Karena adanya halangan yang hampir merupakan malapetaka dan yang menimpa diri Raja Bhutan, maka dengan alasan bahwa negaranya masih terancam bahaya dan puterinya masih terlalu muda, Raja Bhutan menyuruh rombongan kaisar pulang dengan surat permohonan kepada kaisar agar pernikahan puterinya itu diundur sampai dua tahun lagi!
Hal ini dilakukan Raja Bhutan yang mendengarkan kata-kata penasehatnya di istana. Pada waktu itu, ketahyulan masih amat kuatnya menguasai hati semua orang, bahkan keluarga kerajaan sendiri tidak terlolos dari pengaruh tahyul dan tradisi. Segala sesuatu dilakukan berdasarkan “perhitungan” bulan bintang, dan segala peristiwa dianggap sebagai “tanda-tanda” untuk menentukan sesuatu dimasa depan.
Karena itu, pernikahan puteri raja tentu saja dilakukan atas dasar “perhitungan” para “ahli nujum” pula. Maka peristiwa yang hampir mencelakakan raja diperhitungkan dengan pernikahan puteri, dihitung pula hari kelahiran Puteri Syanti Dewi, kemudian diputuskan bahwa selama dua tahun mendatang merupakan hari-hari buruk bagi Raja Bhutan, maka tidak dibenarkan kalau mengawinkan puteri itu sebelum lewat dua tahun!
Kaisar menerima surat permohonan itu dan dapat menyetujuinya setelah dia mendengar akan peristiwa yang terjadi di Bhutan. Kaisar sendiri tidak terluput dari kepercayaan itu, apalagi setelah para ahli nujumnya sendiri juga memperhitungkan bahwa memang kedatangan Puteri Bhutan dalam waktu dekat akan menimbulkan bahaya bagi kerajaan sendiri! Demikianlah, maka acara memboyong Puteri Syanti Dewi dari Bhutan itu diundur sampai dua tahun!
Terjadi perubahan besar dalam kehidupan Lu Ceng, atau Ceng Ceng. Semenjak pertemuannya dengan Puteri Syanti Dewi, dia diminta tinggal di dalam istana dan tentu saja dia dihormat pula oleh semua penghuni istana karena dia sekarang telah menjadi seorang puteri! Dia adalah adik angkat Puteri Syanti Dewi, maka dengan sendirinya diapunn menjadi seorang puteri istana! Bahkan Raja Bhutan telah menganugerahinya dengan nama baru, nama seorang puteri, yaitu Candra Dewi!
Biarpun dia telah dianggap seorang puteri istana, sikap Ceng Ceng masih biasa saja, bahkan diapun hanya mau mengenakan pakaian puteri kalau ada upacara resmi saja. Untuk sehari-hari, dia tetap mengenakan pakaian yang ringkas seperti biasa, dan rambutnya yang panjang, dikuncir seperti kebiasaan gadis-gadis dusun!
Setiap hari dia menemani Sang Puteri Syanti Dewi yang suka sekali mempelajari ilmu silat sehingga mereka berdua berlatih bersama. Dari adik angkatnya ini sang puteri memperoleh banyak petunjuk karena memang tingkat kepandaian Ceng Ceng jauh lebih tinggi daripada dia.
Waktu berjalan dengan amat cepatnya. Apalagi bagi Ceng Ceng yang selalu hidup gembira bersama Puteri Syanti Dewi dan para puteri lain di istana. Setiap hari, kalau tidak berlatih silat tentu berlatih tari-tarian, bernyanyi, bersenang-senang atau membaca kitab-kitab kuno berisi dongeng-dongeng indah. Dua tahun tak terasa telah lewat dan pada suatu hari, datanglah rombongan utusan kaisar yang sekali ini benar-benar hendak memboyong Sang Puteri Syanti Dewi!
Tidak ada lagi alasan bagi Raja Bhutan untuk menolak. Selama dua tahun ini, kaisar telah mengirim banyak bantuan, baik berupa pasukan maupun perlengkapan untuk mengusir para gerombolan pemberontak sehingga Kerajaan Bhutan tidak begitu dirongrong lagi oleh mereka.
Pesta besar diadakan untuk menyambut rombongan ini dan sekali ini, kembali rombongan itu dipimpin oleh Tan-ciangkun (Perwira Tan), yaitu Tan Siong Khi yang gagah perkasa dan memiliki jenggot panjang yang indah bentuknya!
Untuk menghormati para utusan kaisar, juga sekaligus merayakan hari diboyongnya Puteri Syanti Dewi yang sudah berusia delapan belas tahun, dan juga pesta perpisahan dengan sang puteri, maka malam hari itu selain diadakan pesta makan minum, juga diadakan pesta tari-tarian tradisionil dari para penari Bhutan.
Dalam pesta ini, Sang Puteri Syanti Dewi keluar pula, duduk di atas sebuah kursi. yang khusus disediakan untuk keluarga raja. Tentu saja Ceng Ceng tidak mau ketinggalan dan dia menemani puteri yang telah menjadi kakak angkatnya itu.
Akan tetapi, karena sekali ini dia akan bertemu dengan orang-orang dari kerajaan suku bangsanya sendiri, dia tidak mau mengenakan pakaian puteri Bhutan, dan hanya mengenakan pakaian biasa biarpun masih baru. Ceng Ceng atau Candra Dewi itu berdiri di dekat kursi Puteri Syanti Dewi sambil menonton pertunjukan tari-tarian.
Melihat wajah para utusan yang gagah perkasa, terutama sekali si jenggot panjang yang kini tampak makin gagah biarpun sudah makin tua, Ceng Ceng ingin sekali menyaksikan kepandaian mereka. Dia masih teringat betapa dahulu, dua tahun yang lalu, dia pernah mengadu kuncirnya dengan jenggot panjang itu dan merasa betapa rambutnya terjambak seperti akan copot rasanya! Dan dia mendengar dari kakeknya bahwa si jenggot itu ternyata adalah seorang pengawal pribadi kaisar yang amat lihai! Kini, melihat mereka dan terutama sekali si jenggot panjang, timbul keinginan di hati Ceng Ceng.
“Kak Syanti....” dia berbisik.
Syanti Dewi menengok.
“Ada apakah, Candra?”
Dengan suara berbisik-bisik Ceng Ceng lalu mengajukan usulnya, yaitu agar sang puteri minta kepada ayahnya untuk membujuk para utusan yang gagah perkasa itu agar menghibur dan meramaikan pesta dengan pertunjukan ilmu silat mereka yang terkenal tinggi!
Syanti Dewi memang suka sekali akan ilmu silat, maka mendengar usul adik angkatnya ini, dia cepat mengajukan permintaannya kepada raja. Sebetulnya raja merasa agak enggan juga mengajukan permintaan agar para tamu memperlihatkan kelihaian mereka, akan tetapi karena tidak tega menolak keinginan puterinya yang akan pergi meninggalkannya itu, terpaksa dia menyuruh pengawalnya menghubungi Tan-ciangkun untuk menyampaikan permintaannya.
Tan Siong Khi bermata tajam. Dia melihat ketika Ceng Ceng tadi berbisik kepada Syanti Dewi. Pengawal kaisar ini tentu saja masih ingat kepada nona yang disangkanya pengacau itu dan yang kini dia dengar telah menjadi adik angkat puteri yang akan diboyongnya ke Tiongkok.
Maka diam-diam dia agak memperhatikan dan melihat ketika Ceng Ceng tadi berbisik kepada sang puteri kemudian sang puteri bicara dengan Raja Bhutan. Setelah Raja Bhutan mengutus pengawal menghubunginya dan menyampaikan permintaan raja, tahulah Tan-ciangkun bahwa permintaan itu adalah gara-gara si gadis yang lihai dan bengal itu. Dia tersenyum dan mengangguk-angguk, lalu berunding dengan para temannya, yaitu para perwira yang memiliki kepandaian tinggi.
Tak lama kemudian suasana pesta menjadi makin meriah seorang demi seorang, majulah para Perwira Mancu Kerajaan Ceng untuk memperlihatkan kepandaian mereka bermain silat. Bermacam-macam senjata telah mereka pergunakan, dan rata-rata ilmu kepandaian mereka memang amat tinggi bagi para Perwira Bhutan sehingga tepuk tangan penuh kagum menyambut setiap permainan silat.
Hal ini dilakukan Raja Bhutan yang mendengarkan kata-kata penasehatnya di istana. Pada waktu itu, ketahyulan masih amat kuatnya menguasai hati semua orang, bahkan keluarga kerajaan sendiri tidak terlolos dari pengaruh tahyul dan tradisi. Segala sesuatu dilakukan berdasarkan “perhitungan” bulan bintang, dan segala peristiwa dianggap sebagai “tanda-tanda” untuk menentukan sesuatu dimasa depan.
Karena itu, pernikahan puteri raja tentu saja dilakukan atas dasar “perhitungan” para “ahli nujum” pula. Maka peristiwa yang hampir mencelakakan raja diperhitungkan dengan pernikahan puteri, dihitung pula hari kelahiran Puteri Syanti Dewi, kemudian diputuskan bahwa selama dua tahun mendatang merupakan hari-hari buruk bagi Raja Bhutan, maka tidak dibenarkan kalau mengawinkan puteri itu sebelum lewat dua tahun!
Kaisar menerima surat permohonan itu dan dapat menyetujuinya setelah dia mendengar akan peristiwa yang terjadi di Bhutan. Kaisar sendiri tidak terluput dari kepercayaan itu, apalagi setelah para ahli nujumnya sendiri juga memperhitungkan bahwa memang kedatangan Puteri Bhutan dalam waktu dekat akan menimbulkan bahaya bagi kerajaan sendiri! Demikianlah, maka acara memboyong Puteri Syanti Dewi dari Bhutan itu diundur sampai dua tahun!
Terjadi perubahan besar dalam kehidupan Lu Ceng, atau Ceng Ceng. Semenjak pertemuannya dengan Puteri Syanti Dewi, dia diminta tinggal di dalam istana dan tentu saja dia dihormat pula oleh semua penghuni istana karena dia sekarang telah menjadi seorang puteri! Dia adalah adik angkat Puteri Syanti Dewi, maka dengan sendirinya diapunn menjadi seorang puteri istana! Bahkan Raja Bhutan telah menganugerahinya dengan nama baru, nama seorang puteri, yaitu Candra Dewi!
Biarpun dia telah dianggap seorang puteri istana, sikap Ceng Ceng masih biasa saja, bahkan diapun hanya mau mengenakan pakaian puteri kalau ada upacara resmi saja. Untuk sehari-hari, dia tetap mengenakan pakaian yang ringkas seperti biasa, dan rambutnya yang panjang, dikuncir seperti kebiasaan gadis-gadis dusun!
Setiap hari dia menemani Sang Puteri Syanti Dewi yang suka sekali mempelajari ilmu silat sehingga mereka berdua berlatih bersama. Dari adik angkatnya ini sang puteri memperoleh banyak petunjuk karena memang tingkat kepandaian Ceng Ceng jauh lebih tinggi daripada dia.
Waktu berjalan dengan amat cepatnya. Apalagi bagi Ceng Ceng yang selalu hidup gembira bersama Puteri Syanti Dewi dan para puteri lain di istana. Setiap hari, kalau tidak berlatih silat tentu berlatih tari-tarian, bernyanyi, bersenang-senang atau membaca kitab-kitab kuno berisi dongeng-dongeng indah. Dua tahun tak terasa telah lewat dan pada suatu hari, datanglah rombongan utusan kaisar yang sekali ini benar-benar hendak memboyong Sang Puteri Syanti Dewi!
Tidak ada lagi alasan bagi Raja Bhutan untuk menolak. Selama dua tahun ini, kaisar telah mengirim banyak bantuan, baik berupa pasukan maupun perlengkapan untuk mengusir para gerombolan pemberontak sehingga Kerajaan Bhutan tidak begitu dirongrong lagi oleh mereka.
Pesta besar diadakan untuk menyambut rombongan ini dan sekali ini, kembali rombongan itu dipimpin oleh Tan-ciangkun (Perwira Tan), yaitu Tan Siong Khi yang gagah perkasa dan memiliki jenggot panjang yang indah bentuknya!
Untuk menghormati para utusan kaisar, juga sekaligus merayakan hari diboyongnya Puteri Syanti Dewi yang sudah berusia delapan belas tahun, dan juga pesta perpisahan dengan sang puteri, maka malam hari itu selain diadakan pesta makan minum, juga diadakan pesta tari-tarian tradisionil dari para penari Bhutan.
Dalam pesta ini, Sang Puteri Syanti Dewi keluar pula, duduk di atas sebuah kursi. yang khusus disediakan untuk keluarga raja. Tentu saja Ceng Ceng tidak mau ketinggalan dan dia menemani puteri yang telah menjadi kakak angkatnya itu.
Akan tetapi, karena sekali ini dia akan bertemu dengan orang-orang dari kerajaan suku bangsanya sendiri, dia tidak mau mengenakan pakaian puteri Bhutan, dan hanya mengenakan pakaian biasa biarpun masih baru. Ceng Ceng atau Candra Dewi itu berdiri di dekat kursi Puteri Syanti Dewi sambil menonton pertunjukan tari-tarian.
Melihat wajah para utusan yang gagah perkasa, terutama sekali si jenggot panjang yang kini tampak makin gagah biarpun sudah makin tua, Ceng Ceng ingin sekali menyaksikan kepandaian mereka. Dia masih teringat betapa dahulu, dua tahun yang lalu, dia pernah mengadu kuncirnya dengan jenggot panjang itu dan merasa betapa rambutnya terjambak seperti akan copot rasanya! Dan dia mendengar dari kakeknya bahwa si jenggot itu ternyata adalah seorang pengawal pribadi kaisar yang amat lihai! Kini, melihat mereka dan terutama sekali si jenggot panjang, timbul keinginan di hati Ceng Ceng.
“Kak Syanti....” dia berbisik.
Syanti Dewi menengok.
“Ada apakah, Candra?”
Dengan suara berbisik-bisik Ceng Ceng lalu mengajukan usulnya, yaitu agar sang puteri minta kepada ayahnya untuk membujuk para utusan yang gagah perkasa itu agar menghibur dan meramaikan pesta dengan pertunjukan ilmu silat mereka yang terkenal tinggi!
Syanti Dewi memang suka sekali akan ilmu silat, maka mendengar usul adik angkatnya ini, dia cepat mengajukan permintaannya kepada raja. Sebetulnya raja merasa agak enggan juga mengajukan permintaan agar para tamu memperlihatkan kelihaian mereka, akan tetapi karena tidak tega menolak keinginan puterinya yang akan pergi meninggalkannya itu, terpaksa dia menyuruh pengawalnya menghubungi Tan-ciangkun untuk menyampaikan permintaannya.
Tan Siong Khi bermata tajam. Dia melihat ketika Ceng Ceng tadi berbisik kepada Syanti Dewi. Pengawal kaisar ini tentu saja masih ingat kepada nona yang disangkanya pengacau itu dan yang kini dia dengar telah menjadi adik angkat puteri yang akan diboyongnya ke Tiongkok.
Maka diam-diam dia agak memperhatikan dan melihat ketika Ceng Ceng tadi berbisik kepada sang puteri kemudian sang puteri bicara dengan Raja Bhutan. Setelah Raja Bhutan mengutus pengawal menghubunginya dan menyampaikan permintaan raja, tahulah Tan-ciangkun bahwa permintaan itu adalah gara-gara si gadis yang lihai dan bengal itu. Dia tersenyum dan mengangguk-angguk, lalu berunding dengan para temannya, yaitu para perwira yang memiliki kepandaian tinggi.
Tak lama kemudian suasana pesta menjadi makin meriah seorang demi seorang, majulah para Perwira Mancu Kerajaan Ceng untuk memperlihatkan kepandaian mereka bermain silat. Bermacam-macam senjata telah mereka pergunakan, dan rata-rata ilmu kepandaian mereka memang amat tinggi bagi para Perwira Bhutan sehingga tepuk tangan penuh kagum menyambut setiap permainan silat.
Kemudian, sebagai orang terakhir, tiba giliran Tan-ciangkun sendiri. Pengawal kaisar yang lihai dan biarpun berpakaian biasa namun sesungguhnya dialah yang memimpin rombongan utusan itu, maju dengan kedua tangan kosong. Setelah dia memberi hormat dengan bertekuk lutut ke arah Raja Bhutan dan keluarganya, dia meloncat bangun, menggulung kedua lengan bajunya sehingga naik ke bawah siku. Kemudian dia mengangkat kedua tangan memberi hormat berkeliling, dan berkata dengan suara lantang,
“Maafkan kami yang telah berani memperlihatkan kepandaian yang dangkal, karena kami hanya memenuhi perintah sri baginda untuk ikut meramaikan pesta ini. Kami tahu bahwa di Bhutan terdapat banyak sekali orang pandai yang jauh melampaui tingkat kami. Saya sendiri tidak memiliki kepandaian apa-apa dan saya merasa agak sayang juga terpaksa harus menghentikan minum anggur Bhutan yang demikian lezatnya! Karena itu, saya harap cu-wi maafkan kalau saya hendak melanjutkan minum anggur yang lezat itu.” Setelah berkata demikian, kakek berjenggot panjang ini menggerakkan kepalanya.
“Wirrrr....!”
Jenggotnya yang panjang itu menyambar ke depan, ke arah guci anggur yang tadi dihadapinya dan tiba-tiba anggur itu melayang ke atas, dilibat ujung jenggot yang panjang! Guci itu diputar-putar di udara dan dipermainkan oleh jenggot panjang itu, kemudian, ujung jenggot melibat guci dan membawa guci itu menukik ke bawah sehingga anggur yang berada di dalam guci dan masih tinggal seperempat itu tertumpah ke bawah.
Kakek ini membuka mulutnya dan anggur itu persis memasuki mulutnya sehingga kelihatannya dia minum anggur dari guci dengan dilayani oleh jenggotnya! Bukan main hebatnya demonstrasi ini dan semua orang bertepuk tangan memuji!
Ceng Ceng sendiri diam-diam juga merasa kagum karena biarpun memainkan guci dengan ujung rambut merupakan hal yang tidak begitu sukar, namun jenggot yang dapat tegak “memegang” guci yang cukup berat itu membuktikan sin-kang yang amat kuat!
Kini guci anggur itu sudah habis isinya, hanya tinggal menetes-netes memasuki mulut Tan-ciangkun, sedangkan lengan kanan yang tangannya terkepal itu menggigil, menandakan bahwa kakek itu mengerahkan tenaga sin-kang yang kuat untuk membuat jenggotnya tegak kaku menahan guci, kemudian di bawah tepuk sorak memuji, kakek ini memainkan guci kosong dengan jenggotnya.
Guci dilontarkan ke atas, tinggi sampai hampir menyentuh langit-langit, kemudian ketika meluncur turun diterimanya lagi dengan ujung jenggot dan diputar-putar sampai kelihatannya menjadi banyak saking cepatnya.
Setelah Tan Siong Khi mengakhiri permainannya, semua orang bertepuk tangan memuji. Baru jenggotnya saja sudah demikian kuat dan ampuh, apalagi kaki tangannya! Tan-ciangkun menjura ke sekeliling, kemudian memberi hormat kepada Raja Bhutan dan terdengar suaranya lantang,
“Terima kasih hamba haturkan atas pujian sri baginda, padahal permainan hamba tidak ada artinya, apalagi kalau dibandingkan dengan kepandaian tokoh-tokoh Bhutan yang lihai. Sekarang hamba mohon agar paduka sudi memberi kesempatan kepada tokoh-tokoh Bhutan untuk memperlihatkan kepandaian untuk memeriahkan pesta ini.”
Raja Bhutan mengangguk-angguk dan menoleh ke kanan kiri. Dia tahu bahwa para pengawalnya juga rata-rata memiliki ilmu kepandaian yang tinggi. Akan tetapi tiba-tiba Tan-ciangkun berkata lagi,
“Hamba tahu bahwa nona yang menjadi adik angkat sang puteri memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali!”
Memang sengaja Tan-ciangkun berkata demikian untuk menyatakan kemendongkolan hatinya. Kalau tidak gara-gara nona muda itu yang mengusulkan, tentu dia dan kawan-kawannya tidak harus memamerkan kepandaian seperti serombongan tukang jual obat atau penari silat di pasar-pasar!
Mendengar ini, Raja Bhutan cepat menengok ke arah Ceng Ceng sambil tersenyum lebar dan berkata,
“Aih, sampai lupa aku! Candra Dewi, kau majulah dan perlihatkan kepandaianmu!”
Ceng Ceng terkejut sekali, tidak mengira bahwa dia diperintah raja untuk bersilat! Tentu saja dia tidak berani membantah dan dia sudah berlutut menyembah sambil mengeluarkan kata-kata kesanggupan dengan lirih, matanya melirik gemas kepada Tan-ciangkun yang hanya tersenyum.
Kemudian dara itu melompat ke tengah ruangan, mencabut keluar sepasang pisau belati yang sebelumnya merupakan hui-to (golok terbang), yaitu senjata rahasia yang disambitkan, dan mulailah dia bersilat dengan sepasang belati itu.
Gerakannya indah sekali, cepat dan bertenaga sehingga para penonton menjadi kagum karena kelihatannya dara itu sedang menari-nari dengan indahnya, namun gulungan-gulungan kecil dari sinar putih yang seperti selendang kecil digerak-gerakkan itu mengandung cakar maut yang dapat membunuh lawan!
Tepuk sorak bergemuruh menyambut dengan kagum ketika Ceng Ceng sudah merubah permainannya, tepuk sorak yang disertai suara ketawa di sana-sini karena selain lucu juga luar biasa sekali permainan yang kini dilakukan oleh Ceng Ceng. Apa yang terjadi? Dara ini telah menggunakan kuncirnya yang sudah dibagi dua untuk bermain silat!
Sepasang kuncirnya itu seolah-olah telah berubah menjadi dua ekor ular hitam yang hidup dan ujung kedua kuncir membelit hui-to kemudian dia bergerak-gerak dengan cepat, menggoyang kepalanya sehingga sepasang kuncir itu memainkan sepasang hui-to itu seperti tadi Tan-ciangkun untuk mengejeknya!
Setelah Ceng Ceng mengakhiri permainannya, tentu saja dia disambut dengan tepuk sorak gemuruh, juga Tan-ciangkun ikut bertepuk tangan sambil tersenyum karena diapun ikut bangga. Betapapun juga, dara itu dia tahu bukanlah Bangsa Bhutan, melainkan bangsanya sendiri dan ilmu silat yang dimainkan oleh Ceng Ceng itu adalah ilmu silat dari pedalaman.
Dia sudah mendengar bahwa dara yang cantik jelita itu adalah cucu dari kakek Lu Kiong yang dahulu pernah memegang pekerjaan seperti dia, yaitu pernah menjadi pengawal kaisar puluhan tahun yang lalu.
Setelah beberapa orang perwira dan pengawal Raja Bhutan juga memperlihatkan ilmu kepandaian masing-masing, pesta itu berakhir sampai jauh malam, bahkan sudah lewat tengah malam. Semua orang pergi ke kamar masing-masing untuk beristirahat. Ceng Ceng mengawal kakak angkatnya masuk ke kamar pula. Semenjak menjadi adik angkat Syanti Dewi, Ceng Ceng tidur sekamar dengan puteri itu.
Menjelang pagi, Ceng Ceng terbangun oleh suara tangis. Dia bangkit duduk, menggosok-gosok matanya dan mencoba untuk melihat di dalam kamar yang telah digelapkan itu. Kiranya yang menangis adalah Syanti Dewi!
“Eh, suci Syanti.... kau.... kenapakah....?”
Ceng Ceng cepat meloncat turun dan menyalakan lilin di atas meja. Dilihatnya puteri itu menelungkup sambil menangis terisak-isak.
“Enci Syanti, mengapa kau menangis?”
Kembali Ceng Ceng bertanya sambil duduk di pembaringan puteri itu dan mengusap pundaknya.
Puteri itu menengok, lalu bangkit berdiri merangkul Ceng Ceng sambil menangis makin sedih.
“Adikku.... aihhh.... adikku Candra....!”
Ceng Ceng membiarkan puteri itu menangis di pundaknya sampai agak mereda, kemudian dia berkata,
“Kakakku yang baik, beginikah sikap seorang gagah? Biarpun kita wanita, namun kita menjunjung kegagahan dan tangis merupakan hal yang dipantang, kecuali kalau ada persoalan yang tak terpecahkan dan amat hebat. Apakah yang telah terjadi? Kalau ada persoalan, bicarakanlah denganku, dan marilah kita pecahkan bersama. Tidak ada di dunia ini persoalan yang tidak akan dapat kita pecahkan berdua, bukan?”
Putri itu menghapus air matanya dan memandang adik angkatnya. Tangisnya sudah mereda dan melihat wajah adiknya menimbulkan kepercayaan dan hiburan besar baginya. Dia menghela nafas panjang berkali-kali sebelum bicara, kemudian sambil memegang tangan adik angkatnya dia berkata,
“Candra, hati siapa tidak akan menjadi kecewa, penasaran dan duka? Tadi aku mendengar dari seorang pelayanku yang memang kusuruh melakukan penyelidikan diantara rombongan utusan, dan aku mendengar berita yang sangat mengecewakan sebelum tidur tadi.”
“Berita apakah?”
“Berita keterangan tentang Pangeran Liong Khi Ong....”
“Aihhh, tentang calon suamimu?” Ceng Ceng menahan ketawanya. “Bukankah berita itu menggembirakan?”
“Siapa bilang menggembirakan? Ternyata dia adalah seorang laki-laki yang usianya sudah lima puluh tahun.... hu-huuukkk....” Putri itu menangis lagi.
Ceng Ceng merangkul dan menghiburnya.
“Lima puluh tahun belum tua bagi seorang laki-laki, apalagi kalau dia seorang pangeran,” dara ini mencoba menghibur sebisanya.
“Tapi.... tapi.... dia mempunyai banyak selir....” kembali puteri itu terisak.
“Aihh, enci Syanti, apa anehnya tentang itu? Dia seorang pangeran, tentu saja banyak selirnya. Akan tetapi engkau akan menjadi isterinya, mengepalai semua selirnya.”
“Tapi.... tapi.... aku tidak suka, Candra. Aku merasa seolah olah berangkat mati saja.... kehilangan kebebasanku.... menjadi budak belian!”
“Ihhhh....! Mengapa kau berkata begitu, enci Syanti?” Ceng Ceng berseru kaget.
“Mengapa tidak? Apa bedanya aku dengan budak belian? Aku dibeli, dibeli dengan kedudukan dan nama, aku kehilangan kebebasan, harus menurut menjadi isteri siapa saja! Aku.... aku ingin menjadi isteri orang yang kupilih sendiri, adik Candra....!” Kembali puteri itu menjatuhkan diri menelungkup, memeluk bantal dan menangis.
Ceng Ceng duduk termenung. Dia dapat menyelami perasaan kakak angkatnya dan tak dapat membantah kebenaran kata-katanya. Memang kaum wanita sama dengan budak belian. Diharuskan menjadi isteri siapa saja, menjadi isteri seorang pria yang belum pernah dilihatnya. Apa bedanya dengan budak belian? Hanya diberi pakaian indah dan penghormatan, namun pada hakekatnya, nasib mereka dalam hal perjodohan tiada bedanya dengan budak belian! Diam-dian hatinya memberontak pula.
“Enci Syanti, kalau begitu, mengapa tidak engkau tolak saja?”
Puteri itu terkejut sekali, lalu bangkit duduk. Dia memandang adiknya, menarik napas panjang dan menggelengkan kepalanya.
“Dahulu, dua tahun yang lalu, aku sama sekali tidak pernah memikirkan ini. Kuterima saja perintah ayah karena memang biasanya demikian, seorang puteri dikawinkan dan aku boleh disebut beruntung menjadi calon isteri seorang pangeran putera kaisar yang besar! Akan tetapi, setelah pernikahan diundur dua tahun, selama ini timbul penasaran di dalam hatiku mengapa aku harus menikah, mengikatkan hidupku selamanya, dengan seorang yang sama sekali belum pernah kulihat? Aku masih menghibur diri dengan anggapan bahwa seorang pangeran putera kaisar tentulah seorang pria yang gagah perkasa, tampan, muda dan pendeknya memenuhi impianku tentang seorang kekasih. Siapa tahu.... berita itu.... dia sudah tua dan banyak selirnya.... hu-hu-huuukkk....”
Ceng Ceng menggaruk-garuk belakang telinganya, bingung.
“Kalau begitu, bagaimana baiknya, enci Syanti? Kau tolak saja sekarang, bagaimana?”
“Ahhh, kau tidak tahu, adikku. Kalau aku menolak, tentu ayah akan memaksaku karena hal itu selain akan mencemarkan nama keluarga Kerajaan Bhutan, juga berbahaya sekali, dapat menyeret negara ke dalam perang.”
“Ohhh....!” Ceng Ceng terkejut sekali. “Habis, bagaimana baiknya? Kalau begitu, mari kita.... melarikan diri saja. Malam ini juga, biar aku menemanimu, enci....”
Mau tidak mau puteri itu tersenyum masam mendengar ajakan ini. Ajakan yang ugal-ugalan. Mana mungkin puteri raja minggat? Selain percuma karena tentu akan dapat ditangkap, juga amat memalukan.
“Tidak bisa, adikku, tidak mungkin itu.”
“Habis bagaimana? Apakah kau akan menerima nasib begitu saja?”
“Apa boleh buat. Aku harus menerima nasib, akan tetapi hatiku tentu akan terhibur sekali kalau kau suka menemaniku ke Kerajaan Ceng di timur sana.”
“Tentu saja aku mau! Aku malah ingin sekali kesana! Baik, aku akan menemanimu.”
“Akan tetapi, apakah kakekmu akan memperkenankan?”
“Dia harus menyetujui!” Ceng Ceng berkata cemberut. “Aku berasal dari timur sana sudah sepatutnya kalau dia mengajakku kembali kesana. Sekarang ada kesempatan baik. Aku ikut denganmu, enci Syanti!”
Demikianlah, keputusan diambil malam itu juga dan pada keesokan harinya, sang puteri memberitahukan ayahandanya bahwa Candra Dewi akan ikut bersamanya ke timur. Raja Bhutan tak dapat menolak dan kakek Lu Kiong segera diberitahu tentang hal itu. Kakek ini terkejut, akan tetapi diapun tidak berani menghalangi kehendak sang puteri, bahkan diam-diam dia harus mengakui bahwa sudah sepatutnya kalau dia membiarkan cucunya itu kembali ke timur.
Akan tetapi karena dia mengkhawatirkan keselamatan cucunya, dia lalu menyatakan hendak ikut mengawal rombongan sang puteri. Tentu saja keputusan kakeknya ini menggirangkan hati Ceng Ceng, karena betapun juga dia merasa kasihan dan tidak tega kalau harus meninggalkan kakeknya yang sudah tua itu sendirian di Negara Bhutan.
Persiapan untuk keberangkatan Puteri Syanti Dewi dilakukan dan keadaan di istana sibuk sekali. Besok pagi-pagi rombongan yang memboyong puteri itu akan berangkat, pasukan istimewa yang khusus sebanyak lima ratus orang akan mengawal rombongan sampai di perbatasan, dimana pasukan Kerajaan Ceng akan menyambut dan mengoper tugas pengawalan.
Barang-barang berharga milik sang puteri dikumpulkan sampai berpeti-peti banyaknya. Ceng Ceng sendiri memperoleh kesempatan untuk pulang ke rumah kakek, membantu kakeknya yang juga berkemas dan dibantu oleh murid-murid kakeknya. Wajah para murid itu kelihatan murung, karena mereka tahu bahwa sekali ini, gurunya pergi untuk tidak kembali lagi ke Bhutan karena gurunya sudah amat tua.
Sementara itu, tanpa disangka-sangka, di pintu penjagaan benteng, yaitu di pintu gerbang besar, terjadi keributan. Seorang laki-laki berusia empat puluh tahun lebih, berpakaian sederhana dan berkuncir panjang, bertangan kosong, sedang ribut mulut dengan para penjaga. Dari pakaiannya mudah dikenal bahwa orang ini datang dari timur, seorang bangsa Han. Karena di kota raja Bhutan sedang ada kesibukan, maka tentu saja para penjaga itu menghadang orang yang tidak dikenal ini sambil menghardik,
“Siapakah engkau dan ada keperluan apa hendak memasuki kota raja?”
Laki-laki itu mengerutkan alisnya.
“Hemm, begitukah sikap para penjaga kota raja di Bhutan? Seorang penduduk sinipun tidak akan mengalami gangguan, apalagi seorang pendatang dari luar yang dapat disebut seorang tamu! Aku datang sebagai tamu, sebagai utusan dan aku ingin menghadap sri baginda!”
Akan tetapi, kepala penjaga tertawa mengejek. Orang itu pakaiannya biasa, sama sekali bukan pakaian orang berpangkat atau seorang perwira, tentu saja dianggap menggelikan dan membohong ketika mengaku sebagai tamu dan utusan, dan bahkan menimbulkan kecurigaan. Orang begini hendak menghadap raja! Tentu berniat tidak baik, pikir kepala penjaga itu.
“Jangan main gila kau!” bentaknya. “Kau kira mudah saja menghadap sri baginda! Hayo cepat pergi, keluar dari tempat ini atau terpaksa akan kami tangkap sebagai mata-mata musuh!”
Orang itu memandang tajam dan tersenyum.
“Kepala penjaga, jangan membuka mulut besar dan sembarangan. Lebih baik kau laporkan kepada atasanmu, kepada Panglima Jayin bahwa ada seorang tamu datang hendak bertemu! Kalau masih belum cukup meyakinkan, katakan bahwa yang datang membawa bunga suci!”
Ucapan ini, apalagi kalimat terakhir, membuat kepala penjaga menjadi makin marah. Dia melangkah maju dan mendorong dada orang itu sambil berkata,
“Engkau masih banyak membantah? Pergilah!”
Akan tetapi, kepala penjaga itu kaget sekali karena dia seperti mendorong sebuah gunung karang saja! Orang itu sama sekali tidak bergerak, maka dengan marah dia lalu memukul dada laki-laki berbaju hitam itu.
“Dukkk!”
Bukan tubuh orang itu yang roboh terkena pukulan keras, sebaliknya kepala penjaga itu berteriak dan roboh terpelanting seperti dibanting saja!
“Kau berani melawan?”
Dua orang penjaga menyerang dengan tombak mereka dari depan dan belakang. Namun dengan gerakan gesit sekali, laki-laki berbaju hitam itu mengelak, kedua tangannya bergerak menyambar tombak, tangan kiri menangkap tombak dari depan, tangan kanan menangkap tombak dari belakang dan sekali dia mengangkat, dua orang penjaga itu terangkat ke atas seolah-olah hanya seperti daun saja ringannya!
Tentu saja mereka terkejut dan berteriak, akan tetapi tubuh mereka segera melayang ke depan dan jatuh terbanting cukup keras, membuat mereka hanya dapat bangkit duduk dengan kepala pening dan mata berkunang!
Para penjaga yang lain datang dan segera menyerang laki-laki yang lihai itu sehingga terjadilah pertandingan keroyokan di depan pintu gerbang. Laki-laki itu menghadapi mereka dengan tenang, hanya menggunakan kaki tangannya untuk menangkis dan merobohkan para pengeroyok tanpa melakukan pembunuhan. Beberapa orang penjaga sudah lari untuk melapor kepada Panglima Jayin.
“Tahan senjata, mundur semua!”
Tiba-tiba terdengar suara Panglima Jayin yang sudah cepat datang ke tempat itu. Para penjaga mundur dan saling membantu karena mereka sudah menderita cidera tangan. Panglima Jayin melangkah maju, berhadapan dengan laki-laki itu. Orang itu segera menjura dan merangkapkan kedua tangannya dengan jari-jari terbuka dan saling jalin di depan dada, dengan ibu jari saling tindih. Melihat bentuk jari-jari tangan di depan dada ini, Panglima Jayin mengerutkan alisnya dan berkata, nadanya menegur,
“Apakah Pek-lian-kauw telah mengalihkan permusuhannya kepada Negara Bhutan?” Pertanyaan ini mengandung teguran dan juga tantangan.
“Ah, ah.... tidak sama sekali, harap tai-ciangkun suka maafkan. Saya hanya seorang utusan, untuk menyampaikan surat dari Raja Muda Tambolon untuk sri baginda di Bhutan.”
“Hemmm.... apalagi sekali ini? Setelah dua tahun yang lalu kalian mencoba hendak menawan raja kami?”
“Saya sendiri tidak tahu, hanya ditugaskan menyampaikan surat. Harap tai-ciangkun suka menghadapkan saya kepada sri baginda.”
“Tidak mungkin! Sri baginda sedang sibuk....”
“Ha-ha, dengan keberangkatan pengantin? Sayang sekali, puteri cantik harus dihadiahkan kepada....”
“Tutup mulutmu! Apa hubungannya denganmu? Hayo lekas serahkan surat itu kepadaku, atau kau boleh pergi lagi!” Panglima Jayin membentak marah.
Orang itu tersenyum tenang saja.
“Begitupun baik. Pokoknya surat ini akan terbaca oleh sri baginda di Bhutan.”
Dia mengeluarkan sebuah sampul panjang dan sekali dia menggerakkan tangannya, surat itu melayang ke arah Panglima Jayin. Perwira tinggi besar ini menyambut dan terkejutlah dia ketika merasa betapa tangannya tergetar hebat pada saat menerima surat yang disabitkan itu. Dari ini saja dia sudah tahu bahwa orang ini memiliki sin-kang yang amat kuat dan dia bukanlah tandingan orang ini!
“Ha-ha-ha, tai-ciangkun aku mohon diri!”
“Haii, tunggu sebentar, sobat! Tidak kusangka bahwa Pek-lian-kauw berkeliaran sampai di tempat sejauh ini!”
“Maafkan kami yang telah berani memperlihatkan kepandaian yang dangkal, karena kami hanya memenuhi perintah sri baginda untuk ikut meramaikan pesta ini. Kami tahu bahwa di Bhutan terdapat banyak sekali orang pandai yang jauh melampaui tingkat kami. Saya sendiri tidak memiliki kepandaian apa-apa dan saya merasa agak sayang juga terpaksa harus menghentikan minum anggur Bhutan yang demikian lezatnya! Karena itu, saya harap cu-wi maafkan kalau saya hendak melanjutkan minum anggur yang lezat itu.” Setelah berkata demikian, kakek berjenggot panjang ini menggerakkan kepalanya.
“Wirrrr....!”
Jenggotnya yang panjang itu menyambar ke depan, ke arah guci anggur yang tadi dihadapinya dan tiba-tiba anggur itu melayang ke atas, dilibat ujung jenggot yang panjang! Guci itu diputar-putar di udara dan dipermainkan oleh jenggot panjang itu, kemudian, ujung jenggot melibat guci dan membawa guci itu menukik ke bawah sehingga anggur yang berada di dalam guci dan masih tinggal seperempat itu tertumpah ke bawah.
Kakek ini membuka mulutnya dan anggur itu persis memasuki mulutnya sehingga kelihatannya dia minum anggur dari guci dengan dilayani oleh jenggotnya! Bukan main hebatnya demonstrasi ini dan semua orang bertepuk tangan memuji!
Ceng Ceng sendiri diam-diam juga merasa kagum karena biarpun memainkan guci dengan ujung rambut merupakan hal yang tidak begitu sukar, namun jenggot yang dapat tegak “memegang” guci yang cukup berat itu membuktikan sin-kang yang amat kuat!
Kini guci anggur itu sudah habis isinya, hanya tinggal menetes-netes memasuki mulut Tan-ciangkun, sedangkan lengan kanan yang tangannya terkepal itu menggigil, menandakan bahwa kakek itu mengerahkan tenaga sin-kang yang kuat untuk membuat jenggotnya tegak kaku menahan guci, kemudian di bawah tepuk sorak memuji, kakek ini memainkan guci kosong dengan jenggotnya.
Guci dilontarkan ke atas, tinggi sampai hampir menyentuh langit-langit, kemudian ketika meluncur turun diterimanya lagi dengan ujung jenggot dan diputar-putar sampai kelihatannya menjadi banyak saking cepatnya.
Setelah Tan Siong Khi mengakhiri permainannya, semua orang bertepuk tangan memuji. Baru jenggotnya saja sudah demikian kuat dan ampuh, apalagi kaki tangannya! Tan-ciangkun menjura ke sekeliling, kemudian memberi hormat kepada Raja Bhutan dan terdengar suaranya lantang,
“Terima kasih hamba haturkan atas pujian sri baginda, padahal permainan hamba tidak ada artinya, apalagi kalau dibandingkan dengan kepandaian tokoh-tokoh Bhutan yang lihai. Sekarang hamba mohon agar paduka sudi memberi kesempatan kepada tokoh-tokoh Bhutan untuk memperlihatkan kepandaian untuk memeriahkan pesta ini.”
Raja Bhutan mengangguk-angguk dan menoleh ke kanan kiri. Dia tahu bahwa para pengawalnya juga rata-rata memiliki ilmu kepandaian yang tinggi. Akan tetapi tiba-tiba Tan-ciangkun berkata lagi,
“Hamba tahu bahwa nona yang menjadi adik angkat sang puteri memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali!”
Memang sengaja Tan-ciangkun berkata demikian untuk menyatakan kemendongkolan hatinya. Kalau tidak gara-gara nona muda itu yang mengusulkan, tentu dia dan kawan-kawannya tidak harus memamerkan kepandaian seperti serombongan tukang jual obat atau penari silat di pasar-pasar!
Mendengar ini, Raja Bhutan cepat menengok ke arah Ceng Ceng sambil tersenyum lebar dan berkata,
“Aih, sampai lupa aku! Candra Dewi, kau majulah dan perlihatkan kepandaianmu!”
Ceng Ceng terkejut sekali, tidak mengira bahwa dia diperintah raja untuk bersilat! Tentu saja dia tidak berani membantah dan dia sudah berlutut menyembah sambil mengeluarkan kata-kata kesanggupan dengan lirih, matanya melirik gemas kepada Tan-ciangkun yang hanya tersenyum.
Kemudian dara itu melompat ke tengah ruangan, mencabut keluar sepasang pisau belati yang sebelumnya merupakan hui-to (golok terbang), yaitu senjata rahasia yang disambitkan, dan mulailah dia bersilat dengan sepasang belati itu.
Gerakannya indah sekali, cepat dan bertenaga sehingga para penonton menjadi kagum karena kelihatannya dara itu sedang menari-nari dengan indahnya, namun gulungan-gulungan kecil dari sinar putih yang seperti selendang kecil digerak-gerakkan itu mengandung cakar maut yang dapat membunuh lawan!
Tepuk sorak bergemuruh menyambut dengan kagum ketika Ceng Ceng sudah merubah permainannya, tepuk sorak yang disertai suara ketawa di sana-sini karena selain lucu juga luar biasa sekali permainan yang kini dilakukan oleh Ceng Ceng. Apa yang terjadi? Dara ini telah menggunakan kuncirnya yang sudah dibagi dua untuk bermain silat!
Sepasang kuncirnya itu seolah-olah telah berubah menjadi dua ekor ular hitam yang hidup dan ujung kedua kuncir membelit hui-to kemudian dia bergerak-gerak dengan cepat, menggoyang kepalanya sehingga sepasang kuncir itu memainkan sepasang hui-to itu seperti tadi Tan-ciangkun untuk mengejeknya!
Setelah Ceng Ceng mengakhiri permainannya, tentu saja dia disambut dengan tepuk sorak gemuruh, juga Tan-ciangkun ikut bertepuk tangan sambil tersenyum karena diapun ikut bangga. Betapapun juga, dara itu dia tahu bukanlah Bangsa Bhutan, melainkan bangsanya sendiri dan ilmu silat yang dimainkan oleh Ceng Ceng itu adalah ilmu silat dari pedalaman.
Dia sudah mendengar bahwa dara yang cantik jelita itu adalah cucu dari kakek Lu Kiong yang dahulu pernah memegang pekerjaan seperti dia, yaitu pernah menjadi pengawal kaisar puluhan tahun yang lalu.
Setelah beberapa orang perwira dan pengawal Raja Bhutan juga memperlihatkan ilmu kepandaian masing-masing, pesta itu berakhir sampai jauh malam, bahkan sudah lewat tengah malam. Semua orang pergi ke kamar masing-masing untuk beristirahat. Ceng Ceng mengawal kakak angkatnya masuk ke kamar pula. Semenjak menjadi adik angkat Syanti Dewi, Ceng Ceng tidur sekamar dengan puteri itu.
Menjelang pagi, Ceng Ceng terbangun oleh suara tangis. Dia bangkit duduk, menggosok-gosok matanya dan mencoba untuk melihat di dalam kamar yang telah digelapkan itu. Kiranya yang menangis adalah Syanti Dewi!
“Eh, suci Syanti.... kau.... kenapakah....?”
Ceng Ceng cepat meloncat turun dan menyalakan lilin di atas meja. Dilihatnya puteri itu menelungkup sambil menangis terisak-isak.
“Enci Syanti, mengapa kau menangis?”
Kembali Ceng Ceng bertanya sambil duduk di pembaringan puteri itu dan mengusap pundaknya.
Puteri itu menengok, lalu bangkit berdiri merangkul Ceng Ceng sambil menangis makin sedih.
“Adikku.... aihhh.... adikku Candra....!”
Ceng Ceng membiarkan puteri itu menangis di pundaknya sampai agak mereda, kemudian dia berkata,
“Kakakku yang baik, beginikah sikap seorang gagah? Biarpun kita wanita, namun kita menjunjung kegagahan dan tangis merupakan hal yang dipantang, kecuali kalau ada persoalan yang tak terpecahkan dan amat hebat. Apakah yang telah terjadi? Kalau ada persoalan, bicarakanlah denganku, dan marilah kita pecahkan bersama. Tidak ada di dunia ini persoalan yang tidak akan dapat kita pecahkan berdua, bukan?”
Putri itu menghapus air matanya dan memandang adik angkatnya. Tangisnya sudah mereda dan melihat wajah adiknya menimbulkan kepercayaan dan hiburan besar baginya. Dia menghela nafas panjang berkali-kali sebelum bicara, kemudian sambil memegang tangan adik angkatnya dia berkata,
“Candra, hati siapa tidak akan menjadi kecewa, penasaran dan duka? Tadi aku mendengar dari seorang pelayanku yang memang kusuruh melakukan penyelidikan diantara rombongan utusan, dan aku mendengar berita yang sangat mengecewakan sebelum tidur tadi.”
“Berita apakah?”
“Berita keterangan tentang Pangeran Liong Khi Ong....”
“Aihhh, tentang calon suamimu?” Ceng Ceng menahan ketawanya. “Bukankah berita itu menggembirakan?”
“Siapa bilang menggembirakan? Ternyata dia adalah seorang laki-laki yang usianya sudah lima puluh tahun.... hu-huuukkk....” Putri itu menangis lagi.
Ceng Ceng merangkul dan menghiburnya.
“Lima puluh tahun belum tua bagi seorang laki-laki, apalagi kalau dia seorang pangeran,” dara ini mencoba menghibur sebisanya.
“Tapi.... tapi.... dia mempunyai banyak selir....” kembali puteri itu terisak.
“Aihh, enci Syanti, apa anehnya tentang itu? Dia seorang pangeran, tentu saja banyak selirnya. Akan tetapi engkau akan menjadi isterinya, mengepalai semua selirnya.”
“Tapi.... tapi.... aku tidak suka, Candra. Aku merasa seolah olah berangkat mati saja.... kehilangan kebebasanku.... menjadi budak belian!”
“Ihhhh....! Mengapa kau berkata begitu, enci Syanti?” Ceng Ceng berseru kaget.
“Mengapa tidak? Apa bedanya aku dengan budak belian? Aku dibeli, dibeli dengan kedudukan dan nama, aku kehilangan kebebasan, harus menurut menjadi isteri siapa saja! Aku.... aku ingin menjadi isteri orang yang kupilih sendiri, adik Candra....!” Kembali puteri itu menjatuhkan diri menelungkup, memeluk bantal dan menangis.
Ceng Ceng duduk termenung. Dia dapat menyelami perasaan kakak angkatnya dan tak dapat membantah kebenaran kata-katanya. Memang kaum wanita sama dengan budak belian. Diharuskan menjadi isteri siapa saja, menjadi isteri seorang pria yang belum pernah dilihatnya. Apa bedanya dengan budak belian? Hanya diberi pakaian indah dan penghormatan, namun pada hakekatnya, nasib mereka dalam hal perjodohan tiada bedanya dengan budak belian! Diam-dian hatinya memberontak pula.
“Enci Syanti, kalau begitu, mengapa tidak engkau tolak saja?”
Puteri itu terkejut sekali, lalu bangkit duduk. Dia memandang adiknya, menarik napas panjang dan menggelengkan kepalanya.
“Dahulu, dua tahun yang lalu, aku sama sekali tidak pernah memikirkan ini. Kuterima saja perintah ayah karena memang biasanya demikian, seorang puteri dikawinkan dan aku boleh disebut beruntung menjadi calon isteri seorang pangeran putera kaisar yang besar! Akan tetapi, setelah pernikahan diundur dua tahun, selama ini timbul penasaran di dalam hatiku mengapa aku harus menikah, mengikatkan hidupku selamanya, dengan seorang yang sama sekali belum pernah kulihat? Aku masih menghibur diri dengan anggapan bahwa seorang pangeran putera kaisar tentulah seorang pria yang gagah perkasa, tampan, muda dan pendeknya memenuhi impianku tentang seorang kekasih. Siapa tahu.... berita itu.... dia sudah tua dan banyak selirnya.... hu-hu-huuukkk....”
Ceng Ceng menggaruk-garuk belakang telinganya, bingung.
“Kalau begitu, bagaimana baiknya, enci Syanti? Kau tolak saja sekarang, bagaimana?”
“Ahhh, kau tidak tahu, adikku. Kalau aku menolak, tentu ayah akan memaksaku karena hal itu selain akan mencemarkan nama keluarga Kerajaan Bhutan, juga berbahaya sekali, dapat menyeret negara ke dalam perang.”
“Ohhh....!” Ceng Ceng terkejut sekali. “Habis, bagaimana baiknya? Kalau begitu, mari kita.... melarikan diri saja. Malam ini juga, biar aku menemanimu, enci....”
Mau tidak mau puteri itu tersenyum masam mendengar ajakan ini. Ajakan yang ugal-ugalan. Mana mungkin puteri raja minggat? Selain percuma karena tentu akan dapat ditangkap, juga amat memalukan.
“Tidak bisa, adikku, tidak mungkin itu.”
“Habis bagaimana? Apakah kau akan menerima nasib begitu saja?”
“Apa boleh buat. Aku harus menerima nasib, akan tetapi hatiku tentu akan terhibur sekali kalau kau suka menemaniku ke Kerajaan Ceng di timur sana.”
“Tentu saja aku mau! Aku malah ingin sekali kesana! Baik, aku akan menemanimu.”
“Akan tetapi, apakah kakekmu akan memperkenankan?”
“Dia harus menyetujui!” Ceng Ceng berkata cemberut. “Aku berasal dari timur sana sudah sepatutnya kalau dia mengajakku kembali kesana. Sekarang ada kesempatan baik. Aku ikut denganmu, enci Syanti!”
Demikianlah, keputusan diambil malam itu juga dan pada keesokan harinya, sang puteri memberitahukan ayahandanya bahwa Candra Dewi akan ikut bersamanya ke timur. Raja Bhutan tak dapat menolak dan kakek Lu Kiong segera diberitahu tentang hal itu. Kakek ini terkejut, akan tetapi diapun tidak berani menghalangi kehendak sang puteri, bahkan diam-diam dia harus mengakui bahwa sudah sepatutnya kalau dia membiarkan cucunya itu kembali ke timur.
Akan tetapi karena dia mengkhawatirkan keselamatan cucunya, dia lalu menyatakan hendak ikut mengawal rombongan sang puteri. Tentu saja keputusan kakeknya ini menggirangkan hati Ceng Ceng, karena betapun juga dia merasa kasihan dan tidak tega kalau harus meninggalkan kakeknya yang sudah tua itu sendirian di Negara Bhutan.
Persiapan untuk keberangkatan Puteri Syanti Dewi dilakukan dan keadaan di istana sibuk sekali. Besok pagi-pagi rombongan yang memboyong puteri itu akan berangkat, pasukan istimewa yang khusus sebanyak lima ratus orang akan mengawal rombongan sampai di perbatasan, dimana pasukan Kerajaan Ceng akan menyambut dan mengoper tugas pengawalan.
Barang-barang berharga milik sang puteri dikumpulkan sampai berpeti-peti banyaknya. Ceng Ceng sendiri memperoleh kesempatan untuk pulang ke rumah kakek, membantu kakeknya yang juga berkemas dan dibantu oleh murid-murid kakeknya. Wajah para murid itu kelihatan murung, karena mereka tahu bahwa sekali ini, gurunya pergi untuk tidak kembali lagi ke Bhutan karena gurunya sudah amat tua.
Sementara itu, tanpa disangka-sangka, di pintu penjagaan benteng, yaitu di pintu gerbang besar, terjadi keributan. Seorang laki-laki berusia empat puluh tahun lebih, berpakaian sederhana dan berkuncir panjang, bertangan kosong, sedang ribut mulut dengan para penjaga. Dari pakaiannya mudah dikenal bahwa orang ini datang dari timur, seorang bangsa Han. Karena di kota raja Bhutan sedang ada kesibukan, maka tentu saja para penjaga itu menghadang orang yang tidak dikenal ini sambil menghardik,
“Siapakah engkau dan ada keperluan apa hendak memasuki kota raja?”
Laki-laki itu mengerutkan alisnya.
“Hemm, begitukah sikap para penjaga kota raja di Bhutan? Seorang penduduk sinipun tidak akan mengalami gangguan, apalagi seorang pendatang dari luar yang dapat disebut seorang tamu! Aku datang sebagai tamu, sebagai utusan dan aku ingin menghadap sri baginda!”
Akan tetapi, kepala penjaga tertawa mengejek. Orang itu pakaiannya biasa, sama sekali bukan pakaian orang berpangkat atau seorang perwira, tentu saja dianggap menggelikan dan membohong ketika mengaku sebagai tamu dan utusan, dan bahkan menimbulkan kecurigaan. Orang begini hendak menghadap raja! Tentu berniat tidak baik, pikir kepala penjaga itu.
“Jangan main gila kau!” bentaknya. “Kau kira mudah saja menghadap sri baginda! Hayo cepat pergi, keluar dari tempat ini atau terpaksa akan kami tangkap sebagai mata-mata musuh!”
Orang itu memandang tajam dan tersenyum.
“Kepala penjaga, jangan membuka mulut besar dan sembarangan. Lebih baik kau laporkan kepada atasanmu, kepada Panglima Jayin bahwa ada seorang tamu datang hendak bertemu! Kalau masih belum cukup meyakinkan, katakan bahwa yang datang membawa bunga suci!”
Ucapan ini, apalagi kalimat terakhir, membuat kepala penjaga menjadi makin marah. Dia melangkah maju dan mendorong dada orang itu sambil berkata,
“Engkau masih banyak membantah? Pergilah!”
Akan tetapi, kepala penjaga itu kaget sekali karena dia seperti mendorong sebuah gunung karang saja! Orang itu sama sekali tidak bergerak, maka dengan marah dia lalu memukul dada laki-laki berbaju hitam itu.
“Dukkk!”
Bukan tubuh orang itu yang roboh terkena pukulan keras, sebaliknya kepala penjaga itu berteriak dan roboh terpelanting seperti dibanting saja!
“Kau berani melawan?”
Dua orang penjaga menyerang dengan tombak mereka dari depan dan belakang. Namun dengan gerakan gesit sekali, laki-laki berbaju hitam itu mengelak, kedua tangannya bergerak menyambar tombak, tangan kiri menangkap tombak dari depan, tangan kanan menangkap tombak dari belakang dan sekali dia mengangkat, dua orang penjaga itu terangkat ke atas seolah-olah hanya seperti daun saja ringannya!
Tentu saja mereka terkejut dan berteriak, akan tetapi tubuh mereka segera melayang ke depan dan jatuh terbanting cukup keras, membuat mereka hanya dapat bangkit duduk dengan kepala pening dan mata berkunang!
Para penjaga yang lain datang dan segera menyerang laki-laki yang lihai itu sehingga terjadilah pertandingan keroyokan di depan pintu gerbang. Laki-laki itu menghadapi mereka dengan tenang, hanya menggunakan kaki tangannya untuk menangkis dan merobohkan para pengeroyok tanpa melakukan pembunuhan. Beberapa orang penjaga sudah lari untuk melapor kepada Panglima Jayin.
“Tahan senjata, mundur semua!”
Tiba-tiba terdengar suara Panglima Jayin yang sudah cepat datang ke tempat itu. Para penjaga mundur dan saling membantu karena mereka sudah menderita cidera tangan. Panglima Jayin melangkah maju, berhadapan dengan laki-laki itu. Orang itu segera menjura dan merangkapkan kedua tangannya dengan jari-jari terbuka dan saling jalin di depan dada, dengan ibu jari saling tindih. Melihat bentuk jari-jari tangan di depan dada ini, Panglima Jayin mengerutkan alisnya dan berkata, nadanya menegur,
“Apakah Pek-lian-kauw telah mengalihkan permusuhannya kepada Negara Bhutan?” Pertanyaan ini mengandung teguran dan juga tantangan.
“Ah, ah.... tidak sama sekali, harap tai-ciangkun suka maafkan. Saya hanya seorang utusan, untuk menyampaikan surat dari Raja Muda Tambolon untuk sri baginda di Bhutan.”
“Hemmm.... apalagi sekali ini? Setelah dua tahun yang lalu kalian mencoba hendak menawan raja kami?”
“Saya sendiri tidak tahu, hanya ditugaskan menyampaikan surat. Harap tai-ciangkun suka menghadapkan saya kepada sri baginda.”
“Tidak mungkin! Sri baginda sedang sibuk....”
“Ha-ha, dengan keberangkatan pengantin? Sayang sekali, puteri cantik harus dihadiahkan kepada....”
“Tutup mulutmu! Apa hubungannya denganmu? Hayo lekas serahkan surat itu kepadaku, atau kau boleh pergi lagi!” Panglima Jayin membentak marah.
Orang itu tersenyum tenang saja.
“Begitupun baik. Pokoknya surat ini akan terbaca oleh sri baginda di Bhutan.”
Dia mengeluarkan sebuah sampul panjang dan sekali dia menggerakkan tangannya, surat itu melayang ke arah Panglima Jayin. Perwira tinggi besar ini menyambut dan terkejutlah dia ketika merasa betapa tangannya tergetar hebat pada saat menerima surat yang disabitkan itu. Dari ini saja dia sudah tahu bahwa orang ini memiliki sin-kang yang amat kuat dan dia bukanlah tandingan orang ini!
“Ha-ha-ha, tai-ciangkun aku mohon diri!”
“Haii, tunggu sebentar, sobat! Tidak kusangka bahwa Pek-lian-kauw berkeliaran sampai di tempat sejauh ini!”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar