FB

FB


Ads

Rabu, 20 Mei 2020

Kisah Sepasang Rajawali Jilid 018c

“Kong-lopek, mau apa kau? Jangan mengganggu, aku sedang mencoba membuat ramuan obat seperti yang ditulis dalam kitab oleh mendiang suhu Cui-beng Koai-ong....”

“Aiiih.... kongcu! Jangan main-main dengan obat itu. Aku masih ingat, bukankah obat itu yang namanya obat perampas ingatan? Obat itu mengerikan sekali.... masa kongcu sendiri tidak ingat?”

Tentu saja Tek Hoat tidak mengerti dan tidak ingat apa-apa karena dia memang bukanlah Wan Keng In dan bahkan tidak pernah melihat orang yang kini dianggap gurunya, yaitu mendiang Cui-beng Koai-ong itu! Akan tetapi, pemuda yang amat cerdik ini tertawa dan berkata,

“Tentu saja aku ingat, Kong-lopek. Mengapa engkau begitu bodoh? Ingatanku tentu lebih kuat daripada ingatanmu!”

“Tentu saja.... tentu saja, kongcu. Karena itu, harap jangan kongcu main-main dengan ramuan racun obat ini....”

“Hemm, aku ingin mencoba kekuatan ingatanmu, Kong-lopek. Coba ceritakan, apa yang kau ingat dahulu sehingga kau menganggap obat ini begitu luar biasa dan menakutkan?”

Kakek yang ingatannya sudah tidak terlalu waras lagi itu menghela napas dan berkata sambil mengangguk-angguk kepalanya yang gundul dan memutar-mutar kedua matanya.

“Hebat sekali obat itu.... siapa yang bisa melupakan peristiwa yang terjadi di Pulau Neraka ketika itu? Bukankah engkau sendiri yang menerima obat buatan suhumu itu, kongcu? Bukankah obat itu telah memperlihatkan keampuhannya yang mujijat? Puteri Pendekar Siluman sendiri.... ah, dia sampai lupa daratan, hilang ingatannya karena kau beri minum obat beracun itu. Kemudian, lebih hebat lagi, murid Pendekar Siluman yang terkenal sebagai seorang wanita gagah perkasa dan kabarnya sudah kebal akan segala macam racun, bahkan dia telah menjadi murid susiokmu Bu-tek Siauw-jin dan oleh susiokmu telah diberi makan racun sehingga dia makin kebal racun, ternyata masih dikalahkan oleh suhumu! Nona yang kebal itupun menjadi korban dari obat perampas ingatan yang amat mujijat itu! Dan untuk itu, gurumu girang bukan main karena hal itu membuktikan bahwa dalam hal racun, gurumu lebih lihai daripada susiokmu.”

Mendengar ini, bukan main girangnya hati Tek Hoat. Kalau sampai puteri dan murid Pendekar Super Sakti dibuat tidak berdaya oleh ramuan obat beracun ini, tentu kelak akan berguna sekali baginya! Dia tertawa dan menepuk-nepuk pundak kakek gundul ini.

“Ha-ha-ha, kau ternyata masih dapat ingat semua itu, Kong-lopek! Justru karena khasiat obat itu, maka sekarang aku ingin sekali dapat membuat sendiri. Dahulu aku hanya menerima dari mendiang suhu, dan aku tidak pernah diajari membuat obat ini. Sekarang, catatan pembuatan obat itu ada di kitab ini, maka aku ingin mencoba membuatnya.”

Kong To Tek, kakek gundul bekas tokoh Pulau Neraka itu, menggeleng-geleng kepala, menarik napas panjang dan berkata,

“Terserah kepadamu, kong-cu. Akan tetapi aku merasa ngeri.... hemm, obat itu hebat sekali dan berbahaya....”

Dia lalu pergi meninggalkan pemuda yang disangkanya Wan Keng In majikan mudanya itu sambil menggeleng-geleng kepalanya. Tek Hoat tersenyum lebar dan melanjutkan pekerjaannya mempraktekkan pelajaran membuat obat perampas ingatan seperti yang dibacanya dari kitab peninggalan Cui-beng Koai-ong ini.

Ini bukanlah sembarang obat! Selain membutuhkan ramuan bahan-bahan obat yang sukar dicari dan hanya bisa didapatkannya dengan bantuan Kong To Tek, juga harus dicampuri dengan rambut dan kuku orang mati yang hanya bisa didapatkannya dengan menggali kuburan!

Selain itu, apabila hendak mempergunakannya, mencampurkannya dalam makanan atau minuman orang yang hendak dirampas ingatannya, ada pula mantramnya yang harus dibaca. Ternyata bahwa obat perampas ingatan ini bukanlah racun biasa, melainkan racun yang mengandung kekuatan mujijat dari ilmu hitam!

Sampai hampir sebulan lamanya dia mempersiapkan ramuan obat perampas ingatan itu dan akhirnya dia berhasil. Dengan wajah berseri-seri dia memandang bubukan berwarna putih yang berada di depannya.

“Terima kasih Cui-beng Koai-ong,” bisiknya sambil menengadah. “Aku telah mewarisi sebuah lagi daripada ilmu-ilmu yang kau tinggalkan!”

Kemudian pemuda itu termenung. Obat mujijat itu telah dibuatnya sesuai dengan yang ditulis dalam kitab. Akan tetapi bagaimana cara membuktikannya bahwa buatannya itu memang telah benar? Bagaimana cara membuktikannya bahwa obat perampas ingatan buatannya itu akan ampuh kalau dipergunakan? Jalan satu-satunya harus dicobakan kepada seseorang! Akan tetapi kepada siapa? Berkelebatnya bayangan Kong To Tek di luar guha membuat dia tersenyum. Siapa lagi yang akan dicobanya untuk membuktikan kemanjuran obat itu kalau bukan Kong To Tek!

Sambil tersenyum-senyum dia lalu membungkus dua macam obat itu, yang putih adalah obat perampas ingatan dan yang merah adalah obat penawarnya, dan membawa dua bungkusan itu ke dalam guha.

Obat merah dia campur dengan arak dan diminumnya sendiri, sedangkan yang putih dia masukkan ke dalam guci arak dimana masih ada sisa arak. Selama tinggal di dalam guha, Kong To Tek yang mencarikan segala keperluan mereka, termasuk arak wangi.

“Kong-lopek....!”

Kemudian dia memanggil sambil menanti di depan guha, guci arak dan dua cawan kosong di tangannya. Tak lama kemudian muncullah kakek gundul itu, pringas-pringis seperti biasanya.

“Kau perlu apakah, kongcu?”

“Kong-lopek aku telah berhasil membuat obat perampas ingatan itu!”

Tek Hoat berkata sambil tersenyum girang. Akan tetapi Kong To Tek mengerutkan alisnya dan mendengus.

“Uhhh, obat mengerikan seperti itu, untuk apakah kongcu?”






Tek Hoat tertawa.
“Ha-ha-ha, aku sudah dapat membuat rahasia peninggalan suhu, bukankah itu menggirangkan sekali? Kong-lopek, kita harus rayakan ini! Hayo temani aku minum arak untuk merayakan hasil baik ini!”

Dia menuangkan arak dari guci ke dalam dua cawan kosong dan ternyata sisa arak itu hanya tepat dua cawan saja, lalu menyerahkan yang secawan kepada Kong To Tek. Tentu saja kakek ini menerima dengan girang tanpa curiga karena selain dia percaya penuh kepada orang yang dianggapnya Wan Keng In putera ketuanya itu, juga dia melihat bahwa pemuda itu juga minum dari cawan ke dua yang diisi dari guci yang sama.

“Terima kasih, lopek. Sekarang pergilah beristirahat, aku sendiri sudah lelah sekali.”

Kakek gundul itu mengangguk-angguk dan diam-diam Tek Hoat memperhatikan gerak-geriknya. Melihat betapa kakek itu berulangkali menguap tanda mengantuk, dia girang sekali. Cocok dengan tulisan dalam kitab.

Orang yang terkena racun itu tentu akan merasa mengantuk sekali dan setelah orang itu tertidur, maka terjadilah perubahan pada ingatannya, racun itu bekerja dan kalau orang itu bangun, dia tidak akan ingat hal-hal yang telah lalu sama sekali!

Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Tek Hoat sudah bangun dan menghampiri Kong To Tek yang masih tidur di bagian luar guha besar itu. Kakek gundul itu tidur mendengkur dengan keras sekali, tanda bahwa tidurnya amat pulas. Akan tetapi Tek Hoat sudah tidak sabar lagi, mengguncang-guncang pundak kakek itu.

“Lopek! Kong-lopek, bangunlah....!”

“Hemmm.... ahhhh.... masih mengantuk.... ehhh, siapa kau....?”

Kakek gundul itu membuka matanya, menggosok-gosok kedua matanya dan memandang ke kanan kiri, lalu memandang lagi kepada Tek Hoat, kemudian meloncat bangun dengan kaget dan heran.

“Dimana aku....? Siapa kau ini orang muda....? Ah, mengapa aku bisa berada disini?”

Kakek itu kelihatan seperti orang bingung dan Tek Hoat tersenyum girang sekali. Sikap kakek itu saja jelas membuktikan bahwa obat perampas ingatan itu benar-benar amat manjur dan hebat!

“Lopek, apakah benar-benar engkau tidak ingat apa-apa lagi?”

“Orang muda, siapakah engkau? Dan aku.... hemm.... siapa pula aku dan dimana tempat ini? Mengapa aku tidur di guha?”

Kini Tek Hoat tidak ragu-ragu lagi, akan tetapi untuk lebih yakin, dia sengaja menguji.
“Lopek, masa engkau lupa akan namanya sendiri? Namamu adalah.... Ang Tek Hoat, masa engkau lupa?”

Kakek itu menggaruk-garuk kepalanya yang gundul.
“Ang Tek Hoat....? Hemm, terdengar asing akan tetapi mungkin itulah namaku. Ya, benar, namaku Ang Tek Hoat, dan engkau siapa, orang muda?”

Tek Hoat menahan ketawanya.
“Aku? Namaku Kong To Tek!”

“Kong To Tek? Nama itu tidak asing bagiku. Hemm, kalau begitu tentu engkau sudah kukenal lama, Kong To Tek.”

Tek Hoat tertawa.
“Tentu saja, lopek! Kita adalah sahabat-sahabat lama!”

Sehari itu, Tek Hoat memperhatikan gerak-gerik Kong To Tek yang hanya duduk di depan guha sambil termenung, agaknya bingung dan wajahnya membayangkan keraguan hebat. Ternyata kakek ini sama sekali tidak ingat akan masa lalu, dan yang diketahuinya hanyalah bahwa dia bernama Ang Tek Hoat dan pemuda itu bernama Kong To Tek! Dia seolah-olah seorang yang sama sekali baru!

Setelah kini merasa yakin akan kemanjuran ramuan perampas ingatan itu, pada malam harinya, ketika mereka berdua makan, Tek Hoat mencampurkan obat penawar racun itu ke dalam minuman Kong To Tek. Seperti malam kemarin, kakek itu sehabis makan dan minum obat penawar, tertidur dengan nyenyaknya.

Ketika pada keesokan harinya mereka terbangun, Tek Hoat ingin menggoda Kong To Tek dan dia akan memberitahu bahwa kakek itu telah dijadikan kelinci percobaan dengan hasil baik sekali.

“Eh, lopek Ang Tek Hoat, kau baru bangun?” Tegurnya menggoda.

Akan tetapi, segera Tek Hoat meloncat bangun dan memandang tajam. Sikap kakek itu aneh sekali, lain dari biasanya. Matanya tidak bergerak liar lagi, bahkan mata itu kini memandang kepadanya penuh selidik dan suaranya terdengar penuh wibawa,

“Orang muda, siapa engkau? Namaku bukan Ang Tek Hoat, melainkan Kong To Tek, tokoh Pulau Neraka! Siapa kau berani memasuki guha rahasia yang menjadi tempat persembunyianku ini?”

Tentu saja Tek Hoat kaget setengah mati. Dia meloncat keluar dan kini mereka saling berhadapan di bawah sinar matahari pagi, di depan guha besar itu.

“Kong-lopek, jangan main-main. Bukankah engkau sudah mengenalku? Aku adalah Wan Keng In....”

“Bohong....!” Tiba-tiba Kong To Tek membentak marah sekali. “Biarpun wajahmu mirip sekali dengan Wan-kongcu, akan tetapi engkau sama sekali bukan Wan Keng In! Engkau jauh lebih muda, dan kalau dia masih hidup, tentu dia patut menjadi ayahmu. Orang muda, jangan kau main-main dengan aku! Siapa kau? Hayo mengaku, dan mau apa engkau berada disini?” Tiba-tiba wajah kakek itu menjadi pucat sekali. “Kau...., sudah lamakah berada disini?”

“Aihhh, Kong-lopek, aku adalah Wan Keng In pewaris pusaka suhu Cui-beng Koai-ong dan Bu-tek Siauw-jin....”

“Pedang itu....!” Kong To Tek menuding ke arah pedang Cui-beng kiam yang berada di punggung Tek Hoat. “Kembalikan! Pedang itu milikku, dan juga kitab-kitab pusaka.... dimana kitab-kitab itu? Kau sudah mengambilnya pula? Keparat, hayo kembalikan!”

Dia menubruk maju hendak merampas pedang, akan tetapi sebuah tendangan kaki dari samping membuat dia terjengkang.

“Aihhhh....! Kau melawan? Kau berani kepada Kong To Tek tokoh Pulau Neraka? Bocah, kau sudah bosan hidup!”

Tek Hoat menjadi terheran-heran dan bingung. Mengapa terjadi perubahan yang hebat pada diri kakek itu? Akhirnya dia dapat menduga sebabnya. Mungkin karena racun perampas ingatan itu. Setelah minum obat penawarnya, agaknya pikiran atau ingatan kakek itu malah sembuh sama sekali, pulih seperti dahulu ketika belum gila sehingga kakek itu teringat akan segala-galanya! Celaka, pikir Tek Hoat, kalau begini berbahaya sekali. Orang ini harus dibunuhnya!

“Bocah keparat, pencuri pusaka! Kau harus mampus!” Dan kakek gundul itu sudah menerjang dengan terkaman seperti seekor singa kelaparan.

“Engkaulah yang akan mampus, Kong To Tek!” Tek Hoat miringkan tubuh ke kiri dan dari kiri tangan kanannya menampar ke depan.

“Wuuuuttt.... dessss....!”

“Aihhh....!”

Kong To Tek berteriak, karena sakit dan kaget melihat betapa pemuda yang dipandangnya rendah itu ternyata lihai sekali sehingga dua kali dia terjengkang. Tenaga sin-kang yang menyambar dari tangan pemuda itu membuka kedua matanya sehingga dia tahu bahwa pemuda ini memiliki ilmu kepandaian hebat.

“Bagus! Kiranya engkau seorang penjahat cilik!”

Dia memaki dan kini Kong To Tek mulai mengerahkan tenaga dari pusarnya. Kepandaian kakek ini memang hebat. Dahulu dia merupakan tokoh ke dua sesudah ketua di Pulau Neraka, dan ilmunya yang paling diandalkan adalah sin-kang dari perut yang membuat perutnya mengeluarkan bunyi seperti katak tertimpa hujan, dan kalau dia sudah mengerahkan tenaga sin-kangnya ini, dari mulutnya menyambar uap beracun pula! Apalagi setelah dia mempelajari kitab-kitab Cui-beng Koai-ong dari gambar-gambarnya, latihan itu membuat dia makin kuat dan lihai!

“Wuuuusssshh....!”

Mulutnya menyemburkan uap putih ke arah muka Tek Hoat, tubuhnya merendah seperti berjongkok dan kedua kakinya bergerak aneh ke depan sambil berjongkok, kemudian tiba-tiba kedua lengannya bergerak melakukan serangan dari bawah dengan hebat dan hawa pukulan menyambar-nyambar dengan dahsyatnya ke arah Tek Hoat.

Kalau saja Tek Hoat belum melatih diri dengan ilmu-ilmu dari dalam kedua kitab peninggalan dua orang datuk Pulau Neraka itu selama hampir dua tahun ini, kiranya dengan ilmu yang dipelajarinya dari Sai-cu Lo-mo saja dia tidak akan mampu menandingi tokoh gundul dari Pulau Neraka ini.

Akan tetapi selama hampir dua tahun ini, di dalam guha itu Tek Hoat telah mempelajari ilmu-ilmu kesaktian yang amat hebat sehingga ilmu kepandaiannya menjadi hebat sekali, sama sekali tidak dapat dipersamakan dengan dua tahun yang lalu. Namun, karena dia belum pernah mencoba ilmu-ilmu barunya, melihat serangan kakek gundul itu, dia terkejut bukan main dan cepat dia meloncat ke belakang untuk menghindarkan diri.

“Haiiiiittt....!”

Kong To Tek meloncat dari kedudukannya berjongkok tadi, tubuhnya meloncat ke atas dan kedua lengannya bergerak-gerak, yang kiri mencengkeram ke arah ubun-ubun kepala sedang yang kanan menonjok ke arah ulu hati Tek Hoat!

Namun kini Tek Hoat sudah siap sedia. Melihat datangnya serangan yang amat dahsyat itu, dia berlaku cepat, mengangkat tangan kanan menangkis ke atas sambil mengerahkan tenaga sin-kang, sedangkan tangan kirinya dengan jari tangan terbuka mendorong ke depan, menerima pukulan tangan kanan lawan.

“Plak! Dessss....!”

Untuk ketiga kalinya tubuh Kong To Tek terdorong dan terjengkang! Kakek itu mendengus keras dan meloncat bangun lagi. Ternyata ujung mulutnya mengucurkan darah, tanda bahwa benturan tenaga dalam tadi sedemikian hebatnya sehingga dia mengalami luka di dalam tubuhnya!

Melihat hasil tangkisannya, besarlah hati Tek Hoat. Kini dia menghadapi terjangan lawan dengan pandang mata mengejek dan sama sekali tidak merasa jerih lagi karena dia telah memperoleh kepercayaan tebal kepada kepandaian sendiri.

Ketika kakek itu menerjang dan menyerangnya bertubi-tubi, sambil tersenyum mengejek dia mengelak dan menangkis, kadang-kadang balas memukul. Setiap kali dia membalas, kakek gundul itu pasti terdorong oleh pukulannya yang biarpun tidak mengenai tubuh lawan, namun hawa pukulannya amatlah hebatnya, tidak kuat kakek itu menahannya.

“Kong To Tek, sekali ini terpaksa aku harus membunuhmu!” bentak Tek Hoat dan tiba-tiba tampak sinar berkilauan ketika dia telah mencabut Cui-beng-kiam!

Melihat pedang ini, Kong To Tek kelihatan gentar, akan tetapi juga marah. Sambil menerjang maju, dia membentak,

“Kembalikan Cui-beng-kiam kepadaku!”

Terjangannya dahsyat sekali karena dia menggunakan jurus-jurus dari Ilmu Silat Liong-jiauw-pok-cu (Cakar Naga Menyambar Manusia). Kedua tangannya membentuk cakar dan bergerak-gerak mencengkeram untuk merampas pedang sedangkan dari perutnya terdengar bunyi berkokokan tanda bahwa dia mengerahkan sin-kangnya yang amat kuat, mulutnya mengeluarkan uap putih.

Melihat terjangan ini, Tek Hoat bergerak ke kanan kiri cepat sekali sehingga tubuhnya seolah-olah berubah menjadi banyak, dan dari kanan kiri menyambarlah gulungan sinar pedang Cui-beng-kiam yang ampuh.

“Singgggg.... crak! Crokk!”

Terdengar suara pekik melengking dan Kong To Tek roboh terguling, kedua lengannya buntung sebatas siku terbabat pedang Cui-beng-kim yang ampuh!

Melihat tubuh itu berkelojotan dan bergulingan di atas tanah, Tek Hoat tersenyum untuk menekan perasaan hatinya yang menyesal. Kakek itu telah melakukan banyak kebaikan kepadanya!

“Hemmm, terpaksa aku membunuhmu, Kong-lopek. Hidupmu berbahaya bagiku setelah pulih kembali ingatanmu!”

Sambil meringis menahan rasa nyeri yang amat hebat, Kong To Tek bertanya,
“Orang muda.... siapakah engkau....?”

“Namaku Ang Tek Hoat. Dengan kebetulan saja aku bertemu denganmu, lopek. Kau menyangka aku bernama Wan Keng In dan engkau menyerahkan pusaka para datuk Pulau Neraka kepadaku. Tentu saja aku tidak dapat menolak datangnya keuntungan ini, dan sekarang pulih pula ingatanmu, maka kau berbahaya bagiku.”

“Aughhhh.... kau.... kau.... memang mirip sekali dengan Wan-kongcu...., ahhh, agaknya roh Wan Keng In memasuki dirimu.... agaknya Wan-kongcu muncul kembali untuk dapat membalas musuh-musuhnya....”

“Siapa sih orang yang bernama Wan Keng In itu?” Tek Hoat bertanya, ingin juga dia mengetahui siapa orang yang katanya mirip dengan dia itu.

“Dia...., dia bekas majikanku.... dia kongcu dari Pulau Neraka putera ketua Pulau Neraka....”

Tek Hoat mengangguk-angguk kagum.
“Dan siapa itu musuh-musuhnya?”

“Musuhnya adalah.... Gak Bun Beng.... dan.... dan To-cu Pulau Es....”

Tek Hoat merasa terkejut bukan main mendengar disebutnya dua nama itu! Gak Bun Beng juga musuh besarnya! Dan.... To-cu Pulau Es!

“Apakah kau maksudkan Pendekar Super Sakti dari Pulau Es?”

“Benar.... dia.... dia lihai....”

“Dan Gak Bun Beng, penjahat itu sudah dibunuh mati oleh ibuku!” kata pula Tek Hoat.

Kong To Tek membelalakkan matanya. Darah bercucuran dari kedua lengan yang buntung itu. Mukanya pucat karena banyak kehilangan darah. Keadaannya sungguh mengerikan dan tubuhnya sudah mulai lemah. Namun agaknya dia terkejut mendengar pengakuan Tek Hoat itu dan dia bertanya.

“Siapa.... siapa ibumu....?”

Biarpun Tek Hoat tidak suka menceritakan keadaan keluarganya, namun melihat bahwa kakek ini tidak akan hidup lebih lama lagi, dia mengaku,

“Ibuku.... hem, ibuku seorang pendekar wanita puteri dari ketua Bu-tong-pai. Ayahku bernama Ang Thian Pa dan ibuku bernama Siok Bi....”

Tek Hoat menghentikan kata-katanya ketika melihat Kong To Tek bangkit duduk dan matanya terbelalak memandangnya. Lengan tangan yang hanya tinggal sepotong itu bergerak ke atas dan seolah-olah menuding sehingga Tek Hoat merasa ngeri juga.

“Kau.... kau.... kau anak Siok Bi....? Ahhh.... ah tidak salah lagi.... kau.... kau puteranya.... auhh!” Tubuh itu terguling.

“Apa katamu? Kong-lopek, apa maksudmu?” Tek Hoat mengguncang-guncang tubuh itu, akan tetapi Kong To Tek telah menjadi mayat.

Tek Hoat bangkit berdiri, termenung. Apa yang dimaksudkan oleh kakek ini tadi? Agaknya kakek ini mengenal ibunya! Dan dia puteranya? Putera siapa? Sayang kakek itu sudah mati. Ah, mengapa dia memusingkan hal itu? Mungkin hanya igauan orang dalam sekarat. Jelas dari penuturan ibunya bahwa ayahnya bernama Ang Thian Pa dan bahwa ayahnya terbunuh oleh Gak Bun Beng, akan tetapi musuh besar itu telah dibunuh ibunya pula.

Pada hari itu juga, Tek Hoat meninggalkan mayat Kong To Tek dan guha dimana selama dua tahun dia melatih diri. Dia membawa Cui-beng-kiam dan dua buah kitab yang isinya telah dipelajarinya akan tetapi belum semua sempat dilatihnya karena memang amatlah sukar melatih ilmu-ilmu yang terdapat dalam kitab itu.

Dia akan pulang ke Lembah Huang-ho, ke Bukit Angsa dimana tinggal ibunya yang tentu sudah merindukannya. Dia akan menuturkan pertemuannya dengan Kong To Tek itu kepada ibunya dan barangkali ibunya akan dapat mengerti tentang sikap aneh kakek gundul itu sebelum mati.

**** 018c ****





Tidak ada komentar:

Posting Komentar