

“Pergilah kalian! Aku tidak ingin membunuh kalian!”

Berkali-kali Han Han berseru keras. Memang dia takut sekali kalau-kalau ia kesalahan tangan lagi membunuh tiga orang ini. Hal ini amat tidak ia kehendaki, terutama sekali ia takut kalau-kalau ia salah tangan melukai Kim Cu!





Tidak ada komentar:

Posting Komentar