FB

FB


Ads

Minggu, 07 Desember 2014

Pendekar Super Sakti Jilid 040

Ternyata Han Han tidak turun tangan, bahkan berdiri seperti arca, terpesona oleh pemandangan dan pendengaran di dalam itu. Di atas sebuah dipan bambu sederhana duduk seorang hwesio yang amat tua, begitu tua dan kurusnya seperti rangka terbungkus kulit. Kepalanya gundul halus mengeluarkan sinar, alis, kumis dan jenggotnya Seperti menjadi satu berjuntai ke bawah berwarna putih, mukanya tunduk dan matanya terpejam, tubuhnya terbungkus kain kuning yang kasar dan tangan kanannya memegang sebuah kipas daun.

Hwesio ini duduk bersila dan di sebelah kirinya, di dekat kaki dipan, duduk bersila sambil menundukkan muka pula seorang hwesio lain yang keningnya selalu berkerut, mulutnya cemberut dan matanya terpejam. Hwesio ini pun sudah tua sekali, dan agaknya dialah yang melayani segala keperluan hwesio tua di atas dipan.

Sebuah pedupaan berada di dekat hwesio pelayan ini dan agaknya dia pula yang membakar dupa bubuk di pedupaan itu. Ceng San Hwesio ketua Siauw-lim-pai tampak duduk berlutut di depan hwesio tua renta itu dengan sikap penuh hormat. Kamar itu sendiri kosong dan buruk tua, tidak ada hiasan apa-apa kecuali dipan itu dan sebuah meja kayu dimana terdapat sebuah guci air.

Terdengar oleh Han Han suara yang halus seperti suara tadi yang keluar dari daun pintu bersama asap dupa dan sungguhpun bibir kakek tua itu tidak bergerak, namun ia dapat menduga bahwa itulah suara hwesio tua yang bersila diatas dipan.

"Jangan menilai perbuatan orang lain yang tidak patut maupun dosa-dosa dan kejahatan orang lain, melainkan perbuatan dan penyelewengan diri sendirilah yang harus selalu diperhatikan. Harum semerbaknya bunga-bunga tagara, malika dan kayu cendana tak dapat tersebar melawan arahnya angin, akan tetapi harum semerbaknya nama baik seseorang bahkan sampai tersebar melawan arahnya angin. Sama seperti dionggokan sampah kotor tumbuh bunga teratai yang bersih dan indah, demikian pula seorang murid Buddha tetap bijaksana seperti teratai diantara orang-orang sesat. Wahai, Ceng San, apakah engkau sudah melupakan semua pelajaran itu?"

Han Han terpesona, tak berani bergerak dan tak berani berkedip, memandang kakek tua itu dan mendengarkan kata-katanya. Ia pernah membaca kata-kata yang keluar dari dalam mulut kakek itu, mengenal kata-kata itu dari kitab-kitab Agama Buddha yang pernah dibacanya. Akan tetapi entah bagaimana dia sendiri tidak mengerti, mendengar kata-kata bersajak itu keluar dengan suara getaran aneh dari tubuh hwesio ini, terasa dingin sejuk dan sekaligus membuka mata batinnya, membuatnya terpesona dan ingin mendengarkan terus.

"Teecu selalu ingat akan semua pelajaran dan tidak pernah melupakannya. Akan tetapi, Supek, urusan yang melanda Siauw-lim-pai ini adalah urusan besar sekali. Teecu bukan bertindak berdasarkan dendam kebencian melainkan karena ingin menjaga nama besar Siauw-lim-pai.

Siauw-lim-pai yang didirikan ratusan tahun yang lalu oleh Couwsu kita, kalau tidak dijaga dan dipertahankan, bukankah hal itu merupakan dosa besar terhadap Couwsu? Siauw-lim-pai diadu domba dengan Hoa-san-pai, murid-murid Siauw-lim-pai pilihan telah dibunuh orang, kini pembunuhnya muncul pula di kuil kita dan membunuh pula murid-murid Siauw-lim-pai, bahkan mengajak datang seorang gadis Mancu mengotori kuil kita. Mohon petunjuk, Supek. Apakah teecu bersikap dungu kalau teecu hendak membasmi manusia sesat dan keji itu dari permukaan bumi agar perbuatan-perbuatannya tidak menimbulkan mala petaka yang lebih hebat lagi? Tidak benarkah perbuatan teecu seperti itu?"

Terdengar suara halus itu keluar dari balik jenggot tanpa pergerakan bibir dan kini suara itu mengeluarkan nyanyian halus yang ternyata adalah ayat-ayat kitab suci dari Agama Buddha yang pernah pula dibaca Han Han:

"Si dungu dengan perbuatannya
mencipta diri sendiri
menjadi musuh banyak manusia
di mana pun dia melakukan kejahatan
yang menimbulkan banyak penderitaan.
Tidak benarlah perbuatan
yang menimbulkan duka nestapa
penyesalan, ratap tangis dan air mata.
Benarlah perbuatan
yang mendatangkan manfaat
kegembiraan dan kebahagiaan.”

Biarpun ucapan itu ditujukan kepada Ceng San Hwesio, namun secara aneh sekali meresap ke dalam sanubari Han Han dan pemuda ini merasa seolah-olah ucapan itu ditujukan kepada dirinya sehingga menimbulkan pertanyaan di hatinya apakah selama ini perbuatannya itu benar? Ia mengangapnya benar, akan tetapi melihat akibat-akibat yang ditimbulkan oleh perbuatannya, setelah mendengar ucapan kakek itu, ia menjadi ragu-ragu.

Betapa banyaknya kekacauan dan keributan timbul sebagai akibat perbuatan-perbuatannya itu! Siapakah yang untung, gembira dan bahagia oleh perbuatannya? Tidak ada? Siapa yang rugi! Yang jelas saja, Hoa-san-pai memusuhi nya karena dia telah membunuh beberapa orang anak muridnya, kini Siauw-lim-pai juga memusuhinya, belum lagi diingat Sin Lian yang begitu baik kepadanya kini menjadi sakit hati dan membencinya!






Dengan hati perih seperti ditusuk pedang dan perasaan penuh keharuan, Han Han lalu menjatuhkan diri berlutut dan menghadap ke arah kakek di atas dipan itu sambil berkata.

"Aduh, Locianpwe yang mulia……., boanpwe Sie Han merasa menyesal sekali atas segala kejahatan yang boanpwe lakukan…… mohon Locianpwe segera turun tangan menghukum……"

Lulu juga berlutut, bukan berlutut untuk menghormat kakek itu melainkan untuk merangkul pundak kakaknya dengan penuh kekhawatiran.

"Koko, mengapa begini? Kita tidak bersalah apa-apa, engkau tidak melakukan kejahatan. Mari kita pergi saja, Koko….., kalau mereka tidak sudi mendengarkan penjelasanmu, mari kita pergi saja !" Suara Lulu terdengar begitu menyedihkan dan sepasang mata yang lebar itu mengucurkan air mata.

"Diamlah, Lulu, diamlah……biarkan Kakakmu mendengarkan wejangan Locianpwe yang mulia ini, dan kau juga….. perlu mendengarkan, Lulu….." kata Han Han tanpa mengalihkan pandang matanya dari wajah kakek tua renta yang masih menunduk.

Sementara itu, tanpa mempedulikan kehadiran Han Han dan Lulu, Ceng San Hwesio berkata pula dengan suara penasaran,

"Mohon maaf, Supek. Kalau Supek menganggap bahwa keputusan teecu untuk membunuh pemuda jahat itu tidak benar, habis bagaimanakah teecu harus berbuat menurut pendapat Supek? Teecu mengambil keputuan berdasarkan pertimbangan yang masak dan adil. Pertama, bocah ini adalah murid Gak Liat dan mengingat betapa Gak Liat telah merusak hidup cucu murid teecu sendiri, Bi-kiam Bhok Khim maka berarti bahwa muridnya ini pun bukan manusia baik-baik……”

Tiba-tiba terdengar suara keras dan dinding tebal di sebelah kanan jebol dan berlubang besar, kemudian muncullah seorang wanita dari dalam lubang itu, seorang wanita yang memondong seorang anak laki-laki berusia kurang lebih enam tahun, dan keadaan wanita itu sungguh mengerikan. Pakaiannya hitam compang-camping, rambutnya panjang riap-riapan sampai ke pinggul, wajahnya yang masih jelas membayangkan kecantikan itu kotor dan menyeramkan sekali karena pandang matanya berkilat dan mulutnya tersenyum mengejek. Anak laki-laki itu tampan dan mukanya putih, juga memakai pakaian hitam yang tidak karuan bentuknya, kakinya telanjang dan rambutnyapun panjang.

"Hi-hi-hik! Biar gurunya jahat, muridnya mungkin baik. Biar gurunya baik, banyak sekali muridnya yang jahat. Kang-thouw-kwi adalah setan neraka jahanam, akan tetapi bocah ini tidak jahat. Sama sekali tidak…… dia berani menentang setan itu dahulu untuk menolongku."

Sementara itu, Ceng San Hwesio memandang wanita itu dengan mata terbelalak, dan setelah wanita itu mengeluarkan kata-kata tadi, barulah ketua Siauw-lim-pai ini agaknya dapat menekan kekagetannya dan berkata,

"Bhok Khim...! Kau…. kau…. dan anak itu…."

Wanita itu membalikkan tubuhnya menghadapi ketua Siauw-lim-pai yang masih berlutut, wajahnya berseri aneh ketika ia berkata,

"Hi-hi-hik, Sukong, engkau heran melihat anak ini? Dia ini anakku! Hi-hik, engkau ketua Siauw-lim-pai pun tidak tahu bahwa di dalam kamar penyiksa diri aku melahirkan anakku ini. Hi-hik! Selama ini Siauw-lim-pai tidak mampu membasmi Kang-thouw-kwi, biarlah aku sendiri yang akan membunuhnya." Sambil berkata demikian, tubuhnya membalik dan berkelebat cepat sekali pergi dari ruangan itu.

"Supek, apakah artinya itu? Mengapa Bhok Khim menjadi seperti itu….?” Ceng San Hwesio bertanya kepada supeknya.

Hwesio tua itu menarik napas panjang lalu terdengar suaranya,
"Kehendak Thian tak dapat diubah oleh siapapun juga. Dia telah mencuri belajar ilmu yang pinceng berikan kepada Siauw Lam, dan keadaan jiwanya yang tertekan membuat ia keliru mempelajari ilmu-ilmu itu. Dunia akan bertambah seorang tokoh yang akan membikin geger. Ceng San muridku, orang muda ini seorang yang menderita, sama halnya dengan Bhok Khim tadi. Betapun juga, pinceng tidak melihat dasar-dasar jahat. Menurut pinceng, sebaiknya membebaskan orang muda ini, akan tetapi karena engkau yang menjadi ketua Siauw-lim-pai, keputusannya terserah kepadamu. Nah, cukuplah pinceng bicara."

Ceng San Hwesio memberi hormat lalu bangkit berdiri, mukanya agak keruh ketika ia berkata,

"Mendengar perintah Supek, bagaimana teecu berani membantahnya? Biarlah sesuai dengan perintah supek, teecu akan membebaskan. Dia dan gadis Mancu itu untuk sekali ini. Akan tetapi, mengingat akan kematian para murid-murid, teecu tidak mungkin dapat membebaskan dia untuk seterusnya dan lain kali dalam lain kesempatan, tentu teecu akan memerintahkan untuk menangkap dan kalau perlu membunuh dia."

Setelah berkata demikian, kembali Ceng San Hwesio memberi hormat kepada supeknya, lalu membalikkan tubuh keluar dari kamar itu dengan wajah muram.

"Siancai……, siancai……, lahir dan batin memang selalu bertentangan, betapa mungkin disatukan? Siauw Lam, tahukah engkau, apa yang harus dilakukan manusia yang hidup di tengah antara dua kekuatan raksasa lahir dan batin?" Kakek itu bertanya tanpa menoleh

Hwesio pelayan yang bernama Siauw Lam Hwesio, masih duduk bersila. Dan kini terdengar suaranya yang pertama kali, suara yang kasar dan serak seperti kaleng diseret.

"Karena sifatnya bertentangan, menyatukannya berarti menghentikan hidup karena justeru keadaan hidup yang membuat keduanya bertentangan. Yang seyogianya dilakukan manusia adalah menyesuaikan dan menyelaraskan keduanya sehingga berimbang."

"Baik sekali pendapatmu, Siauw Lam. Eh, orang orang muda, engkau masih di sini? Apakah yang kau kehendaki?"

Han Han yang sejak tadi masih berlutut, lalu menjawab,
"Boanpwe yang banyak melakukan hal-hal yang menimbulkan malapetaka bagi orang lain, boanpwe merasa bingung sekali dan mohon petunjuk Locianpwe apa yang harus boanpwe lakukan selanjutnya dalam hidup yang penuh pertentangan ini."

Kini tubuh hwesio tua itu bergerak sedikit, mukanya diangkat menghadapi Han Han dan mata yang terpejam itu bergerak-gerak, terbuka sedikit, menyipit, akan tetapi kagetlah Han Han ketika dari balik garis mata itu menyambar keluar sinar mata yang lembut dan tenang sekali, setenang lautan yang luas.

Sejenak mereka saling pandang dan kalau sinar mata Han Han yang pada saat itu masih dikuasai kemarahan itu dapat di umpamakan api bernyala-nyala, maka.sinar mata kakek itu seperti air yang tenang dan dingin. Di dalam sinar mata Han Han terdapat pengaruh mujijat yang membawa isi pikirannya dengan tenaga batin yang luar biasa kuatnya sehingga kakek itu merasa betapa dia dipaksa oleh tenaga gaib untuk memberi petunjuk kepada orang muda itu. Kakek yang puluhan tahun lamanya mengasingkan diri dan bertapa ini, mengeluarkan suara halus penuh kekaguman.

"Siancai……patut dikasihai orang muda yang malang. Pinceng hanya dapat memberi dua nasihat kepadamu. Pertama ambillah pedang dan potonglah kaki kirimu. Dan ke dua, belajarlah mengalah terhadap siapapun juga. Nah, pergilah orang muda."

Han Han masih berlutut, mukanya pucat dan matanya terbelalak, hampir ia tidak percaya akan ucapan kakek itu. Tadinya ia amat terpesona dan terpengaruh oleh semua ucapan kakek itu, akan tetapi bagaimana kini kakek itu memberi nasihat seperti ini kepadanya? Disuruh membuntungi kakinya sendiri! Kalau disuruh belajar mengalah ia masih dapat menerimanya, akan tetapi disuruh membuntungi kaki sendiri?

"Eh, hwesio tua, kiranya engkau pun sarna saja, sama jahatnya dengan yang lain-lain! Apakah semua orang di sini sudah begitu palsu sehingga perlu menyembunyikan sifat jahat dan dengkinya di balik kepala gundul dan pakaian pendeta? Hanya orang gila yang menasihati orang disuruh membuntungi kakinya, dan hanya orang gila pula yang akan menuruti nasihat gila itu!"

Lulu membentak dan kini bangkit berdiri, menarik tangan kakaknya sehingga Han Han pun bangkit berdiri pula. Akan tetapi kakek yang dimakinya itu telah bersamadhi pula dan sama sekali tidak terpengaruh, wajah yang seperti tengkorak terbungkus kulit itu seperti telah mati. Hanya hwesio pelayan itu yang kini mengangkat muka dan tiba-tiba matanya terbuka sambil berkata.

"Nona, memang dunia ini seperti panggung orang-orang gila bermain komidi, gila oleh nafsu mereka sendiri. Harap kalian pergi dan jangan mengganggu kami."

Lulu menjadi makin marah. Ia kaget melihat sinar mata hwesio pelayan itu seperti dua bola api menyerangnya, akan tetapi gadis itu memiliki keberanian luar biasa kalau dia merasa benar.

"Memang penuh orang-orang gila dan kalian lebih gila daripada orang-orang gilla!” teriaknya. "Apa artinya hidup kalian ini? Apakah gunanya bertapa mengasingkan diri di sini? Apa untungnya bagi dunia? Apa manfaatnya bagi manusia lain? Paling-paling berguna dan bermanfaat bagi diri kalian sendiri. Phuhhh, berlagak suci dan……”

“Lulu, diam…..!"

Han Han terkejut sekali mendengar keberanian adiknya yang memaki-maki seorang hwesio tua yang dijadikan junjungan oleh para murid Siauw-lim-pai. Ia sudah menarik tangan adiknya diajak berlari keluar dari kamar itu.

Mereka berdua terus berlari keluar melalui ruangan belakang, ke ruangan tengah kemudian terus ke ruangan luar. Mereka melihat para hwesio Siauw-lim-pai, akan tetapi mereka semua seolah-olah tidak melihat dua orang muda yang berlari keluar itu. Yang membersihkan kuil tetap bekerja, yang membaca doa tidak menghentikan tugas mereka, Dan yang menjaga di luar pun seolah-olah tidak melihat mereka.

Han Han menggandeng tangan Lulu, berlari terus sampai jauh meninggalkan kuil dan setelah mereka memasuki sebuah hutan, barulah Han Han melepaskan tangan Lulu, kemudian ia duduk bersila dan mengatur pernapasan untuk memulihkan tenaganya dan menenangkan batinnya yang terguncang.

Akan tetapi, biarpun ia tidak menderita luka parah, tubuhnya terasa sakit-sakit, sungguhpun rasa nyeri di tubuhnya tidak seperti rasa perih dihatinya kalau ia terkenang akan ucapan-ucapan hwesio tua di datam kamar penyiksa diri yang seolah-olah membuka mata batinnya betapa sepak terjangnya selama ini mendekati perbuatan sesat, betapa mudahnya ia membunuhi orang-orang yang tidak berdosa, membunuhi orang-orang gagah murid-murid Hoa-san-pai dan Siauw-lim-pai. Hatinya merasa menyesal sekali dan pikirannya menjadi bingung.

**** 40 ****





Tidak ada komentar:

Posting Komentar