FB

FB


Ads

Jumat, 26 Juli 2019

Cinta Bernoda Darah Jilid 164

Lin Lin adalah seorang gadis yang tidak mengenal takut. Ia tahu betul bahwa dua orang kakek itu adalah orang-orang sakti yang sukar dikalahkan. Di puncak Thai-san, hanya setelah Bu Kek Siansu muncul saja dua orang kakek ini dapat diusir. Akan tetapi, mengingat betapa dua orang kakek ini hampir saja menewaskan Suling Emas, ia menjadi marah dan memandang penuh kebencian.

“Kalian iblis tua bangka!” bentaknya sambil menudingkan pedang. “Mau apa kalian muncul di Khitan? Apakah kau sudah menjadi kaki tangan paman tiriku si pengkhianat?”

Lam-kek Sian-ong si muka merah tertawa.
“Ha-ha-ha, kita bertemu lagi dengan si gadis liar yang berilmu aneh, Pek-bin Twako (Kakak Muka Putih)!”

“Hemmm, menyebalkan sekali, Ang-bin-siauwte (Adik Muka Merah), bereskan saja bocah itu!”

“Ha-ha-hah, jangan, Twako. Sayang! Lihat, alangkah cantik dan agungnya. Siapa kira, dia berdarah Raja Khitan! Kalau kita menjadi sepasang raja di sini, dan dia menjadi pelayan kita, bukankah hebat?”

Lin Lin tak dapat menahan kemarahannya lagi.
“Kalian ini dua iblis tua bangka bermulut kotor, lekas pergi dari sini sebelum pedangku bicara dan sebelum kukerahkan barisanku untuk membasmi kalian!”

Akan tetapi baru saja Lin Lin berhenti bicara, dari dalam istana berlari-lari keluar pengawal raja sendiri sambil membawa senjata dan langsung mereka ini menerjang dua orang kakek itu sambil berteriak-teriak.

“Pembunuh raja! Kepung...., tangkap....!”

Dua orang kakek itu saling pandang, lalu tertawa dan sekali mereka menggerakkan kedua lengan, para pengawal raja itu terlempar dan roboh tak dapat bangun lagi. Bagaikan nyamuk menyerbu api, para pengawal itu roboh bergelimpangan dan tumpang-tindih. Dua orang kakek itu dengan sikap acuh tak acuh merobohkan mereka dan dengan kaki, mereka itu menendangi mayat-mayat itu ke arah halaman depan.

Lin Lin terkejut dan heran. Tadinya ia menyangka bahwa paman tirinya mempergunakan dua orang kakek sakti ini. Siapa kira, paman tirinya malah agaknya sudah terbunuh oleh mereka. Jelas sekarang bahwa mereka ini hendak merampas kedudukan raja di Khitan! Kemarahannya meluap di hati Lin Lin dan dengan gerakan cepat ia nekat menyerbu ke depan sambil berteriak,

“Iblis-iblis busuk, mampuslah!”

Akan tetapi tiba-tiba tubuhnya yang berpusing dengan jurus Soan-hong-ci-thian itu tahu-tahu tertahan oleh dorongan tenaga sakti dari Lam-kek Sian-ong yang menggerakkan kedua tangannya ke depan dada, kemudian kakek itu membuat gerakan memutar dengan kedua lengannya dan tubuh Lin Lin ikut pula terputar-putar seperti kitiran angin! Gadis yang kurang pengalaman itu ternyata terlambat melihat sehingga ia membiarkan dirinya “terlibat” hawa pukulan yang luar biasa itu.

“Ang-bin-siauwte, mengapa main-main dengan dia? Habiskan saja agar lekas beres!” Si Muka Putih mencela.

“Ha-ha-ha, tidak, Twako. Aku sayang kepadanya!”

“Apa....? Setua kau ini masih....”

“Ah, tidak, Twako. Jangan salah sangka. Aku hanya suka melihat dia ini, patut menjadi muridku, murid kita. Begitu garang, begitu galak dan tabah!”

“Kau takkan menurunkan kepandaian kepada orang lain. Biar kuhabiskan dia!”

Bentak si muka putih dan ketika tangannya bergerak, sinar putih seperti perak yang berhawa dingin sekali menyambar ke arah tubuh Lin Lin yang masih berputar-putar di bawah pengaruh kekuatan tangan si muka merah.

“Dua iblis tua bangka mengeroyok gadis remaja, sungguh tak tahu malu!” tiba-tiba terdengar bentakan keras.






“Lin-moi, jangan takut, aku datang membantumu!” terdengar suara lain.

Kiranya yang muncul adalah empat orang, yaitu Kauw Bian Cinjin, Suling Emas, Bu Sin, dan Liu Hwee! Begitu tiba, Suling Emas cepat menyambar dengan sulingnya menangkis sinar perak yang mengancam nyawa Lin Lin. Terdengar suara keras dan sinar perak itu runtuh ke bawah, ternyata itu adalah sebutir batu putih yang dingin. Sementara itu, Kauw Bian Cinjin sudah memutar pecutnya yang menyambar sambil mengeluarkan suara keras mengancam kepala Lam-kek Sian-ong!

“Bagus, bagus! Makin banyak lawan tangguh, makin menggembirakan!”

Lam-kek Sian-ong si muka merah tertawa-tawa dan terpaksa ia melepaskan Lin Lin yang cepat menggerakkan Pedang Besi Kuning membantu Kauw Bian Cinjin mendesak kakek sakti itu. Liu Hwee juga tidak mau tinggal diam. Cepat ia memutar senjatanya berupa joan-pian berujung bola baja, mengeroyok Lam-kek Sian-ong setelah memesan kepada tunangannya Bu Sin, agar tidak ikut mengeroyok kakek sakti itu karena terlampau berbahaya mengingat bahwa tingkat kepandaian Bu Sin masih belum tinggi benar.

Sementara itu, Suling Emas sudah menghantam melawan kakek muka putih, Pak-kek Sian-ong. Pertempuran yang sunyi, tidak bersuara, namun hebat bukan main. Kakek muka putih ini telah memegang sebatang pedang yang putih pula, berkilauan dan mengeluarkan hawa dingin.

Namun suling di tangan Suling Emas bergulung-gulung seperti naga kuning emas bermain di angkasa, sedikit pun tidak mau mengalah terhadap gulungan sinar putih. Memang Suling Emas mendongkol sekali kepada kedua orang kakek ini, teringat ketika ia dipermainkan, dikeroyok dua dan hampir saja ia binasa.

Kini terbuka kesempatan baginya untuk mengadu satu lawan satu, maka ia mengerahkan segenap tenaganya dan mainkan ilmu silatnya yang paling aneh dan hebat, yaitu gabungan dari tiga macam ilmu silat sakti, yaitu Pat-sian Kiam-hoat (Ilmu Pedang Delapan Dewa), Lo-hai-san-hoat (Ilmu Kipas Pengacau Lautan) dua macam ilmu yang ia warisi dari gurunya, yaitu Kim-mo Taisu, dan digabung dengan ilmu sakti yang ia warisi dari Bu Kek Siansu, yaitu Hong-in-bun-hoat (Ilmu Silat Huruf Angin dan Awan).

Dengan permainan gabungan yang luar biasa ini, biarpun Pak-kek Sian-su merupakan tokoh yang sukar dicari bandingannya pada jaman itu, namun ia menjadi sibuk juga dan akhirnya hanya dapat mempertahankan diri dengan jurus-jurus sakti yang dikerahkan untuk menyelamatkan diri saja.

Kakek muka merah, Lam-kek Sian-ong menghadapi pengeroyokan yang berat, yaitu Lin Lin, Liu Hwee, dan Kauw Bian Cinjin. Dua orang tokoh Beng-kauw ini memang memiliki ilmu silat yang cukup tinggi, apalagi Kauw Bian Cinjin. Akan tetapi tingkat mereka berdua sesungguhnya masih kalah kalau dibandingkan dengan Lam-kek San-ong yang memang betul-betul sakti itu, dengan dasar tenaga Yang-kang, sehingga setiap pukulannya membawa hawa yang amat panas.

Namun, kedua orang tokoh ini menjadi kaget dan terheran-heran bahwa masuknya Lin Lin yang mainkan pedang Besi Kuning itu seakan-akan menjadi pelengkap daripada kekurangan atau kekalahan mereka terhadap Lam-kek Sian-ong. Mereka terkejut mengenal dasar gerakan Lin Lin yang sama dengan ilmu silat Beng-kauw, bahkan gerakan pedang itu demikian hebatnya sehingga mereka berdua, biarpun bersenjatakan dua macam senjata, seakan-akan terseret dan terpengaruh oleh gerakan pedang Lin Lin dan membuat mereka terpaksa bergerak menurut gulungan sinar pedang itu yang seolah-olah “memimpin” mereka.

Tentu saja mereka menjadi heran dan juga girang, akan tetapi Lam-kek Sian-ong yang menjadi kaget setengah mati! Seperti halnya Pak-kek Sian-ong yang terdesak oleh Suling Emas, ia sendiri pun terdesak oleh pengeroyokan tiga orang itu dan hanya mampu menangkis saja!

Lewat seratus jurus, dua orang kakek sakti itu maklum bahwa tiada harapan lagi bagi mereka, apalagi kalau diingat bahwa di situ terdapat ratusan orang perajurit yang sudah siap untuk melakukan pengeroyokan begitu menerima komando. Lin Lin memang sengaja tidak mau mengerahkan pasukan karena maklum bahwa biarpun hal ini akan mendatangkan kemenangan, namun perajurit-perajurit itu tentu banyak yang akan menjadi korban.

Tiba-tiba kedua orang kakek itu dengan berbareng mengeluarkan bentakan keras sekali, bentakan yang dilakukan dengan pengerahan tenaga khi-kang. Beberapa orang perajurit terjungkal, bahkan yang terlalu dekat roboh tak dapat bangkit lagi! Suling Emas mengeluarkan bunyi melengking tinggi dan memperhebat desakannya, akan tetapi Kauw Bian Cinjin tampak terhuyung mundur karena Lam-kek Sian-ong sengaja melakukan pukulan hebat yang khusus ia tujukan kepada kakek Beng-kauw ini.

Melihat Kauw Bian Cinjin terhuyung, Lin Lin menerjang dengan jurus ampuh dari ilmu Cap-sha-sin-kun, pedangnya tertangkis pedang merah di tangan Lam-kek Sian-ong, namun masih dapat menyerempet pundak kakek itu.

“Twako, mari pergi....!”

Lam-kek Sin-ong berseru, tubuhnya melesat dan sekaligus ia menerjang Suling Emas yang mendesak saudaranya. Tentu saja Suling Emas maklum betapa bahayanya dikeroyok dua orang kakek ini. Baru seorang Pak-kek Sian-ong saja ia hanya mampu mendesak belum mampu mengalahkan, apalagi kalau Lam-kek Sian-ong datang mengeroyok. Terpaksa ia melompat mundur sambil memutar sulingnya. Kesempatan baik ini dipergunakan oleh kedua orang kakek sakti untuk berkelebat pergi dari tempat itu.

Dalam kemarahannya, Lin Lin yang tidak kenal takut itu meloncat pula melakukan pengejaran. Akan tetapi tiba-tiba ia berhenti, tangannya ada yang memegang. Ketika ia cepat menoleh, kiranya yang memegang pergelangan tangannya adalah Suling Emas!

“Lin-moi, jangan mengejar mereka, berbahaya sekali. Biarlah aku membantumu....”

Lin Lin mengibaskan tangannya terlepas dari pegangan Suling Emas. Matanya terbelalak penuh kemarahan karena munculnya pendekar ini mengingatkan ia akan segala pengalamannya yang pahit dan mematahkan hatinya, terutama sekali ketika Suling Emas membela Suma Ceng. Tak tertahankan lagi tangan kirinya bergerak menampar pipi kanan Suling Emas yang tidak mengelak dan hanya memandang dengan mata sedih.

“Plakkk!” Tangan kiri Lin Lin meninggalkan tapak tangan kemerahan pada pipi Suling Emas.

“Lin Lin! Gila engkau?” Bu Sin membentak marah sambil lari menghampiri.

“Pergi....! Pergi....!”

Lin Lin berteriak-teriak sambil melarikan diri air matanya mulai bercucuran membasahi pipinya.

“Lin Lin, tunggu....!”

Bu Sin mengejar, sedangkan Suling Emas setelah berdiri dengan muka pucat dan seperti kehilangan semangat, akhirnya ikut pula mengejar di belakang Bu Sin.

Lin Lin berlari secepatnya ke arah utara, tidak peduli betapa daerah ini makin sukar dilalui, merupakan padang rumput yang makin lama makin jarang pohonnya, hanya rumput-rumput belaka dan di sana sini mulai tertutup pasir. Karena tempat ini terbuka, mulailah terasa angin bertiup keras dari arah depan, menyesakkan napas.

Namun Lin Lin tidak merasakan ini semua dan berlari terus mendaki bagian yang menanjak. Ah, mengapa dia datang? Mengapa aku mesti berjumpa kembali dengan dia? Aku benci dia! Ah, aku benci dia....! Keluhnya sambil menangis, karena betapa ia mengeraskan hati memaksa diri mengaku benci, perasaannya tahu bahwa ia membohongi dirinya sendiri. Ia mencinta Suling Emas, demikian mencintanya sehingga ia menjadi benci karena Suling Emas tidak membalas cinta kasihnya!

“Lin-moi, tunggu!”

Kembali Bu Sin berteriak keras dengan napas terengah-engah karena ia harus mengerahkan seluruh kepandaiannya untuk dapat mengejar Lin Lin yang lari seperti terbang, apalagi angin mulai mengamuk di padang rumput itu, membawa terbang butiran-butiran pasir,

“Lin-moi, mari kita bicara! Inilah Kakak Bu Song yang kita cari-cari! Berhentilah dulu!”

Mendengar ini, makin deras air mata Lin Lin mengucur di sepanjang pipinya, dan makin cepat pula kedua kakinya berlari menjauhi dua orang itu. Bukan kakakku, pikirnya sedih, bukan karena aku adiknya. Apa artinya adik angkat, lain ibu lain ayah? Aku orang lain. Hanya karena dia.... dia mencintai wanita yang sudah punya suami dan anak-anak! Ah, alangkah benciku!

Sementara itu, Suling Emas sudah memegang lengan Bu Sin dari belakang.
“Sin-te (Adik Sin), kau kembalilah. Biarkan aku membereskan urusan ini. Percayalah kepadaku!”

Karena memang merasa tidak sanggup menyusul Lin Lin dan juga merasa ragu apakah ia akan dapat mengatasi watak adik angkatnya yang kukoai (luar biasa) itu, Bu Sin berhenti dan tidak mengejar lagi. Suling Emas lalu mengerahkan kepandaiannya dan bagaikan terbang ia lari mengejar, mendaki jalan tanjakan. Angin makin hebat bertiup, merontokkan daun-daun beberapa batang pohon yang sudah setengah gundul. Rumput tebal yang tinggi bergerak-gerak menyabet kaki seperti lecutan cambuk.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar