FB

FB


Ads

Minggu, 07 Desember 2014

Pendekar Super Sakti Jilid 038

Sutenya, Ceng To Hwesio yang bertugas menjaga kuil dan membantu pekerjaan suhengnya yang menjadi ketua, juga merupakan guru dan pelatih dari sebagian besar murid-murid Siauw-lim-pai, menarik napas panjang dan berkata.

"Baiklah, Suheng. Penjagaan akan diperkuat, dan pinceng akan mengutus murid-murid mengumpulkan tenaga. Akan tetapi, maaf, Suheng. Mengenai hal yang menyangkut permusuhan dengan fihak Hoa-san-pai ini, apakah tidak sebaiknya kalau kita bertanya nasihat kepada Supek?"

"Bagaimana kita dapat mengganggu Supek dengan urusan ini? Supek sudah bertahun-tahun bertapa dalam sebuah diantara kamar-kamar penyiksaan diri, tidak mau diganggu. Biarpun bagi kita urusan ini adalah urusan besar yang tidak hanya menyangkut nyawa murid-murid kita, juga menyangkut nama dan kehormatan Siauw-lim-pai, akan tetapi bagi Supek yang sudah mengasingkan diri dari dunia ramai, tidak melibatkan diri dengan urusan dunia, tentu merupakan hal yang tidak ada artinya sama sekali. Tidak, Sute, tidak semestinya kalau kita mengganggu Supek untuk urusan ini. Urusan mengenai Siauw-lim-pai menjadi tugas pinceng sebagai ketua dan tugas semua anak murid Siauw-lim'-pai."

"Terserah keputusan Suheng, pinceng hanya mentaati perintah,"

Jawab Ceng To Hwesio yang menjadi tegang hatinya karena maklum bahwa kalau suhengnya itu mengumumkan perang terhadap Hoa-san-pai, akan terjadi geger dan tentu akan mengambil korban yang banyak sekali di kedua fihak.

"Bagus, Sute. Dan engkau Sin Lian, engkau mengatakan bahwa menurut dugaanmu, kedua orang Gurumu itu terbunuh oleh seorang pemuda bernama Sie Han. Mungkinkah itu? Seorang pemuda dapat membunuh dua di antara tujuh orang Gurumu?"

"Teecu tidak ragu-ragu lagi, Sukong (Kakek Guru). Han Han…eh, Sie Han itu kini ternyata telah menjadi seorang pemuda yang pandai ilmu iblis!"

"Coba ceritakan keadaannya dan bagaimana engkau dapat mengenal dia?"

"Ketika masih kecil, Sie Han ini adalah seorang gelandangan, seorang pengemis yang terlantar. Kemudian Ayah yang menaruh kasihan, membawanya dan mengambilnya sebagai murid. akan tetapi hanya sebentar karena dia itu berkhianat, malah kemudian menjadi murid dan pelayan dari Kang-thouw-kwi Gak Liat....."

" Omitohud….!" Ceng San Hwesio berseru kaget. Nama tokoh datuk hitam ini selalu mengejutkan hati semua orang pandai. "Dia menjadi murid setan itu Akan tetapi…….andaikata benar menjadi muridnya. pinceng tetap masih meragukan apakah bocah itu mampu mengalahkan Liok Si Bhok dan Liong Ki Tek "

"Teecu tidak ragu-ragu lagi, Sukong. Ketika berusaha menghajar orang-orang Hoa-san-pai dan bergebrak dengan Han Han itu, dalam bentrokan tenaga teecu mendapat kenyataan bahwa tenaga sinkang bocah itu melampaui sinkang semua suhu."

"Omitohud………, mana mungkin…….?” Ceng San Hwesio kembali berseru.

"Teecu tidak membohong, Sukong. Ketika itu, teecu menyerangnya dan mengirim pukulan dengan pengerahan lweekang sekuatnya. Pukulan teecu itu adalah jurus Cam-liong-jiu (Pukulan Membunuh Naga) dan dia sama sekali tidak menangkis! Teecu yakin bahwa tujuh orang Suhu tidak akan dapat menerima pukulan itu dengan dada, akan tetapi Han Han menerima dengan dadanya dan akibatnya teecu sendiri yang terbanting roboh dan tangan teecu membengkak!"

"Hemmm……!" Ceng San Hwesio mengulur lengannya ke depan dan membuka tangan dengan telapak di atas. "Coba engkau menggunakan Cam-liong-jiu dengan kekuatan seperti yang kau gunakan memukul bocah itu, dengan mengukur kekuatan pukulanmu dapat kiranya sedikit banyak menilai kepandaiannya."

Lauw Sin Lian maklum akan maksud kakek gurunya Itu, maka ia lalu mengerahkan tenaga dan mengayun kepalan tangannya, memukul kearah telapak tangan kakek tua itu.

"Plakkk!!"

Sin Lian merasa betapa kulit tangannya panas dan tergetar, maka ia cepat menarik kembali tangannya.

"Omitohud , sukar dipercaya kalau bocah itu mampu menerima pukulanmu tadi dengan dadanya!" ketua Siauw-lim-pai berseru kaget.

"Memang dia luar biasa, Sukong."

“Kalau murid Hoa-san-pai semuda itu takkan mungkin memiliki sinkang yang cukup kuat untuk menerima pukulanmu tadi. Akan tetapi kalau dia murid Gak Liat yang menjadi kaki tangan penjajah, bagaimana dia dapat membantu Hoa-san-pai yang selama ini anti penjajah?"

"Siapa tahu Hoa-san-pai menyeleweng atau mungkin hanya Pek-eng-piauwkiok atau sebagian murid Hoa-san-pai saja yang bersekutu dengan kaki tangan penjajah. Urusan ini amat berbahaya, kalau Sukong mengijinkan, biarlah teecu pergi menyusul lima orang Suhu untuk diundang ke sini."

Ceng San Hwesio mengangguk.
"Memang, semua murid Siauw-lim-pai harus berkumpul. Terutama sekali para Gurumu yang tinggal lima orang itu….." Kakek gundul ini menarik napas duka teringat akan dua orang muridnya yang tewas. "Apakah engkau tahu di mana mereka itu kini merantau?"

“Teecu mendengar bahwa para Suhu merantau ke Telaga Barat, tentu masih berada di sana. Teecu akan menyusul mereka dan menyampaikan berita duka tentang kematian Liok-suhu dan Jit-suhu (Guru ke Enam dan ke Tujuh)."

"Baiklah, Lian-ji (Anak Lian), berangkatlah sekarang juga. Pinceng amat membutuhkan bantuan guru-gurumu."

Pada hari itu juga, berangkatlah Lauw Sin Lian pergi menyusul guru-gurunya untuk menyampaikan berita kematian dua orang gurunya dan undangan ketua Siauw-lim-pai, dan selain Sin Lian, berangkat pula murid-murid Siauw-lim-pai yang diutus oleh Ceng San Hwesio untuk mengundang tokoh-tokoh Siauw-lim-pai yang kebetulan melakukan perjalanan, atau yang memang tidak lagi bertempat tinggal di pusat ini.






Beberapa hari kemudian semenjak para murid Siauw-lim-pai pergi melakukan tugas masing-masing menghimpun tenaga yang diundang ke pusat, para hwesio penjaga pintu gerbang Siauw-lim-pai menyambut datangnya dua orang tamu dengan pandangan mata penuh kecurigaan.

Tamu ini bukan lain adalah Han Han dan Lulu. Seperti biasa, pemuda ini tenang-tenang saja menghampiri pintu gerbang, diikuti dari belakang oleh Lulu yang juga bersikap tenang. Dara ini makin cantik jelita saja, apalagi kini di punggungnya tampak sebatang pedang yang amat indah gagangnya, yaitu pedang pusaka Cheng-kong-kiam yang dirampasnya dari tangan Kong Seng-cu tokoh Hoa-san-pai.

Biarpun di luarnya kelihatan tenang, namun di sebelah dalam dada gadis ini terjadi ketegangan karena ia ingin sekali segera bertemu dengan Sin Lian untuk bertanya di mana adanya Lauw-pangcu, musuh besarnya.

Sembilan orang hwesio penjaga yang segera datang ke pintu gerbang itu mengangkat tangan sebagai tanda penghormatan dan seorang di antara mereka bertanya.

"Ji-wi (Tuan Berdua) hendak mencari siapakah?"

Dengan sikap tenang akan tetapi membalas penghormatan itu, berbeda dengan Lulu yang memandang ke kanan kiri penuh perhatian, Han Han lalu menjawab.

"Saya ingin bertemu dengan Nona Lauw Sin Lian, dan dengan ketua dari Siauw-lim-pai.”

Para hwesio penjaga itu saling pandang. Keadaan pemuda yang aneh Ini mencurigakan. Pakaian pemuda ini sederhana dan bersih, akan tetapi rambutnya dibiarkan riap-riapan begitu saja, sungguh mencurigakan, dan lebih-lebih sepasang-mata itu yang amat tajam mengerikan.

“Nona Lauw Sin Lian tidak berada disini, sedangkan keinginan Kongcu (TuanMuda) untuk berjumpa dengan Ketua, agaknya hal ini tidaklah mudah dilaksanakan. Hendaknya Kongcu berdua suka memberitahukan nama dan keperluan barulah kami akan menyampaikan keatasan apakah permohonan Kongcu menghadap dapat dikabulkan." ,

Han Han mengerutkan alisnya yang tebal, masih dapat menahan kesabarannya, akan tetapi Lulu yang mendengar bahwa Sin Lian yang dicarinya itu tidak berada di kuil itu, sudah kehilangan kesabarannya dan ia membentak.

"Wah-wah, seorang pendeta biarpun sudah menjadi ketua, masa lagaknya melebihi seorang raja saja? Orang mau berjumpa saja sukarnya setengah mati!"

Para hwesio penjaga itu memandang dengan muka tidak senang dan wakil pembicara mereka segera menjawab,

"Nona, kalau yang kau maksudkan raja penjajah, memang ketua kami jauh lebih tinggi dan terhormat! Ada perkumpulan ada pula peraturan, dan Siauw-lim-pai adalah perkumpulan besar yang memegang teguh peraturannya, siapa pun tidak berhak melanggarnya!"

"Waduh-waduh, galaknya! Eh, hwesio-gundul, apakah engkau ini ber-liamkeng (membaca doa) dan bersembahyang, memantang makanan berjiwa yang enak-enak, bertapa susah payah, hanya untuk belajar galak kepada orang lain? Kalau sikapmu masih galak dan tidak ramah-tamah terhadap orang, tidak baik budi, percuma saja dong rambutmu dibuang! Ternyata kepalamu menjadi bertambah panas!".,

Sikap dan omongan Lulu yang ugal-ugalan ini membuat para hwesio menjadi merah mukanya, akan tetapi karena kata-kata itu tepat menusuk hati dan merupakan sindiran bagi mereka, sejenak mereka tak mampu membantah. Kalau mereka menuruti nafsu kemarahan, hal ini hanya membuktikan betapa tepatnya ucapan gadis nakal itu, kalau tidak marah, hati yang tidak kuat!

"Heiii, dia inilah bocah setan itu! Dia yang membunuh saudara-saudara kita, dia yang membela orang-orang Hoa-san-pai!"

Tiba-tiba terdengar suara dua orang anggauta Siauw-lim-pai yang bukan lain adalah Liong Tik dan seorang sutenya, dua orang di antara sembilan murid Sauw-lim-pai yang tidak tewas ketika mengeroyok Han Han.

"Kepung, jangan sampat dia lari!"

Liong Tik yang marah sekali melihat musuh besarnya ini telah mengeluarkan senjatanya, sepasang tombak cagak dan para hwesio lainnya telah pula siap dengan senjata masing-masing. Dua orang hwesio sudah berlari masuk memberi laporan.

Han Han masih bersikap tenang, dan Lulu sudah berkata lagi,
"Wah, tidak hanya galak, malah agaknya para pendeta Siauw-lim-pai terkenal sebagai tukang mengeroyok orang. Apakah kalian masih belum kapok, hendak mengeroyok Kokoku?"

Han Han berdiri dengan kedua kaki terpentang, tegak dan matanya melirik ke kanan kiri ketika kini berdatangan belasan orang hwesio yang sudah mengurungnya. Ia tidak ingin berkelahi karena kedatangannya lni hendak menjelaskan persoalan yang timbul antara Hoa-san-pai dan Siauw-lim-pai.

"Bocah iblis, apakah engkau datang hendak mengacau Siauw-lim-pai?"

Liong Tik membentak, masih ragu-ragu untuk menyerang karena ia maklum akan kepandaian pemuda itu yang amat menggiriskan hati.

"Cu-wi sekalian harap sabar. Aku datang sama sekali bukan hendak mengacau, bukan pula hendak menimbulkan perkelahian. Aku datang untuk bicara dengan Nona Lauw Sin Lian, dan dengan ketua Siauw-lim-pai untuk menjelaskan persoalan yang baru-baru ini terjadi."

"Engkau sudah membunuh saudara-saudara kami, masih datang hendak bicara dengan ketua kami?"

Pertanyaan ini timbul dari hati yang terheran-heran. Alangkah beraninya pemuda ini! Ataukah karena sombongnya maka sengaja datang hendak menantang ketua Siauw-lim-pai?

Han Han tersenyum dingin.
"Kalau aku tidak datang memberi penjelasan, bagaimana urusan dapat dibereskan? Semua terjadi karena salah faham….."

"Jahanam! Sudah membunuh banyak orang, enak saja mengatakan bahwa semua terjadi karena salah faham! Saudara-saudara, mari kita basmi iblis ini!” Liong Tik berkata marah, akan tetapi sebelum mereka turun tangan, terdengar bentakan halus.

"Para murid Siauw-Lim-pai, minggirlah!"

Mendengar suara ini, para murid yang tadinya mengurung Han Han serentak minggir dan membentuk lingkaran kipas yang lebar. Han Han memandang mereka yang datang dan ternyata dari dalam kuil keluarlah lima orang hwesio yang usianya rata-rata sudah lima puluh tahun lebih.

Sikap mereka agung dan keren, dan seorang diantara mereka pincang kakinya sehingga jalannya dibantu sebatang tongkat. Pakaian mereka sederhana, namun menyaksikan gerak-gerik mereka yang tenang dan keren, dapat diduga bahwa mereka ini merupakan tokoh-tokoh penting dari Siauw-lim-pai.

Dan dugaan Han-Han ini memang benar karena lima orang hwesio itu adalah murid-murid kepala dari Ceng To Hwesio, sute dari ketua Siauw-lim-pai itu. Tingkat kepandaian lima orang hwesio ini sudan tinggi, bahkan tugas mengajar semua murid yang menjadi tugas Ceng To Hwesio, diwakili oleh lima orang ini. Biarpun tingkat mereka masih kalah sedikit kalau dibandingkan dengan tingkat Siauw-lim Chit-kiam, namun karena mereka terhitung adik-adik seperguruan Siauw-lim Chit-kiam, maka mereka merupakan tokoh-tokoh tingkat tiga di Siauw-tim-pai.

Han Han yang dapat mengenal orang-orang pandai segera rnengangkat kedua tangan depan dada dan berkata,

"Saya Sie Han dan adik saya Lulu mohon perkenan Losuhu sekalian agar dapat bertemu dan bicara dengan ketua Siauw-tim-pai dan dengan Nona Lauw Sin Lian."

Lima orang hwesio itu tadi sudah mendapat laporan bahwa yang datang ini adalah pemuda lihai yang membantu Hoa-san-pai dan yang telah membunuh tujuh orang anak murid Siauw-lim-pai, bahkan yang mungkin juga menjadi pembunuh dua orang suheng mereka, Liok Si Bhok dan Liong Ki Tek.

Kini, melihat betapa pemuda itu masih amat muda, mereka sudah terheran-heran sekali, apalagi menyaksikan sikap pemuda ini yang sopan santun, mereka menjadi ragu-ragu dan hampir tidak percaya bahwa seorang pemuda seperti ini dapat memiliki kepandaian yang tinggi.

Mereka segera membalas penghormatan Han Han karena biarpun tamu itu masih muda, adalah menjadi kewajiban para hwesio untuk bersikap hormat dan lemah lembut kepada siapa saja.

"Sicu hendak bertemu dengan murid kami Lauw Sin Lian?" berkata seorang diantara mereka yang mukanya kurus. "Sayang sekali, Nona Lauw sedang melakukan tugas keluar kota, tidak berada disini. Akan tetapi Supek kami, ketua Siauw-lim-pai, berada di dalam. Kalau Sicu berdua hendak menghadap Supek, silakan masuk."

Han Han mengangguk dan hatinya lega. Kiranya tokoh-tokoh Siauw-lim-pai adalah orang-orang gagah yang mudah diajak urusan, tidak seperti anak buahnya tadi yang bersikap kasar, sungguhpun ia dapat memaafkan kekasaran mereka kalau ia ingat bahwa dia telah membunuh tujuh orang saudara mereka.

Dengan langkah lebar dan tenang ia memasuki pintu gerbang didahui oleh lima orang hwesio itu, lulu menyentuh tangan Han-Han dari belakang sehingga pemuda itu menengok dan memandangnya. Gadis itu berbisik,

"Koko, aku merasa khawatir sekali. Jangan-jangan kita masuk perangkap mereka.”

“Nona, kami menjunjung tinggi kegagahan dan kebenaran, anti akan segala kejahatan dan kecurangan. Tidak perluk hawatir!" terdengar jawaban dari hwesio pincang bertongkat yang masih berjalan di depan, tanpa menengok.

Dapat mendengar bisikan Lulu yang begitu perlahan cukup membuktikan betapa tajam pendengaran para hwesio ini. Rombongan lima orang hwesio yang mengantar Han Han dan Lulu itu kini memasuki ruangan depan kuil besar yang menjadi pusat perkumpulan Siauw-lim-pai itu.

Bersih dan luas sekali ruangan itu dan dari situ tampak meja sembahyang di sebelah dalam yaitu di dalam ruangan sembahyang yang kelihatan tenang dan sunyi, yang mengebulkan asap tipis berbau harum dari mana terdengar lirih suara hwesio bernyanyi dan berdoa.

Adapun para hwesio lain yang menjadi anak buah dan bertugas menjaga hanya berkumpul di pekarangan depan tidak diperkenankan masuk karena kini dua orang tamu itu telah berada didalam tangan lima orang hwesio kepala ini

Dengan sikap tenang akan tetapi alis berkerut karena dapat menduga bahwa para hwesio Siauw-lim-pai ini menyambutnya dengan penuh kecurigaaan dan sikap bermusuhan, Han Han memasuki ruangan depan yang bersih itu, diikuti oleh Lulu yang sikapnya biasa saja bahkan gadis itu seperti biasa tidak dapat menahan rasa ingin tahunya dan menonton ke kanan kiri memandangi keadaan disitu.

"Sicu dan Nona, silahkan masuk ruangan disebelah, para pimpinan Siauw-tim-pai telah menanti di sana. Pinceng berlima hanya bertugas mengantar Ji-wi (Anda Berdua) sampai di luar pintu sidang pengadilan," berkata hwesio pengantar, sedangkan ernpat orang hwesio lainnya hanya berdiri dan rnengangkat tangan memberi hormat.

Han Han mengerutkan alisnya yang hitam dan hatinya merasa tidak enak mendengar bahwa ia dipersilakan masuk "ruangan sidang pengadilan" ini.

"Koko, jangan percaya kepada mereka ini!" kata Lulu. "Biar kita menanti disini saja dan suruh mereka panggil keluar Lauw Sin Lian dan ketua mereka!"

"Mengapa mesti takut? Kita adalah tamu dan tamu harus tunduk akan peraturan tuan rumah. Kalau mereka menghendaki dengan peyambutan besar-besaran, biarlah, Adikku. Mari kau ikut aku, tak usah takut”.

“Siapa takut?" Lulu menjebikan bibirnya. "Aku hanya berhati-hati, bukannya takut!"

Dengan langkah lebar dan dada terangkat, Han Han dan lulu memasuki pintu yang menembus ke ruangan samping yang sesungguhnya adalah ruangan terbesar karena ini adalah ruangan lian-bu-thia (belajar silat) yang luas sekali.

Begitu Han Han dan Lulu memasuki ruangan ini, tampak oleh mereka sepasukan hwesio muda berdiri berbaris di tengah ruangan. Mereka terdiri dari tiga belas orang, berdiri dengan sikap berbaris, bertangan kosong dan nampaknya kuat-kuat. Lengan baju mereka digulung sampai ke siku dan mereka berdiri dengan bhesi (kuda-kuda) yang amat kuat, yaitu kuda-kuda Ji-ma-she dengan kedua kaki terpentang dan lutut ditekuk, kedua kepalan tangan di kanan kiri lambung.

Tiga belas orang hwesio muda itu hanya berdiri dalam keadaan siap sambil memandang ke arah Han Han, tanpa mengeluarkan kata-kata, tanpa bergerak. Han Han tidak tahu harus berbuat apa karena barisan ini menghalang di jalan. Akan tetapi terdengarlah suara keren dari mulut seorang hwesio tua yang berdiri di sudut, hwesio tua yang bermata tajam dan suaranya nyaring

"Khong-jiu-tin (Barisan Tangan Kosong) Siauw-lim-pai merupakan ujian pertama bagi orang yang berani minta berjumpa dengan ketua Siauw-lim~pai!"

Mendengar ini, Lulu meloncat maju dan menudingkan telunjuknya yang kecil runcing kepada hwesio tua ini sambil memaki,

"Hwesio busuk Orang mau berjumpa dengan ketua Siauw-lim pai pakai diuji segala macam! Peraturan apakah ini? Hayo suruh minggat barisan yang tiada gunanya ini, dan panggil ketua mu kesini untuk bicara dengan Kokoku!"

Hwesio tua itu yang sesungguhnya adalah Ceng To Hwesio, mengerutkan keningnya dan matanya memandang marah.

"Nona, pernah ada jaman di mana wanita dilarang masuk ke kuil Siauw-lim-si dengan ancaman hukum mati. Pinceng akan senang sekali kalau peraturan itu kini masih berlaku. Sayang kini peraturan diperlunak dan kalau kalian tidak berani menghadapi ujian kami, lebih-baik pergi saja dari sini.”

"Eh, hwesio sombong, siapa yang tidak berani? Biar ditambah lima kali ini, aku tidak takut!"

Lulu sudah bergerak maju hendak menerjang barisan itu. Tiba-tiba tiga belas hwesio itu menggerakkan kaki dan menggeser kaki, kiri ke belakang mengubah kuda-kuda. Gerakan mereka itu mantap dan kuat juga amat rapi sehingga Han Han yang melihat ini cepat berkata.

"Lulu, mundurlah. Kalau memang begini peraturan Siauw-lim-pai, biar ku coba menghadapi tin (barisan) ini."

Lulu melangkah mundur dan mengomel,
"Hemmm. Hwesio-hwesio sial. Sekali ini agak baik nasib kalian sehingga tidak jadi mati ditanganku. Kakakku terlalu baik hati untuk membunuh kalian sehingga kalian hanya akan luka-luka ringan saja. Kalau aku yang maju sendiri…… hemmm, jangan tanya-tanya lagi tentang dosa!"

Biarpun sikapnya masih kekanak-kanakan namun Lulu sebetulnya adalah seorang yang cerdik dan dapat menyembunyikan kecerdikannya di balik sikap kekanak-kanakannya. Ia sudah mengenal watak kakaknya yang setiap kali berhadapan dengan lawan-lawan tangguh dalam sebuah pertandingan lalu timbul watak beringas dan kejam seolah-olah haus darah dan ia tahu pula bahwa fihak lawan tentu akan roboh tewas kalau bertemu dengan kakaknya yang luar biasa.

Dia tidak menghendaki kakaknya menjadi seorang kejam yang membunuhi manusia seperti membunuh semut saja, maka tadi ia sengaja berkata demikian untuk mengingatkan Han Han agar tidak membunuh lawan. Han Han mengerti akan sindiran Lulu maka ia berkata.

"Lulu, tewas atau luka dalam pertandingan adalah hal biasa. Yang penting, kalau sampai terjadi pertandingan, hal itu bukanlah kehendak kita, melainkan dikehendaki oleh para hwesio ini. Minggirlah !".

Lulu minggir dan Han Han lalu melangkah lebar menghampiri barisan yang sudah siap menyambutnya. Dengan sinar matanya, Han Han menyapu barisan itu dan diam-diam ia merasa amat kagum karena sikap dan kedudukan pasangan kuda-kuda tiga belas orang hwesio yang rata-rata berusia tiga puluh tahun itu amatlah kuat dan kokoh seperti batu karang. Dari pasangan kuda-kudanya saja dapat diketahui bahwa Siauw-lim-pai memiliki murid-murid yang baik-baik dan ilmu silat Siauw-lim-pai bukanlah omong kosong belaka.

"Majulah!"

Han Han berseru dan menerjang maju, kedua tangannya dengan jari-jari terbuka dilambaikan ke depan dari kanan kiri. Ia tidak ingin menyerang lebih dulu dan ingin sekali menyaksikan bagaimana kehebatan Khong-jiu-tin ini. Setelah belajar ilmu di Pulau Es, Han Han amat suka melihat ilmu silat dan ingin sekali meluaskan pengalamannya dengan menyaksikan ilmu-ilmu silat didunia kang-ouw.

"Sambut serangan!"

Tiba-tiba bentakan ini keluar dari tiga belas buah mulut secara serentak dan bergeraklah tiga belas orang hwesio itu menyerang Han Han. Gerakan mereka amat cepat dan langkah-langkah mereka teratur, pukulan-pukulan yang dilancarkan mantap dan kuat.

Han Han menggunakan ginkangnya, tubuhnya bagaikan tubuh seekor wallet saja ringannya dan dengan kecepatan yang mengagumkan ia telah mengelak dari setiap pukulan yang menyerangnya.

Akan tetapi betapapun cepat gerakannya, ia tidak dapat mengatasi kecepatan gerakan tiga belas orang sekaligus. Apalagi ketika tiga belas orang itu ternyata bukan sembarangan bergerak mengandalkan kepandaian perorangan, melainkan bergerak menurut ilmu barisan yang aneh dan hebat.

Ke manapun Han Han mengelak, di situ telah menanti pukulan tangan kosong lain hwesio yang disusul dengan pukulan-pukulan lain dari segala jurusan sehingga bagi Han Han seolah-olah tidak ada jalan keluar lagi.

Terpaksa pemuda ini menggunakan lengannya menangkis. Beberapa kali saja menangkis, terdengar seruan-seruan kesakitan daripara hwesio yang tertangkis lengannya, dan segera gerakan para hwesio itu berubah, kini tidak pernah mereka membiarkan lengan mereka tertangkis lagi! Tiap kali lengan mereka ditangkis, mereka sudah menarik kembali tangan mereka untuk disusul dengan lain pukulan dari lain jurusan oleh hwesio lain.

Han Han makin kagum. Sudah beberapa kali terdengar suara bak-bik-buk ketika beberapa buah pukulan para pengeroyoknya tak dapat ia elakkan dan terpaksa ia terima dengan tubuhnya yang sudah kebal. Ia maklum bahwa andaikata ia tidak memiliki sinkang yang jauh lebih tinggi sehingga ia dapat mengandalkan kekebalan tubuhnya yang dilindungi sinkang dan mengandalkan pula kecepatan gerakannya mengandalkan ginkang, kira-nya ia akan celaka di tangan tiga belas orang ini.

Kalau hanya mengandalkan ilmu silat, agaknya akan sukarlah menandingi barisan yang hebat ini. Ia mulai memperhatikan gerakan mereka dan mengertilah ia bahwa sesungguhnya Khong-jiu-tin yang terdiri dari pada tiga belas orang itu adalah dua macam barisan yang digabung menjadi satu.

Pertama barisan Pat-kwa-tin yang terdiri dari delapan orang, ke dua barisan Ngo-heng-tin yang terdiri dari lima orang. Kedua barisan itu kadang-kadang melakukan gerakan terpisah saling membantu, kadang-kadang membentuk lingkaran dengan Pat-kwa-tin di sebelah luar dan Ngo-heng-tin disebelah dalam.

Karena dalam hal ilmu silat Han Han memang belum dapat dikatakan mahir, menghadapi kedua barisan yang digabung merupakan Khong-jiu-tin yang mengandung jurus-jurus Ilmu Silat Lo-han-kun yang amat hebat dari Siauw-lim-pai ini, tentu saja Han Han tidak mampu melawannya dan terpaksa ia harus mengandalkan sinkangnya yang membuat tubuhnya kebal dan menerima belasan kali pukulan-pukulan keras sebelum ia sempat melihat jalannya barisan yang amat mengagumkan itu.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar