FB

FB


Ads

Selasa, 09 Desember 2014

Pendekar Super Sakti Jilid 044

Setelah Kaisar Kang Hsi naik tahta Kerajaan Mancu pada tahun 1663, memang terjadilah perubahan besar-besaran menuju ke arah perbaikan. Kaisar ini menggunakan tangan besi untuk menyapu para pemberontak, juga melakukan usaha keras untuk membasmi korupsi dan penyuapan. Dengan cara radikal mengganti para pembesar tua yang korup dengan tenaga-tenaga muda, bukan hanya diambil dari bangsa-bangsa di utara, yaitu bangsa Mancu, Mongol atau Khitan, akan tetapi juga tidak pantang mempergunakan tenaga bangsa Han sendiri yang sudah jelas mendukung pemerintah baru itu.

Bahkan dengan sikap yang manis dan jujur, kaisar ini membuka kesempatan bagi kaum muda terpelajar untuk menduduki jabatan-jabatan penting di kota raja melalui ujian yang jujur, bebas daripada pengaruh suapan. Hal ini disambut dengan gembira oleh kaum terpelajar yang semenjak dahulu bernasib sengsara karena dahulu, betapapun pandainya seseorang, kalau tidak dapat memberi suapan kepada pembesar yang bertugas, tak pernah dapat lulus ujian. Sikap kaisar ini memang tepat sekali sehingga pemerintahnya mendapatkan simpati daripada kaum terpelajar.

Namun, di samping sikap lunak dan baik untuk menarik sebanyak mungkin kaum cerdik pandai membantu roda pemerintahannya, Kaisar Kang Hsi juga bersikap bengis dan keras terhadap rakyat yang tidak tunduk kepada pemerintah Mancu.

Pembersihan dilakukan di mana-mana, dan terutama sekali kaum kang-ouw mendapat pengamatan keras. Tepat seperti yang diceritakan oleh Pangeran Ouwyang Cin Kok kepada para pembantunya, bagaikan ikan-ikan para tokoh kang-ouw yang menentang pemerintah penjajah ini dikejar-kejar sehingga terpaksa mereka yang dapat menyelamatkan diri lari ke Se-cuan untuk menggabung pada Bu Sam Kwi, raja muda yang merupakan kekuatan terakhir yang menentang pemerintah Mancu.

Sudahlah lazim di dunia ini bahwa perubahan-perubahan selalu mendatangkan korban dan selalu menimbulkan ekses-ekses yang kadang-kadang merupakan malapetaka besar. Sudah biasa pula bahwa perintah yang dikeluarkan dengan kebijaksanaan dan mempunyai dasar yang baik, sering kali berbeda dengan pelaksanaannya, atau disalahgunakan oleh si pelaksana demi kesenangan dirinya sendiri.

Demikian pula dengan perintah kaisar. Kaisar memberi perintah untuk membersihkan kaum pemberontak, dengan maksud agar pertentangan segera berakhir dan dapat segera menujukan seluruh kekuatan dan perhatian kepada pembangunan agar kehidupan rakyat menjadi tenteram dan jauh daripada perbuatan yang mengandung kekerasan.

Akan tetapi bagaimanakah pelaksanaan daripada perintah ini? Ketika perintah turun sampai ke tangan Ouwyang Cin Kok dan yang menyerahkannya kepada Puteri Nirahai dan para pembantunya, perintah itu masih murni dan dilaksanakan dengan baik pula.

Akan tetapi setelah perintah itu tersebar kepada pasukan-pasukan yang ditugaskan melakukan pengejaran dan pembersihan terhadap orang-orang kang-ouw yang masih menentang, terjadilah penyelewengan-penyelewengan dan penyalahgunaan.

Pasukan-pasukan Mancu yang beroperasi jauh dari kota raja, jauh dari pengawasan para pembesar, hanya dipimpin oleh perwira-perwira rendahan yang dalam keadaan demikian seolah-olah menjadi raja-raja kecil yang berkuasa penuh, segera melakukan hal-hal yang sama sekali tidak menenteramkan rakyat, bahkan sebaliknya!

Apalagi kalau ada di antara mereka yang tewas oleh sergapan kaum pemberontak kang-ouw yang berkepandaian. Kemarahan dan dendam mereka yang tak dapat mereka lampiaskan kepada para pemberontak lalu mereka timpakan kepada rakyat dusun-dusun yang sama sekali tidak tahu apa-apa. Terjadilah perampokan, perkosaan, pembunuhan dan perampasan tanah untuk diberikan kepada mereka yang dapat mengeluarkan perak dan emas sebagai sogokan!

Bermacam-macamlah peristiwa yang terjadi di jaman sengsara bagi rakyat jelata itu. Kedatangan pasukan-pasukan Mancu yang berdalih melakukan pembersihan terhadap kaum pemberontak itu jauh-jauh sudah didengar oleh penduduk dusun-dusun sebagai kedatangan segerombolan serigala-serigala kelaparan yang haus darah. Ada yang bergegas lari mengungsi, akan tetapi sebagian besar hanya menerima nasib dan menyandarkan nasib keluarga mereka kepada Tuhan. Mau lari mengungsi lari ke mana? Di rumah pun setiap harinya sudah sukar mendapatkan makan, kalau mengungsi tanpa tujuan, tanpa bekal, sama dengan mencari mati kelaparan di perjalanan!

Dan setelah pasukan Mancu memasuki sebuah dusun, benar-benar nasib mereka yang menjadi penghuni dusun itu berada di tangan Tuhan. Tidak ada seorang pun dapat membela mereka. Tuhan yang menentukan siapa di antara penghuni dusun itu yang akan ditimpa malapetaka, siapa yang dibakar rumahnya, dibunuh, dirampok, atau diperkosa anak isterinya, siapa pula yang secara aneh terhindar dari malapetaka seolah-olah para pasukan yang berubah ganas melebihi perampok-perampok itu melewati atau tidak melihat rumah itu.

Manusia adalah mahluk yang berakal budi, yang katanya merupakan mahluk-mahluk yang tertinggi tingkat dan derajatnya di antara segala mahluk hidup yang bergerak. Akan tetapi justeru karena akal budi itulah maka tidak ada mahluk yang lebih kejam dan buas daripada seorang manusia yang menyombongkan akal budinya.

Sebagian besar manusia menyalahgunakan akal yang dianugerahkan khusus kepada manusia oleh Tuhan. Akal bukan dipergunakan untuk kebaikan, untuk kemanfaatan bagi manusia umumnya dan dunia, melainkan semata-mata akal dipergunakan sebagai alat untuk mencapai kepuasan nafsu-nafsunya yang tak kunjung habis. Akal dipergunakan untuk mengakali (menipu) orang lain, budi dipergunakan sebagai bahan utang-piutang!

Kalau manusia sudah diperhamba nafsunya sendiri, benar-benar mengerikan sekali akibat daripada perbuatan-perbuatannya. Mata sudah menjadi gelap oleh nafsu, yang ada hanyalah mengejar kenikmatan dan kepuasan nafsu, tanpa mempedulikan lagi apa yang disebut baik dan buruk, tidak lagi sadar bahwa perbuatannya menyengsarakan orang lain bahwa perbuatannya adalah amat jahat.

Dengan dalih pembersihan dan menumpas kaum pemberontak, rakyat yang tidak berdosa disembelih, hanya untuk dapat menyita barang-barangnya atau memperkosa isteri dan gadisnya.

Di dalam sebuah dusun, seorang ibu muda melihat suaminya disembelih di depan matanya, kemudian karena diancam anaknya akan disembelih, ibu muda ini terpaksa menyerahkan kehormatannya dinodai secara bergantian oleh tiga orang tentara Mancu yang menyebut diri mereka pahlawan-pahlawan Kerajaan Mancu yang jaya!

Setelah ibu muda itu tergolek pingsan, tiga orang manusia itu membunuhnya, juga membunuh bayinya! Ada pula gerombolan pasukan yang memperkosa isteri dan gadisnya di depan tuan rumah yang diikat pada tiang rumah dan dipaksa menyaksikan betapa isteri dan anaknya menjerit-jerit diperkosa seperti dua ekor domba diterkam harimau-harimau buas!

Banyak lagi kekejian-kekejian yang kalau diceritakan seakan-akan tidak masuk akal, akan tetapi hal-hal semacam itu banyak terjadi di masa itu, dan terjadi pula di mana-mana di bagian dunia ini, terutama sekali di waktu perang mengamuk.

Perang mengubah manusia-manusia beradab menjadi buas melebihi binatang yang paling buas, menjadi jahat melebihi iblis yang paling jahat. Dan semua perbuatan ini mereka lakukan dengan memaksakan pendirian di dalam hati sendiri bahwa yang mereka lakukan itu adalah benar, karena mereka menjatuhkan hukuman bagi musuh-musuh mereka.

Mungkin ada di antara mereka yang setelah tenang kembali menyadari betapa kejinya perbuatan mereka, namun mereka akan menghibur hati sendiri bahwa banyak orang menemani mereka dalam perbuatan itu, bukan mereka sendiri, maka berkuranglah penyesalan hati mereka, sungguhpun kadang-kadang hati nurani mereka membuat mereka itu tersiksa batin mereka selama hidup mereka.

Di sebuah dusun, sebelah selatan kota raja, hanya sejauh tiga ratus mil saja dari kota raja, terjadilah geger ketika pasukan-pasukan Mancu melanda dusun-dusun di sekitarnya dalam “operasi” mereka.

Memang ada juga hasilnya operasi yang dilakukan pasukan itu demi tugas mereka yang semestinya, yang membasmi perampok-perampok dan mereka yang masih menentang kekuasaan pemerintah Mancu.

Di dalam hutan di luar dusun itu sebuah pasukan yang terdiri dari tiga puluh orang telah berhasil membasmi segerombolan perampok yang selain sering mengganggu penduduk dan orang lewat, juga terkenal memusuhi pemerintah Mancu dan sering kali menghadang dan merampok kereta-kereta pembesar Mancu yang lewat dan yang tidak begitu kuat pengawalannya.

Sarang perampok dibasmi, banyak yang dibunuh dan ada pula yang melarikan diri. Kepala perampok dibunuh, akan tetapi seorang di antara isteri-isteri perampok itu, yang muda cantik dan genit, tidak dibunuh oleh perwira yang mengepalai pasukan, karena perempuan ini amat pandai mengambil hati dan pandai pula merayu.






Perempuan ini menceritakan bahwa dia bukanlah perampok, bahwa dia adalah puteri seorang guru silat yang diculik perampok dan diperkosa. Akhirnya ia dapat jatuh ke tangan kepala rampok itu dan dijadikan selirnya. Karena perwira itu dan pembantu-pembantunya puas dengan rayuan wanita ini, maka dia dibawa sebagai teman penghibur dalam tugas pembersihan yang mereka lakukan.

Apalagi ketika wanita itu membuktikan bahwa dia pun pandai silat dan ikut pula melakukan gerakan pembersihan, membantu para pasukan, dia makin disayang. Hebatnya, perempuan ini mempunyai kesenangan yang amat aneh, yaitu ia paling suka menyaksikan wanita-wanita diperkosa oleh para anak buah pasukan!

Bahkan dialah yang sering kali menangkapi gadis-gadis dan wanita-wanita muda yang cantik untuk diberikan kepada para anak buah pasukan kemudian dengan tersenyum puas ia menyaksikan betapa mereka itu diperkosa seperti domba disembelih!

Hal ini timbul dalam hatinya, merupakan semacam penyakit sebagai akibat daripada pengalamannya sendiri. Ketika masih gadis remaja, dia sebagai gadis terhormat seorang guru silat, diculik perampok dan diperkosa oleh banyak orang. Semenjak itu, nasibnya selalu seperti itu, diperkosa ganti-berganti tangan sampai akhirnya ia jatuh ke tangan kepala rampok dan dijadikan selirnya.

Karena penderitaan batin yang amat hebat itulah maka dia akhirnya ingin melihat setiap orang wanita diperkosa seperti yang pernah ia alami sendiri! Ketika pasukan memasuki dusun di selatan kota raja itu dan si wanita cabul dan genit ini mendengar bahwa di situ tinggal seorang guru silat dengan seorang isteri dan seorang gadisnya, timbul kegairahan hatinya untuk menimpakan malapetaka kepada guru silat dan keluarganya ini seperti yang pernah dialami keluarga ayahnya sendiri.

Maka ia lalu berbisik-bisik kepada komandan pasukan yang tertawa terbahak, kemudian menjelang senja wanita itu bersama perwira dan tiga orang pembantunya keluar dari gedung yang dijadikan markas sementara pasukan.

Empat orang perwira itu mengenakan pakaian biasa, tidak seperti pakaian yang mereka pakai kalau menjalankan dinas, sehingga mereka itu kelihatan seperti tokoh-tokoh persilatan atau pembesar-pembesar sipil karena pakaian yang dipakai secara tiru-tiru oleh orang-orang Mancu ini memang lucu. Namun gerakan mereka ketika berjalan Jelas menunjukkan bahwa mereka adalah tentara-tentara Mancu.

Guru silat pemilik rumah yang agak terpencil itu menyambut kedatangan empat orang laki-laki tinggi besar dan seorang wanita cantik itu dengan hati gelisah. Dari sikap mereka itu ia sudah mengenal bahwa empat orang itu tentulah orang-orang Mancu, maka cepat ia menyambut mereka dengan hormat dan bertanya.

“Cu-wi mencari siapakah?”

Empat orang perwira Mancu itu belum pandai benar berbahasa Han, maka Si Wanita yang menjawabnya.

“Mereka ini adalah perwira-perwira Mancu yang memimpin pasukan mengadakan pembersihan.”

Wajah guru silat itu menjadi berubah dan ia bertanya hati-hati,
“Ada keperluan apakah cu-wi datang mengunjungi saya?”

Wanita cabul itu tertawa dan berkata,
“Hanya ada sedikit keperluan yaitu mereka ini hendak meminjam sebentar isterimu yang kabarnya cantik dan anak gadismu!” Empat orang perwira itu tertawa bergelak dan mengangguk-anggukkan kepala.

“Keparat!” Guru silat itu marah sekali dan cepat menyambar goloknya dari atas meja sambil berteriak ke dalam, “A-bwee, ajaklah anakmu lari!”

Empat orang perwira itu tertawa bergelak, dan pemimpinnya lalu berkata.
“Bunuh anjing pemberontak ini!”

Kemudian ia bersama wanita cabul itu melompat kedalam dan mengejar ibu dan anak yang melarikan diri melalui pintu belakang.

Kauwsu (Guru Silat) itu mengamuk, dikeroyok tiga oleh tiga orang pembantu perwira. Akan tetapi dia adalah guru silat yang kepandaiannya biasa saja sedangkan tiga orang lawannya adalah perwira-perwira muda yang kasar dan bertenaga besar, juga hampir setiap hari bertempur, maka begitu dikeroyok dengan serangan-serangan dahsyat, ia hanya dapat bertahan belasan jurus saja.

Tiga batang golok di tangan lawannya menyambar-nyambar dan guru silat itu roboh mandi darah dan tewas seketika. Sambil tertawa-tawa tiga orang perwira itu menancapkan golok mereka di atas meja lalu berlari menyusul pemimpin mereka ke belakang. Mereka sudah mendengar jeritan-jeritan wanita dan hal ini menambah gairah hati mereka.

Kasihan sekali nasib isteri dan anak guru silat itu. Belum jauh mereka melarikan diri sudah disusul oleh perwira dan si perempuan cabul dan cepat mereka itu ditawan. Melihat bahwa isteri guru silat yang berusia kurang lebih tiga puluh itu benar-benar amat cantik, jauh lebih menarik dan lebih matang daripada gadisnya yang berusia lima enam belas tahun, perwira itu langsung menubruk isteri guru silat itu, memeluknya dan menciuminya sambil tertawa-tawa.

Akan tetapi isteri guru silat itu meronta, melawan dan mencakar. Adapun gadis itu dengan mudahnya dirobohkan si wanita cabul yang menyambar sabuknya. Gadis itu bangkit berdiri dan lari, akan tetapi sabuknya terlepas dan sabuk yang panjang itu membuat tubuhnya berputaran dan ia roboh kembali, sabuknya yang panjang berada di tangan wanita cabul yang tertawa-tawa.

Wanita itu membuat laso di ujung sabuk dan mengalungkannya di leher gadis itu. sehingga setiap kali gadis itu meronta, sabuk itu mengikat dan menjerat lehernya dan dia roboh kembali.

Pada saat itu, tiga orang pembantu perwira yang berhasil membunuh si guru silat muncul dan melihat gadis yang meronta-ronta itu, mereka tertawa bergelak. Si wanita cabul memotong sabuk menjadi empat dan berkata,

“Nih, ikat kaki tangannya, kita permainkan dia, hi-hik!”

Laki-laki yang buas sebanyak tiga orang itu tertawa-tawa dan dua orang mengikatkan sabuk potongan itu pada kedua tangan Si Gadis, dan seorang lagi mengikatkan sabuknya pada kaki kanan gadis itu. Ketika mereka menarik sabuk, dan si wanita cabul menarik pula sabuknya yang menjerat leher, gadis itu terpentang kaki tangannya dan berdiri dengan kaki kiri, berloncatan dan berteriak-teriak,

“Jangan bunuh aku...., jangan bunuh aku....!”

Sementara itu, perwira yang sudah bangkit nafsunya setelah menggumuli isteri guru silat dan mendapat perlawanan, bahkan pipinya kena dicakar, menjadi marah. Ia menampar muka wanita itu sehingga terpelanting, kemudian berkata marah,

“Hemmm, apakah engkau masih menolak? Lihat, anakmu akan kusuruh robek menjadi empat kalau kau menolak. Manis, mengapa kau menolak? Bukankah aku lebih gagah daripada suamimu yang kurus kering itu?”

“Ibu.... Ibu.... tolonggggg....!” Gadis itu menjerit-jerit.

“Akhiuuu.... anakku....!” Si ibu menjerit, kemudian sambil terisak-isak ia berkata, “Baiklah.... baiklah.... lakukanlah sesuka hatimu terhadap aku.... akan tetapi bebaskan anakku.... lepaskan anakku....!”

Sambil menangis terisak-isak isteri guru silat itu tidak meronta lagi, membiarkan saja apa yang dilakukan oleh perwira yang menjadi buas itu dengan pakaian dan tubuhnya. Sementara itu, Si Gadis yang melihat keadaan ibunya, cepat berkata kepada tiga orang dan wanita cabul yang mengikatnya dengan sabuk.

“Lepaskan aku...., ah, lepaskan aku. Lihat, Ibuku sudah mau.... lepaskan aku....!”

Anak gadis itu yang hanya memikirkan keselamatan dirinya sendiri, agaknya lupa akan keadaan ibunya, lupa betapa ibunya diperkosa orang secara buas, dan lupa betapa ibunya terpaksa mau menerima penghinaan ini hanya demi keselamatannya.

“Lepaskan aku! Ibu sudah tidak menolak lagi....!” Kembali ia menjerit.

Wanita cabul itu tertawa terkekeh-kekeh.
“Aduh.... puas hatiku, persis seperti aku dahulu. Hi-hi-hik, alangkah lucunya, hi-hik!”

Ia menuding-nuding ke arah isteri guru silat yang menggeliat-geliat dan merintih dalam tangisnya, kemudian mengedipkan matanya kepada tiga orang perwira.

“Kita main kucing dan tikus. Lepaskan dia!”

Tiga orang perwira itu maklum dan sambil tertawa-tawa, mereka melepaskan sabuk. Gadis itu jatuh, kemudian bangkit berdiri dan tanpa mempedulikan ibunya ia lalu melarikan diri. Akan tetapi ia menjerit lagi karena tiba-tiba tubuhnya terpelanting dan kiranya sabuk yang mengikat kakinya telah ditarik dari belakang! Ia bangkit lagi, akan tetapi ketika lari ke depan, di situ telah menghadang seorang perwira dan sekali renggut bajunya robek sebagian!

Si gadis menjerit dan lari ke kiri, hanya untuk bertubrukan dengan seorang perwira lain yang juga merobek bajunya sambil tertawa-tawa. Gadis itu menjadi panik, lari kesana kemari, akan tetapi selalu bertemu perwira yang sengaja menghadangnya dan merobeki bajunya sedikit demi sedikit sehingga hampir telanjang. Wanita cabul yang menonton pertunjukan ini tertawa-tawa penuh kepuasan.

Setelah pakaian gadis itu habis koyak-koyak, seorang perwira menubruk maju dan memeluknya. Gadis itu menjerit, dan pada saat itu, jeritnya diikuti jerit Si Perwira yang menciumnya. Mereka, perwira dan gadis itu, roboh terguling dan masih berpelukan karena sebatang ranting telah menembus tubuh mereka berdua, membuat tubuh mereka seperti dua ekor ikan disate!

Dari atas pohon melayanglah turun seorang pemuda berpakaian putih sederhana yang bukan lain adalah Han Han! Ketika pemuda ini yang kebetulan tiba di dusun itu dalam pengejarannya kepada Ouwyang Seng, melihat peristiwa yang terjadi di belakang rumah guru silat, kemarahannya tak dapat ia tahan lagi.

Dia tidak tahu, bahwa empat orang laki-laki itu adalah perwira-perwira Mancu, akan tetapi melihat perbuatan mereka, dalam pandang matanya wajah mereka berubah seperti wajah perwira-perwira yang telah memperkosa ibunya dan cicinya.

Maka ia menjadi mata gelap. Lebih-lebih ketika menyaksikan sikap gadis itu sama sekali tidak patut, seorang anak yang puthauw (tak berbakti), yang membiarkan ibunya menjadi korban asal dia sendiri selamat.

Dalam kemarahannya dan kemuakannya, ia melontarkan ranting pohon dari atas pohon, sekaligus membunuh perwira dan gadis itu! Kemudian ia melayang turun dan sekali tangannya menampar, perwira yang sedang memperkosa isteri guru silat itu terguling dengan kepala remuk!

Dua orang pembantu perwira dan wanita cabul menjadi kaget sekali. Cepat mereka menerjang maju, akan tetapi sekali saja menggerakkan kedua tangannya, Han Han membuat mereka bertiga roboh pula dengan kepala remuk dan dada pecah! Isteri guru silat sudah bangkit dan lari menghampiri mayat puterinya sambil menangis, kemudian lari memasuki rumah dan terdengar jeritnya.

Han Han menyusul masuk dan melihat isteri guru silat itu menggeletak mandi darah di samping mayat suaminya. Kiranya wanita yang kehilangan suami dan anak ini mengambil keputusan nekat, membunuh diri! Han Han meninggalkan tempat itu cepat-cepat dan menghela napas.

Ia memikirkan perbuatan wanita tadi. Salahkah kalau dia membunuh diri? Salah pulakah kalau dia menyerahkan kehormatannya kepada perwira untuk menyelamatkan puterinya? Ah, betapa malang nasibnya. Suaminya dibunuh. Puterinya juga tewas, dan dia sendiri sudah diperkosa. Harapan apalagi dalam hidup? Memang, agaknya kematianlah jalan terbaik.

Ketika Han Han mendengar bahwa yang dibunuhnya itu adalah perwira-perwira yang memimpin pasukan Mancu yang berada di dusun itu, ia terkejut dan juga marah. Kiranya di mana-mana pasukan Mancu mendatangkan malapetaka!

Bukan hanya Han Han saja yang terkejut mendengar akan kematian empat orang perwira Mancu di belakang rumah guru silat itu. Juga semua penduduk dusun itu terkejut sekali, bukan terkejut bercampur marah seperti Han Han, melainkan terkejut dan ketakutan.

Mereka semua maklum apa artinya peristiwa itu, apa yang akan menjadi akibatnya. Tentu pasukan Mancu akan mengamuk, menganggap dusun itu sebagai sarang pemberontak! Maka berbondonglah malam hari itu juga semua penduduk lari mengungsi.

Mendengar bahwa penduduk lari mengungsi, pasukan yang kehilangan pimpinannya itu menjadi makin marah dan menganggap bahwa tentu dusun itu menjadi sarang gerombolan pemberontak. Maka mereka lalu keluar dari gedung yang dijadikan markas, mulai mengamuk dan membakari rumah-rumah yang sudah kosong, lalu melakukan pengejaran terhadap para penduduk yang mengungsi.

Akan tetapi, sebelum keluar dari pintu dusun, mereka dihadang oleh Han Han yang berdiri tegak sambil bertolak pinggang menghadapi tiga puluh orang pasukan Mancu itu. Malam itu bulan telah keluar sore-sore, dan langit tanpa mendung sehingga keadaan cukup terang.

Pasukan itu heran menyaksikan ada seorang pemuda yang rambutnya riap-riapan menghadang di tengah jalan. Mereka maklum bahwa tentu pemuda itu seorang pemberontak, karena hanya para pemberontak atau para tokoh petualang kang-ouw saja yang tidak menguncir rambutnya.

Menguncir rambut ke belakang merupakan peraturan baru yang dikeluarkan pemerintah Mancu, yaitu peraturan yang berlaku bagi rakyat bangsa Han. Di samping peraturan menguncir rambut, juga ada peraturan bahwa bangsa Han atau rakyat pedalaman tidak diperbolehkan membawa senjata tajam!

“Berhenti semua!” Han Han membentak. “Mengapa kalian hendak mengejar rakyat tak berdosa yang ketakutan dan melarikan diri mengungsi dari dusun mereka?”

“Heh, pemberontak cilik, masih berpura-pura lagi! Pemberontak-pemberontak telah membunuh perwira-perwira Mancu, dan semua penduduk ini tentu pemberontak, termasuk engkau dan mereka semua harus dibasmi habis!” bentak seorang perajurit yang brewok.

“Kalian ingin tahu yang membunuh mereka di belakang rumah guru silat itu? Akulah orangnya! Pimpinan kalian telah melakukan perbuatan keji membunuh tuan rumah dan memperkosa ibu dan anak. Aku yang melihat hal itu tentu saja tidak tinggal diam dan turun tangan membunuh mereka. Sekarang, kalau kalian hendak membunuh rakyat yang tidak berdosa, aku pun tidak akan tinggal diam dan akan membunuh kalian semua.”

“Wah, keparat, sombongnya! Pimpinan kami memeriksa orang-orang yang dicurigai, menghukum atau membunuh sudah menjadi haknya. Kau.... pemberontak cilik sungguh berani mati. Kawan-kawan, tangkap dan seret ke kota raja!”

Han Han diserbu oleh puluhan orang anak buah pasukan itu. Namun Han Han sudah siap sedia dan dia sama sekali tidak bergerak dari tempatnya. Kedua kakinya tetap terpentang lebar, tubuhnya berdiri tegak, dan hanya kedua lengannya yang bergerak ke sekeliling tubuhnya.

Setiap sambaran tombak dan golok yang bertemu dengan tangannya tentu membuat senjata-senjata itu patah atau terlempar, dan setiap kali tangannya menyambar dan mengenai tubuh seorang pengeroyok, tentu orang itu roboh dengan napas putus!

Bagaikan sekumpulan nyamuk menerjang api lilin, pasukan itu menyerang untuk roboh sendiri. Bertumpuk-tumpuk mayat para pengeroyok bergelimpangan di sekeliling Han Han dan kedua lengan baju pemuda ini sudah mandi darah para pengeroyoknya.

Setelah ada dua puluh orang perajurit roboh binasa, barulah sisanya menjadi gentar dan tanpa dikomando lagi, karena pemimpin mereka memang tidak ada, mereka itu membalikkan tubuh dan melarikan diri melalui pintu dusun sebelah utara, berlawanan dengan arah yang ditempuh penduduk dusun yang lari mengungsi.

Han Han menghela napas menyaksikan tumpukan mayat-mayat itu. Kembali hatinya dipenuhi rasa penyesalan karena kembali begitu ia turun tangan melakukan sesuatu, tentu akibatnya banyak nyawa melayang. Apakah hidupnya sudah dikutuk sehingga tindakannya selalu hanya akan menimbulkan malapetaka dan pembunuhan belaka? Ia menarik napas dan mukanya murung. Ia sampai tidak tahu bahwa ada beberapa orang mendatangi tempat itu dan menghampiri dari jarak jauh.

Ketika akhirnya ia mendengar langkah mereka dan menoleh, kiranya yang datang adalah lima orang laki-laki setengah tua, penduduk dusun itu. Mereka berlima itu segera menjatuhkan diri berlutut dan berkatalah seorang di antara mereka.

“Taihiap telah menolong kami, menyelamatkan orang sedusun. Akan tetapi taihiap telah membunuh banyak orang perajurit, bahkan membunuh empat orang perwira. Hal ini hebat sekali, harap taihiap cepat-cepat meninggalkan tempat ini sebelum barisan besar datang dan melakukan pembersihan di sini.”

“Hemmm, kalian berlima ini siapakah?”

“Kami adalah penduduk dusun ini pula, taihiap.”

“Jangan sebut aku taihiap, aku hanya seorang muda yang sudah banyak membunuh orang. Mengapa kalian tidak ikut pergi mengungsi?”

“Kami merupakan pengungsi-pengungsi yang paling akhir, yaitu laki-laki yang siap mengorbankan diri menghambat pengejaran agar anak isteri kami dapat lari selamat. Akan tetapi melihat taihiap menghadang, kami bersembunyi dan menonton. Taihiap telah menyelamatkan kami, harap taihiap suka mendengar nasihat kami untuk meninggalkan tempat ini sekarang juga.”

“Tidak, kalian bantu aku menguburkan semua jenazah ini dan yang berada di belakang rumah guru silat, baru kita pergi. Bagaimana? Ada yang suka membantuku?”

Lima orang laki-laki itu saling pandang dengan mata heran. Pemuda ini sudah bersusah payah menolong penduduk dan melawan para tentara Mancu, berhasil membunuh, akan tetapi kini tidak lekas-lekas pergi menyelamatkan diri malah mengajak mereka untuk mengubur jenazah-jenazah itu!

Akan tetapi, tentu saja mereka tidak berani menolak dan tanpa banyak cakap mereka itu lalu membantu Han Han menggali lubang-lubang kuburan untuk mengubur sekian banyaknya mayat-mayat itu.

Menjelang pagi barulah pekerjaan itu selesai dan Han Han segera berkata,
“Sekarang harap kalian suka pergi cepat-cepat dari tempat ini. Aku akan bersembunyi dan melihat apa yang akan terjadi sebagai akibat dari kejadian ini.”

Setelah kelima orang itu pergi cepat-cepat dengan ketakutan kalau-kalau ada pasukan besar Mancu yang akan datang menyerbu ke situ, Han Han lalu mengambil sebuah daun pintu rumah yang terbakar, daun pintu yang lebar dan ia menggunakan telunjuknya dengan kekuatan sin-kangnya mencoret-coret beberapa huruf besar yang berbunyi:

“Sie Han membasmi pasukan yang merampok, memperkosa dan membunuh rakyat yang tidak berdosa. Pemerintah yang baik melindungi rakyat, bukan menindas mereka.”

Ia memasang papan pintu itu di tengah dusun yang kini sudah kosong, kemudian ia bersembunyi di pohon-pohon, menanti datangnya pasukan Mancu yang diduga pasti akan datang ke dusun itu.

Sambil duduk di atas dahan pohon dan makan kue kering yang ia ambil dari sebuah rumah kosong, Han Han melamun dan mengenangkan semua peristiwa yang dialaminya akhir-akhir ini dengan hati merana. Hanya ada dua hal yang berkesan sekali di hatinya.

Pertama, tentu saja terculiknya Lulu oleh Ouwyang Seng yang kini dicarinya dan merupakan tugas pokok dan terpenting baginya di saat itu. Ke dua adalah kakek tua renta berambut panjang yang aneh, yang muncul ketika ia diancam maut di tangan Setan Botak dan Iblis Muka Kuda. Mengapa dia tidak jadi dibunuh? Mengapa dua orang itu roboh dan mengapa pula mereka lalu lari ketakutan? Apa yang telah dilakukan kakek aneh itu? Ia tidak melihat kakek itu melakukan sesuatu! Dan anehnya, ia merasa seperti pernah bertemu dengan kakek itu, hanya ia lupa lagi, entah kapan dan di mana.

Tak lama kemudian tampaklah olehnya berbondong-bondong rakyat dusun melarikan diri dengan wajah ketakutan dan dari sebelah belakang para pelarian ini terdengar derap kaki kuda dan suara-suara makian.

“Pemberontak keparat! Pembunuh-pembunuh keji!”

Makian-makian ini disusul dengan munculnya dua orang penunggang kuda dan melihat pakaian mereka, tahulah Han Han bahwa mereka itu adalah dua orang pengawal. Dua orang pengawal itu memegang gendewa dan beberapa kali mereka melepas anak-anak panah ke depan. Kiranya yang menjerit tadi adalah para pengungsi yang menjadi korban anak panah mereka itu.

Han Han memandang dengan mata terbelalak dan muka merah saking marahnya. Ia melihat sendiri betapa seorang laki-laki muda dan seorang gadis yang melarikan diri roboh oleh anak panah, bahkan seorang ibu setengah tua yang menggendong bayi dan yang lewat di bawahnya, menjerit ketika sebatang anak panah menancap di punggungnya.

Ibu ini roboh terguling, mendekap anaknya yang menangis. Seorang laki-laki setengah tua berteriak kaget dan ternyata dia adalah suami ibu itu. Sambil menangis bapak ini lalu menyambar tubuh anaknya yang masih kecil, kemudian melarikan diri dan terpaksa meninggalkan mayat isterinya untuk menyelamatkan dirinya dan anaknya karena kalau tidak lari tentu mereka berdua menjadi korban keganasan dua orang perwira pengawal itu pula.

Han Han tak dapat mengekang kemarahannya lagi. Ia mengeluarkan pekik mengerikan dan tubuhnya sudah melayang turun, langsung menerjang dua orang perwira pengawal yang lewat di bawahnya. Dua orang pengawal itu kaget, namun ternyata bahwa mereka pun bukan orang lemah, karena mereka dalam kegugupan diserang secara tiba-tiba itu menghantamkan busur mereka kepada Han Han yang sudah menggerakkan ranting di tangannya.

“Krak-krakkk!”

Kedua buah busur dua orang pengawal itu hancur berkeping-keping sehingga mereka terkejut sekali. Akan tetapi Han Han sudah menggunakan kedua tangannya memukul. Dua orang lawannya cepat melempar tubuh sendiri kebelakang, meloncat dari atas punggung kuda.

“Bluk! Krokkk!”

Dua ekor kuda tunggangan mereka meringkik keras dan roboh terguling, berkelojotan tak mampu bangun kembali karena tulang punggung mereka patah terkena pukulan kedua tangas Han Han! Dua orang pengawal yang sudah meloncat bangun memandang dengan mata terbelalak.

“Keparat! Siapakah engkau yang membantu para pemberontak keji?”

Seorang di antara perwira pengawal itu sudah mencabut goloknya diikuti oleh kawannya, dan mereka memandang pemuda berambut panjang itu dengan hati gentar.

“Hemmm, di dunia ini penuh dengan orang gila yang memaki orang lain gila, penuh dengan maling yang berteriak maling. Rakyat lari mengungsi pasti ada sebabnya dan apalagi sebabnya kalau bukan karena kekejian orang-orang macam kalian? Rakyat mengungsi mencari tempat aman, kalian mengejar dan membunuhi mereka. Sekarang kalian masih memaki mereka sebagai pemberontak keji! Sungguh menjemukan!”

“Eh, orang muda. Apakah engkau termasuk seorang pemberontak?”

“Aku bukan pemberontak, akan tetapi aku menentang setiap kekejaman seperti yang kalian lakukan terhadap para pengungsi tadi! Mereka adalah orang-orang lemah yang tertindas, yang membutuhkan bantuan orang-orang yang mengaku dirinya gagah.”

“Ha-ha! Mereka orang-orang lemah katamu? Hemmm, dengarlah orang muda. Kami adalah dua di antara para pengawal yang mengawal Giam-tai-ciangkun bersama isterinya. Tahukah engkau bahwa hampir saja kereta Tai-ciangkun hancur dan ada beberapa orang teman pengawal tewas oleh pengungsi-pengungsi yang kau katakan lemah itu? Mereka adalah pemberontak-pemberontak yang menyelinap di antara rakyat jelata!”

“Tidak percaya! Apakah ibu yang menggendong anak ini pun seorang pemberontak?”

Dua orang perwira pengawal itu kelihatan agak malu dan seorang diantara mereka menjawab,

“Memang, kurasa bukan. Akan tetapi dalam pembersihan terhadap para pemberontak, bukanlah hal aneh kalau ada rakyat yang terkena akibatnya, karena para pemberontak bersembunyi di antara rakyat jelata.”

“Huh, alasan kosong! Para pemberontak berada bersama rakyat, hal itu hanya berarti bahwa rakyatlah yang memberontak? Mengapa rakyat memberontak? Karena rakyat tidak suka akan pemerintah yang menguasainya! Kenapa tidak suka? Karena pemerintahnya tidak benar. Daripada membunuhi rakyat, lebih baik membersihkan diri sendiri agar dapat disuka oleh rakyat!”

“Wah-wah, bicaramu seperti pemberontak pula. Sombong!”

Dua orang perwira itu mendengar suara roda kereta dan derap kaki kuda mendatangi, maklum bahwa rombongan panglima yang dikawalnya sudah tiba. Hal ini berarti bahwa kawan-kawan mereka sudah tiba pula, maka timbullah keberanian mereka dan serentak mereka berdua menerjang Han Han dengan golok.

Kini Han Han sudah membuang tongkat ranting pohon tadi dan menghadapi kedua orang pengeroyok dengan tangan kosong. Ia melihat betapa gerakan mereka itu baginya lambat sekali, maka dengan tenang ia meloncat ke kiri, kemudian dari samping ia menggunakan tangan kanan menampar ke arah mereka.

Tamparan yang kelihatan perlahan saja, dipandang sebelah mata oleh kedua orang perwira pengawal yang cepat memutar tubuh menggerakkan golok lagi, bukan saja menangkis tamparan lengan itu akan tetapi juga akan dilanjutkan dengan bacokan-bacokan mematikan.

Tentu saja kedua orang perwira bangsa Mancu ini sama sekali tidak tahu bahwa tamparan itu mengandung hawa pukulan maut Hwi-yang Sin-ciang! Mereka hanya melihat golok mereka terbang dari tangan mereka, kemudian terasa hawa panas luar biasa menembus dada dan selanjutnya mereka tidak tahu apa-apa lagi karena mereka telah roboh dengan dada gosong dan tubuh tak bernyawa lagi!

Robohnya kedua orang perwira ini tampak oleh rombongan pengawal yang mendahului sebuah kereta yang ditarik oleh empat ekor kuda. Rombongan pengawal di depan kereta berjumlah dua puluh orang, mereka ini adalah anak buah dari dua orang perwira tadi, maka melihat betapa dua orang pimpinan mereka roboh di tangan seorang laki-laki muda berambut panjang yang tidak memegang senjata, mereka menjadi marah dan membalapkan kuda ke depan sambil berteriak-teriak dan tombak serta golok mereka diacung-acungkan ke atas.

Kereta itu cukup indah, ditarik empat ekor kuda, dan dikawal ketat. Rombongan pengawal di depan tadinya berjumlah dua losin orang dikepalai dua orang perwira. Empat orang pengawal telah tewas di perjalanan sehingga tinggal duapuluh orang. Dibelakang kereta juga dijaga pengawal dua losin orang dikepalai dua orang perwira.

Melihat adanya gangguan di depan, kereta dihentikan dan dua losin pengawal di belakang telah mengurung kereta dan melindunginya, tidak membantu dua puluh orang pengawal depan yang menerjang Han Han. Juga dua orang pengendara kereta tidak turun dari tempatnya dan karena tempat duduk mereka itu tinggi, mereka dapat menyaksikan pertandingan di sebelah depan.

Mata kedua pengendara itu melotot dan wajah mereka pucat penuh keheranan dan kengerian. Mereka melihat bahwa yang menghadang jalan hanyalah seorang pemuda rambut panjang yang tidak memegang senjata, dan yang kini dikeroyok oleh dua puluh orang pengawal itu.

Dua orang pengendara ini tadinya sudah merasa yakin bahwa kembali mereka akan melihat seorang pemberontak dicincang hancur tubuhnya oleh para pengawal yang kuat itu. Akan tetapi ternyata apa yang terjadi di depan itu jauh berlawanan dengan apa yang mereka duga.

Pemuda itu dengan sikap tenang sekali hanya menggerakkan kedua tangan mendorong ke kanan kiri, dan para pengawal yang mengeroyoknya seperti semut mengeroyok jangkerik itu roboh bergulingan tak dapat bangkit kembali!

Dua orang pengendara itu melihat jelas dari tempat duduk mereka yang tinggi betapa ada tombak yang menusuk punggung pemuda rambut panjang itu, ada pula golok yang membacok pundak dan leher.

Akan tetapi, tombak itu patah-patah dan golok itu rompal, terlepas dari tangan pemegangnya, kemudian sekali tangan pemuda itu berkelebat ke belakang, agaknya tidak menyentuh kulit para pengawal, namun mereka yang gagal menyerang ini roboh pula tak dapat bangun!

Juga para pengawal yang menjaga kereta di sebelah belakang memandang peristiwa yang terjadi di depan dengan mata terbelalak. Jendela kereta terbuka, sebuah kepala yang besar dan muka yang penuh brewok, muka yang gagah perkasa, muka si panglima yang berada di dalam kereta, muncul dan bertanya kepada dua orang perwira pimpinan pengawal belakang mengapa kereta lama berhenti disitu.

“Ada gangguan pemberontak, Tai-ciangkun.” Perwira-perwira itu melaporkan.

“Banyak?”

Sang panglima brewok bertanya tak acuh, memandang rendah karena dia sudah biasa mengalami gangguan para pemberontak.

“Hanya seorang saja, Tai-ciangkun.”

“Kalau hanya seorang saja mengapa begitu lama?” Panglima itu membentak tak sabar.

Suara si perwira yang melapor kini agak gemetar,
“Dia lihai bukan main, Tai-ciangkun.... wah, seluruh pasukan pengawal depan hampir semua roboh ditangannya....”

Kagetlah panglima itu.
“Rombonganmu jangan meninggalkan kereta!” katanya sambil menutupkan jendela dari dalam.

“Ada terjadi apakah?”

Seorang wanita cantik yang duduk dalam kereta di depan panglima itu, sambil memangku seorang anak perempuan yang mungil, bertanya. Wanita ini berusia kurang lebih dua puluh enam tahun dan dia adalah isteri panglima itu.

“Ah, hanya gangguan seorang pemberontak,” kata Panglima Giam Cu dengan suara tenang. “Jangan khawatir, isteriku. Kau tenang-tenanglah di sini, para pengawal sudah menjaga kita, pula, kalau perlu, aku sendiri akan turun tangan membunuhnya,” Panglima Giam Cu meraba gagang pedangnya.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar