FB

FB


Ads

Minggu, 07 Desember 2014

Pendekar Super Sakti Jilid 039

Karena khawatir kalau-kalau pukulan-pukulan yang makin berbahaya melanda tubuhnya, Han Han mengerahkan khikangnya, mengeluarkan suara melengking nyaring dan kedua lengannya mendorong ke arah lawan yang mengeroyok dengan pengerahan tenaga sakti Im-kang.

Dapat dibayangkan betapa hebatnya dorongan-dorongan tenaga Im-kang ini kalau diingat bahwa bertahun-tahun pemuda ini melatih diri di Pulau Es yang amat dingin, sehingga ia telah dapat menyedot inti sari hawa dingin, membuat Im-kangnya yang dipelajari menurut kitab-kitab Ma-bin Lo-mo menjadi hebat, lebih hebat dari Swat-im Sin-ciang milik Ma-bin Lo-mo sendiri!

Terdengar keluhan-keluhan ketika tiga belas orang itu terhuyung-huyung dan roboh semua dengan muka pucat dan tubuh menggigil kedinginan! Untung bahwa Han Han teringat akan sindiran Lulu tadi sehingga ia tidak menurunkan tangan maut, membatasi tenaga dorongannya sehingga darah tiga belas orang itu tidak membeku.

"Omitohud….., luar biasa……!" terdengar Ceng To Hwesio berseru.

Tiga belas orang hwesio anggauta barisan Khong-jiu-tin itu saling bantu dan mundur. Tempat mereka kini diganti oleh sebuah barisan lain yang terdiri dari sembilan orang hwesio-hwesio tua berusia antara lima puluh tahun, rata-rata bertubuh kurus kering dan kelihatannya lemah sekali.

"Eh, hwesio curang! Sudah jelas barisan tadi tidak mampu menahan Kakakku, sekarang hwesio-hwesio tua kurus kering ini mau coba lagi?"

Bentak Lulu yang menghampiri kakaknya dan mengusap-usap leher kanan Han Han yang agak merah karena tadi terpukul, bahkan sebelah kanan bibirnya pecah dan berdarah sedilkit, bajunya robek-robek.

"Koko tidak sakitkah?"

Han Han menggeleng kepala dan dengan halus mendorong tubuh adiknya kepinggir sambil berkata,

"Lulu ,tenanglah barisan yang datang ini lebih berat."

"Apa? hwesio-hwesio kurus kering ini? Jumlahnya pun hanya sembilan orang, Sekali dorong saja roboh. Tak usah di dorong kau tiup saja mereka akan roboh semua Koko! Mereka ini hanyalah penderita-penderita penyakit encok dan batuk!"

Ceng To Hwesio tldak rnempedulikan ulah dan kata-kata kakak beradik itu lalu berkata dengan suara nyaring.

"Ujian pertama dapat di lalui, ujian ke dua menyusul. Lo-han-tin (Barisan Orang Tua) dari Siaw-lim-pai, hadapilah, orang muda !"

Barisan ini jauh sekali bedanya dengan barisan Khong-jiu-tin tadi. Kalau barisan pertama tadi terdiri dari hwesio hwesio yang bertubuh tegap dan gerakan mereka mantap mengandung tenaga kuat barisan ke dua ini terdiri dari hwesio-hwesio tua yang lemah sedangkan gerakan mereka pun kelihatan tak bertenaga.

Namun Han Han yang biarpun belum berpengalaman namun sebagai seorang ahli sinkang dan karena sudah banyak membaca kitab-kitab ilmu silat tinggi, dapat menduga bahwa barisan ini terdiri dari ahli-ahli sinkang yang tak boleh dipandang ringan.

Dugaannya memang benar. Sembilan orang ini adalah murid-murid kepala dari Ceng To Hwesio dan tingkat mereka hanya sedikit lebih rendah daripada tingkat lima orang hwesio murid utama Ceng To Hwesio yang tadi menjadi pengantar kedua orang muda itu dan yang kini tidak tampak lagi.

"Hemmm, beginikah peraturan Siauw-lim-pai? Kurasa hanya ditujukan kepada tamu-tamu yang tak dikehendaki saja," kata Han Han sambil tersenyum mengejek. "Para Losuhu, kalau tidak malu mengeroyok seorang muda, majulah!"

Sembilan orang hwesio itu adalah sebuah barisan yang hanya mentaati perintah, maka tentu saja tidak mengandung perasaan pribadi dan ucapan Han Han itu tidak membuat mereka menjadi rikuh, bahkan kini mereka bergerak maju dan mulai mengurung lalu mengirim serangan-serangan yang kelihatannya lambat, namun sesungguhnya cepat dan dahsyat sekali, jauh lebih berbahaya dari pada penyerangan Khong-jiu-tin karena kini setiap pukulan mengandung tenaga lweekang yang hebat

Melihat pukulan-pukulan yang berbahaya ini Han Han cepat meloncat ke atas dan ia pun mengerahkan sinkang ditubuhnya, berjungkir balik di udara dan kini tubuhnya menukik ke bawah dengan kedua tangan didorongkan, lalu ditarik kekanan kiri untuk menangkis sambutan para pengeroyoknya yang sudah mengirim pukulan-pukulan pula.

Begitu hawa pukulan itu bertemu dengan hawa sinkang yang keluar dari kedua lengan Han Han sembilan orang kakek itu terhuyung dan mereka berseru heran. Akan tetapi mereka sudah menerjang lagi maju dan kini gerakan tangan mereka mengeluarkan angin sebagai tanda bahwa mereka telah mengerahkan seluruh tenaga sakti yang ada pada diri mereka.

Seperti juga tadi ketika menghadapi pengeroyokan Khong-jiu tin, Han Han tidak dapat melawan Ilmu silat Lo-han-kun yang dimainkan sembilan orang Ahli itu. Biarpun ia sudah mempergunakan ginkangnya sehingga kadang-kadang tubuhnya lenyap dari pengurungan sembilan orang hwesio Itu, dan sudah mempergunakan kecepatannya untuk mengelak atau menangkis, namun tetap saja masih ada bebera buah pukulan yang "mampir" dl tubuhnya.

Dan kali Ini pukulan-pukulan yang mengenai tubuhnya sama sekali tidak boleh disamakan dengan pukulan-pukulan barisan pertama tadi karena pukulan-pukulan kali ini adalah pukulan yang mengandung tenaga lweekang.

Biarpun tubuh Han Han amat kebal karena kuatnya sinkangnya, dan memang ternyata bahwa tenaga dalamnya jauh lebih kuat dari pada para pengeroyoknya, namun pukulan-pukulan itu masih menggetarkan isi dada dan isi perutnya sehingga sebuah pukulan yang cukup keras pada dadanya membuat darah keluar mengucur dari mulutnya! Dia tidak terluka, akan tetapi getaran dan goncangan itu ditambah pukulan yang mampir di lehernya membuat mulut dan hidungnya berdarah.

Marahlah Han Han, kemarahan yang tidak dibuat-dibuat, yang timbul dengan sendirinya, yang membuat mukanya tampak bengis, sepasang matanya menyorotkan pandang mata seperti kilat, penuh kebencian penuh nafsu membunuh. Seolah-olah semua wajah para pengeroyoknya berubah menjadi wajah-wajah tujuh orang perwira Mancu yang membasmi keluarganya sehingga menimbulkan kebencian yang meluap luap di dalam hatinya, mendatangkan nafsu membunuh.

Ia mengeluarkan suara teriakan melengking yang terdengar mengerikan, lalu tubuhnya digoyang seperti seekor harimau menggoyang tubuh untuk mengeringkan bulu, kemudian ia menerjang maju dengan kedua tangan menyambar-nyambar kedepan.

"Koko…… jangan……!!”

Lulu berteriak ngeri menyaksikan keadan kakaknya itu. Han han dapat mendengar jerit ini dan untunglah demikian, karena kedua tangannya yang menyebar maut dengan pukulan-pukulan Swat-im Si-ciang dan Hwi-yang Sin-cian secara berganti-ganti itu dapat ia tahan kekuatannya sehingga sembilan orang hwesio itu hanya terjengkang dan muntah-muntah darah terluka akan tetapi tidak ada yang tewas

“Omitohud…..!” Ceng To Hwesio berseru marah. “ Kejam sekali engkau…..!”

Pada saat itu dari luar menyambar sinar-sinar berkeredapan dan ternyata lima orang hwesio murid utama Ceng To Hwesio sudah muncul sambil menyambitkan senjata rahasia mereka ke arah Han han.

Hal ini mereka lakukan bukan sekali-kali untuk bermain curang, melainkan terdorong oleh kekhawatiran dan karena mereka ingin menolong para sute mereka agar jangan sampai dipukul lagi oleh Han han. Mereka mengira bahwa pemuda itu tentu akan membunuh semua sute mereka yang sembilan orang itu

"Hwesio-hwesio curang!"

Lulu sudah mencabut pedangnya. Sinar hijau menyilaukan mata berkelebat dan semua senjata rahasia yang disambar sinar ini menjadi patah-patah seperti buah-buah mentimun bertemu pisau yang amat tajam.






"Cheng-kong-kiam !" teriak hwesio pincang bertongkat ketika melihat pedang itu.

"Omitohud kiranya benar-benar murid Hoa-san-pai yang mengacau! Tangkap!" bentak Ceng To Hwesio ketika mengenal Cheng-kong-kiam sebagai pedang pusaka Hoa-san-pai.

Memang pedang ditangan Lulu itu adalah Cheng-kong-kiam yang dirampasnya dari tangan Kong Seng-cu dan pedang ini sudah amat terkenal di dunia kang-ouw sehingga para hwesio Siauw-lim-pai juga mengenalnya.

Lima orang hwesio itu menyerang dengan hebat, mengurung Han Han dan mereka mempergunakan senjata mereka. Si Pincang mempergunakan tongkatnya, dua orang hwesio mempergunakan Toya yang sudah mereka pegang ketika mereka muncul, sedangkan yang tertua dan yang nomor dua memegang pedang.

Serangan mereka itu birarpun tidak sehebat ilmu pedang Siauw-lim Chit-kiam, namun karena mereka adalah tokoh tokoh Siauw-Lim-pai tingkat tinggi, tentu saja serangan mereka ini hebat bukan main.

Boleh jadi dalam hal kekuatan singkang, Han Han yang telah memiliki tenaga mujijat itu sukar ditandingi para hwesio yang mendapat sinkang secara latihan wajar, tidak seperti Han Han yang berlatih dengan cara-cara golongan sesat akan tetapi dalam hal ilmu silat, Han Han sunguh ketinggalan jauh kalau dibandingkan dengan lima orang hwesio murid Ceng To Hwesio itu.

Adapun Lulu yang juga memiliki tenaga sinkang yang tidak lumrah kalau dibandingkan dengan gadis seusia yang sejak kecil belajar silat, dan telah mempelajari ilmu silat yang tinggi sekali, namun dia kurang mendapat bimbingan yang benar sehingga ilmu pedangnya yang amat indah dan tinggi mutunya itu kekurangan isi. Tentu saja diapun bukan lawan tokoh-tokoh Siaw-lim-pai itu.

Si hwesio tua yang pincang kakinya menghadapi Lulu dengan tongkatnya. Ternyata hwesio ini bukan main ketika bergerak menerjang Lulu dengan tongkat di tangan. Gerakanya gesit dan biarpun kakinya melebihi kecepatan orang yang tidak cacad. Ketika Lulu menangkis dengan pedangnya terdengar suara keras, ujung tongkat kayu itu terbacok putus sedikit saking tajamnya pedang pusaka Hoa-san-pai itu, akan tetapi telapak tangan Lulu tergetar hebat saking kuatnya tongkat di tangan hwesio pincang.

"Nona muda, lebih baik engkau menyerah saja. Siauw-lim-pai adalah perkumpulan besar yang adil dan tentu akan mengadakan sidang pengadilan yang tidak sewenang-wenang. Melawanpun tiada gunanya,” hwesio pincang itu berkata dengan suara halus.

Dia seorang tokoh Siuw-lim-pai yang berilmu tinggi, sudah puluhan tahun malang-melintang di dunia kang-ouw sehingga kini merasa sungkan untuk bertanding melawan seorang gadis remaja yang menjadi cucu muridnya!

"Hwesio sombong, apa kau kira akan dapat mengalahkan, aku? Lihat pedang!"

Lulu berteriak marah dan pedangnya sudah berkelebat menyambar lagi, merupakan segulungan sinar hijau yang lebar dan panjang.

"Omitohud, orang muda yang bersemangat baja!"

Hwesio pincang itu berseru, tidak marah karena sebagai seorang hwesio tentu saja ia telah memiliki kesabaran besar, bahkan ia merasa kagum menyaksikan sepak-terjang gadis cantik ini. Cepat ia menggerakkan tongkatnya dan sekejap kemudian bertandinglah mereka dengan hebat.

Biarpun tingkat kepandaiannya jauh lebih tinggi, namun hwesio pincang itu harus bersilat dengan amat hati-hati karena ginkang gadis itu sudah mencapai tinkat yang tinggi pula, membuat tubuhnya berkelebatan seperti seekor burung walet dan tenaga sinkang yang tersembunyi di tangan halus. Yang memegang pedang pun tak boleh dipandang ringan.

Sementara itu, Han Han juga mengamuk, dikeroyok oleh empat orang hwesio lain. Agaknya para hwesio itu tidak ingin gagal untuk memenuhi perintah suhu mereka, yaitu menangkap Han Han, maka mereka berempat maju serentak dengan tangan kosong, membiarkan hwesio pincang seorang diri menghadapi Lulu yang mereka pandang rendah.

Mereka sudah mendengar akan kelihaian Han Han ini dan karena Han Han telah membunuh orang-orang Siauw-lim-pai secara mengerikan, bahkan disangka membunuh dua orang di antara Siauw-lim Chit-kiam, tentu saja mereka maklum bahwa pemuda ini amat lihai, maka mereka maju mengeroyok dan berlaku hati-hati sekali.

Pening rasa pandang mata Han Han ketika ia melihat gerakan para pengeroyoknya yang selain cepat juga amat mantap itu. Ke manapun ia menggerakkan kedua tangannya sambil mengerahkan tenaga Hwi-yang Sin-ciang atau Swat-im Sin-ciang, selalu serangannya dapat dihindarkan keempat orang hwesio itu yang cepat mengelak dan sama sekali tidak berani menangkis.

Memang dahsyat mengerikan sekali sambaran kedua tangan Han Han ini, kadang-kadang mengandung hawa yang panas seperti api membara kadang-kadang dingin seperti es.

Ilmu silat yang dimainkan oleh empat orang hwesio itu adalah ilmu silat tinggi Siauw-lim-pai yang amat terkenal dengan ilmu silat tangan kosongnya. Dibandingkan dengan Ilmu Silat Lo-han-kun yang dimainkan oleh barisan Khong-jiu-tin yang tadi mengeroyoknya, memang tidak ada bedanya, akan tetapi kini dimainkan dengan tenaga yang jauh lebih kuat dan gerakan yang lebih mantap.

Seperti juga tadi, Han Han tidak dapat mempertahankan dirinya, tidak dapat menghindarkan diri dari gebukan-gebukan dan tendangan-tendangan yang tentu akan membuatnya roboh pingsan sekiranya dia tidak memiliki tubuh yang penuh dengan hawa sinkang amat kuatnya. Beberapa kali ia kena dijotos dadanya sampai tubuhnya terjengkang dan roboh bergulingan, namun setiap kali ia bangkit lagi dan mengamuk lebih hebat lagi.

Setelah berkelahi, hawa yang aneh memenuhi tubuh Han Han dan matanya berubah beringas, wajahnya merah menyeramkan, mulutnya yang berdarah itu membayangkan kekejaman dan nafsu membunuh, hidungnya yang juga berdarah itu berkembang-kempis, matanya seperti mata harimau gila, kerongkongannya mengeluarkan suara rnengereng-gereng dan kadang-kadang melengking-lengking.

Ernpat orang hwesio murid Ceng To Hwesio kagum bukan main dan berkali-kali mereka mengeluarkan seruan terkejut saking herannya melihat betapa pemuda itu dapat menerima hantaman mereka tanpa mengalami cedera atau terluka sedikit pun, hanya sedikit darah mengalir dari mulut atau hidungnya setiap kali menerima pukulan. Hampir mereka tak dapat percaya bahwa ada seorang pemuda remaja memiliki kekebalan seperti itu!

Sungguhpun tubuh Han Han tidak sampai terluka di sebelah dalam, namun sesungguhnya Han Han menderita bukan main. Seluruh tubuhnya terasa nyeri dan tidak karuan, kepalanya pening, pandang matanya berkunang dan telinganya mendengar suara mengiang-ngiang tiada hentinya. Kemarahannya memuncak.

Ketika empat orang hwesio itu untuk ke sekian kalinya menerjang. maju dari empat jurusan, ia sengaja tidak mau mengelak lagi, juga tidak menangkis hanya menanti sampai pukulan mereka tiba.

Mendadak Han Han mengeluarkan suara melengking tinggi, tangan kirinya menghantam ke kiri dengan pengerahan tenaga sakti Swat-im Sin-ciang sedangkan tangan kanan menghantam ke kanan dengan tenaga sakti Hwi-yang Sin-ciang.

Karena pemuda ini sengaja mengorbankan tubuhnya menjadi sasaran dan berbareng pada detik itu mengirim pukulan-pukulan, maka terdengar jerit mengerikan ketika pukulan-pukulannya mengenai sasaran.

Hwesio di sebelah kirinya roboh dengan muka biru dan darah membeku sedangkan yang berada di sebelah kanannya roboh pula dengan muka menjadi hitam gosong seperti terbakar! Akan tetapi dia sendiri pun menerima pukulan-pukulan yang membuat tubuhnya bergoyang-goyang dan tiba-tiba ia muntahkan darah segar yang banyak juga!

"Koko…..!"

Tiba-tiba Lulu menjerit dan Han Han cepat menengok. Ternyata bahwa pedang adiknya itu telah terpukul tongkat dan terlepas dari pegangan tangan adiknya itu. Ia melihat Ceng To Hwesio menggerakkan tangan seperti melambai dan…… pedang adiknya itu terbang ke arah tangan Si Hwesio yang membentak marah.

"Bocah setan, engkau kembali membunuh dua orang murid pinceng! Kau tidak boleh dibiarkan hidup lagi!”

Kini mereka semua menyerbu mengeroyok Han Han. Ceng To Hwesio dan muridnya yang tinggal tiga orang karena hwesio pincang itu setelah melihat dua orang sutenya tewas lalu meninggalkan Lulu dan ikut mengeroyok Han Han.

Tidak seperti tadi ketika dilkeroyok empat orang hwesio bertangan kosong, kini Han Han dikeroyok empat orang hwesio yang semuanya bersenjata. Hwesio pincang memegang tongkat, dua orang hwesio lain memegang toya dan Ceng To Hwesio memegang pedang Ceng-kong-kiam dari Hoa-san-pai,

Dalam kemarahanya, Han Han tldak takut menghadapi bahaya apapun juga. Ia menjadi nekat dan memutar kedua lengannya mengirim pukulan-pukulan dengan hawa sakti Hwi-yang Sin-ciang yang dahsat sehingga empat orang hwesio itu tidak berani terlalu mendekatinya.

"Omltohud…..keji sekali….!"

Ceng To Hweslo berseru dan pedangnya berubah menjadi sinar hijau menuju pusar Han Han, Pemuda itu terkejut, cepat ia melompat ke atas seperti terbang saja dan pada saat itu, tongkat hwesio pincang menyambar kakinya.

Namun Han Han menggerakkan kaki menendang sehingga tongkat itu hampir terlepas dari tangan pemeganya. Pada saat itu, sinar hijau berkelebat ke lehernya. Han Han membuang tubuh ke belakang, namun masih saja pedang itu menyerempet pundaknya sehingga bajunya berikut kulit dan sedikit daging pundak robek dan berdarah.

"Koko……!"

Lulu menjerit dan menubruk Han Han, matanya melotot memandang empat orang hwesio itu dan mulutnya memaki-maki

"Hwesio hwesio jahat! Beginikah hwesio-hwesio Siauw-lim-pai Tukang keroyok dan tukang bunuh?”.

Melihat gadis itu yang melindungi tubuh Han Han, empat orang hwesio itu menjadi sungkan untuk menyerang. Han Han tldak ingin melihat adiknya terancam bahaya, maka ia lalu meraih pingang adiknya dibawa meloncat sambil membentak.

"Minggir kalian!!”

Bentakan Han Han Ini mengandung suara aneh yang memiliki pengaruh mujijat. Tanpa mereka ketahui mengapa, empat orang hwesio itu segera mundur ke pinggir dan membiarkan Han Han lewat bersama Lulu. Setelah pemuda itu berlari ke depan, memasuki kuil, barulah Ceng To Hwesio berseru.

"Omitohud….., mengapa kita diam saja…..?" Ia amat terkejut, demikian pula tiga orang muridnya dan serentak mereka mengejar ke dalam kuil.

Han Han berkelebat cepat memasuki kuil sampai ke ruangan belakang. Ternyata kuil itu luas sekali dan mempunyai banyak ruangan. Melihat betapa para hwesio kosen itu mengejar, Han Han berlari terus sambil menarik tangan Lulu.

Karena para pengejarnya yakin bahwa pemuda itu tidak dapat meloloskan diri, apalagi kalau dilihat kenyataannya bahwa Han Han malah lari memasuki kuil, maka mereka ini agaknya tidak mau ribut-ribut, dan mengejar seenaknya saja.

Han Han yang menggandeng Lulu terus lari sampai di ruangan belakang yang amat luas. Tampak banyak daun-daun pintu tertutup dan ketika Han Han tiba di ruangan itu, tiba-tiba terdengar suara halus namun penuh wibawa.

"Orang muda yang diperalat iblis berlututlah dan menyerah!"

Han Han dan Lulu mengangkat muka ke atas karena suara jtu seperti datang dari atas, akan tetapi diatas tidak tampak apa-apa kecuali langit-langit rumah. Ketika mereka menoleh ke kiri, ternyata di situ telah berdiri seorang hwesio tua bermuka kurus bertubuh kecil jangkung yang berwajah angker penuh wibawa.

Hwesio kurus ini kepalanya gundul kelimis, alisnya tebal dan kumis jenggotnya jarang, tangan kirinya memegang seuntai tasbih dan pakaiannya sungguhpun sederhana namun masih jelas berbeda dengan pakaian para hwesio lain, juga kepalanya diikat tali dengan “hiasan” benda kecil runcing seperti jimat di atas kepala. Hwesio ini adalah Ceng San Hwesio, ketua Siauw-lim-pai yang memandang Han Han dengan sinar mata penuh teguran.

Han Han menarik tangan Lulu hendak lari keluar lagi. Melihat hwesio tua itu, Han Han maklum bahwa dia berhadapan dengan orang pandai, akan tetapi begitu ia membalikkan tubuhnya, Ceng To Hwe-sio dan tiga orang muridnya sudah tiba di situ dan berdiri memenuhi ambang pintu yang menuju keluar. Mereka berempat ini memandang dengan sinar mata penuh kemarahan.

"Suheng, dia inilah bocah yang telah membunuh murid-murid Siauw-lim-pai, bahkan di luar tadi telah membunuh dua orang muridku. Mohon keputusan ketua !" berkata Ceng To Hwesio sambil menahan kemarahannya.

Kalau menurutkan kemarahan hatinya, ingin ia turun tangan terus membunuh bocah itu, akan tetapi karena yang berkuasa memutuskan sesuatu adalah Ceng San Hwesio sebagai ketua Siauw-lim-pai, ia menahan kemarahannya dan menyerahkan keputusannya kepada Ceng San Hwesio.

"Omitohud, malapetaka menimpa Siauw-lim-pai tiada henti-hentinya……. semoga Tuhan mengampuni kita sekalian……!”

Ceng San Hwesio menekan kemarahannya dan berdoa, kemudian memandang kepada Han Han sambil berkata,

"Orang muda, engkaukah yang bernama Sie Han, pemuda yang telah membunuh murid-murid pinceng Liok Si Bhok dan Liong Ki Tek, kemudian membunuh pula beberapa orang anak murid Siauw-lim-pai dan kini bahkan membunuh dua orang murid keponakanku? Heh, orang muda yang berhati kejam, apakah sebabnya engkau melakukan pembunuhan-pembunuhan itu? Apakah engkau murid Hoa-san-pai?”

Han Han menjura penuh hormat setelah kini la tahu bahwa hwesio itu adalah ketua Siauw-lim-pai.

"Harap Locianpwe sudi mempertimbangkan dan tidak tergesa-gesa sepertl yang lain menjatuhkan tuduhan yang bukan-bukan. Saya bukanlah murid Hoa-san-pai, juga tidak mempunyai hubungan apa-apa dengan Hoa-san-pai. Adapun tentang pembunuhan yang saya lakukan terhadap anak murid Siauw-lim-pai ketika mereka bentrok dihutan dengan murid-murid Hoa-san-pai tidak perlu saya sangkal, dan memang saya melakukan pembunuhan itu sunggupun hal itu bukan menjadi kehendak saya. Juga tewasnya dua orang hwesio yang mengeroyok saya di luar itu terjadi bukan atas kehendak saya.

Akan tetapi tentang kematian dua orang murid Locianpwe, dua orang di antara Siauw-lim Chit-kiam, saya tidak tahu-menahu dan justeru kedatangan saya ini hendak menjelaskan semua duduknya perkara sehingga timbul bentrokan antara Hoa-san-pai dan Siauw-lim-pai, kemudian yang menyeret diri saya sebagai orang luar karena kebetulan saja dan karena salah pengertian sebagai korban dari tipu muslihat keji seorang Puteri Mancu."

"Orang muda, setelah membunuh sekian banyaknya murid-murid Siauw-lim-pai, engkau datang ke sini dengan alasan hendak memberi penjelasan, akan tetapi sambil membunuh pula dua orang murid Siauw-lim-pai lainnya. Begitukah caramu hendak memberi penjelasan? Apakah engkau hendak menghilangkan dosa dengan pembunuhan lain lagi?"

"Maaf, Locianpwe. Sudah kukatakan tadi bahwa tewasnya Losuhu di luar itu bukanlah kehendak saya. Saya dikeroyok dan mereka berkeras menolak keinginan saya bertemu dengan Nona Lauw Sin Lian dan dengan Locianpwe sebagai ketua untuk memberi penjelasan, akan tetapi mereka menggunakan kekerasan. Terpaksa saya melawan untuk membela diri dan akhirnya dua diantara para losuhu tewas….."

"Suheng! Setan cilik ini telah menginjak-injak kehormatan .Siauw-lim-pai telah membunuh dengan cara keji tujuh orang murid-murid Siauw-lim-pai kemudian sekarang membunuh pula dua orang murid tingkat pertama, bahkan kematian Liok Si Bhok dan Liong Ki Tek tentu akibat perbuatannya pula karena memang dia memiliki ilmu setan. Harap Suheng sekarang memberi keputusan agar saya dapat turun tangan menangkap atau membunuhnya," kata Ceng To Hwesio yang merasa marah sekali atas kematian dua orang muridnya yang tersayang.

Tidak hanya Ceng To Hwesio yang merasa sakit hatinya oleh kematian para murid Siauw-lim-pai. Biarpun ketua Siauw-lim-pai sendiri, Ceng San Hwesio, juga merasa sakit hati. Akan tetapi sebagai seorang ketua yang berpikiran luas dan berpemandangan jauh ia tidak mau bertindak sembrono. Urusan Siauw-lim-pai dengan Hoa-san-pai jauh lebih penting dan lebih besar dari pada urusan dendam terhadap orang muda ini, pikirnya. Maka ia menindas perasannya dan berrtanya.

"Orang muda she Sie, engkau hendak menyampaikan penjelasan tentang sebab-sebab bentrokan antara Hoa-san-pai dan Siauw-lim-pai. penjelasan yang kau awali dengan pembunuhan baru lagi. Penjelasan apakah gerangan? Coba kau sampaikan kepada pinceng untuk dipertimbangkan."

Han Han maklum bahwa keadaannya terhimpit dan terancam. la malah merasa pening dan seluruh tubuhnya sakit-sakit, sedangkan Lulu yang memegang lengannya dari belakang kelihatan pucat dan tangan gadis itu agak gemetar tanda bahwa hatinya tegang dan takut.

Kenyataan bahwa kedatangannya ini menimbulkan pembunuhan-pembunuhan baru membuat perkara menjadi makin ruwet. Akan tetapi karena memang hatinya tidak mengandung pamrih apa-apa, tidak pula mempunyai niat untuk menonjolkan atau menguntungkan diri sendiri, melainkan hanya bertindak untuk membela diri dari serangan-serangan maut, dengan suara tenang ia lalu berkata.

"Locianpwe, semua peristiwa yang terjadi sehingga mengakibatkan korban-korban yang tewas di antara murid-murid Siauw-lim-pai dan juga Hoa-san-pai, adalah disebabkan oleh siasat adu domba yang amat licin dari seorang puteri Mancu yang bernama Puteri Nirahai. Mula-mula terjadi pembunuhan atas diri dua orang Locianpwe dari Siauw-lim Chit-kiam yang merupakan rahasia, akan tetapi yang pertama kali membawa datang kedua jenazah itu adalah Puteri Nirahai itulah."

Kemudian dengan tenang Han Han menceritakan semua peristiwa yang didengarnya dari fihak Hoa-san-pai tentang pengiriman peti oleh puteri Mancu, dan betapa peti-peti itu dikawal oleh murid Hoa-san-pai kemudian di tengah jalan dihadang oleh murid-murid Siauw-lim-pai sehingga terjadi pertempuran.

"Saya dan adik saya kebetulan lewat di tempat pertempuran dan karena saya mengira bahwa murid-murid Siauw-lim-pai adalah perampok-perampok yang hendak merampas kereta yang dikawal Pek-eng-piauwkiok, saya lalu membantu Pek-eng-piauwkiok dan dalam pertandingan itu saya dikeroyok dan akibatnya tujuh orang murid Siauw-lim-pai yang saya kira perampok ltu tewas.

Setelah muncul Nona Lauw Sin Lian yang saya kenaI diwaktu kecil, yang membuka dua peti terisi jenazah, barulah saya menjadi kaget dan kembali saya salah sangka, mengira bahwa fihak Hoa-san-pai yang jahat dan turun tangan membunuh dua orang pimpinan Pek-eng-piauwkiok yang menjadi murid-murid Hoa-san-pai. Saya sudah menjelaskan persoalan ini kepada pimpinan Hoa-san-pai, dan biarpun hasilnya, tidak begitu memuaskan, saya tetap mendatangi Siauw-lim-si untuk memberi penjelasan pula kepada ketua Siauw-lim-pai dan kepada Nona Lauw Sin Lian. Sungguh menyedihkan bahwa kedatangan saya dikeroyok dan akibatnya dua orang murid Siauw-lim-pai tewas. Sekarang terserah kepada keputusan Locianpwe."

Ceng San Hwesio diam-diam terkejut sekali dan mempertimbangkan kemungkinan-kemungkinan bohong tidaknya cerita yang ia dengar dari mulut pemuda aneh ini. Kalau tidak bohong, benar-benar Siauw-lim-pai dan Hoa-san-pai terancam kehancuran kalau melanjutkan permusuhan yang dijadikan umpan perpecahan oleh fihak penjajah. Akan tetapi siapa tahu kalau cerita itu hisapan jempol belaka? Pemuda ini amat aneh dan lihai, siapa dapat menjenguk isi hatinya?

"Suheng, harap jangan percaya dia! Masih ingat pinceng akan cerita Sin Lian bahwa bocah ini adalah murid Kang-thouw-kwi Gak Liat dan tadi pun dia mengeluarkan pukulan Hwi-yang Sin-ciang! Tentu kedua orang murid Suheng dia pula yang membunuhnya!"

Ceng To Hwesio berkata. bukan untuk memanaskan hati suhengnya, melainkan karena ia menduga keras bahwa Han Han adalah seorang musuh besar.

Sinar mata Ceng San Hwesio berkilat.
“Hemmm, Gak Liat manusia yang keji dan jahat. Sekarang muridnya lebih kejam lagi……, omitohud! Sie Han, kau lebih baik menyerahkan diri, jangan melawan. Kau harus menjadi tawanan kami untuk kemudian diperiksa lebih lanjut.”

"Locianpwe, sebagai seorang ketua perkumpulan besar, apakah Locianpwe tidak dapat menggunakan kebijaksanaan? Kakakku tidak bersalah, memaksa diri datang kesini untuk memberi penjelasan agar jangan terjadi permusuhan berlarut-larut antara Siauw-lim-pai dan Hoa-san-pai. Akan tetapi sampai disini malah hendak ditawan. Hayo kembalikan pedangku dan biarkan kami berdua pergi dari sini kalau Locianpwe tidak suka mendengarkan penjelasan Kakakku!"

Lulu yang tadinya kelihatan takut-takut itu kini melangkah maju dan bicara dengan suara membentak-bentak kepada ketua Siauw-lim-pai.

Jari-jari tangan kiri Ceng San Hwesio menggerak-gerakkan tasbihnya ketika ia memandang Lulu, alisnya berkerut dan ia bertanya halus,

"Nona muda, siapakah namamu?"

"Namaku Lulu dan aku adalah adik Kakakku Han Han ini."

"Nona bukan murid Hoa-san-pai?"

"Bukan, juga Kakakku bukan murid Hoa-san-pai, bukan pula murid Gak Liat.”

Bibir hwesio tua itu tersenyum.
"Hem, Nona bicara tidak karuan. Kalau bukan murid Hoa-san-pai, bagaimana pedang Cheng-kong-kiam bisa berada di tangan-mu? Pedang itu adalah pedang pusaka Hoa-san-pai dan biasanya hanya dipergunakan oleh fihak pimpinan Hoa-san-pai."

"Ohhh, itu? Pedangku yang dirampas oleh hwesio jahat ini? Sama saja dengan hwesio itu, Locianpwe, aku merampas dari tosu Hoa-san-pai?”

"Hemmm, merampas dari tosu Hoa-san-pai?"

"Apa bedanya dengan hwesio ini? Dia pun merampas pedangku! Aku diserang tosu Hoa-san-pai dan aku merampas pedangnya."

Tiba-tiba Ceng To Hwesio maju dan berkata,
"Nona muda yang lancang mulut. Benarkah engkau Adik pemuda ini? Pinceng tidak percaya!"

Lulu membelalakkan matanya kepada hwesio yang dibencinya itu, yang telah memegang pedangnya.

"Kau percaya atau tidak bukan urusanku! Aku adalah adik angkat Kakakku ini dan aku tidak membutuhkan kepercayaanmu!"

"Suheng, gadis ini adalah keturunan Mancu!" tiba-tiba Ceng To Hwesio berkata. "Lihatlah matanya, lihat hidungnya dagunya Dia berdarah Mancu!”

"Memang aku gadis mancu, habis engkau mau apa?".

"Omitohud……kalau begitu benar. Mereka ini adalah mata-mata penjajah yang dipergunakan untuk mengadu domba antara Hoa-san-pai dan Siauw-lim-pai. Bocah kejam, terpaksa pinceng Turun tangan kepadamu!"

Ceng San Hwesio berseru dan tiba-tiba dia menggerakkan kaki maju dua langkah dan tangan kanannya mendorong ke depan, mencengkeram ke arah pundak Han Han.

Pemuda yang sudah sakit-sakit rasa tubuhnya ini ketika mendengar suara mencicit keluar dari tangan ketua Siauw-lim-pai, terkejut bukan main. Cepat ia miringkan tubuh, agak merendah dan dengan nekat ia mengangkat tangan menangkis ke arah tangan hwesio yang terulur itu.

“Plakkk”

“Omitohud...... Menakjubkan”

Ceng-san Hwesio berseru dan meloncat ke kebelakang untuk mematahkan daya dorong yang dapat merusak kuda-kuda kakinya. Akan tetapi Han Han terpental ke belakang dan roboh terguling-guling. Ternyata bahwa dalam hal tenaga, bahkan kakek ketua Siauw-lim-pai ini sendiri tak mampu mengatasi Han Han, akan tetapi karena kakek ini amat lihai, ketika tangan mereka bertemu tadi Ceng San Hwesio telah menggerakkan pergelangan tangan sehingga Han Han terdorong dari samping dan kena dilontarkan ke belakang!.

"Kalian benar-benar menghendaki nyawaku? Hemmm…….majulah, aku Sie Han bukannya orang yang takut mati!"

Bentak Han Han, kemarahannya membuat wajahnya menjadi merah sekali dan kelihatannya beringas menyeramkan, sinar maut terpancar dari sepasang matanya.

Ceng San Hwesio maklum bahwa anak muda ini benar-benar merupakan bahaya dan bahwa kalau dia sendiri tidak turun tangan, tentu akan sukar bagi murid-muridnya menundukkan Han Han tanpa mengorbankan nyawa banyak anak murid Siauw-lim-pai lagi.

Sebagai ketua Siauw-lim-pai, tentu saja dia berpantang membunuh, akan tetapi karena maklum bahwa pemuda ini sukar dikalahkah dan memiliki sinkang yang amat luar biasa, ia lalu melangkah maju, siap menurunkan tangan menyerang. Juga Ceng To Hwesio bersama tiga orang muridnya sudah maju mengurung Han Han yang beringas dan marah sedangkan Lulu masih berdiri terbelalak penuh kekhawatiran memandang kakaknya.

Keadaan itu amat menegangkan, terutama sekali bagi Lulu yang seolah-olah melihat betapa kakaknya yang tercinta itu hendak disembelih, hendak dibunuh di depan matanya. Ia amat bangga dan yakin akan kelihaian kakaknya, akan tetapi kini ia mengerti bahwa kakaknya bukanlah lawan hwesio-hwesio yang sakti ini.

Ia pun bersiap-siap untuk menyerbu untuk membela kakaknya, karena kalau sampai kakaknya tewas, ia pun tidak mau hidup lebih lama lagi ingin mati disamping kakaknya. Dalam detik seperti itu terasa benar di hati Lulu betapa ia mencinta kakaknya, betapa di dunia ini dia tidak punya siapa-siapa lagi, betapa hidupnya akan kosong dan hampa kalau Han Han mati. Perasaan ini seperti duri-duri menusuk jantungnya, membuat Lulu tanpa disadarinya memekik nyaring.

"Koko……! Aku ingin mati bersamamu……!”

Jeritan melengking yang keluar dari mulut Lulu ini langsung keluar dari hatinya, maka mengandung getaran hebat. Ceng San Hwesio bersama sutenya dan tiga orang muridnya itu, sudah siap menerjang maju membinasakan Han Han tergetar oleh jeritan ini.

Mereka adalah hwesio-hwesio yang berilmu, hwesio-hwesio yang mengutamakan kebajikan yang penuh dengan welas asih dan cinta kasih terhadap sesama hidup. Mereka sama sekali bukanlah orang-orang kejam, bahkan mereka telah berhasil mengusir jauh-jauh nafsu kebencian. Kalau mereka hendak turun tangan membunuh Han Han, hal ini dilakukan dengan perasaan demi menjaga keutuhan dan kelangsungan Siauw-lim-pai yang terancam kedudukannya.

Kini mendengar lengking itu, hati mereka tertusuk dan sejenak mereka berdiri melongo memandang Han Han yang berdiri dengan muka beringas dan darah mengalir dari pundak, hidung dan ujung bibirnya.

Pada detik-detik yang sunyi itu terdengarlah suara halus yang seolah-olah terbawa asap dupa yang mengepul keluar dari balik daun pintu tertutup sebelah kiri, suara yang penuh getaran pula.

"Siancai….., hidupnya belum terisi, mengapa ingin mati? Aduhai, sebentar lagi tubuh itu terbujur di dalam tanah, busuk menjijikkan, tanpa kesadaran, tidak ada, gunanya seperti kayu habis dimakan api….! Omitohud…., Ceng San…., apa yang hendak kau lakukan diluar? Kesinilah segera!"

Mendengar suara ini, lima orang hwesio yang mengurung Han Han itu tiba-tiba menjatuhkan diri berlutut dengan muka menghadap daun pintu tertutup dari mana mengepul keluar asap dupa harum itu. Kemudian Ceng San Hwesio lalu melompat sambil berlutut dan tubuhnya yang masih berlutut itu melayang ke arah daun pintu, tangan kanan mendorong daun pintu terbuka dan tubuhnya terus meluncur masuk ketika daun pintu itu tertutup kembali.

Han Han memandang penuh kagum. Mengertilah ia bahwa kepandaiannya masih amat jauh ketinggalan kalau dibandingkan dengan hwesio-hwesio tokoh Siauw-lim-pai ini. la maklum bahwa biarpun Ceng San Hwesio sudah pergi, namun tetap saja ia tidak akan dapat menghindarkan diri dari maut kalau ia melawan CengTo Hwesio, apalagi jika hwesio sakti ini dibantu oleh tiga orang muridnya. Maka ia lalu menggandeng tangan Lulu dan berlarilah Han Han menuju ke pintu yang tadi dimasuki Ceng San Hwesio.

"Hei, berhenti kau….!”

Ceng To Hwesio membentak dan ketika Han Han tidak mempedulikannya, Ceng To Hwesio mengirim pukulan jarak jauh dari belakang. Kembali Han Han mendengar suara bercuit dari belakang dan ia maklum bahwa ia dipukul dengan hawa sakti yang amat kuat.

Maka ia cepat menarik tubuh Lulu agar berlindung di belakang, kemudian ia membalik sambil menggerakkan tangan menangkis. Namun tetap saja tubuhnya terlempar bersama tubuh Lulu, menabrak dinding akan tetapi malah dekat dengan pintu itu yang cepat ia buka sambiI melompat masuk dan menarik tangan adiknya. Kepalanya pening sekali, napasnya sesak dan kemarahannya makin memuncak.

"Koko, kita ke mana ?" tanya Lulu terengah-engah.

"Biarlah….. akan kucari Ceng San Hwesio…. kalau perlu aku mati bersama dia! Aku akan mengadu nyawa dengan ketua Siauw-lim-pai…., mati di tangannya tidak penasaran.”

"Koko…..!"

Lulu menjadi pucat akan tetapi ketika ia menengok dan melihat betapa Ceng To Hwesio dan tiga orang muridnya tidak berani mengejar, bahkan sudah berlutut lagi menghadapi pintu, hatinya menjadi lega.

Memang tidak seorang pun hwesio Siauw-lim-pai, termasuk ketuanya, berani memasuki kamar-kamar yang daun pintunya berjajar diruangan luas sebelah belakang kuil ini. Itulah kamar-kamar yang disebut "ruangan penyiksaan diri" dan merupakan tempat terlarang bagi para hwesio lainnya. Kalau tadi tidak medengar suara supeknya memanggil, Ceng San Hwesio sendiri tidak akan berani memasuki kamar melalui daun pintu itu. lnilah sebabnya mengapa Ceng To Hwesio dan tiga orang muridnya tidak berani mengejar Han Han dan Lulu yang memasuki kamar terlarang ini.

Dengan alis berkerut dan wajah masih beringas darah masih menetes-netes dari hidung dan mulut sebagai akibat gempuran pukulan terakhir Ceng To Hwesio tadi, mata masih berkunang dan kepala berdenyut-denyut, Han Han memasuki lorong yang menembus pintu tadi, dipegang lengannya oleh Lulu yang memandangnya penuh kekhawatiran. Han Han seperti terbetot asap dupa harum karena kakinya bergerak melangkah maju menempuh asap dupa dan menghampiri kamar dari mana dupa itu mengepul keluar.

Ia melangkah ke ambang pintu kamar itu dan berdiri tertegun sambil memegangi pundaknya yang terasa perih karena darahnya keluar lagi ketika terbanting tadi. Seperti terpesona. Han Han memandang ke dalam kamar sedangkan Lulu yang juga memandang ke dalam kamar dan melihat tiga orang hwesio di .kamar itu, memandang kakaknya dengan hati gelisah. Dengan sinar matanya ia seolah-olah hendak melarang kakaknya turun tangan, karena betapa mungkin kakaknya melawan tiga orang hwesio tua itu?





Tidak ada komentar:

Posting Komentar